Upload
habao
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
24
BAB II
KERANGKA TEORI
Sehubungan dengan tema penelitian yaitu tentang “Strategi Gerakan
Civil Society Dalam Mengawal Politik Hijau Di Kota Surabaya (Gerakan LSM
Nol Sampah dalam melakukan perlindungan di Pantai Timur Surabaya)”, dalam
bab ini peneliti ingin menjelaskan mengenai kerangka konseptual dan kajian teori
yang berhubungan dengan kasus penelitian. Konsep tersebut nantinya dapat
digunakan untuk menganalisa data yang ditemukan.
Dalam penelitian ini menjelaskan tentang beberapa pendekatan teoritis
yang nantinya akan menunjang proses analisis data. Beberapa teoritik tersebut
adalah teori atau konsep Civil Society, teori Gerakan sosial baru dan teori Politik
Hijau. Teori Gerakan Sosial Baru dan Civil Society digunakan dalam penelitian ini
dikarenakan fokus penelitian berlandaskan pada organisasi atau lembaga swadaya
masyarakat. Sedangkan Politik Hijau digunakan sebagai pisau analisa dalam
menganalisis berdirinya bangunan permanen dikawasan pantai timur surabaya.
Peneliti juga menggunakan beberapa dasar hukum sebagai landasan,
seperti Peraturan daerah Kota Surabaya No 3 Tahun 2007, tentang penetapan
Kawasan Konservasi Pantai Timur Surabaya seluas 2.500 hektare. Kemudian
peraturan Pemerintahan Kota Surabaya Mengatur Perda Kota Surabaya No. 12
Tahun 2014 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Surabaya Tahun 2014 -
2034. Sesuai penjelasan diatas maka akan dijelaskan lebih rinci dalam bab-bab di
bawah ini.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
25
A. Teori Gerakan Sosial Baru
Gerakan sosial dipandang sebagai suatu gerakan yang lahir dari prakarsa
masyarakat dalam menuntut perubahan dalam institusi, kebijakan atau struktur
pemerintahan. Gerakan sosial lahir sebagai wujud reaksi terhadap permasalahan
yang tidak diinginkan rakyat dan adanya keinginan untuk menciptakan perubahan
dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat (sosial, politik, lingkungan, dan
lain-lain). Dalam konteks ini tuntutan perubahan seringkali muncul karena melihat
kebijakan yang ada tidak sesuai dengan konteks masyarakat yang ada maupun
bertentangan dengan kepentingan masyarakat secara umum.
a. Pemetaan Teori Gerakan Sosial
Beragam pendapat yang dilahirkan oleh para ahli tentang gerakan sosial
pada dasarnya dapat dipilah dalam klasifikasi tradisi teoritik dari studi tentang
gerakan sosial, yang meliputi 1:
1. Klasik
Meliputi studi perilaku kolektif dari kerumunan (crowd), kerusuhan (riot),
dan pemberontakan yang banyak dilakukanoleh teoritisi barat yang berorientasi
pada ajaran psikologi sosial klasik dan sejarawan sebelum era tahun 1950-an.
Beberapa contoh karya aliran ini diantaranya G.Tarde’s Laws of Imitation (1903),
Gustave Le Bon’s The Crowd (1909), William McDougall’s The Grouup Mind
(1920) dan E.D. Martin’s tentang The Behaviour of Croud (1929) yang didasarkan
pada studi tentang perilaku kolektif.
1 Sukmana, Oman. (2016). Konsep Dan Teori Gerakan Sosial. Malang: IntransPublishing. Hal: 8-9.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
26
2. Neo Klasik
Aliran ini dihubungkan dengan tradisi utama dalam studi gerakan
sosial lama, yang kebanyakan dipublikasikan setelah tahun 1950-an. Tradisi ini
dibagi lagi dalam dua model studi gerakan sosial lama yang berbeda, yaitu
fungsionalis dan model dialektika Marxis.
3. Kontemporer atau Gerakan Sosial Baru (New Social Movements)
Tidak sebagaimana gerakan sosial lama (klasik dan neo klasik). Orientasi
gerakan ini tidak meliputi diskursus ideologi yang mempertanyakan anti
kapitalisme, revolusi kelas, danperjuangan kelas. Pada dasarnya Gerakan Sosial
Baru (New Social Movements) tidak tertarik untuk mempertanyakan ide revolusi.
Paradigma ideologi dan orientasi Gerakan Sosial Baru (New Social Movements)
lebih menonjolkan pluralitas, yang ditunjukkan secara beragam melalui isu anti
rasis, anti nuklir, pelucutan senjata, feminism, lingkungan, regionalisme dan
etnisitas, kemerdekaan sipil, kebebasan individudan perdamaian
Gerakan sosial baru (New Sosial Movement) pendekatan teoritisnya
meliputi antara lain: Pertama, Teori Mobilisasi Sumber Daya (The Resource
Mobilization Theory) dan Kedua adalah Teori Identitas (The Identity Oriented
Theory). Menurut Aberle, Cameron, dan Blumer menggelompokkan tipe gerakan
sosial didasarkan dalam beberapa aspek, yakni berdasarkan aspek tujuan gerakan
dan metode yang digunakan dalam mencapai tujuan. Blumer mengelompokkan
gerakan sosial menjadi dua tipe yakni: (1) gerakan sosial umum dan (2) gerakan
sosial khusus. Seangkan berdasarkan dimensi sasaran perubahan dan dimensi
jumlah besrannya maka gerakan sosial dikelompokkan menjadi empat tipe yakni
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
27
(1) Gerakan Sosial Alternatif (Alternative Social Movements) (2) Gerakan Sosial
Pembebasan (Redemptive Social Movements) (3) Gerakan Sosial Revormasi
(Reformative Social Movements) (4) Gerakan Sosial Revolusi (Revolutionary
Social Movements). Penggelompokan tipe berdasarkan kedua dimensi tersebut
dapat digambarkan melaui tabel dibawah ini:
Tabel 2.1
Tipe Tipe Gerakan Sosial
Sasaran
Perubahan Terbatas Menyeluruh
Khusus Individu Gerakan Sosial Alternatif
(Alternative Social
Movements)
Gerakan Sosial Pembebasan
(Redemptive Social
Movements)
Semua Orang Gerakan Sosial Revormasi
(Reformative Social
Movements)
Gerakan Sosial Revolusi
(Revolutionary Social
Movements)
Sumber: Oman Sukmana hal 16.
Tipe pertama yaitu Alternative Movements, suatu gerakan sosial yang
tingkat ancamannya terhadap status quo sangat kecil karna sasarannya dari
gerakan sosial ini adalah suatu perubahan yang terbatas hanya kepada sebagian
dari populasi. Tipe kedua adalah Redemptive Movements, gerakan sosial yang
memiliki fokus selektif, tetapi ditunjukkan terhadap perubahan yang radikal (lebih
mengakar) pada individu. Reformative Movements, gerakan sosial yang ditunjukan
untuk suatu perubahan sosial yang terbatas terhadap setiap orang, umumnya
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
28
gerakan sosial ini terjadi dalam sistem politik. Tipe gerakan ini biasanya bersifat
progresif. Kemudian yang terakhir Gerakan Sosial Revolusi (Revolutionary Social
Movements) merupakan tipe gerakan sosial yang paling keras dibandingkan tipe
gerakan sosial yang lainnya.2
Secara kontekstual, Gerakan sosial baru menaruh konsepsi ideologi
mereka pada asumsi bahwa masyarakat sipil tengah meluruh, ruang sosialnya
telah mengalami penciutan dan digerogoti oleh kemampuan kontrol negara. Dan
secara radikal gerakan sosial baru mengubah paradigma marxis yang menjelaskan
konflik dan kontradiksi dalam istilah kelasdan konflik kelas. Sehingga gerakan
sosial baru didefinisikan sebagai tampilan gerakan yang non kelas serta pusat
perhatian yang non materialistik, dan karena gerakan social baru tidak ditentukan
oleh latar belakang kelas, maka mengabaikan organisasi serikat buruh industri dan
model politik kepartaian, tetapi lebih melibatkan politik akar rumput, aksi-aksi
akar rumput. Struktur gerakan sosial baru didefenisikan oleh pluralitas cita-cita,
tujuan , kehendak dan orientasi heterogenitas basis sosial mereka.
Menurut Pichardo dan Singh, teori gerakan sosial baru bercirikan sebagai
berikut3:
1. Ideologi dan tujuan gerakan sosial baru meninggalkan orientasi ideologis
yang melekat pada gerakan sosial lama. Gerakan sosial baru menepis
semua asumsi Marxian semua perjuangan dan pengelompokan di dasari
pada konsep kelas. Gerakan sosial yang bertujuan untuk menumbangkan
2 Sukmana, Oman. (2016). Konsep Dan Teori Gerakan Sosial. Malang: IntransPublishing. Hal 16-17.3 Singh, Rajendra. (2010). Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta: Resist Book.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
29
posisi Negara kemudian menggantikannya dengan kekuatan proletar.
Namun dalam gerakan sosial baru, mereka memposisikannya sebagai
partner pemerintah atau Negara untuk menciptakan kehidupan baru yang
lebih baik.
2. Taktik dan pengorganisasian, Gerakan sosial baru umumnya tidak lagi
mengikuti pengorganisasian seperti serikat buruh, atau model politik
kepartaian lebih memilih saluran di luar politik normal dan menerapkan
taktik yang mengganggu dari mobilisasi opini publik untuk mendapatkan
daya tawar politik serta cenderung menggunakan demonstrasi yang amat
dramatis.
3. Partisipan atau aktor, menurut Pichardo partisipan gerakan sosial baru
muncul dari kalangan kelas menengah baru yang bekeija di sektor
ekonomi non produktif umumnya adalah kaum terdidik.
4. Medan atau area, merupakan lintasan batas regional,dari arah lokal sampai
internasional. Strategi dan cara mobilisasi bersifat global.
Gerakan sosial baru tidak melibatkan diri dalam politik, atau menghindar
menjadi dilembagakan sendiri. Beberapa gerakan sosial baru terintegrasi ke dalam
sistem partai dan memperoleh akses reguler terhadap regulasi, implementasi, dan
pengambilan keputusan. Seperti di beberapa partai-partai hijau yang menonjol di
Eropa dengan beberapa memiliki manifest lokal dibeberapa tempat. Dengan
demikian paradigma gerakan sosial baru, mengakui tidak ada gaya taktik yang
khas dari gerakan sosial baru lebih sekedar opini publik dan politik anti institusi.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
30
b. Ciri-ciri Gerakan Sosial Baru
Penting kiranya kita untuk membedakan antara ciri Gerakan Sosial Lama
dengan Gerakan Sosial Baru. Hal ini diperlukan agar kita tidak terjebak dalam
gaya fikiran Gerakan Sosial Lama. Selain itu, karakteristik atau ciri dari gerakan
sosial lama sering kali tersamarkan dalam kajian Gerakan Sosial Lama. Gerakan-
gerakan terkait dengan isu-isu lingkungan, feminisme, hak asasi manusia,
perdamaian dan sebagainya yang secara eksplisit biasanya dikategorikan sebagai
bagian dari kajian Gerakan Sosial Baru. Kajian yang menggunakan tematema
tersebut dapat menggunakan teori gerakan sosial sebagai pisau analisisnya.
Terdapat berbagai tokoh yang mencoba mendapatkan karakteristik atau ciri dalam
membedakan kajian antara Gerakan Sosial Lama dengan Gerakan Sosial Baru.
Dalam hal ini, acuan yang digunakan menggunakan pendapat Singh.
Adapun ciri Gerakan Sosial Baru yaitu 4:
1) Pertama, Gerakan Sosial Baru membangkitkan isu ‘pertahanan diri’
komunitas dan masyarakat guna melawan meningkatnya ekspansi
aparatus negara: agen agen pengawasan dan kontrol sosial. Perlu
disadari bahwa gerakan sosial baru bukanlah demi anarki, ia
menyerukan sebuah kondisi sosial yang adil dan bermartabat bagi
konsepsi kelahiran, kedewasaan, dan reproduksi makhluk manusia yang
kreatif dan bersinergi dengan alam.
4 Sukmana, Oman. (2016). Konsep Dan Teori Gerakan Sosial. Malang: Intrans Publishing
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
31
2) Kedua, secara radikal Gerakan Sosial Baru mengubah paradigma
Marxis yang menjelaskan konflik dan kontradiksi dalam istilah kelas
dan konflik kelas.
3) Ketiga, mengingat latar belakang kelas tidak menentukan identitas aktor
ataupun penopang aksi kolektif, Gerakan Sosial Baru pada umumnya
mengabaikan model organisasi serikat buruh industri dan model politik
kepartaian.
4) Keempat, struktur Gerakan Sosial Baru didefinisikan sebagai pluralitas
cita-cita, tujuan, kehendak dan orientasi dan oleh heterogenitas basis
sosial mereka. Setelah kita dapat mengetahui ciri dari Gerakan Sosial
Baru.
Dalam hal ini gerakan sosial baru tampil trans-manusia mereka
mendukung pelastarian alam dimana manusia menjadi bagian. Perjuangan
menentang perang nuklir, perlombaan senjata dan demi ekologis lingkungan,
perdamaian masyarakat sipil, identitas individual, kebebasan dan kedaulatan
personal, merupaka perjuangan yang menghamparkan kebersamaan warga dari
beragam nasionalitas, kebudayaan dan sistem politik. Gerakan sosial baru adalah
kekuatan sosial yang besar dan basis sosial yang luas. Para aktor gerakan sosial
beroperasi bukan karena kepentingan kelas, akan tetapi mereka berjuang demi
kepentingan sosial.5
5 Ibid. Hal: 131.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
32
c. Teori Identitas (The Identitiy-Oriented Theory).
Menurut Singh, teori berorientasi Identitas (The Identity Oriented Theory)
tentang gerakan sosial kontemporer (contemporary social meovements)
menjelaskan asumsi dasar sebagai kritik terhadap perspektif teori Mobilisasi
Sumberdaya (The Resource Mobilisation Theory). Basis rasionalitas dari teori
mobilisasi sumberdaya dianggap tidak cukup memadai dalam menjelaskan
gerakan sosial baru. Teori mobilisasi sumberdaya dianggap gagal dalam
menjelaskan beberapa ekspresi dari Gerakan Sosial Baru (New Social
Movements), seperti: gerakan feminis, gerakan lingkungan, gerakan damai,
gerakan perlucutan senjata, dan gerakan kebebasan lokal.
Teori Identitas (The Identity-Oriented Theory) sangat dominan di Eropa,
sebagai oposisi atas penjelasan (eksplanasi) rasionalitas tentang gerakan sosial
kontemporer yang umumnya dirumuskan dan dipraktekan oleh sarjana-sarjana di
Amerika, khususnya eksplanasi yang digambarkan oleh Teori Mobilisasi
Sumberdaya (The Resource Mobilisation Theory). Dibandingkan dengan teori
Mobilisasi Sumberdaya yang memfokuskan dan terikat secara signifikan dengan
rasionalisme dan materialisme (rationalism and materialism), maka teori Identitas
(the Identity-Oriented Theory). Secara umum mempunyai sifat-sifat non-
materialistik dan ekspresif (non materialistic and expressive in nature). Teori
Identitas (the Identity-Oriented Theory) membahas pertanyaan pertanyaan tentang
integrasi dan solidaritas dari kelompok yang terlibat dalam aksi kolektif. 6
6 Singh, Rajendra. (2010). Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta: Resist Book. Hal 113.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
33
Paradigma teori Identitas (the Identity-Oriented Theory), meskipun
meletakkan pembahasan ke dalam pertanyaan-pertanyaan tentang solidaritas
dan integrasi. Menurut pandangan teori ini, baik konsep Durkhemian tentang
anomi dan gangguan (anomie and breakdown) atau pandangan Smelserian
tentang ketegangan (strain), arus pendek/”korsleting” (short-cicuiting), keyakinan
umum (generalized beliefs), dan sebagainya, dianggap kurang relevan untuk
menjelaskan tentang perilaku kolektif (collective behavior). Penyimpangan social
(social aberration), sebagai gagasan tentang anomi atau gangguan social (anomie
or social breakdown), tidak bisa dijadikan jendela dalam memandang berbagai
dimensi tentang gerakan social.
Para pendukung teori Identitas, meskipun sementara mereka menerima
beberapa elemen repertoar dari teori Marxist seperti gagasan tentang perjuangan
(struggle), mobilisasi (mobilization), kesadaran (consciousness), dan solidaritas
(solidarity), namun mereka menolak tesis reduksionisme dan deterministik
materialisme dan konsep-konsep basis materialistik tentang formasi sosial (social
formation). Determinisme Marxist, dan konsekuensi yang menyangkut
reduksionisme, ditinggalkan karena terkesan berlebih-lebihan. Formasi-formasi
sosial baru (new social formations) dan Gerakan Sosial Baru (New Social
Movements) seperti ekologi (ecology), feminism (feminism), perdamaian (peace)
dan mobilisasi akar rumput (grassroots mobilisation) melampaui ide tentang kelas
dan melewati batas kondisi material. 7
7 Sukmana, Oman. (2016). Konsep Dan Teori Gerakan Sosial. Malang: Intrans Publishinghal 143.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
34
Dengan demikian, teori Identitas merupakan teori yang berorientasi post-
Marxism. Post-Marxism sebagai cara (mode) berpikir kritis adalah merupakan
logika tentang bentuk-bentuk sosial (social forms) dari post-materialism, post-
industrialismdan post-capitalism. Bentuk-bentuk sosial ini, merupakan sifat yang
muncul dari refleksi kritis kontemporer dan aplikasi empirisme ekspresif sebagai
metode dalam memahami konsepsi tentang post-society, post-sociology dan New
Social Movements merupakan kesepakatan umum (general agreement) bahwa
gerakan berorientasi identitas (identity oriented movements) dan tindakan kolektif
(collective actions) adalah merupakan ekspresi tentang upaya penyelidikan
tentang identitas (identity), otonomi (autonomy), dan pengakuan (recognition)
manusia.8
Menurut Benford and Snow, Soule, dalam literatur ilmu sosial tentang
gerakan, konsep identitas kolektif (collective identity) digunakan secara luas.
Identitas kolektif dipandang baik sebagai pendahulu (prasyarat) yang diperlukan
bagi munculnya tindakan kolektif maupun sebagai hasil dari gerakan tindakan
kolektif. berbagai teori dan pada semua level analisis. Identitas kolektif telah
menjadi pusat kajian analisis tentang kemunculan (emergence) gerakan, lintasan
(trajectories) gerakan, dan dampak (impacts) gerakan. Kajian tentang Identitas
juga masuk ke dalam dimensi analisis konstruksi ketidakpuasan dan proses-proses
pembingkaian (framing), motivasi keikutsertaan (motivation for participation),
pilihan taktik aktivis (activists tactical choices), hasil (life-course outcomes), dan
emosi (emotions). Identitas kolektif tampaknya telah menjadi konsep sentral untuk
8 Singh, Rajendra. (2010). Gerakan Sosial Baru. Yogyakarta: Resist Book. Hal 114.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
35
hampir setiap perspektif teoritis dan pertanyaan-pertanyaan empiris yang terkait
dengan studi-studi kontemporer tentang gerakan sosial.9
Teori tentang aksi kolektif secara sistematis menjelaskan konsep identitas
kolektif (collective identity), solidaritas (solidarity), dan komitmen (commitment).
Ketiga konsep ini membentuk basis sistematis, teori komprehensif yang
mensintesakan perspektif-perspektif psikologi, psikologi social dan sosiologi
makro. Secara umum, identitas kolektif (collective identity) menjelaskan bahwa
kelompok individu memiliki kepentingan (interest), nilai (values), perasaan
(feelings) dan tujuan (goals) bersama. Identitas kolektif di dalamnya meliputi
menekankan pada komitmen dari indvidu, menekankan pada solidaritas dari
kolektivitas, serta menyoroti secara lebih luas, struktur makrososial dan dinamika
yang melampaui gerakan kolektivitas, termasuk yang membantu membentuk dan
memberikan interes, konteks politik, simbol kultur, tujuan, dan sebagainya.
Sementara, komitmen (commitment) memfokuskan perhatian kepada
investasi individu dalam garis aksi individu yang konsisten dengan garis aksi
yang dimunculkan oleh kolektivitas. Sedangkan, solidaritas (solidarity)
memberikan perhatian kepada tingkat dari kohesivitas social yang eksis dalam dan
bersama kelompok.Solidaritas melakukan eksplorasi tentang hubungan individu
dan kolektivitas dengan fokus utama pada kolektivitas.10
Johnston dan Klandermans mendefinisikan identitas kolektif (collective
identity) sebagai saling interaksi dan berbagi yang diproduksi oleh beberapa
9 Snow, David A.; Soule, Sarah A.; & Kriesi, Hauspeter (eds.). 2004. The BlackwellCompanion to Social Movements. Oxford: Blackwell Publishing Ltd. Hal 432.10 Sukmana, Oman. (2016). Konsep Dan Teori Gerakan Sosial. Malang: IntransPublishing hal 145.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
36
individu (atau kelompok pada level yang lebih kompleks) dan memusatkan
orientasinya pada tindakan serta peluang dan kendala dimana aksi terjadi.
Terdapat tiga unsur dalam identitas kolektif, yakni:
(1) identitas kolektif sebagai proses yang melibatkan denifisi kognitif tentang
tujuan, sarana, dan bidang tindakan. (2) identitas kolektif adalah sebagai proses
yang mengacu kepada jaringan relasi aktif antara actor yang berinteraksi
(interact), berkomunikasi (communicate), saling mempengaruhi (influence each
other), negosiasi (negotiate), dan membuat keputusan (make decisions). Bentuk
organisasi dan model kepemimpinan, saluran komunikasi, dan teknologi
komunikasi adalah merupakan bagian dari jaringan relasi, dan (3) Tingkat tertentu
dari investasi emosional, yang memungkinkan indivu merasakan seperti seabagi
bagian dari suatu kesatuan.11
d. Strategi Gerakan Sosial
Strategi merupakan cara atau metode untuk melakukan sesuatu dalam
rangka mencapai tujuan usaha-usaha apa yang dilakukan untuk mencapai tujuan
gerakan apa ada tujuan utama dari setiap strategi yang digunakan dalam mencapai
tujuan itu, akan lebih menekankan yaitu pada perubahan institusi-institusi sosial
(societal manipulation) ataukah dengan mengubah hati dan pemikiran orang-orang
(personal transformation) strategi yang digunakan bersifat terbuka atau tertutup,
terang-terangan atau tersembunyi menggunakan strategi penyerangan frontal atau
pengikisan ‘pendirian’ mereka dinyatakan secara halus (polite), melalui aksi
11 Ibid, hal 147.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
37
protes atau kekerasan mekanisme taktik yang digunakan terhadap kelompok
sasaran: persuasi, negosiasi atau paksaan.
Strategi Gerakan Sosial menyebut pentingnya proses framing dalam
memahami sukses tidaknya sebuah gerakan sosial. Dalam teoritisi gerakan sosial
menggagas suatu konsep skema mengenai meaning construction dengan
menggunakan term yang disebut Framing. Konsep tentang frame atau
pembingkaian itu sendiri diperkenalkan oleh Erving Goffman. 12 Menurut
Goffman, frame adalah sebuah skema dari intrepretasi, yang memungkinkan
individu untuk memetakan, memahami dan mengidentifikasi, serta memberikan
label terhadap setiap kejadian-kejadian yang muncul dalam kehidupan mereka
dan dunia secara umum.
Cara ini merupakan upaya meyakinkan kelompok sasaran yang beragam
dan luas sehingga mereka terdorong mendesakkan sebuah perubahan. Komponen
utama dari proses framing gerakan adalah diagnosis elemen atau mendefinisikan
masalah dan sumbernya serta memprediksi elemen sekaligus mengindentifikasi
strategi yang tepat untuk memperjuangkan masalah tersebut.
Snow menambahkan bahwa proses framing collective action frames
adalah skema interpretasi yang merupakan sekumpulan belifes and meaning,
berorientasi pada aksi yang menginspirasi dan melegitimasi aktivitas sebuah
organisasi gerakan sosial. Dalam hal ini, frame dibangun untuk memberikan
makna dan menginterpretasi kejadian tertentu, yang dimaksudkan untuk
12 Benford and Snow, David. 2000, “Framing Processes and Social Movements: AnOverview and Assessment, journal Annu. Rev. Sociol. vol 26:611–39, hal 4.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
38
memobilisasi potensi pengikut, serta untuk mendapatkan dukungan pihak lain
Sehingga, melalui proses Framing tersebut, para aktor gerakan sosial akan saling
menilai kemampuan terhadap “tipe sumber daya” dengan “kemampuan mobilisasi
aksi” delam beberapa tingkatan.13
Setelah melakukan pembingkaian, langkah selanjutnya adalah dengan
menyusun strategi yang hendak digunakan dalam menjalankan aksinya.
Setidaknya terdapat 4 variasi strategi yang memuat garis besar pengertian dan
kaidah umum strategi gerakan sosial sebagaimana dideskripsikan sebagai
berikut14:
1) Low Profile Strategy merupakan strategi isolasi politik yang secara khusus
sesuai dengan konteks politik yang represif dan efektif untuk menghindari
kooptasi dari pemegang kekuasaan otoritarian.
2) Strategi Pelapisan (Layering). Pelapisan adalah pengembangan penyediaan
pelayanan yang berorientasi kesejahteraan yang sebenarnya berisikan
metode dan aktivitas yang berorientasi pemberdayaan dan transformasi
sosial.
3) Strategi advokasi. Strategi advokasi seringkali digunakan untuk mendesak
perubahan-perubahan sosial, seperti mereformasi tata pemerintah yang
demokratis, melindungi sumberdaya alam atau lingkungan, memajukan
pembangunan berkelanjutan, menciptakan dan memelihara daerah-daerah
rawan konflik, dan sebagainya.
13 Ibid hal 5.14 Putra, Fadillah , Konsep, Aktor, Hambatan Dan Tantangan Gerakan Sosial DiIndonesia. Malang: 2006, Averroes Press, hal 10-14.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
39
4) Keterlibatan kritis (critical engagement). Organisasi gerakan sosial,
terutama NGO bisanya menggabungkan beberapa strategi dalam
menghadapi lawannya. Hal ini merupakan upaya dalam mengubah
kebijakan publik yang dianggap tidak sesuai dengan tujuan gerakan sosial.
e. Hambatan dan Tantangan Gerakan Sosial
Selama ini praktek politik organisasi gerakan sosial hanya menjadikan
kadernya sebagai community organizer. Kader dari gerakan sosial hanya
melakukan pengorganisasian dalam rangka pemberdayaan komunitas-komunitas
yang tak diuntungkan oleh sistem politik. Berbagai pendidikan yang dilakukan
meliputi tentang: pertama, pemetaan kondisi eksternal meliputi aspek sosial,
hukum, politik, ekonomi dan budaya; kedua, pemetaan kondisi internal organisasi
dan personal organisasi yang meliputi penilaian terhadap struktur organisasi,
penilaian terhadap ketersediaan perangkat organisasi dan pelaksanaan misi
organisasi 15 Meskipun sudah dilakukan strategi pemetaan yang dianggap sudah
matang, aksi yang dilakukan gerakan sosial tetap saja mendapatkan hambatan
dan tantangan.
Hambatan dapat dipahami sebagai faktor yang menghalangi dalam
mencapai tujuannya. Kita dapat membedakan hambatan kedalam dua kategori
yaitu hambatan internal dan hambatan eksternal. Pertama hambatan internal
gerakan, merupakan serangkaian masalah dalam tubuh gerakan sosial yang
dianggap mengganggu dalam mencapai tujuannya. Hambatan internal dapat
15 Arianto, Tri Chandra, 2008 Wajah Prakarsa Partisipatif: Dinamika GagasanReforma Agraria dan Gerakan Sosial di Indonesia Pasca 1998. Jurnal Ilmu Sosialdan Ilmu Politik. Vol 12 (1): 1-20. Hal 31
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
40
berupa pola kepemimpinan yang tidak demokratis, tidak ada mekanisme yang
jelas dalam struktur organisasi, keterbatasan waktu aktor gerakan untuk totalitas
dalam memperjuangkan tujuan gerakan, dan lain sebagainya. Kedua hambatan
eksternal gerakan, merupakan permasalahan diluar gerakan dianggap menghalangi
cita-cita gerakan seperti regulasi yang tak mendukung, tidak mendapatkan
dukungan dari pihak lain, dan lain sebagainya.
Pada umumnya, sumber daya finansial yang menjadi tantangan utama dari
suatu gerakan sosial. Akan tetapi, membedakan tantangan menjadi 3 aspek
yaitu:16
1) Legitimasi. Legitimasi merujuk pada kompetensi sebuah institusi
dalam menciptakan kelembagaan untuk melindungi masyarakat. Hal
ini disebabkan oleh adanya representasi, akuntabilisasi, dan akurasi.
2) Keterputusan (Disconnection). Keterputusan merupakan bentuk dari
pengabaian kerjasama dengan komunitas lokal dan lebih mementingkan
membuat program yang berskala luas.
3) Pengejaran tujuan jangka pendek (short-termism). Kecenderungan,
gerakan sosial terlalu menekankan pada perubahan-perubahan yang
bersifat jangka pendek dan hanya berurusa keberhasilan kampanye
kampanye dan lobi-lobi yang terefleksikan pada perubahan kebijakan.
16 Putra, Fadillah , Konsep, Aktor, Hambatan Dan Tantangan Gerakan Sosial DiIndonesia. Malang: 2006, Averroes Press, hal 48-58.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
41
B. Konsep Masyarakat Sipil (Civil Society)
Istilah Civil Society atau sering juga diterjemahkan dengan masyarakat
sipil, Sebagai sebuah konsep, civil society juga dapat dipahami dari latar belakang
sejarahnya. Akar perkembangannya dapat dirunut mulai Cicero yang memulai
menggunakan istilah societes civilis dalam filsafat politiknya. Dalam tradisi Eropa
sampai abad ke-18, pengertian Civil Society dianggap sama dengan pengertian
negara (the state), yakni suatu kelompok/kekuatan yang mendominasi seluruh
kelompok masyarakat lain. Jadi istilah istilah seperti koinonia politike, societas
civilis, societe civile, buergerliche gesellschaft, civil society, dan societa civile
dipakai secara bergantian dengan polis, civitas, etat, staat, state, dan stato. Maka
ketika JJ Rousseau menggunakan istilah societes civile, ia memahaminya sebagai
negara yang mana salah satu fungsinya adalah menjamin hak milik, kehidupan,
dan kebebasan para anggotanya.
Barulah pada paruh kedua abad ke-18, terminologi ini mengalami
pergeseran makna. Negara dan civil society kemudian dimengerti sebagai dua
buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses pembentukan sosial (social
formation) dan perubahan-perubahan struktur politik di Eropa sebagai akibat
Pencerahan (Enlightenment) dan modernisasi dalam menghadapi persoalan
duniawi, yang keduanya turut mendorong tergusurnya rezim rezim absolut. Para
pemikir politik yang mempelopori pembedaan ini antara lain para filsuf
pencerahan Skotlandia yang dimotori oleh Adam Ferguson dan beberapa pemikir
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
42
Eropa seperti Johann Forster, Tom Hodgkins, Emmanuel Sieyes, dan Tom
Paine.17
Dalam perkembangannya, Civil Society pernah dipahami secara radikal
oleh para pemikir politik yakni dengan menekankan aspek kemandirian dan
perbedaan posisinya sedemikian rupa sehingga menjadi antitesis dari state.
Pemahaman seperti ini mengundang reaksi para pemikir seperti Hegel yang segera
mengajukan tesis bahwa Civil Society tidak bisa dibiarkan tanpa terkontrol. Civil
Society justru memerlukan berbagai macam aturan dan pembatasan-pembatasan
serta penyatuan dengan negara lewat kontrol hukum, administratif dan politik.
Pandangan Hegel tantang Civil Society, yang ia samakan dengan
buergerliche Gesellschaft, belakangan mendapat dukungan kuat, termasuk dari
Karl Marx. Namun konsepsi Hegelian dan Marxian tentang Civil Society yang
bercorak sosiologis itu menimbulkan persoalan. karena ia mengabaikan dimensi
kemandirian yang menjadi intinya. Ini disebabkan, terutama pada Hegel, posisi
negara dianggap sebagai ukuran terakhir dan pemilik ide universal. Hanya pada
dataran negaralah politik bisa berlangsung secara murni dan utuh, sehingga posisi
dominan negara menjadi bermakna positif. Jika Civil Society kehilangan dimensi
politiknya dan akan terus tergantung kepada manipulasi dan intervensi negara.
Konsep Hegelian yang memberi posisi unggul terhadap negara ini
kemudian dikritik oleh pemikir-pemikir modern seperti Robert Mohl, JS Mills,
Anne de Stael, dan Alexis de Tocqueville. Mereka, terutama yang belakangan ini,
17Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, LP3ES, Jakarta, 1999, Hal, 1.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
43
sepakat untuk mengembalikan dimensi kemandirian dan pluralitas dalam Civil
society. Jika pada Marx, Civil Society diletakkan pada dataran basis material dari
hubungan produksi kapitalis oleh karenanya, disamakan dengan kelas borjuasi,
maka Gramsci melihatnya sebagai super struktur dimana proses perebutan posisi
hegemonik terjadi. Pemahaman Gramsci memberi tekanan penting pada
cendekiawan yang merupakan aktor utama dalam proses perubahan sosial dan
politik. Gramsci, dengan demikian, melihat adanya sifat kemandirian dan politis
dari Civil Society, kendatipun pada instansi terakhir ia juga amat dipengaruhi oleh
basis material (ekonomi).18
Menurut de’Tocqueville Civil Society dapat didefinisikan sebagai
wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain:
kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan
(self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan
dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya. Sebagai
sebuah ruang politik, Civil Society adalah suatu wilayah yang menjamin
berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri tidak terkungkung oleh
kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan-jaringan
kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnya suatu ruang publik
yang bebas (the free public sphere), tempat dimana transaksi komunikasi yang
bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat. 19
18 Ibid, hal 3.19 Ibid , Hal, 6.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
44
Konsep mengenai Civil Society sendiri dapat diartikan sebagai suatu
tatanan sosial atau masyarakat yang memiliki peradaban (civilization) dimana
didalamnya terdapat asosiasi warga masyarakat yang bersifat sukarela dan
terbangun sebuah jaringan hubungan berdasarkan berbagai ikatan yang sifatnya
independen terhadap negara. Kegiatan masyarakat sepenuhnya bersumber dari
masyarakat itu sendiri, sedangkan negara hanya merupakan fasilitator. Akses
masyarakat terhadap lembaga negara dijamin dalam Civil Society, artinya individu
dapat melakukan partisipasi politik secara bebas. Warga Negara bebas
mengembangkan dirinya secara maksimaldan leluasa dalam segala aspek
kehidupan yang meliputi bidang ekonomi, politik, sosial, budaya dan
bidangbidang lainnya.20
Menurut Einstadt dalam Afan Gaffar Civil Society memiliki empat
komponen sebagai syarat; pertama Otonomi, kedua akses masyarakat terhadap
lembaga Negara, ketiga arena publik yang bersifat otonom dan keempat arena
publik yang terbuka bagi semua lapisan masyarakat. Berdasarkan komponen
komponen tersebut, Civil Society mempersyaratkan adanya organisasi sosial
politik dan kelompok kepentingan yang memiliki tingkat kemandirian yang tinggi.
Diantara organisasi sosial dan politik yang memiliki tingkat kemandirian yang
tinggi adalah LSM dan media massa. LSM memiliki tingkat keleluasaan bergerak,
20 Natapraja, Ageng, “Distorsi Peran Lembaga Swadaya Masyarakat dalamPerspektif Civil Society di Kabupaten Grobogan” Tesis, Program Study Magister IlmuPolitik Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah,tahun 2009. Hal 15.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
45
serta kebebasan dan kemandirian yang cukup tinggi yang dapat dijadikan sumber
daya politik yang potensial dalam menyiapkan Civil Society.21
Peran Lsm sebagai gerakan pemberdayaan masyarakat yang diwujudkan
lewat aksi pengembangan kapasitas kelembagaan, produktivitas, dan kemandirian
kelompok kelompok masyarakat, termasuk mengembangkan kesadaran
masyarakat untuk membangun keswadayaan, kemandirian, dan partisipasi.
Peranan ini umumnya dilakukan dengan cara pendidikan dan latihan,
pengorganisasian dan mobilisasi masyarakat.22
Sedangkan Muhammad AS Hikam memandang bahwa LSM sebagai
tulang punggung dan alternatif munculnya civil society. Istilah LSM sendiri lahir
dari paradigma civil society yang mengejawatahan dalam berbagai wadah sosial
politik di masyarakat mulai dari bidang keagamaan, profesi, paguyuban, kaum
tani, buruh, pedagang dan unit-unit komunitas lainnya, domain mereka terpisah
dari Negara maupun sektor bisnis.23
Sebutan LSM sendiri merupakan pengembangan dari istilah Ornop
(organisasi non pemerintah) yang merupakan terjemahan langsung dari istilah
bahasa Inggris Non Government Organization (NGO). LSM sendiri dapat
dijabarkan lebih luas lagi, yang paling sederhana Pengertian LSM menurut
ensiklopedi online Wikipedia 24 yang dalam terjemahan harfiahnya dari Bahasa
Inggris dikenal juga sebagai Organisasi non pemerintah disingkat ornop atau
21 Ibid Hal 15.22 Ibid, Hal, 17.23 Muhammad AS Hikam. Op. cit.,Hal. 3.24 http://www.id.wikipedia.org, diakses tanggal 29 April 2017 pukul 23.15 wib.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
46
Organisasi Non Pemerintah (Ornop) dapat dikatakan merupakan terjemahan dari
Bahasa Inggris yaitu Non Government Organization atau yang lebih dikenal
dengan NGO. Organisasi tersebut bukan menjadi bagian dari pemerintah,
birokrasi ataupun negara. Maka secara garis besar organisasi non pemerintah
dapat di lihat dengan ciri sebagai berikut :
1. Organisasi ini bukan bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun
Negara.
2. Dalam melakukan kegiatan tidak bertujuan untuk memperoleh
keuntungan (nirlaba).
3. Kegiatan dilakukan untuk kepentingan masyarakat umum, tidak
hanya untuk kepentingan para anggota seperti yang di lakukan
koperasi ataupun organisasi profesi.
Sebagaimana diketahui dari kesejarahan bangsa-bangsa yang telah maju
dan demokratis, keberadaan Civil Society yang kuat merupakan salah satu
landasan pokok bagi ditegakkannya sistem politik demokrasi. Civil Society di sini
didefinisikan sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dengan ciri-ciri
kesukarelaan, keswadayaan, keswasembadaan dan kemandirian berhadapan
dengan negara.
Dengan tumbuh dan berkembangnya Civil Society yang kuat maka
dimungkinkan pencegahan terhadap dampak-dampak negatif dari dua kekuatan
tersebut sehingga kehidupan demokratis rakyat tetap terjaga. Dari pihak negara,
kemungkinan monopoli atau dominasinya akan mengakibatkan hilangnya
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
47
kemandirian pribadi dan merosotnya karsa-karsa bebas di dalamnya yang
sebetulnya sangat penting bagi kehidupan demokrasi. Dampak negatif dari negara
yang terlalu intervensionis adalah ketergantungan yang sangat tinggi dari
kelompok-kelompok dalam rakyat dan pribadi-pribadi kepadanya.25
Namun, dampak negatif dari kekuatan ekonomi pasar pada masyarakat
kapitalistik menyebabkan atomisasi dan pasifikasi rakyat yang mengakibatkan
memudarnya perekat komunitas. Kapitalisme yang pada intinya menuntut
individu dibebaskan sepenuhnya agar dapat mencari kepuasaan, pada gilirannya
mendorong terjadinya kompetisi yang tidak sehat di dalam rakyat serta
memungkinkan melebarnya jurang yang memisahkan antara si kaya dan si miskin.
Sistem politik yang mengabaikan kenyataan seperti ini dan tidak mampu
melakukan pengawasan atasnya, kendatipun di luar tampak demokratis tetapi di
dalam sejatinya mengidap penyakit kronis yaitu alienasi kaum lapis bawah dan
kelangkaan partisipasi yang murni dari mereka.26
Karena itu, untuk mengurangi dan mengantisipasi ekses-ekses tersebut
Civil Society menjadi penting. Ia dapat menjadi benteng yang menolak intervensi
negara yang berlebihan melalui berbagai asosiasi, organisasi dan pengelompokan
bebas di dalam rakyat serta keberadaan ruang-ruang publik yang bebas (the free
public sphare). Melalui kelompok-kelompok mandiri itulah rakyat dapat
memperkuat posisinya vis-à-vis negara dan melakukan transaksi-transaksi wacana
25Muhammad As Hikam, Demokrasi dan Civil Society, LP3ES, Jakarta, 1999.26 Mustain mashud, Gerakan Sosial dan Perubahan Sosial, diakses dari http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id/pada tanggal 13 juli 2017 pukul 20.00 wib.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
48
sesamanya. Sedangkan melalui ruang publik bebas, rakyat sebagai warga negara
yang berdaulat (baik individu maupun kelompok) dapat melakukan pengawasan
dan kontrol terhadap negara. Pers dan forum-forum diskusi bebas yang dilakukan
para cendekiawan, mahasiswa, pemimpin agama, dan sebagainya ikut berfungsi
sebagai pengontrol kiprah negara.27
Dalam pada itu, Civil Society yang didalamnya bermuatan nilai-nilai moral
tertentu, akan dapat membentengi rakyat dari gempuran sistem ekonomi pasar.
Nilai-nilai itu adalah kebersamaan, kepercayaan, tanggung jawab, toleransi,
kesamarataan, kemandirian dan seterusnya. Dengan masih kuatnya nilai
kepercayaan dan tanggung jawab publik, misalnya, maka akan dapat dikekang
sikap keserakahan individual yang dicoba untuk dikembangkan oleh sistem
ekonomi pasar melalui konsumerisme. Dengan diperkuatnya nilai toleransi dan
kesamarataan, maka akan dapat dikontrol kehendak eksploitatif yang menjadi
motor kapitalisme.
C. Teori Politik Hijau
Politik lingkungan yang lebih sering disebut politik hijau (Green
Politics) mulai melakukan perubahan-perubahan. Gerakan yang pada awalnya
hanya berbentuk gerakan aksi, mencoba melembagakan diri ke dalam bentuk
partai politik. Asumsinya, gerakan aksi saja tidak cukup untuk mempengaruhi
proses pengambilan kebijakan. Sehingga, dibutuhkan institusi seperti partai
27 Ibid.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
49
politik yang bisa menjadi bagian pengambilan kebijakan di level nasional
atau lokal (stakeholder).
Permasalahan lingkungan hidup (ekologi) selama dekade 60-an dan 70 an
mulai menjadi isu global dalam masyarakat dunia. Suara-suara protes yang
awalnya hanya dari kalangan minoritas pecinta lingkungan seperti ilmuwan,
aktivis dan kelas menengah, kini telah mampu membawa isu ini manjadi
perhatian masyarakat internasional. Hal ini bisa dilihat dari realisasi konferensi
Lingkungan Hidup PBB untuk pertama kalinya pada tahun 1972 di Stockholm
yang membahas Hukum Internasional Lingkungan. Sejak saat itu, kerjasama
Internasional dalam permasalahan lingkungan hidup dimulai oleh negara-negara
maju dan berkembang. Bahkan, konferensi ini juga membuka debat internasional
mengenai permasalahan lingkungan hidup.28
Sebagai isu global, masalah lingkungan mendapat perhatian serius dari
hampir semua negara di dunia. Sebab,problem dan krisis lingkungan tersebar ke
setiap negara, meski dengan ragam dan derajat yang berbeda-beda. Seluruh negara
di dunia terlihat dalam mencari solusi terhadap persoalan tersebut. Negara-negara
yang tergabung dalam G7, meskipun sudah agak terlambat, akhirnya
mengagendakan isu ini pada pertemuan mereka pada tahun 1989. Ini menandai
bahwa persoalan lingkungan yang sebelumnya dianggap berada daIain wilayah
low politics - isu minor yang menjadi urusan para teknisi tiba-tiba dikaitkan
dengan isu-isu sentral politik dunia. Isu lingkungan global menjadi soal ketiga
28 Apriawan. “Teori Hijau: Alternatif dalam Perkembangan Teori HubunganInternasional”. Multyversa, jornal volume 1 no 02, hal, 3.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
50
terpenting mendampingi agenda klasik dalam politik internasional, yakni soal
keamanan dan ekonomi. 29
Puncak dari semua itu adalah diselenggarakannya konferensi tentang
Biodiversity di Rio de Janeiro Brasil tahun 1992 dan hasilnya te1ah diratifikasi
oleh sebagian besar negara di dunia. Konferensi ini dihadiri oleh 150 negara dan
2500 NGO . KTT Bumi ini juga telah melahirkan kebutuhan akan kode etik dalam
memperlakukan lingkungan, sehingga kerusakan bumi tidak menjadi semakin
parah. Gagasan ini terefleksi dari pendirian Bussines Council for Sustainable
Development, yang merupakan wadah para pengusaha di 50 negara anggota untuk
mengembangkan sikap moral atau kode etik terhadap lingkungan. Gagasan untuk
membiayai berbagai program hijau juga telah melahirkan organisasi PaIang Hijau
Internasional (International Green Cross), sebagai wadah pengumpulan dana
Iingkungan 30
Antroposentrisme adalah pandangan yang terpusat pada manusia yang
dalam hal ini manusia merupakan pemegang kendali utama dalam kehidupan
sehingga dapat melakukan apapun sesuai kehendaknya. Menurut Eckersley,
karakteristik Politik Hijau adalah ekosentrisme yang memiliki dasar etis.
Ekosentrisme membawa nilai etis, agar manusia tidak lagi berlaku sesuai
kehendaknya sendiri, tetapi haruslah mengacu pada lingkungan di sekitarnya.
29 Suharko. 1998. Model-model Gerakan NGO Lingkungan. Jurnal Ilmu Sosial dan IlmuPolitik. Vol 2 No 1, hal 2.30 Ibid hal, 3
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
51
Politik hijau memisahkan Antroposentris dengan Ekosentrisme. Selain itu,
pandangan Ekosentrisme melawan kecenderungan ke arah globalisasi dan
homogenisasi. 31 Hal ini dikarenakan globalisasi dapat mendorong tumbuhnya
berbagai jenis industri yang mampu meningkatkan polusi yang dihasilkan yang
pada akhirnya menyebabkan kerusakan lingkungan. Ekosentrisme yang bersifat
etis memiliki empat ciri utama Eckserley, Pertama, ekosentrisme mengidentifikasi
semua masalah kepentingan manusia terhadap dunia bukan-manusia (bertentangan
dengan kepentingan ekonomi dalam penggunaan sumber daya). Kedua,
mengidentifikasi masyarakat bukan-manusia. Ketiga, mengidentifikasi
kepentingan generasi masa depan manusia dan bukan-manusia dan yang terakhir
adalah menerapkan suatu perspektif holistik dan bukan atomistic, yaitu dengan
menilai populasi, spesies, ekosistem dan lingkungan alam secara keseluruhan
seperti halnya organisme individu.32
Di samping itu, Dobson menyebutkan ada tiga argumentasi penting.
Pertama adalah solusi teknologi tidak dapat mengatasi permasalahan lingkungan.
Solusi teknologi tidak mampu menyelesaikan krisis yang ada namun hanya
mampu menunda krisis tersebut. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan
kaum modernis yang menganggap bahwa solusi bagi permasalahan lingkungan
adalah pengetahuan dan teknologi. Argumentasi kedua yaitu peningkatan
pertumbuhan berarti penumpukan bahaya yang mampu berakhir pada bencana.
Semakin cepat pertumbuhan, maka semakin sempit ruang yang ada dan
31 Burchill, S & Andrew Linklater. Teori-Teori Hubungan Internasional. Bandung : Nusamedia 1996, hal 339.
32 Ibid, hal, 337-339.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
52
kemampuan untuk menampung pertumbuhan yang semakin meningkatpun
semakin berkurang. Argumentasi ketiga adalah permasalahan yang berhubungan
dengan lingkungan pada dasarnya memiliki keterkaitan satu sama lain.33
Sesuai dengan asumsi-asumsi dasar yang telah disebutkan di atas, menurut
Burchill dan Linklater, yang menjadi agenda utama dari teori politik hijau adalah
memberikan penjelasan tentang krisis ekologis yang dihadapi manusia dan
memberi dasar normatif dalam menghadapi krisis tersebut. Selain itu, teori politik
hijau juga memfokuskan diri dalam menciptakan keadilan. ketidakadilan atau
ketidaksetaraan telah menempatkan negara berkembang pada posisi yang
dirugikan oleh negara maju. Hal ini karena negara maju sering mengeksploitasi
sumber daya alam negara berkembang sehingga hal ini menyebabkan kerusakan
lingkungan di negara berkembang tersebut yang diakibatkan oleh peralatan
industry negara naju.
Fokus utama politik hijau secara umum adalah adanya jaminan kelestarian
lingkungan bagi generasi selanjutnya, maka titik utama pada penggunaan
lingkungan adalah adanya pembangunan yang berkelanjutan yang sifatnya jangka
panjang. Pendekatan Politik Hijau menegaskan bahwa kelompok-kelompok
kepentingan yang bermunculan disekitar masalah lingkungan merupakan
kelompok yang sangat mengedepankan kepentingan masyarakat umum. Salah
33 Ibid, hal 342
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
53
satu sifat organisasinya sangat mandiri terhadap garis-batas antara kelompok
mereka dengan kekuasaan dan independensinya terjaga.34
Politik Hijau dengan dua konsep utamanya yaitu keberlanjutan ekologis
(ecological sustainability) serta desentralisasi tata kelola lingkungan, menjadi
jalan alternatif bagi penyelesaian masalah lingkungan yang biasanya bertumpu
pada konsep pembangunan keberlanjutan (sustainable development) dan
pembentukan rezim lingkungan internasional yang terbukti belum dapat
menyelesaikan problem lingkungan dunia.
Sementara itu R.E Goddin juga menempatkan etika pada pusat dari posisi
politik Hijau. Ia menyatakan bahwa Green Theory of Value merupakan pusat
dari teori hijau, dengan mengedepankan sumber nilai sebagai fakta dari sesuatu
yang dibentuk oleh proses alamiah sejarah, dan lebih daripada sekedar peran
manusia. Lain lagi dengan John Barry, dia melihat bahwa Politik Hijau di
dasarkan pada tiga prinsip utama, antara lain:
1. Sebuah teori distribusi (intergerenasional) keadilan.
2. Sebuah komitmen terhadap proses demokratisasi.
3. Usaha untuk mencapai keberlansungan ekologi.35
34Apriawan. “Teori Hijau: Alternatif dalam Perkembangan Teori HubunganInternasional”. Multyversa, jornal volume 1 no 02, 34-59.35John Barry, Green Political Theory and The State ‚Discursive Sustainability; TheState (and citixen) of Green Political Theory, diakses darihttp://www.psa.ac.uk/cps/1994/barr.pdf pada tanggal 7 april 2017.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
54
4. Tiga prinsip utama inilah merupakan konsepsi yang mewakili makna
dari pusat Politik Hijau. Prinsip ini digunakan sebagai sarana untuk
menjelaskan konsepsi dari teori hijau.
Politik Hijau menawarkan konsep desentralisasi sebagai implementasi
kontrol yang lebih baik dalam mengatasi kontrol level global dapat lebih efektif
dilaksanakan dalam skala yang lebih kecil, yakni skala komunitas lokal yang
langsung memiliki interdependensi tehadap alam sekitar dalam kehidupn mereka.
Dengan konsep itu, selama beberapa tahun terakhir ini, keberadaan green politics
bisa membawa perubahan signifikan dalam kebijakan pro lingkungan.
Gerakan lingkungan adalah istiah yang digunakan untuk menggambarkan
bentuk aksi kesadaran manusia yang peduli terhadap kerusakan lingkungan, serta
berbagai aspek dalam kehidupan manusia yang terancam akibat kerusakan
lingkungan. Dua terminologi yang erat kaitannya dengan gerakan lingkungan
adalah konservasi dan “gerakan hijau” (Green movement). Teori Politik Hijau
(Green political theory) adalah khusus diambil dari fakta bahwa manusia
merupakan bagian dari alam yang memiliki implikasi bagi teori politik.
Dengan demikian manusia tidak hanya dilihat sebagai individu yang
rasional (seperti dalam pandangan liberalism) atau sebagai makluk sosial (seperti
pandangan sosislisme) akan tetapi sebagai natural beings, dan lebih jauh sebagai
political animals. Sedangkan perlu untuk membedakan antara green politics dan
environmentalism. Environmentalis menerima kerangka kerja yang ada dalam
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
55
politik, sosial, ekonomi dan struktur normative dalam dunia politik dan mencoba
memperbaiki masalah lingkungan dengan struktur yang ada tersebut.
Sementara Politik Hijau menganggap bahwa struktur tersebut sebagai dasar
utama bagi munculnya krisis lingkungan. Oleh karena itu, mereka berpendapat
bahwa struktur tersebut butuh perubahan dan perhatian yang lebih utama. Dalam
pembahasan lain di buku Theories of International Relations karya Andrew
Linklater dan Scott Burchill (1996),36 dijabarkan bahwa dunia sedang mengalami
masalah yang sangat krusial, terlepas dari isu-isu yang selalu dibahas dalamilmu
Hubungan Internasional, seperti ekonomi, politik, sosial, budaya, keamanan, dan
sebagainya. Masalah ini mengikis eksistensi bumi dalam aspek fisiknya secara
perlahan.
36Mattew Patterson, 2001,“Green Politics”, dalam Burchill, Schoot, and all, Journal“Theories of International Relation” , volume 2