73
17 BAB II KERANGKA TEORI: PENDIDIKAN ISLAM DAN EKOLOGI A. Penelitian Terdahulu Guna mempertegas orsinalitas serta keotentikan penulisan Disertasi ini penulis memaparkan beberapa penelitan terdahulu yang mengkaji tentang ekologi di pesantren sebagai berikut: Kesadaran tentang lingkungan hidup di pesantren secara formal diinisiasi dan diselenggarakan oleh Indonesian Forest and Media Campaign (INFORM) dan Pusat Pengkajian Pemberdayaan dan Pendidikan Masyarakat (P4M) Jakarta, bertemakan Menggagas Fiqh Lingkungan (Fiqh al-Bi'ah) di Lido, Sukabumi, Jawa Barat pada tanggal, 2 Mei 2004 yang dihadiri oleh lebih dari 30 ulama dari pondok pesantren di Jawa, Lombok, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Sebagian ulama dan pimpinan yang di minta kehadirannya dipertimbangkan adalah ulama yang bisa mewakili kompetensi untuk mengkaji dan menggali ayat-ayat Al-Quran, Hadis dan kitab-kitab salaf (kitab kuning) tentang lingkungan (Mangunjaya, 2014). Pertemuan ini merekomendasikan dua hal. Pertama peran ulama sebagai figur yang tepat untuk menyebarkan pemeliharaan lingkungan kepada masyarakat dan berfungsi sebagai agen pelestarian lingkungan dengan integrasi pendidikan lingkungan dalam materi pendidikan di pesantren sehingga dapat memberikan snow-ball effect. Kedua rumusan tentang Fiqh al-Biah yang disajikan dalam sebuah buku laporan bertajuk Fiqih Lingkungan yang diterbitkan pada tahun 2005 (Muhammad et al., 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Romdloni dan Djazilan (2019) menjelaskan tentang dua hal pertama, bahwa nilai-nilai spiritual ekologi menjadi alternatif terbarukan dalam berperilaku terhadap lingkungan, tidak hanya berdasar pada kerja sains dan teknologi, nilai spiritual ekologis ini sangat dibutuhkan jika manusia ingin memperoleh respon dari alam berupa keramahtamahan dan kemurahan lingkungan hidup; kedua, kiai mempunyai peran yang sangat signifikan dalam mengembalikan krisis ekologi saat ini. Dengan modal kekuatan yang dimiliki kiai yaitu tingkat respek atau kepercayaan masyarakat yang tinggi dan ikatan sosial yang kuat, kiai mampu mengkonstruk cara pandang masyarakat terhadap lingkungan hidup dari sudut pandang ideologi.

BAB II KERANGKA TEORI: PENDIDIKAN ISLAM DAN EKOLOGI

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

17

BAB II

KERANGKA TEORI: PENDIDIKAN ISLAM DAN EKOLOGI

A. Penelitian Terdahulu

Guna mempertegas orsinalitas serta keotentikan penulisan Disertasi ini

penulis memaparkan beberapa penelitan terdahulu yang mengkaji tentang ekologi di

pesantren sebagai berikut:

Kesadaran tentang lingkungan hidup di pesantren secara formal diinisiasi dan

diselenggarakan oleh Indonesian Forest and Media Campaign (INFORM) dan Pusat

Pengkajian Pemberdayaan dan Pendidikan Masyarakat (P4M) Jakarta, bertemakan

Menggagas Fiqh Lingkungan (Fiqh al-Bi'ah) di Lido, Sukabumi, Jawa Barat pada

tanggal, 2 Mei 2004 yang dihadiri oleh lebih dari 30 ulama dari pondok pesantren di

Jawa, Lombok, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Sebagian ulama dan pimpinan

yang di minta kehadirannya dipertimbangkan adalah ulama yang bisa mewakili

kompetensi untuk mengkaji dan menggali ayat-ayat Al-Quran, Hadis dan kitab-kitab

salaf (kitab kuning) tentang lingkungan (Mangunjaya, 2014). Pertemuan ini

merekomendasikan dua hal. Pertama peran ulama sebagai figur yang tepat untuk

menyebarkan pemeliharaan lingkungan kepada masyarakat dan berfungsi sebagai

agen pelestarian lingkungan dengan integrasi pendidikan lingkungan dalam materi

pendidikan di pesantren sehingga dapat memberikan snow-ball effect. Kedua

rumusan tentang Fiqh al-Biah yang disajikan dalam sebuah buku laporan bertajuk

Fiqih Lingkungan yang diterbitkan pada tahun 2005 (Muhammad et al., 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Romdloni dan Djazilan (2019) menjelaskan

tentang dua hal pertama, bahwa nilai-nilai spiritual ekologi menjadi alternatif

terbarukan dalam berperilaku terhadap lingkungan, tidak hanya berdasar pada kerja

sains dan teknologi, nilai spiritual ekologis ini sangat dibutuhkan jika manusia ingin

memperoleh respon dari alam berupa keramahtamahan dan kemurahan lingkungan

hidup; kedua, kiai mempunyai peran yang sangat signifikan dalam mengembalikan

krisis ekologi saat ini. Dengan modal kekuatan yang dimiliki kiai yaitu tingkat respek

atau kepercayaan masyarakat yang tinggi dan ikatan sosial yang kuat, kiai mampu

mengkonstruk cara pandang masyarakat terhadap lingkungan hidup dari sudut

pandang ideologi.

18

Penelitian yang dilakukan oleh Mahzumi, Suhermanto, and Iffah (2019), tentang

prajurit hutan ini berhasil mengeksplorasi pemikiran KH. Noer Nasroh Hadiningrat

dalam mengelola kesadaran ekologis di Pondok Pesantren Walisongo Tuban. Konsep

dasar yang digunakan adalah ekoteologi, yaitu paradigma ekologis yang bertumpu

pada semangat agama, ini diyakini mampu mengatasi krisis lingkungan yang terjadi

sekarang.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa konsepsi ekoteologi yang diprakarsai oleh

Kiai Noer adalah refleksi religius yang berasal dari teks utama Islam dikombinasikan

dengan tradisional kebijaksanaan. Pembentukan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri

(SMKN) adalah manifestasi konkret dari upaya untuk mengintegrasikan keyakinan,

tradisi, dan kehutanan sehingga santri dapat memanifestasikan diri dalam tindakan

nyata seperti reboisasi, konservasi, dan perubahan kesadaran publik tentang urgensi

konservasi hutan. Dalam aspek kontinuitas, keberadaan Sekolah Kejuruan Kehutanan

adalah forum untuk mencetak santri yang memiliki kesadaran akan konservasi hutan

serta mampu mencari kehidupan darinya. Gagasan Kiai Noer juga mendapat

dukungan dari pemerintah dan Komunitas Lingkungan Hidup. Konsep ekoteologi

juga mengilhami pesantren lainnya dengan membentuk paradigma ekologis yang

serupa.

Penelitian yang dilakukan oleh Aulia dkk (2018), berrtujuan untuk mengetahui

pengelolaan lingkungan di daerah khatulistiwa dengan Pondok Pesantren

Hidayatullah Balikpapan sebagai studi kasus. Penelitian ini menggunakan teori eko-

pesantren, terutama dalam aspek kebijakan pembangunan pesantren dan kebijakan

pembangunan untuk kegiatan ekstrakurikuler berbasis lingkungan. Penelitian ini

menyimpulkan bahwa kebijakan pengembangan untuk pengelolaan lingkungan yang

dilakukan di Pondok Pesantren Hidayatullah Balikpapan, sebagai pesantren yang

berada di garis khatulistiwa, adalah membuat lingkungan buatan dan reboisasi.

Danau buatan yang berfungsi sebagai sumber mata air pesantren dan masyarakat

sekitar, hutan lindung sebagai benteng terhadap cuaca panas, sebagai tempat

memelihara ternak dan sebagian dijadikan sebagai agroforestri juga untuk pesantren

dan masyarakat sekitar. Bentuk aktualisasinya adanya alokasi anggaran Pondok

Pesantren untuk lingkungan, hukuman menanam pohon jika siswa melakukan

kesalahan, larangan menebang pohon, dan mempelajari manajemen lingkungan

19

dalam kurikulum. Kemudian membuat kebijakan pesantren partisipatif yaitu

menjadikan santri sebagai tim bantuan (satgas) untuk penyelamatan dan untuk

mengatasi bencana lingkungan yang biasa terjadi di daerah khatulistiwa, seperti

penanganan kebakaran lahan gambut.

Penelitian yang dilakukan oleh Elizabeth (2017) menjelaskan tentang program

pemberdayaan santri terhadap kesadaran dan pengetahuan tentang pola hidup bersih

dan sehat, pengelolaan sampah, dan arti penting pengelolaan sampah bagi

lingkungan hidup yang sehat di kalangan santri.

Penelitian yang dilakukan oleh Aulia, Isnaini dan Khumairoh (2017), tentang

Pengelolaan Lingkungan Berbasis Pesantren di Pesantren Nurul Hakim Lombok,

menjelaskan tentang penanaman kesadaran lingkungan integratif. Bentuk

penanamannya melalui materi fiqih Bi’ah yang disampaikan di kelas. Selain itu

melalui praktik langsung dilapangan dalam bentuk penangkaran rusa, pertanian

mandiri, dan pengelolaan sampah.

Penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim, Mulyo, dan Fatimah (2017), tentang

Konsep Ramah Lingkungan dalam perspektif Al-Quran, Hadis, dan Kitab Kuning di

Pesantren. Penelitian ini fokus terhadap konsep, formulasi, dan urgensi ramah

lingkungan dalam perspektif Al-Quran, Hadist, dan kitab kuning pesantren. Hasilnya

terdapat konsep tentang ramah lingkungan dalam Alquran, hadist, dan kitab kuning

pesantren, yaitu kewajiban untuk menjaga lingkungan. Formulasi konsep ramah

lingkungan adalah anjuran menjaga kebersihan, memanfaatkan lahan kosong menjadi

produktif, semangat penghijauan, membuat kawasan konservasi, larangan keras

mencemari lingkungan, dan sanksi berat bagi perusak lingkungan.

Konsep ekologis dalam Al-Quran diantaranya secara tegas memerintahkan

manusia untuk mengelola lingkungannya dengan baik, serta melarang untuk

membuat kerusakan di muka bumi (QS. Al-Qashash [28]:77), Menjaga lingkungan

menjadi tanggung jawab pokok manusia sebagai khalifah/wakil Allah di muka bumi

(QS.Al-Baqarah [2]:30). Konsep Hadis tentang ekologi dapat dijumpai dalam HR.

Muslim tentang kebersihan (kesucian) adalah sebagian dari iman, HR. Ahmad

tentang menghidupkan lahan mati, dan kawasan konservatif (hima), kemudian HR.

Bukhari dan Muslim tentang semangat penghijauan. Sementara itu konsep ekologis

dalam kitab kuning disarikan dalam pembahasan taharah dan haji.

20

Penelitian tentang peran pesantren terhadap kelestarian lingkungan hidup

diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Fatimatuzzahroh dkk (2015) bahwa

pesantren memiliki potensi dalam hal kelembagaan yang meliputi nilai-nilai dan

norma-norma yang mampu mengubah perilaku masyarakat yang kurang peduli

tentang lingkungan. Mempunyai koneksi dengan organisasi dan memiliki kekuatan

dalam hal kharisma yang dimiliki oleh pimpinan pesantren sehingga mampu

membantu menyelesaikan problem yang dihadapi masyarakat sekitar termasuk

tentang lingkungan hidup.

Penelitian yang dilakukan oleh Halid, Setyono dan Prabang (2014), tentang

implementasi nilai-nilai Islam dalam sikap ramah lingkungan di pondok pesantren,

menghasilkan sebuah konsep bahwa gerakan lingkungan yang dilakukan oleh warga

pesantren dilatarbelakangi oleh motivasi keyakinan dan pengetahuan agama dalam

mengemban amanah sebagai mahluk ciptaan Allah sebagai khalifah di muka bumi.

Sedangkan nilai-nilai ekologis lokal pesantren yang sesuai dengan ajaran Islam

adalah metu telu.

Penelitian yang dilakukan oleh Mangunjaya (2014) tentang Ekopesantren:

Bagaimana Merancang Pesantren Ramah Lingkungan?. Secara umum penelitian ini

mengkaji banyak aspek mulai persepktif Islam dan anjuran agama yang kuat tentang

upaya memperbaiki lingkungan dan menjaga bumi sebagai sebuah amanah yang

wajib dirawat. Juga mengkaji tentang kebijakan hingga desain program kegiatan

lingkungan di pesantren, dengan mengambil obyek kajian atas pesantren yang telah

berhasil menerapkan pengelolaan lingkungan dengan baik dan menguji secara

ilmiah kondisi pesantren selama kurun waktu penelitian. Penelitian ini ini juga

berupaya memberikan kerangka kritis dan praktis yang dapat dilakukan oleh

pesantren dalam pengelolaan lingkungan di pesantrennya masing-masing.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa membangun kesadaran lingkungan di

kalangan umat Islam Indonesia, terbukti penting dan seharusnya terus mendapatkan

tindak lanjut. Gerakan lingkungan dengan menggerakkan kalangan inti umat Islam

yaitu ulama pesantren yang menghasilkan dokumen fiqh lingkungan terbukti

mendapatkan sambutan yang kuat di beberapa tempat. Ulama moderat di kalangan

pesantren bisa bekerjasama dengan para aktivis lingkungan untuk mengadakan

pendekatan dalam kontribusi pemeliharaan alam dan gerakan lingkungan. Tidak ada

21

resistensi dikalangan ulama Indonesia apabila membicarakan tentang persoalan

lingkungan, karena mereka melihat sangat parahnya kerusakan lingkungan dan

bencana yang terjadi di Indonesia. Pesantren merupakan mediator yang sangat

penting dalam menjembatani kegiatan lingkungan di tingkat akar rumput antara

komunitas pesantren dan masyarakat sekitarnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Khitam (2011) tentang Manifestasi nilai

teologi dalam gerakan. Penelitian ini berhasil memotret dan mengesplorasi dinamika

gerakan ekologi di pesantren tradisional yang diwakili oleh Pesantren al-Amin

sukabumi dan pesantren modern yang dilakukan oleh Pesantren Daarul Ulum Lido,

Bogor. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan manifestasi gerakan

ekologi di kedua pesantren tersebut dengan dilandasi dua faktor penting. Pertama,

interpretasi, pemaknaan dan kontruksi teologi ekologi Islam pada masing-masing

pesantren terbangun berdasarkan pengetahuan dan refleksi spiritual kiayi. Kedua,

pengetahuan mengenai konservasi yang berkembang juga berdasarkan dari hasil

relasi dan pertukaran pengetahuan antara pesantren dan aktor luar.

Perbedaan pemaknaan atas konservasi yang dipahami oleh aktor luar dapat

membedakan pola manifestasi gerakan ekologi di Pesantren. Pada Pesantren Al-

Amin, interpretasi dan pemaknaan teologi ekologi termanifestasikan dalam bentuk

penanaman pohon. Sementara itu, Pesantren Daarul Ulum Lido termanifestasikan

dalam bentuk zona harim (harim zone). Tipe konservasi seperti yang terjadi di

Pesantren Daarul Ulum Lido ini merupakan hasil dari intimitas relasi dan interaksi

dengan sebuah LSM konservasi internasional.

Penelitian terdahulu tentang Pendidikan Agama Islam yang berkenaan

tentang Ekologi yang dapat peneliti telusuri antara lain; Penelitian yang dilakukan

oleh Muntaha (2019), berhasil menganalisis nilai-nilai ekologis yang tercantum

dalam Kurikulum Pendidikan Agama Islam tahun 2013 bahwa nilai-nilai ekologis

tersebut dijelaskan secara gamblang dalam bentuk materi pembelajaran pada Mata

Pelajaran Fikih, Akidah Akhlak dan Quran Hadis. Sedangkan secara tersirat

tersampaikan dalam seluruh Mata Pelajaran PAI.

Penelitian yang dilakukan oleh Herdiansyah, et al (2019), menjelaskan

perlunya intergrasi pendidikan agama Islam tentang lingkungan hidup dengan

Pesantren. Pendekatan ini dianggap sebagai formula jangka panjang dan

22

berkelanjutan mengingat formula lain yang bersifat instan belum memberikan

pengaruh terhadap laju kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini. Pesantren sebagai

salah satu lembaga pendidikan tradisional yang masih ada sejak ratusan tahun yang

lalu telah banyak melakukan perubahan, tidak lagi hanya mengajarkan tentang Islam

saja, lebih dari itu juga mencetak lulusan kader ekonomi, sektor budaya, dan bahkan

lingkungan. Dalam upaya menghasilkan kader sadar lingkungan hidup, sudah mulai

berkembang pesantren-pesantren hijau.

Beberapa kegiatan yang dapat dilakukan sebagai dasar pembentukan karakter

moral perspektif lingkungan, yaitu: Pendirian Bank Sampah Pesantren, Instalasi Air

Limbah Sederhana, Pesantren Hijau, Eksplorasi Tanah dan Kurikulum Hijau.

Penelitian yang dilakukan oleh Nuha (2017), tentang Integrasi Pendidikan

Agama Islam dan Pendidikan Lingkungan Hidup di Pondok Pesantren membahas

tentang konsep Islam terhadap krisis lingkungan hidup, yaitu menyerukan lebih

lantang dimensi teologis tentang alam serta relasinya dengan Allah sebagai sumber

iman Islam dan melakukan integrasi ilmu agama islam terhadap wacana lingkungan

hidup yang lebih memadai dan lebih luas.

Penelitian Karim (2017), menjelaskan tentang pentingnya penyadaran

menjaga kelestarian lingkungan melalui pendidikan keagamaan (Islam). Agar

penyadaran tersebut dapat berhasil dengan baik perlu didukung dengan adanya

kegiatan-kegiatan keagamaan seperti majlis taklim yang dilaksanakan rutin satu

bulan sekali (selapanan) dan pekanan terutama untuk ibu-ibu. Kemudian peran

tokoh agama, dalam hal ini perlunya tokoh-tokoh agama dalam berda’wah

mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan pelestarian Lingkungan, tentunya juga

diperlukan keteladanan tokoh agama dalam kehidupan sehari-hari.

Jatmiko, 2016 tentang aktualisasi nilai lingkungan dalam kurikulum PAI

tahun 2006 menjelaskan bahwa, perwujudan nilai-nilai ekologis secara gamblang

belum terealisasi, kendatipun ada dua tema lingkungan yang ditelaah. Sedangkan

secara tersirat ada sepuluh tema yang bisa dikembangkan sebagai penghayatan

terhadap nilai-nilai ekologis.

Penelitian tentang Kontruksi Pendidikan Kesehatan Lingkungan dalam

Perspektif Islam (2016), yang dilakukan oleh Efendy, Hafidhuddin, dan Tanjung

menemukan konsep Islam tentang Pendidikan Lingkungan Hidup yaitu Pertama,

23

gagasan Barat tentang pendidikan lingkungan hidup bukan merupakan gagasan baru,

sebab Islam telah menunjukkan urgensi pemanfaatan dan pemelihataan alam dan

lingkungan sejak abad enam masehi yang termuat dalam Al-Quran, Hadis, dan

ucapan para sahabat Nabi sekaligus merupakan pilar utama mengenai pendidikan

lingkungan hidup dalam Islam. Kedua usaha memelihara, memanfaatkan, dan

melindungi alam dan lingkungan hidup merupakan bagian dari ibadah kepada Allah

SWT dan pelakunya diberikan ganjaran dunia dan akhirat.

Penelitian yang dilakukan Hidayat (2015), membahas tentang hubungan

pendidikan Islam dengan lingkungan hidup, fikih lingkungan hidup (fiqhul bi’ah)

dan menggagas pendidikan Islam berwawasan lingkungan hidup. Perubahan

paradigma dalam elemen-elemen kehidupan terlebih dalam pendidikan diyakini

sebagai suatu keharusan dalam rangka mempertimbangkan perkembangan sofistikasi

lingkungan hidup dan sebagai upaya strategis-ideologis untuk meningkatkan

kapasitas pemahaman yang pada giliranya dapat membentuk kesadaran baru yang

berpihak pada keseimbangan ekosistem. Model pendidikan alternatif yang dapat

dikembangkan adalah membangun “madrasah adiwiyata”, madrasah peduli dan

berbudaya lingkungan yang bertujuan meningkatkan kapasitas, pengetahuan, dan

pemahaman tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup dalam

pembangunan berkelanjutan melalui dunia pendidikan.

Musaropah (2014), meneliti tentang Pendidikan Agama Islam Berwawasan

Lingkungan Pada Anak Usia Dini berhasil menemukan konsep perlunya pembiasaan

sejak usia dini (golden age) pada anak tentang kesadaran lingkungan yang

didasarkan pada nilai-nilai Islam dan Pentingnya keteladanan guru dalam

menanamkan nilai-nilai Islam termasuk nilai kesadaran terhadap lingkungan.

Lebih jelasnya penelitian ini mengembangkan konsep Pendidikan Agama

Islam yang diharapkan mampu menyelesaikan problem lingkungan hidup sebagai

bentuk perilaku kesalehan lingkungan dan sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT,

yang diperoleh dari kajian literatur terhadap teks Al-Quran dan Hadis.

Penelitian yang telah dilakukan berkenaan dengan Pendidikan Agama Islam

dan Kesalehan ekologis dimulai dari Penelitian yang dilakukan oleh Fua (2014),

bahwa pendekatan yang dianggap efektif dan dapat mengatasi aktivitas kerusakan

lingkungan adalah pendekatan agama yaitu Islam, dalam hal ini peran Pendidikan

24

Agama Islam diharapkan mampu untuk mengingatkan sekaligus mengatur tata

hubungan antara manusia dengan alam. Melalui aktualisasi pendidikan Islam

berbasis pelestarian lingkungan pesan-pesan ajaran agama Islam yang bersumber

dari Al-Quran dan Hadis Nabi diharapkan dapat memberi pengaruh jangka panjang

kepada manusia sehingga dapat menyadarkan manusia akan pentingnya alam

semesta dan menghasilkan kesalehan ekologis dalam berinteraksi dengan alam dan

lingkungan.

Penelitian yang dilakukan oleh Mardiana (2013), tentang kajian tafsir tematik

pelestarian lingkungan hidup menyimpulkan bahwa lingkungan hidup terungkap

dalam beberapa ayat Al-Quran sebagai perintah bagi manusia agar menjaga dan

memelihara lingkungan dengan baik. Adapun unsur-unsur lingkungan hidup yang

ditunjuk oleh Al-Quran, seperti; Flora, fauna, tanah, air, dan udara adalah bagian dari

upaya yang sebaiknya ditempuh dalam melestarikan lingkungan hidup, antara lain;

(1) memelihara dan melindungi hewan; (2) menanam pohon dan penghijauan; (3)

menghidupkan lahan mati; (4) memanfaatkan udara dan air dengan baik, serta

bagaimana agar keseimbangan alam atau lingkungan dan habitat tetap terjaga dan

terpelihara. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah meminimalisir kerusakan

akibat perbuatan manusia sendiri.

Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh siswanto (2008; 2010)

menjelaskan tentang upaya awal penanaman kesadaran lingkungan melalui

rancangan kurikulum madrasah hijau.

Asmanto (2015), melalui hasil penelitiannya berpendapat bahwa pandangan

teosentris spiritual ekologi Islam menyajikan sebuah imajinasi ekologi yang adil,

hormat, dan tanggung jawab dalam interaksi antara manusia dan alam. Sementara

pendidikan lingkungan turut membantu aktualisasi amanah dan mandat sebagai

khalifah Allah bagi tiap manusia, yang disempurnakan dengan pengetahuan seorang

Muslim terhadap kewajiban syariat agamanya untuk menyelamatkan alam. Dengan

demikian akan lahir proses aksi terhadap alam sebagai bentuk etika manusia terhadap

seluruh ciptaan Allah.

25

Islam dan Lingkungan Hidup

PAI dan Ekologi Ekologi dan Pesantren

Integrasi PAI dan Ekologi (Herdiansyah,2019;

Nuha,2017; Karim, 2017)

Ekologi dalam Fikih Lingkungan

(Yafie, 2006; Wardani, 2015; Hidayat)

Ekologi dalam Al-Quran dan Hadist (Ibrahim dkk, 2017; Mardiana, 2013)

Madrasah Adiwiyata (Hidayat, 2015)

Aktualisasi PAI tentang

Ekologi melalui Majlis

Taklim dan Kurikulum (Muntaha,

2019; Karim, 2017; Jatmiko, 2016; Efendi

dkk, 2016; Fua, 2014)

Kurikulum Madrasah Hijau

(siswanto, 2008;2010)

Ekologi pada Usia Dini (Musaropah, 2014)

Nilai-nilai spiritual ekologi (Romdloni dan Djazilan,

2019; Asmanto,2015)

Eko-teologi dan Kiai (Mahzumi dkk, 2019;

Nuha, 2017)

Eko Pesantren (Mangunjaya, 2014;

Aulia dkk,2018)

Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (Elizabeth 2017)

Basis Partisipatif (Aulia et al,

2017; Halid et al, 2014;

Khitam, 2011 )

Ekologi dan Kitab Kuning (Ibrahim dkk, 2017)

Ekologi dan kiai (Fatimatuzzahroh, 2015;

Khitam, 2011)

Nilai metu telu (Halid et al, 2014),

Da’i Lingkungan (Fua dan Wekke, 2017)

Pembentukan Kesalehan Ekologis di Pesantren

Berdasardakan pada kerangka tersebut, bahwa penelusuran penelitian terdahulu yang berhasil peneliti temukan secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua topik yaitu tentang Pendidikan Agama Islam dan Aktualisasinya dalam pengelolaan lingkungan hidup (ekologi) dan Ekologi di pesantren.

Pendidikan Agama Islam dan aktualisasinya terhadap pengelolaan lingkungan

hidup yang berhasil peneliti telusuri adalah berkenaan aspek filosofis, yaitu nilia-

nilai ekologis perspektif Al-Quran, Hadit, Ilmu Kalam (teologi), tasawuf. Kemudian

nilai-nilai tersebut diaktualisasikan dalalm bentuk praksis seperti Madrasah hijau,

kurikulum hijau.

Gambar 1 Bagan Penelitian Terdahulu

26

Sedangkan Ekologi di pesantren yang peneliti temukan dari penelusuran

penelitian terdahulu berkenaan pada aspek normatif, yaitu nilai-nilai ajaran Islam

tentang lingkungan hidup yang sudah ditulis oleh ulama dalam kitab klasik

diaktulisasikan dalam bentuk konservasi, seperti membuat kawawan lindung diarea

pesantren.

Dengan demikian hasil penelusuran penelitian terdahulu masih

mengeksplorasi tentang bentuk pengelolaan lingkungan di pesantren dan

aktualisasinya, juga menjelaskan tentang nilai-nilai agama islam yang mendasari

perilaku sadar lingkungan bagi aktor pesantren, serta nilai-nilai pendidika Agama

Islam tentang pengelolaan lingkungan hidup. Penelitian terdahulu tersebut masih

belum mengungkap tentang makna kesalehan ekologis, mengapa kesadaran tentang

perilaku saleh ekologis dapat tumbuh. Oleh karena itu benang merah antara

penelitian terdahulu dengan penelitian ini terlatak pada fokus Pembentukan

Kesalehan Ekologis di Pesantern dengan pendekatan Fenomenologi.

B. Kajian Teoritik

1. Pengertian Ekologi

Pada awalnya ekologi dikembangkan pertama kali oleh Ernest Haeckel

dalam kerangka disiplin keilmuan biologi (El-Dusuqy, 2008; Setyono, 2011)

sebagai ilmu murni yang mempertanyakan, menyelidiki dan memahami prinsip

dasar bagaimana alam bekerja, bagaimana keberadaan makhluk hidup dalam

sistem kehidupan (Soemarwoto, 1983). Ilmu ini mulanya kurang menarik

perhatian ilmuan karena dianggap terlalu general dan kurang bermanfaat. Hanya

saja setelah terjadi krisis lingkungan yang berkepanjangan dan dilaksanakan

konferensi international tentang lingkungan hidup di Stockholm tahun 1972,

barulah ekologi menarik perhatian semua pihak mulai ilmuan, politisi dan

terlebih kaum agamawan (Abdillah, 2001; Arifin, 1994; Soemarwoto, 1983).

Ekologi adalah lmu tentang rumah atau tempat tinggal makluk atau ilmu

yang mempelajari tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan

lingkungannya (Dwidjoseputro, 1994; Keraf, 2014; Resosoedarmo, 1990),

Setyono (2011) menyebutnya sebagai korelasi dialektis dari dua unsur yang

menunjang. Keraf (2014) menuturkan bahwa tempat tinggal tidak hanya

27

dimaknai sebagai papan saja melainkan sebagai keseluruhan alam semesta dan

seluruh interaksi saling pengaruh yang terjalin didalamnya, diantara makhluk

hidup dengan makhluk hidup lainnya dan dengan seluruh ekosistem atau habitat.

Qaradhawi (2001) memaknai sebagai lingkup hidup tempat manusia

hidup, tinggal di dalamnya, baik ketika bepergian ataupun mengasingkan diri

sebagai tempat kembali, baik dalam keadaan rela ataupun terpaksa. Lingkungan

tersebut terbagi atas lingkungan dinamis dan statis. Lingkungan statis meliputi

alam yang diciptakan Allah dan industri (hasil kreasi teknologi) yang diciptakan

manusia. Sedangkan lingkungan yang dinamis meliputi wilayah manusia, hewan

dan tumbuhan.

Dari beberapa interpretasi diatas terdapat tiga kata kunci untuk

merumuskan ekologi, yakni hubungan timbal balik, hubungan antara sesama

organisme dan hubungan organisme dengan lingkungnnya. Jadi ekologi dapat

dimaknai sebagai pengakuan adanya hubungan timbal balik antara makhluk

hidup dan lingkungannya.

2. Perkembangan Pradigma Ekologi

Kekerabatan manusia dengan alam menurut Abdillah (2001) telah

mengalami evolusi sebanyak empat tahap yaitu;

Tahap Pertama, Tahap dimana jalinan manusia dengan alam masih bersifat

alami karena manusia merasa bahwa alam merupakan pusat segala-galanya,

manusia merupakan bagian dari lingkungan. Pandangan ini diistilahkan sebagai

pandangan ekosentrisme artinya seluruh komponen lingkungan termasuk

manusia harus sepakat menjadikan alam sebagai muara segala aktivitasnya.

Sebab manusia hakikatnya adalah milik lingkungan dan bagian integral alam

yang harus tunduk pada sunnah lingkungan. Pandangan ekosentrisme

mempunyai dua implikasi, satu sisi berimplikasi pada pembentukan kehidupan

yang selaras, serasi dan seimbang dengan alam dan di sisi lain berimplikasi

membentuk sikap irrasional yang sulit diajak maju.

Tahap kedua, Tahap ini disebut sebagai tahapan transisional artinya manusia

sudah merasa bukan lagi bagian integral dari alam secara utuh sebagaimana

unsur alam yang lain seperti hewan, karena manusia memiliki kelebihan

dibandingkan dengan hewan. Tahapan ini muncul secara alami sebagai akibat

28

bawaan dari evolusi yang mengalir secara linear dan perlahan. Pada tahap ini

manusia membutuhkan perangkat bantu. Disebabkan oleh meningkatnya

pengetahuan manusia yang sejalan dengan peningkatan kebutuhan hidupnya.

Pandangan teologi transisionalisme dapat berimplikasi pada terbentuknya sikap

tanggung, masyarakat yang berkepribadian terbelah karena masih didominasi

oleh sikap tradisonalnya.

Tahap ketiga. Pandangan ini lazim disebut exclusivisme atau

antroposentrisme yaitu manusia merasa dirinya sebagai makhluk istimewa, super

being dan sebagai penguasa absolut alam. tahapan ini ditandai oleh

meningkatnya rasa percara diri manusia dan merasa dirinya berkuasa penuh

terhadap alam. dan semakin berkembang pesat dan melahirkan masyarakat

industri yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Puncaknya manusia

merasa dirinya adalah pusat segala-galanya dan menjadikan alam untuk dikuasai

dan dikelola penuh untuk kepentingan manusia. Pandangan ini menimbulkan

sikap rakus dan mengekploitasi alam tanpa batas sehingga terjadilah kerusakan

alam dan lingkungan. , pada tahap ini manusia bukan lagi sebagai bagian dari

alam melainkan bagian di luar lingkungan.

Tahap keempat, pada tahap ini manusia merasa bahwa manusia adalah bagian

integral dari alam dan menyadari dirinya memiliki kelebihan berupa akal dan

kebebasan dibandingkan dengan komponen lingkungan yang lain. Oleh karena

itu manusia dalam mengelola lingkungan harus memperhatikan kepentingan

lingkungan secara simultan tidak parsial untuk manusia saja.

Pandangan ini diindentifikasikan sebagai ideologi holistik artinya manusia

memiliki akal dan kebebasan sebagai potensi dan kebebasan yang bertanggung

jawab dalam mengelola alam yang dilandasi pada nilai-nilai budaya dan agama.

Ideologi ini menawarkan satu sistem kehidupan berkesinambungan yang

menjadi prasyarat bagi terwujudnya kehidupan berkelanjutan. Manusia harus

mengerti posisinya dalam lingkungan dan harus menempatkan dirinya secara

proposional. Sehingga dapat menjanjikan merebaknya kearifan lingkungan dan

layak dikembangkan guna menggeser ideologi ekosentrisme maupun

antroposentrisme.

29

Mencermati lebih mendalam evolusi kekerabatan manusia dengan alam dari

tahap pertama sampai tahap ketiga dapat berimplikasi pada pemahaman linear

bahwa semakin maju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang digunakan manusia

untuk menguasai lingkungan alam akan semakin parahlah tingkat pencemaran

dan kerusakan alam. Pemecahannya adalah tahap keempat yaitu Ilmu

pengetahuan dan teknologi yang berwawasan lingkungan dengan landasan nilai-

nilai budaya dan agama.

Heriyanto (2007) menjelaskan terdapat empat mazhab ekologi, atau

paradigma ekologi (Suwito, 2017) yang memiliki sistem pemikiran, sistem nilai

dan sistem tindakan dalam upaya mengatasi krisis ekologis dan

memperjuangkan pemeliharaan lingkungan yang sehat dan berkelanjutan.

Mazhab-mazhab tersebut adalah (1) Ekologi Dangkal (the Shallow Ecology), (2)

Ekologi Dalam (the Deep Ecology), (3) Ekologi Sosial dan (4) Ekologi Islam

(Spiritual Ecology).

Mazhab ekologi tersebut merupakan pandangan dan pemikiran para

sarjana dan aktivis lingkungan seperti Seyyed Hussein Nasr, Arne Naes, Gary

Gardner, Thomas Berry dan Mary Evelyn Tucker berdasarkan tinjauan delapan

variabel potensi dan aset yang sangat diperlukan dalam menyelamatkan bumi,

yaitu aspek-aspek kosmologis, otoritas moral, tranformasi sosial, komitmen

ilmiah, pranata hukum, kepemimpinan dan organisasi, jaringan komunitas dan

dukungan finansial (Mangunjaya et al., 2007), variabel inilah yang dijadikan

pisau bedah dan penggunaannya disesuaikan dengan tema pembahasan yang

relevan (Suwito, 2017).

(a) Ekologi Dangkal (the Shallow Ecology)

Rene Descartes sebagaimana dikutip Keraf mendalilkan dominasi

manusia atas yang lainnya dengan mengatakan bahwa manusia berkedudukan

lebih terhormat dibandingkan makhluk lain. Manusia memiliki jiwa yang

memungkinkan untuk berpikir, dan berkomunikasi menggunakan bahasa.

Sebaliknya binatang hanya memiliki tubuh yang bergerak secara otomatis.

Binatang tidak memiliki jiwa yang bersumber pengetahuan dan keyakinan

(Keraf, 2014).

30

Tesis inilah sesungguhnya yang menunjukkan bahwa faham

antroposentrisme bersifat sangat instrumetalis, sebab pola hubungan antara

manusia dan alam dilihat hanya dalam relasi instrumentalnya saja (Keraf,

2010; Susilo, 2014), alam hanya dinilai sebatas alat bagi kepentingan

manusia. Kekayaan di alam semesta ini tidak lebih dipandang sebagai sebagai

alat untuk menggapai kesejateraan manusia. Alam tidak memiliki nilai

intrinsik dan hanya berharga dalam konteks kegunaannya terhadap

kesejahteraan manusia (Putri, 2015). Mazhab ini menganut Faham

Antroposentrisme sebagai aliran filsafat dan pandangan dunia (Mangunjaya et

al., 2007).

Mental antroposentris mewujud dalam bentuk manusia berkarakter

pembuka dan pendobrak lahan baru atau disebut Frontier yang mempunyai

tiga persepsi (Susilo, 2014); Pertama memandang alam dan bumi sebagai

pemberi sumber kehidupan yang tidak terbatas, dengan keyakinan “akan

selalu ada sesuatu lagi”. Kedua memandang manusia sebagai makhluk hidup

diluar alam, bukan bagian dari alam. Manusia eksklusif dan memiliki

dunianya sendiri, ia tidak bersama dengan alam. Ketiga memandang alam

sebagai sesuatu yang perlu dikuasai. Alam yang menguntungkan manusia saja

yang perlu dilindungi dan dimanfaatkan, sementara alam yang tidak

menguntungkan bagi manusia ditelantarkan saja.

Dampak dari faham ini manusia telah mereduksi makna alam. Alam

dipahami sebagai sesuatu yang tidak memiliki nilai intrinsik dan spiritual

kecuali semata-mata nilai yang dilekatkan oleh manusia terhadapnya. Alam

hanya dipandang sebagai obyek pemuas nafsu yang tidak berkesadaran,

pelayan nafsu syahwat eksploitatif manusia. Sehingga alam telah menjadi

layaknya pelacur yang dimanfaatkan tanpa rasa kewajiban dan tanggung

jawab terhadapnya (Amirullah, 2015; Nasr, 2003). Karena hanya beorientasi

pada kepentingan manusia akibatnya kerusakan lingkungan sebagai isu publik

kerap kali mengemuka dan disadari setelah bencana terjadi. Sementara itu

jika lingkungan belum memberikan dampak kerugian atau bencana persoalan

lingkungan belum dianggap sebagai sesuatu yang harus diwaspadai (Susilo,

2014).

31

Kelemahan bawaan yang dimiliki oleh faham antroposentrisme

menurut Keraf (2010) yaitu; Pertama, mengabaikan masalah-masalah

lingkungan yang tidak langsung menyentuh manusia. Kedua, kepentingan

manusia untuk mengekploitasi selalu berubah-ubah dan berbeda-beda

kadarnya. Ketiga, yang dipikirkan hanya kepentingan jangka pendek yang

berorientasi pada kepentingan ekonomi (Susilo, 2014).

Antroposentrisme hampir tidak bisa dibedakan dengan watak manusia

hal ini sangat mencemaskan, watak dari antroposentrisme yaitu; Pertama,

pandangan bahwa alam yang terbentang luas dan tidak akan pernah habis;

Kedua, keyakinan bahwa teknologi bisa menyelesaikan segala-galanya;

Ketiga, etika ingin terus maju; Keempat, kemodernan yang diukur dengan

tindakan-tindakan konsumsi; dan Kelima, sikap dan keyakinan dengan

menekankan dorongan personal tanpa memikirkan kepentingan dan kerugian

di fihak lain (Susilo, 2014).

(b) Ekologi Dalam (the Deep Ecology)

Deep Ecology menurut Naess adalah pendekatan terhadap lingkungan

yang melihat pentingnya memahami lingkungan sebagai keseluruhan

kehidupan yang saling menopang, sehingga semua unsur mempunyai arti dan

makna yang sama. Penekananannya pada kehidupan sebagai pusat utamanya.

Ekologi ini memiliki prinsip bahwa semua bentuk kehidupan memiliki nilai

bawaan, nilai-nilai tersebut didasarkan pada pengalaman spritual bahwa alam

dan diri itu satu (Capra, 2001). Oleh karena itu memiliki hak untuk menuntut

penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup, hak untuk berkembang.

Premisnya adalah bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies manusia

dengan memasukkan komunitas yang lebih luas yaitu menyertakan binatang

dan tumbuhan serta alam. Pandangan ini menekankan bahwa pemeliharaan

alam bukan hanya demi manusia tetapi juga demi alam itu sendiri (Capra,

1996; Naess, 1973). Mazhab ini menganut Paham Biosentrisme sebagai aliran

filsafat dan pandangan dunia.

Biosentrisme memiliki pandangan bahwa binatang berhak

mendapatkan pertimbangan moral dalam hidupnya seperti halnya manusia

dan komunitasnya (Susilo, 2014). Artinya semua hewan perlu

32

dipertimbangkan secara moral sekalipun tidak perlu mendudukkan semua

jenis hewan pada jenjang yang sama. Biosentrisme mendasarkan perhatian

dan perlindungnnya pada seluruh spesies, baik mamalia, melata, biota laut,

dan unggas.

Biosentrisme sebagaimana dijelaskan oleh Susilo (2014) memiliki

pokok-pokok pandangan yaitu; Pertama, alam memiliki nilai pada dirinya

sendiri (intrinsik) lepas dari kepentingan manusia. Artinya setiap setiap

kehidupan dan makluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya

sendiri tanpa harus dihubungkan dengan persoalan bagaimana harus

hubungan makhluk hidup dengan kebutuhan manusia. Kedua, alam

diperlakukan sebagai moral terlepas bagi manusia ia bermanfaat atau tidak,

sebab alam adalah komunitas moral.

Susilo (2014) lebih lanjut menjelaskan bahwa paham ini juga

mengajarkan tranformasi dari etika bahwa nilai-nilai kebaikan, tata krama dan

orientasi hidup hanya untuk manusia, menjadi etika manusia yang

dihubungkan dengan keadaan alam semesta. Biosentrisme juga berpegang

pada pilar-pilar berikut:

(1) Teori lingkungan yang berpusat pada kehidupan

Teori ini menyatakan bahwa penghargaan yang dilakukan

manusia tidak pada dirinya sendiri saja, tetapi pada semua bentuk

kehidupan, teori ini memiliki beberapa pilar, yaitu; (a) manusia adalah

anggota dari suatu komunitas, sama seperti makhluk hidup lainnya.

Derajatnya sama dengan makhluk lain; (b) spesies manusia bersama

spesies lain membangun sistem yang saling bergantung sedemikian rupa

sehingga keberlangsungan dan keberadaan manusia tidak ditentukan oleh

lingkungan fisik saja tetapi juga ditentukan lingkungan biologis; (c)

semua organisme merupakan pusat kehidupan yang memiliki tujuan dan

dunia tersendiri.

(2) Etika Bumi

Bumi tidak dilihat sebagai hak milik, bumi adalah subjek moral.

Bumi harus dihargai bernilai pada dirinya sendiri.

33

(3) Anti Spesiesisme

Rasisme menganggap dan menjustifikasi ras tertentu sebagai ras

yang lebih unggul diabnding ras lain. Sementara spesiesisme yang

ditolak oleh bioesentrisme adalah mengganggap bahwa spesies manusia

lebih unggul dibanding spesies lain (binatang dan tumbuhan).

Dari gagasan diatas karenanya ada kewajiban utama manusia

sebagai subjek moral terhadap alam. Manusia bisa menghormati moral

alam dengan cara: pertama kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu

yang merugikan alam dengan segala isinya. Kedua kewajiban untuk tidak

menghambat kebebasan organisme lain untuk berkembang sesuai dengan

hakikatnya. Ketiga kesediaan untuk tidak menjebak, memperdaya, atau

menjerat binatang.

(c) Ekologi Sosial

Ekologi sosial berpandangan bahwa manusia adalah makhluk sosial

yang sangat beragam statusnya sebagi orang miskin, kaya, pria, wanita, hitam

putih dan tertindas atau penidnas (Bookchin, 2018) hal ini berbeda dengan

pandangn ekologi dalam yang memandang manusia sebagai spesies belaka

sebagaimana mamalia dan makhluk lain. Bookchin (2011) lebih lanjut

menyatakan, bahwa eksploitasi manusia terhadap alam bukanlah produk dari

kerangka pikir antropsentris, melainkan manifestasi dari dorongan-dorongan

yang bertanggungjawab terhadap praktek penindasan manusia oleh manusia

(Gorz, 2011; Wicaksono, 2018).

Penindasan manusia secara luas difahami sebagai pengekangan

kebebasan individu dan perkembangan diri, sebagai sebuah problem

struktural dalam sistem sosial yang didasarkan atas relasi kuasa dan dominasi.

Oleh karena itu ekologi sosial berpandangan bahwa kunci membangun relasi

yang lestari dengan alam adalah perwujudan desentralisasi lingkungan politik

dengan kehadiran komunitas-komunitas semi-otonom yang mengkonstruksi

cara-cara hidup yang merefleksikan keragaman nilai-nilai keontetikan

manusia dan keragaman konteks bioregional.

Bookchin lebih lanjut menyediakan basis pemikiran yang mantap

bahwa permasalah ekologi saat ini bukan permasalahan konsumerisme,

34

ledakan populasi, teknologi, perdaban tetapi pemerintah yang tersentralisir

serta ekonomi kapitalisme. Daur ulang dan menghemat air saja tidak cukup,

selama proses produksi dimonopoli oleh segelintir pemodal yang terpaksa

menggunakan proses produksi menggunakan kantong plastik dan sumber-

sumber mata air. Mazhab ini menganut naturalisme dialektis sebagai aliran

filsafat dan pandangan dunia, diantaranya ekofeminisme.

Ekofeminisme Istilah ekofeminisme atau ecological feminism dikenal

pertama kali pada tahun 1974 dalam buku tulisan Francoisme d’eaubonne

yang berjudul le feminisme ou la mort (Susilo, 2014), dalam karya ini

diungkapkan pandangan tentang hubungan langsung antara ekploitasi alam

dengan penindasan pada perempuan. Faham ini menegaskan bahwa akar

kerusakan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari berkembangnya faham

antroposentrisme, sebagai kepanjangan tangan dari sistem kapitalis yang

dihasilkan oleh budaya patriarki.

Dominasi patriarkis laki-laki terhadap perempuan merupakan

prototipe semua dominasi dan eksploitasi bentuk-bentuk yang beraneka

ragam yang bersifat hirarkis, militeristik, kapitalis dan industrialis. Hal ini

menunjukkan bahwa ekploitasi terhadap alam secara khusus berjalan

bersamaan dengan ekploitasi terhadap perempuan (Capra, 2001) argumen ini

didasarkan pada adanya kesamaan karakter antara perempuan dan lingkungan

tempat manusia berpijak (bumi) yaitu karakter feminim (Nurani, 2017).

Ekofeminisme adalah pengembangan terkini dalam pemikiran

femininisme yang menyatakan bahwa krisis lingkungan global akhir-akhir ini

diprediksi merupakan hasil dari kebudayaan patriarkhal (Susilo, 2014), atau

hipermaskulinitas (Nurani, 2017). Susilo lebih lanjut menjelaskan bahwa

ekofeminisme bukan sebuah gerakan atau filsafat feminisme umum, akan

tetapi feminisme yang membatasi diri dan berfokus pada isu-isu lingkungan,

baik dengan dengan memanfaatkan gerakan akar rumput, wacana, maupun

penguatan ide-ide filosofis. Bahkan ekofeminisme juga sudah mempunyai

rumusan yang jelas tentang risalah etika lingkungan. Ada titik persamaan

antara ekosentrisme, biosentrisme dan Ekofeminisme yakni sama-sama

memberikan penghormatan atas bentuk-bentuk kehidupan non-manusia.

35

Artinya tidak hanya kehidupan manusia saja yang perlu dihormati, tetapi juga

menghormati kehidupan binatang, tumbuh-yumbuhan dan habitat-habitat

disekitar. Ekofeminisme sebagai filsafat ditopang oleh tiga fondasi yaitu

(Suliantoro, 2011).

(1) Ontologi, secara ontologi paradigma ini menjadikan eksistensi manusia dan

seluruh isi alam semesta merupakan “ada yang berelasi”. Maknanya seluruh

unsur yang ada di alam semesta ini saling berhubungan dan mempengaruhi.

Sebagai bagian dari ekosistem, bumi memiliki keterkaitan, keterhubungan,

dan saling memberi pengaruh. Mengikat diri dalam suatu bentuk jaring-jaring

kehidupan dimana pertumbuhan dan perkembangannya tidak adan optimal

jika tidak saling mendukung (Astuti, 2012). Karena itulah penyatuan diri

manusia dengan alam menjadi sebuah keharusan. Prinsip dengan

mengedepankan relasi adalah hal yang paling menonjol dari esensi wanita

(Suliantoro, 2011).

Relasi yang dikembangkan ekofeminisme adalah jaring-jaring

kehidupan yang meniadakan unsur penindasan. Manusia sebagai puncak

dalam rantai makanan seyogyanya menjadikan kedudukannya dalam struktur

kosmis sebuah keluarga yang saling membutuhkan dan tidak saling

menguasai (Shiva, 1997). Lebih lanjut shiva menggambarkan relasi manusai

dengan alam laksana ikatan emosional yang mendalam anatara ibu dan anak.

Karena pada prinsipnya manusia bukanlah pemilik bumi, sebaliknya manusia

milik bumi, kehadiran manusia di dunia sebagai tamu dan bukan sebagai

seorang pemilik dan bukan sebagai kolonialis (Shiva, 1997).

Ekofeminisme menolak cara berpikir dan bertindak dualistis-

dikotomis yang memandang realitas menjadi dua bagian yang sangat berbeda

sehingga keduanya terpisah sama sekali dan tidak ada hubungan. Bahaya dari

pola pikir dualistisdikotomis melahirkan kebijakan dominasi. Manusia merasa

memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada alam sehingga bersikap

eksploitatif. Kepentingan manusia selalu diutamakan sementara hutan

dengan seluruh organisme yang terdapat didalamnya hanya dilihat sebagai

objek dan sarana untuk memenuhi kepentingan manusia. Pola pikir dualisme

semakin memperkokoh cara pandang dunia yang menganggap bahwa alam

36

merupakan objek yang tak berdaya dan pasif maka dapat ditundukkan dan

dijarah untuk kepentingan manusia (Shiva, 1997). Dalam relasi sosial

kemasyarakatan, laki laki merasa memiliki kedudukan yang lebih tinggi

daripada perempuan sehingga menghasilkan budaya patriarkhi yang menindas

hak-hak perempuan.

Berbagai bentuk penindasan seperti subsordinasi, beban ganda,

kekerasan berlangsung secara sistematis-struktural menimpa perempuan.

Ontologi dualistik-dominatif menghasilkan relasi penindasan terhadap alam

dan perempuan. Rekonstruksi landasan ontologi pemikiran ekofeminisme

terhadap alam dan manusia dilakukan dengan cara mengubah paradigma

berpikir ontologi dualistik-dominasi dalam pemikiran patriarkhi harus diubah

menjadi ontologi nondualistis-nonhirakhispartisipatif. Perspektif ekofeminis

memandang dua hal yang berbeda tidak harus saling dipertentangkan

melainkan dapat dijalin kerjasama yang harmonis.

Ekofeminisme menolak model berpikir materialisme. Materialisme

merupakan aliran filsafat yang memandang realitas hanyalah kumpulan

materi semata. Ekofeminisme memperjuangkan kesucian badan dan alam

(the sacredness of our body and world) supaya tidak diperlakukan secara

sewenangwenang (Astuti, 2012). Gerakan ekofeminisme ingin

mendefinisikan ulang nilai “kesucian dan kesakralan” bumi dan manusia yang

selama ini dipersepsikan telalu profan (Suliantoro, 2011). Ekofeminisme

spiritual mengembangkan model spiritualitas yang berdasarkan alam yang

selama ini telah dihancurkan oleh dunia modern (Nurani, 2017).

(2) Landasan Epistemologi, Pengetahuan adalah kekuatan yang dapat membentuk

karakter dan karakteristik budaya. Melalui pengetahuan, manusia dapat

membudayakan diri mereka sendiri, orang lain dan lingkungan mereka.

Pengetahuan adalah salah satu dasar kebudayaan manusia, untuk itu

pengembangan pengetahuan harus berada di jalur tanggung jawab budaya

(Suliantoro, 2011).

Memahami dengan maksud menguasai adalah bentuk kegiatan yang

tidak manusiawi, karena memicu lahirnya logika penindasan dan eksplotasi.

Kegiatan untuk memahami yang kreatif dan manusiawi adalah takjub. Takjub

37

yang disertai rasa kagum adalah Ibu dari segala Ilmu Pengetahuan (Shiva, 1997).

Nilai-nilai feminimitas dapat menjadi visi dasar pengembangan epistemologi.

Nilai-nilai yang diasosiasi sebagai karakter yang melekat pada perempuan

seperti memelihara, menjaga, merawat, berbagi, kerjasama, relasional,

solidaritas merupakan sesuatu yang mengagumkan apabila dapat dijadikan dasar

pengembangan epistemologi.

Penempatan prinsip-prinsip feminimitas dalam pengembangan

pengetahuan menurut Shiva (1997) dapat menciptakan watak ilmu yang lebih

ramah lingkungan, berkeadilan gender, tidak ekploitatif dan tidak reduksionis.

Proses integrasi nilai-nilai feminimitas dapat dilakukan dengan cara

menyertakan perspektif feminis dalam memecahkan permasalahan ekologis.

Perspektif feminis harus menjadi bagian dari upaya mencari solusi terhadap

permasalahan ekologi (Nurani, 2017). Perspektif feminis hendaknya mewarnai

dan menyatu dalam setiap langkah kegiatan mencari pengetahuan. Langkah

kegiatan mencari pengetahuan pada hakikatnya memiliki sifat dasar reflektif,

kritis, komprehensif, integral, radikal dan sistematis (Suliantoro, 2011).

(3) Landasan Axiologi, Budaya patriarki mengutamakan kekuasaan dan merusak,

sedangkan budaya matriarki mengutamakan kelembutan dan relasi emosional

akan menjadikan alam lebih terawat dan terjaga kelestariannya (Suliantoro,

2011). Namun mereka menolak apabila predikat tersebut dilabelkan secara

ekslusif pada kodrat perempuan. Pelabelan dapat membuat laki-laki

membebaskan dirinya dari tanggung jawab dalam hal pelestarian lingkungan

(Nurani, 2017). Setiap manusia tanpa memandang jenis kelamin memiliki

tanggung jawab moral dan kesadaran yang tinggi untuk senantiasa terlibat dalam

pelestarian lingkungan. Selaiaknya pemikiran dan sikap manusia dikembangkan

ke arah panggilan berhati Ibu (Suliantoro, 2011). Menurut shiva (1997)

panggilan tersebut ditandai dengan pengembangan nilai-nilai keibuan

diantaranya: mendukung terhadap kehidupan; pengorbanan, yakni bersedia

berkorban untuk tercapainya kebaikan dan kesejahteraan bersama; kecantikan,

yakni membentuk lingkungan menjadi lebih indah dan nyaman; kedamaian,

yakni menghadirkan perasaan aman bagi lingkungan sekitar; dan welas asih

38

yakni mengorbankan kehidupannya bagi perkembangan kepribadian sesama

maupun lingkungannya.

Pemikiran ekofeminisme memiliki kelebihan dan kekurangan

(Suliantoro, 2011), kelebihannya adalah dapat membantu menyadarkan manusia

bahwa akar penindasan terhadap alam dan perempuan bersumber pada budaya

patriarki. Struktur patriarki menghancurkan lingkungan karena tidak

memberikan peran secara manusiawi terhadap perempuan dan tidak memikirkan

kelestarian lingkungan. Selain itu kajian ekofeminisme lebih kontekstual dan

membumi sehingga hasilnya dapat dengan mudah difahami.

Kelemahan ekofeminisme adalah terlalu memberikan nilai tinggi pada

kualitas perempuan dan bersifat apriori negatif terhadap kualitas maskulin, hal

ini dapat menimbulkan hirarki baru. Selain itu ekofeminisme juga melakukan

generalisasi dan universalitasasi terhadap nilai-nilai feminimitas secara seragam

melekat pada semua perempuan padahal pada kenyataannya pertumbuhan nilai

lebih banyak dipengaruhi oleh pendidikan dan pengalaman hidupnya

(Suliantoro, 2011)

(d) Ekologi Islam

Islam sebagai agama dalam mengatur hubungan manusia dengan

lingkungan dapat dirumuskan dengan istilah ekologi Islam (Mangunjaya et al.,

2007; Permana, 2016). Ekologi Islam mengacu pada pandangan realisme Islam,

yaitu bahwa Islam merupakan sebuah pandangan yang realis, dalam pengertian

bahwa kebenaran adalah sesuatu yang riel (nyata) dan yang nyata adalah tolok

ukur kebenaran; bahwa segala yang ada mengambil peran dan memiliki posisi

dalam lautan realitas yang tunggal. Pandangan realis ini kemudian diidentifikasi

sebagai Realisme Islam.

Ekologi Islam mendasari pandangannya pada prinsip-prinsip Realisme

Islam sebagai berikut;

(1) Mengakui semua jenis keberadaan pada keragaman tingkat eksistensi yang

mencakup alam fisik, alam mineral, alam biologis, alam psikologis, alam

imajinatif, alam intelektual, dan alam spritual. Mengafirmasi keberadaan

manusia, mengakui kebermaknaan instrinsik semua maujud di alam raya;

39

(2) Memandang alam raya dengan penuh simpati, cinta dan tanggung jawab

karena alam adalah sumber belajar kearifan, syarat makna simbolik, dan kaya

pesan spiritual, alam juga merupakan primodial bagi kemunculan mansuia;

(3) Manusia adalah makhluk pilihan Tuhan yang komplek, potensial,

multidimensi (makhluk fisik sekaligus ruhani; makhluk kultur sekaligus

struktur; makhluk moral sekaligus makhluk pencari legalitas); dan dinamis

(manusia tidak seragam). Manusia juga makluk sosial, sehingga

bermasyarakat bagi manusia adalah suatu fitrah dan bersemayam pada jati

diri manusia. Oleh karenanya bermasyarakat merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari cara berada manusia;

(4) Dalam hal pengetahuan, realisme Islam berpijak pada cara pandang realis-

eksistensial yang sangat kaya dan dinamis dengan makna-makna keilmuan

serta mengakui pengalaman empiris, imajinasi, akal, intuisi, sebagai sumber

dan sarana pengetahuan. Ekologi Islam juga sangat apresiatif terhadap

program riset ilmiah, pengembangan sains dan teknologi serta aktivitas-

aktivitas keilmuan lainnya yang sangat berguna dalam membantu mengatasi

krisis lingkungan.

(5) Ekologi Islam juga bisa mengintegrasikan dimensi sosial ekonomi dan politik

tanpa harus meremehkan atau menghilangkan salah satu sebagaimana yang

terjadi pada ekologi sosial dan Ekologi Dalam.

Ekologi islam memiliki beberapa karakteristik yaitu pertama, kemampuan

menawarkan dan mengakomodasi dimensi-dimensi lingkungan secara terpadu

tanpa saling meniadakan seperti yang terjadi pada mazhab-mazhab ekologi

lainnya. Karakter ini muncul karena ekologi Islam mengacu pada Proposisi

realisme yaitu mengafirmasi segala yang nyata. Maksudnya mengapresiasi semua

hal yang memiliki dampak dan pengaruh terhadap peristiwa alam dan sosial, baik

secara kultural maupun struktural, langsung atau tdak langsung, individu atau

sosial, profan atau sakral, teknikal maupun spiritual. Atau karakter ini dapat

disebut sebagai asas integrasi; kedua, asas proporsionalitas bahwa segala

sesuatu diletakkan pada tempatnya sesuai tingkat eksistensinya (Mangunjaya et

al., 2007), maksudnya meskipun manusia merupakan bagian integral dari alam

tetapi manusia bukan milik alam, dan bukan pula berasal dari alam (Abdillah,

40

2001) dan pada hakikatnya manusai dan alam adalah sama-sama karya cipta ilahi,

sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan

tersebut mejadi pemersatu bagi asas ketergantungan dan katerhubungan yang

niscaya dalam ekosistem.

Konsep pemeliharaan lingkungan juga dapat digali dari Kurikulum

Pendidikan Agama Islam yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama tahun 2013.

Ruang lingkup Keputusan Menteri Agama (KMA) RI nomor 912 tahun 2013

tentang Kurikulum Madrasah 2013 Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan

Bahasa Arab memuat lima elemen utama, yaitu Al-Quran Hadist, Akidah Akhlak,

Fikih, Sejarah Kebudayaan Islam dan Bahasa Arab. Secara rasional

pengembangan, kurikulum PAI perlu dikembangkan sesuai dengan

perkembangan dan tuntutan zaman agar Islam dapat difahami secara syaamil dan

kesempurnaannya dapat dipelajari secara kaffah.

Perubahan dan penyempurnaan tersebut menjadi penting seiring dengan

kontiunitas segala kemungkinan yang terjadi berkaitan dengan perkembangan

masyarakat, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni budaya termasuk isu

lingkungan pada tataran lokal, nasional, regional dan global di masa depan.

Secara penyempunaan pola pikir, perlu dikembangkan pola pikir dari pola

pembelajaran satu arah yaitu intekasi guru-peserta didik menjadi pembelajaran

interaktif yaitu interaktif guru-peserta didik-masyarakat-lingkungan alam-

sumber dan lainnya (Menteri Agama RI, 2013).

Secara substansi dapat dilihat bahwa materi pokok PAI memiliki

hubungan yang tidak dapat dipisahkan dengan ekologi. Materi tersebut dapat

dijabarkan berdasarkan materi PAI yaitu; (1) Al-Quran Hadis merupakan sumber

utama ajaran Islam, termasuk membahas tentang ekologi. Banyak ditemukan

ayat-ayat Al-Quran yang membahas secara langsung tentang ekologi dan

pelestariannya (2) Akidah Akhlak terdiri dari Akidah dan Akhlak. Akidah

merupakan akar atau pokok agama. Syariah/Fiqh dan Akhlak bertitiktolak dari

akidah, yakni sebagai manifestasi dan konsekuensi dari keimanan dan keyakinan

hidup. Sedangkan Akhlak merupakan aspek sikap hidup atau kepribadian hidup

manusia, yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan dengan

41

sesama manusia, dan dengan makhluk lainnya termasuk dengan lingkungan

(ekologi).

(3) Fikih merupakan manifestasi dan konsekwensi dari akidah. Fikih dalam

hal ini dikelompokkan menjadi dua yaitu, fikih ibadah dan fikih mu’amalah. Fikih

ibadah lebih mefokuskan terhadap hubungan vertikal dengan Allah. Sedangkan

fikih mu’amalah mengatur hubungan horizontal dengan sesama manusia dan

lingkungan. (4) materi Sejarah Kebudayaan Islam menggambarkan periode

perjalanan hidup umat Islam dalam mengaktualisasikan fikih (beribadah dan

bermuamalah) dan berakhlak serta dalam mengembangkan sistem kehidupannya

terhadap ekologi yang dilandasi oleh akidah dan materi tentang kemampuan

mengambil ibrah atau hikmah dari sejarah Islam untuk pengembangan Kebudayaan

dan Peradapan Islam pada masa kini dan masa yang akan datang. (5) Bahasa Arab

sebagai bahasa pengantar untuk memahami ajaran Islam. Dengan Bahasa Arab

ajaran Islam dapat difahami secara benar dan mendalam dari sumber utamanya,

yaitu Al-Quran dan Hadis serta literatur-literatur pendukungnya yang berbahasa

arab seperti Kitab Tafsir dan Syarah Hadi>st. Gambaran substansi Pendidikan Agama Islam tentang ekologis dalam

Kurikulum Pendidikan Agama Islam sebagaimana digambarkan Muntaha (2019)

sebagai berikut:

Al-Quran dan Hadist

Aqidah Akhlak

Fiqh Ekologi

Bahasa Arab

Sejarah Kebudayaan Islam

Gambar 2 Nilai-Nilai Ekologi dalam Kurikulum Madrasah 2013

42

Berikut ini merupakan perwujudan nilai-nilai ekologi dalam materi PAI MI, MTs

dan MA, yaitu:

a. Mata Pelajaran Quran Hadis.

Secara implisit perwujudan nilai-nilai ekologis terdapat dalam materi

tentang “Memahami Hadis tentang kebersihan yaitu Hadist Riwayat Muslim

dari Abi Malik al-Ansyari: Kebersihan sebagian dari iman. Hadist ini

mempunyai hubungan erat dengan pelestarian ekologi. Tidak sempurna iman

seseorang jika tidak peduli lingkungan. Keberimanan seseorang tidak hanya

diukur dari banyaknya ritual di tempat ibadah. Tapi juga menjaga dan

memelihara lingkungan merupakan hal yang sangat fundamental dalam

kesempurnaan iman seseorang (Masruri, 2014).

Pada tingkat MTs secara eksplisit terdapat pada dua materi yaitu

pertama, materi mengkaji Hadist tentang Menjaga Kelestarian Alam yaitu

Hadist Riwayat abu Daud dan Ahmad dari Sa’id bin Zaid: barang siapa

mengolah tanah yang mati maka tanah tersebut menjadi miliknya. Hadist ini

memberikan semangat penguasaan dan upaya memberikan nilai pada sebuah

kawasan yang tidak mempunyai manfaat sama sekali menjadi lahan produktif

karena dijadikan ladang, ditanami buah – buahan, sayur – sayuran dan tanaman

lain. Hal ini juga merupakan bentuk anjuran kepada setiap muslim untuk

mengelola lahan supaya tidak ada kawasan yang terlantar dan tidak produktif

sehingga dapat mewujudkan penghijauan, pemanfaatan, pemeliharaan dan

penjagaan (Masruri, 2014).

Kedua, materi tentang kekuasaan Allah pada fenomena alam yang terjadi

terdapat dalam surat al-Zalzalah. Pada Tingkat Aliyah secara eksplisit terdapat

dalam materi Memiliki budaya menjaga kelestarian lingkungan yang merupakan

implementasi dari QS ar-Rum: 41, al-A’raf: 56-58, Shad: 27, al-Furqaan: 45-50,

al-Baqarah: 204-206 dan Hadis tentang pemeliharaan lingkungan Riwayat

Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik. ”Tidaklah seorang mukmin yang

menanam pohon atau sebuah tanaman kemudian dimakan burung, atau dimakan

oleh manusia atau dimakan oleh binatang ternak lainnya melainkan baginya

pahala sedekah”. Hadis ini mengajarkan tentang pentingnya melakukan

penghijauan. Penghijauan merupakan amalan saleh yang mengandung banyak

43

manfaat bagi seluruh makhluk hidup bagi manusia, binatang, tumbuhan dan

alam.

Secara implisit terdapat dalam materi Makanan Halal dan Baik

(QS.2:168-169) dan Hadist nabi Riwayat Tirmidzi dari abu Hurairah

”sesungguhnya Allah baik tidak menerima kecuali hal-hal yang baik, dan

sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang beriman sebagaimana Allah

perintahkan kepada para rasul” Allah berfirman wahai para rasul, makanlah

apa-apa yang baik, berbuat baiklah sesungguhnya kami mengetahu terhadap

apa yang kamu lakukan” (Menteri Agama RI, 2013). Apabila nilai-nilai

kebersihan dan halal dapat diinternalisasi pada siswa, maka kesadaran siswa

tentang pentingnya menjaga lingkungan, mejaga bumi, menjaga air, menjaga

kualitas udara akan terwujud

b. Mata Pelajaran Akidah Akhlak

Pembahasan dan kajian unsur Akidah Akhlak pada jenjang MI, MTs dan

MA secara umum membahas tentang mencontoh nila-nilai akhlak tepuji dan

menjauhi nilai-nilai akhlak tercela. Secara tersurat nilai-nilai ekologis terdapat

pada tema lingkungan yang disampaikan pada kelas III yaitu: menampilkan

prilaku sayang terhadap hewan; Menampilkan prilaku penyanyang terhadap

lingkungan. Disampaikan pula pada kelas IX dengan tema adab terhadap

lingkungan, yaitu binatang dan tumbuhan.

Sedangkan secara tersirat disampaikan di tingkat Aliyah, terdapat dalam

materi meyakini dan terbiasa ber-tauhid dalam kehidupan sehari-hari, materi

tentang mpenerapan nilai-nilai tasawuf dalam kehidupan modern dan materi

tentang menghindari perilaku tercela isyrof, tabzir dan bakhil. Allah melarang

kita untuk berlebih-lebihan dalam segala hal, baik dalam hal ibadah maupun

makan dan minum dan segala hal. Karena prilaku berlebihan, di samping tidak

disenangi Allah, juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam sistem

ekologi yang disebabkan eksploitasi berlebih-lebihan terhadap lingkungan

(Subdit Kurikulum dan Evaluasi Direktorat Pendidikan Agama Islam pada

Sekolah, 2007).

c. Mata Pelajaran Fikih

44

Nilai-nilai ekologis pada Mata pelajaran fikih secara tersurat

disampaikan pada materi “thaharah”, yang terdiri dari bersuci dari hadast dan

najis, berwudlu, termasuk tema tentang tayamum. Tayamun merupakan

materi yang sangat potensial untuk pengembangan dan internalisasi nilai-nilai

ekologi. Pada tingkat Tsanawiyah terdapat dalam materi Mengkonsumsi

minuman dan makan halal. Sedangkan pada jenjang Aliyah secara implisit

terdapat dalam materi Haji dan umrah

d. Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam

Mata Pelajaran SKI pada semua jenjang pendidikan Madrasah

menfokuskan pada materi kisah para Nabi, sejarah Rasulullah SAW dan para

sahabat yaitu al-Khulafa’ al-Ra>syidu>n, Muhajirin dan Anshar. Sejarah Nabi

Muhammad SAW sampai dengan dinasti Islam terakhir, menceritakan tentang

sejarah Islam di Nusantara. Secara tersirat nilai-nilai ekologi dapat ditelusuri

berdasarkan misi profetik Muhammad SAW sebagai rahmat bagi alam semesta

(termasuk lingkungan ekologis), pembawa kedamaian, kesejahteraan dan

kemajuan masyarakat.

Nilai-nilai ini dapat digali dari sepuluh wasiat Abu Bakar kepada Yazid

bin Abu Sufyan komandan pasukan yang akan bertempur di daerah Syria.

Perintah tersebut berbunyi:’sesunggguhnya aku berwasiat kepadamu dengan

sepuluh hal yaitu: (1) jangan membunuh wanita, (2) jangan membunuh anak-

anak, (3) jangan membunuh orang tua yang sudah pikun, (4) jangan menebang

pohon yang sedang berbuah, (5) jangan merobohkan bangunan, (6) jangan

menyembelih binatang kecuali untuk makan, (7) jangan merusak tanam-

tanaman, (8) jangan membakar tanam-tanaman, (9) jangan berkhianat, (10)

jangan menjadi pengecut (Seikh Faisal, 1986). Dari sepuluh wasiat tersebut,

empat di antaranya berkaitan dengan ekologi, yakni larangan memotong

tanaman yang sedang berbuah, larangan merusak bangunan, larangan memotong

unta tanpa ada manfaat, dan larangan membakar pohon (Efendy et al., 2016).

e. Mata Pelajaran Bahasa Arab.

Materi Bahasa Arab untuk MI, MTs dan MA berfokus untuk mendorong,

membimbing, mengembangkan, dan membina kemampuan serta menumbuhkan

sikap positif terhasap Bahasa Arab, baik reseptif maupun produktif.

45

Kemampuan reseptif yaitu kemampuan untuk memahami pembicaraan orang

lain dan memahami bacaan. Kemampuan produktif yaitu kemampuan

menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi baik secara lisan maupun secara

tertulis. Kemampuan berbahasa Arab serta sikap positif terhadap bahasa Arab

tersebut sangat penting dalam membantu memahami sumber ajara Islam yaitu

Al-Quran dan al- Hadis, serta kitab-kitab berbahasa Arab yang berkenaan

dengan Islam bagi peserta didik. secara ekplisit maupun implisit tidak

ditemukan tema yang berkaitan dengan ekologi.

Oleh karena itu pemeliharaan lingkungan dalam Islam sangat diwajibkan,

hal ini dikarenakan pemeliharaan lingkungan adalah amanah bagi semua

makhluk hidup untuk memelihara aneka ragam kehidupan dengan segenap

sistemnya. Konservasi yang dilakukan melalui pelestarian, perlindungan,

pemanfaatan secara lestari, rehabilitasi, dan peningkatan mutu lingkungan pada

dasarnya untuk menjamin kemaslahatan manusia beserta makhluk hidup lainnya

dalam jangka panjang dan berkesinambuangan. Dengan demikian, tanpa

lingkungan yang baik kehidupan manusia menjadi tidak berarti. Argumen ini

menegaskan bahwa konservasi lingkungan menjadi tujuan tertinggi syariah.

3. Taskhir Gambaran ideal bentuk ekologis yang digambarkan Al-Quran adalah

sebagaimana tertulis dalam surat saba’ ayat 15. Ayat ini mendeskripsikan secara

gamblang tentang lingkungan yang ideal. Kaum Saba’, adalah nama suatu

kabilah bangsa Arab yang diambil dari nenek moyang mereka, Shihab

menjelaskan dalam tafsirnya, di negeri Saba’ (Yaman), ada tanda yang

menunjukkan akan kekuasaan Allah SWT yaitu dua buah kebun di sebelah

kanan dan di sebelah kiri lembah tempat mereka tinggal. Dan dikatakan kepada

mereka, "Makanlah oleh kalian dari rezeki Rabb kalian dan bersyukurlah kalian

kepada-Nya." atas apa yang telah dikaruniakan-Nya kepada kalian berupa

nikmat-nikmat yang ada di negeri Saba. Negeri kalian, adalah negeri yang baik

tidak ada tanah yang tandus, tidak ada nyamuk, tidak ada lalat, tidak ada lalat

pengisap darah, tidak ada kalajengking dan tidak ada ular. Seandainya ada orang

asing lewat ke negeri itu dan pada bajunya terdapat kutu, maka kutu itu otomatis

akan mati karena harum dan bersihnya udara negeri Saba (Shihab, 2005)

46

Hadis tentang sedekah air menjadi salah satu bukti ajaran Islam tentang

ekologi, Hadis yang diriwayakan oleh Abu Daud tentang keutamaan air adalah

sebagai berikut: dari Said RA, sesungguhnya Sa’ad datang kepada Nabi SAW

dan bertanya: “Apakah sedekah yang paling engkau sukai?”, beliau menjawab:

“Air” (Shahih Sunan Abu Daud jilid 1).

Visi Misi Pendidikan Islam menurut al-Kilani (1987) adalah

menghantarkan peserta didik mencapai kemajuan insaninya hingga ke harkat

yang mulia yakni terwujudnya relasi harmonis antara peserta didik dengan Allah,

peserta didik dengan alam semesta, peserta didik dengan sesama, peserta didik

dengan kehidupan dunia dan peserta didik dengan kehidupan akhirat

(Dalimunthe, 2011). Yaitu: 1) keterhubungan antara peserta didik dengan Allah

disebut ‘ala>qoh ‘ub>udiyyah yaitu pertalian peribadatan; 2) keterhubungan antara

peserta didik dan alam semesta disebut ‘ala>qoh taskhi>r, yaitu terciptanya relasi

eksplorasi; 3) ketehubungan antara peserta didik dengan sesama disebut ‘ala>qoh

‘adl wa ihsa>n yaitu terciptanya relasi keadilan dan kebaikan; 4) keterhubungan

antara peserta didik dengan kehidupan duniawi disebut ‘ala>qah ibtila>’, yaitu

terjalinnya relasi ujian; 5) keterhubungan antara peserta didik dengan kehidupan

akhirat disebut ‘ala>qah mas’u>liyyah wa jaza>’, yaitu terjalinnya relasi tanggung

jawab dan pemberian balasan. Berikut adalah gambaran Visi Misi Pendidikan

Islam menurut Al-Kilani .

Menurut Al-Kilani (1987), ‘alaqoh ubu>diyyah merupakan relasi yang paling utama dan mendasar, sekaligus

sebagai dasar dan landasan terhadap relasi lainnya. Secara substansi bermakna bahwa konsep Ibadah mencakup tri-

tunggal dimensi, yaitu 1) dimensi kesalehan individu atau dimensi agamawai: hubungan manusia muslim dengan Allah

SWT; 2) dimensi kesalehan sosial atau dimensi sosial kemasyarakatan: hubungan manusia muslim dengan sesama dan

Gambar 3 Konsep Taskhir Madjid Irsan Al-Kilani (Al-Kilani , 1987)

47

masyarakat; 3) dimensi kesalehan ekologis atau dimensi kealaman, hubungan manusia muslim dengan lingkungan dan

alam.

Relasi-relasi tersebut di atas dapat terjalin harmonis bila keempat unsur atau komponen penunjangnya dapat

terealisasi yaitu; (1) komponen akidah yaitu dengan menentukan relasi antara Allah sebagai Dzat Yang Maha mendidik

dan objek pendidikan, yaitu manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya; (2) komponen sosial yaitu teraktualisasinya relasi

antar manusia, bahkan di antara seluruh individu yang menjadi peserta didik. (3) komponen setting tempat yaitu metode

yang digunakan peserta didik untuk mengelola sarana kehidupan demi mencapai kemajuan umat manusia di dunia; (4)

komponen latar waktu yaitu memperhatikan aspek waktu yang sedang dialami, semenjak peserta didik lahir di dunia

hingga kelak memasuki kehidupan akhirat.

48

1. Hakikat Taskhir Hubungan manusia dengan alam dalam perspektif Pendidikan Agama Islam

menurut Al-Kilani disebut dengan term relasi taskhir. Istilah ini diambil dari QS.

Luqman: 20, QS. al-Hajj: 65, QS. Ibrahim: 32, QS. al-Jasiyah: 12-13 dan QS.

an-Nahl: 14 (Kementerian Agama RI, 2009), secara bahasa kata taskhir berasal

dari kata sakhkhara bermakna membebani dengan pekerjaan tanpa upah (Al-

Munjid Fi Lughah Wa Al-A’lami, 1986) memaksa, menghina, atau kerja paksa

tanpa upah (Maya, 2018; Wardani, 2015) atau bekerja dan mengabdi tanpa

mengharapkan imbalan (Al-Kilani, 1987; Setia, 2004). Maksudnya

memberdayakan potensi alam semesta berdasarkan pelbagai fenomenanya

melalui upaya pemberdayaan atau usaha eksplorasi yang bermanfaat bagi sisi

kemanusiaan mereka sendiri dalam pelbagai aspek kehidupan, tanpa harus

memberikan bayaran kepada-Nya. Term taskhir secara eksplisit semakna

dengan mengendalikan, mengatur, memudahkan, mempersiapkan,

memperhambakan, menguasakan, mengelola, menyediakan, dan menyediakan

(Maya, 2018).

Kata sakhkhara-yusakhkhiru dalam mu’jam al-wasit dimaknai

menundukkan sesuatu sehingga melakukan yang dikehendaki oleh yang

menundukkannya (الوسيط Persis seperti pena yang ditundukkan .(2004 ,معجم

seorang penulis. Pena akan menulis sesuai kehendak penulis. Yang

menundukkan alam semesta adalah Allah swt, penundukannya untuk manusia.

Alam semesta ditundukkan dengan perintah (‘amr) dari Allah. Perintah tersebut

adalah dengan menjadikan ketetapan keteraturan pada alam semesta dengan

segala hukum fisikanya (Wardani, 2015) atau hukum-hukum alam (Shihab,

2005b), melalui perintah tersebut Allah memberi ketetapan (taqdir) pada alam

semesta, sehingga dengan ketetapan tersebut alam semesta menjadi tunduk dan

patuh.

Kata sakhara mengandung makna li tanfi’ yakni hak memanfaatkan,

bukan li tamlik yaitu hak kepemilikan (Riyadi, 2016). Implikasinya sebagai

khalifah manusia diberi hak dan wewenang olah Allah untuk memanfaatkan

sumber daya alam dan lingkungan dalam batas-batas kewajaran ekologis. Artinya

manusia harus memperhatikan spesies lain yang Allah beri hak yang sama untuk

49

mengespresikan diri dalam lingkungannnya. Sedangkan pada akhir QS. al-

Jasiyah: 12-13 kata yatafakkaru>na memberi makna urgensi akal manusia untuk

memelihara alam dan menghindari kerusakan.

Kemudian Al-Kilani menegaskan bahwa relasi antara manusia dengan

alam semesta tersebut tiada lain merupakan relasi eksploratif yang harus

dilandasi oleh ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum Allah yang berlaku di

alam semesta pada makhluk-Nya (sering dinyatakan sebagai fenomena alam),

dimana proses ini tentu saja tidaklah gratis, bahkan dibutuhkan banyak kajian

pemikiran kreatif dan melibatkan beragam disiplin ilmu serta umumnya

membutuhkan dan menghabiskan biaya yang cukup besar, baik dalam proses

pengkajian konseptual-teoritisnya maupun dalam usaha eksploratifnya. Menurut

Al-Kilani, relasi taskhir tersebut dalam perspektif Pendidikan Islam termasuk

dalam tritunggal dimensi ibadah, yang meliputi: 1) Dimensi kesalehan individu atau dimensi agamawi: hubungan manusia muslim dengan Allah SWT;

2) Dimensi kesalehan sosial atau dimensi sosial kemasyarakatan: hubungan manusia muslim dengan sesama

dan masyarakat;

3) Dimensi kesalehan ekologis atau dimensi kealaman, hubungan manusia muslim dengan lingkungan dan alam. Oleh karena itu, dalam perspektif Islam dinyatakan bahwa manusia telah

diberi mandat kekuasaan oleh Allah untuk mengelola alam semesta.

Perintah pada alam semesta bersifat ajeg dan harmonis hingga batas tertentu,

yaitu batas bertahan yang menandai terjadinya kiamat atau kehancuran total. lalu

manusia diilhami oleh Allah pengetahuan sehingga mampu melakukan apa yang

dikehendaki manusia atas izin Allah swt. selanjutnya karena penundukan itu

dimaksudkan-Nya untuk kepentingan manusia, maka Allah memberikan

kewenangan dan kemampuan kepada manusia untuk mengelola alam semesta.

Allah memerintahkan manusia untuk mengelola alam sesuai konsep yang

dikehendaki-Nya. Disaat yang sama konsep tersebut merupakan ujian bagi

manusia. Manusia akan melaksanakannya dan untuk itu manusia mendapat

ganjaran, atau mengabaikannya dan manusia akan mendapat kesengsaraan

(Shihab, 2005)

Wardani (2015) lebih lanjut menjelaskan dalam Al-Quran makna

menundukkan untuk kepentingan manusia digunakan terhadap semua isi alam

semesta: menundukkan kapal, sungai, matahari, bulan, malam, siang

50

(QS.Ibrahim: 32-33), laut (QS. An-Nahl: 14), gunung (QS.Shad: 18), angin

(QS.Shad: 36), dan semua yang ada di bumi dan di langit (QS. Al-Hajj: 65) dan

QS. Luqman: 20 (Maya, 2017). Sedang dari segi agama, berarti pemberian lisensi

bagi manusia untuk memanfaatkan alam secara gratis dalam rangka mendukung

proses kehidupannya pada segala sektor tanpa harus membayar harga tertentu

(Al-Kilani , 1987). Hanya saja, alam tidak bisa mengabdikan dirinya secara gratis

manakala manusia tidak memahami hukum yang berlaku padanya.

Menurut Al-Kilani bahwa Allah telah menundukkan alam semesta bagi

manusia, mulai dari yang memiliki pengaruh paling besar seperti matahari,

hingga zat yang paling kecil seperti lebah dan atom; semuanya dapat dan bahkan

harus dimanfaatkan untuk kebaikan dan bagi kepentingan manusia. Dengan cara

mengeksplorasinya secara tepat guna dan dengan bijak memberdayakannya

dengan bijak. Itu semua beserta harmonitas yang tidak tertandingi dan

keindahannya yang mengagumkan lagi tidak terbantahkan, memberikan petunjuk

yang jelas bahwa alam semesta tersebut benar-benar dimudahkan, dikendalikan,

dan telah ditundukkan oleh Allah sesuai dengan kehendak dan perintah-Nya. Lebih lanjut Al-Kilani (1987) menjelaskan bahwa konsep taskhir adalah hubungan manusia terhadap alam,

dalam hal ini manusia berperan sebagai khalifah. Peran khalifah ini merupakan konsekuensi dari sikap tauhid yang

mengharuskan manusia untuk mengimani Allah dan tidak boleh melakukan perbuatan Syirik. Hubungan manusia

dengan alam sebagaimana dijelaskan oleh Mawardi & sambodo (2011) mencakup beberapa hal, yaitu:

(1) Hubungan keimanan dan peribadatan.

Alam semesta berfungsi sebagai sarana bagi manusia untuk mengenal kebesaran dan kekuasaan Allah

(beriman kepada Allah) melalui alam semesta, karena Alam semesta adalah ayat-ayat Allah. Manusia tidak

dibenarkan menghamba kepada alam dan memperhamba alam. Hal ini sejalan dengan pendapat Madjid

(1998) yang melihat hubungan manusia dengan alam sebagai hirarki kemuliaan martabat manusia. Manusia

secara hirarkis lebih tinggi daripada alam semesta.

(2) Hubungan pemanfaatan yang berkelanjutan.

Allah SWT menciptakan Alam semesta beserta isinya dimaksudkan untuk memenuhi hajat manusia.

Untuk memenuhi hajat tersebut manusia tidak diperkenankan mengekploitasi alam melebihi hajat dan

kebutuhannya, harus mempertimbangkan keberlangsungan generasi berikutnya. Demikian pula dalam

pemenuhan hajat tersebut manusia tidak diijinkan melakukan penyalahgunaan pemanfaatan atau perubahan

alam dan sumberdaya alam untuk kepentingan tertentu saja sehingga berdampak hak pemanfaatannya bagi

semua kehidupan menjadi berkurang bahkan hilang.

(3) Hubungan pemeliharaan untuk semua makhluk.

Manusia memiliki kewajiban untuk memelihara lingkungan demi kelangsungan hidupnya, tidak terbatas

hanya untuk kemanusiaan saja tetapi untuk semua makhluk hidup. Tindakan manusia dalam menggunakan

sumber daya alam dan mengabaikan prinsip pemeliharaan dan konservasi yang mengakibatkan degradasi

51

lingkungan dilarang dan akan dihukum. Di sisi lain, manusia yang mampu memenuhi peran mereka

melestarikan dan melindungi alam akan diberi pahala oleh Allah SWT.

Lebih lanjut sambodo & mawardi (2011) menjelaskan bahwa manusia dalam hubungannya dengan Tuhan,

berhubungan pula dengan alam sebagai sesama makhluk ciptaan-Nya. Dalam berhubungan dengan Tuhan ini

manusia memerlukan alam sebagai sarana untuk mengenal dan memahami Allah yakni alam adalah ayat-ayat

kauniyah-Nya.

Manusia juga membutuhkan alam sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk menyembah

Allah. Hubungan antara manusia dan alam adalah suatu bentuk hubungan peran dan fungsi, lebih dari sekedar

hubungan sub-ordinat dimana manusia sebagai penguasa alam sebagaimana dipahami oleh antroposentrisme dan

materialis. Sementara alampun terkait dengan Allah yang menciptakan dan mengaturnya. Jadi Alam juga tunduk

dan patuh terhadap qadar dan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Allah yang maha memelihara alam. Agar

manusia bisa memahami alam dengan segala hukum-hukumnya manusia harus mempunyai pengetahuan (‘ilm)

dan ilmu tentang alam (qanun).

Ali Yafie (1994) memberikan kosep lingkungan hidup sebagaimana terdapat

dalam QS. Al-A'raf:156 yang menjelaskan tentang rahmat Allah yang meliputi

segala sesuatu dan QS. Al-Anbiya': 107 yang menegaskan tujuan pengutusan nabi

Muhammad SAW sebagai rahmat bagi seluruh alam. Yafie lebih lanjut merujuk

pada batang tubuh ajaran fikih yang meliputi empat garis besar yaitu: pertama

Rub'ul ibadat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia dengan khaliknya,

kedua Rub'ul muamalat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia dalam lalu

lintas pergaulan dengan sesamanya untuk memenuhi hajat hidup sehari-hari,

ketiga Rub'ul munakahat, yaitu bagian yang menata hubungan manusia dengan

lingkungan keluarga, dan keempat Rub'ul jinayat, yaitu bagian yang menata

pengamanan dalam suatu tertib pergaulan, yang menjamin keselamatan dan

ketentraman dalam kehidupan.

Empat hal tersebut meliputi bidang pokok dari kehidupan umat manusia.

Masalah lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada sampah, pencemaran,

penghijauan kembali atau sekadar pelestarian alam tetapi lebih dari semua itu

masalah lingkungan hidup merupakan bagian dari suatu pandangan hidup. Sebab

hal tersebut merupakan kritik terhadap kesenjangan yang diakibatkan oleh

pengurasan energi dan keterbelakangan yang lebih merupakan ekses dari

pertumbuhan ekonomi yang ekplosif dan tidak bervisi konservasi.

Berbeda dengan Yafie, Qaradhawi (2001) memberikan sumbangan

pemikirannya berdasarkan pada maqasid syari’ah. Menurutnya memelihara alam

adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh umat Islam sebagaimana

52

menunaikan Ibadah sosial yang lainnya, bahkan setara dengan menjalankan rukun

Islam. Lebih lanjut Qaradawi menjelaskan bahwa mengelola alam semesta harus

berpijak pada lima konsep maslahat, yaitu menjaga alam sama dengan menjaga

Agama; menjaga Alam sama dengan menjaga jiwa; menjaga alam sama dengan

menjaga keturunan; menjaga alam sama dengan menjaga akal; menjaga alam

sama dengan menjaga harta benda. Keterjaminan keberadaan agama, jiwa,

keturunan, akal dan harta sanag dipengaruhi dengan kondisi lingkungan. Dalam

kondisi lingkungan yang sangat tercemar misalnya, maka keselamatan jiwa akan

terancam, manakala jiwa terancam harta benda, agama dan keturunan juga sulit

untuk di jaga.

Dengan demikian makna taskhir adalah keterhubungan manusia dengan

lingkungannya sebagai patner yang mendapat mandat langsung dari Allah

sebagai pemilik alam, dalam berpatner tersebut dibutuhkan ilmu pengetahuan,

dan ilmu tentang alam, sehingga cara pandang seperti ini membantu manusia

dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya secara porposional dan fungsional

terhadap alam serta didukung dengan rasa tanggung jawab untuk merawat dan

memelihara lingkungan.

2. Tujuan Esensial Taskhi>r Setelah mendefinisikan konsep taskhir dan mendeskripsikan hakikatnya,

Al-Kilani secara tegas mengemukakan bahwa tujuan taskhir adalah agar manusia

mengetahui dengan penuh kesadaran bahwa Allah memiliki kemutlakan, baik

dalam kemampuan, ilmu maupun dalam rahmat-Nya (Al-Kilani , 1987; Maya,

2018) dan agar manusia menyadari kekuasaan Allah, keilmuan Allah dan rahmat

Allah yang mutlak yang meliputi segala sesuatu, melalui alam semesta manusia

dapat melakukan kontemplasi terhadap dua hal. Pertama, kontemplasi tentang

kebenaran wahyu ilahi dan sabda Rasulullah yang mengungkap hakikat alam

semesta. Kedua, dengan memperhatikan alam semesta secara cermat, manusia

mampu menyaksikan kecermatan penciptaannya, fenomena hukum-hukumnya,

dan dinamika perubahan yang terjadi padanya (Maya, 2017). Dari kontemplasi ini

manusia kemudian dapat mengetahui besarnya pengayoman Allah terhadap

53

kehidupan umat manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan abiotik sekalipun

sebagimana dalam QS: Al-Thalaq:12.

Perintah Allah berlaku pada manusia, agar manusia mengetahui bahwa

Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-

benar meliputi segala sesuatu. Wahyu dan alam semesta atau jagat raya

dinyatakan oleh Al-Kilani (1987) sebagai lembaran ilahi yang menyatu atau

bersifat dwi-tunggal. Wahyu mendeskripsikan ayat-ayat Allah SWT dalam Al-

Quran dan sabda-sabda Rasulullah dalam Al-Hadis. Sedangkan alam semesta

mendeskripsikan ayat-ayat Allah yang terbentang dalam ufuk atau kaki langit

yang kasat mata dan dalam jiwa yang bersifat psikis dan abstrak.

Dalam realitas empirik, banyak ayat Al-Quran yang berkenaan dengan

fenomena alam dan secara ilmiah terbuktikan kebenarannya. Al-Quran tidak

hanya memberikan doktrin-doktrin yang bersifat dogmatis, tetapi juga

memberikan peluang terhadap para ilmuwan untuk mengadakan penelitian

terhadap bukti kebenaran ayat-ayatnya sebatas pada wilayah yang bisa diteliti.

Di luar wilayah penelitian itu berarti penelitiannya yang tidak mampu

menjangkau, kita tidak bisa menyalahkan Al-Quran. Justru dalam wilayah yang

tidak terjangkau oleh pemikiran ilmiah inilah yang merupakan kelemahan sains

sekaligus keunggulan ilmu yang bersumber pada wahyu. Selanjutnya Al-Kilani

menjelaskan bahwa kedua ayat-ayat Allah SWT tersebut dapat diungkap melalui

pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi atau sains.

Semua itu, baik yang telah berhasil disingkap maupun yang akan terungkap di

kemudian hari, tiada lain merupakan berbagai mukjizat dari kebenaran risalah

Islam sebagaimana Allah jelaskan dalam QS. Fushishilat:53.

Dalam Tafsir Al-Misbah dinyatakan, pendapat terbaik tentang penafsiran

ayat ini bahwa yang dimaksud dengan tanda-tanda di ufuk atau kaki langit

adalah tanda-tanda kekuasaaan Allah yang nampak dalam matahari, bulan,

angin, dan alam semisalnya yang lain. Sedangkan yang dimaksud dengan tanda-

tanda di dalam jiwa psikis (anfus) adalah kontemplasi seseorang terhadap jasad

fisik (jismihi), panca indera (hawassihi), keajaiban penciptaan, fase-fase

pembentukannya dalam rahim, dan terhadap faktor-faktor psikis lainnya. Lebih

lanjut Shihab menjelaskan bahwa ayat tersebut merupakan himpunan dari

54

keseluruhan disiplin ilmu yang dikenal umat manusia, dan hal ini

mengisyaratkan tentang kemukjizatan Al-Qur‟an yang selaras dengan

perkembangan sains (mu’jizah mutajaddidah) yang bahkan mendahului pelbagai

disiplin ilmu-ilmu kontemporer (Shihab, 2005c).

3. Obyektifitas Taskhir

Al-Kilani menyatakan dan menyimpulkan bahwa objektifitas taskhir

secara makro terbagi menjadi dua klasifikasi. Pertama, objek berupa alam

semesta. Kedua objek yang berupa jiwa psikis. Namun yang memiliki

keterkaitan relasional dengan manusia secara langsung adalah alam semesta.

Berdasarkan penelusuran terhadap ayat-ayat tentang relasi taskhir dan

berdasarkan tiga perangkat pengetahuan berupa intuisi nalar atau rasionalitas

akal, pendengaran, dan penglihatan, objektifitas atau ruang lingkup taskhir dari

Allah terhadap alam semesta tersebut meliputi banyak sekali objek, terdiri dari

langit dan bumi beserta isinya, peredaran matahari, bulan, dan bintang,

pergantian siang dan malam, sungai, lautan, gunung, angin, dan unta serta objek-

objek lainnya yang terdapat di alam semesta dan yang terbentang luas. Al-Kilani

pada akhirnya mengklasifikasi objek alam semesta yang ditundukkan dan

dikendalikan Allah untuk kepentingan manusia pada hakekatnya terdiri dari tiga

unsur alam, yaitu: (1) Ruang angkasa yang dapat ditelisik atau benda; (2) benda

padat yang bisa diraba; (3) Air atau benda cair (Maya, 2017).

Dari ketiga unsur alam makro tersebut kemudian menjadi objek-objek

cabang alam mikro yang sangat banyak dan beragam, spesifiknya yang

termaktub dalam ayat-ayat Al-Quran, baik secara eksplisit maupun implisit.

Untuk lebih memperkuat pengetahuan tentang objektifitas taskhir, Al-Kilani

kemudian merinci beberapa contoh objek taskhir yaitu:

a) Planet dan bintang, termasuk di dalamnya adalah angkasa luar dan yang

berada di sekelilingnya seperti angin dan lainnya, antara lain dikemukakan

dalam Q.S. Al-Ra’du: 2, Al-Nahl: 12, Luqman: 29, Fathir: 13-15, Al- Zumar:

5, dan Shad: 36- 37.

b) Lautan dan objek-objek yang berada di sekitarnya, antara lain dikemukakan

dalam Q.S. Al- Jatsiyah: 12 dan Al-Nahl: 12.

c) Benda padat, antara lain dikemukakan dalam Q.S. Al- Hajj: 65.

55

Di samping itu, Al-Quran juga mendeskripsikan secara rinci terdapat

objek lain yang terdapat di antara tiga unsur alam makro tersebut, antara lain

dikemukakan dalam Q.S. Al-Zukhruf: 9-14, Al-Hajj: 36-37, Al-Anbiya: 79, dan

Shad: 18-19. Makin manusia mengenal objek-objek tersebut, maka semakin

banyak pula rahasia-rahasia alam yang terungkap. Pada gilirannya, temuan itu

akan turut mempunya andil dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,

menciptakan kesejahteraan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Manusia yang tidak

merasakan keperluan akan hal ini termasuk dalam golongan yang tidak terpuji di

mata Allah.

Al-Kilani kemudian mengingatkan bahwa dalam Filsafat Pendidikan

Islam yang berbeda dengan filsafat pendidikan lainnya, agar manusia sekali-kali

tidak menyimpang dari konsep relasi taskhir dan tujuannya yang esensial. Jika

hal ini terjadi, menurutnya anugerah alam semesta yang telah ditundukkan Allah

kepada mereka untuk dieksplorasi dan diberdayakan tersebut dapat berubah dan

bahkan akan menjadi bencana dan potensi negatif pendatang marabahaya seperti

yang dialami oleh kaum terdahulu, seperti kaum ‘Ad dan Fir’aun Q.S. Al-

Jâtsiyah: 6-12 (Maya, 2009, 2018). Dalam realitas peradaban kontemporer

spesifiknya dalam konteks sains dan teknologi, Al-Kilani menengarai dan

mendeteksi bahwa kekhawatiran tersebut telah banyak terjadi dan masih terus

akan terjadi. Antara lain dalam masalah penyalah-gunaan bom atom atau nuklir

dan zat hidrogen (senjata kimia) serta dalam beberapa kajian dan penemuan yang

berkaitan dengan ruang angkasa, misal menipisnya lapisan ozon dan lain

sebagainya.

Berkaitan dengan hal tersebut, Al-Kilani memberikan solusi agar relasi

taskhir dapat diaplikasikan berdasarkan kajian Filsafat Pendidikan Islam,

setidaknya ada tiga kompetensi yang harus dimiliki dalam melakukan eksplorasi

yaitu: Pertama, bahwa Allah menganugerahkan kemampuan atau daya

eksploratif kepada manusia untuk mengeksplorasi alam semesta dan telah

memberikannya mandat untuk menjadi pemakmur bumi. Kedua, bahwa manusia

telah dianugerahkan oleh Allah potensi atau keinginan untuk belajar dan

kemampuan untuk menyingkap rahasia alam semesta dan mengungkap hukum-

hukumnya, serta untuk memahami pelbagai substansi dan unsur-unsur

56

penyusunnya. Ketiga, manusia dituntut untuk memiliki kesetimbangan sinergitas

agar sesuai dengan peran dan tanggung jawab kekhalifahannya. Di samping, Al-

Kilani menyatakan bahwa untuk dapat mengimplementasikan relasi taskhir,

dibutuhkan antusiasme yang dilandasi oleh kejujuran dan kerja keras dalam

melakukan kajian dan realisasi operasionalnya, bukan sekedar perbincangan

sesaat tanpa ada kerja keras dan kesungguhan, karena hanya akan membuang-

buang waktu dan juga tenaga.

4. Prinsip-Prinsip Taskhir

Majlis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah bekerja sama dengan

kementerian lingkungan hidup (2011), prinsip Islam tentang lingkungan.

Sebagaimana uraian berikut ini:

(1) Tauhid

Secara paradigmatik, hubungan Tuhan, Manusia dan Alam terletak

dalam doktrin Islam tentang Tauhid (Al-Faruqi, 1988) yaitu pandangan dunia

yang memberikan penjelasan secara holistik tentang realitas. Dalam

paradigma tauhid terdapat tiga prinsip penting tentang realitas; Pertama,

dualitas yaitu setiap realitas terdiri dari pasangan dualitas dan keduanya

saling membutuhkan. Kedua, ideasionalitas bahwa segala ketentuan Allah

yang aksiomatik berupa hukum alam mengikuti hukum sunnatullah. Ketiga,

teologi bahwa pandangan ideasional bukanlah bersifat positivistik atau

materialistik. Karena hal ini bertentang dengan prinsip tauhid yang

memandang realitas bersifat teleologis, yang mempunyai tujuan, rancangan,

tidak sis-sia dan bertujuan universal (El-Dusuqy, 2008).

Asshiddiqie (2010) mengistilah hubungan Tuhan, Manusia dan alam

dengan istilah triadik dimana diantara ketiganya, Tuhan harus di tempatkan di

tengah, sehingga Manusia dan Alam berada dalam pisisi yang seimbang.

Selain itu ketiga-tiganya yaitu Tuhan-Manusia dan Alam harus di pandang

memiliki hak-hak dan konteks kekuasaan masing-masing.

Man

usi

a

Tuhan

Ala

m

57

Keyakinan agama-agama samawi khususnya Islam, mendalilkan alam

semesta ini diciptakan oleh Tuhan bersifat purposive dan berfungsi sesuai

kehendak-Nya (Mohamed, 2014). Oleh karena itu alam semesta ini

memperoleh eksistensi dan Yang Menciptakan. Tuhan adalah “Dzat” atau

“dimensi” yang non-empirik dan yang menciptakan sehingga memungkinkan

adanya dimensi lain termasuk alam semesta yang visual dan empirik ini. Dia

memberikan arti dan kehidupan pada setiap sesuatu. Dia serba meliputi (al

Muhith) dan tak terhingga. Sedangkan segala sesuatu selain Dia adalah serba

diliputi dan terhingga.

Alam semesta adalah makhluq ciptaan Tuhan. Karena itu alam semesta

ada dan bekerja sesuai dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh

Penciptanya. Dengan demikian di dalam setiap kejadian di alam ini berlaku

hukum sebab-akibat yang “alamiah”. Walaupun demikian tidak berarti bahwa

setelah mencipta, Tuhan kemudian lantas “istirahat atau tidur” dan tidak

berhubungan dengan perilaku alam. Demikian pula tidak berarti bahwa

terdapat “persaingan” antara Tuhan dengan makhluqnya dan masing-masing

merupakan eksistensi yang berdiri sendiri dan terpisah. Tidak pula berarti

bahwa Tuhan “bekerja” sendiri disamping manusia dan alam. Tuhan itu ada

(eksis) bersama setiap sesuatu. Karena setiap sesuatu itu secara langsung

berhubungan dengan Tuhan, maka setiap sesuatu itu melalui dan di dalam

hubungannya dengan lainnya, berhubungan pula dengan dan dikontrol oleh

Tuhan. Tanpa “aktifitas” Tuhan, manusia dan alam semesta menjadi tersesat,

liar dan sia-sia. Tuhan adalah makna dari realitas, sebuah makna yang

dimanifestasikan, dijelaskan serta dibawakan oleh alam semesta (termasuk

manusia).

Gambar 4 Konsep Dan Hubungan Antara Tuhan, Manusia Dan Alam (Asshiddiqie, 2010)

58

Dengan kata lain alam semesta termasuk dunia seisinya ini adalah sebuah

realitas empirik yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi berhubungan dengan

realitas yang lain yang non-empirik dan transenden. Setiap sesuatu di alam

semesta ini adalah pertanda akan eksistensi dan “aktifitas” Yang Ghaib. Hal

ini juga bermakna bahwa kehidupan di dunia yang fana ini bukan merupakan

sebuah kehidupan yang berdiri sendiri atau terpisah dengan kehidupan yang

lain. Kehidupan dunia sesungguhnya merupakan bagian dari kehidupan

akherat. Dengan demikian kualitas kehidupan manusia di dunia akan

menentukan kualitas kehidupannya di akherat kelak. Dan kualitas kehidupan

seseorang didunia ini bisa diukur dari seberapa jauh orang yang bersangkutan

menjalani hidup dan kehidupannya berdasarkan pedoman hidup di dunia yang

telah ditetapkan oleh Yang Menciptakan dunia.

(2) Khilafah

Bermula dari landasan yang pertama yakni tauhid, Islam mempunyai

ajaran atau konsep yang bernama khilafah dan amanah. Konsep khilafah ini

dibangun atas dasar pilihan Allah dan kesediaan manusia untuk menjadi

khalifah Allah di muka bumi (QS.al-Baqarah: 30, al-Isra: 70, al-An’am: 165

dan Yunus: 14). Sebagai wakil Allah, manusia wajib secara aktif untuk bisa

merepresentasikan dirinya sesuai dengan sifat-sifat Allah. Salah satu sifat

Allah tentang alam ini adalah bersifat sebagai pemelihara atau penjaga alam.

Jadi sebagai wakil Allah di muka bumi, manusia harus aktif dan bertanggung

jawab untuk menjaga bumi. tugas manusia sebagai khalifah tidak akan

bermakna apa-apa bila manusia tidak mampu melaksanakan tugas-tugasnya

dalam mengelola lingkungan dan mengkonservasi lingkungan (Arifullah,

2011). Merawat bumi bernilai sama dengan merawat keberlangsungan fungsi

bumi, dimana manusia dan makhluk lainnya tumbuh dan berkembang.

Khilafah bisa juga bermakna kepemimpinan.

Khalifah merupakan utusan Allah yang diberi mandat untuk

mengelola bumi dan bertanggungjawab memimpin makhluk Allah yang

lainnya. Mandat ini membawa implikasi bahwa manusia sebagai khali>fah

harus mampu mewakili Tuhan dalam memimpin dan memelihara

keberlangsungan kehidupan semua makhluk. Allah memilih manusia sebagai

59

wakilnya di bumi bukan tanpa alasan, Pilihan Tuhan ini bukan tanpa alasan.

Pilihan ini juga sudah mendapat persetujuan manusia (QS. al-Ahzab:72).

Konsekwensinya, sebagai khalifah manusia dituntut menegakkan keadilan

dan amanah di tengah-tengah lingkungan alamnya dimuka bumi ini.

Penghianatan terhadap amanah dan keadilah tersebut sama saja dengan

menghianati asa ketauhidan yang bermakna sama dengan berbuat syirik dan

dzalim.

(3) Amanah.

Manusia debagai khali>fah oleh Allah diberi hak untuk memanfaatkan

bumi dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya, namun hak tersebut

dibatasi sebatas memenuhi hajar hidupnya saja. Tidak ada Hak untuk

menguasai secara mutlak terhadap bumi termasuk sumber daya alamnya,

terlebih hanya untuk memenuhi nafsu keserakahannya. Hak penguasaan

mutlak tetat ada pada Allah SWT. Pada pengertian ini bumi dan segala isinya

sebagai tempat tinggal manusia adalah sebagai lahan ujian bagi manusia.

Supaya berhasil dalam menghadapi ujian tersebut manusia harus mampu

membaca tanda-tanda yang diberikan Allah. Persyaratan utama agar manusia

mampu membaca tanda-tanda Allah tersebut, manusia wajib mempunyai

pengetahuan dan Ilmu.

(4) Halal dan Haram.

Halal dan haram berkenaan dengan peran manusia sebagai khalifah

adalah sebagai rambu, untuk tetap menjaga keberlanjutan peran dan fungsi

alam serta harmoni kehidupan di alam ini. Segala sesuatu yang dapat

menenteramkan hati, yang baik, memberi dampak baik dan menguntungkan

adalah makna dari Halal. Sedangkan Haram adalah segala sesuatu yang jelek,

membahayakan atau merusak seseorang, masyarakat dan lingkungan alam

dan sosialnya. Termasuk dalam pengertian haram jika sesuatu tersebut dapat

membahayakan fisik dan jiwa manusia serta dapat merusak alam lingkungan.

Halal dan haram ini berlaku untuk manusia dan alam. Penghianatan terhadap

rambu-rambu tersebut membawa konsekwensi disekuilibrium bagi

keberlangsungan kehidupan manusia dan mengganggu keharmonisan dan

keseimbangan ekologis di alam.

60

(5) Keseimbangan

Allah SWT dalam menciptakan Alam semesta adalah berdasarkan asas

ekuilibrium (QS: Al-Mulk: 67). Keseimbangan sebagai sunnatullah yang

berlaku atas alam semesta beserta isinya. Ekuilibrium ini bisa mengalamai

desekulibrium apabila diantara isi alam semesta tersebut mengalami

gangguan. Gangguan tersebut bisa dalam bentuk kejadian alamiah terlebih

apabila berasal dari perilaku manusia. Apabila terjadi gangguan pada alam,

maka alam akan bereaksi atau merespon dengan membentuk ekuilibrium baru

yang bisa terjadi dalam waktu singkat, atau bisa pula dalam waktu yang

cukup lama tergantung pada intensitas gangguan serta sifat kelentingan

masing-masing sistem alam yang bersangkutan.

Ekulibrium baru yang terbentuk ini dapat secara alami berbeda secara

kuantitatif dan kualitatif dari keseimbangan sebelumnya. Pun demikian

ekulibrium baru ini bisa berdampak merugikan, juga bisa bermanfaat bagi

anggota masyarakat atau kelompok yang bersangkutan. Perilaku dan tindakan

manusia terhadap alam, sebenarnya bertujuan untuk memastikan bahwa alam

tidak mengalamai desekuilibrium. Larangan untuk tidak berkelahi,

mengatakan kotor, berbohong, berburu, melukai atau membunuh binatang

dan tumbuhan selama Ihram bagi orang-orang yang sedang naik haji atau

umrah, sebenarnya mengandung pesan bahwa keseimbangan alam dan

keharmonisan hidup tidak boleh diganggu oleh tindakan merusak (haram).

(6) Kemashlahatan

Istishlah atau manfaat publik adalah salah satu pilar utama syariah Islam,

termasuk dalam manajemen lingkungan. Faktanya, jelas bahwa Tuhan

melarang manusia untuk mengambil tindakan yang berbahaya bagi

lingkungan, termasuk penghancuran kehidupan manusia, setelah Tuhan

melakukan perbaikan. Ini bukan hanya kehidupan dunia tetapi akhirat (QS:

AlA'raf: 56). Tujuan tertinggi melindungi alam dan ekosistem adalah

kesejahteraan universal dan kesejahteraan semua makhluk baik di masa kini

(di dunia) dan di masa depan (di akhirat).

Istishlah juga dapat dimaknai sebagai memperlakukan alam, termasuk

kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan di bumi. Hewan dan tumbuhan

61

yang diciptakan oleh Allah diperuntukkan bagi manusia untuk mendukung

kehidupan mereka, dan tidak akan rusak. Dengan kata lain, pemanfaatan alam

termasuk hewan dan manusia adalah pemanfaatan yang berkelanjutan. Alam

telah diciptakan oleh Allah dalam desain yang sempurna dan seimbang,

sehingga gangguan penciptaan dan keseimbangan berarti bahwa ia juga

merupakan tindakan perusakan terhadap alam, yang berarti ia juga

menghancurkan alam termasuk kehidupan manusia, dan bahwa tindakan

tersebut termasuk dosa besar, setara dengan pembunuhan.

Konsep teologi lingkungan tersebut mengandung makna, penghargaan

yang sangat tinggi terhadap alam, penghormatan terhadap saling keterkaitan

setiap komponen dan aspek kehidupan, pengakuan terhadap kesatuan

penciptaan dan persaudaraan semua makhluk, serta menunjukkan bahwa etika

harus menjadi landasan setiap perilaku dan penalaran manusia.

Jika kerangka ini diaplikasikan sepenuhnya, atau dengan kata lain setiap

muslim menjalankan syari’at Islam dengan konsisten, maka permasalahan

tentang krisis lingkungan terutama di Negara-negara yang mayoritas

penduduknya muslim, insya Allah tidak akan separah saat ini.

Menurut Sumantri (2015) prinsip-prinsip relasi manusia dengan alam

adalah sebagai berikut:

(1) Muhasabah (Evaluasi Diri)

Alam semesta diciptakan oleh Allah bukan main-main (QS. 21:16),

melainkan dengan Hak (QS. 29:44) dan dengan Tujuan yang jelas (QS. 46:3)

yaitu sebagai tanda kekuasaan Allah bagi orang yang berakal, orang

mengetahui, orang yang bertaqwa dan orang yang mendengarkan pelajaran

(Mangunjaya & Abbas, 2010). Melakukan evaluasi terhadap pengelolaan

lingkungan merupakan suatu prinsip dasar bagi manusia sebagai bagian dari

lingkungan. Sebaliknya, dari perspektif teori mengenai hak asasi lingkungan,

kesalehan manusia menerima bahwa lingkungan dan segala isinya

mempunyai status moral dan hak, maka konsekuensi logisnya manusia

sebagai pelaku moral berkewajiban menghargai kehidupan alam, kehidupan

semua makhluk hidup yang ada di dalamnya (Sumantri, 2015). Mereka semua

adalah bagian dari sistem yang diciptakan dengan sempurna di mana semua

62

elemen menemukan diri mereka saling bergantung, saling mempengaruhi

secara positif atau negatif. Setiap makhluk memiliki fungsi takdirnya, yang

harus tetap tidak rusak dan dihormati (Mănoiu et al., 2016).

Sebagai makhluk multideminesional manusia berkewajiban menghargai

hak semua makhluk hidup untuk berada, hidup, tumbuh dan berkembang

secara alamiah sesuai dengan tujuan penciptaannya dengan melakukan

evaluasi terhadap segala perilakunya dalam pengelolaan lingkungan

(Muhaimin, 2015). Sebagai perwujudan nyata dari bukti adanya koreksi dan

evaluasi untuk menjadi lebih baik dalam pengelolaan lingkungan, maka

manusia perlu memelihara, menjaga, merawat, melindungi dan melestarikan

lingkungan beserta seluruh isinya (Yunansah & Herlambang, 2017).

Prinsip muhasabah adalah manusia memiliki tanggung jawab moral

terhadap lingkungan, karena secara ontologis manusia adalah bagian integral

dari alam. Kenyataan ini melahirkan prinsip moral bahwa manusia

mempunyai tanggung jawab melakukan muhasabah baik terhadap alam

semesta seluruhnya dan integritasnya, maupun terhadap keberadaan dan

kelestarian setiap bagian dan benda di alam semesta ini, lebih khusus

terhadap makhluk hidup. Setiap bagian dan benda di alam ini diciptakan oleh

Allah dengan tujuannya masing-masing, terlepas dari apakah tujuan tersebut

untuk kepentingan manusia atau tidak. Oleh karena itu manusia sebagai

bagian dari alam semesta bertanggung jawab untuk menjaganya (Fua, 2014;

Fua & Wekke, 2017).

(2) Muroqobah (Kedekatan pada Pencipta Alam)

Prinsip muroqobah adalah setiap orang dituntut dan terpanggil untuk

memiliki kedekatan pada alam sebagai perwujudan kedekatan pada Allah,

kedekatan pada alam semesta ini sebagai milik bersama dengan rasa memiliki

yang tinggi seakan merupakan milik pribadinya. Kedekatan pada lingkungan

dengan memahami segala fenomenanya akan muncul jika pandangan dan

sikap moral yang dimiliki adalah bahwa alam bukan sekedar untuk

kepentingan manusia. Oleh karena itu muroqobah bersifat antroposentris-

kosmis yaitu kedekatan pada pencipta alam yang merupakan manivestasi

bentuk tanggung jawab karena panggilan kosmis untuk menjaga alam semesta

63

itu sendiri, untuk menjaga keseimbangan dan keutuhan ekosistem (Sumantri,

2015).

Sikap moral bertanggung jawab mencakup dua aspek, yaitu tanggung

jawab terhadap mutu/kualitas alam semesta dan tanggung jawab

keberlangsungannya. Sikap tanggung jawab terhadap menjaga

mutu/kualitanya adalah apabila tidak mampu semakin meningkatkan kualitas

alam semesta, minimal jangan merugikan orang lain. Sedangkan tanggung

jawab terhadap keberlangsungan alam semesta adalah hendaknya jangan

melakukan perbuatan yang berakibat mengganggu atau merugikan

lingkungan, membahayakan orang lain dan mengurangi kualitas hidup

generasi mendatang (Suliantoro, 2011).

(3) Muahadah (kesatuan)

Al-Quran menjelaskan bahwa alam adalah suatu kesatuan yang utuh,

memiliki sistem yang lengkap dan kompleks, setiap komponen saling

mendukung dan melindungi (Mănoiu et al., 2016). Alam semesta berjalan

atas dasar pengaturan yang serasi dan dengan perhitungan yang tepat (Yafie,

2006), jika salah satu komponen terpengaruh, maka akan mengganggu

tatanan dan fungsi normal dari keseluruhan sistem alam (Mănoiu et al., 2016).

Prinsip keteraturan yang serasi dan perhitungan yang tepat semacam ini

seharusnya menjadi dasar dan pegangan dalam menjalani kehidupan di bumi

ini.

Harmoni alam telah berada pada ukuran, porsi, dan perhitungan yang

stabil. Keseimbangan alam berada pada tingkat yang presisi. Hal itu

menunjukkan bahwa bumi dan semesta alam diciptakan dengan perhitungan

dan perencanaan yang begitu matang. Air, tanah, angin, panas bumi, dan

udara diatur sedemikian rupa yang kesemuanya mengandung energi yang

potensial bagi keperluan umat manusia. Gelombang laut, arus laut, uap dari

kawah, maupun energi nuklir menjadi potensi tambahan yang baru-baru ini

ditemukan dan dikembangkan. Semua tanggungjawab atas pemanfaatan alam

pada akhirnya berada di tangan manusia. Mau dibawa kepada kebaikan atau

mau dibawa kepada hal yang bertolak belakang dengan prinsip

keseimbangan: berbanding terbalik dengan hukum Tuhan.

64

Manusia dengan akalnya memiliki tanggungjawab untuk berupaya

menjaga keseimbangan alam di tengah keadaan di atas. Sebagaimana QS. Ar

Rahman: 8-9 yang berisi tentang keseimbangan alam tidak boleh diganggu

dan manusia diwajibkan menegakkan hukum keseimbagan tersebut.

Keseimbangan adalah untuk manusia, sumberdaya alam boleh dimanfaatkan

dalam porsi yang sesuai. Di antara pesan Al Qur’an tentang prosedur dalam

menafkahkan potensi alam dan potensi akal dan kecakapan adalah Al

Baqarah 267 tentang eksplorasi SDA dan Menafkahkannya secara seimbang

Keseimbangan dalam arti di atas juga bertujuan terhadap pemerataan

distribusi kekayaan alam untuk kesejahteraan bersama. Jangan sampai

kekayaan itu secara sepihak hanya tertumpuk pada sebagian orang. Untuk itu,

ayat di atas juga mengandung prosedur pemerataan ekonomi. Karena

pentingnya arti keseimbangan, kondisi alam saat ini yang berada pada level

yang belum sesuai standar dengan masih maraknya penebangan liar,

pembukaan lahan dengan pembakaran, dan pencemaran pengairan daerah

ladang kelapa sawit. Di tengah kondisi tersebut maka tugas manusialah untuk

memperbaikinya kembali.

Prinsip muahadah muncul dari kenyataan bahwa manusia adalah

bagian integral dari alam semesta yang memiliki sifat yang sama yaitu

nisbi/tidak mutlaq (Udin, 2016), memiliki kedudukan sederajat dan setara

dengan alam dan makhluk hidup (Sumantri, 2015), serta diberi tanggung

jawab mewujudkan harmoni yang maksimal antar seluruh kosmis (Suliantoro,

2011). Kenyataan ini membangkitkan dalam diri manusia perasaan

muahadah. Manusia harus menyadari sepenuhnya sebagai mikrokosmos

manusia adalah bagian kecil namun tidak dapat dipisahkan dengan yang lebih

besar dan universal, yaitu alam sebagai makrokosmos dan pada akhirnya akan

bersama-sama kembali menuju kepada Tuhan (Udin, 2016). Perasaan ini

akan membangkitkan rasa simpati yang dapat mengubah perasaan orang lain

menjadi persaannya juga (Keraf, 2014), perasaan sepenanggungan, perasaan

solider dengan alam dan dengan sesama makhluk hidup lainnya. Manusia ikut

merasakan apa yang dirasakan oleh makhluk lainnya di alam semesta.

Manusia dapat merasakan sakit ketika berhadapan dengan kenyataan yang

65

memilukan berupa rusak dan punahnya makhluk hidup tertentu (Sumantri,

2015).

Prinsip ini dalam kosmis mendorong manusia untuk menyelamatkan

lingkungan dan untuk menyelamatkan semua kehidupan di alam. Karena

alam dan semua kehidupan di alam ini memiliki nilai yang sama dengan

kehidupan manusia.

(4) Muaqobah )Hukuman)

Prinsip muaqobah pembatasan yang ditekankan pada nilai, kualitas,

cara hidup yang baik, dan bukan pada perolehan sebanyak-banyaknya

kekayaan, sarana dan standar material atau prinsip kesederhanaan (Suliantoro,

2011). Yang ditekankan bukan rakus dan tamak mengumpulkan harta dan

memiliki sebanyak-banyaknya. Yang lebih penting adalah mutu kehidupnan

yang lebih mulia dihadapan Allah.

Prinsip ini menjadi penting karena, pertama, krisis ekologi sejauh ini

terjadi karena pandangan antroposentris yang hanya melihat alam sebagai

obyek ekplorasi dan pemuas kepentingan hidup manusia. Kedua, krisis

ekologi terjadi karena pola dan gaya hidup manusia modern yang konsumtif,

tamak dan rakus. Kalau manusia memahami bahwa dirinya merupakan bagian

integral dari alam, maka manusia harus memanfaatkan alam secukupnya saja,

sekedar untuk hidup secara layak dan mulia sebagai manusia.

(5) Mujahadah

Prinsip mujahadah menjelaskan bagaimana manusia harus berperilaku

satu terhadap yang lain dalam kaitan dengan alam semesta dan bagaimana

sistem sosial harus diatur agar berdampak posistif pada kelestarian

lingkungan hidup. Prinsip ini menuntut manusia agar dapat melakukan ikhtiar

atau perjuangan pengelolaan lingkungan untuk mengamankan kepentingan

publik. setiap manusia adalah pemimpin dan dituntut untuk berusaha keras

sebagai orang yang bersih dan disegani oleh publik, karena mempunyai

kepedulian tinggi terhadap kepentingan umat. Manusia dituntut untuk tidak

menyalahgunakan amanah untuk kepentingan dirinya dan kelompoknya

dengan merugikan umat.

66

Manusia dituntut untuk bertindak dengan tetap menjaga nama baik

sebagai orang yang mulia dalam berikhtiar mengelola lingkungan untuk

kepentingan umat (Sumantri, 2015). Kepentingan pribadi harus difikirkan

secara matang dan jangan sampai merusak ritme alam semesta maupun sosial

yang sudah berjalan secara teratur. Kapanpun manusia melakukan perubahan

dengan melanggar hukum alam semesta hasilnya selalu kehancuran

(Suliantoro, 2011)

Lima prinsip kesalehan ekologis tersebut dapat dihayati atau tidak

bergantung pada cara pandang masing-masing tentang manusia, alam, dan

tempat manusia dan alam. hal ini sangat bergantung pada pendidikan sejak

dari keluraga dan diteruskan di sekolah dan masyarakat. Keluarga dan

masyarakat sangat menentukan dalam membentuk cara pandang dan perilaku.

Bahkan sesungguhnya masyarakat mempunyai pengaruh yang jauh lebih

menentukan. Oleh karena itu pendidikan dan pembinaan sejak dini saja tidak

akan memadai. Karena kesalehan tidak dapat dipaksakan, yang dibutuhkan

adalah uswatun khasanah untuk memungkinkan prinsip-prinsis kesalehan

ekologis bisa dihayati dan dilaksanakan dalam kehidupan bersama ditengah

masyarakat. Mawardi dan Sambodo (2011) menambahkan bahwa prinsip relasi manusia dengan alam adalah:

(1) Keimanan dan peribadatan.

Alam semesta berfungsi sebagai sarana bagi manusia untuk mengenal kebesaran dan kekuasaan Allah

(beriman kepada Allah) melalui alam semesta, karena Alam semesta adalah ayat-ayat Allah. Manusia tidak

dibenarkan menghamba kepada alam dan memperhamba alam. Hal ini sejalan dengan pendapat Nurcholish

Madjid (1998) yang melihat hubungan manusia dengan alam sebagai hirarki kemuliaan martabat manusia.

Manusia secara hirarkis lebih tinggi daripada alam semesta.

(2) Pemanfaatan yang berkelanjutan.

Allah SWT menciptakan Alam semesta beserta isinya dimaksudkan untuk memenuhi hajat manusia.

Untuk memenuhi hajat tersebut manusia tidak diperkenankan mengekploitasi alam melebihi hajat dan

kebutuhannya, harus mempertimbangkan keberlangsungan generasi berikutnya. Demikian pula dalam

pemenuhan hajat tersebut manusia tidak diijinkan melakukan penyalahgunaan pemanfaatan atau perubahan

alam dan sumberdaya alam untuk kepentingan tertentu saja sehingga berdampak hak pemanfaatannya bagi

semua kehidupan menjadi berkurang bahkan hilang.

(3) Pemeliharaan untuk semua makhluk.

Manusia memiliki kewajiban untuk memelihara lingkungan demi kelangsungan hidupnya, tidak terbatas

hanya untuk kemanusiaan saja tetapi untuk semua makhluk hidup. Tindakan manusia dalam menggunakan

67

sumber daya alam dan mengabaikan prinsip pemeliharaan dan konservasi yang mengakibatkan degradasi

lingkungan dilarang dan akan dihukum. Di sisi lain, manusia yang mampu memenuhi peran mereka

melestarikan dan melindungi alam akan diberi pahala oleh Allah SWT.

Lebih lanjut sambodo & mawardi (2011) menjelaskan bahwa manusia dalam hubungannya dengan Tuhan,

berhubungan pula dengan alam sebagai sesama makhluk ciptaan-Nya. Dalam berhubungan dengan Tuhan ini

manusia memerlukan alam sebagai sarana untuk mengenal dan memahami Allah yakni alam adalah ayat-ayat

kauniyah-Nya.

Menjadi jelas, bahwa prinsip kesalehan ekologis adalah menjadikan manusia sebagai khalifah yang

mengelola bumi semata sebagai wujud keimanan dan peribadatan kepada Allah, untuk keberlangsungan

kehidupan semua makhluk yang ada sampai dengan batas waktu yang ditetapkan 5. Implikasi Relasi Taskhi>r

Pemahaman terhadap relasi taskhi>r dalam pola pemikiran dan perspektif

Al-Kilani harus melahirkan pemahaman adanya relasi antara manusia sebagai

hamba Allah dengan alam semesta dalam bingkai peribadatan kepada- Nya atau

dalam kerangka amal shalih. Relasi taskhi>r seperti yang telah dikemukakan

sebelumnya, menurut perspektif Al-Kilani selanjutnya harus mampu

memberikan implikasi dalam menumbuhkembangkan daya eksploratif untuk

mengungkap dan menyingkap beragam potensi alam dan jiwa psikis, mengkaji

fenomenanya, dan agar dapat mengeksplorasinya bagi kemashlahatan manusia

(Maya, 2017). Yang dimaksud dengan daya eksploratif adalah daya atau

kemampuan menyingkap hukum-hukum atau sunnah-sunnah penciptaan

(fenomena alam), baik yang ada di alam semesta maupun yang terdapat di dalam

jiwa psikis manusia dan upaya mengeksplorasinya bagi aspek kehidupan yang

bermanfaat dalam rangka menjaga eksistensi manusia dan mengarahkan

kemajuannya. Berdasarkan definisi tersebut, daya eksploratif sendiri terbagi

menjadi ada dua macam kategori, yaitu:

a) Daya eksploratif terhadap sumber daya alam adalah kemampuan untuk

menyingkap dan mengungkap hukum-hukum tertentu dari unsur-unsur alam

melalui fenomenanya untuk kemudian dikaji dan diimplementasikan secara

praksis bagi hal yang bermanfaat.

b) Daya eksploratif terhadap potensi psikis jiwa adalah kemampuan untuk

menyingkap dan mengungkap hukum-hukum tentang perilaku moral manusia

dan berbagai potensi psikisnya, baik secara personal- individual maupun

68

komunal-sosial, untuk dapat diberdayakan dalam meningkatkan kemajuan

kehidupan.

Manusia yang berusaha menyingkap ayat-ayat Allah berupa ufuk langit

akan memunculkan ilmu-ilmu kealaman atau sains, antara lain ilmu fisika,

biologi, kimia, kedokteran, dan disiplin lainnya dan manusia yang hendak

menyingkap ayat-ayat Allah berupa aspek psikis dalam jiwa manusia sendiri,

maka akan memunculkan disiplin ilmu psikologi dengan berbagai cabangnya.

Perspektif dan pemikiran seperti ini selaras dan merupakan inti dari paradigma

kesatuan ilmu pengetahuan (unity of science). Unity of science sendiri dapat

dipahami sebagai keterkaitan erat atau keterpaduan ilmu pengetahuan manusia,

baik pada aspek ontologis, epistemologis maupun aksiologis pengetahuan

tersebut, dalam satu kesatuan kesatuan kebenaran pengetahuan hakiki, dan tauhid

sebagai landasan utamanya.

The unity of science, dengan demikian merupakan antitesis dari dikotomi

ilmu pengetahuan, yakni pemisahan atau pembelahan ilmu pengetahuan menjadi

dua secara diametral, yang seolah-olah kedua ilmu yaitu ilmu- ilmu agama dan

ilmu-ilmu umum berasal dari sumber yang berbeda, dan tidak bisa dipertemukan.

Istilah lain yang berkembang dewasa kini selain kesatuan ilmu pengetahuan

(unity of science) adalah integrasi ilmu yang sering dinyatakan sebagai

keterpaduan pengembangan dan penguasaan sains dan teknologi dengan

kesadaran ketuhanan atau kepribadian Islami.Dengan perkataan lain,

pengembangan sains dan teknologi harus tumbuh di atas fondasi keimanan.

Dengan itu, ketika sains dan teknologi itu tumbuh semakin rindang dan berbuah,

maka cabang, ranting, dan buahnya itu senantiasa bernuansa keimanan.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa iman bisa diperoleh baik dari

wahyu maupun akal, dari observasi maupun intuisi, dan dari tradisi maupun

spekulasi teoritis. Sementara berbagai cara mengetahui alam dan realitas yang

bermacam ragam itu sama-sama valid menurut Islam, kesemuanya tunduk pada

wahyu Al-Quran. Oleh karena itu, dengan sendirinya beberapa aspek keterpaduan

yang dikehendaki oleh sistem pendidikan perlu diupayakan seperti keterpaduan

kurikulum, keterpaduan media pendidikan, dan keterpaduan tujuan pendidikan,

atau keterpaduan dalam aspek lainnya yang terkait (Maya, 2018).

69

Al-Kilani (1987) menyimpulkan bahwa pemahaman terhadap ayat-ayat

Allah dalam wahyu dan yang ada di alam semesta berupa ufuk langit dan jiwa

psikis manusia pada gilirannya melahirkan metode pendidikan yang khas, yaitu

metode pembacaan ayat-ayat yang sangat dibutuhkan oleh pendidikan

kontemporer, baik oleh pendidikan Islam maupun pendidikan umum sekalipun.

Tilawah atau pembacaan yang dimaksud dalam metode pembacaan ayat-ayat

adalah berupa pembacaan, kontemplasi, perenungan, tadabbur, dan mengikutinya

secara aplikatif, tidak hanya sekedar membaca tanpa makna dan tidak ada

implementasi terhadap proses dan hasil pembacaannya. Dari relasi taskhir yang

kemudian melahirkan daya eksploratif sebagaimana yang telah dikemukakan, Al-

Kilani senantiasa memotivasi agar pendidikan Islam dapat memacu daya kreatif-

inovatif dan memicu gerakan pembaruan sehingga mampu melahirkan

masyarakat yang terbuka lagi adaptif. Itu semua menurut Al-Kilani sangat

bergantung kepada “sehat dan sakitnya masyarakat” (shihhah wa maradh al-

mujtama’), terutama bergantung kepada “sehat dan sakitnya” pemikiran

masyarakat tersebut.

4. Ekologi Pesantren

Kesadaran tentang lingkungan hidup di pesantren secara formal diinisiasi dan

diselenggarakan oleh Indonesian Forest and Media Campaign (INFORM) dan

Pusat Pengkajian Pemberdayaan dan Pendidikan Masyarakat (P4M) Jakarta,

bertemakan Menggagas Fiqh Lingkungan (Fiqh al-Bi'ah) di Lido, Sukabumi,

Jawa Barat pada tanggal, 2 Mei 2004 yang dihadiri oleh lebih dari 30 ulama dari

pondok pesantren di Jawa, Lombok, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Sebagian ulama dan pimpinan yang di minta kehadirannya dipertimbangkan

adalah ulama yang bisa mewakili kompetensi untuk mengkaji dan menggali ayat-

ayat Al-Quran, Hadis dan kitab-kitab salaf (kitab kuning) tentang lingkungan

(Mangunjaya, 2014; Muhammad et al., 2006).

Pertemuan ini merekomendasikan dua hal. Pertama peran ulama sebagai

figur yang tepat untuk menyebarkan pemeliharaan lingkungan kepada

masyarakat dan berfungsi sebagai agen pelestarian lingkungan dengan integrasi

pendidikan lingkungan dalam materi pendidikan di pesantren sehingga dapat

memberikan snow-ball effect. Kedua rumusan tentang Fiqh al-Bi’ah yang

70

disajikan dalam sebuah buku laporan bertajuk Fiqih Lingkungan yang diterbitkan

pada tahun 2005 (Muhammad et al., 2006).

Menurut Mangunjaya (2014), indikator untuk mewujudkan pesantren yang

ramah lingkungan “ekopesantren” adalah sebagai berikut:

Pertama, Pengelolaan sarana pendukung pesantren ramah lingkungan.

Tentunya untuk mewujudkan ekopesantren harus memiliki sarana dan prasaran

pendukung yang mumpuni dan mencerminkan upaya-upaya pengelolaan

lingkungan hidup. Pengembangan sarana pendukung pondok pesantren untuk

pendidikan lingkungan hidup, peningkatan kualitas pengelolaan lingkungan

hidup di dalam dan di luar pesantren, penghematan sumber daya alam (listrik,

air), peningkatan kualitas layanan makanan halal dan sehat, pengembangan

sistem pengelolaan sampah, pemanfaatan lahan dengan kegiatan ramah

lingkungan, pengelolaan sanitasi dan MCK yang bersih dan sehat, rancangan

pembangunan fisik yang ramah lingkungan.

Kedua, Pengembangan kegiatan Lingkungan berbasis partisipatif. Dalam hal

ini pesantren harus berpartisipasi langsung dalam memberikan pendidikan

lingkungan hidup kepada santri dan masyaratkat sekitar pesantren.

Ketiga, pengembangan kurikulum berbasis lingkungan. Penyampaian materi

lingkungan hidup kepada santri dapat dilakukan melalui kurikulum secara

terintegrasi dan terpadu, ataupun dalam mata pelajaran tersendiri.

Keempat, kebijakan pesantren peduli dan berbudaya lingkungan.

Prinsip ekologi pesantren adalah rub’ul iba>dah, (hal ihwal ibadah), Rub’ul

mu’amalah, (hal ihwal hubungan sosial kemasyarakatan), Rub’ul munakahat

(hal ikhwal kekeluargaan) dan rub’ul jina>yat (hal ihwal penerapan sanksi).

Sedangkan Norma dasar ekologi pesantren adalah Program-program yang

dikembangkan berdasarkan Al-Quran, as-Sunnah dan Kitab Salaf antara lain

Kemaslahatan, Kebersamaan, Keterbukaan, Kesetaraan, Kejujuran, Keadilan dan

Kelestarian Lingkungan.

Ekologi Pesantren juga menjadi salah satu model pendidikan lingkungan

berbasis agama yang direkomendasikan oleh konferensi international aksi

muslim 1 untuk perubahan iklim untuk diterapkan pada skala international.

Cendekiawan muslim dunia mengakui bahwa pesantren di indonesia memiliki

71

pemahaman maju dalam mengelola lingkungan seperti sampah menjadi kompos

dan barang bernilai ekonomi lainnya sehingga bisa mendapat kesejahteraan

pesantren

Tujuan Pendidikan Islam dalam Al-Quran berdasarkan taksonomi

transenden ada tiga yaitu Pertama, baik dalam kaitannya dengan hubungan

manusia dengan Tuhan oleh penulis dinamakan dengan dimensi ilahiyyah

(ketuhanan/ teosentris). Kedua, baik dalam kaitannya dengan hubungan

manusia dengan manusia dan interaksi sosial dimasyarakat dinamakan dengan

dimensi insaniyyah (kemanusiaan/ antroposentris). Ketiga, baik dalam

kaitannya dengan hubungan manusia dengan alam semesta yang dinamakan

dimensi kauniyah (alam semesta/ekosentris) (Fuad, 2014)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2019 Tentang

Pesantren, 2019), Nilai-nilai Islam rahmatan lil'alamin dan berdasarkan

Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika dikembangkan sebagai jiwa-

jiwa Pesantren yang termasuk jiwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dan

nasionalisme, kehidupan ilmiah, kehidupan ilmiah, kesederhanaan kehidupan

spiritual, jiwa ukhuwah, jiwa kemerdekaan, jiwa kebebasan, dan jiwa

keseimbangan. Yang dimaksud dengan Jiwa Negara Kesatuan Republik

Indonesia dan nasionalisme adalah jiwa yang merupakan prinsip utama dalam

administrasi sistem pendidikan yang dikembangkan di wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia. yang dimaksud dengan Jiwa Ilmu Pengetahuan

adalah jiwa yang mendasari semua pemangku kepentingan dan akademisi

pesantren untuk menarik, mencari, dan mengembangkan ilmu yang tidak

berhenti.Untuk pesantren, mencari ilmu adalah keharusan yang harus dilakukan

sampai mati.

Demikian juga, antusiasme untuk mengembangkan dan menyebarluaskan

pengetahuan kepada masyarakat adalah bagian dari peribadatan sosial sebagai

perwujudan dari niat untuk mencapai pengetahuan yang bermanfaat. Yang

dimaksud dengan Jiwa Kesungguhan adalah jiwa yang tidak digerakkan oleh

ambisi apa pun untuk mendapatkan kepastian. manfaat, tetapi semata-mata demi

ibadah Allah. Jiwa ketulusan diwujudkan dalam semua rangkaian sikap dan

72

tindakan yang selalu dilakukan secara ritual oleh komunitas pesantren.

Diperkuat oleh adanya keyakinan bahwa perbuatan baik akan dihargai oleh

Allah, dengan imbalan yang baik, bahkan mungkin lebih baik.

Jiwa Kesederhanaan adalah sederhana yang tidak berarti pasif, tetapi

mengandung unsur kekuatan dan keberanian serta pengendalian diri dalam

menghadapi semua kesulitan. Di balik kesederhanaan itu, terkandung jiwa yang

besar dan berani, bergerak maju dalam menghadapi perkembangan dinamika

sosial. ini adalah identitas Santri yang paling khas.

Jiwa Ukhuwah adalah jiwa yang demokratis yang digambarkan dalam

situasi dialogis dan intim antara komunitas pesantren yang dipraktikkan setiap

hari. Apakah kita menyadarinya atau tidak, situasi ini akan menciptakan suasana

damai, takdir bersama, yang sangat membantu dalam membentuk dan

membangun idealisme Santri. Perbedaan yang dibawa oleh Santri ketika

memasuki pondok pesantren tidak menjadi penghalang dalam hubungan yang

berdasarkan spiritualitas Islam yang tinggi. Yang dimaksud dengan 'Jiwa

Kemandirian' bukanlah kemampuan untuk berurusan dengan masalah internal,

tetapi kemampuan untuk membentuk kondisi Pondok Pesantren sebagai lembaga

pendidikan Islam yang independen dan tidak bergantung pada bantuan dan harga

diri kepada pihak lain. Pesantren harus dapat berdiri di atas kekuatannya sendiri.

Kebebasan, yaitu bebas dalam memilih alternatif cara hidup dan

menentukan masa depan dengan jiwa besar dan sikap optimis untuk menghadapi

semua masalah kehidupan berdasarkan nilai-nilai Islam. Kebebasan juga

bermakna tidak dipengaruhi atau tidak didikte oleh dunia luar. Salah satu jiwa

pesantren yang termaktub dalam undang-undang pesantren adalah Jiwa

Keseimbangan yang bersumber dari nilai Islam rahmatal lilalamin, pancasila,

UUD ’45 dan Bhineka Tunggal Ika. Jiwa keseimbangan tersebut dalam

pesantren dimanifestasikan atas kesadaran yang sangat mendasar, yaitu fungsi

manusia sebagai hamba Allah SWT dan fungsi khalifah di muka bumi sebagai

hamba-hamba Allah SWT, manusia dituntut untuk beribadah dan menjalin

hubungan pribadi secara vertikal dengan Allah SWT melalui serangkaian ibadah

mahdlah dan fasilitasi keagamaan lainnya. Sebagai khalifah di muka bumi,

manusia diwajibkan untuk menjalin komunikasi, kerja sama, dan hubungan

73

sosial horizontal di antara sesama serta memanfaatkan alam semesta secara

harmonis untuk kepentingan kemanusiaan secara luas. Kedua fungsi itu

senantiasa mendasari sikap dan perilaku keberagamaan, pola pikir, dan kegiatan

sehari-hari secara seimbang.

5. Kesalehan Ekologis

a. Pengertian kesalehan ekologis

Kesalehan berasal dari kata “saleh” yang dirangkai dengan awalan “ke”

dan akhiran “an” yang berarti ketaatan atau kepatuhan dalam menjalankan

ibadah; kesungguhan menunaikan ajaran agama (kbbi.web.id). dalam Kamus

Al-Mu’jam al-Wasith (2004) kata shaluha sebagai akar kata shaliḥ berarti

bermanfaat, bagus, menghindari kerusakan, memperbaiki sesuatu yang rusak.

Dari akar kata salih tersebut menunjukkan pada satu makna yang sama yaitu

lawan dari kerusakan. Sehingga saleh dapat dimaknai sebagai perbuatan baik

menurut agama dan manusia (Saepudin et al., 2007). Sedangkan ekologis

bermakna bersifat ekologi (kbbi.web.id). yaitu hubungan timbal balik antara

makhluk hidup dengan lingkungannya (Keraf, 2014). Jadi kesalehan ekologis

bermakna hubungan timbal balik manusia terhadap lingkungan dalam rangka

kepatuhan menjalankan ibadah.

Kesalehan ekologis menurut Sumantri (2015) adalah akhlak, karena

sesungguhnya agama itu adalah akhlak yang baik. Akhlak yang baik mencakup

relasi manusia dengan Allah, relasi antar manusia, dan relasi manusia dengan

lingkungan atau alam. Abdillah (2001) menyebut sebagai orang yang memiliki

daya nalar yang memadai, yaitu orang yang memiliki kesadaran lingkungan dan

kearifan lingkungan serta memiliki kepedulian lingkungan. Selanjutnya

kesadaran, kearifan dan kepedulian lingkungan tersebut dikristalisasikan dalam

tindakan pelestarian lingkungan.

Sedangkan Goleman (2010) mengistilahkan sebagai kecerdasan ekologi,

artinya kemampuan manusia beradaptasi dalam ceruk ekologi dimana manusia

tinggal (Goleman, 2010). Capra (2007) menyebutnya sebagai melek ekologi atau

ecological literacy yaitu menggambarkan manusia yang sudah mencapai tingkat

kesadaran tinggi tentang pentingnya lingkungan hidup. Gardner (2003)

menyebutnya sebagai kecerdasan naturalis, yakni kemampuan manusia dalam

74

memahami gejala-gejala alam, memperlihatkan kesadaran ekologis dan

menunjukkan kepekaan terhadap bentuk-bentuk alam. Sedangkan Khozin (2014)

mendalilkan sebagai suatu karakter yang perlu dimiliki siswa, disamping

kejujuran, kedisiplinan, dan daya juang. Karakter tersebut adalah mejadi

manusia yang menjunjung tinggi kebersihan dan keindahan terhadap diri dan

lingkungan. Bukan manusia yang dekil dan jorok,dan bukan manusia yang tidak

mempunyai kepedulian terhadap lingkungan.

Secara sederhana dapat dimaknai, bahwa esensi kesalehan ekologis adalah

manusia yang mampu menjaga, melestarikan, mengelola, memperbaiki, dan

mendayagunakan lingkungan demi kesejahteraan hidup manusia sebagai

khalifah sekaligus memberikan kenyamanan untuk beribadah dan mewujudkan

masa depan yang lebih baik.

Menjaga semakna dengan menunggui, mengasuh, mempertahankan

keselamatan, mengiringi untuk melindungi dari bahaya, mengawal, mengawasi

sesuatu supaya tidak mendatangkan bahaya, mencegah bahaya, memelihara dan

merawat. Berbeda dengan mengijinkan, membebaskan, dan membiarkan.

Menjaga bermakna menunggui supaya selamat atau tidak ada gangguan

Melestarikan artinya melindungi, memayungi, membela, membentengi agar

tetap seperti keadaan semula. Maknanya adalah upaya pengelolaan sumber daya

alam beserta ekosistem dengan tujuan mempertahankan sifat dan bentuk

perubahan yang terjadi dikendalikan oleh alam.

Mengelola adalah mengusahakan, memperjuangkan, mencarikan jalan,

menyurihkan jalan, mengakali. Pengelolaan berarti perihal mengelola alam

dengan tujuan menanam tanaman yang dapat memberi keuntungan dan

memelihara serta memperbaiki kesuburan alam untuk jangka waktu Panjang

Memperbaiki adalah membetulkan kerusakan alam dan menjadikannya lebih

bagus.

Sedangkan mendayagunakan semakna dengan memakai, mengenakan,

memasang, membubuhkan, mencantumkan, lawan katanya adalah

mengeksploitasi. Mendayagunakan artinya memanfaatkan alam agar memiliki

nilai guna bagi seluruh kehidupan.

75

Kesalehan ekologis dalam Al-Qur’an diulang sebanyak 124 kali dalam

berbagai variasi makna (Nafisah, 2019; Rodin, 2017; Saepudin et al., 2007).

Satu diantaranya terdapat pada QS. al-Anbiya:105, yang mengabarkan tentang

keberadaan dan peran penting orang-orang saleh bagi kehidupan di muka bumi,

“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur bahwa bumi ini dititipkan

kepada hamba-hamba-Ku yang saleh.” Tentang ayat ini, Shihab (2005),

menerangkan, bahwa bumi adalah planet tempat manusia berpijak. Yang

diberikan kepada hamba-hamba Allah yang siap membangun dan menyediakan

keperluan hidup yang layak. di setiap tempat di muka bumi ini terdapat orang

saleh. Ia ditugaskan Allah untuk mengatur dan mengelola lingkungannya. Ia bisa

siapapun, tidak harus seorang Muslim. Lebih lanjut Shihab dengan mengutip

penjelasan Sya’rawi, mengatakan orang saleh itu ada dua macam, saleh duniawi

dan saleh ukhrawi.

Saleh duniawi adalah saleh dalam arti asal, yakni orang yang berkepribadian

baik sehingga di manapun berada ia tidak merugikan tapi justru banyak memberi

manfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Namun kesalehan semacam ini hanya

berdimensi etis, bahwa apa yang dilakukannya itu baik atau benar berdasarkan

pertimbangan akal sehat. Kesalehan tersebut bersifat universal dan dapat diakui

secara rasional oleh semua manusia. Orang saleh jenis ini bisa kita temukan di

tempat mana pun di muka bumi ini. Ia bisa seorang muslim, non-muslim bahkan

ateis sekalipun; apapun profesi, jenis kelamin dan status sosialnya (Rodin,

2017). Di lingkungannya, ia menciptakan keadilan, keteraturan, kedamaian,

kemajuan dan kemakmuran. Namun ibarat bangunan, kesalehan tersebut berdiri

tanpa fondasi relijius-spiritual sehingga hanya berdimensi duniawi.

Kedua, saleh ukhrawi, yakni kesalehan yang lahir dari keimanan. Kebaikan

yang dilakukan sebagai ekspresi dari ketaatan kepada Tuhan (Saepudin et al.,

2007; Shihab, 2005; Wardani & Mulyani, 2013). Artinya, seseorang

berkepribadian atau melakukan kebaikan tidak sekedar karena tuntutan etika,

tapi juga atas kesadaran penuh sebagai seorang hamba Allah untuk berbuat baik

kepada sesama hamba dan ciptaan-Nya. Untuk itu dalam setiap tindakannya, ia

juga selalu memperhatikan aturan-aturan dan hukum agama, seperti halal dan

haram, atau wajib dan sunnah. Garis pembeda antara saleh duniawi dan ukhrawi

76

ini ialah keimanan, sehingga saleh ukhrawi ini hanya bisa dimiliki oleh seorang

Muslim

Seorang Muslim yang saleh menyadari bahwa dirinya bukan hanya sebagai

manusia, tapi juga sebagai hamba Allah. Ia sadar, sebagai manusia tentu

memiliki kekurangan. Namun ia berusaha agar kekurangannya itu bisa

diminimalisir dan tidak merugikan orang lain. Sebaliknya, dengan kemampuan

dan kelebihan yang dimilikinya, ia berupaya memberi manfaat sebanyak-

banyaknya bagi orang lain dan lingkungannya. Ia pun sadar bahwa hidup ini

hanya sementara. Baik-buruk perilakunya selama hidup di dunia akan

dipertanggungjawabkannya di hadapan Allah kelak di hari kiamat (Nafisah,

2019).

Inilah orang saleh yang barangkali dimaksudkan Allah dalam QS. An-Nisa:

69, bahwa manusia yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya akan ditempatkan

bersama dengan orang-orang yang Allah anugerahi nikmat, yaitu para Nabi, para

shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang saleh. Mereka ini adalah sebaik-baik

teman. (Shihab, 2005). Berdasarkan ayat ini, orang saleh adalah satu di antara

empat golongan manusia yang dimuliakan Allah. Di dunia ia memiliki banyak

teman, dan di akherat ia akan mendapat nikmat.

Seorang muslim mengamalkan ajaran Islam berarti mengamalkan ajaran

Islam dan berada pada proses pencapaian kesalehan. Pengamalan yang terus

menerus terhadap ajaran Islam menjadi awal tertanamnya kesalehan dalam

jiwa setiap muslim. Perintah menjalankan agama tujuan utamanya adalah

membentuk hamba Allah yang saleh yang tidak hanya berakibat positif pada

dirinya dan orang lain, tetapi juga pada lingkungannya (Istiqomah, 2019)

Kesalehan ekologis harus didasari pengetahuan, kesadaran, dan keterampilan

hidup yang selaras dengan alam, sehingga tidak hanya berdampak pada diri

sendiri dan orang lain saja, akan tetapi berdampak terhadap lingkungan alam

sebagai tempat tinggal yang harus dijaga dengan tetap memiliki daya dukung

bagi kehidupan manusia dan makhluk lain (Setiawati, 2016).

Jadi, sejatinya menjadi saleh adalah pilihan bagi siapa saja orang beriman.

Sebagai manusia, setiap kita tentu mempunyai kelemahan dan kekurangan,

namun itu semua adalah sisi manusiawi untuk disadari dan dikoreksi. Selain itu,

77

manusia juga dibekali Allah dengan berbagai kemampuan dan kelebihan. Semua

itulah yang menjadi modal baginya untuk berbagi kebaikan sebanyak-banyaknya

kepada orang lain dan lingkungan.

Menurut Sarwiji et al (2016), komponen yang tercakup dalam kesalehan

ekologis meliputi:

1. Mengidentifikasi komponen-komponen ekosistem, baik abiotik maupun

biotik;

2. Memahami fungsi dan kegunaan komponen ekosistem, baik abiotik maupun

biotik;

3. Memahami sistem pengelolaan alam dan lingkungan, baik abiotik maupun

biotik;

4. Memahami tata nilai lingkungan, yang meliputi nilai kearifan lokal, nilai

religius, dan nilai normatif;

5. Menunjukkan keprihatinan atas kerusakan lingkungan atau pencemaran

lingkungan, baik abiotik maupun biotik;

6. Melakukan adaptasi tingkah laku terhadap lingkungan, baik abiotok maupun

biotik;

7. Memecahkan masalah yang timbul dari dampak lingkungan (abiotik maupun

biotik), baik secara individual maupun kolektif;

8. Mengelola dan melestarikan sumber daya alam (abiotik dan biotik), baik

secara individual maupun kolektif.

Dengan memiliki kesalehan ekologis, diharapkan perilaku manusia

semakin ramah dan harmoni terhadap lingkungan hidup sekitarnya, karena

manusia juga yang akan merasakan akibatnya apabila tidak bersikap saleh

terhadap lingkungan yang ditempati. Terdapat dua alasan yang mendasar

membangun kesadaran kesalehan ekologis, yaitu; Pertama, lingkungan

hidup beserta sumber daya alamnya yang lestari pada gilirannya akan

menjamin keberlanjutan proses pembangunan. Kegiatan pembangunan

memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia, bahkan dapat merubah

tatanan sumber daya alami menjadi sumber daya buatan.

78

Kedua, martabat manusia dan kualitas hidupnya bergantung pada

lingkungan tempat hidupnya, dalam arti, baik-buruknya kualitas lingkungan

akan berpengaruh pada kualitas hidup manusia di dalamnya.

b. Langkah-Langkah Membentuk Kesalehan Ekologis

Yusuf Qaradhawi menawarkan cara praktis menurut Islam bagaimana

pemeliharaan lingkungan dapat dilihat dalam uraian berikut:

(1) Adanya rasa cinta terhadap lingkungan. Upaya menumbuh kembangkan rasa

cinta pada sekelilingnya yang terdiri atas makhluk hidup dan makhluk mati.

Yang hidup terdiri dari hewan-hewan melata sampai burung-burung,

kesemuanya itu harus dilihat sebagaimana layaknya makhluk seperti kita

(Q.S: al-An’am: 38). Oleh karena itulah tidak heran jika dari usaha

pemeliharaan lingkungan ini dapat menimbulkan atau menumbuhkan

perasaan insaf di antara orang-orang yang selalu bersujud dan mensucikan

Allah dengan cinta dan kasih sayang.

(2) Alam beserta isinya adalah sebuah kenikmatan akan keindahan ciptaan-Nya.

Ini tercermin ketika Allah memerintahkan Nabi Adam untuk memanfaatkan

semua fasilitas hiasan-Nya yang ada di alam ini, sebagaimana perintah untuk

makan dan minum yang menegaskan unsur keabadian di dalamnya. Dari sini

dapat dilihat bahwa pesan Islam tidak hanya terfokus pada suatu kepentingan

yang bermanfaat saja akan tetapi juga pada sesuatu yang bisa dinikmati

sekaligus.

(3) Amati dan rasakan sesungguhnya alam semesta ini adalah karunia Allah yang

tidak terhingga, nikmat yang tidak dapat diukur. Allah berikan semuanya

untuk manusia. Seyogianya sebagai hamba Allah, manusia senantiasa

mengikuti tuntunan-Nya dalam segala tindak tanduk, karena nikmat yang

Allah berikan bisa diambil kembali tanpa pemberitahuan. Sehingga rasa

syukur manusia kepada Allah akan semakin bertambah dan berusaha menjaga

dan memelihara segala nikmat tersebut.

Dengan demikian apabila pemeliharaan terhadap lingkungan dan

pelestariannya sama dengan tujuan penyempurnaan tujuan-tujuan syariat, maka

segala upaya perusakan, pencemaran sumber daya alam serta menghilangkan prinsip

79

ekosistemnya sama halnya dengan menghilangkan tujuan-tujuan syari’at serta

menodai prinsip kepentingan yang mencakup di dalamnya. Sehingga lingkungan

yang bersih dan sehat akan terkondisi dengan sendirinya.

Menurut Sumantri (2015) ada beberapa cara untuk membentuk kesalehan

ekologis, antara lain:

1. Revitalisasi ajaran agama, bentuk ajaran agama yang didominasi dogma-

dogma yang sempit perlu diperluas. Konstektualisasi agama perlu

diperbanyak agar cakrawala pemikiran dan tindakan lebih luas, tidak hanya

ritual keagaman saja. Untuk pembelajaran di kelas perlu dilakukan aksi nyata

dibanding pembelajaran yang menekankan aspek kognitif saja.

2. Tadabbur alam, birunya laut, gemuruh ombah, hijaunya alam dengan

beraneka ragam flora dan fauna-nya adalah anugerah Allah yang tiada tara.

Keeksotikan dan keindahan alam adalah modal untuk dipikirkan, dan

direnungkan dan bermuara pada aktivitas untuk memanfaatkan, mengelola

dan menjaganya dengan penuh tanggung jawab.

3. Muhasabah dari fenomena bencana alam, fenomena panas bumi, rusaknya

lapisan ozon adalah fenomena alam yang mestinya menjadi sumber

muhasabah bagi setiap individu terhadap berbagai aktifitas yang telah

dialkukan selama ini. Rusaknya alam pada wilayah tertentu berdampak pada

kekacauan lingkungan di seluruh muka bumi. Jadi dalam konteks muhasabah

terhadap lingkungan manusia tidak seyogyanya berpikir dan bertindak sempit

pada lingkungan wilayahnya, namun kesadaran atas tanggung jawab diri

sebagai warga dunia.

4. Berpartisipasi dalam program hijau. Saat ini telah banyak dilakukan program-

program hijau, oleh pemerintah maupun oleh lembaga swadaya masyarakat.

Setiap individu sudah semestinya memilih dan melaksanakan program hijau

yang mampu dilaksanakan dan sesui dengan karakeristik dirinya. Seorang ibu

rumah tangga bisa memulai aktifitas program hijau dengan mengelola

sampah rumah tangga. Jika setiap profesi melaksanakan program hijau sesuai

dengan karakteristik yang dijalaninya, maka kesalehan ekologis akan

berbentuk.

80

5. Program reward and punishment, kesalehan ekologis dapat dibentuk melalui

program reward and punishment yang dilakukan secara formal oleh

pemerintah seperti penghargaan kalpataru dan adiwiyata maupun yang

dilakukan oleh masyarakat. Penghargaan terhadap daerah atau lembaga yang

melaksanakan pengelolaan lingkungan dengan baik telah dilakukan oleh

pemerintah dengan memberikan penghargaan kalpataru setiap tahunnya.

Namun program punishment terhadap pelaku pengrusakan lingkungan belum

dilakukan dengan tegas. Hukuman yang tidak tegas akan menghambat

program kesalehan ekologis.

c. Karakter Saleh Ekologis

Karakter saleh Ekologis adalah sebagai berikut:

1. Religius

Menjaga kelestarian lingkungan merupakan perwujudan syukur manusia

kepada sang pencipta atas keberkahan alam, manusia selalu mengambil manfaat

dari lingkungan sekitarnya, karena alam diciptakan merupakan perwujudan kasih

sayang Allah SWT kepada manusia, sehingga menjaga keutuhan, kelestariannya

bagian dari ibadah.

Dalam program penguatan karakter yang dicanangkan oleh kementerian

pendidikan nasional (Herdarman et al., 2017), nilai karakter religius

mencerminkan keberimanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bersih, toleransi

dan cinta lingkungan yang diwujudkan dalam perilaku melaksanakan ajaran

agama dan kepercayaan yang dianut, menghargai perbedaan agama, menjunjung

tinggi sikap toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama dan kepercayaan lain.

Nilai karakter religius ini meliputi tiga dimensi relasi sekaligus yaitu hubungan

individu dengan Tuhan, individu dengan sesama, dan individu dengan alam

semesta (lingkungan). Nilai karakter religius ini ditunjukkan dalam perilaku

mencintai dan menjaga keutuhan ciptaan, yaitu cinta damai, toleransi,

menghargai perbedaan agama dan kepercayaan, teguh pendirian, percaya diri,

kerjasama antar pemeluk agama dan kepercayaan, antibuli, dan kekerasan,

persahabatan, ketulusan, tidak memaksaan kehendak, mencintai lingkungan,

melindungi yang kecil dan tersisih.

2. Disiplin

81

Khalifatullah fil Ard

Menjaga Mengelola

Melestarikan Memperbaiki

Mendayagunakan

LINGKUNGAN

Abdullah

Kemaslahatan Umat

Gambar 5 Kerangka Kesalehan Ekologis

Kedisiplinan merupakan pola sikap yang terbentuk karena kebiasaan,

karakter disiplin erat kaitannya dengan aktivitas menjaga lingkungan, yakni

bagaimana memperlakukan lingkungan sebagaimana mestinya, tidak melakukan

tindakan destruktif, ataupun melakukan eksploitasi yang berlebihan. Sikap

disiplin dalam memperlakukan lingkungan, merupakan bagian upaya untuk

mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.

3. Kreatif

Karakter yang kreatif terkait dengan lingkungan adalah bagaimana

seorang individu mampu melakukan inovasi-inovasi dalam usaha pemeliharaan

lingkungan misalnya pembuatan biopori dan pengolahan sampah dalam upaya

untuk mencegah banjir.

4. Mandiri

Karakter mandiri dalam konteks pemeliharaan lingkungan yakni dapat

dimulai dari sendiri secara mandiri, yang tentunya usaha terkait penyelamatan

lingkungan secara mandiri dapat memiliki efek sosial untuk menyelamatkan

orang banyak.

Mengacu pada penjelasan tersebut di atas, gambar berikut adalah

kontruksi teori kesalehan ekologis.

82

Berangkat dari pilihan Allah dan kesediaan manusia untuk menjadi

khalifah di muka bumi (QS.al-Baqarah: 30, al-Isra: 70, al-An’am: 165 dan

Yunus: 14), manusia wajib secara aktif untuk bisa merepresentasikan dirinya

sesuai dengan sifat-sifat Allah (Mawardi & Sambodo, 2011). Salah satu sifat

Allah adalah Allah sebagai pemelihara atau penjaga alam. Dengan sendirinya

sebagai wakil Allah di muka bumi, manusia harus aktif dan bertanggung jawab

untuk menjaga bumi. Tugas manusia sebagai khal>ifah tidak akan bermakna apa-

apa bila manusia tidak mampu melaksanakan tugas-tugasnya dalam mengelola

lingkungan (Arifullah, 2011). Merawat bumi bernilai sama dengan merawat

keberlangsungan fungsi bumi, dimana manusia dan makhluk lainnya tumbuh dan

berkembang.

Tugas sebagai khalifah diberikan bersamaan dengan tugas individual

manusia sebagai abdullah (hamba Allah) untuk menunaikan kewajiban-

kewajiban ibadah personalnya. Hubungan manusia dengan alam tidak dipandang

sebagai penakluk dan yang ditaklukkan, akan tetapi hubungan dalam

kebersamaan dan ketundukan kepada Allah. Bahkan hubungan ini diposisikan

sebagai pemelihara yang saling membutuhkan satu dan lainnya.

Khalifah merupakan utusan Allah yang diberi mandat untuk mengelola

bumi dan bertanggungjawab memimpin makhluk Allah yang lainnya. Mandat ini

membawa implikasi bahwa manusia sebagai khalifah harus mampu mewakili

Tuhan dalam memimpin dan memelihara keberlangsungan kehidupan semua

makhluk. Allah memilih manusia sebagai wakilnya di bumi bukan tanpa alasan,

Pilihan ini juga sudah mendapat persetujuan manusia (QS. al-Ahzab:72).

Konsekwensinya, sebagai khalifah manusia dituntut menegakkan keadilan dan

amanah di tengah-tengah lingkungan malamnya dimuka bumi ini. Penghianatan

terhadap amanah dan keadilah tersebut sama saja dengan menghianati asa

ketauhidan yang bermakna sama dengan berbuat syirik dan dzalim (Madjid,

2002). Khalifah dalam menjalankan tugas sebagai wakil Allah di muka bumi

setidaknya mempunyai tugas dan tanggung jawab yaitu 1) menjaga, 2)

mengelola, 3) melestarikan, 4) memperbaiki dan 5) mendayagunakan lingkungan

untuk kemaslahatan bersama.

83

Menjaga lingkungan merupakan tugas utama khalifah, mengingat

manusia secara antropokosmis adalah bagian organik dari alam, pola pikir ini

menuntut manusia untuk menerapkan Islam seraya menegaskan hubungan antara

keimanan dan lingkungan. sehingga keberadaanya akan bergantung pada kepada

kelestarian alam itu sendiri (Mufid, 2017). Septian (2016) berpendapat dalam

menjalankan tugas menjaga lingkungan tersebut manusia wajib membekali diri

dengan kompetensi kognitif berupa rasa empati terhadap lingkungan. Kompetensi

kognitif ini dimaknai sebagai pengetahuan tentang lingkungan (Al-Kilani , 1987).

Pengetahuan Lingkungan merupakan hasil tahu. Tahu akan ada setelah individu

melakukan penginderaan terhadap objek. Penginderaan dilakukan dengan

menggunakan alat indera yang terdiri dari mata, telinga, hidung, lidah dan kulit.

Dari kelima indera tersebut, mata dan telinga paling banyak menyumbang

pengetahuan kepada manusia (Suriasumantri, 2015).

Terdapat enam indikator yang termasuk ke dalam pengetahuan

lingkungan (Muhaimin, 2015: 124), yaitu: 1) Pengetahuan tentang penyebab

masalah lingkungan. 2) Pengetahuan tentang dampak dari masalah lingkungan. 3)

Pengetahuan mengenai solusi penyelesaian masalah lingkungan. 4) Pengetahuan

tentang prediksi masalah lingkungan di masa mendatang. 5) Pengetahuan tentang

masalah-masalah lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. 6) Pemahaman

tentang ketergantungan manusia dan lingkungan serta ketergantungan diantara

individu, masyarakat dan bangsa dalam mengelola lingkungan hidup baik dalam

konteks lokal maupun global.

Melestarikan lingkungan dapat diaktualisasikan melalui sikap peduli.

Sikap ini tidak dapat diketahui secara langsung, tetapi diketahui melalui perilaku

yang dilakukan. Misalkan, tidak membuang sampah ke sungai, berusaha menjaga

kelestarian hutan dari penebangan liar dan sebagainya. Sikap ini sangat

diperlukan, mengingat dewasa ini telah banyak lingkungan yang sudah rusak

akibat pemanfaatan lingkungan yang tidak baik. Sikap peduli lingkungan

merupakan perubahan perilaku yang ditunjukan oleh pemahaman, perasaan dan

kecenderungan untuk mengaplikasikan pengetahuan lingkungan yang dimilikinya

melalui tindakan yang memberikan dampak positif bagi lingkungan (Muhaimin,

84

2015). Seperti menjaga kebersihan dan berusaha mencegah pengaruh buruk

lainnya yang berpotensi merusak lingkungan.

Sikap peduli lingkungan terdiri dari lima bagian yang dikonsepsikan

dengan nama New Ecological Paradigm (NEP), terdiri dari: 1) Batasan untuk

tumbuh 2) Pandangan anti antrophosentris 3) Kemungkinan krisis lingkungan 4)

Gangguan terhadap keseimbangan lingkungan 5) Penolakan terhadap perilaku

sewenang-wenang terhadap lingkungan (Mufid, 2017)

Menurut pengertian di atas, melestarikan lingkungan dapat dipahami

sebagai aktivitas yang memberikan dampak buruk sekecil mungkin terhadap

lingkungan. Menurut Badan Pusat Statistik (Badan Pusat Statistik, 2018) perilaku

ramah lingkungan dapat ditunjukan oleh perilaku di bawah ini.

a. Fasilitas Tempat Tinggal 1) Ketersediaan area terbuka 2) Penggunaan

pencahayaan matahari untuk penerangan ruangan 3) Ketersediaan resapan air

Keberadaan tanaman keras

b. Pemanfaatan Energi 1) Menggunakan lampu hemat energi 2) Menggunakan

alat elektronik seperlunya 3) Memanfaatkan pencahayaan alami di ruangan

saat siang hari 4) Mengurangi pemakaian listrik minimal 50 watt saat beban

puncak 5) Mengatur suhu ruangan ber-AC di rumah pada suhu minimal 250C

c. Pemanfaatan Air 1) Memanfaatkan air bekas 2) Tidak membiarkan air

mengalir percuma 3) Mencuci peralatan tidak dengan air mengalir 4)

Menyediakan area resapan air di sekitar rumah 5) Menginvestasikan peralatan

yang dapat menghemat air

d. Penggunaan Transportasi 1) Perawatan kendaraan bermotor 2) Menggunakan

kendaraan umum dari pada kendaraan pribadi 3) Menggunaka moda

kendaraan secara bersama-sama (Car Pooling) 4) Memilih kendaraan yang

paling sedikit mengeluarkan emisi, seperti memilih menggunakan sepeda dari

pada motor

e. Pengelolaan Sampah 1) Tidak membakar sampah 2) Membuang sampah

sesuai jenisnya 3) Tidak membuang sampah sembarangan 4) Mendaur ulang

sampah organik menjadi kompos.

Selanjutnya dalam melaksanakan tugas sebagai Allah memberi hak

kepada manusia untuk memanfaatkan bumi dalam upaya pemenuhan

85

kebutuhan hidupnya, namun hak tersebut dibatasi sebatas memenuhi hajat

hidupnya saja (Mawardi & Sambodo, 2011). Tidak ada hak untuk menguasai

secara mutlak terhadap bumi termasuk sumber daya alamnya, terlebih hanya

untuk memenuhi nafsu keserakahannya. Hak penguasaan mutlak tetap ada

pada Allah. Pada pengertian ini bumi dan segala isinya sebagai tempat tinggal

manusia adalah sebagai lahan ujian bagi manusia (Al-Kilani , 1987). Supaya

berhasil dalam menghadapi ujian tersebut manusia harus mampu membaca

tanda-tanda yang diberikan Allah. Pemanfaatan alam ini adalah bentuk

amanah yang harus ditunaikan oleh manusia sebagai khalifah (Assya’bani,

2017; Rusli, 2004)

Sebagai rambu dalam memanfaatkan alam, nilai yang dijadikan landasan

adalah halal dan haram. Nilai ini sebagai rambu, untuk tetap menjaga

keberlanjutan peran dan fungsi alam serta harmoni kehidupan di alam ini.

Segala sesuatu yang dapat menenteramkan hati, yang baik, memberi dampak

baik dan menguntungkan adalah makna dari halal. Sedangkan Haram adalah

segala sesuatu yang jelek, membahayakan atau merusak seseorang,

masyarakat dan lingkungan alam dan sosialnya. Termasuk dalam pengertian

haram jika sesuatu tersebut dapat membahayakan fisik dan jiwa manusia serta

dapat merusak alam lingkungan. Halal dan haram ini berlaku untuk manusia

dan alam (Mawardi & Sambodo, 2011)

Tujuan tertinggi tugas khalifah ini adalah melindungi alam dan ekosistem

untuk kesejahteraan universal dan kesejahteraan semua makhluk baik di

masa kini (di dunia) dan di masa depan (di akhirat) dikenal dengan Istishlah

(Assya’bani, 2017; Rusli, 2004). Istishlah dapat dimaknai sebagai

memperlakukan alam, termasuk kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan di

bumi. Hewan dan tumbuhan yang diciptakan oleh Allah diperuntukkan bagi

manusia untuk mendukung kehidupan mereka, dan tidak akan rusak. Dengan

kata lain, pemanfaatan alam termasuk hewan dan manusia adalah

pemanfaatan yang berkelanjutan. Alam telah diciptakan oleh Allah dalam

desain yang sempurna dan seimbang, sehingga gangguan penciptaan dan

keseimbangan berarti bahwa ia juga merupakan tindakan perusakan terhadap

alam, yang berarti ia juga menghancurkan alam termasuk kehidupan manusia,

86

dan bahwa tindakan tersebut termasuk dosa besar, setara dengan

pembunuhan.

Dengan demikian, kesalehan ekologis adalah kesadaran dan kearifan serta

kepedulian tentang pentingnya lingkungan hidup dan dikristalisasikan dalam

tindakan pelestarian lingkungan hidup (Abdillah, 2001), dalam bentuk akhlak

yang tercakup didalamnya relasi manusia dengan Allah, relasi antar manusia, dan

relasi manusia dengan lingkungan atau alam (Al-Kilani , 1987; Sumantri, 2015)

dalam ceruk ekologi dimana manusia tinggal (Goleman, 2010).

Jadi, kesalehan ekologis adalah perilaku menjaga, mengelola,

melestarikan, memperbaiki dan mendayagunakan lingkungan untuk

kemaslahatan bersama, sebagai wujud tanggungjawab menjadi khalifah dan

dalam rangka mengabdi kepada Allah.

6. motivasi

Istilah motivasi berasal dari kata motive atau to move (Prihartanta, 2015)

dapat dimaknai sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu yang

menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat (Uno, 2009). Handayani

(2017) menyebut sebagai suatu kumpulan proses psikologis yang memiliki kekuatan

di dalam diri seseorang yang menyebabkan pergerakan, arahan, usaha, dan kegigihan

dalam menghadapi rintangan untuk mencapai suatu tujuan. Schunk, Pintrich dan

Meece (2012) mengistilahkan sebagai proses di mana aktivitas yang terarah pada

suatu tujuan tertentu didorong dan dipertahankan.

Motif tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat diinterpretasikan

dalam tingkah lakunya berupa rangsangan dorongan atau pembangkit tenaga

munculnya suatu tingkah laku tertentu.

Motif dapat dibedakan menjadi tiga yaitu (1) motif biogenesis yakni motif-

motif yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan organisme demi kelanjutan hidupnya

misalnya rasa lapar haus kebutuhan akan kegiatan istirahat mengambil nafas

seksualitas dan sebagainya. (2) motif sosiogenetis yaitu motif-motif yang

berkembang berasal dari lingkungan kebudayaan tempat orang tersebut berada. Jadi

motif ini tidak berkembang dengan sendirinya tetapi dipengaruhi oleh lingkungan

kebudayaan setempat misalnya keinginan mendengarkan musik dan lain-lain. (3)

motif teologis dalam motif ini manusia adalah sebagai makhluk yang berketuhanan

87

sehingga ada interaksi antara manusia dengan Tuhannya seperti ibadahnya dalam

kehidupan sehari-hari misalnya keinginan untuk mengabdi kepada Tuhan Yang

Maha Esa untuk merealisasikan norma-norma sesuai agamanya

Menurut Uno (2009) dari sudut sumber yang menimbulkannya motivasi

dibedakan menjadi dua macam yaitu intrinsik dan ekstrinsik.

Motivasi intrinsik adalah motivasi untuk melibatkan diri dalam suatu aktifitas

karena nilai atau manfaat aktivitas itu sendiri (Schunk et al., 2012), yakni motivasi

yang muncul dari dalam atau kebutuhan bawaan dan timbulnya tidak memerlukan

rangsangan dari luar karena memang telah ada dalam diri individu sendiri (Abbas,

2013; Dauyah & Yulinar, 2018; Harmalis, 2019; Lukito et al., 2016; Uno, 2009).

Motivasi ini mengalami diferensiasi seiring perkembangan, melalui internalisasi

nilai-nilai danpengaruh pengaturan diri. Menurut Schunk, Pintrich dan Meece

(2012), motivasi intrinsik terbukti dapat meningkatkan pembelajaran dan prestasi

lebih baik dari pada yang dapat ditingkatkan oleh motivasi ekstrinsik. Oleh

karenanya pendidikan harus berusaha menimbulkan motivasi intrinsik dengan

menumbuhkan dan mengembangkan minat siswa terhadap bidang-bidang yang

relevan (Uno, 2009).

Schunk, Pintrich dan Meece (2012) lebih lanjut menjelaskan bahwa motivasi

intrinsik dapat dipengaruhi melalui empat sumber yaitu tantangan, keingintahuan,

kontrol dan fantasi dan ditunjukkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 1 Sumber Motivasi Intrinsik dan Implikasinya

Sumber Implikasi Tantangan Berikanlah kepada para siswa tugas-tugas berlevel kesukaran

menengah, yang mereka rasakan efektif untuk mencapainya Keingintahuan Berikanlah kepada para siswa informasoi yang mengejutkan

yang memotivasi siswa untuk mengakhiri kesenjangan dengan pengetahuan siswa

Kontrol

Berikan kepada para siswa berbagai pilihan dan rasa mengontrol hasil-hasil hasil pembelajaran siswa

Fantasi

Libatkanlah para siswa dalam fantasi dan situasi tiruan melalui berbagai simulasi dan permainan.

Sumber: Schunk, Pintrich dan Meece, 2012

Aktivitas yang menantang penggunaan keterampilan para siswa mungkin

secara intrinsik memotivasi. Aktivitas tersebut harus berada pada level keseukaran

menengan, dimana siswa mampu mengembangkan keterampilannya. Pencapaian

88

tujuan yang menantang memberikan informasi kepada siswa bahwa mereka menjadi

lebih kompeten. Pada gilirannya siswa cenderung menetapkan tujuan-tujuan baru

yang lebih menantang.

Keingintahuan didorong oleh aktivitas yang menyajikan para siswa dengan

informasi atau ide yang tidak sesuai dengan pengetahuan atau keyakinan mereka saat

ini dan yang tampak mengejutkan atau tidak kongruen. Ketidakongruenan tersebut

memotivasi para siswa untuk mencari informasi dan menyelesaikan kesenjangan

tersebut. Sama seperti tantangan kesenjangan yang moderat adalah yang paling

efektif karena kesenjangan yang moderat dengan mudah digabungkan dengan

kerangka acuan mental individu, kesenjangan yang besar mungkin dapat cepat

dianggap tidak signifikan. Siswa perlu memiliki dasar pengetahuan yang sudah ada

sebelumnya, sehingga siswa dapat menyadari adanya suatu kesenjangan. Tanpa

adanya pengetahuan prasyarat ini tidak akan berefek banyak. Siswa juga harus

meyakini bahwa kesenjangan ini dapat dikelola, yang mana keyakinan ini dapat

dibantu perkembangannya melalui kesenjangan yang moderat. Siswa merasa ingin

tahu yang meyakini bahwa kesenjangan tersebut dapat diselesaikan seharusnya

merasakan keefektifan diri dan termotivasi untuk mengelola kesenjangan tersebut

dan belajar.

Aktivitas yang memberikan kepada siswa rasa kontrol terhadap hasil-hasil

akademis mungkin meningkatkan motivasi intrinsik. Persepsi kompetensi dan

kontrol personal siswa berkaitan posotif dengan motivasi intrinsik akademik siswa

dan prefernasi siswa terhadap tantangan. Memberikan kepada siswa berbagai pilihan

aktivitas dan suatu peran, menetapkan aturan dan prosedur dapat membantu

perkembangan persepsi kontrol. Persepsi kontrol juga dapat menimbulkan rasa

keefektifan diri untuk berkinerja baik. Sedangkan siswa yang tidak termotivasi untuk

melibatkan diri dalam aktivitas ketika mereka meyakini tindakan mereka, hanya

sedikit hubungannya dengan hasil-hasil. Persepsi kekurangan kontrol berkaitan

dengan ketidakberdayaan yang dipelajari

Motivasi intrinsik dapat ditingkatkan dengan menyajikan aktivitas yang

melibatkan siswa dalam fantasi atau situasi tiruan melalui berbagai simulasi dan

permainan, yang menempatkan mereka dalam berbagai situasi yang tidak benar-

benar ada. Dengan mengidentifikasikan diri dengan berbagai karakter fiktif, siswa

89

dapat memperoleh kesenangan yang dirasakan oleh berbagai karakter karakter fiktif

tersebut, yang biasanya tidak tersedia bagi diri mereka. Siswa yang menempatkan

nilai yang lebih besar pada pembelajaran cenderung lebih termotivasi secara intrinsik

pada aktivitas pembelajaran.

Motivasi ekstrinsik adalah motivasi melibatkan diri dalam sebuah aktivitas

sebagai suatu cara mencapai sebuah tujuan (Schunk et al., 2012), yakni motivasi

yang terbentuk karena faktor-faktor eksternal seperti untuk menerima ganjaran atau

menghindari hukuman (Harmalis, 2019; Prihartanta, 2015; Uno, 2009). Individu-

individu yang termotivasi secara ekstrinsik mengerjakan tugas-tugas karena mereka

meyakini bahwa partisipasi tersebut akan menyebabkan berbagai konsekuensi yang

diinginkan, seperti mendapatkan hadiah, menerima pujian atau terhindar dari

hukuman (Abbas, 2013; Handayani, 2017) atau karena melihat manfaatnya (Uno,

2009).

Menurut Uno (2009), dari berbagai teori tentang motivasi yang dikemukakan

oleh para ahli, terdapat berbagai teori motivasi yang bertitik tolak pada dorongan

yang berbeda satu sama lainnya. Ada teori motivasi yang bertitik tolak pada

dorongan dan pencapaian kepuasan,ada pula yang bertitik tolak pada asas

kebutuhan. Motivasi menurut kebutuhan saat ini banyak diminati.

Motivasi dianggap oleh banyak pendidik sebagai faktor yang sangat penting

dalam meningkatkan keterlibatan dan aktivitas siswa dalam pembelajaran dan

memiliki memiliki fungsi yang sangat penting karena motivasi menentukan usaha

siswa dalam proses belajar (Handayani, 2017)

Jadi dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah dorongan internal dan

eksternal dalam diri seseorang untuk mengadakan perubahan tingkah laku, dengan

indikator hasrat dan keinginan untuk melakukan kegiatan, adanya dorongan dan

kebutuhan, melakukan kegiatan adanya harapan dan cita-cita, penghargaan dan

penghormatan atas diri, adanya lingkungan yang baik dan adanya kegiatan yang

menarik.