66
BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT BALI TERHADAP PROGRAM PENDIDIKAN IPS DI SEKOLAH A. Kelangsungan dan Perubahan Masyarakat dan Kebudayaan Bali: Suatu Anali- sis Strukturalisme Banyak pakar dan budayawan menyatakan bahwa masyarakat dan budaya Bali kini berada pada keadaan transisi dengan karakteristik dualisme antara masyarakat tradisional dan masyarakat modem. Masalahnya, bagaimanakah masyarakat dan kebudayaan Bali mengelola karakteristik dualisme kehidupan tersebut? Apakah dua karakteristik kehidupan tersebut (tradisional dan modern) dianut oleh dua kelompok masyarakat yang berbeda sehingga membentuk pola struktur yang berbeda pula: antara generasi tua dan generasi muda, misalnya; atau generasi terpelajar dan generasi yang kurang pendidikannya; atau antara masyarakat dengan budaya kota versus masyarakat dengan budaya desa; dan sejenisnya. Atau, adakah telah terjadi sinkritisme sistem sosial dan budaya antara yang tradisional dan yang modem sehingga tidak lagi jelas batas-batas di antara keduanya, tetapi tetap memperlihatkan kesinambungannya dengan karakteristik sistem sosial dan budaya Bali yang tradisional. Untuk memahami masalah ini, beberapa pakar menawarkan perlunya kajian terhadap struktur dalam (deep siructure) dari struktur sosial dan budaya masyarakat Bali sebagai kenyataan sosialnya dari pada menganalisis struktur sosial masyarakat Bali itu sendiri (Bagus. 1994; Gena. 1991; Widja, 1989, 1991). Ini penting karena masyarakat Bali cenderung mengedepankan peranan ideologi dalam menata sistem kehidupan sosial dan budayanya dalam rangka menciptakan sistem tatanan masyarakat dan kebudayaan yang harmonis, selaras, dan seimbang dari pada mengacu kepada aspek-aspek struktur ekonomi material. Sejalan dengan ini salah satu teori sosial yang dapat digunakan sebagai alat analisis untuk mengkaji struktur sosial dan budaya masyarakat Bali adalah teori strukturalisme (Widja. 1989, 1991. 1993). Menurut pandangan strukturalisme, dengan Levi-Strauss sebagai tokoh sentralnya, fenomena sosial budaya yang beragam bentuk dan jumlahnya haruslah dikaji strukturnya. Yang dimaksud struktur oleh Levi-Strauss di sini adalah model yang dibuat oleh aliii antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri. Model ini merupakan relasi-relasi yang berhubungan satu sama lain atau saling mempengaruhi. Jadi struktur adalah sistem relasi dari suatu kebudayaan (Ahirasa-Putra, 2001: 61). Dengan 25

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

  • Upload
    vannga

  • View
    235

  • Download
    11

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT BALI

TERHADAP PROGRAM PENDIDIKAN IPS DI SEKOLAH

A. Kelangsungan dan Perubahan Masyarakat dan Kebudayaan Bali: Suatu Anali-sis Strukturalisme

Banyak pakar dan budayawan menyatakan bahwa masyarakat dan budaya Bali

kini berada pada keadaan transisi dengan karakteristik dualisme antara masyarakat

tradisional dan masyarakat modem. Masalahnya, bagaimanakah masyarakat dan

kebudayaan Bali mengelola karakteristik dualisme kehidupan tersebut? Apakah dua

karakteristik kehidupan tersebut (tradisional dan modern) dianut oleh dua kelompok

masyarakat yang berbeda sehingga membentuk pola struktur yang berbeda pula: antara

generasi tua dan generasi muda, misalnya; atau generasi terpelajar dan generasi yang

kurang pendidikannya; atau antara masyarakat dengan budaya kota versus masyarakat

dengan budaya desa; dan sejenisnya. Atau, adakah telah terjadi sinkritisme sistem sosial

dan budaya antara yang tradisional dan yang modem sehingga tidak lagi jelas batas-batas

di antara keduanya, tetapi tetap memperlihatkan kesinambungannya dengan karakteristik

sistem sosial dan budaya Bali yang tradisional. Untuk memahami masalah ini, beberapa

pakar menawarkan perlunya kajian terhadap struktur dalam (deep siructure) dari struktur

sosial dan budaya masyarakat Bali sebagai kenyataan sosialnya dari pada menganalisis

struktur sosial masyarakat Bali itu sendiri (Bagus. 1994; Gena. 1991; Widja, 1989, 1991).

Ini penting karena masyarakat Bali cenderung mengedepankan peranan ideologi dalam

menata sistem kehidupan sosial dan budayanya dalam rangka menciptakan sistem tatanan

masyarakat dan kebudayaan yang harmonis, selaras, dan seimbang dari pada mengacu

kepada aspek-aspek struktur ekonomi material. Sejalan dengan ini salah satu teori sosial

yang dapat digunakan sebagai alat analisis untuk mengkaji struktur sosial dan budaya

masyarakat Bali adalah teori strukturalisme (Widja. 1989, 1991. 1993).

Menurut pandangan strukturalisme, dengan Levi-Strauss sebagai tokoh sentralnya,

fenomena sosial budaya yang beragam bentuk dan jumlahnya haruslah dikaji strukturnya.

Yang dimaksud struktur oleh Levi-Strauss di sini adalah model yang dibuat oleh aliii

antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya,

yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri. Model ini

merupakan relasi-relasi yang berhubungan satu sama lain atau saling mempengaruhi. Jadi

struktur adalah sistem relasi dari suatu kebudayaan (Ahirasa-Putra, 2001: 61). Dengan

25

Page 2: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

kata lain yang dimaksud struktur di sini adalah struktur pikiran atau gagasan yang

melandasi fenomena sosial dan budaya.

Dalam analisis struktural, struktur ini dibedakan menjadi struktur lahir atau

struktur permukaan {sutface slructure) dan struktur bathin atau dalam (deep structure).

Dalam pandangan kaum strukturahs, struktur luar ini umumnya banyak mengalami

transformasi sesuai dengan fenomena sosial budaya yang beragam yang dapat diamati.

Struktur luar inilah yang memiliki relasi-relasi dalam kondisi diakronis sesuai dengan

ikatan ruang, waktu, dan keadaan, yang dalam kaidah bahasa (linguistik struktural) dinilai

memiliki struktur sintagmatis. Sebaliknya, struktur dalam cenderung disusun oleh relasi-

relasi dalam keadaan sinkronis yang dalam kaidah bahasa dinilai memiliki struktur

paradigmatis. Struktur dalam inilah yang inenujukkan landasan berpikir atau nalar logis

yang menjelaskan makna di balik fenomena sosial budaya. Karena itu, kajian sosial

budaya, menurut pandangan kaum strukturahs, harus mengkaji struktur.dalam fenomena

sosial budaya itu yang dapat dibangun dan diinterpretasi dari relasi-relasi struktur luar

yang dapat dibangunnya untuk dapat menjelaskan makna yang cenderung tidak disadari

yang terdapat di balik masalah-masalah sosial budaya yang fenomenal itu. Untuk

mengetahui struktur dalam yang cenderung tidak disadari ini, Levi-Strauss menggunakan

struktur bahasa (linguistik) sebagai alat bantunya. Penggunaan struktur atau sistem bahasa

(linguistik) oleh Levi-Strauss dimungkinkan karena bahasa merupakan kondisi bagi

kebudayaan. Dalam hubungan bahasa dan kebudayaan seperti ini struktur sosial dan

budaya masyarakat dapat dijelaskan dalam nalar logis yang mendasari masyarakat

mengembangkan struktur sosial dan budayanya. Nalar logis yang dimaksud bisa berupa

relasi-relasi logis, oposisi, korelasi, dan sejenisnya. Dari sudut pandang ini bahasa dapat

dikatakan sebagai peletak fondasi bagi terbentuknya berbagai macam struktur yang lebih

kompleks, lebih rumit, yang sesuai atau sejajar dengan aspek-aspek atau unsur-unsur

kebudayaan yang lain. Dalam mengkaji berbagai fenomena sosial budaya dalam

masyarakat yang kompleks, penggunaan struktur atau sistem bahasa dapat diperluas

analoginya menjadi struktur atau sistem simbol budaya. Inilah yaug menjadi landasan

bagi Levi-Straus untuk mengembangkan antropologi strukturahs (Ahimsa-Putra, 2001;

Kurzweil, 2004; Ritzer dan Goodman, 2004; Sperber, 2004; Storey, 2003).

Menurut Ahimsa-Putra (2001) sekurang-kurangnya ada ernpat asumsi besar yang

melandasi kajian strukturalisme Levi-Strauss atas fenomena sosial budaya sebagai gejala

bahasa Asumsi yang pertama adalah dalam strukturalisme ada anggapan bahwa berbagai

aktivitas sosial budaya dan basilnya secara formal, semuanya, dapat dikatakan atau

26

Page 3: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

dianalogikan sebagai sistem bahasa atau sebagai suatu perangkat sistem tanda atau

simbol yang menyampaikan pesan-pesan tertentu (Ahimsa-Putra, 2001:67-68; Kurzweil,

2004; Ritzer dan Goodman, 2004; Sperber, 2004; Storey, 2003).

Kedua, ada anggapan juga bahwa setiap manusia normal dikaruniai kemampuan

genetis untuk membuat atau menyusun struktur atau menstruktur segala gejala-gejala

yang diamati. Terhadap gejala-gejala yang diamati ini manusia mampu inenciptakan

struktur luar dan struktur dalam, yang pada dasarnya menciptakan sistem relasi baik pada

struktur luar dan struktur dalamnya maupun dalam relasi-relasi antara relasi struktur luar

yang transformatif dan relasi struktur dalam yaug teratur dan taat azas (Ahimsa-Putra.

2001 ;68-69; Kurzweil, 2004; Ritzer dan Goodman, 2004; Sperber, 2004; Storey, 2003).

Ketiga, mengikuti jejak kaum linguistik struktural, dalam menganalisis fenomena

budaya sebagai sistem bahasa/simbol, pandangan strukturalisme Levi-Strauss cenderung

mengutamakan analisa relasi-relasi sinkronis dari fenomena budaya dari pada analisa

relasi-relasi diakronisnya. Ini tidak berarti bahwa relasi-relasi diakronis diabaikan, karena

baik relasi-relasi sinkronis maupun diakronis adalah saling bertergantungan (Ahimsa-

Putra, 2001:69-70; Kurzweil, 2004; Ritzer dan Goodman. 2004; Sperber, 2004; Storey,

2003).

Keempat, memahami makna struktur dalam yang bekeija atas suatu fenomena

sosial budaya, menurut pandangan strukturalis. dapat diperas atau digeneralisasikan

secara abstrak dalam bentuk relasi-relasi oposisi biner/berpasangan baik yang bersifat

eksklusif maupun yang tidak eksklusif (Aliimsa-Putra, 2001; 70-72; Kurzweil, 2004;

Ritzer dan Goodman, 2004; Sperber, 2004; Storey, 2003).

Menggunakan cara berpikir analisis strukturalisme Levi-Strauss ini dalam

mengkaji struktur atau sistem sosial budaya masyarakat Bali dalam dinamikanya dapat

dilakukan pertama dengan melihat struktur dalam (deep siructure) yang melandasi

struktur sosial budaya masyarakat Bali yang berfenoinena. Struktur dalam ini akan

dijelaskan dalam abstraksi oposisi biner dan sistem relasi-relasi yang dapat dijelaskan

baik pada tataran relasi sinkronis maupun diakronisnya. Penemuan gagasan atau

pemikiran yang menggambarkan struktur dalam sistem sosial dan budaya Bali ini

didasarkan pada beberapa pendapat para ahli tentang masyarakat dan kebudayaan Bali

(Bagus, 1994; Geria ,1991; Widja, 1989,1991,1993; Sujana. 1994, 2004).

27

Page 4: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

1. Arti penting konsep rwa-bhineda dalam kehidupan masyarakat Bali

Orang Bali sangat percaya bahwa kehidupan sosial di dunia ini diatur dan terikat

oleh hukum rwa-bhineda. Konsep berpikir ini menjelaskan bahwa kehidupan manusia di

dunia ini selalu terikat dengan dua klasifikasi yang beroposisi (oposisi biner). Tetapi, ini

tidak sepenulmya menunjukkan hubungan yang eksklusif melainkan sebagian bersifat

komplementer; dalam arti bahwa masing-masing sisi kehidupan itu adalah bagian dari

keseluruhan untuk meiiciptakan keseimbangan dalam kehidupan sosial dan tatanan jagad

raya ini (Swellengrebel, 1960:41). Dengan cara berpikir seperti ini orang Bali percaya

bahwa kehidupan ini tidak lepas dari ikatan-ikatan: buana agung-buana alit, hulu luan-

teben, suci-leleh, purusa-predana, baik-buruk, dharma-adharma, bahagia-menderita,

hidup-mati, sehat-sakit, dan sebagainya (Widja, 1989,1991).

Pola berpikir seperti ini ternyata membentuk pola struktur sosial dan budaya

masyarakat Bali. Pertama, orang Bali meyakini bahwa hidup sebagai manusia di jagad

raya ini tidak lepas dari ikatan konsep buana agung dan buana alit. Kedua unsur dunia ini

diyakini ikut mempengaruhi sifat karakter dan tindakan manusia. Buana agung dalam hal

ini melambangkan kekuatan alam semesta yang lebih besar karena kekuasaan Tuhan

Yang Maha Esa (Ida Sang ffyang Widhi Waca). Sedangkan buana alil melambangkan

kekuatan unsur-unsur dalam diri manusia. Karena kekuatan unsur alam semesta (kosmik)

ini manusia haruslah selalu mengliidupkan kekuatan dua unsur dunia ini agar memperoleh

rahmat keliidupan yang baik, bahagia, sehat, dan sejahtera. Mengabaikan salah satu di

antaranya dipercaya akan menimbulkan ketidakseimbangan yang bermuara pada

penderitaan, mala petaka, penyakit, dan ketidakbahagiaan (Atmadja, 1998).

Pada tingkat struktur permukaan adanya dua kekuatan kosmik ini mengatur

hubungan manusia Bali dengan lingkungannya, dengan dirinya sendiri, dengan

masyarakatnya, dan dengan kekuasaan supranatural, kekuasaan para dewaIbetara,

kekuasaan adikodrati, Yang Maha Tunggal, yakni kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.

Dalam hubungan-hubungan ini di tingkat struktur permukaan, relasi-relasi yang terbentuk

secara konsisten menunjukkan adanya oposisi biner ini.

Perlu diketahui juga bahwa dalam pemikiran seperti ini sifat hubungan manusia

Bali yang rwa-bhineda dengan lingkungan buana aki dan buana agung, di samping

memiliki relasi yang sejajar karena masing-masing bersifat komplementer, tetapi tidak

dapal dipungkiri pula bahwa hubungan antara buana alit dan buana agung juga bisa

bersifat subordinasi. Artinya, hubungan manusia dengan kekuasaan buana agung

dianggap lebih utama/superior dari pada hubungannya dengan kekuasaan buana alil.

28

Page 5: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

Dalam hal ini buana agung dianggap dapat menguasai buana alit dan tidak sebaliknya.

Sifat relasi-relasi seperti inilah yang nanti tampak akan dijelaskan konsistensinya pada

adanya hubungan konsep-konsep kaja-kelod (utara-selatan) atau kangin-kauh (timur-

baral), hulu-leben (atas-bawah), suci-leleh (suci-kotor), segara-gunung (laut-gunung),

purusa-predam, laki-laki-perempuan, dharma-adharma (kebajikan-kejahatan), cubha-

acubha karma (perbuatan baik-buruk), dan sejenisnya yang mengatur tatanan kehidupan

sosial budaya masyarakat Bali.

Secara geografis, daratan pulau Bali didominasi oleh daerah pegunungan yang

membentang di bagian tengah pulau Bali dari barat sampai ke timur. Membentangnya

daerah pegunungan ini telah membagi dua wilayah pulau Bali yaitu wilayah Bali selatan

sebagai daerah pertanian dan pantai yang subur dan wilayah di balik pegunungan yang

disebut dengan daerah Den Bukit (daerah kabupaten Buleleng). Kondisi ini memiliki arti

penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Dalam konsep rwa-bhmeda pembagian daerah

dataran rendah dan daerah pegunungan ini telah memunculkan konsep kaja dan kelod.

Konsep kaja mengacu pada daerah gunung/bukit dan daerah kelod mengacu pada daerah

pantai. Di samping itu, masyarakat Bali juga mengenal konsep kangin-kauh. Kangin

merupakan arah matahari terbit, dan kauh mengacu pada arah matahari terbenam.

Keadaan ini berimplikasi pada perbedaan penataan lingkungan fisik, sosial, dan

religius antara masyarakat Bali selatan dengan masyarakat Den Bukil. Ini karena

masyarakat Bali menempatkan gunung sebagai daerah hulu luan karena sebagai tempat

bersemayamnya para dewa; dan daerah pantai sebagai daerah leben. Dua konsep ini

menimbulkan pula konsep suci dan leleh serta berbagai dampak yang ditimbulkannya.

Karena itu, arah kaja-kangin (utara-timur/timur laut) dianggap sebagai arah daerah yang

suci, sedangkan arah kelod-kauh (selatan-barat/barat daya) sebagai arah yang profan/tidak

suci. Tidak mengherankan kemudian bahwa dalam struktur keluarga dan masyarakat

desa/banjar adai di Bali, tempat suci atau pura keluarga dan pura desa umumnya

diletakkan di bagian kaja-kangin dari lingkungan keluarga atau desa adat sebagai daerah

/w/w/suci. Sebaliknya, wilayah untuk kepentingan profan seperti pembuatan wilayah

peternakan atau pertanian, atau kuburan, dan di lingkungan keluarga sebagai tempat

beternak, dapur, dan kamar mandi umumnya diletakkan di bagian kelod-kauh lingkungan

keluarga atau desa adat sebagai daerah leben leleh. Sesuai dengan konsep hulu-leben ini

juga orang Bali umumnya memandang daerah atau wilayah sebatas kepala orang dewasa

ke atas dianggap sebagai daerah huluisuci, dan daerah sebatas perut ke bawah dianggap

sebagai wilayah lebenleleh. Karena itu, dianggap menyalahi aturan jika orang Bali

29

Page 6: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

meletakkan barang-barang atau benda-benda yang profan berada di atas kepala manusia.

Begitu pula sebaliknya, dilarang untuk menempatkan benda-benda suci atau sakral berada

di bawah.

Konsep hulu dan teben ini juga memiliki implikasi pada penataan hubungan di

dalam keluarga antara anak dan orang tua, antara anggota keluarga yang masih hidup

dengan leluhur-Ieluhumya, hubungan antar stratifikasi sosial (kasta), dan hubungan antara

perempuan dan laki-laki. Secara lebih luas hubungan-hubungan ini bahkan menjelaskan

hubungan-hubungan antara keluarga (ku re n) dengan dadia, hubungan dadia dengan

sorohiV\m\, hubungan keluarga dengan banjar!desa adat, hubungan desa adat dengan desa

dinas, hubungan masyarakat lokal Bali sebagai satu kesatuan dengan masyarakat bangsa

Indonesia, hubungan masyarakat dengan lingkungannya, dan hubungan masyarakat Bali

dengan masyarakat global.

Dalam hubungan antara anak dengan orang tuanya, orang Bali meyakini bahwa

antara anak dan orang tua, di samping menjalin hubungan kesejajaran yang bersifat

komplementer, hubungan itu juga bersifat sub-ordinalif. Dalam hal ini anak haruslah

setia, hormat, dan patuh kepada orang tuanya, karena orang tua adalah guru rupaka yang

sama kedudukannya dengan para dewa bagi anak. Apa yang dipikirkan, dikatakan, dan

dilakukan orang tua pada dasarnya haruslah dianggap baik oleh anak dan menjadi

kewajiban anak untuk menjaga kehormatan orang tuanya.

Hubungan subordinatif dan komplementer antara anak dan orang tua seperti ini

tampak secara sosial dan religius dalam pelaksanaan upacara daur kehidupan. Orang tua,

dalam hal ini, berkewajiban menyelenggarakan seluruh upacara yadnya daur kehidupan

hingga anak-anaknya mencapai tingkat kedewasaan. Melalui upacara yadnya ini

sesungguhnya orang tua mendidik anak-anaknya untuk menjadi dewasa, cerdas,

berkepribadian, dan terampil baik secara pribadi, sosial, maupun religius. Sebaliknya,

anak berkewajiban menyelenggarakan upacara ngaben bagi orang tuanya yang sudah

meninggal. Melalui upacara ini ditanamkan konsep anak membayar hutang kepada orang

tuanya dan menyembah serta mendoakan orang tuanya agar dapat kembali bersatu dengan

Sang Paruma A iman. Tujuan ini akan lebih mudah dicapai jika anak benar-benar bisa

menjadi siipulra bagi orang tuanya.

Hubungan antara anak dengan orang tua tidak sebatas pada saat orang tua masih

hidup. Hubungan tersebut terus berlangsung bahkan setelah orang tua meninggal. Di sini,

orang tua yang sudah meninggal beserta leluhur-leluliur terdahulunya dipersonifikasikan

dalam kehidupan di alam nirwana (alam para dewa). Untuk menjaga hubungan antara

30

Page 7: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

anak dengan orang tua yang sudah meninggal dan para Ieluhur-Iduhur sebelumnya

dibuatkanlah tempat persemayaman roh mereka yang telah disucikan di tempat pemujaan

keluarga baik di purai sanggah keluarga atau di pura dadia atau di pura kawitan.

Hubungan yang terus berlanjut seperti di atas secara niskala (transenden),

menjelaskan pula terbentuknya level hubungan geneologis keluarga-keluarga di Bali dari

struktur keluarga sebagai satu kureti (keluarga inti), keluarga Iunggalin sanggahfnaiah

(keluarga luas dalam satu kompleks lingkungan keluarga), keluarga tunggalin dadia

(keluarga luas, gabungan dari beberapa keluarga tunggc.Un nataksanggah), keluarga

iunggalin kawitan (keluarga luas dari satu garis leluhur), dan keluarga iunggalin

soroh'wangsa (keluarga luas dari satu garis leluhur yang membedakan kasta).

Keseluruhan tingkatan keluarga inilah sesunggulmya pula yang membentuk sistem

kekerabatan di Bali yang berkembang umumnya menurut garis keturunan laki-laki

(patrilinial). Susunan seperti ini juga yang merupakan salah satu pembentuk organisasi

sosial di Bali yang kompleks berdasarkan sistem kekerabatan, di samping adanya

orgamsasi sosial berdasarkan wilayah teritorial adat (banjar adat dan desa adat) serta

organisasi sosial secara sukarela atas dasar kepentingan tertentu yang disebut seka.

Adanya hubungan kekeluargaan dalam tingkatan-tingkatan keluarga menurut garis

keturunan patrilinial ini jelas masih menunjukkan adanya hubungan konsep hulu dan

teben dalam praktik sistem kekerabatan dan sistem sosial di Bah. Di sini kawilan (asal

mula) dapat dipandang sebagai hulu dari keluarga-keluarga inti di Bali. Sebaliknya,

keluarga-keluarga inti adalah tekennya. Karena hulu mengandung konsep kesucian

(menjadi bagian dari kekuasaan buana agung) dan leben mengandung konsep profan dan

menjadi bagian kekuasan buana alit, maka hubungan yang terbentukpun konsisten dengan

nilai-nilai tersebut. Di sini keluarga-keluarga inti menunjukkan hubungannya dengan

kawitan melaui upacara-upacara suci dan pewarisan tulai-nilai keutamaan keluarga.

Sebaliknya, keluarga-keluarga inti menerima warisan peninggalan-peninggalan keluarga

(umumnya tanah dan beberapa bentuk kekayaan keluarga lainnya) untuk kepentingan

kelangsungan hidup keluarga-keluarga inti tersebut.

Dengan sistem kekerabatan dan pewarisan yang mengandung unsur hubungan

hulu dan ieben seperti ini, masyarakat Bali juga tidak bisa dihindarkan dari klasifikasi dan

stratifikasi sosial menurut wangsa atau kasla. Secara liistoris, agama Hindu Jawa yang

mempengaruhi sistem sosial dan budaya masyarakat Bali telah melahirkan sistem kasta

itu yang menggolongkan masyarakat Bali menjadi dua kelompok kasta, yaitu kelompok

masyarakat iri wangsa (brahmana. ksairya, dan waisya) sebagai kelompok kasta/wangsa

31

Page 8: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

hulu dan kelompok masyarakat sudra wangsa sebagai kelompok wangsa leben. Walau

ajaran Hindu di dalam Weda sendiri sesungguhnya tidak mengajarkan adanya sistem

kasta ini, melainkan sebagai sistem warna (pengelompokan berdasarkan swadliarma atau

bidang profesi), adanya sistem kekerabatan dan pewarisan nilai-nilai keluarga dengan

sistem relasi-relasinya sebagaimana digambarkan di atas tidak bisa menghindarkan

masyarakat Bali dari penerapan sistem kasta ini. Ini adalah penciptaan stratifikasi dan

status sosial berdasarkan azas karma dan kelahiran {karma and jali-based). Hubungan

patron-klien yang menunjukkan relasi hulu-leben antara kelompok sudra dengan

kelompok iri wangsa ini juga tampak dan makin diperkuat dengan penggunaan bahasa

Bali dalam komunikasi sosial di Bali di mana bahasa Bali menganut sistem sor-singgih

bahasa (Beralha, 1993).

Konsep rwa-bhineda yang memberikan makna relasi-relasi yang ambivalen juga

mendasari praktik relasi gender dalam struktur sosial dan budaya masyarakat Bali. Di sini

kali-laki dan perempuan tidak saja dibedakan secara fisik biologis, tetapi juga dibedakan

secara sosio-budaya dan religius. Laki-laki di sini adalah representasi para Dewa

(kekuatan purusa) yang berkuasa di kahyangan (buana agung hulu luhur), sedangkan

perempuan adalah representasi para dewi (kekuatan predana) yang berkuasa di bumi

(buana ulit teben leleh). Walau relasi Dewa/Dewi, begitu pula representasinya: laki-

laki/perempuan, menunjukkan relasi komplementer, relasi hulu-leben (purusa dan

predana) juga menjadi karakteristiknya. Laki-laki sebagai representasi Dewa (purusa)

adalah sebagai penguasa, pemimpin, dan penerus; sedangkan perempuan sebagai

representasi para Dewi (predana) adalah pemelihara, perawat, dan pemberi cinta kasili

(Branson dan Branson, 1988).

Secara fisik biologis, laki-laki dan perempuan dibedakan. Laki-laki adalah

pemberi benih kepada perempuan. Sebaliknya, perempuan mengalami menstruasi yang

dinilai sebagai darah yang kotori leleh. Di samping itu, perempuan juga melaksanakan

peran-peran biologis yang lain, vaifu: mengandung benih laki-laki, melahirkannya,

menyusui, dan merawatnya. Berpadunya relasi-relasi fisik biologis antara laki-laki dan

perempuan yang bersifat komplementer seperti ini dengan relasi-relasi gender dalam

representasi dewa-dewi di atas telah menciptakan perbedaan peran gender pada laki-laki

dan perempuan di Bali dalam relasi-relasi superordinasi untuk laki-laki dan subordinasi

untuk perempuan (Pusat Studi Wanita UNUD (1996).

Sebagai representasi para Dewa yang berkuasa di kahyangan, laki-laki dapat

mempunyai peran sebagai pemimpin agama karena dua alasan. Pertama, laki-laki sebagai

32

Page 9: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

representasi para dewa adalah simbol kebijaksanaan. Hanya orang-orang bijaksana yang

bisa menjadi pemimpin agama. Kedua, hanya laki-lakilah yang bisa memediasi

kepentingan manusia di bumi dengan kekuasaan para Dewa di kahyangan suci, karena

laki-laki menjadi simbol kesucian (tidak mengalami menstruasi). Perempuan tidak bisa

menjadi pemimpin agama, dan, karena itu, tidak bisa memediasi kepentingan manusia

dengan kekuasaan para dewa di kahyangan suci, karena dianggap memiliki

ke/eie A Wketidaksucian akibat menstruasi (darah kotor) yang dikandungnya (Pusat Studi

WanitaUNUD, 1996). Teori ini memang tidak berlaku sepenulmya, karena hanya laki-laki

yang memenuhi persyaratan yang dapat menjadi pemimpin agama. Sebaliknya, jika tidak

ada laki-laki yang dapat memneuhi syarat menjadi pemimpin, perempuan tertentu yang

memuhi syarat juga bisa menggantikan peran laki-laki.

Laki-laki, secara sosial politik, juga bisa menjalankan tugas-tugas sebagai

pemimpin masyarakat, karena laki-laki adalah representasi para dewa yang bijaksana dan

penguasa alam semesta. Menjadi kewajiban laki-lakilah untuk memimpin dunia ini

sebagai perpanjangan tangan kekuasaan para dewa di bumi. Sebaliknya, perempuan

sebagai representasi para Dewi di bumi mempunyai tugas-tugas pelayanan, perawatan,

pemeliharaan, penerus keturunan, dan pemberi cinta kasih (Branson dan Branson, 1988).

Masyarakat Bali modern sekarang ini tidaklah terstruktur hanya dalam sistem-

sistem kekerabatan, sistem stratifikasi sosial dalam sistem kasta, dan sistem gender saja,

melainkan juga terstruktur dalam organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan

berdasarkan wilayah teritorial adat, organisasi sistem pertanian (subak), dalam struktur

sosial politik kenegaraan dan pemerintahan, dan dalam organisasi-organisasi sosial

kemasyarakatan modem berdasarkan profesi Dalam hal-hal inipun konsep rwa-bhinneda

tidak bisa diabaikan dalam menciplakan relasi-relasi makna. Dalam hubungannya dengan

organisasi adat, masyarakat Bali mengenal banjar dan desa adat. Umumnya organisasi

banjar adalah bagian dan desa adat. Secara kosmologi, Swellengrebel (1960) menilai

bahwa konsep desa adat merupakan wilayah hutukaja, sedangkan konsep banjar

merupakan wilayah teben kelod. Dengan hubungan seperti ini organisasi banjar umumnya

lebih mengacu kepada kegiatan administratif gotong royong, dan aktivitas sosial

ekonomi, karena pengaruh administratif kekuasaan raja-raja Bali-Jawa di masa lampau.

Sedangkan organisasi desa adat lebih mengacu kepada aktivitas-aktivitas sosio-religius.

Ini karena desa adat juga menyungsung pura kahyangan tiga (pura Desa/Bale Agung,

Puseh, dan Dalem) sebagai pusai aktivitas ritual keagamaan desa adat. Hubungan antara

banjar yang lebih berorientasi pada aktivitas-aktivitas keduniawian dan desa adat yang

33

Page 10: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

lebih berorientasi kepada aktivitas-aktivitas sosial religius inilah menunjukkan bahwa

keduanya tampak saling melengkapi tetapi juga mengandung makna relasi ordinasi, di

mana banjar menjadi sub-ordinasi dari desa adat.

Begitu pula yang terjadi pada organisasi sosial subak di Bali. Secara organisasi,

subak berada di luar banjar atau desa adat. Karena itu, organisasi subak bisa melibatkan

orang-orang atau petani-petani dari beberapa banjar atau desa adat. Sebagai satu

organisasi adat, subak juga memiliki klian subak, cfHvg-tfw/g/aturan subak, dan pura

sungsungan subakfyw*. bedugul. Secara sekala, organisasi ini memang merupakan

organisasi yang mengelola sistem irigasi pada lahan-lahan pertanian di Bali. Tetapi,

secara niskala, organisasi subak juga memiliki pusat aktivitas sosio-religius pada pura-

pura subabbedugukiydL.

Akhirnya, sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia, masyarakat Bali juga

adalah masyarakat Indonesia. Secara sosial politik masyarakat Bali tampaknya juga

mengembangkan relasi-relasi kekuasaan sosial politik yang sama dengan model yang

telah dijelaskan terdahulu. Bagi masyarakat Bali, secara sosial politik dapat dikatakan

bahwa mereka umumnya menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas

kepentingan kelompok, suku, dan agama. Widja (1991), mengutip Last, menyatakan

bahwa masyarakat Bali menempatkan kepentingan Indonesia pertama dan kepentingan

Bali sebagai kedua. Dalam kerangka pemikiran strukturalisme, masyarakat Bali dalam

wilayah kekuasaan buwana alit menempatkan wacana kepentingan nasional sebagai

bagian dari wilayah kekuasaan buwana agung, dan, karena itu, nilai-nilai nasionalisme

memberikan nilai-nilai transendental yang merupakan nilai-nilai supranatural yang

diyakini dalangnya dari nilai-nilai kesucian para dewa. Nilai-nilai ini harus ditempatkan

di hulwluan kepentingannya untuk diimplementasikan dibandingkan kepentingan

masyarakat Bali sendiri yang cakupannya lebih kecil, yang dianggap berada di wilayah

leben, agar menciptakan keseimbangan pada tataran kesemestaan yang lebih luas

(makrokosmos). Memang ini bukanlah satu-satunya penjelas mengapa orang Bali

menempatkan kepentingan nasional berada di atas kepentingan masyarakat lokal Bali

sendiri. Secara historis, berpindahnya orientasi kekuasaan sosial politik dari tangan raja-

raja di Bali sebagai wakil atau manifestasi kekuasaan para dewa kepada pemerintahan

nasional yang telah disepakati bersama dalam pembentukan negara dan pemerintahan

Indonesia, telah menyebabkan masyarakat Bali memposisikan nilai-nilai utama

keawalaraan Wisnu dalam penjelmaanNya di dunia sebagai raja-raja menjadi nilai-nilai

keutamaan nasionalisme sebagai nilai-nilai transendental yang dapat menyatukan dan

34

Page 11: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

bermasyarakat dan berbangsa Indonesia.

menciptakan keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan dalam tata

Pola berpikir seperti ini tampaknya terjadi pula dalam menempati

orang Bali dalam tatanan kehidupan global di mana nilai-nilai lat iwam asi

menjadi cerminan nilai-nilai utama dalam upaya menjalin hubungan yang harmonis antara

masyarakat Bali sebagai kekuatan buwana alit dengan kekuasaan nilai-nilai global yang

mencerminkan kekuatan kekuasaan buwana agung (Widja, 1989,1991).

Dari berbagai penjelasan di atas tampaklah bahwa secara struktural masyarakat

Bali terikat pada berbagai jenis dan tingkatan kategori sosial yang makin kompleks.

Semua jenis kategori lingkungan sosial yang telah dijelaskan di atas pastilah telah

dimasuki oleh masyarakat Bali dalam kehidupan sosialnya. Dengan kata lain, secara

tradisional, seorang manusia Bah sejak lahir haruslah mengorientasikan dirinya pada

sejumlah kategori sosial baik secara geneologis, teritorial, maupun karena kekuasaan

sosial politik. Ini tentu memainkan peranan yang besar dalam dialektika dan dinamika

masyarakat Bali dalam membentuk proses identifikasi dirinya sesuai dengan dinamika

konsep rwa-bhinedu. Sebagai McKean (1973:32) menyatakan: "for a Balinese, personal

identity i s ihe sum lolal o fall 'terikal' (bortd), relaiionships, of affinittes and bonds lo kin,

lemple, volunlary association, hamlel, tille group, andso on.

2. Ideologi Tri Hita Karam sebagai Core Values Masyarakat Hindu Bali

Di samping bentuk-bentuk relasi oposisi biner yang membagi kategori sosial

menjadi dua klasifikasi yang saling bertentangan tetapi juga saling komplementer dalam

menciptakan hukum keseimbangan alam semesta dan kehidupan sosial seperti telah

dijelaskan di atas, masyarakat Bali juga memiliki cara pandang yang membagi kategori-

kategori sosial menjadi tiga klasifikasi sebagai satu kesatuan yang juga bersifat

komplementer. Pembagian tiga kategori ini karena masyarakat Bali memasukkan satu

kategori yang memediasi pertentangan yang terjadi antara dua kutub oposisi biner untuk

landasan mencapai titik keseimbangan tersebut. Namun demikian ini tidak

menghilangkan sifat hukum ma-bhineda itu sendiri dalam rangka menciptakan

keseimbangan dan harmoni tersebut.

Seperti di dalam konsep dualitas rua-bhtneda di atas, pembagian tiga kategori ini

juga menemukan ekspresinya dalam banyak aspek kehidupan sehari-hari masyarakat Bali.

Salah satu konsep yang paling utama adalah ideologi Tri Hiia Karana.

35

Page 12: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

Ideologi Tri Hiia Karana secara historis merupakan warisan ajaran Maha Mpu

Kuturan yang secara tradisi dipahami sebagai peletak dasar desa pakraman (desa adat di

Bali) dalam tatanan kehidupan masyarakat Bali sejak abad ke 11 (SARAD, 2002). Dari

konsep desa pakraman inilah, yang kemudian dikaitkan pula dengan konsep pura

kahyangan liga atau pura kahyangan desa, melahirkan konsep Tri Hila Karana sebagai

tatanan harmoni hidup manusia dengan alam lingkungan, sesama, dan Tuhan Yang Maha

Esa. Konsep ini juga merupakan konsep keseimbangan antara pemenuhan kepentingan

materi dan kepentingan individu dengan kepentingan sosial dan kepentingan spiritual

yang disiapkan Mpu Kuturan sebagai proteksi terhadap kepentingan eksistensi agama

Hindu di Bali (Titib, 2002).

Secara terminologi, konsep Tri Hila Karana berasal dari kata iri yang berarti tiga;

hiia yang berarti sejahtera, bahagia, rahayu; dan karana yang berarti sumber penyebab.

Jadi iri hila karana berarti tiga sumber penyebab adanya kesejahteraan, kebahagiaan, dan

kerahayuan daJain hidup dan kehidupan semua makhluk ciptaan Tuhan (Sudarma, 1971;

Kaler, 1983). Ketiga penyebab kebaliagiaan hidup itu adalah apabila dapat terwujud

hubungan yang harmonis antara manusia dengan penciptanya (Tuhan Yang Maha Esa),

manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan lingkungan alanuiya.

Tri Hila Karana ini kemudian berkembang menjadi ajaran keserasian, keselarasan,

keseimbangan, dan sekaligus juga tentang ketergantungan satu sama lainnya dalam satu

sistem kehidupan. Dikatakan demikian, karena, dalam pandangan masyarakat Hindu Bali,

masyarakat selalu berusaha bersikap seimbang terhadap alam sekitarnya. Hal itu dilandasi

oleh satu kesadaran bahwa alam semesta adalah kompleksitas unsur-unsur yang satu sama

laiiuiya terkait dan membentuk suatu sistem kesemestaan. Dengan demikian nilai utama

masyarakat Hindu Bali adalah keseimbangan atau keselarasan itu sendiri (Dharmayudha

dan Cantika, 1991:6).

Prinsip utama keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan,

sesamanya, dan dengan lingkungan alamnya ini menjadi pandangan dunia masyarakat

Bali, baik dalam mengembangkan sistem pengetahuannya, pola-pola perilaku, sikap,

nilai-nilai, tradisi, seni, dan sebagainya. Pandangan ini sangat berguna bagi masyarakat

Bali dalam usaha memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah-masalah kehidupan

yang dihadapi baik dalain hubungan antar individu maupun kelompok. Karena prinsip-

prinsip utama ini menjadi dasar bagi pembinaan dan pengembangan sikap, nilai-nilai,

perilaku, serta pola hubungan sosial masyarakat Bah, dan prinsip-prinsip ini

terinternalisasi serta terinstitusionalisasi dalam struktur sosial kehidupan masyarakat Bah,

36

Page 13: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

maka dapatlah dikatakan bahwa nilai-nilai dari ideologi Tri Hila Karma ini menjadi core

values dalam kehidupan budaya masyarakat Bali itu sendiri. Core velues ini dapat juga

menjadi basis bagi standar yang digunakan institusi-institusi utama seperti keluarga,

kelompok kekerabatan, dan desa adai di Bali mengevaluasi anggota-anggotanya. Standar

inilah yang menjadi kriteria untuk memberikan kesempatan kepada setiap insan manusia

Bali mencapai kemajuan dan memperoleh reward dari sikap dan tindakannya di

masyarakat.

Implikasi dari adanya pandangan yang mengandung core values seperti di atas,

unsur-unsur dalam struktur sosial yang membangun masyarakat Bali menerapkan prinsip-

prinsip Tri Hila Karana itu sesuai dengan lingkungan keludupannya. Pada tataran

individu, manusia Bali sebagai lingkungan dunia mikrokosmos (buana alit), misalnya,

diyakini bahwa kehidupan manusia merupakan wujud yang dinamis dari gerak hubungan

unsur-unsur alman (jiwa), prana (tenaga, kekuatan), dan sarira (unsur badan kasar)

(Kaler, 1983). Berdasar dan setangkup dengan itu maka pranata-pranata sosial masyarakat

Bali yang lebih luas sebagai lingkungan dunia makrokosmosnya, dari organisasi keluarga

sebagai pranata sosial yang terkecil, kelompok kekerabatan (klen), desa adat, organisasi

subak, liingga masyarakat Bali secara keseluruhan, menerapkan pola yang sama dalam

menciptakan hubungan yang harmonis dari ketiga unsur di atas dalam membangun pola

aktivitas budaya sehari-hari melalui peneguhan pelaksanaan konsep-konsep parhyangan,

pawongan, dan palemahan (Gorda, 1996).

Melalui konsep parahyangan, manusia dan masyarakat Bali meyakini bahwa

segala yang ada di dunia ini termasuk manusia adalah bersumber dari dan, karena itu,

pasti akan kembali menghadap kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kesadaran ini mendorong

manusia dan masyarakat Bali untuk meningkatkan c rada dan bhakti (iman dan taqwa)

kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Waca sesuai dengan ajaran-ajaran agama, keyakinan,

serta tradisi yang dianutnya. Tidak mengherankan karena itu pada setiap lingkungan

pranata sosial di Bali selalu ada di bangun tempat suci untuk memuliakan Tuhan sebagai

wahana bagi manusia berhubungan dengan Tuhan. Begitu pula diyakini bahwa segala

produk budaya dan peradaban manusia dan masyarakat Bali diciptakan adalah sebagai

persembahan kepada Tuhan atau kepada para Dewa yang seiing disebut dengan yadnya.

Ini dapat kita lihat, misalnya, dari makna-makna simbolik yang religius dominan

bersembunyi dan terkandung pada pelaksanaan yadnya, aktivitas tradisi atau adat, serta

hasil-hasil karya budaya dan kesenian Bali (Dhannayudha dan Cantika, 1991; Gorda,

1996; Sudiasa, 1992).

37

Page 14: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

Melalui konsep pawongan, selanjutnya, manusia dan masyarakat Bali meyakini

bahwa pada hakikatnya manusia itu sama sebagai makhluk dan hamba Tuhan yang

berbudaya, dan, karena itu, perlu dikembangkan sikap saling usah, asih, dan asuh serta

bekerja sama demi tujuan hidup manusia bersama sebagai makhluk sosial (Abdulsyani,

1987). Prinsip ini relevan dengan ajaran Hindu dalam Weda yang menjadi dasar

keyakinan masyarakat Hindu Bali, yaitu ajaran tentang Tai Twam Asi yang secara harfiah

berarti "ia adalah kamu juga". Dengan ajaran Tai Twam Asi ini dimaksudkan bahwa

sesungguhnya semua manusia itu adalah satu dan sama sebagai makhluk Tuhan. Karena

itu, diyakini bahwa menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan menyakiti

orang lain berarti menyakiti diri sendiri pula (Mantra, 1993; Parisada Hindu Dhanna,

1968).

Dalam praktiknya, terutama di lingkungan keluarga, ajaran ini terefleksi dalam

pelaksanan upacara manusa yadnya, pitra yadnya, dan rsi yadnya. Dengan upacara

manusa yadnya, orang tua mewujudkan rasa syukurnya kehadapan Tuhan Yang Maha Esa

karena telah dikarunia anak-anak, dan, karena itu, mereka memiliki kewajiban untuk

membesarkan dan mendidik anak-anak mereka sehingga menjadi anak-anak supuira

(anak-anak yang baik). Sebaliknya, anak-anak memiliki kewajiban untuk hormat dan

membayar hutang terakhir kepada orang tua melalui upacara piira yadnya yang diyakini

orang Bali dapat mengantarkan a/man/jiwa orang tua mereka menuju kesatuan dengan

Tuhan yang Maha Esa (moksa). Upacara rsi yadnya, selanjutnya, merupakan bentuk

penghormatan seluruh anggota keluarga kepada para rsi dan guru karena mereka telah

memberikan ilmu pengetahuan suci yang digunakan utuk kepentingan keluarga dan

kepentingan masyarakat seluruhnya (Gorda, 1996).

Hubungan harmonis sebagai aplikasi ajaran Tai Twam Asi ini tidaklah hanya

terjadi di lingkungan keluarga saja. Dalam kehidupan sosial masyarakat Bali pada

umumnya pun juga dikembangkan azas-azas hubungan sosial dalam hidup bermasyarakat,

seperti azas suka duka; paras paras (hidup rukun); salunglung sabayantaka (baik buruk,

mants pahit dirasakan bersama); dan azas saling asah asih, dan asuh; serta kehidupan

gotong royong yang kental mewarnai aktivitas kemasyarakatan di desa adai dan pranata-

pranta sosial lainnya (Dharmayudha dan Canlika, 1991).

Unsur yang ketiga dari ajaran Tri Hita (Carana adalah palemahan. Melalui konsep

ini, manusia dan masyarakat Bali meyakini perlunya hubungan yang harmonis antara

manusia dengan unsur-unsur dan kekuatan alam lainnya. Hubungan seperti ini

disimbolkan dengan ungkapan "kadi manik ring cecepu" (seperti janin dalam raliim

38

Page 15: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

ibunya) (Putra, 1973; Kaler, 1983). Dengan ini manusia Bali mengembangkan kesadaran

bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari alam, karena alamlah yang memberi manusia

kesejahteraan. Bahkan manusia Bali meyakini bahwa unsur-unsur dan kekuatan alam ini

adalah saudara manusia juga seperti disimbolkan bahwa setiap bayi yang Ialtir selalu

bersama empat saudaranya (ari-ari, air ketuban, lamas/perabungkus ari-ari dan air

ketuban, dan darah). Wujud cinta kasih manusia Bali terhadap unsur-unsur dan kekuatan

alam semesta ini diekspresikan dalam bentuk upacara korban kepada para bhula (butha

yadnya), di samping secara aktif memelihara dan melestarikan alam lingkungannya

(Gorda, 1996; Atmadja, 1996.).

Deskripsi di atas tentu masih bersifat supel. Ada banyak elaborasi yang dapat

dijelaskan yang menggambarkan aktivitas riil budaya masyarakat Bali yang

mencerminkan pelaksanaan unsur-unsur core values di atas, baik pada tataran individu,

keluarga, kelompok kekerabatan, seka, subak, desa adat, organisasi fungsional, maupun

pada kelompok masyarakat Hindu Bali secara keseluruhan Pada level manapun ideologi

ini dipraktikkan, dasarnya adalah hubungan harmonis antara ketiga eksistensi di atas

haruslah tetap dijalankan. Di lingkungan sekolah, misalnya, sekolah yang memiliki

komitmen untuk melaksanakan ideologi Tri Hiia Karana ini, pada struktur

permukaannya, setidak-tidaknya, sekolah haruslah memiliki parahyangan sekolah sebagai

tempat warga sekolah berhubungan dengan Hyang Maha Kuasa; hubungan antar civitas

sekolah haruslah demokratis dan harmonis: serta adanya upaya pemeliharaan lingkungan

fisik sekolah baik secara sekala maupun niskala.

Setangkup dengan gagasan Tri Hiia Karana di atas, konsep klasifikasi tiga

dimensi juga tampak dalam penerapan pada kehidupan sosial budaya masyarakat Bali

adalah konsep Iriangga, irimandala, dan iriloka. Dikatakan setangkup karena konsep-

konsep iiu juga merupakan manifestasi dari adanya relasi oposisi biner pada hubungan

antara manusia sebagai unsur buana alil dengan lingkungan kosmiknya sebagai buana

agung. Konsep iriangga menjelaskan bahwa manusia haruslah memperlakukan struktur

diri dan masyarakatnya sesuai dengan kedudukan hulu-leben (atas-bawah/suci-leteh) dari

masing-masing unsurnya. Konsep ini menjelaskan adanya tiga unsur badan (diri,

bangunan, organisasi, sistem nilai) sesuai dengan kedudukan hulu-leben, yaitu: utama

angga, madta angga, dan nisla angga. Konsep irimandala, selanjutnya, menjelaskan

penataan atau pengaturan lingkungan (rumah, pura, desa) sesuai dengan kedudukan hulu-

tehennyu menjadi tiga bagian, yaitu: ulama mandala, madia mandala, dan nista mandala.

Akhirnya, konsep iriloka menjelaskan kepercayaan masyarakat Bali bahwa alam

39

Page 16: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

semesta kosmik ini sesunggulmya terdiri dari tiga bagian sesuai kedudukan hulu-

iebenuya, yaitu dunia swah loka (dunianya para Dewa), dunia bhwah loka (dunianya

manusia), dan dunia bhur loka (dunianya tumbuh-tumbuhan, binatang, dan roh-roh yang

lebih rendah derajatnya dari manusia). Hubuugan ketiga konsep ini dengan konsep ma-

bhinneda dalam konsep hubungan buana alil dan buana agung dapat digambarkan

sebagai berikut.

Tabel 01: Bagan Hubungan Konsep Rwa-Bltineda dengan Triloka, Trimandala, dan Triangga

Bhuwana Agung (Hulu/Suci/Kaja/Kangin) Bhuwana Alit j (Teben/Kelod)

Tri Loka Tri Mandala Tri Angga Tri Loka Pura Desa i Perumahan Bangunan Badan

Swah loka (dunia para

Dewa)

Utama mandala (jeroan)

Utama j Utama mandala j mandala (wilayah j (wilayah

pura) : sanggah)

Utama angga (atap

rumah)

Utama angga (kepala) j

Bhwah loka

(dunia manusia)

Madya mandala

(jaba-tengah)

Madya mandala (wilayah

jjemukiman)

Madya mandala

(bangunan rumah)

Madya angga

(badan)

Madya angga ; (badan) |

Bhur /oAo(dunia hewan + tumbuh-

tumbuhan)

Nista mandala

(jaba!luar)

Nista mandala (pertanian

pasar, kuburan

Nista mandala (halaman

rumah, teha)

Nista angga (dasar)

Nista angga 1 (kaki) j

i

Sepeiti pada penggunaan konsep rwa-bhnineda, penggunaan konsep klasifikasi

tiga dimensi ini juga tidak terbatas hanya pada aspek-aspek dalam bagan di atas. Konsep-

konsep ini ternyata banyak digunakan juga, misalnya, dalam klasifikasi nilai-nilai {utama,

madya, dan nista), tingkatan upacara agama {utama, madya, nista), penggunaan dalam

tingkatan bahasa {smggth, madya, sar\ tingkatan perbuatan (saiwam, rajas, tamas), dan

sebagainya. Sesuai dengan nilai-nilai yang terkadung dalam setiap pandangan, setiap

individu haruslah memahami aplikasi relasi-relasi sistem sosial di atas pada berbagai

aspek kehiduan sosial budaya di Bali dan bertindak yang relevan dengan bentuk relasi-

relasi yang ada untuk mencapai keseimbangan dan keharmonisan hidup di dalam

masyarakat dan dalam upaya mendapat kebaikan dan kesejahteraan. Widja (1991:4))

menyatakan: '7/ is perceived as desirable that everyone should ramai n cognizant of the.se

three complemeniary elemenls and. in turn, act acvordmgly in order ta mainlain balance

and harmony and gain goodness and welfare

40

Page 17: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

3. Pembahan Struktur Sosial Budaya Masyarakat Bali

Mengkaji struktur sosial budaya masyarakat Bali dengan pendekatan

strukturalisme seperti di alas seakan-akan tampak bahwa masyarakat Bali ada dalam

keadaan statis tanpa pembaitan. Memang demikianlah adanya bahwa pendekatan

strukturalisme banyak dinilai para ahli cenderung gagal menjelaskan aspek-aspek

dinamika masyarakat. Kecenderungan reduksionis pendekatan strukturalisme dalam

kajian sistem bahasa/simboliknya melalui deskripsi relasi-relasi oposisi biner yang

menjelaskaivstniktur dalam dan struktur sosial masyarakat melalui temuan-temuan aspek

sinkronis dalam sistem relasi-relasi memang menyebabkan seakan-akan masyarakat dikaji

dalam keadaan diam atau statis tanpa perubahan. Ini adalah konsekuensi logis dari tujuan

analisis strukturalisme ini memang adalah untuk menemukan nalar logis atau makna abadi

di balik fenomena kajian warna warni bahasa atau struktur sosial budaya masyarakat.

Tetapi, sesungguhnya tidaklah demikian persisnya. Bagaimanapun masyarakat yang

tumbuh dengan struktur sosial budaya yang semakin kompleks tentu mengalami

perubahan-perubahan. Hanya saja pembahan dalam kajian strukturalisme cenderung

tidaklah dimaknai sebagai keadaan revolusioner atau perubahan dalam makna

diskontinuitas sosial budaya sebagaimana pandangan pasca-strukturalisme dan

postmodernisme, melainkan hanya sebatas berlakunya hukum-hukum transformatif atau

semacam alih rupa atau alih kode dalam sistem bahasa yang stmklur dalanuiya tetap

mempertahankan nalar logis ulama yang melandasi fenomena transformatif itu.

Dalam pandangan strukturalisme, perubahan dalam makna transformasi, dengan

demikian, memang dapat leijadi pada struktur luar dunia simbol-simbol secara empirik.

Tetapi, simbol-simbol budaya secara empirik tidaklah mempunyai maknanya sendiri

tanpa memahami relasi-relasi sintagmatis dan relasi-relasi paradigmatisnya dalam

keseluruhan sistem simbol-simbol sosial budaya itu. Dengan begitu transformasi itu

tidaklah dapat dilepaskan dari kontinuitas sistem sosial budaya yang mendasari. Jadi,

dalam perubahan sosial budaya sualu masyarakat, walau terjadi transformasi bentuk-

bentuk simbol budaya, tetap dapat dipahami (walau sering tidak disadari) segi-segi esensi

atau entitas sistem budaya yang menjaga kontinuitas atau pelestarian sislem sosial budaya

tersebut.

Di samping relasi-relasi homologi seperti di atas, perubahan sosial budaya dalam

pandangan strukturalisme juga dapat dipahami dalam relasi-relasi oposisi biner yang

melandasi relasi-relasi strukturalisme. Dstem ha! perubahan dapat dipandang sebagai ftatart» ml i i ioi Kincir ->nforo Kn/ ov » »1-JM Kiuliuo tiorn anf-ar-o tmAic•

U k i J w a a a l V 1 M U I i 1 v / . > • . ) . i / • t a w a u n v u ' U i / u u u j u > U l i m > * " ! i . ' l i u u J u > . . . « L . , U I l i a t i u u U u i ^ l i , w * (

A ?

Page 18: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

dan tradisi besar, antara yang tradisional dan klasik dan yang modern, dan lain-lain.

Keadaan antara tesis dan antitesis ini ternyata memunculkan sintesis yang memungkinkan

terjadinya sinkritisasi budaya. Yang dimaksud adalah upaya untuk mengolah,

menyatukan, mengkombinasikan dan menyelaraskan dua atau lebih sistem prinsip yang

berlainan atau berlawanan sedemikian rupa, sehingga terbentuk suatu sistem prinsip baru,

yang berbeda dengan sistem prinsip-prinsip sebelumnya, yang dengannya dapat

digunakan sebagai suatu kerangka penafsiran baru yang lebih komprehensif dan utuh

(Aliiir^a-Putra, 2001:355).

Dari sisi pandangan manapun dilihat, perubahan sosial budaya masyarakat Bali

dapat dipahami secara strukturalisme. Widja (1993) memahaminya dengan konsep

pelestarian budaya. Dalam hal ini, pelestarian budaya lebih diarahkan pada upaya

menjaga semangat atau jiwa kualitas esensi nilai-nilai fundamental bangsa dari pada

wujud fisik/luar budaya yang lebih terbuka bagi perubahan sesuai selera zaman.

Pelestarian budaya juga menekankan kesadaran akan keterkaitan antara kualitas esensi

budaya dan kemantapan jati diri sebagai dasar tumbulmya daya hidup seseorang atau

kelompok untuk mngembangkan ketahanan diri dan kelompoknya dari kemungkinan

dominasi kultural kelompok/bangsa lain. Tetapi, pelestarian budaya tidak mengharamkan

terjadinya perubahan (termasuk yang ditimbulkan oleh penerimaan unsur-unsur budaya

luar), asal pengaruh budaya luar itu tidak sampai mengguncang struktur kerangka dasar

suatu sistem budaya (Widja, 1993:50).

Untuk menjelaskan konsep pelestarian budaya tanpa mengabaikan adanya

perubahan tersebut, Widja (1993) menjelaskannya dengan mengkaji pandangan

kesemestaan masyarakat Bali dalam menjaga keseimbangan, yaitu konsep rwa-bhineda

yang ditautkan pula dengan konsep desa, kala, patra (tempat-waktu-keadaan). Konsep-

konsep ini telah dimanifestasikan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Bali,

termasuk dalam pandangannya tentang hakikat kehidupan sosial budayanya. Dalam

pandangan konsep rwa-bhmneda untuk menciptakan keseimbangan, maka harus ada

relasi oposisi biner dari suatu keadaan yang tetap. Jika ada kebudayaan Bah", maka dapat

diterima adanya pengaruh budaya luar sebagai imbangannya. Maka, jika ada kebudayaan

lama, haruslah ada pula kebudayaan baru sebagai pelengkap. Dengan begitu perubahan

sosial budaya dimungkinkan terjadi, tetapi perubahan sosial budaya itu adalah dalam

rangka pencapaian titik atau keadaan keseimbangan (equilibrium), keselarasan, dan

keharmonisan semesta alam dengan seluruh isinya; dan bukan untuk menciptakan

diskontinuitas (lihat Swellengrebel, 1960).

42

Page 19: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

Bagaimana masyarakat Bali memanifestasikan konsep rwa-bhimeda tersebut,

ternyata konsep desa-kala-palra itulah yang mewujudkannya. Di sini aplikasi konsep

rwa-bhinneda akan bergantung pada tautan sejarah (konteks tempat, waktu, dan keadaan

tertentu). Inilah yang memungkinkan terjadinya warna warni praktik kehidupan sosial

budaya masyarakat Bali yang dalam bahasa strukturalisme disebut dengan hukum

transformasi (alih kode) dari satu tempat ke tempat lain, dari satu waktu ke waktu yang

lain, dan dari satu keadaan ke keadaan yang lain (Ahimsa-Putra, 2001; Barker, 2004).

Dube, sebagai dikutip oleh Widja (1993:51) menjelaskan: "pengertian itu memungkinkan

adanya variabilitas kontekstual dalam menu lili nilai-nilai dan mengizinkan aneka ragam

oposisi menurut situasi". Pandangan seperti ini dibenarkan oleh Bateson (1973:98) yang

antara lain menyebutkan*. "motion is essential to balance". Lebih lanjut, ia juga

mengatakan: "this lasi poinl gtves us, 1 believe, a parlial answer to (he question of why

Ihe sociely nol only conlinues lo funclion bui funclions rapidly and bwily". Tidak jauh

berbeda dengan pandangan ini, McKean (1973:10) dalam studinya tentang pengaruh

pariwisata terhadap kebudayaan Bali, antara lain menyatakan bahwa "although socio-

evonomic change is indeed laking p/ace in Bali, I wi/l argue in ihis wriling (hal U goes

hund in hund wilh ihe conservalion of the iraditioml cullure in both Us 'liltle' and 'greai'

a\pecl". Lebih jauh juga dinyatakan: "...ihere is a (simullamous) lendency lowards

tunservalion as well as lowards change, a irend lowards 'resioration and reformalion' as

well as lowards 'pmgress and modernizalion(McKean, 1973:32).

Dari kajian strukturalisme di atas, jelaslah bahwa masyarakat Bali sebagai subjek

kajian dapal dan lelah mengalami proses transformasi sosial budaya dalam suatu kerangka

pandangan kesemestaan yang menjalin perubahan-perubahan sosial budaya yang

dilakukan lelap berada dalam kerangka pemikiran keseimbangan, keselarasan, dan

keharmonisan. Dengan begitu tetap pula dapat dipertahankan kontinuitasnya. Hal ini telah

diakui banyak ahli dan budayawan bahwa masyarakat Bali kini memang telah mengalami

proses transformasi sosial dan budaya ke arah pembentukan masyarakat modem tetapi

dengan tidak melepaskan diri dari akar budayanya sendiri (Bagus, 1994; Widja, 1993).

Dalam proses transformasi ini, sejak jaman pengaruh Hindu hingga kini, diakui bahwa

banyak faklor-faktor eksogen memberi slimuli terhadap proses perubahan sosial di Bali

(Ardhana, 1994; Creese, 1992; Vickers, 1989). Seiring dengan proses interaksi

masyarakat Bali dengan duma luar, fungsi adaptasi masyarakat Bali memenuhi

kebuluhan-kebutuhan masyarakat Bali dalam mengembangkan sistem sosial budayanya

melalui kemampuan local genius (Artadi, 1993; Koentjaraningrat, 1986) dalam

43

Page 20: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

memanfaatkan ikatan jaringan-jaringan sosial dan budaya yang telah ada (Geertz, dalam

Taufik Abdullah, 1979). Ini berarti bahwa proses diferensiasi masyarakat Bali yang

dimotori oleh elit-elit masyarakatnya dalam niengakoinodasi tantangan-tantangan

eksternal tidak menyebabkan mereka terdisintegrasi dari keselumhan sistem sosial budaya

masyarakat Bali yang dilandasi oleh core values Tri Hita Karana (Artadi, 1993; Noronha,

1979; Bagus, 1994).

Memahami gerak perubahan masyarakat dan kebudayaan Bali, karena itu, relevan

dikaitkan dengan konsep keterkaitan antara tradisi kecil dan tradisi besar (Murray da-J

Wax, 1971; Redfield, 1985). Dalam konteks perubahan sosial dan budaya yang pernah

berlangsung pada masyarakat Bali, sekurang-kurangnya ada tiga tradisi yang liidup dan

pernah saling berinteraksi, yaitu tradisi kecil kebudayaan asli masyarakat petani yang

agraris dan komunal, tradisi besar kebudayaan Hindu yang berasal dari Jawa, dan tradisi

besar global. Dari interaksi ketiga tradisi inilah dapat dikatakan bahwa telah terjadi

siskritisme yang harmonis airtara tradisi masyarakat Bali asli dengan tradisi Hindu dan

tradisi global yang mewarnai gambaran masyarakat dan budaya Bali kini (Geertz, 1992;

Santeri, 1992). Meminjam konsep Geertz, masyarakat Bali telah melakukan kreasi dari

ortodoksi menuju ortopraksis dalam kaitannya dengan tradisi kecil yang dimilikinya

untuk menghadapi tradisi besar yang dihadapinya, yaitu mencoba mengungkap makna-

makna simbolik di balik dogma yang dimiliki melalui penafsiran umum, penilaian, dan

menemukan hakikat dasarnya.untuk kemudian dihayati, mengembangkan kepribadian,

dan pada akhirnya merupakan sarana untuk menuntun kehidupan manusia Bali dalam

mencapai tujuan liidupnya.

Mungkin inilah sebabnya mengapa, kemudian, masyarakat Bali dewasa ini

dikatakan berada pada fase transisi perkembangan antara masyarakat tradisional menuju

masyarakat modem, tetapi dengan tetap berpegang pada core values Trt Hita Karana

(Ardhana, 1994; Bagus, 1994; Neben, 1994; Pitana, 1994, Sujana, 1994; Triguna, 1994).

Dalam perkembangan transisi dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern ini telah

diidentifikasi oleli beberapa pakar di atas tentang karakteristik kehidupan masyarakat Bali

modern kini Di satu sisi, masyarakat Bali masih mencerminkan kehidupan masyarakat

yang religius, percaya pada klenik, komunal, paternalistik, dan bergantung pada alam; di

sisi lain telah tnuncu! puia - walau belum atau tidak seluruhnya terlembagakan secara

kuat - karakteristik kehidupan masyarakat yang modem, yang cenderung sekuler,

materialistik, hedonistik, terikat pada waktu, demokratis dan egalitarian, dan

44

Page 21: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

mengeksploitasi alam. Perubahan sosial dan budaya yang telah diidentifikasi oleh pakar

ilmu-ilmu sosial dan kebudayaan Bali, antara lain adalah sebagai berikut.

Sujana (1994: 54-58) mengatakan bahwa manusia dan masyarakat etnik Bali

sekarang sedang dalam transisi budaya, yaitu dari budaya yang berkarakter agraris,

tradisional konservatif, domestik, klasik spiritual, monokultur, teknologi klasik, feodal,

konvergen, estetik klasik, komunal, religius, simbolik, magis, kuat etnisitasnya,

komunikasi klasik, dan keseimbangan kosmologis menuju orientasi nilai budaya yang

berkarakter industri, modern progresif, budaya publik, komersial, multikultur, teknologi

kontemporer, demokratis egalitarian, divergen, estetik modern, individual, modem,

materislistik, dan sekuler, tidak jelas kebaliaiuiya, komunikasi sekunder, dan dipengaruhi

oleh rekayasa makro (kekuasaan ekonomi dan politik).

Secara historis, Ardhana (1994:17-37) menyatakan bahwa masyarakat Bali yang

dulu cenderung feodal dan kuat dipengaruhi oleh budaya istana (puri) kini telah

mengembangkan sikap dan pola hidup yang demokratis dan egalitarian (Bagus, 1994).

Dari segi agama, Triguna (1994:73-92) mengatakan bahwa masyarakat Bali sekarang

lelah pula berubah dari sikap dan pola prilaku keagamaan yang cenderung mengutamakan

upacara (upakara), menuju konsepsi keagamaan vang menyeimbangkannya dengan

prinsip tatwa dan susila. Secara ekonomi, Nehen (1994:93-108) mengatakan masyarakat

Bali kini telah berubah dari masyarakat primer ke masyarakat tersier. Secara kelembagaan

sosial, masyarakat Bali kini juga telah meningkatkan peran seka dari sekasaku yang

bersifat tradisional agraris ke seka-seka yang modern (Aslika. 1994:109-136). Akhirnya,

dalam dualisme antara kepemimpinan desa adat dan desa dinas ada kecenderungan

dewasa ini bahwa, karena pengaruh modernisasi kelembagaan di tingkat desa yang

diintervensikan oleh pemerintahan pusat, mulai ada pergeseran dimaua peran

kepemimpinan desa adat cenderung menjadi subordinasi kepemimpinan desa dinas

(Pitana, 1994). Widja (1994: v) mengatakan: "...as we loak more deeply at whal

happened beneath Ihe stirjace, we jind ihe realtly that shows a iendency lowurd

subordinaiive relalionship among them (desa dinas and desa adai heads). In this case, we

see ihe dominani role of kepala desa dinas upon pimpinan desa adat. even oti maiters

wiihin adai domain " Pernyataan Widja ini ternyata mendapat penguatan dari studi

disertasi Atmadja (1998) yang antara lain menemukan terjadinya perubahan atau

pergeseran kekuasaan desa adat alas proses demokrasi politik dan ekonomi di desa adai

Julah, dimana kekuasaan desa adat dewasa ini berada pada subordinasi kekuasaan

organisasi politik pemerintahan nasional yang bersifat modem.

45

Page 22: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

Dari pendapat dan temuan para ahli di atas jelaslah bahwa masyarakat Bali kini

telah mengalami proses perubahan sosial budaya melalui proses modernisasi menuju

karakteristik masyarakat dan manusia etnik Bali yang modem. Tetapi, diakui pula oleh

para pakar bahwa perubahan sosial budaya masyarakat Bali bukanlah perubahan sosial

budaya yang lepas atau tercabut dari akar budaya Balinya. Dikatakan demikian karena

masyarakat Bali bukanlah masyarakat yang anti perubahan. Perubahan sosial budaya

disadari betul oleh masyarakat Bali melalui keyakinannya akan konsep desa. kala, dan

palra dan konsep nvu bhtnmda. Dengan konsep--lesa, kala, putra ini masyarakat Bali

percaya bahwa aktualisasi keyakinan, nilai-nilai, tradisi, atau norma-norma menjadi

organisasi tata laku dalam hubungan sosial dan budaya di masyarakat haruslah tetap

bersumber pada nilai-nilai dasar keseimbangan antara dunia mikrokosmos (buana alit)

dan makrokosmos (buana agung). Ini berarti pula harus ada keseimbangan dalam konsep

hubungan unsur-unsur iri hita karana dan unsur-unsur rwa bhtneda. Namun, dalam

praktiknya keyakinan, nilai-nilai, tradisi, dan norma-norma itu haruslah direintepretasi

untuk disesuaikan dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat baru. Ini membawa

implikasi, di satu sisi masyarakat Bali dapat beradaptasi dengan tuntutan dan tantangan

masyarakat baru, di sisi lain, masyarakat Bali tidak perlu harus tercabut dari akar

budayanya (Atmadja, 1998).

B. Peranan Agama Hindu dalam Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Bali

Secara teoritis dan dengan dukungan beberapa hasil penelitian telah menunjukkan

bahwa agama memiliki fungsi dan peran dalam perubahan sosial budaya masyarakat.

Kesimpulan ini memang masih bisa diperdebatkan. Tetapi, Lauer (1989) pernah

menyatakan bahwa bahkan walaupun ada beberapa segi agama dapat menjadi

penghambat bagi proses perubahan sostal budaya masyarakat, sangatlah tidak

bijaksana untuk menyatakan bahwa agama tidak penting peranannya dalam proses

perubahan sosial budaya tersebut. Ini berarti bahwa agama tentu lebih banyak

memberikan kemaslahatan bagi manusia dalam proses perubahan sosial budayanya.

Di antara para teoritisi sosial sejak jaman klasik hingga modern banyak yang

mencuralikan perhatiannya pada masalah peranan agama dalam proses perubahan sosial

budaya masyarakat. Comte (Coser, 197}; Johnson, 1994), misalnya, dengan gagasan

agama humanitasnya menjelaskan antara lain bahwa dari lintasan historis telah diketahui

bahwa agama di masa lampau sudah menjadi satu tonggak keteraturan sosial yang utama.

Karena itu, agama merupakan dasar untuk konsensus universal dalam masyarakat, dan

46

Page 23: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

juga mendorong identifikasi emosional individu dan meningkatkan altniismfc.&T

gagasan agama humanitasnya, Comte kemudian mengajukan suatu

meningkatkan keteraturan sosial dalam masyarakat dengan agama humanitas sebag^af f i

cita normatifnya. Dengan agama humanitas ini, Comte sesungguhnya mengajuk

gagasan utopis untuk mereorganisasi masyarakat baru secara sempurna yang membuat

mereka berliasil menciptakan keteraturan sosial yang dapat disumbangkan oleh pemikiran

ilmiah para ilmuwan (sosiolog) yang dilandasi oleh perasaan, cinta, dan sistem moral.

Selanjutnya, Durklieim (1965; Coser, 1971; Johnson,-?994) juga ada menjelaskan

tentang makna agama dalam kehidupan masyarakat. Dengan meneliti kehidupan religi

masyarakat primitif terutama hubungan antara tipe kelompok sosial dengan tipe totemik,

Durkheim berkesimpulan bahwa corak dari agama apa saja berhubungan dengan suatu

dunia yang suci (sacred realm) yang berbeda dengan dunia profan dalam kehidupan yang

biasa sehari-hari. Lebih lanjut dikatakan bahwa ide tentang dunia yang suci itu juga

sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari kenyataan sosial, yaitu kehidupan kelompok

sosial, dan sebenarnya mewakili kenyataan kelompok itu dalam bentuk simbol (totem).

Dengan basis ini, jelaslah bahwa Durkheim sesungguluiya mencari akar munculnya

kehidupan religi itu dari keliidupan kelompok masyarakat itu sendiri.

Dengan hubungan antara againa dan kehidupan masyarakat seperti itu,

sesungguhnya Durkheim memiliki concern dalam menjelaskan fungsi agama dalam

kehidupan masyarakat yang menurut klasifikasi Alpert (Coser, 1971: 139) dapat berfungsi

"as disciplinary, cohesive, vitalizing, and euphoric social forces". Dalam tataran yang

paling umum, againa sebagai institusi sosial berguna untuk memberikan makna kepada

hakikat penderitaan manusia dengan mengikatkan individu pada nilai-nilai transenden

supra-individu yang sesungguJmya akar utamanya berada pada kehidupan masyarakatnya

tersebut.

Berikutnya, di antara para pemikir klasik, tampaknya Weberlah yang lebih intens

mengkaji hubungan agama dengan proses perubahan sosial dalam masyarakat modern,

khususnya dalam terbentuknya masyarakat kapitalis modern terutama di negara-negara

barat. Weber dengan konsep asketisme dalam-dunia Protestan berhasil menjelaskan

hubungan antara asketisme dengan perubahan sosial masyarakat menuju dunia kapitalis

(Coser, 1971; Johnson, 1994).

Studi Weber tentaug etika Protestan dan semangat kapitalisme menunjukkan

bahwa ideologi agama, khususnya agama Protestan dapat mempermudah perubahan

(Abraham, 1991; Goldthorpe, 1992; Horton dari Hunt, 1991; Lauer, 1989;). Menurut

47

Page 24: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

Weber - dengan merasionalisasikan doktrin teologis Protestan, khususnya Calvinisme -

pemikiran Protestan membentuk kepribadian pengusaha yang aktivitasnya beipengaruh

terhadap perkembangan kapitalisme. Adalah asketisme Protestan sebagai sumber

pendekatan rasional dan sistematis yang mendorong kapitalisme, karena unsur modern

kapitalisme ~ prilaku rasional berdasarkan ide panggilan - diturunkan oleh asketisme

Protestan. Menurut asketisme Protestan, individu didorong oleh perhatian untuk mencapai

kesejahteraan spiritual dirinya sendiri; dan ia dapat memastikan dirinya berada di dalam

keadaan kasih sayang Tuhan melaui tindakan asketisme dalam--unia (Hasan, 1986;

Lauer, 1989).

Studi Weber ini mendapat dukungan beberapa peneliti lain. Geertz dalam studinya

di Indonesia: "Penjaga dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua

Kota Indonesia", membandingkan dua kota di Indonesia yang berbeda sosial budayanya,

yaitu Mojokuto di Jawa Timur dengan penduduk beragama Islam yang berorientasi pasar,

dan kota Tabanan di Bali yang penduduknya beragama Hindu bergerak di bidang

ekonomi firma yang berasal dari usaha kelompok iri wangsa di Bali. Ia menemukan

bahwa baik agama Islam modem maupun agama Hindu ortodok mempunyai peranan

yang penting dalam proses perubahan sosial ekonomi masyarakat ke arah modernisasi

(Bagus, 1987; Hasan, 1986; Lauer, 1989). Begitu pula studi Bellah, dalam bukunya

"Religi Tokugawa: Akar-akar Budaya Jepang" (1992), yang bertujuan mencari akar

budaya Jepang pramodern yang mendukung modernisasi di Jepang, menemukan bahwa

kehidupan religi jaman Tokugawa mempunyai peranan penting dalam proses modernisasi

di Jepang.

Agama Hindu sebagai salah satu agama besar di dunia dengan jumlah umat di

tahun 1980 sekitar 583 juta jiwa, dan diproyeksikan akan berjumlah lebih dari satu miliar

di tahun 2000an (Horton dan Hunt, .1991) mempunyai peranan yang vital dalam proses

perubahan sosial masyarakat, baik untuk kepentingan umat Hindu sendiri maupun utnuk

ketertiban, perdamaian, dan kemajuan peradaban seluruh umat manusia. Kenyataan

sejarah telah menunjukkan tanda-tanda ini (Bagus, dalam Setia, 1992). Bagaimanakah

model peranan agama Hindu dalam proses transformasi sosial budaya masyarakat? Geria

(1991) menjelaskan model peranan agama Hindu (peranan normatif) dalam proses

transformasi masyarakat sebagai tertera pada gambar berikut.

Pertama, agama Hindu dapat berperan dalam memberikan motivasi, sehingga

masyarakat bukan saja dinamis melainkan juga kreatif dalam perubahan. Untuk peran

motivatif dan kreativitas, ajaran dan konsepsi agama Hindu yang relevan adalah

48

Page 25: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

Gambar 01: Model Normatif Peranan Agama Hindu dalam Proses Transformasi Budaya Masyarakat Bali

Sumber: Geriya, Wayan. (1991). Peranan Agama Hindu dalam Transformasi Budaya. Denpasar: Institut Hindu Dharma: Mal. 5.

menyangkut ajaran Karma Phala, Yadnya, dan Etika Keija serta Catur Purushu Artha.

Kedua, agama Hindu dapat berperan memberikan payung dan tuntunan moral bagi

manusia dan masyarakat yang tengali berubah dan berkembang. Tuntunan moral ini

penting untuk tetap terjenjangnya keseimbangan antara kebutuhan material dan spiritual.

Untuk peran tuntunan moral ini, ajaran dan konsepsi yang amat relevan adalah dharma,

iri guna, iri warga, iri kaya parisudha, dan iri marga. Ketiga, agama Hindu juga dapat

berperan dalam memberikan pegangan dan simpul-simpul pengikat untuk tetap utuhnya

jati diri. Untuk peran ini, ajaran dan konsepsi yang relevan adalah tal twarn asi dan

yadnya. Empat, agama Hindu juga dapat berperan memberikan orientasi dan arah bagi

perubahan yang ingin dituju seperti yang digariskan dalam tujuan kehidupan beragama.

Untuk peranan memberikan arah dan tujuan hidup ini, ajaran dan konsepsi yang relevan

adalah tentang moksarthatn jagadhiiu ya ca t u dharmah (Geria, 1991, Mantra, 1991).

Keempat peranan normatif di atas tidaklah bekei j a secara sendiri-sendiri, melainkan

bersifat komprehensif yang dengan ketiadaan peran yang satu akan menimbulkan

ketidakkonsistenan pada peran aspek-aspek yang lain.

Gorda (1996), senada dengan Geriya. dalam studinya tentang Etika Hindu dan

Perilaku Organisasi juga telah mengembangkan kerangka konseptual yang tidak jauh

berbeda dalam menjelaskan peran agama Hindu dalam proses modernisasi masyarakat

49

Page 26: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

Bali. Menurutnya, againa Hindu memiliki nilai-nilai rasional yang turut menyumbang dan

menjadi dasar bagi pembentukan etika perilaku wirausaha wan Hindu di Bali yang

memiliki peran besar dalam pembangunan atau modernisasi ekonomi di Bali. Nilai-nilai

rasional yang dimaksud diderivasi dari ajaran keyakinan masyarakat Hindu Bali, antara

lain ajaran Panca C.radha yang memberi dasar bagi penetapan tujuan liidup manusia

Hindu, yaitu Moksariham Jagadhila Ya Ca lii Dharma (kebaliagiaan lahiriah di dunia dan

kebahagian abadi di sorga).

Yang lain adalah ajaran tentang iri hila karana yang memberikan pemikiran

kepada manusia Bali bahwa dalam pembangunan ekonomi sebagai basis untuk

modernisasi, manusia (idak hanya harus memanfaatkan kualitas sumber daya manusia

(pawongan) dan sumber daya alam (palemahan) seperti yang digunakan oleh modernisasi

di negara-negara barat, tetapi juga perlu memberdayakan sumber daya spiritual atau

sumber daya brahman (parahyangan). Integrasi ketiga sumber daya ini diyakini tidak saja

memiliki sumber energi pendorong yang maha dahsyat, tetapi juga mampu membuat

keseimbangan dan menjadikan usaha-usaha modernisasi suci secara niskala atau spiritual.

Ajaran berikutnya adalah tentang tri kaya parisudha, yaitu kayika (berbuat yang

baik), wacika (berkata-kata yang baik), dan manacika (memiliki pikiran dan pengetahuan

suci). Bekerjanya modal dasar sumber daya manusia ini secara sinergis diyakini menjadi

modal utama dalam pengembangan sumber daya manusia Hindu yang berkualitas.

Ajaran berikutnya adalah tentang karma phala (hukum karma/perbuatan) dari

samsara/'punarbawa (keialiiran atau penderitaan kembali). Dikatakan bahwa, penafsiran

yang benar atas kedua ajaran ini untuk tujuan-tujuan medernisasi masyarakat Bali

memberikan landasan kepada masyarakat Bah" untuk selalu berupaya berbuat yang baik

dan benar untuk memperoleh pahala yang baik dan benar pula, sehingga diharapkan

mampu mengantarkan manusia pada pencapaian tujuan hidup tertinggi, yaitu dalam

bahasa lokalnya disebut suka lan mawali duka (kebahagian abadi yang tidak

menyebabkan kembali pada kesengsaraan). Dalam dunia bisnis materi (liidup

keduniawian), ajaran ini mengajarkan manusia Bali untuk mengumpulkan harta dan kama

(memenuhi keinginan) yang sebesar-besarnya berlandaskan ajaran dharma (kebajikan),

sehingga tidak akan kembali pada kemiskinan yang akan membawa pada penderitaan.

Sedangkan, dalam makna spiritual, ajaran ini mengajarkan untuk berbuat baik dalam

upaya mencapai moksa, yaitu tercapainya kehidupan bahagia yang kekal abadi di sorga.

Tuntunan Hindu dalam Weda (Rgveda 1.41.6 dan 111.29.5 dan Samaveda 502),

seperti dikutip oleh Gorda (1996:151), juga memberikan orientasi nilai rasionalitas

50

Page 27: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

kepada masyarakat Bali bahwa untuk mencapai sukses dalam kehidupan di dunia dan di

akhirat, seorang manusia Bali haruslah: (1) aktif mengambil prakarsa, bekeija keras, dan

meninggalkan tradisi yang sudah ketinggalan jaman; dan (2) kreatif-inovatif; dan (3)

berorientasi ke masa depan.

Akhirnya, beberapa nilai lokal Hindu Bali yang juga dinilai menjadi dasar bagi

perilaku modem masyarakat Bah dewasa ini, antara lain adalah: nilai puputan

(pengorbanan sebesar-besarnya secara tulus iklas tanpa pamerih), nyalanang jengah

(mewujudkan cita-cita menjadi kenyataan), metaksu (berkarisma dalain profesi), mulai

sarira (introspeksi diri), dan nilai-nilai sosial seperti paras paros sarpanaya (belajar

seiring dan sejalan bagi kepentingan bersama), segifik seguluk sebuyantaka (baik dan

buruk dirasakan bersama), dan saling asah (membelajarkan), saling asih (saling

mengasihi), lan saling asuh (selalu memberikan kontrol satu sama lian).

Nilai-nilai modem masyarakat Bali seperti digambarkan di atas, bukanlah hanya

sebagai idealisme filosofis belaka. Penelitian-penelitian yang lelah dilakukan oleh Geriya

(1996), Geertz (1977), Bagus (1994), dan Gorda (1996) menunjukkan bahwa temuan

nilai-nilai rasionalitas Hindu yang memberikan sumbangan bagi proses modernisasi

masyarakat Hindu adalah sejalan dengan pemikiran dan hasil penelitian ilmuwan dunia

seperti Weber (1958) tentang hubungan antara Etika Protestan dan modernisasi di Eropa,

Bellah (1992) tentang modernisasi masyarakat Jepang, Geertz (1977) tentang modernisasi

masyarakat muslim di Jawa Timur, dan Redding (1994) yang meneliti peranan nilai-nilai

Konfusianisme, Taoisme, dan Budha yang menjiwai kapitalisme di Cina.

C. Pariwisata dan Pengembangan Kebudayaan Bali

Aktivitas pariwisata di Bali telah ada sejak tahun 1920an melalui kunjungan

wisatawan Eropa ke Bali atas propaganda perusahaan perkapalan Belanda. Kunjungan

wisatawan Eropa ini diikuti pula oleh para seniman, peneliti, penulis, dan budayawan

asing yang tertarik datang ke Bali dan makin mempopulerkan nama Bali di manca negara.

Di antara mereka, antara lain adalah: Covarrubias, Arie Sinith, Antonio Blanco, Han Snel,

dan sebagainya. Sejak tahun 1960an kemudian pariwisata di Bali berkembang pesat

menjadi pariwisata yang bersifat massa (Erawan, 1993).

Kehadiran pariwisata di Bali ibarat ga\omg bersambut dengan perkembangan

kebudayaan Bali. I Merak asi masyarakat dan kebudayaan Bali dengan pariwisata telah

melahirkan interaksi simbiosis mutualisme yang menurut McKean merupakan hubungan

yang saling mengharapkan. Pada satu pihak, wisatawan mengharapkan kepuasan yang

51

Page 28: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

bersifat estetis; dan pada pihak lain, masyarakat Bali mengharapkan kesempatan bagi

pengembangan kebudayaan yang berimplikasi pula pada kesempatan ekonomis yang akan

memacu pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan kebudayaan Bali itu sendiri.

Pengharapan timbal balik dan saling melengkapi itu merupakan suatu struktur komunikasi

dalam bentuk partialei/uiva lence slruciure (McKean, 1973; Walace, 1970).

Dari hubungan timbal balik tersebut jelas bahwa antara pariwisata dan

perkembangan masyarakat dan kebudayaan (dalam hal ini Bali) mempunyai hubungan

yang sangat erat. Hubungan yang erat ini dipertegas o'eh Mantra (1991) sebagai dikutip

oleh Erawan (1993: 286-287) dengan menyatakan bahwa:

Basically, ivurism remuins a cullurai phenomenon. By bringing cullura/ heriiage in ihe toumi circuii, tourism will be bemfitted and both tourism and cullure will mutually support each other. Tourism then, i/ well managed ix a dynamic factor thai cati bring social progress and a: (he same time can also be agreal vehicle of culture. which could foster goodwill between countnes. Kemampuan masyarakat Bali mengembangkan kebudayaan, terutama

keseniannya, untuk kepentingan pariwisata dapat dijelaskan melalui konsep Maquet

(seorang ahli antropologi) dan Wimsatt (seorang ahli estetika). Menurut Maquet, seperti

dikutip oleh Soedarsono (1993:111-112), dengan hadirnya masyarakat wisata ke suatu

daerah maka akan lahir satu bentuk kesenian yang lain di samping bentuk seni yang sudah

ada. Kategori seni yang telah ada merupakan produk masyarakat setempat yang hasilnya

dipergunakan untuk kepentingan mereka sendiri. Seni kategori ini oleh Maquet disebut

sebagai ari by deslinalton. Kategori seni yang kemudian dikembangkan masyarakat

setempat untuk kepentingan wisatawan oleh Maquet dikategorikan sebagai seni akulturasi

(ari of ucculiurulion). Kategori seni ini juga sering disebut sebagai seni wisata (tourisi

ari). Keberadaan seni wisata inilah yang oleh W imsatt digambarkan sebagai pertemuan

antara kehidupan kesenian masyarakat lokal yang cenderung bersifat religius dengan

kepentingan pengembangan industri pariwisata yang dapat digambarkan dalam diagram di

halaman berikut.

Bagi masyarakat Bali sendiri sesunggulinya pembedaan dua bentuk seni ini telah

berkembang sejak awal sesuai dengan konsep ma bhintda. yaitu adanya seni wah, yang

umumnya untuk kepentingan kegiatan ritual keagamaan sebagai persembahan, dan seni

bebulthan, yang umumnya bersifat profan untuk kepentingan pertunjukan (Dhannayudha

dan Cantika, 1991). Bagi masyarakat Bali. seni bebulthan yang bersifat profan inilah yang

mengilhami masyarakat Bali untuk mengembangkan seni akulturasi atau seni wisata

untuk disuguhkan bagi kepentingan wisatawan Kalaupun ada seni wali yang diminati

52

Page 29: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

Gambar 02: Diagram Wimsatt tentang Hubungan antara Seni Tradisi, Industri Pariwisata, dan Seni Wisata

Sumber: Soedarsono, R. M 1993. Industri Pamvisaia.Sebuah Tantangan dan Harapan bagi Negara Berkembang. Dalam Sudhanha. T.R. et ai (ed). Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Denpasar; Upada Saslra. Hal: I03-! !5.

wisatawan, masyarakat Bali bisa mengembangkan bentuk mini dan imitasinya yang tidak

bersifat sakral (Ardika, 2004; Geriya, 1993, Soedarsono, 1993).

Persoalan hubungan pariwisata dengan kebudayaan bukanlah persoalan kehidupan

seni semata. Memang diakui bahwa aspek keindahan (estetika) dan kenangan adalah yang

paling utama dikembangkan. Tetapi, banyak pakar juga mengatakan bahwa pembangunan

pariwisata akan banyak berkaitan dengan sektor-sektor lain yang melibatkan interaksi

antara masyarakat daerah wisata dengan wisatawan (Ardika, 2004; Naisbitt, 1994; Pitana,

2004). Karena itu, di setiap daerah wisata paling tidak akan berkembang kegiatan

eksplorasi daerah atau objek-objek wisata dengan tetap memperhatikan kemampuan daya

dukung dan kelestarian lingkungan wisata, pelestarian dan pengembangan kebudayaan

dan seni lokal, pengembangan industri wisata yang disertai pengembangan seni wisata

atau seni akulturasi, serta pemanfaatan dan pengembangan daya dukung sektor-sektor

terkait dalam pengembangan industri pariwisata baik dalam pengembangan industri

barang maupun jasa-jasa (Erawan, 1993; Geriya, 1993).

Pariwisata memang memungkinkan membawa implikasi pada pengembangan

kebudayaan bagi masyarakat Bali. Dengan potensi locul genius dan karakteristik yang

dimiliki masyarakat Bali, secara historis masyarakat Bali memang terkenal sebagai

masyarakat yang terbuka terhadap masuknya pengaruh budaya asing, tetapi masyarakat

Bali tetap dapat mempertahankan jali dirinya dan berkembang menjadi masyarakat

modem. Ini karena masyarakat Bali mengembangkan konsep tri matra dalam strategi

kebudayaannya, yang menurut Geriya (1993). Mantra (1991), dan Widja (1993,1991)

mencakup kemampuan pemantapan jati diri, menjaga kesinambungan unsur-unsur dasar

kebudayaan, dan kempuan adaptasi pada perubahan dan kemajuan (lihat juga Universitas

Udayana, 1976, 1973) melalui membangun satu konfigurasi budaya yang memadukan 53

Page 30: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

budaya ekspresif (dominannya nilai-nilai solidaritas, estetis, dan religius) dengan budaya

progressif (dominannya nilai-nilai ekonomi dan iptek).

Usaha pemantapan jati diri dau menjamin kesinambungan unsur-unsur dasar

kebudayaan bagi masyarakat Bali dikembangkan melalui pengembangan konsep iri hila

karana yang secara struktur sosial dan budaya memungkinkan keterikatan masyarakat

Bali pada sistem dan stuktur sosialnya serta keterikatan dengan sistem budayanya.

Manifestasi dan implementasi dari nilai-nilai iri hila karana inilah yang terwujud dalam

pengembangan beragam aktivitas upacara ritual dan aktivitas keseuiaii yang didukung

oleh pemantapan peran-peran kelembagan sosial dan religius tradisional masyarakat Bali

dalam keluarga, dadia, banjar, desa adat, pura kahyangan tiga, seka, dan subak serta desa

dinas sebagai wadah partisipasi aktif masyarakat Bali dari anak-anak, remaja, orang tua,

laki-laki maupun perempuan. Keunikan masyarakat Bali yang seperti inilah yang dinilai

sebagai daya tarik Bali bagi para wisatawan.

Selanjutnya, dengan kedatangan wisatawan, lebih-lebih setelah perkembangan

pariwisata massal di Bah sejak lahun 1960an, masyarakat Bali mengembangkan

kemampuan adaptif terhadap perubahan dan kemajuan pariwisata melalui pengembangan

sektor industri pariwisata. Ini dinilai adalah yang paling relevan bagi masyarakat Bali dan

bagi kepentingan pengembangan pariwisata itu sendiri yang dinilai akan membantu

masyarakat Bah dalam pengembangan devisa daerah dan negara serta memungkinkan

masyarakat Bali mendatangkan modal dari luar negeri untuk kepentingan pembangunan

daerah dan pembangunan nasional, sementara masyarakat Bali dapat mengembangkan

kebudayaannya sendiri (Ardika, 2004; Erawan, 1993; Pitana, 2004).

Industri pariwisata yang dikembangkan masyarakat Bali adalah seluruh aktivitas

industri untuk kepentingan pariwisata yang mencakup bidang-bidang akomodasi

(perhotelan dan restoran), travel atau transportasi, informasi dan komunikasi, atraksi,

pengembangan objek wisata, inovasi industri kerajinan untuk souvenir, pengembangan

industri agrowisata, dan pengembangan industri jasa-jasa kepariwisataan. Semua bidang

pengembangan industri pariwisata ini ternyata tidak lepas dari landasan nilai-nilai religi,

estetika, dan etika Hindu Bali. Inilah yang disebut banyak kalangan kemudian sebagai

pengembangan industri kebudayaan masyarakat Bali dalam perkembangan pariwisata di

Bali (Geriya, 1993). Dikatakan demikian karena dalam aktivitas industri yang bertumpu

pada industri pariwisata dan industri kerajinan, masyarakat Bali tetap ada dalam

kesinambungan struktur dan kultur. Begitu pula kebudayaan dan kesenian tradisional

hidup berlanjut di tengah-tengah perubahan dan kemajuan. Proses industrialisasi

54

Page 31: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

masyarakat Bali seperti ini dinilai tetap berada pada proses conlinuily in changes. Inilah

juga yang menyebabkan mengapa pariwisata di Bali di era proses industrialisasi ini dinilai

telah memperkuat gerakan revitalisasi kebudayaan Bali (Geriya, 1993; McKean, 1973;

Widja, 1993,1991). Di sini pariwisata berkembang, masyarakat Bah' dan kebudayaannya

juga berkembang. Inilah yang dikatakan McKean (1973) sebagai terjadinya pola

hubungan yang saling mengharapkan. Interaksi yang dinamis dan positif ini digambarkan

oleh Geriya (1993) dalam satu model interaksi kebudayaan dan industri pariwisata dan

kerajinan serta dampaknya bagi orang Bali sebagai diagram berikut.

Gambar 03: Diagram Model Interaksi Kebudayaan dan Industri Pariwisata dan Kerajinan serta Dampaknya bagi Orang Bali

PARTISIPASI AKTIF

M engembangkan Menunjang ORANG BALI p KEBUDAYAAN • INDUSTRI PARIWISATA

DAN KERAJINAN

Kepuasan Balhin Revitalisasi

KEPUASAN MATERIAL

Sumber: Geriya. W. 1993 Model Interaksi Kebudayaan dan Industri Pariwisata pada Masyarakat Bali. Daiam Sudhartha, T. R. et ai., (ed). Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa Denpasar: Upada Saslra. Hal. 90-101.

Sebagai konsekuensinya, tentu tidak dapat dihindari adanya interaksi yang

semakin intensif antara masyarakat Bali dengan wisatawan — domestik maupun

mancanegara - baik yang bersifat interaksi sosial (dari persahabatan liingga perkawinan),

seni dan budaya (dari menikmati hingga pertukaran seni dan budaya), ekonomi (kerja

sama ekonomi dan bisnis jual beli), maupun interaksi religius (dari menikmati

pengalaman religius hingga pindah agama dan keyakinan) (Danles, 1989; Sukadi, 1994).

Tidak dapat dipungkiri pula, karena itu, telah terjadi shuring pengalaman, pengetahuan,

bahasa, gagasan, bahkan saling mempengaruhi sikap, keyakinan, nilai-nilai, ideologi,

kebiasaan, dan pola tindakan tertentu baik oleh dan kepada masyarakat Bali sendiri

maupun oleh dan kepada wisatawan (lihat Naisbitt, 1994). Dilihat dari interaksi

kebudayaan secara luas tentunya dapat dikatakan telah terjadi kontak budaya antara

masyarakat Bali yang berkarakter! stik religi Lisi las Hindu Bali dengan wisatawan yang

55

Page 32: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

membawa orientasi budaya global. Kontak Budaya itu dapat digambarkan sebagai tertera

pada gambar 04 berikut.

Gainbar 04: Pola Kontak Budaya antara Kebudayaan Lokal Masyarakat Bali dan Peradaban Global Masyarakat Wisatawan Mancanegara di Bali

Peradaban Masyarakat j Peradaban Masyarakat Bali: VVisatawan:(ModerB - Global) (Religiusitas Hindu Bali)

a. Sains dan Teknologi b. Sistem Pendidikan Formal c. Pranata Ekonomi GlobaJ d. Sistem administrasi dan or-

Ganisasi dengan birokrasi e. Media masa Kecenderungan:

Sekulerisasi Pragmentasi Individualisasi Materialisme Hedonisme

Sumber: Diadaptasi dari Dharmayudha, (1995). Kebudayaan Bah Pra-Huuiu. Masa Hindu dan Pasca Hindu. Denpasar Kayumas Agung: Ha!. 17,

Pariwisata merupakan suatu industri yang sangat kompleks, tidak berdiri sendiri,

dan selalu berkaitan bahkan secara global dengan sektor-sektor pembangunan lainnya.

Pengembangan kepariwisataan secara tepat merupakan salah satu faktor yang dapat

merangsang pertumbuhan sektor-sektor terkait (Naisbitt, 1994). Di samping itu pariwisata

merupakan industri yang sangat peka terhadap perubahan-perubahan. Young (1973)

mengemukakan bahwa kegiatan pariwisata dapat memberi pengaruh positif maupun

negatif terhadap masyarakat dengan segala atribut sosial, kultural, maupun psikologis.

Karena itu, kehidupan aktivitas kepariwisataan di Bali juga tidak dapat

melepaskan diri dari pengaruh positif dan negatifnya, balikan menjadi salah satu

pendorong yang cukup dominan bagi pembahan sosial di Bali. Ini karena pariwisata dapat

dikatakan telah menjadi konteks sosial yang dominan bagi aktivitas keseharian

masyarakat Bali. Efek positif langsung yang dirasakan masyarakat Bali adalah

peningkatan kesejahteraan material masyarakat karena meningkatnya kegiatan

komersialisasi (Grabum, 2000) dan terdiferensiasinya sektor lapangan kerja baik secara

formal maupun informal yang mendatangkan devisa bagi masyarakat Bali. Efek positif

lainnya, antara lain adalah: peningkatan pembangunan fasilitas pariwisata seperti hotel,

restoran, arishop, transportasi, komunikasi, pasar seni, sarana hiburan dan fasilitas

a. Agama Hindu b. Budaya c. Seni

d. Tradisi Kecenderungan - sakral, bercorak Hindu Bali - total, integral - kebersamaan, komunal - keseimbangan kosmis (lahir dan bathin)

56

Page 33: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

lainnya; dipertahankannya beberapa tradisi masyarakat yang luhur (aktivitas subak, seka,

keliidupan gotong royong, pesta seni, rehabilitasi dan pembangunan tempat-tempat

ibadah, dsb.); pengembangan kreativitas seni dan kerajinan; pengembangan sekolah

kejuruan dan lembaga studi / kajian budaya dan pariwisata (SLTA, diploma, SI, S2, S3

dan LSM); usaha reservasi situs-situs budaya yang bersejarah; pengembangan Bali

sebagai pulau taman dan pulau surga (ihe island of paradise)\ berkembangnya

pengetahuan dan kesadaran global pada masyarakat yang memungkinkan pengembangan

kemampuan dan kepribat'-m untuk berkompetisi dalam perekonomian global;

mengembangkan etos dan produktivitas kerja yang baru; dan sebagainya.

Tidak dapat dipungkiri pula tentunya bahwa pariwisata juga telah memberi efek

yang negatif terhadap masyarakat dan kebudayaan Bali seperti adanya peniruan

(demonstration effeci) terhadap kebudayaan Bali, koinodifikasi, penurunan kualitas

kesenian, profanisasi kesenian sakral, profanisasi kegiatan ritual dan tempat suci (Ardika,

2004), perusakan lingkungan di beberapa daerah (Pitana, 2004), memudarnya minat

generasi muda terhadap bahasa daerah Bali, munculnya dan maraknya praktik gigolo dan

prostitusi di beberapa daerah wisata, berkembangnya sikap individualistik, materialistik,

dan hedonistik, menurunnya minat melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi di

beberapa daerah wisata karena faktor kerja yang mendatangkan uang atau dolar,

perkawinan campuran yang merugikan masyarakat Bali, dan sebagainya.

D. Konflik Kepentingan Masyarakat Lokal, Nasional, dan Global: Pengaruhnya terhadap Pendidikan IPS di Sekolah serta Dampaknya terhadap Siswa

Pendidikan sosial sebagai tujuan yang lebih luas dari pendidikan IPS di sekolah

sangat peka terhadap kepentingan dan pengaruh masyarakat sekitarnya. Ini disebabkan

karena, pada dasarnya, sekolah - tennasuk pendidikan IPSnya —juga merupakan

subsistem dari sistem masyarakat yang lebih luas, baik sebagai subsistem sosial,

subsistem budaya, maupun subsistem teknologi (Koentjaraningrat, 1986). Di samping itu,

tentunya masyarakat juga adalah subjek bagi studi IPS tennasuk tempat dimana

pendidikan IPS itu diajarkan (Nelson, 1991).

Sebagai subsistem dari sistem sekolah dan sistem masyarakat yang lebih luas,

karena itu, pendidikan IPS memiliki misi dan tujuan yang bersifat normatif bagi

kepentingan masyarakatnya (Somantri, 2001; Stopsky dan Lee, 1994). Karena itu, nilai-

nilai yang positif dalam masyarakat tentu akan terekspresikan dalam studi PIPS, begitu

57

Page 34: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

pula nilai-nilai yang kritis dan mengalami konflik akan dieksplorasi dalam PIPS

(Stradling, Noctor, dan Baines, 1984).

Dilihat dari kepentingan tersebut, PIPS tidak saja berfungsi sebagai proses

sosialisasi dan transmisi budaya bagi kepentingan kelestarian masyarakatnya, tetapi juga

dapat berperan menjadi agen perubahan sosial budaya dalam masyarakat itu sendiri

(Waterworth dan Supriatna, 1997). Dalam generalisasi Engle dan Ochoa (1988)

dijelaskan bahwa adanya kepentingan masyarakat yang berkompetisi, tidak saja hal itu

akan mendorong kri'ik sosial yang diperlukan bagi proses kemajuan masyarakat, tetapi

juga akan mendorong masyarakat untuk memelihara tradisi-tradisi budayanya. Konflik

kepentingan masyarakat inilah tentunya yang akan merupakan subjek utama dalam

pendidikan IPS dan menjadikannya sebagai objek studi yang berupa isu-isu kontroversial

(Apple, 1979).

Begitulah maksud-maksud normatif yang mencerminkan harapan-harapan dari

komponen-komponen dalam masyarakat menuntun kepada pemilihan berdasarkan

kepentingan ideologis dari nilai-nilai, konsep, data, sikap, dan perilaku yang boleh dan

tidak boleh diajarkan dalam PIPS. Karena itu, dapat dikatakan bahwa pendidikan sosial

(PIPS) itu merupakan wahana kontes kepentingan dari berbagai kelompok masyarakat

(Apple, 1979; Giroux, 1988; Stanley, 1981).

Konsep masyarakat yang menjadi subjek dan sekaligus objek bagi studi IPS

tersebut memiliki berbagai dimensi, yang masing-masing dimensi itu mengandung

muatan unsur budaya dan valensi serta pembahan sosialnya (Cohen, 1985; Nelson, 1991).

Setiap dimensi masyarakat ini tentunya mengandung muatan unsur sistem sosial, budaya,

dan sistem teknologinya sendiri (Koentjaraningrat, 1986), atau menjadi subsistem dari

sistem budaya yang lebih luas. Muatan-muatan unsur budaya itu antara lain adalah

ideologi, sistem keyakinan/religi, ritual, upacara, bahasa, tradisi, sistem simbol, pola

prilaku hubungan sosial, dan sebagainya. Masyarakat yang dipelajari dalam IPS ini tentu

bukanlah masyarakat yang statis, melainkan dinamis dalam gerak evolusi atau perubahan

sosialnya yang membawa serta perubahan valensi nilai yang dapat berubah ke arah nilai

yang positif, atau sebaliknya, menjadi negatif Berbagai dimensi masyarakat dalam

muatan unsur-unsur budaya dan perubahan valensinya inilah yang diakui para ahli turut

mewarnai kebijakan program, proses, dan produk pendidikan sosial (IPS) di sekolah. Dan,

di sinilah konflik kepentingan itu bisa terjadi.

Sesuai dengan bentuk-bentuk konflik kepentingan yang mewarnai pendidikan IPS

seperti telah dijelaskan di atas, setidak-tidaknya ada konflik kepentingan tiga level

58

Page 35: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

kelompok masyarakat yang sangat perlu diidentifikasi dan dieksplorasi lebih lanjut dalam

pengaruhnya terhadap pendidikan IPS di sekolah, yaitu konflik kepentingan antara

masyarakat lokal/etnik, kepentingan nasional dan masyarakat multikultural, serta

kepentingan masyarakat global (Banks, 1981; Stopsky dan Lee, 1994). Beberapa literatur

Pendidikan IPS dewasa ini juga telah memasukkan pentingnya pendidikan etnisitas,

pendidikan multikultural, dan pendidikan perspektif global (Banks, 1981; Nelson, 1991;

Stopsky and Lee, 1994). Banks (1981:135), misalnya, menggambarkan pentingnya

pendidikan multietnik melalui pengembangan tipologi jenjang etnik ke dalam enam

tingkatan yang dapat digambarkan sebagai tertera pada halaman 60 berikut. Senada

dengan Banks, Tilaar (1999:90) dalam bukunya Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan

Nasional dalam perspektif Abad 21 juga menyarankan pentingnya mengakomodasi

konflik kepentingan masyarakat lokal, nasional, dan global agar menjadi dasar dalam

pengembangan program pendidikan di sekolah yang dapat digambarkan sebagai tertera

pada gambar 06 di halaman 61.

Harapan-harapan dari adanya konflik kepentingan dalam masyarakat pada tiga

level tersebut jujur harus diakui belum dapat dikonstruksi dan distmkturisasi dalam

program-program pendidikan IPS secara jelas, seimbang, sisitematis, berencana, dan

terorgam'sir, apalagi di Indonesia. Selama ini harapan-harapan tersebut barulah

mempengaruhi berkembangnya gagasan-gagasan pendidikan IPS yang inovatif serta

mempengaruhi kurikulum tersembunyi (Nelson, 1991).

Pengembangan pemikiran inovatif untuk mengakomodasi dan turut memecalikan

konflik kepentingan masyarakat lokal, nasional, dan global (multikultural) dalam dimensi

pendidikan dinilai amat relevan dengan tuntutan perkembangan masyarakat abad ke-21.

Hal ini memungkinkan pengembangan SDM unggul menghadapi tantangan masyarakat

kompetitif era globalisasi serta pengembangan SDM dengan karakteristik belajar secara

terus menerus dan tetap menghargai, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai

indigeneous (Gafiar, 1996, 1999; Tilaar, 1999). Hal terakhir ini sejalan dengan penilaian

komisi UNESCO (dalam Tilaar, 1999) yang menyatakan bahwa dalam mempersiapkan

pendidikan manusia abad ke-21 belajar haruslah didasarkan kepada empat pilar utama,

yaitu: learning to ihink, learning to do, learning to be, Jati learning to live logether. Pilar-

pilar pendidikan seperti ini tentu dapat dikatakan sebagai model belajar berbasis budaya

dan ini tentu sangat penting dan relevan diterapkan dalam program pendidikan IPS di

sekolah.

59

Page 36: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

Gambar 05: Tipologi Enam Jenjang Etnik dalam rangka Pendidikan Muttietnik menurut James A. Banks.

Globalism and Global

Competency Stage6

Multiethnicity ait<f Retlective Nationaiism

i \

Biethnicity

Ethnic Identity Clarification

i k

Ethnic Eacapsulation

i L

ethnic Psychotogical

Captivity

Stage S

Stage4

Stage 3

Stage 2

Stage 1

Sumber; Banks. J A 19SI. Mulliethnic Educalion. Theory and Practice. Boston. Allyn and Bacon. Hal: 135.

Pentingnya paradigma IPS berbasis budaya lokal, nasional, dan global

(multikutural) juga dapat dinilai dari pentingnya inenciptakan SDM masa depan yang

mampu berpikir global namun dapat bertindak secara lokal (think globally, act locally).

Menurut isiilah Wertheitn, sosiolog berkebangsaan Belanda, disebut "plain living and

high thinking".

60

Page 37: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

Sumber: Tilaar. H A R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21. Hal: 90

Penerapan pendidikan budaya tokai, nasional, dan perspektif global dalam IPS

ternyata bukanlah harapan masyarakat Indonesia semata. Di negara-negara maju seperti

Amerika, Jepang, Australia, negara-negara Eropa, bahkan di negara-negara Asia lainnya

ketiga jenis pendidikan di atas ternyata telah diintegrasikan dalam pendidikan IPS (Social

Sluciies atau Social Educatkm) mereka (Banks, 1981; Stopsky and Lee, 1994;

Waterworth, 1999; Welton and Mailan, 1996; White, 1985). Demikianlah bahwa di setiap

negara vang mengintegrasikan pendidikan budaya loka!, nasional, dan global

(multikultural) kc dalam Pendidikan IPS, mereka menilai bahwa mereka telah

menghadapi masalah dan tantangan yang sama di masa depan karena saling

ketergantungan masyarakat global.

61

Page 38: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

Berkembangnya pemikiran-pemikiran dan harapan-harapan seperti di atas ternyata

dapat berpengaruh pula terutama pada apa yang disebut hidden curriculum di sekolah. Hal

ini terutama juga berkaitan dengan ideologi yang berkembang yang berpengaruh kepada

program-program sekolah. Sebagai salah satu contoh, Apple (1979) mengidentifikasi

bahwa Pendidikan IPS (Social Siudies) merupakan subjek yang secara ideologis

didominasi oleh kurikulum tersembunyi yang membatasi siswa pada pandangan-

pandangan konservatif normatif tentang dunianya. Begitu juga Giroux dan Penna (1979),

misalnya, mendefinisikan kurikulum tersembunyi dalam pendidikan IPS merupakan

keyakinan-keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma yang tersembunyi yang

ditransmisikan kepada siswa melalui struktur makna yang mendasari. Peneliti-peneliti lain

seperti Gilbert (1984) dan Nelson (1991) antara lain juga menyatakan bahwa pendidikan

sosial dan politik umumnya ditujukan untuk mengajarkan pandangan-pandangan

kelompok dominan dalam masyarakat, menanamkan ideologi-ideologi ekonomi dan

pemerintalian nasional, serta membatasi konflik-konflik kepentingan dari pengkajian. Jika

pernyataan-pernyataan di alas benar dapatlah diyakini bahwa program Pendidikan IPS

tidak dapat dilepaskan dari adanya konflik kepentingan dalam masyarakat dalam rangka

mewujudkan adagium thinkglobaily, aci locally, undcommit naiiomlly.

Di samping konflik kepentingan pada ketiga level masyarakat di atas, menurut

Stopsy dan Lee (1994), Pendidikan IPS perlu pula mengeksplorasi konflik kepentingan

antar kelas sosial (social class) dalam masyarakat dan konflik kepentingan gender.

Konflik-konflik kepentingan ini dinilai mengandung muatan unsur-unsur budaya yang

utama seperti ideologi, bahasa, sistem simbol, pandangan terhadap iptek, sistem religi dan

ritual, orientasi nilai, perilaku hubungan sosial, dominasi distribusi kekuasaan politik dan

ekonomi, dan sebagainya.

Pengaruh berbagai kepentingan masyarakat yang mewarnai program dan proses

pendidikan IPS di sekolah ini tentu memiliki produk atau ouipui serta dampaknya pada

siswa (Nelson, 1991). Sebagai contoh, Litt (1963) menemukan bahwa siswa yang diberi

pelajaran civics di sekolah cenderung lebih menghargai nilai-nilai dan cita-cita demokrasi

dan kurang bersifat chauvinistik. Lebih lanjut, Litt (1963) juga menemukan bahwa ada

perbedaan keyakinan dan sikap politik siswa yang terekspresi dalam pelajaran civics

dilihat dari tiga kelompok kelas sosial dan harapan-harapan pemimpin masyarakatnya.

Labov(1987) menemukan bahwa teijadi polaritas sosial pada siswa yang terekspresi

dalam penggunaan bahasa dan konsep literasi sebagai yang diadopsi oleh sekolah.

Polarisasi itu teijadi antara siswa kulit putih dan siswa Afrika-Amerika, siswa pria dan

62

Page 39: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

wanita, dan antara kelompok kelas menengah dan kelas pekerja. Selanjutnya, Ogbu

(1987) menemukan adanya bentuk identitas oposisi di antara siswa kelompok minoritas di

Amerika yang muncul dari perbedaan budaya dan bahasa yang berkomplikasi dengan

bentuk dan persepsi yang berbeda terhadap pendidikan sosial. Bemstein (1976) juga

menemukan perbedaan berdasarkan kelas sosial dan penggunaan bahasa sebagai bentuk

kontrol sosial bagi siswa. Penelitian Sukadi (1994) menunjukkan bahwa siswa yang

memiliki frekuensi yang tinggi dalam berinteraksi dengan wisatawan asing sebagai

dampak pembelajaran bahasa a?;ng menggunakan pendekatan komunikatif dapat

meningkatkan kadar nilai modem siswa SMTA di Bali, tetapi tidak berpengaruh negatif

terhadap tingkat religiusitas mereka.

E. Pendidikan IPS sebagai Proses Pelestarian Budaya melalui Proses Enkulturasi

dan Akulturasi Budaya

Pendidikan di sekolah, termasuk pendidikan IPSnya, sebagai telah dijelaskan di

atas dapat dilihat sebagai suatu proses pelestarian budaya, yaitu proses enkulturasi dan

akulturasi budaya. Dalam hal ini tentu sekolah tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial

budaya masyarakat yang melingkupinya. Pendidikan IPS sebagai suatu proses enkulturasi

budaya dapat diartikan di sini sebagai proses pengalihan sistem pengetahuan, ideologi,

keyakinan dan ritual, nilai-nilai, sistem simbol, sikap, dan beberapa keterampilan hidup

(life skill) yang fundamental yang mencerminkan karakteristik budaya suatu masyarakat

diwariskan kepada generasi muda (siswa) melalui proses pendidikan di sekolah termasuk

melalui pendidikan IPS (Pai, 1990). Dalam definisi ini jelas bahwa pendidikan IPS dapat

juga dipandang sebagai proses sosialisasi dan transmisi budaya masyarakatnya (Cohen,

1971.19-50).

Pendidikan IPS sebagai proses enkulturasi budaya di sini tidaklah hanya berarti

apa yang yang secara formal ada di dalam kurikulum dan tindakan guru di kelas dalam

mengajarkan muatan atau materi budaya masyarakat (pengetahuan, nilai-nilai, sikap, dan

keterampilan hidup). Dalam pengertian ini juga akan termasuk bagaimana kebijakan

diambil, iklim belajar diciptakan atau dikondisikan, aktivitas (kurikuler, kokurikuler, dan

ekstrakurikuler) dilakukan, dan keteladanan guru dicontohkan yang memungkinkan

unsur-unsur sistem sosial, sistem budaya, dan sistem teknologi masyarakat dapat

dipelajari oleh siswa untuk kepentingan proses pelestarian budaya masyarakat tersebut.

Meminjam konsep Cohen (197!: 19-50), proses enkulturasi budaya dalam pendidikan IPS

dapat dilakukan baik melalui proses sosialisasi maupun proses pendidikan. Melalui kedua

63

Page 40: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

prosedur inilah siswa belajar di lingkungan sekolah bagaimana ideologi masyarakatnya,

keyakinan dan ritualnya, orientasi nilainya, bahasa dan prosedur serta cara

berkomunikasinya, simbol-simbol identitasnya, rasa estetisnya, tata susilanya, dan

sebagainya. Perlu juga dipahami bahwa proses enkulturasi budaya ini teijadi hanya dalam

satu lingkungan pendukung budaya tertentu. Contonya adalah terjadinya proses

enkulturasi budaya Bali di lingkungan masyarakat Bali yang mendukung budaya Bali

tersebut. Aspek inilah yang salah satunya membedakan konsep enkulturasi budaya dengan

proses akulturasi budaya.

Pendidikan IPS sebagai suatu wahana proses akulturasi budaya, selanjutnya, dapat

diartikan sebagai proses di mana siswa dengan kebudayaan tertentu yang dimiliki belajar

menerima pengaruh budaya tertentu yang datang dari luar yang turut mendominasinya

(Koentjaraningrat, 1986). Bisa juga teijadi proses akulturasi budaya jika siswa dari

kelompok minoritas yang mendukung suatu budaya tertentu belajar menerima pengaruh

budaya dari kelompok mayoritas yang dominan (Pai, 1990). Di sini dapat terjadi proses

integrasi budaya antara budaya lokal dengan budaya nasional atau dengan budaya asing;

atau antara budaya kelompok minoritas dengan budaya kelompok mayoritas.

Ada dua kemungkinan yang terjadi dari proses integrasi budaya ini, yaitu apa yang

disebut dengan local genius dan akulturasi yang ekstnm (Wales, 1948-1949). Suatu

proses local genius terjadi apabila unsur budaya asli suatu masyarakat masih dominan

didukung oleh masyarakat pendukungnya walaupun telah terjadi penyerapan unsur-unsur

budaya asing di dalamnya. Sebagai contoh adalah terjadinya penyerapan unsur-unsur

kebudayaan India yang tidak kentara oleh pendukung kebudayaan nusantara pada masa

kerajaan-kerajan Hindu, seperti oleh pendukung kebudayaan Jawa dan Bali. Beberapa

unsur kebudayaan India yang diserap oleh pendukung kebudayaan Jawa dan Bali, antara

lain adalah unsur bahasa Sansekerta; teknologi arsitektur dan bangunan irigasi; organisasi

sosial sistem kasta; sistem pengetahuan pengobatan usada, ilmu hukum

ManawaJharmasasira, dan seksuologi kamasulra; agama sinkritisme Hindu, Ciwa, Buda,

dan Bhairawa; serta beberapa unsur seni pahat, lukis, tari, sastra, dan seni bangunan

(Koentjaraningrat, 1986:80-90: Poespowardojo, 1986:28-38). Di sini, walaupun

pendukung kebudayaan Bali dan Jawa sama-sama menerima pengaiuh kebudayaan India,

sama sekali tidak menunjukkan bahwa kebudayaan Bali dan Jawa itu sama

penampakannya; apalagi dengan kebudayaan India. Ini terjadi karena baik pendukung

kebudayaan Bali maupun Jawa sama-sama memiliki local genius untuk menyerap

kebudayaan India dan mengintegrasikannya dengan kebudayaan masing-masing.

64

Page 41: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

Berbeda dengan proses local genius, proses akulturasi budaya yang ekstrira

menunjukkan sebaliknya. Di sini masyarakat lokal atau kelompok masyarakat minoritas

nampak dikuasai oleh pengaruh budaya asing atau budaya kelompok mayoritas yang

mendominasinya. Sebagai contoh adalah terjadinya proses Amerikanisasi dalam proses

pendidikan formal di Amerika terhadap siswa-siswa kelompok minoritas dari abad ke-17

hingga awal abad ke-20 (Pai, 1990; Etziom-Halevy, 1981; Thomas and Wahrfiaftig,

1971:230-251). Dalam konteks akulturasi budaya seperti ini siswa-siswa dari kelompok

minoritas Negro, Asia, dan Indian harus mau menerima pengaruh seluruh unsur budaya

Anglo-Saxon yang mayoritas dan dominan secara seragam demi kesatuan Amerika.

Karena itu siswa-siswa kelompok minoritas ini harus mau menerima apa yang menjadi

vore values budaya WASP (While Anglo~Saxon Pro les tani) yang dikenal dalam lima

kategori umum, yaitu: puritan moralUy, work-success elhic, individualism, achtevemenl

oriental ton, dan future-lime orieniation (Spindler, 1963:134-136).

Contoh lain dari proses akulturasi budaya bentuk ini adalah proses Singapuranisasi

yang tejjadi dalam sistem pendidikan terhadap kelompok-kelompok etnik Malay, India,

dan China di Singapura dalam rangka proses integrasi nasionalnya sejak tahun 1960-an.

Melalui proses pendidikan seperti ini telah menghasilkan integrasi masyarakat Singapura

baik secara struktural, dari dimensi sikap, komunikasi, maupun pembentukan identitas

nasionalnya (lihat Chiew Seen-Kong, 1978: 130-146).

F. Ideologi, Hegemoni, dan Budaya

Memahami praktik pendidikan di sekolah - termasuk Pendidikan IPSnya —

sebagai proses budaya (enkulturasi dan akulturasi) tidak dapat dilepaskan dari hubungan

konsep-konsep ideologi, hegemoni, dan budaya. Di sini akan dikaji bagaimana praktik

pendidikan sekolah sebagai proses budaya menunjukkan kompleksitas yang antagonis

dalam hubungan-hubungan kekuasaan (power) dan perjuangan (struggle) antara kelas-

kelas dengan budayanya yang dominan dan kelas yang didominasi (Giroux, 1981).

Ideologi, karena itu dapat berfungsi sebagai kesadaran sejarah yang memberikan cara

pandang kepada masyarakat bagaimana prinsip-prinsip yang objektif harus ditegakkan

demi kelangsungan masyarakat itu sendiri (Althusser, 1984; Larrain, 1996). Di sisi lain,

ideologi juga menjadi kesadaran yang palsu karena menjadi alat bagi kelas yang berkuasa

untuk mempertahankan status quo /hegemoninya (Ritzer, 1992). Tetapi realitas sosial

juga menunjukkan adanya tindakan politis dalam hubungan-hubungan kekuasaan yang

memungkinkan budaya masyarakat melakukan transformasi.

65

Page 42: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

Ideologi didefinisikan oleh Lefebvre, sebagai dikutip oleh Ritzer (1992:70), adalah

sebagai sistem ide yang terintegrasi yang berada di luar manusia tetapi memiliki

kekuasaan yang memaksa. Memiliki kekuasaan yang memaksa di sini dapat diartikan

sebagai yang menetukan cara pandang manusia terhadap sistem pengetahuan, keyakinan,

nilai-nilai dan tindakan moral, serta hubungan sosial yang secara keseluruhan membentuk

sistem sosial di dalam masyarakat. Memandang ideologi dalam hubungan-hubungan

kekuasaan di dalam masyarakat seperti itu, karena itu, tidak dapat dilepaskan dari kritik

terhadap kesadaran, dan kemungkinan-kemungkinan yang inheren di dalam kesadaran

ideologi itu sendiri. Di satu sisi ideologi melambangkan bentuk-bentuk kesadaran dan

wacana yang palsu dibuat oleh kondisi sosial dan material diniana ideologi itu muncul; di

sisi lain ideologi dipandang sebagai suatu sistem ide yang mengubah realitas untuk

melayani kepentingan-kepentingan kelompok kelas yang dominan di dalam masyarakat

(Giroux,, 1981).

Mengikuti konsep Marx tentang ideologi, Ritzer (1992:71) menyimpulkan bahwa

setidak-tidaknya ada tiga gagasan yang saling berhubungan terlibat dalam konsep

ideologi. Pertama adalah ideologi itu menggambarkan kepentingan kelompok dan budaya

yang berkuasa tennasuk dampaknya terhadap kepentingan-kepentingan material. Kedua,

ideologi merupakan refleksi yang terbalik dan memotong realitas yang ada. Ketiga,

ideologi memiliki eksistensinya yang independen dan memaksa. Dari tiga karakteristik ini

dapat dipahami bagaimana ideologi berperan dalam memperoleh persetujuan dari

kelompok dan budaya yang tertindas dan tereksploitasi. Lefebvre (1968:76) menegaskan

bahwa ideologi merampas dari kaum tertindas, tidak saja yang bersifat kesejahteraan

materi, tetapi juga penerimaan mereka secara spiritual atas situasi yang dikondisikan

ideologi itu, dan balikan dukungan-dukungan mereka.

Untuk mengenali fungsi-fungsi ideologi seperti di atas dalam proses pendidikan di

sekolah perlu dikembangkan gagasan ideologi yang menyediakan pisau analisis tentang

bagaimana sekolah memelihara dan memproduksi ideologi dan bagaimana individu-

individu dan kelompok di dalam hubungan-hubungan yang konkrit di sekolah melakukan

negosiasi, bertalian, atau menerima ideologi itu sendiri. Ini berarti menganalisis cara-cara

yang menyembunyikan dominasi pada level institusi sekolah. Ini menyarankan pula untuk

mengkaji bagaimana ideologi yang dominan dikesankan dalam, antara lain: bentuk dan isi

dari materi-materi di kelas, organisasi sekolah, hubungan sosial sehari-hari di kelas,

prinsip-prinsip yang menstruktur pemilihan dan organisasi kurikulum, sikap para stafif

sekolah, setta wacana dan praktik dari pihak-pihak yang memiliki kekuasaan untuk

66

Page 43: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

rnempenetrasikan logikanya. Dengan analisis ini semua memungkinkan untuk memahami

bagaimana ideologi disituasikan di dalam bubungan sekolah dengan masyarakat, negara,

dau bahkan dengan institusi-institusi lain yang memiliki kekuasaan di dalam proses

kontrol sosial dan dominasi kelas. Di sisi lain akan di lihat kedudukan ideologi dalam

eksistensinya dalam praktik dan kesadaran para individu dau kelompok-kelompok yang

terkait dengan sekolah yang menghasilkan dan mengalami hubungan-hubungan sosial

mereka dalam struktur yang hanya sebagian mereka buat (Giroux, 1981:22).

Tentu saja ideologi tidak berfungsi dalam satu kevakuman Jdeologi beroperasi

melalui agen-agen yang melaksanakan dominasi mereka, misalnya kelompok pengawas,

kepala sekolah, birokrasi, dan sebagainya. Ideologi itu akan mempengaruhi tindakan para

agen dari kelas yang berkuasa dan pada gilirannya mempengarulii pula cara berpikir dan

bertindak kelompok dan budaya yang dikuasai, misalnya guru dan siswa (Ritzer,

1992:71). Atas dasar milah perlu dipahami konsep tentang hegemoni.

Hegemoni dinyatakan oleh Gramsci, sebagai dikutip oleh Giroux (1981:23),

mempunyai dua makna. Pertama adalah mengacu kepada suatu proses dalam masyarakat

sipil yang memungkinkan kelompok kelas yaug fundamental melakukan kontrol

bagimanapun kepemimpinan moral dan intelektualnya terhadap kelompok atau kelas-

kelas aliansi. Dalam perspektif ini satu aliansi dibentuk di antara ihe ruling groups

sebagai hasil dari kekuasaan dan kemampuan satu kelas untuk mengartikulasikan

kepentingan dari kelompok-kelompok sosial yang lain kepada kepentingannya. Ini tidak

berarti bahwa kepemimpinan intelektual dan moral kelompok 'dominan harus

memaksakan ideologinya kepada aliied groups (kelompok sekutu), melainkan melalui

proses transformasi secara paedagogis dan politik kelompok atau kelas dominan

mengartikulasikan prinsip hegemonik yang membawa bersama elemen-elemen umum

dari pandangan dunia dan kepentingan-kepentingan dari aliied groups.

Makna yang kedua menunjukkan bahwa hegemoni itu terjadi dalam hubungan

antara kelas dominan dengan kelas yang didominasi. Dalam hal ini kelas dominan

berhasil menggunakan kontrolnya atas sumber-sumber negara dan masyarakat sipil

melalui penegakan ideologi/pandangan dunia bersama yang cenderung dianggap berlaku

universal dan disosialisasikan melalui sistem pendidikan. Dengan dua kekuatan,

kekuasaan dan persetujuan umum, kelas dominan menggunakan kepemimpinan

intelektual, moral, dan politiknya membentuk dan menjadikan pandangan, kebutuhan, dan

kepedulian kelompok-kelompok subordinasi taken-for-granied. Dalam melaksanakan itu

semua tidak saja kelompok dominan mempengaruhi kepentingan-kepentingan dan

67

Page 44: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

kebutuhan-kebutuhan dari kelompok yang terdominasi, tetapi juga membatasi wacana dan

praktik kehidupan yang bersifat oposisi. Dalam hal terakhir, ideologi yang memegang

kendali hegemoni berupaya membatasi wacana dengan menetapkan agenda politik,

mendefinisikan isu dan terminologi dalam wacana, serta mengeluarkan gagasan-gagasan

yang bersifat oposisi. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hegemoni nampak di

dalam kekuatan simbol-simbol dan makna-makna yang melegitimasi kepentingan

dominan dan dalam praktik yang menstruktur pengalaman sehari-hari.

Dalam praktik pendidikan di sekolah, seperti yang terjadi pula pada institusi lain,

adanya produksi ideologi yang dominan dan bersifat hegemonik cenderung bersembunyi

di balik sejumlah bentuk-bentuk legitimasi, beberapa di antaranya disebutkan oleh Giroux

(1981:24) adalah adanya klaim dari kelas dominan bahwa kepentingan mereka

mencerminkan kepentingan semua kelompok; konflik dianggap terjadi berada pada

tataran kepentingan nonpolitis; dan presentasi bentuk-bentuk kesadaran tertentu,

keyakinan, sikap, nilai-nilai dan prilaku yang dianggap bersifat alamiah, universal, dan

etemal.

Hubungan antara ideologi dan hegemoni seperti di atas tidaklah harus ditafsirkan

bahwa bentuk dan proses hegemoni menggambarkan kekuasaan yang kohesif; artinya,

hegemoni tidaklah semata-mata berarti bahwa kelompok dominan memproyeksikan ide-

idenya kepada kelompok subordinasi. Seperti Grainsci lebih lanjut menyatakan bahwa

dalam hubungan-hubungan kekuasaan seperti itu selalu ada kesadaran yang kontradiksi

{conlradiclory consciousness) yang membuat manusia memandang dunia ini dari dua

perspektif; yaitu adanya bentuk hegemoni dari berpikir dan adanya mode berpikir kritis.

Melalui dua perspektif itu kemudian hubungan kekuasaan berproses dalam dialektika

budaya antara upaya mempertahankan bentuk dan isi kepentingan yang mendapat

legitimasi dari ideologi di satu sisi dengan upaya transformasi budaya untuk

menyelaraskannya dengan perubahan tuntutan sejarah di sisi Jam (Giroux, 1981).

Karena itu, dalam hubungan ideologi dan hegemoni di atas, budaya haruslah

dipandang sebagai sejumlah hal yang divergen d i mana kekuasaan dijalankan secara tidak

seimbang untuk menghasilkan perbedaan makna dan praktik yang akhirnya akan

menghasilkan satu tipe masyarakat yang berfungsi dalam kepentingan kelas yang

dominan. Sejalan dengan pengertian budaya tersebut, maka, di samping penting

mengidentifikasi spesifikasi konten, mekanisme, dan prinsip yang mendasari praktik

hegemoni di sekolah, perlu juga untuk mensituasikannya dalam hubungan kehidupan

sekolah yang kontradiktif yang mewarnai kehidupan budaya di sekolah itu sendiri. Seperti

68

Page 45: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

di katakan oleh Giroux (1981:29) lebih lanjut, kepentingan perspektif ini karena

memungkinkan: 1) melihat kekuatan dan kelemahan dalam praktik hegemoni di sekolah,

2) melihat bagaimana bahasa, gaya, estetika, keterampilan, serta simbol-simbol dan

makna dijadikan mediasi bagi alat hegemoni dan tranfomiasi, 3) melihat hubungan

kekuasaan antara kepentingan negara, institusi-institusi masyarakat yang lain, dan

kepentingan sekolah mewarnai praktik hubungan civitas sekolah (terutama guru dan

siswa) sehari-hari di sekolah, 4) menyediakan pendidik melihat bagaimana kontradiksi

kapital terekspresi tidak saja dalam wacana hubungan guru dan siswa, tetapi juga di dalam

struktur kebutuhan-kebutuhan dan disposisi-disposisi yang hidup dan berperan di luar

kelas, dan 5) memungkinkan mengembangkan praktik paedagogi yang menggunakan

pengalaman keliidupan siswa itu sendiri sebagai satu siuriing point untuk

mengembangkan pengalaman di kelas di mana siswa menemukan bagaimana mereka

memberi makna terhadap dunia dan bagaimana makna seperti itu dapat digunakan secara

reflektif untuk menemukan sumber-sumber dan keierbatasanya.

G. Filosofi dan Ideologi Pendidikan

Berbicara tentang pendidikan sebagai suatu proses budaya tidak dapat dipisalikan

dari kajian tentang ideologi-ideologi pendidikan. Hal ini penting karena ideologi sebagai

pandangan filosofis pendidikan akan memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan

mendasar, antara lain tentang hakikat pendidikan, eksistensi pendidikan dalam keliidupan

masyarakat dengan sistem budayanya, menentukan sasaran-sasaran dan tujuan pendidikan

bagi masyarakat, kriteria-kriteria yang dikembangkan untuk mencapai sasaran tersebut,

serta pertanyaan mendasar tentang hubungan pendidikan dengan masyarakat dalam

hubungamiya dengan peranan pendidikan untuk melegitimasi atau melanggengkan sistem

dan struktur sosial masyarakat yang ada atau berperan kritis dalam melakukan proses

pembaharuan masyarakat dan transfonnasi budayanya menuju dunia yang lebih adil

(Faqih, 2001).

Praktik pendidikan di masyarakat dengan demikian tidaklah vacuum (vakum) dari

pemikiran-pemikiran besar masyarakatnya atau dari para pemikir-pemikir besar

pendidikan dunia yang dengan generalisasi-generalisasinya memungkinkan pendidikan itu

dikaji esensi-esensinya, dialahkan sasaran-sasaran dan tujuan-tujuannya, dimantapkan

fungsi-fungsi dan peranannya di dalam masyarakat, dikembangkan kriteria-kriteria

keberhasilannya, diuji validitas pemikirannya, serta dikritisi dan direfleksikan asumsi-

69

Page 46: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

asumsi, premis-premis, proposisi-proposisi, dan konsep-konsep yang melandasinya secara

koheren, sistematis, logis dan rasional (O'neil, 2001).

Dari penjelasan di alas dapat pula diketahui bahwa pemikiran-pemikiran filosofis

pendidikan memunculkan berbagai ideologi pendidikan. Di sini pemikiran filisofis

pendidikan memberikan kepada seseorang kemampuan mengkaji masalah-masalah yang

muncul dari fenomena pendidikan secara keseluruhan dengan mendalam, tuntas,

komprehensif, sampai tingkat eksistensi dan esensinya, antara lain berkenaan dengan

konsep-konsep dan argumen pendidikan dan nilai-nilai yang beraiakna yang muncul dari

sasaran, tujuan, dan objektif-objektif pendidikan. Pemikiran filosofi, dengan demikian,

diaplikasikan dalam dunia pendidikan dimaksudkan untuk menjelaskan konteks, proses,

dan produk pendidikan sebagai suatu sistem yang utuh dan komprehensif, begitu pula

dimensi-dimensi usaha pendidikan baik secara individual, sosial, moral, kultural, dan

religius.

Filosofi pendidikan dewasa ini ada yang bersifat normatif dan ada pula yang

bersifat analitis. Van Scotter, et al. (1985; 50) menjelaskan bahwa sebagai pendekatan

analitis, filosofi pendidikan concern pada makna substantif dari konsep-konsep

pendidikan serta logika dari teori-teori dan wacana pendidikan. Sebagai pendekatan

normatif, selanjutnya, filosofi pendidikan concern pada nilai-nilai utaina yang ada di balik

konteks, program, tujuan, dan dampak-dampak pendidikan secara utuh dan komprehensif

serta pada fundamen-fundamen utama pertimbangan sosial, religius, moral, dan kultural

yang implisit ada pada keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan kebijakan pendidikan.

Hubungan antara filosofi dan filosofi pendidikan yang melaliirkan pemikiran-pemikiran

pendidikan seperti ini sebagai dijelaskan oleh Kneller (1974: 3) adalah: "jusi as general

philosophy ailempts lo understand realily as a whole by explaining it in the mosi general

and syslemalic manners, so educational philosophy seelcs lo comprehend educalion in ils

entirety, interpreling it by means of general concepts ihal will guide the choice of

educational ends andpolicies.'"

Ada tiga posisi pemikiran filosofi utama yang dapat digunakan untuk menjelaskan

berkembangnya ideologi-ideologi pendidikan pada umumnya. Ketiga posisi tersebut

adalah idealisme yang jejaknya dapat dilacak dari pemikiran-pemikiran seperti Plato dan

ideologi-ideologi agama, realisme yang jejaknya dapat diturunkan dari pemikiran-

pemikiran seperti Aristoteles dan Thomas Aquinas, dan pragmatisme yang dapat dilacak

dari pemikiran-pemikiran seperti C.S. Peirce, W. James, dan J. Dewey (Van Scotter, et

70

Page 47: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

al. 1985:51). Sinopsis dari ketiga pemikiran filosofi pendidikan ini dapat digambarkan

oleh Van Scotter, et al. (1985:53) sebagai tertera berikut.

Tabel 02: Sinopsis Pemiidan Filosofi Pendidikan Idealisme, Realisme, dan Pragmatisme

Reality — — — — — — . —

Knowledge Value Logic

Idealisme Reality i s mind And form.

Knowledge is The idea, vis• a-vis ihe idea

Value is ihe re-fleclion of and imitation of ihe ideal mind and idea

Formal/ deductive

Realism Reality is things, objecls, matter

Knowledge is ihe corresponde.nct of ideas lo obser-vable facls

Value i s Ihe e-mulation of nature and natu ral law

Formalde-ductive and scientific inductive

Pragmatism Reality is human experience

Knowledge is ihe consequen ces of an idea that can be ac~ ted on

Value is derived from experience Va-luing ytelds criteria which can be used to evaluate experience

Scientific/ inductive and formal/ deductive

Sumber Van Scotter, R. D., et ai. 1985. Social Foundations of Education. Second Edition New Jereey: Prentice-Hal!, Inc. Hal: 53.

Dari ketiga pemikiran filosofi pendidikan di atas serta dengan melihat sejarah

perkembangan pemikiran-pemikiran besar pendidikan, Theodore Brameld, sebagai ahli

filosofi pendidikan, dalam bukunya antara lain: Philosophies of Educalion in Cultural

Perspcctive (1955) mengklasifikasikan empat aliran filosofi pendidikan, yaitu:

perenialisme, esensialisme, progresivisme, dan rekonstruksionisme (O'neil, 2001; Van

Scotter, et al. 1985).

Bagi aliran perenialisme, menurut Brameld, pendidikan haruslah mampu

meningkatkan dan memajukan nilai-nilai keutamaan leluhur di masa lalu dan

mempertahankan karakteristik nilai-nilai utama zaman klasik dengan kebesaran

pemikiran-pemikiran Plato, Aristoteles, dan Tliomas Aquinas. Keyakinan ini dilandasi

oleh pemikiran bahwa manusia pada hakikatnya memiliki pola-pola perilaku yang

konstan yang memiliki kemampuan — yang membedakannya dengan makhluk-makhluk

yang lain - yaitu kemampuan berpikir atau bernalar (the abiiity lo reason). Karena itu,

pendidikan juga haruslah memajukan kemampuan berpikir tersebut untuk melahirkan

manusia-manusia yang rasional. Pendidikan dan pembelajaran, menurut kaum perenialis

adalah seni untuk membantu anak didik menggunakan potensi berpikir rasionalnya,

dengan memberikan nasehat, eksplikasi, wacana sokratik, dan eksposisi oral. Kurikulum

71

Page 48: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

dalam pandangan perenialis haruslah berpusat pada pengajaran tujui) liberal aris, yaitu:

grammar, retorika, dialektika, aritmatika, geometri, astronomi, dan musik serta

pengajaran karya-karya besar pemikir dan filosof dalam sejarah kemanusiaan (Van

Scotter, et al., 1985). Lebih jauh dikatakan bahwa cara pandang budaya menyeluruh

dalam perenialisme cenderung berusaha memulihkan tolok ukur-tolok ukur mutlak yang

mengatur dunia zaman klasik dan pertengahan dan mengandung sifat menentang

demokrasi yang mumi (O'neil, 2001). Dengan demikian pendidikan bagi masyarakat

cenderu?3 menjadi sarana transmisi budaya, yaitu merekrut generasi muda ke dalam pola

struktur sosial dalam masyarakat yang sudah mapan dengan memberikan status dan

peranan-peranan sosial yang relevan dalam struktur sosialnya diikuti dengan upaya

menanamkan nilai-nilai keutamaan yang berkembang dalam lingkungan sosio-kultural

dalam masyarakat (Widja, 1991). Dapat dikatakan bahwa posisi pemikiran kaum

perenialisme cenderung merupakan paham fiolosofi pendidikan yang menekankan

konservatisme pendidikan.

Pemikiran esensialisme, tidak jauh berbeda dari pemikian perenialisme, adalah

berpegang pada pernyataan utama bahwa alam semesta beserta segala unsurnya diatur

oleh hukum yang mencakup semuanya serta tatatanan yang sudah mapan sebelumnya.

Tugas ulama manusia karena itu menemukan dan memahami struktur hukum-hukum alam

dan sosial yang telah tertata sehingga memungkinkan manusia menghargainya untuk

kepentingan menyesuaikan diri dengan tatanan hukum alam dan sosial budaya yang telah

teratur itu. Relevan dengan tugas manusia seperti itu, tugas pendidikan haruslah

ineniimbulikembangkan kemampuan intelektual individu manusia dengan sudut pandang

idealisme dan realisme yang objektif. Pendidikan, sejalan dengan itu, juga mempunyai

fungsi dalam melestarikan dan mewariskan tradisi-tradisi budaya utama masyarakat

modern yang telah berakar sebelumnya pada pemikiran-pemikiran besar para filosof

dalam rangka pertumbuhan peradabannya. Program pendidikan, karena itu, haruslah

menyediakan kurikulum yang dapat membantu anak mengembangkan kemampuan

intelektual dengan subjek-subjek pelajaran yang esensial yang mampu menguatkan

kecakapan-kekapan dasar (basic sktlls) manusia. Dalam hal pendidikan nilai, pandangan

esensial mengajukan pentingnya mengajarkan nilai-nilai tradisi yang lelah dihargai oleh

kelas-kelas dominan dalam masyarakat. Jadi pembelajaran adalah upaya transmisi yang

efektif dan efisien atas pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan-keterampilan esensial

dalam masyarakat (Van Scotter, 1985). Sebagai sebuah filosofi sosial yang utuh,

esensialisme menampilkan sebuah kebijakan kontemporer serta program-program

72

Page 49: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

pelestarian budaya yang memantulkan humanisme klasik yang telah dan terus

berkembang (0,neil, 2001).

Jika esensialisme lebih dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filosofi idealisme

dan realisme yang objektif, progresivisme kemudian muncul di akhir abad XIX lebih

dipengaruhi oleh filsafat pragmatisme. Progresivisme meyakini bahwa pendidikan adalah

proses yang tumbuh dan berkembang dengan merekonstruksi pengalaman secara terus

menerus sebagai suatu proses belajar. Pendidikan menurut progresivisme bukanlah upaya

menyiapkan anak untuk kehidupan orang dewasa, melainkan sebuah proses keliidupan

yang berdinamika. Ini hanya bisa dilakukan dalam kondisi keliidupan sosial masyarakat

yang demokratis yang memungkinkan setiap orang berpartisipasi dan terlibat aktif dalam

keliidupan masyarakatnya yang terus mengalami proses transformasi. Pendidikan haruslah

menyiapkan anak untuk aktif dalam proses belajar yang mencerminkan struktur sosial

masyarakat yang demokratis untuk menuntun subjek didik mengubah prilaku-prilakunya.

Atas dasar itu, program pendidikan haruslah menyediakan kurikulum pendidikan yang

bersumber dari kebutuhan siswa dan masyarakat serta memanfaatkan aplikasi inteligensi

pada permasalahan-permasalahan manusia dalam masyarakatnya. Belajar yang relevan

dengan program kurikulum seperti di atas adalah belajar yang melibatkan secara aktif

peran subjek didik dalam proses belajar partisipatif, kerja kooperatif, learning by doing,

dan proses inkuiri. Dari uraian ini tampak jelas bahwa aliran pemikiran progresivisme

cenderung mengembangkan pola pikir liberalisme pada umumnya dalam proses

pendidikan dibandingkan dengan perenialisme dan esensialisme yang lebih

mengembangkan pola pikir konservatisme pendidikan (O'neil, 2001; Van Scotter, et al.,

1985).

Pemikiran filosofis yang lebih kritis dari pada progresivisme dalam klasifikasi

filosofi pendidikan Brameld adalah pemikiran filosofis pendidikan rekonstruksionisme.

Dengan berakar kuai pada pandangan-pandangan intelektual dan sosiologis dari

pemikiran pragmatisme, pemikiran filosofi pendidikan rekonstruksionisme cenderung

menjadikan pendidikan sebagai wahana transformasi sosial bagi dan dipengaruhi pula

oleh transformasi sosial budaya dalam masyarakat. Menurut keyakinan kaum

rekonstruksionisme, pendidikan haruslah memimpin masyarakat untuk merealisasikan

nilai-nilainya melalui tujuan-tujuan utama dan program-program pendidikan yang

mengarahkan masyarakat pada kehidupan yang lebih baik dan adi! dari sebelumnya.

Pendidikan sekolah karena itu diharapkan dapat menjadi agen-agen perubahan dan

reformasi sosial budaya. Relevan dengan itu kurikulum pendidikan haruslah berbasis pada

73

Page 50: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

cita-cita ideal masyarakat di masa depan. Pelaksanaan program pendidikan dengan basis

kurikulum seperti ini tidak hanya menjadikan program pendidikan memiliki misi sosio-

andragogis dan sosio-akademis, tetapi juga memiliki misi sosio-kultural. Belajar haruslah

aktif dan partisipatif dalam keterlibatan subjek didik pada program-program reformasi

sosial melalui tindakan sosial politik warga negara. Karena itu, seluruh komponen sekolah

dengan seluruh civitasnya haruslah mampu memodelkan cita-cita masyarakat yang lebih

adil, demokratis, sempurna, dan berkesejahteraan. Sama dengan aliran pemikiran

progresivisme, dapat dikatakan bahwa pemikiran filosofi pendidikan rekonstruksionisme

cenderung lebih mengembangkan pola pikir liberalisme pada umumnya dalam

pengembangan proses dan program pendidikan tetapi dalam posisi yang lebih kritis atau

liberasionis (O'neil, 2001; Van Scotter, et al., 1985).

Jika diiktisarkan keempat pandangan filosofi pendidikan di atas, maka dapatlah

digambarkan kategori-kategori konsep utama dari keempat pemikiran besar pendidikan di

atas sebagai tertera di halaman berikut.

Dari keempat aliran filosofi pendidikan di atas, tampaknya posisi

rekonstruksionisme pendidikan lebih sesuai dengan tuntutan kritis era perubahan sosial

masyarakat menuju masyarakat yang demokratis. Pengembangan program-program

pendidikan di Indonesia di era demokratisasi dan era reformasi sosial ini tampaknya dapat

pula berbasis pada ideologi rekonstruksionisme. Pertama, rekonstruksionisme ini masih

dapat menerima keunggulan-keunggulan pemikiran filosofis yang lain yang disesuaikan

dengan tuntutan perkembangan masyarakat (Somantri, 2001). Kedua, posisi pemikiran

rekonstruksionisme dalam hubungan antara pendidikan dan masyarakat telah memberikan

status yang jelas pada program pendidikan untuk menjadi agen perubahan sosial menuju

kehidupan sosial budaya yang lebih baik. Jadi pendidikan haruslah berbasis pada

kebutuhan masyarakat luas. Pendidikan tidak boleh terisolasi dari kepentingan

masyarakat, jika masyarakat hendak menuju perubahan yang lebih baik, dan pendidikan

mempunyai peran dalam proses perubahan masyarakat itu sendiri. Hal ini relevan dengan

kebijakan pembaharuan pendidikan di Indoesia dewasa ini yang mengembangkan

paradigma broud-hased educaiion (BBE). Ketiga, dalam keterpurukan masyarakat dan

kualitas pendidikan di Indonesia dibandingkan dengan masyarakat di negara-negara maju,

bahkan dengan negara-negara tetangga, program-program pendidikan yang dikem-

bangkan dengan menempatkan partisipasi sosial politik setiap warga belajar sebagai ang-

gota warga negara, sesuai dengan keyakinan rekonstruksionisme, berarti meningkatkan

74

Page 51: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

Tabel 03: Sinopsis Empat Filosofi Pendidikan: Perenialisme, Esenstalisme, Progresivisme, dan Rekonstruksionisme

T '

PERENIALISME j ESENSIAL1SME 1. Meningkatkan dan memajukan superioritas j I. Melestarikan tradisi budaya terbaik dari

m asal alu dan keajegan jaman kias J k I masyarakat tertentu dan memajukan peradaban 2. Meyakini bahwa manusia pada hakikatnya ajeg ! 2. Memajukan pertumbuhankemampuan intelek-

dengan kemampuan utama berpikir secara j tual secara individu rasional 1

3 Memajukan dan mengembangkan manusia- j 3. Menyediakan kurikulum dengan komposisi manusia rasional subjek-subjek yang esensial dengan substansi

intelektual dan kscakapan-kecakapan dasar 4. Mengajar adalah seni membantu para siswa 4. Pengajaran nilai-niiai secara eksplisit terutama

menggunakan kemampuan berpikir rasionalnya nilai-nilai yang dihargai oleh kelompok melalui pemberian nasehat, eksplikasi. debat dominan dalam mas\iarakat sokratik. dan eksposisi lisan.

5. Memusatkan kurikulum pada tujuh liberal arts: : 5. Pengajaran adalah proses transmisi yang yaitu: grammar, retorika, dialektika, aritmatika, efektif dan efisien tentang subjek-subjek geometri, astronomi, dan musik serta esensial di atas. pengajaran karya-karya besar pemikir dan filosof dalam sejarah kemanusiaan.

PROGRESIVISME REKONSTRUKSIONISME 1. Meyakini bahwa pendidikan adalah proses 1 Pendidikan harus menuntun masyarakat untuk

pertumbuhan dan perkembangan, proses merealisasikan nilai-nilai melalui tujuan-tujuan rekonstruksi pengalaman yang terus menerus, dan program perbaikan sosial, suatu proses belajar dan bukan hanya mempersiapkan dunia kehidupan orang dewasa.

2 Menciptakan kehidupan sosial yang demokratis 2, Sekolah menjadi agen perubahan dan reformasi termasuk pendidikan demokrasi untuk sosial meningkatkan partisipasi dan keterlibatan dalam proses pendidikan dan masyarakat

3. Belajar harus aktif dan menuntun kepada 3. Mendasarkan kurikulum pada citra masyarakat perubahan perilaku yang ideal

4. Kurikulum muncul dari kebutuhan siswa dan 4. Belajar secara aktif yang menuntun kepada masyarakat dan melibatkan aplikasi inteligensi keterlibatan dalam program-program reformasi pada masalah-masalah kehidupan manusia sosial melalui tindakan politik warga negara

5. Mengajarkan tuntunan melakukan inkuiri 5. Sekolah dan seluruh komponennya harus mampu memodelkan masyarakat yang lebih baru, sempurna, dan demokratis

Sumber: Van Scotter, R.D. et al. 1985. Social Fondaiion of Education. Second Edition. Englewood Cliffs, New Jersey. Prentice-HalL Inc. Hal: 61.

kepedulian dan tanggung jawab sosial dan kewarganegaraan setiap individu untuk

kemajuan masyarakat, bangsa, dan negaranya. Jika ini dapat diwujudkan, tentunya cita-

cita ideal masyarakat madani Indonesia dapat diwujudkan melalui pengembangan

program pendidikan yang relevan, tidak saja pada tataian ideologis, tetapi balikan sampai

tingkat kebijakan strategis dan teknis operasional. Di sinilah pentingnya dikaji cita-cita

masyarakat yang menjadi idealismenya, yang kemudian diharapkan dapat menjadi sumber

inspirasi dalam mengembangkan visi, misi, dan tujuan-tujuan bersama antara masyarakat

dan program pendidikan. Selanjutnya akan dikembangkan sampai ke tingkat kebijakan

strategis dan operasional, bahkan sampai kepada penetapan kriteria-kriteria 75

Page 52: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

keberhasilannya yang dapat digunakan untuk menjadi standar keberhasilan program-

program pendidikan dalam perannya sebagai agen reformasi sosial budaya di dalam

masyarakat.

H. Kajian Teori tentang Hubungan antara Budaya dan Peranan Sekolah

Sekurang-kurangnya ada empat perspektif teori yang perlu menjadi landasan

dalam membahas tentang hakikat peranan sekolah dalam hubungannya dengan konteks

sosial budaya yang mempengaruhi peran ^koiah tersebut

I. Teori Fungsional

Teori fungsional, kliususnya struktural fungsional, dalam menjelaskan hubungan

antara pendidikan sekolah dengan kepentingan proses sosial budaya di masyarakat,

umumnya melihat sekolah sebagai sarana yang memungkinkan siswa belajar mengambil

tempat mereka di dalam masyarakat dan berkontribusi dalam saling ketergantungan yang

diperlukan untuk mempertahankan tatanan sosial dan menyempurnakan kebutuhan

anggota-anggotanya. Sekolah, dengan demikian, dapat dianggap sebagai pentransmisi

nilai-nilai tradisional dan sebagai sarana stabilitas sosial serta pemeliharaan tatanan sosial

yaug ada (Hallinan, dalam Ballantine, 1985: 33-34; Collins, dalam Ballantine, 1985:60-

87).

Seperti banyak dikutip oleh Pai (1990), ada tiga tokoh utama sebagai pendukung

teori ini yang menjelaskan tentang peran sekolah dalam kaitannya dengan konteks sosial

budaya yang melingkupinya, yaitu Durkheim (1985a; 1985b), Parsons (1985), dan

Dreeben (1968). Menurut para pendukung teori fungsional ini sekolah sebagai salah satu

institusi sosial di masyarakat tidak dapat dilepaskan perannya dari upaya menyangga

berfungsinya sistem dalam masyarakat secara keseluruhan. Salah satu peran sekolah

dalam melestarikan sistem masyarakat ini, karena itu, adalah mensosialisasikan kepada

generasi muda pengetahuan intelektual, nilai-nilai etis, norma-norma budaya, dan

keterampilan hidup yang dibutuhkan masyarakat untuk keberlangsungannya (Durkheim,

I985a:21).

Meminjam konsep Parsons (1985: 180), sosialisasi adalah proses pembentukan

komitmen dan kemampuan esensial dalam diri individu-individu anggota masyarakat

sebagai prasyarat utama untuk dapat berperan dalam kehidupan masyarakat ke depan.

Komitmen-komitmen itu terdiri atas kemampuan mengimplementasikan nilai-nilai

76

Page 53: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

kemasyarakatan yang umum dan luas; suatu unjuk perbuatan dari tipe peran

dalam struktur masyarakat. Inilah yang disebut dengan ftingsi edukasi. (T '

Ada dua hal yang terjadi dalam proses sosialisasi seperti ini. Pertami

proses perekrutan generasi muda sebagai anggota-anggota baru masyarakat ti^ijSpa^jji

memasuki sistem sosio-kultural yang (elah ada di masyarakat serta menduduki sta t" J ^^

peran-peran yang relevan dalam struktur sosial budaya yang ditentukan oleh sistem sosial

budayanya. Di sini generasi muda belajar memasuki status dan peran barunya berdasarkan

struktur masyarakat dalam kelompok-kelompok masyarakat seperti kelompok lapisan

umur, lapisan kasta, jenis kelamin, kelompok organisasi-organisasi sosial, dan lain-lain.

Kedua, adanya proses penanaman pengetahuan, keyakinan, nilai-nilai dan sikap, serta

keterampilan-keterampilan sosial yang memungkinkan sistem budaya tetap diyakini

keberadaannya dan berfungsi sebagaimana mestinya sesuai yang diharapkan para

pendahulu (Widja, 1993:53).

Ini tidak berarti bahwa sekolah harus memberikan kemampuan yang sama kepada

setiap individu generasi muda. Memang setiap anggota masyarakat perlu memiliki

seperangkat keyakinan umum, pengetahuan, dan nilai-nilai untuk kepentingan kesatuan

dan kekohesifan masyarakat. Tetapi, sekolah juga harus menyediakan pengetahuan dan

keterampilan serta nilai-nilai yang berbeda-beda untuk kepentingan spesialisasi di dalam

masyarakat, karena setiap anggota masyarakat harus memiliki peran yang berbeda-beda

bagi masyarakatnya (Durkheim, 1985a:21; Parsons, 1985: 180-182). Pendek kata sekolah

harus berfungsi menyediakan kesempatan kepada pebelajar untuk dapat berperan sebagai

orang dewasa di dalam masyarakat; termasuk di dalamnya berperan sesuai dengan latar

belakang kemampuan, gender, tingkat usia, kelompok kepentingan, dan sebagainya. Jadi

sekolah adalah bentuk mikrokosmos dari keliidupan masyarakat yang lebih luas. Untuk

fungsi seperti itu sekolah mereproduksi dan melanggengkan struktur dan norma-norma

sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang sudah mapan di dalam masyarakat.

Dreeben (1968) mengukuhkan pentingnya empat norma esensial yang harus

menjadi canccrn sekolah untuk mendidikkamtya kepada generasi muda agar masyarakat

tetap dapat berlangsung, yaitu independensi (independence), prestasi (achievement),

universalitas (universalism), dan kekhususan (.specijtciiy). Norma independensi yang

dikembangkan di sini adalah norma tentang kemandirian. Sekolah dalam hal ini

mendidikkan agar setiap siswa dapat belajar mandiri; tidak saja berarti mengerjakan

segala sesuatu secara sendiri, tetapi mengandung makna mengembangkan tanggung jawab

mandiri. Ini berkaitan dengan kehidupan kerja di lingkungan masyarakat yang lebih luas

77

Page 54: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

memang banyak membutuhkan manusia-manusia yang memiliki kemandirian dalam

inisiatif, kreativitas, dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara mandiri pula.

Berkaitan dengan prestasi, yang dimaksudkan di sini adalah dimulai dari motivasi

berprestasi dan prestasi dalam aspek personal, sosial, inteletual dan akademis, dan

vokasional. Penekanan sekolah pada pencapaian prestasi yang unggui atau yang tinggi

dinilai merupakan syarat keberhasilan dalam kehidupan di lingkungan masyarakat yang

kompleks, dinamis, serta bercirikan kepada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sekolah menyediakan fasilitas dan mengembangkan prestasi ini umumnya, baik melalui

kegiatan kurikuler, kokurikuler, maupun dalam kegiatan ekstrakurikuler.

Selanjutnya, berkaitan dengan universalisme dan kekhususan dimaksudkan di sini

adalah apakah perlakuan terhadap seseorang akan dipertimbangkan pada aspek-aspek

kesamaan dan keadilan pada semua orang tanpa kecuali, atau perlu mempertimbangkan

perlakuan-perlakuan khusus yang dapat diberikan mengingat situasi dan kondisi tertentu

yang dihadapi atau dimiliki seseorang.

Kemampuan setiap sekolah dalam membina dan mengembangkan ke empat norma

di atas kepada setiap individu siswa akan menentukan tingkat keberhasilan mereka

nantinya setelah terjun di dalam masyarakat. Jadi akan ada korelasi antara keberhasilan di

sekolah dengan keberhasilan di masyarakat (Ballantine, 1985; Etzioni-Haievy, 1981).

Keberhasilan itu akan ditentukan bagaimana setiap individu diliargai atau diberi reward

sesuai dengan pemilikan keempat norma di atas baik di sekolah maupun di masyarakat.

Tentu saja keberhasilan sekolah dalam membina dan mengembangkan keempat norma di

atas tidaklah semata-mata ditentukan oleh kurikulum formal yang berlaku di sekolah,

melaiiikan pula akan diwarnai oleh berfungsinya hidden curriculum yang secara

tersembunyi merefleksikan nilai-nilai dan norma-norma budaya yang berlaku di dalam

masyarakat (Pai, 1990).

2. Teori Konflik

Dari perspektif teori konflik, berbeda dengan pandangan teori stniktural-

fungsional, sekolah lebih dilihat sebagai agen-agen konflik dan perubahan. Teori

Dahrendorf (1959), misalnya, berfokus pada dominasi dan subordinasi di sekalah dan

pada tujuan-tujuan yang berkonflik di antara kepentingan-kepentingan siswa, orang tua,

pendidik, dan masyarakat pada umumnya. Perjuangan kekuasaan yang ada di dalam dan

tentang sekolah menuntun kepada perbaikan dan perubahan. Ketika kekuasaan telah

diasumsikan oleh suatu kelompok tertentu, maka kekuasaan itu cenderung dipertahankan

78

Page 55: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

melalui pendidikan. Analis-analis kelas seperti Bowles dan Gintis (1977) dan Caraoy

(1972) menganalisis sekolah melalui perspektif ini dan menginterpretasikan status quo,

termasuk kesempatan-kesempatan pendidikan yang tidak sama dan tidak adil untuk

kelompok minoritas dan kelompok perempuan, sebagai upaya-upaya dari kelas yang

memiliki hak-hak istimewa di masyarakat untuk mempertahankan kekuasaan dan

superioritas mereka atas kelas-kelas yang tidak memiliki hak-hak istimewa (Hallinan,

1985:34).

Menurut Pai (1990) ada dua aliran teori konflik, yaitu teori konflik Marxist dan

Neo-Marxist. Kedua aliran ini umumnya tidak sependapat dengan pendukung teori

fungsional bahwa sekolah telah memberikan kesempatan yang adil bagi individu untuk

melaksanakan perannya dalam keliidupan masyarakat kapitalis yang kompleks dengan

kemampuan memilih posisi yang memiliki status dan reward yang tinggi berdasarkan

keberhasilan pendidikannya. Menurut aliran Marxist, sebaliknya, sekolah pada

masyarakat kapitalis bahkan telali melanggengkan struktur sosial yang tidak adil dimana

dominasi oleh kelas yang berkuasa atas kelas pekerja telah terjadi secara terus menerus.

Ini teijadi karena sekolah berfungsi melayani kepentingan kelas dominan untuk tetap

menguasai kelas pekerja melalui proses transmisi budaya kelas dominan itu sendiri yang

mencerminkan struktur kelas dalam mengontrol jenis pengetahuan, keterampilan, nilai-

nilai, sikap, dan nonna-norma budaya kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat.

Karena itu, anak-anak dari kelas yang berkuasa (dominan) dididik untuk mengarahkan

diri (self-direct) dan mengonrol orang lain, sementara anak-anak dari kelas pekeija diajar

untuk selalu sejalan (conform) dengan norma-norma tempat keija sebagai diciptakan oleh

kelompok dominan. Dalam hal ini, Bowles dan Gintis (1977:142) mengatakan sebagai

berikut.

The suciai relations of ihe educaiional process ordinarily mirror the social relations of the work roles into which mosi students are likely to move. Dtfferences in rules, expected modes of behavior and opportunities for choice are mosi glaring when we compare levels of schooling. No(e the wide range of choice over cumadum, life style, and attocation of time afforded to college students, compared with ihe ohedience and respect for authority expected in high school. Lebih lanjut dikatakan bahwa perbedaan kelas di sekolah dilanggengkan melalui

kapasitas kelompok dominan untuk mengontrol prinsip-prinsip utama dalam pembiayaan

sekolah, evaluasi murid, dan penetapan tujuan-tujuan khusus pendidikan (Bowles dan

Gintis,!977:142). Atas dasar premis-premis seperti di atas, para pendukung teori konflik

berkeyakinan bahwa sekolah tidak saja melegitimasi sistem sosio-ekonomi masyarakat

kapitalis, teLapi sekolah juga melegitimasi keberadaan kelompok pemilik kapital ini

79

Page 56: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

(Apple and Weis, 1983:6). Dengan begitu kesamaan dan keadilan dalam pendidikan tidak

dapat dicapai secara sederhana lianya dengan mengubah sistem sekolah. Strategi yang

mungkin adalah lianya dengan mengekspose hakikat ketidaksamaan / ketidakadilan dalam

sistem sekolah dan menghancurkan ilusi mobilitas melalui pendidikan yang semu.

Pendapat Mancist yang lain mengatakan bahwa sekolah tidak mungkin dapat direformasi

kecuali fungsi mereka sebagai instrumen yang melanggengkan seleksi posisi sosial yang

liirarkis dihancurkan (Rossanda, Cini, and Berlinguer, 1977:653).

Agak berbeda dengan aliran Marxist, para pendukung Neo-Marxist, seperti .Collins

(1985) menjelaskan bahwa struktur kelas secara sosial ekonomi bukanlah satu-satunya

pvRvMVV reward dalam masyarakat. Collins berkeyakinan bahwa sekolah juga

mengajarkan kepada siswanya budaya status (status culiure). Dan ini adalah unit dasar

dari masyarakat yang memungkinkan kelas atas yang memiliki hak-hak istimewa

mengontrol kelas-kelas yang didominasi melalui cara-cara dominasi nonekonomi. Jadi

menurut Collins (1985:71) sekolah lebih berperanan dalam mensosialisasikan budaya

pada umumnya, siyle bahasa, topik-topik pembicaraan, etika berperilaku, pandangan dan

nilai-nilai, serta segala hal termasuk rasa terhadap status sesuai dengan partisipasi masing-

masing dalam konteks budaya masyarakat pada umumnya. Di sini setiap siswa akan

masuk dalam kelompok-kelompok status tertentu dengan status budayanya sendiri-sendiri

yang tersosialisasi melalui proses pendidikan di sekolah; dan ini akan lebih menentukan

status dan posisi siswa di masyarakat dari pada berdasarkan pengetahuan dan

keterampilan teknis yang dimilikinya.

3. Teori Kritis

Teori kritis ini terutama dikembangkan oleh aliran Fratikftirt yang dewasa ini

didukung oleh beberapa ahli seperti Stanley Arnowitz, Pauio Freire, Henry Giroux, dan

lain-lain (Giroux, 1983). Pemikiran teori ini dalam menjelaskan peranan sekolah

bertumpu pada sintesa pemikiran atas hubungan masalah bagaimana struktur sosial

direproduksi dan bagaimana dominasi kelas itu dipertahankan dalam masyarakat.

Fokusnya umumnya lebih pada mereevaluasi model kapitalisme dan penjelasan Marais

tentang dominasi kelas dan mere formulasi tentang gagasan emansipasi manusia. Tetapi,

teori kritis tidak sepenuhnya sejalan dengan teori Maraisl yang menjelaskan dominasi

kelas lebih sebagai dominasi struktur ekonomi oleh kelompok dominan kepada kelas

pekerja. Teori kritis, tampaknya lebih sejalan dengan pandangan pendukung-pendukung

Weber tentang rasionalisasi struktur kelas dalam masyarakat.

80

Page 57: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

Menurut Weber, masyarakat modern berkembang menjadi organisasi spesialis dan

pemerintahan modem menjadi satu birokrasi yang dilaksanakan oleh ahli. Untuk

kepentingau keberlanjutan masyarakat seperti ini, pendidikan lebih berfungsi

menghasilkan orang-orang spesialis dari pada orang-orang terlatih. Karena itu, sekolah-

sekolah modem berperan mengajarkan pengetahuan, nilai-nilai dan norma, serta

keterampilan untuk menghasilkan para spesialis dengan posisi yang memiliki prestise

yang tinggi. Inilah yang disebut budaya status. Para spesialis ini, terutama mereka yang

duduk di birokrasi, tidak saja kemudian mengontrol kehidupan masyarakat, tetapi juga

mengontrol sekolah untuk mempertahankan dominasi mereka atas kelas-kelas pekerja

termasuk kontrol mereka atas kelompok gender, kelompok ras, kelompok suku minoritas,

dan bahkan pada kelompok umur.

Pemikiran teori kritis ini, sejalan dengan pandangan Weberian, meyakini bahwa

dominasi kelas di masyarakat tidaklah semata-mata ditentukan oleh dominasi ekonomi

kelas berkuasa kepada kelas pekerja. Memang, seiring dengan pembaitan masyarakat ke

arah pembentukan masyarakat industri, peranan spesialisasi menjadi sangat penting.

Namun, individualitas, keunikan, serta kreativitas seseorang sering dihapuskan oleh

budaya masa. Budaya masa ini (seperti sinetron, pertujukan TV, balikan acara komersial)

ternyata membawa serta norma-norma dan nilai-nilai budaya kelompok dominan yang

dengan demikian telah mendistorsi realitas dengan melanggengkan kepentingan

kepentingan kelas dominan ini.

Konsekuensinya adalah bahwa individu-individu tidak dapat berpikir kritis tentang

status dan kedudukan mereka serta tentang hubugan kekuasaan dalam masyarakat mereka.

Begitu pula makin banyaknya peranan negara dalam menentukan cara berpikir, bersikap,

dan berprilaku warga negara dalam masyarakat yang cenderung menerapkan otoritas

kaum teknokrat, akibat dari perkembangan spesialisasi, membuat dimensi berpikir kritis

didefinisikan sesuai dengan kepentingan kelas dominan yang berkuasa. Karena itu, jika

manusia ingin dibebaskan dari penindasan oleh otoritarian ahli, "kita perlu mereafmnasi

kebutuhan untuk refleksi diri, inquiri kritis, dan self-underslanding" (Pai, 1990: 144).

Freire (1985) juga menambahkan bahwa seiring dengan munculnya berbagai

bentuk hubungan sosial di masyarakat, berbagai bentuk penindasan juga muncul, seperti:

penindasan yang bersifat gender, penindasan terhadap kelompok, etnis, agama, balikan

karakteristik individu tertentu, dan lain-lain. Pendidikan ternyata juga ikut ambil bagian

terhadap praktik penindasan seperti itu Oleh karena itu, menurut Freire lebih lanjut,

pendidikan haruslah bersifat self-emancipation.

81

Page 58: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

Pendidikan haruslah menjadi alat perjuangan melawan penindasan dalam berbagai

bentuknya, sehingga memungkinkan setiap orang memetik makna dari eksistensi personal

setiap orang dan untuk kehidupan masa depannya. Pendidikan tidaklah memerlukan

pengetahuan ilmiah yang dianggap telab diverifikasi. Yang dibutuhkan adalah

pengetahuan kritis dan radikal yang memungkinkan setiap orang memilih alternatif cara

berpikir, alternatif praktik kebudayaan, dan alternatif tatanan sosial (Giroux, 1983;

Aronowitz dan Giroux, 1981).

Tujuan pendidikan seperti itu a^.lah dalam rangka pengembangan keterampilan

literasi kritis, yang menurut Giroux (1983:231) memungkinkan siswa: "to recognize what

this society has made of them and how n mus/, in pari, be analyzed and recomtituted so

Ihat U can generale ihe conditions for crilicai reflection and aciion ralher ihan passivtly

and indignation". Lebih lanjut, Giroux (1983:62) juga menyatakan: "Teachers and other

educators need to reject educational theories that reduce schooling either to the domain

of learning theory or io forms of technocratic rationality ihat ignore the central concerns

of social change, power rvlaiiotis, and confltcls both wtlhin and outside of schools".

Hanya dengan cara seperti ini sekolah akan dapat mencerahkan potensi dan peijuangan

manusia dan membongkar kesenjangan di antara masyarakat seperti adanya dan seperti

yang diimpikan bersama.

4. Teori Interpretivis

Berbeda dengan ketiga teori sebelumnya, pemikiran teori interpretivis ini dalam

membahas hubungan antara sekolah dan masyarakat lebih bertumpu pada interaksi sosial

yang terjadi antar siswa, guru, administrator, pejabat birokrasi, orang tua siswa, kelompok

masyarakat, dan berbagai kelompok sejenis lainnya yang memberikan interpretasi makna

atas pola-pola hubungan antar kelompok tersebut, kurikulum, dan prestasi sekolah.

Dengan begitu, dalam studi, pendukung teori interpretivis mengintegrasikan kajian

struktural masyarakat dengan kajian analitis tentang interaksi di antara siswa dan personil

sekolah, hakikat dan muatan kurikulum sekolah, dan begitu pula pengaruh langsung atau

tersembunyi dari pola-pola pembelajaran di kelas. Pendekatan studi yang digunakan kaum

interpretivis umumnya adalah interaksi simbolik, etnometodologi, dan fenomenologi

(Karabel & Halsey, 1985: 125-140). Pendukung teori ini antara lain adalah Bemstein 4an

Bourdieu (Pai, 1990).

Menurut para pendukung teori interpretivis, struktur sosial di masyarakat terdiri

dari sistem ketidaksamaan kelas yang dilanggengkan dalam keluarga melalui proses

o

Page 59: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

transmisi kode-kode linguistik dan pola komunikasi kepada anak (Kapabel dan Halsey,

1977:63). Keluarga, karena itu sesungguhnya, menjadi institusi sosialisasi pertama bagi

anak. Dalam mempelajari hakikat keliidupan ini, anak belajar dalam keluarga memainkan

peranan dengan menginterpretasikan makna berbagai aturan perilaku, sanksi, gaya hidup,

dan berbagai norma kehidupan yang lain melalui pola-pola komunikasi yang ditentukan

oleh posisi atau status sosial keluarga. Status kelas anak di masa depan di masyarakat,

karena itu, pada gilirannya dipengaruhi oleh pola komunikasi yang diperoleh dalam

kelu?'»a tersebut.

Sekolah sebagai agen sosialisasi kedua setelah keluarga tidak dapat melepaskan

diri dari pengaruh budaya keluarga yang pada umumnya mencerminkan dominasi budaya

kelas-kelas atas. Tidak mengejutkan, karena itu, sekolah, baik langsung maupun tidak

langsung, sesungguhnya berharap semua siswa belajar kode-kode linguistik dan

kompetensi budaya kelas dominan, yaitu yang dihasilkan oleh keluarga-keluarga dari

kelompok kelas dominan (Pai, 1990). Anak-anak dari status kelas yang rendah, kemudian,

diharapkan berfungsi menurut pola-pola bahasa dan budaya yang asing bagi mereka.

Bourdieu (1977:494) menuliskan situasi ini: "The educalional system demands of

exeryone alike ihal they have what U does not gtve. This consisLs mainly of linguislic and

cultural compelencies and that relationship of familiarity with cidture which can only be

produced by family upbringing when it tmnsmits the dominani culture. "

Karena sekolah mereproduksi budaya kelompok dominan, kondisi ini menciptakan

kesenjangan yang tajam antara apa yang diketahui oleh anak-anak dari keluarga kelas

rendah dengan norma-norma di sekolah (Bernstein, 1977; Bourdieu, 1977). Tidaklah

mengherankan pula, karena itu, anak-anak dari keluarga status sosial ekonomi yang

rendah mengalami banyak kesulitan belajar di sekolah, karena mereka tidak mampu

mengembangkan kemampuan-kemampuan lingustik dan budaya kelompok atas yang

diperlukan bagi pengembangan kesuksesan di bidang prestasi akademis dan prestasi

sosio-ekonomis.

Menurut Bernstein (1977:476), proses sosialisasi merupakan proses pembudayaan

anak. Sosialisasi adalah proses yang kompleks yang memberikan bentuk dan isi/makna

yang berbeda kepada komponen kognisi, afeksi, dan kecenderungan moral anak. Dari

berbagai faktor, menurut Bernsteui, status sosial ekonomi keluarga memberikan pengaruh

yang paling kuai dalam menentukan pendidikan dan masa depan kerja anak. Ini berkaitan

dengan sistem kelas yang mengontrol distribusi pengetahuan di dalam masyarakat,

sehingga pengetahuan dan mode berpikir yang tersedia bagi masyarakat kelompok atas

83

Page 60: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

belum tentu dapat diakses oleh individu-individu dari masyarakat kelompok rendah.

Kontrol pengetahuan seperti ini telah menyebabkan masyarakat tergradasi dalam

kelompok-kelompok kelas berdasarkan kelas sosial ekonominya. Untuk alasan ini pola-

pola komunikasi dan perilaku dari masyarakat kelompok bawah sering dianggap inferior

terhadap pola-pola budaya masyarakat kelompok atas.

Menurut Bernstein (1977) lebih lanjut, pola komunikasi anak dari keluarga kelas

bawaii/kelas pekerja umumnya memiliki keterbatasan dan maknanya sering spesifik pada

situasi tertentu; berbeda dengan anak-anak keluarga kelas menengah dan atas yang

umumnya bersifat lebih elaboratif, universal, dan global (dalam arti juga lebih abstrak dan

memiliki makna general). Pendidikan di sekolah umumnya menjadikan kode-kode

linguistik, pola komunikasi, dan kompetensi budaya kelompok kelas yang meadominasi

(kelompok masyarakat kelas menengah dan atas) sebagai standar program dan hasil

pendidikan. Tidak mengherankan kemudian jika anak-anak dari kelas bawah gagal dalam

proses sosialisasi menggunakan pola komunikasi dan kompetensi budaya kelas dominan.

Kondisi ini jelas menyebabkan ketidakseimbangan kelas dalam struktur sosial masyarakat

ikut terlestarikan oleh program-program pendidikan sekolah. Karena itu, jika sekolah

ingin menciptakan keadilan dalam perlakuan terhadap siswa, program sekolah haruslah

lebih dapat menyesuaikan antara kebutuhan dan keterampilan yang siswa miliki dengan

harapan atau tuntutan masyarakat yang Jebih Juas dalam konteks pendidikan sekolah

(Bernstein., 1977; Pai, 1990:148-] 49).

I. Temuan Penelitian Terdahulu

Pendidikan IPS diyakini tidak berlangsung daiain kondisi yang vakum melainkan

terikal dan sangat sensitif terhadap konteks yang melingkupinya (Corableth, 199.1;

Nelson, 1991). Karena itu berbagai konteks sosial yang menyertai proses pendidikan TPS

tentu memiliki j)engaruh dan dipengaruhi pula oleh pendidikan JPS. Berbagai konteks,

seperti kelompok .siswa, lingkungan keluarga, kelompok kepentingan, pengarah media

masa. sistem evaluasi, kepentingan masyarakat dari lokal hingga global ideologi dan

nolilik- perkembangan sains dan teknologi, interaksi sosial dan bndava. dan sehagainva

dirinya memiliki efek yang penting terhadap kebijakan perencanaan, nraktek. dan

evaluasi nroeram nendidikan IPS

Beberapa penelitian telah dilakukan berkenaan dengan efek konteks tersebut

terhadap pendidikan IPS dan hasil-hasilnya Dari berhaeai hasil nenelitian itu. baik

dengan pendekatan empiris, interpretivis. maupun pendekatan kritis dapat disimpulkan

84

Page 61: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

bahwa pada dasarnya pendidikan IPS tidak dapat dilepaskan dari pengaruh konteks yang

melingkupinya.

Sunal (1991:290-299) yang telah melakukan meta analisis terhadap berbagai

penelitian tentang pengaruh lingkungan keluarga terhadap beberapa segi pendidikan IPS,

seperti: peningkatan motivasi berprestasi, kompetensi sosial, perkembangan moral,

sosialisasi politik, dan pengaruh TV keluarga terhadap aspek belajar sosial, antara lain

menyimpulkan bahwa dalam program pendidikan IPS diinana pengaruh-pengaruh positif

strategi pendidikan keluarga dimasukkan di sekolah dapat menjadikan pendidikan IPS Ku-

program autoritatif diinana penalaran induksi digunakan untuk membangun self-reliance,

standar yang tinggi diciptakan, dan prestasi dengan standar yang tinggi diberi reward.

Cusick (1991:276-289) yang mensintesiskan beberapa hasil penelitian deskriptif

tentang pengaruh kelompok sebaya siswa terhadap struktur sekolah, antara lain

menyimpulkan bahwa kelompok-kelompok sebaya ketika beroperasi di sekolah, secara

kuat merefleksikan perbedaan konteks sosial dan budaya yang dibawa siswa ke sekolah

dan membatasi cara-cara anggota-anggota mereka berinteraksi dengan sekolah. Hasil-

hasil penelitian itu juga menunjukkan bahwa kelompok sekolah yang berbeda

memberikan kesempatan yang berbeda pula kepada kelompok-kelompok sebaya siswa

dalam belajar beberapa hal tertentu berkenaan dengan kewarganegaraan. Mereka

umumnya dapat belajar tnempraktikkan sikap sosial dan cara-cara berpartisipasi,

membuat keputusan, mengkaji nilai-nilai, dll.

Selanjutnya, Splaine (1991:300-309), yang mengkaji beberapa hasil penelitian

tentang pengaruh mass media terutama TV terhadap proses sosialisasi dan dampaknya

terhadap program pendidikan IPS antara lain menyimpulkan bahwa mass media terutama

TV sebagai sarana proses sosialisasi telah menjadi sumber informasi, mempengaruhi

materi komunikasi politik, memberi gambaran yang salah tentang peran gender dan

kelompok minoritas, menampilkan berbagai tindakan kekerasan, dan sebagainya.

Disimpulkan juga bahwa para orang tua dan pendidik IPS perlu menyeleksi apa yang

dipelajari siswa lewat televisi serta dapat mendidik siswa secara kritis memanfaatkan

informasi TV untuk menghindari dampak negatifnya serta meningkatkan manfaat

positifnya.

Nelson (1991:332-341) selanjutnya mengidentifikasi beberapa pengaruh

masyarakat, dari tingkat masyarakat lokal hingga masyarakat global, terhadap program

pendidikan IPS khususnya pendidikan kewarganegaraan, antara lain menunjukkan:

adar.ya pengaruh masyarakat dar, ideologi terhadap proses (terutama berlangsungnya

85

Page 62: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

hidden curriculum) dan hasil pendidikan kewarganegaraan (civic dari ciiizenshp

education), adanya pengaruh berbagai agensi formal seperti legislatif, ekskutif,

administratif sekolah, birokrasi pemerintahan, asosiasi profesional, dan kelompok

kepentingan terhadap kebijakan program pendidikan IPS; adanya pengaruh kepentingan

nasional terhadap PIPS; adanya pengaruh bisnis terhadap sekolah dan penyelenggaraan

program PIPS; serta timbulnya upaya sensor terhadap materi PIPS sebagai konsekuensi

adanya pengaruh negatif perkembangan masyarakat terhadap perkembangan anak.

Giese, Parisi, dan Bybee (1991:559-566) telah pula menunjukkan pentingnya tema

STS dimasukkan ke dalam program dan materi IPS di sekolah sebagai konsekuensi

adanya pengaruh IPTEK terhadap perkembangan masyarakat. Kesimpulan ini terutama

diperoleh dari berbagai penelitian deskriptif tentang pendapat para pendidik termasuk

pendidik IPS, pendapat para pakar, serta pendapat ilmuwan tentang perlunya tema dan

isu-isu sosial aktual dimasukkan dalam kurikulum sekolah (termasuk kurikulum IPS)

sebagai konsekuensi adanya pengaruh perkembangan IPTEK terhadap masyarakat.

Gagasan dan hasil penelitian ini ternyata mendapat dukungan dari hasil penelitian

Lasmawan (2002) tentang pengembangan model pembelajaran IPS dengan model Umu-

Teknologi-Masyarakat (ITM) yang dari hasil studinya antara lain merekomendasikan

penggunaan ITM dalam pembelajaran IPS di sekolah untuk meningkatkan kemampuan

literasi sosial budaya peserta didik.

Akhirnya, dalam satu rev/e»nya terhadap studi-studi etnografi dalam IPS, White

(1985:215-307) antara lain menemukan bahwa keberhasilan dan kegagalan siswa dalam

belajar IPS sebagian dapat dijelaskan, antara lain oleh tingkat defisiensi budaya anak,

diskontinuitas budaya, konflik budaya pada level interaksi sehari-hari, serta antagonisme

budaya dan sistem nilai yang saling berkompetisi.

Sayangnya, upaya-upaya penelitian yang sama belum banyak dilakukan di

Indonesia. Penelitian Sukadi (1994) tentang kontribusi faktor-faktor konteks lingkungan

keluarga, lingkungan sekolah, dan interaksi remaja siswa SMTA dengan wisatawan

mengindikasikan bahwa baik secara sendiri-sendiri maupun secara simultan ketiga

konteks lingkungan di atas memiliki kontribusi yang signifikan dalam menjelaskan

tingkat variabilitas religiusitas dan nilai modem siswa SMTA di Bali. Siregar (1992) juga

menemukan bahwa konteks lingkungan keluarga dan sekolah juga dapat menjelaskan

variabilitas sikap dan perilaku siswa SMTA etnis Cina dalam melakukan proses asimilasi

budaya. Jika hasil kedua penelitian ini benar tentu dapat disimpulkan pula bahwa konteks

86

Page 63: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

lingkungan keluarga, sekolah, dan interaksi siswa dengan dunia pariwisata akan turut

mewarnai praktik dan hasil program pendidikan IPS di sekolah.

J. Kerangka Model Penelitian yang Diajukan

Sesuai dengan permasalahan, tujuan, kajian teori, serta temuan hasil penelitian

terdahulu yang diajukan dalam penelitian ini, maka kerangka model penelitian ini dapat

digambarkan sebagai tertera dalam diagram pada halaman 91 di bagian akhir bab ini.

Berdasarkan gambar tersebut diasumsikan bahwa proses Pendidikan IPS,

khususnya di SMU Negeri Ubud Bali, tidak dapat dilepaskan dari konteks pengalaman

budaya para pendukungnya, karena tnereka tidak pula dapat dilepaskan dari pengaruh-

pengaruh konteks masyarakat lebih luas yang melingkupinya. Pertama, sebagai bagian

dari masyarakat Ubud dan masyarakat Bali pada umumnya, para pendukung program

Pendidikan IPS di sekolah (kepala sekolah, pengawas, guru-guru, dan para siswa) tentu

tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kepentingan ikatan-ikatan sosial dan ikatan-ikatan

budaya masyarakat Bali yang tercennin dalam hubungan antara keluarga, desa

adat subak, dan pura dengan ideologi Tri Hita Kararumya. melalui kepentingan proses

transmisi dan enkulturasi budaya Balinya sesuai dengan konsep desa, kala, patra.

Sebagai Subagia (2000) mengatakan bahwa pendidikan di sekolah tentu tidak

dapat lepas dari konteks bagaimana cara pandang tentang dunia, keyakinan, nilai-nilai,

sikap, dan disposisi dari masyarakatnya. Ikatan-ikatan sosial budaya (struktur dan kultur)

ini bagi program Pendidikan IPS yang dibawa oleh kepala sekolah, guru-guru, dan siswa

tentu tidak selalu haras ikatan yang bersifat kepentingan kurikuler semata. Di sini

pengetahuan, keyakinan, nilai-nilai, sikap, dan keterampilan-keterampilan sosial lokal

yang mencerminkan gerak atau dinamika masyarakat dan kebudayaan Bali mungkin akan

turut mempengaruhi persepsi dan cara pandang komponen-komponen sekolah dalam

memberi makna pada hakikat dan tujuan Pendidikan IPS sebagai landasan filosofis,

ideologis, dan sosio-budayanya yang relevan dengan konteks lokal implementasi program

pendidikan IPS itu sendiri. Dalam hal ini, tidak dapat dilepaskan pula peranan berbagai

kebijakan lokal serta pengaruh agen-agen dalam masyarakat lokal untuk program

pendidikan budaya lokal dalam rangka pelestarian budaya Bali mungkin akan turut

mewarnai bagaimana program Pendidikan IPS itu akan dikembangkan dan

diimplementasikan.

Kedua, sebagai konsekuensi dari adanya pengaruh masyarakat terhadap sekolah,

para pendukung program Pendidikan IPS di sekolah juga dipengaruhi oleh kepentingan-

8?

Page 64: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

kepentingan agensi-agensi formal baik dari pihak legislatif, eksekutif; maupun dari

birokrasi depdiknas dan dinas pendidikan kabupaten. Di samping itu pengaruh kelompok-

kelompok kepentingan dan media massa tentu tidak bisa diabaikan. Hal ini berkaitan

dengan program Pendidikan IPS sebagai bagian dari pelaksanaan sistem pendidikan dan

kurikulum nasional, di mana program Pendidikan IPS diduga memang cukup kental

membawa misi pendidikan demokrasi dalam rangka nation and characier building dan

dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional berazaskan Pancasila (Soinantri, 2001;

Wahab, 2002, Winataputra, 2001).

Sejalan dengan ini, di samping masyarakat Bali terikat dengan ideologi Tri Kita

Karana, sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, masyarakat Bali tentu tidak dapat

lepas dari ikatan ideologi Pancasila. Karena itu, logikanya, dalam rangka pengembangan

sistem pendidikan nasional dan dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional,

maka landasan ideologi Pancasila tetap pula menjadi landasan pengembangan dan

pelaksanaan program Pendidikan IPS di Bali. Dengan landasan struktur dan kultur pada

ruang lingkup kepentingan nasional ini dapat dipastikan bahwa pelaksanaan program

Pendidikan IPS di Bali pun tidak dapat dilepaskan dari kebijakan-kebijakan nasional yang

dibawa oleh kepentingan negara dan pemerintah melalui agensi-agensi fonnal atau

melalui pesan ideologis dan nilai-nilai yang terkandung dalam kurikulum di sekolah itu

sendiri. Ini karena landasan ideologis pendidikan di Ittdonesa adalah Pancasila.

Ketiga, masyarakat Ubud pada khususnya, dan Bali pada umumnya, sebagai

konteks masyarakat yang mengembangkan pembangunan sektor pariwisata alam dan

budaya sebagai sektor dominan, diduga pula turut mewarnai iklim dan pengambilan

kebijakan pendidikan di Bali pada umumnya, temasuk dalam pelaksanaan program

Pendidikan IPS di SMU Negeri 1 Ubud. Ini relevan dengao kenyataan bahwa pelaksanaan

program pembangunan pariwisata di Bali ternyata terkait erat dan turut mempengarulii

pelaksanaan sektor-sektor dan program-program pembangunan terkait, termasuk dengan

pelaksanaan program pendidikan fonnal di sekolah, terutama yang terkait dengan

pengembangan kesadaran generasi muda Bali dalam rangka pelestarian dan

pengembangan kebudayaan lokal dan nasional, serta mempersiapkan generasi muda

menjadi manusia-manusia modern yang mampu turut mengembangkan kemajuan

pembangunan pariwisata di Bali.

Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan pariwisata ternyata membonceng serta

ideologi dan sistem budaya global yang terutama bercirikan rasional, bertumpu pada

modal kapital yang didukung oleh penguasaan iptek, nilai-nilai universal, sekuler, kritis,

88

Page 65: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

pragmatis, materialistis, dan hedonistis (Poespowardojo, 1989). Jika keseluruhan konteks

interaksi dengan pariwisata membawa implikasi sosial, ekonomi, dan budaya pada

masyarakat lokal seperti nilai-nilai di atas, ini tentu diduga membawa implikasi pula pada

pengambilan kebijakan dai pengembangan iklim pendidikan di sekolah pada umumnya

dan pengembangan program Pendidikan IPS pada khususnya di Ubud.

Selanjutnya, ketiga konteks lingkungan di atas, di samping dapat berkontribusi

secara sendiri-sendiri terhadap pengembangan iklim dan pengambilan kebijakan dalam

pengembangan program Pendidikan IPS di sekolah, diduga pula akan mewarnai

pembentukan visi dan misi masyarakat Bali dalam usalia pengembangan pendidikan

sosial di Bali pada umumnya, dan pengembangan program Pendidikan IPS di sekolah

pada khususnya. Dalam pengembangan visi, misi, dan tujuan pendidikan sekolah serta

pelaksanaan program Pendidikan IPS sesuai dengan pengaruh ketiga konteks lingkungan

tersebut, diyakini akan teijadi keselarasan dan keseimbangan dalam menetapkan landasan

dan orientasi pengembangan kebudayaan lokal, nasional, dan global yang melandasi

program Pendidikan IPS, serta antara misi pengembangan keimanan, ilmu pengetahuan

dan teknologi, dan pengembangan kesadaran budaya yang berbasis budaya lokal,

nasional, dan global tersebut. Inilah landasan utama yang digunakan sekolah untuk

merumuskan tujuan Pendidikan IPS pada khususnya dan tujuan pendidikan sekolah pada

umumnya dalam rangka pembentukan generasi muda modem berwatak Bali yang

bercirikan memiliki keimanan yang tinggi, cerdas dalam penguasaan ihnu pengetahuan

dan teknologi, serta menghargai dan mampu turut mengembangkan dan melestarikan

kebudayaan lokal Bali, nasional, dan global secara selaras dan seimbang, sehingga

mampu berpartisipasi aktif dalam kehidupan masyarakat di tingkat lokal, nasional, dan

global.

Dengan visi, misi, dan tujuan seperti itu, pada gilirannya keseluruhan konteks

tersebut akan turut menentukan karakteristik yang unik dari pelaksanaan program

pendidikan IPS di SMU Negeri I Ubud yang dapat dilihat dari model interaksi antara

kepala sekolah, guru, siswa, dan kurikulum Pendidikan IPS di sekolah, baik dalam

pelaksanaan tradisi Pendidikan IPS sebagai pendidikan kewarganegaraan, pendidikan

ilmu sosial, pendidikan inkuiri reflektif, pendidikan sosial berbasis partisipasi masyarakat,

maupun sebagai program imegraled leurntng (Stanley, 1985). Di samping itu, akan dilihat

juga pengaruhnya dalam pembentukan iklim pendidikan di sekolah dan di kelas, terutama

dalam pembentukan iklim pendidikan demokrasi yang menghargai adanya pluralisme

budaya serta pengaruhnya terhadap efektivitas pelaksanaan kegiatan kurikuler,

89

Page 66: BAB II KAJIAN TEORITIS TENTANG PENGARUH MASYARAKAT

kokurikuler, dan ekstrakurikuler di sekolah yang mencerminkan visi, misi, dan

pencapaian tujuan yang dirumuskan di atas. Semua ini tentunya dapat dijelaskan melalui

pandangan-pandangan pendidik dan siswa tentang status program Pendidikan IPS;

reformulasi hakikat belajar dan tujuan Pendidikan IPS sebagai hasil rekonstruksi

pengalaman budaya; pelaksaan program Pendidikan IPS yang menyangkut pemilihan

materi, strategi, sumber-sumber belajar, dan penciptaan iklim secara unik; konflik-konflik

yang timbul sebagai proses budaya; serta alternatif-alternatif pemecahan konflik yang

dilakukan.

Pelaksanaan program Pendidikan IPS secara unik seperti di atas sebagai hasil

rekonstruksi pengalaman budaya para pendukungnya diyakini akan dapat mencapaikan

tujuan program Pendidikan IPS pada khususnya, dan tujuan pendidikan di SMU Negeri I

Ubud pada umumnya dalam rangka penciptaan generasi muda modem berwatak Bali. Hal

ini terutama dirumuskan melalui karakteristik orientasi nilai modem para siswa; tingkat

pengetahuan sosial budaya dan agama Hindu mereka; pemahaman, orientasi nilai, dan

praktik tri hita karana mereka di lingkungan sekolah; pandangan dan sikap mereka dalam

masalah-masalah konflik antar level kepentingan (lokal, nasional, dan global); serta

aspirasi mereka setelah tamat antara melanjutkan ke perguruan tinggi, melamar menjadi

pegawai atau karyawan, atau berorientasi menjadi wiraswastawan.

Keseluruhan proses-proses di atas tidak akan dikaji dalam hubungan-hubungan

konsep yang bersifat linear melalui pendekatan empiris semata, melainkan juga sebagai

hubungan-hubungan kekuasaan, ideologi, dan kebudayaan sebagai suatu proses

kebudayaan yang akan melahirkan tindakan politis dalam pengembangan program

pendidikan IPS di sekolah dalam rangka memenuhi harapan-harapan masyarakat Bah

membentuk generasi muda modern berwatak Bali (SARAD, 2000; Sujana, 1994). Di

sinilah kemungkinan untuk menerapkan beberapa perspektif teoritis ilmu-ilmu sosial dan

pendidikan seperti pendekatan strukturalisme, pendekatan kajian agama, struktural-

fungsionalisme, konflik, kritis, dan interpretivis dalam mengkaji permasalahan konteks

Pendidikan IPS sebagai rekonstruksi pengalaman budaya dapat dilakukan (Combleth,

1991).

90