Upload
hoangdieu
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1 Definisi Jamban
Pembuangan tinja merupakan salah satu upaya kesehatan lingkungan yang
harus memenuhi sanitasi dasar bagi setiap individu. Pembuangan kotoran yang
baik harus dibuang ke dalam tempat penampungan kotoran yang disebut jamban.
Jamban atau tempat pembuangan kotoran adalah suatu bangunan yang
dipergunakan untuk membuang tinja atau kotoran manusia yang lazim disebut
kakus/WC dan memenuhi jamban sehat dan baik.
Setiap individu harus menggunakan jamban untuk buang air besar.
Penggunaan jamban akan bermanfaat untuk menjaga lingkungan bersih, sehat, dan
tidak berbau. Jamban mencegah pencemaran sumber air yang ada disekitarnya.
Jamban juga tidak mengundang datangnya lalat atau serangga yang dapat menjadi
penular penyakit diare, kolera disentri, typus, kecacingan, penyakit saluran
pencernaan, penyakit kulit dan keracunan.
2.1.1 Syarat jamban sehat
Membuang tinja di jamban yang memenuhi aturan kesehatan adalah salah
satu upaya untuk memutus mata rantai penularan penyakit menular bersumber
dari tinja. Oleh karena itu jamban harus dipelihara supaya tetap sehat. Lantai
jamban hendaknya selalu bersih dan tidak ada genangan air. Di dalam jamban
tidak ada kotoran yang terlihat, tidak ada serangga (kecoa, lalat) dan tikus yang
berkeliaran. Tersedia alat pembersih (sabun, sikat, dan air bersih) dan bila ada
11
kerusakan, segera diperbaiki. Menurut Proverawati dan Rahmawati (2012), syarat
jamban yang sehat adalah :
1. Tidak mencemari sumber air minum (jarak antara sumber air minum
dengan lubang penampungan tinja minimal 10 meter).
2. Tidak berbau.
3. Kotoran tidak dapat dijamah oleh serangga dan tikus.
4. Tidak mencemari tanah sekitarnya.
5. Mudah dibersihkan dan aman digunakan.
6. Dilengkapi dinding dan atap pelindung.
7. Penerangan dan ventilasi yang cukup.
8. Lantai kedap air dan luas ruangan memadai.
9. Tersedia air, sabun, dan alat pembersih.
2.1.2 Manfaat menggunakan jamban
Membangun dan menggunakan jamban dapat memberikan manfaat berikut
ini, yaitu :
1. Peningkatan martabat dan hak pribadi
2. Lingkungan yang lebih bersih
3. Bau berkurang, sanitasi dan kesehatan meningkat
4. Keselamatan lebih baik (tidak perlu lagi ke ladang di malam hari)
5. Menghemat waktu dan uang, menghasilkan kompos pupuk dan biogas
untuk energi
6. Memutus siklus penyebaran penyakit yang terkait dengan sanitasi
12
2.2 Pengaruh Tinja Bagi Kesehatan Manusia
Tinja manusia merupakan buangan padat yang kotor dan bau juga media
penularan penyakit bagi masyarakat. Kotoran manusia mengandung organisme
pathogen yang dibawa air, makanan, serangga sehingga menjadi penyakit seperti
misalnya : bakteri Salmonella, vibriokolera, amuba, virus, cacing, disentri,
poliomyelitis, ascariasis, dan lain-lain. Penyakit yang ditimbulkan oleh kotoran
manusia bisa digolongkan yaitu :
1. Penyakit enterik atau saluran pencernaan dan kontaminasi zat racun.
2. Penyakit infeksi oleh virus seperti hepatitis infektiosa.
3. Infeksi cacing seperti schitosomiasis, ascariasis, ankilostosomiasis.
Hubungan antara pembuangan tinja dengan status kesehatan penduduk bisa
langsung maupun tidak langsung. Efek langsung bisa mengurangi insiden
penyakit yang ditularkan karena kontaminasi dengan tinja seperti kolera, disentri,
typus, dan sebagainya. Efek tidak langsung dari pembuangan tinja berkaitan
dengan komponen sanitasi lingkungan seperti menurunnya kondisi hygiene
lingkungan. Hal ini akan mempengaruhi pekembangan sosial dalam masyarakat
dengan mengurangi pencemaran tinja manusia pada sumber air minum penduduk.
2.2.1 Mata rantai penularan penyakit oleh tinja
Manusia merupakan sumber penting dari penyakit, penyakit infeksi yang
ditularkan oleh tinja merupakan salah satu penyebab kematian.
13
Skema 2.1 Alur Penularan Penyakit (Water & Sanitation Program, 2011)
Berdasarkan skema alur penularan penyakit diatas maka perlu dilakukan
tindakan pencegahan agar penyakit menular berbasis lingkungan tidak menjadi
wabah dalam masyarakat setempat. Pencegahan itu memutuskan alur penularan
penyakit menggunakan rintangan sanitasi dan mengisolasi tinja dengan jamban
sehat. Rintangan sanitasi ini mencegah kontaminasi tinja sebagai sumber infeksi
pada air, tangan, dan vektor (serangga).
Skema 2.2 Pemutus Alur Penularan Penyakit (Water & Sanitation Program,2011)
14
2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Kesehatan
Menurut L.W.Green, di dalam Notoatmodjo (2012) faktor penyebab masalah
kesehatan adalah faktor perilaku dan faktor non perilaku. Faktor perilaku
khususnya perilaku kesehatan dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu :
1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)
Faktor-faktor yang dapat mempermudah atau mempredisposisi
terjadinya perilaku pada diri seseorang, keluarga atau masyarakat, adalah
pengetahuan dan sikap seseorang, keluarga atau masyarakat tersebut
terhadap apa yang akan dilakukan. Disamping itu, kepercayaan/keyakinan,
tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, sistem nilai yang dianut
masyarakat setempat juga mempermudah (positif) atau mempersulit
(negatif) terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat.
1) Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan,
pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat
penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior).
15
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam
tingkatan, yaitu :
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah
mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu ini
merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain dapat
menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan umtuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,
meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari. Misalnya
dapat menjelaskan mengapa harus buang air besar di jamban.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi disini
dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus,
metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
Misalnya dapat menggunakan rumus statistik dalam perhitungan-
16
perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-prinsip siklus
pemecahan masalah (problem solving cycle) di dalam pemecahan masalah
kesehatan dari kasus yang diberikan.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam satu struktur
organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis
ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan
(membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan
sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang
baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat
menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat
menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan
yang telah ada.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi
atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu
didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan
kriteria-kriteria yang telah ada. Misalnya, dapat membandingkan antara
17
keluarga yang berperilaku hidup bersih dan sehat dengan keluarga yang
tidak berperilaku hidup bersih dan sehat, dapat menangkapi terjadinya
diare di suatu tempat, dapat menafsirkan sebab-sebab mengapa masih ada
keluarga yang buang air besar sembarangan dan sebagainya.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek
penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui
atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan di atas.
2) Pendidikan
Pendidikan merupakan hasil atau prestasi yang dicapai oleh
perkembangan manusia dan usaha lembaga-lembaga tersebut dalam
mencapai tujuan untuk tingkat kemajuan masyarakat dan kebudayaan
sebagai suatu kesatuan.
Menurut Yusuf (1992), dalam Notoatmodjo (2012) bahwa
“Pendidikan juga dikatakan sebagai pengembangan diri dari individu dan
kepribadian yang dilaksanakan secara sadar dan penuh tanggung jawab.
Untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan keterampilan serta nilai-nilai
sehingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan”. Pada umumnya
semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin baik pula tingkat
pengetahuannya, bahwa Ibu/Bapak yang berpendidikan relatif tinggi
cenderung memiliki kemampuan untuk menggunakan sumber daya
keluarga yang lebih baik dibandingkan Ibu/Bapak yang berpendidikan
rendah. Karena pengetahuan buang air besar yang sering kurang dipahami
18
oleh keluarga yang tingkat pendidikannya rendah. Sehingga memberi
dampak dalam mengakses pengetahuan khususnya dibidang kesehatan
untuk penerapan dalam kehidupan keluarga terutama pada keluarga yang
berperilaku buang air besar sembarangan (Notoatmodjo, 2012).
Ruang lingkup pendidikan terdiri dari pendidikan informal, non
formal, dan formal. Pendidikan informal adalah pendidikan yang diperoleh
seseorang di rumah dalam lingkungan keluarga. Pendidikan informal
berlangsung tanpa adanya organisasi, yakni tanpa orang tertentu yang
diangkat atau ditunjuk sebagai pendidik tanpa suatu program yang harus
disesuaikan dalam jangka waktu tertentu dan tanpa evaluasi yang formal
berbentuk ujian, sementara itu pendidikan non formal meliputi berbagai
usaha khusus yang diselenggarakan secara terorganisasi terutama generasi
muda dan orang dewasa, yang tidak dapat sepenuhnya atau sama sekali
tidak berkesempatan mengikuti pendidikan sekolah dapat memiliki
pengetahuan praktis dan keterampilan dasar yang mereka perkirakan
sebagai masyarakat produktif. Sedangkan pendidikan formal adalah
pendidikan yang mempunyai bentuk atau organisasi tertentu seperti
terdapat di sekolah atau universitas (Notoatmodjo, 2003).
Kartono (1992), dalam Marliana (2011) menyatakan bahwa
“Menurut Undang-Undang Republik Indonesia tentang pendidikan No.20
tahun 2003, jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar,
pendidikan menengah, pendidikan tinggi. Pendidikan dasar yaitu jenjang
pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah seperti SD, MI,
19
SMP, dan MTS atau bentuk lain yang sederajat. Sementara itu pendidikan
menengah yaitu lanjutan pendidikan dasar yang terdiri dari pendidikan
menengah kejurusan seperti SMA, MA, SMK, dan MAK atau bentuk lain
yang sederajat. Sedangkan pendidikan tinggi merupakan jenjang
pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program
pendidikan Diploma, Sarjana, Magister dan Doktor yang diselenggarakan
oleh pendidikan tinggi”.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendidikan terbagi
menjadi 3 yaitu 1) faktor umum, 2) faktor tingkat sosial ekonomi, dan 3)
faktor lingkungan. Semakin bertambah umum, pendidikan yang didapat
akan lebih banyak baik itu pendidikan formal maupun pendidikan non
formal yang diinginkan adalah terjadinya perubahan kemampuan,
penampilan, dan perilaku. Selanjutnya perubahan perilaku didasari adanya
perubahan atau penambahan pengetahuan, sikap atau keterampilannya
(Notoatmodjo, 2003). Faktor tingkat sosial ekonomi sangat mempengaruhi
perbaikan pendidikan dan perbaikan pelayanan kesehatan yang diinginkan
oleh masyarakat. Menurut Effendy (1998), dalam Marliana (2011) bahwa
“Rata-rata keluarga dengan sosial ekonomi yang cukup baik akan memiliki
tingkat pendidikan dan sarana kesehatan yang bagus dan bermutu.
Sedangkan faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang besar dalam
pendidikan seseorang seperti contoh orang yang berada dalam lingkungan
keluarga yang mendukung serta mengutamakan pendidikan mereka akan
lebih termotivasi untuk belajar sehingga pengetahuan yang mereka peroleh
20
akan lebih baik dibandingkan dengan seseorang yang keluarganya tidak
mendukung untuk merasakan bangku sekolah”.
3) Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari
seseorang terhadap stimulus atau objek. Dalam Notoatmodjo (2012),
beberapa batasan lain tentang sikap ini dapat dikutipkan sebagai berikut.
“An individual’s social attitude is a syndrome of response
consistency with regard to social object” (Campbell, 1950).
“Attitude entails an existing predisposition to response to social
objecs which in interaction with situational and other dispositional
variables, guides and direct the overt behavior of the individual” (Cardno,
1955).
Dari batasan-batasan di atas dapat disimpulkan bahwa manifestasi
sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan
terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata
menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu
yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat
emosional terhadap stimulus social. Newcomb, salah seorang ahli
psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau
kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif
tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi
merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap itu masih
merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah
21
laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap
objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.
Skema 2.3 Proses Terbentuknya Sikap dan Reaksi (Notoatmodjo, 2012).
a. Komponen pokok sikap
Dalam bagian lain Allport (1954), dalam Notoatmodjo (2012)
menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga komponen pokok.
a) Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.
b) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
c) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang
utuh (total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan,
pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Suatu contoh
misalnya, seorang Ibu telah mendengar tentang penyakit polio
(penyebabnya, akibatnya, pencegahannya, dan sebagainya). Pengetahuan
ini akan membawa Ibu untuk berpikir dan berusaha agar anaknya tidak
terkena polio. Dalam berpikir ini komponen emosi dan keyakinan ikut
bekerja sehingga Ibu tersebut berniat mengimunisasikan anaknya untuk
Reaksi
Tingkah Laku
(terbuka)
Proses Stimulus Stimulus
Rangsangan
Sikap (tertutup)
22
mencegah supaya anaknya tidak terkena polio. Ibu ini mempunyai sikap
tertentu terhadap objek yang berupa penyakit polio.
b. Berbagai tingkatan sikap
Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai
tingkatan.
a) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan
stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dapat dilihat dari kesediaan
perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS).
b) Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap.
Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau
mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar
atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut.
c) Menghargai (valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang Ibu
yang mengajak Ibu yang lain (tetangganya, saudaranya dan
sebagainya) untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu atau
23
mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si Ibu tersebut
telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.
d) Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan
segala resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
4) Keyakinan
Keyakinan adalah pendirian bahwa suatu fenomena tau objek benar
atau nyata. Kebenaran adalah kata-kata yang sering digunakan untuk
mengungkapkan atau menyiratkan keyakinan agar terjadi perubahan
perilaku.
a. Seseorang harus yakin bahwa kesehatannya terancam.
b. Orang tersebut harus merasakan potensi keseriusan kondisi itu dalam
bentuk nyeri atau ketidaknyamanan, kehilangan waktu untuk bekerja,
kesulitan ekonomi.
c. Dalam mengukur keadaan tersebut, orang yang bersangkutan harus
yakin bahwa manfaat yang berasal dari perilaku sehat melebihi
pengeluaran yang harus dibayarkan dan sangat mungkin dilaksanakan
serta berada dalam kapasitas jangkauannya.
d. Harus ada “isyarat kunci yang bertindak” atau suatu kekuatan pencetus
yang membuat orang itu merasa perlu mengambil keputusan.
24
5) Nilai-nilai
Di dalam suatu masyarakat apa pun selalu berlaku nilai-nilai yang
menjadi pegangan setiap orang dalam menyelenggarakan hidup
bermasyarakat. Secara langsung bahwa nilai-nilai perseorangan tidak
dapat dipisahkan dari pilihan perilaku. Konflik dalam hal nilai yang
menyangkut kesehatan merupakan satu dari tantangan penting bagi para
penyelenggara pendidikan kesehatan.
2. Faktor-faktor Pemungkin (Enabling Factors)
Faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku adalah
fasilitas, sarana, atau prasarana yang mendukung atau yang memfasilitasi
terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Pengetahuan dan sikap saja
belum menjamin terjadinya perilaku, maka masih diperlukan sarana atau
fasilitas untuk memungkinkan atau mendukung perilaku tersebut. Dari
segi kesehatan masyarakat, agar masyarakat mempunyai perilaku sehat
harus terakses (terjangkau) sarana dan prasarana atau fasilitas pelayanan
kesehatan.
Misalnya, untuk terjadinya perilaku keluarga yang selalu menjaga
kesehatan keluarga, maka diperlukan alat-alat kebersihan, alat bersih, dan
sebagainya. Agar keluarga atau masyarakat buang air besar dijamban,
maka harus tersedia jamban, atau mempunyai uang untuk membeli alat-
alat kebersihan atau membangun jamban sendiri.
25
1) Kepemilikan Jamban
Jamban merupakan sarana yang digunakan manusia untuk buang
air besar. Menurut konstruksi dan cara mempergunakannya, dikenal
bermacam-macam tempat pembuangan kotoran/jamban, yaitu :
a. Jamban Cemplung
Bentuk kakus inilah adalah paling sederhana yang dapat dianjurkan
kepada masyarakat. Nama ini digunakan karena bila orang
mempergunakan kakus macam ini, maka kotorannya langsung masuk
jatuh kedalam tempat penampungan. Jamban cemplung yaitu jamban
yang penampungannya berupa lubang yang berfungsi menyimpan
kotoran/tinja ke dalam tanah dan mengendapkan kotoran ke dasar
lubang. Untuk jamban cemplung diharuskan ada penutup agar tidak
berbau (Proverawati dan Rahmawati, 2012).
b. Jamban Plengsengan
Plengsengan juga berasal dari bahasa Jawa “Melengseng” yang berarti
miring. Nama ini digunakan karena dari lubang tempat jongkok ke
tempat penampungan kotoran dihubungkan oleh suatu saluran yang
miring. Jadi, tempat jongkok dari kakus ini tidak dibuat persis di atas
tempat penampungan, tapi agak jauh.
c. Jamban Bor
Dinamakan demikian karena tempat penampungan kotorannya dibuat
dengan mempergunakan bor. Bor yang dipergunakan adalah bor tangan
yang disebut “Bor Auger” dengan diameter antara 30-40 cm. Sudah
26
barang tentu lubang yang dibuat harus jauh lebih dalam dibandingkan
dengan lubang yang digali seperti pada jamban cemplung dan kakus
plengsengan, karena diameter jamban bor jauh lebih kecil.
d. Angsatrine (Water Seal Latrine)
Jamban ini dibawah tempat jongkoknya ditempatkan atau dipasang
suatu alat yang berbentuk seperti leher angsa yang disebut bowl. Bowl
berfungsi mencegah timbulnya bau. Kotorang yang berada di tempat
penampungan tidak tercium baunya karena terhalang oleh air yang
selalu terdapat dalam bagian yang melengkung.
e. Jamban Di atas Balong (Empang)
Membuat jamban diatas balong (yang kotorannya dialirkan ke balong)
adalah cara pembuangan kotoran yang tidak dianjurkan, tetapi sulit
untuk menghilangkannya, terutama di daerah yang terdapat banyak
balong. Menurut Mubarak (2009), dalam Marliana (2011) bahwa
“Sebelum kita berhasil mengalihkan kebiasaan tersebut kepada
kebiasaan yang diharapkan, dapatkah cara tersebut diteruskan dengan
memberikan persyaratan tertentu”, antara lain :
a) Air balong tersebut jangan dipergunakan untuk mandi.
b) Letak jamban harus sedimikian rupa, sehingga kotoran manusia
selalu jatuh di air.
c) Tidak terdapat sumber air minum yang terletak di bak balong
tersebut atau yang sejajar dengan jarak 15 meter.
d) Aman dalam pemakaiannya.
27
f. Jamban Septic Tank
Jamban septic tank berasal dari kata septic, yang berarti pembusukan
secara anaerobik. Kita pergunakan nama septic tank karena dalam
pembuangan kotoran terjadi proses pembusukan oleh kuman-kuman
pembusuk yang sifatnya anerobik. Mubarak (2009), dalam Marliana
(2011) mengemukakan bahwa “Septic Tank bisa terjadi dari dua bak
atau lebih serta dapat pula terdiri atas satu bak saja dengan mengatur
sedemikian rupa (misalnya dengan memasang beberapa sekat atau
tembok penghalang), sehingga dapat memperlambat pengaliran air
kotor di dalam bak tersebut”.
2) Prasarana
Adalah alat penunjang keberhasilan suatu proses upaya yang
dilakukan didalam pelayanan publik, karena apabila kedua hal ini tidak
tersedia maka semua kegiatan yang dilakukan tidak akan dapat mencapai
hasil yang diharapkan sesuai dengan rencana.
a. Dana merupakan bentuk yang paling mudah yang dapat digunakan
untuk menyatakan nilai ekonomis dan karena dana atau uang dapat
dengan segera dirubah dalam bentuk barang dan jasa.
b. adalah pemindahan manusia, hewan atau barang dari satu tempat ke
tempat lainnya dengan menggunakan sebuah wahana yang digerakkan
oleh manusia dan atau mesin. Transportasi digunakan untuk
memudahkan manusia dalam melakukan aktifotas sehari-hari.
28
c. Fasilitas adalah segala sesuatu yang dapat mempermudah upaya dan
memperlancar kerja dalam rangka mencapai suatu tujuan.
d. Kebijakan pemerintah adalah suatu aturan yang mengatur kehidupan
bersama yang harus ditaati dan berlaku mengikat seluruh warganya.
Setiap pelanggaran akan diberi sanksi sesuai dengan bobot
pelanggarannya yang dilakukan dan sanksi dijatuhkan didepan
masyarakat oleh lembaga yang mempunyai tugas menjatuhkan sanksi.
Menurut Notoatmodjo (2005), hambatan yang paling besar
dirasakan dalam mewujudkan perilaku hidup sehat masyarakat yaitu faktor
pendukungnya (enabling factor). Dari penelitian-penelitian yang ada
terungkap meskipun kesadaran dan pengetahuan masyarakat sudah tinggi
tentang kesehatan, namun praktek tentang kesehatan atau perilaku hidup
sehat masyarakat masih rendah. Setelah dilakukan pengkajian oleh WHO,
terutama di Negara-negara berkembang, ternyata faktor-faktor pendukung
atau sarana dan prasarana tidak mendukung masyarakat untuk berperilaku
hidup sehat. Misalnya, meskipun kesadaran dan pengetahuan orang,
keluarga atau masyarakat tentang kesehatan sudah tinggi, tetapi apabila
tidak didukung oleh fasilitas yaitu tersedianya jamban sehat, air bersih,
makanan yang bergizi, fasilitas imunisasi, pelayanan kesehatan dan
sebagainya maka mereka sulit untuk mewujudkan perilaku tersebut.
29
3. Faktor-faktor Pendukung (Reinforcing Factors)
Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat
(toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk
petugas kesehatan serta dukungan keluarga. Termasuk juga disini undang-
undang, peraturan-peraturan, baik dari pusat maupun pemerintah daerah,
yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat
kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif dan
dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh (acuan) dari
para tokoh masyarkat, agama, dan para petugas, lebih-lebih para petugas
kesehatan. Di samping itu undang-undang juga diperlukan untuk
memperkuat perilaku masyarakat tersebut. Menurut Green dan Marshal
(2005), dalam Marliana (2011) bahwa “Faktor reinforcing adalah
konsekuensi dari determinan perilaku, dimana masyarakat menerima
feedback dan setelah itu ada dukungan sosial”. Faktor reinforcing dalam
penelitian ini yakni dukungan keluarga.
1) Petugas Kesahatan
Merupakan tenaga professional, seyogyanya selalu menerapkan
etika dalam sebagian besar aktifitas sehari-hari. Etika yang merupakan
suatu norma perilaku atau biasa disebut dengan asas moral, sebaiknya
selalu dijunjung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat kelompok
manusia. (Notoatmodjo, 2003).
30
2) Tokoh Agama
Adalah panutan yang merepresentasikan kegalauan umatnya dan
persoalan yang sudah diungkap oleh para tokoh agama menjadi perhatian
untuk diselesaikan dan dicarikan jalan keluarnya.
3) Tokoh Masyarakat
Adalah orang yang dianggap serba tahu dan mempunyai pengaruh
yang besar terhadap masyarakat. Sehingga segala tindak tanduknya
merupakan pola aturan yang patut diteladani oleh masyarakat.
4) Dukungan keluarga
Salah satu aspek terpenting dari perawatan adalah penekanan pada
unit keluarga. Keluarga bersama dengan individu, kelompok dan
komunitas adalah klien atau resipien keperawatan. Keluarga adalah unit
terkecil dalam masyarakat, merupakan klien keperawatan atau si penerima
asuhan keperawatan. Keluarga berperan dalam menetukan cara asuhan
yang diperlukan anggota keluarga yang sakit. Keberhasilan keperawatan di
rumah sakit dapat menjadi sia-sia jika tidak dilanjutkan oleh keluarga.
Secara empiris dapat dikatakan bahwa kesehatan anggota keluarga dan
kualitas kehidupan keluarga menjadi sangat berhubungan atau signifikan.
Keluarga menempati posisi di antara indvidu dan masyarakat
sehingga dengan memberikan pelayanan kesehatan kepada keluarga,
perawat mendapat dua keuntungan sekaligus. Keuntungan pertama adalah
memenuhi kebutuhan individu, dan keuntungan yang kedua adalah
memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam pemberian pelayanan kesehatan
31
perawat harus memerhatikan nilai-nilai dan budaya yang ada dalam
keluarga sehingga dalam pelaksanaannya kehadiran perawat dapat
diterima oleh keluarga.
a. Struktur keluarga
Struktur kekuatan keluarga meliputi kemampuan berkomunikasi,
kemampuan keluarga untuk saling berbagi, kemampuan sistem pendukung
diantara anggota keluarga, kemampuan perawatan diri, dan kemampuan
menyelesaikan masalah.
Menurut Effendy (1998), dalam Marliana (2011) bahwa “ Struktur
keluarga ada bermacam-macam diantaranya adalah :
a) Patrilineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara
sedarah dalam beberapa generasi dimana hubungan itu disusun melalui
jalur garis Ayah.
b) Matrilineal adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara
sedarah dalam beberapa generasi dimana hubungan itu disusun melalui
jalur garis Ibu.
c) Matrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal beserta bersama
keluarga sedarah istri.
d) Patrilokal adalah sepasang suami istri yang tinggal beserta bersama
keluarga sedarah suami.
e) Keluarga kawinan adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi
pembinaan keluarga, dan beberapa sanak saudara yang menjadi bagian
keluarga karena adanya hubungan dengan suami istri.
32
b. Fungsi keluarga
Menurut Friedman (1999), dalam Andarmoyo (2012) bahwa Lima
fungsi dasar keluarga adalah sebagai berikut :
a) Fungsi Efektif
Adalah fungsi internal keluarga untuk pemenuhan kebutuhan
psikososial, saling mengasuh, dan memberikan cinta kasih serta saling
menerima dan mendukung.
b) Fungsi Sosialisasi Peran
Adalah proses perkembangan dan perubahan individu keluarga,
tempat anggota keluarga berinteraksi sosial dan belajar berperan di
lingkungan sosial.
c) Fungsi Reproduksi
Adalah menjamin kelangsungan generasi dan kelangsungan hidup
masyarakat.
d) Fungsi Ekonomi
Adalah fungsi untuk pengadaan sumber dana, pengalokasian dana
serta pengaturan keseimbangan.
e) Fungsi Perawatan Kesehatan
Adalah kemampuan keluarga untuk merawat anggota keluarga yang
mengalami masalah kesehatan.
f) Fungsi Pengontrol/Pengatur
Adalah memberikan pendidikan dan norma-norma.
33
c. Jenis dukungan keluarga
Menurut Friedman (1998), dalam Marliana (2011) bahwa terdapat
empat jenis atau dimensi dukungan, yaitu:
a) Dukungan Emosional
Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat
dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi, meliputi
empati, kepedulian, dan perhatian terhadap anggota keluarga yang
masih buang air besar sembarangan misalnya umpan balik, penegasan.
b) Dukungan Penghargaan (Penilaian)
Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik
membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai sumber
dan validator identitas anggota. Yang terjadi lewat ungkapan hormat
(penghargaan) positif untuk perilaku BAB, dorongan maju atau
persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan
positif perilaku BAB dengan yang lain yaitu: Orang-orang yang
kurang mampu atau lebih buruk keadaannya (menambah penghargaan
diri).
c) Dukungan Instrumental
Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit.
Mencakup bantuan langsung seperti dalam bentuk uang, peralatan,
waktu, modifikasi, lingkungan, maupun menolong dengan pelajaran
waktu mengalami stress.
34
d) Dukungan Informatif
Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminato (penyedia)
informasi tentang dunia mencakup memberi nasehat, petunjuk-
petunjuk, sarana-sarana, atau umpan balik.
Bentuk dukungan yang diberikan oleh keluarga adalah dorongan
semangat, pemberi nasehat, atau pengawasan tentang perilaku BAB
sehari-hari. Dukungan keluarga juga merupakan perasaan individu yang
dapat perhatian, disenangi, dihargai, dan termasuk bagian dari masyarakat.
d. Hubungan dukungan keluarga dengan kesehatan
Keluarga harus dilibatkan dengan program pendidikan dan
penyuluhan agar mereka mampu mendukung usaha keluarga yang masih
buang air besar di sembarang tempat. Bimbingan/penyuluhan dan
dorongan secara terus-menerus biasanya diperlukan agar keluarga yang
buang air besar sembarangan tersebut mampu melaksanakan rencana yang
dapat diterima dan mematuhi peraturan. Brunner dan Suddart (2001),
dalam Marliana (2011) mengemukakan bahwa “Keluarga selalu dilibatkan
dalam program pendidikan sehingga mereka dapat memperingati bahwa
buang air besar sembarangan dapat berdampak penyakit-penyakit”.
35
2.4 Kerangka Teori
Skema 2.4 Kerangka Teori
Sumber : L. W Green, di dalam Notoatmodjo 2012
Faktor Predisposisi
Pengetahuan
Pendidikan
Sikap
Keyakinan
Nilai
Faktor Pemungkin
Kepemilikan
jamban
Prasarana
Faktor Pendukung
Petugas kesehatan
Tokoh agama
Tokoh masyarakat
Dukungan
keluarga
Pemanfaatan Jamban