66
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Tinjauan Teori Perilaku 2.1.1 Pengertian Perilaku Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati langsung (Notoatmodjo, 2012). Skinner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan 16

BAB II kesehatan masyarakat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kesehatan masyarakat

Citation preview

Page 1: BAB II kesehatan masyarakat

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori Perilaku

2.1.1 Pengertian Perilaku

Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas

organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu, dari sudut

pandang biologis semua makhluk hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan,

binatang sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka

mempunyai aktivitas masing-masing. Sehingga yang dimaksud dengan

perilaku manusia, pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari

manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas, baik

yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati langsung

(Notoatmodjo, 2012).

Skinner (1938) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku

merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan

dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus

terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka

teori Skinner ini disebut teori “SOR” atau Stimulus Organisme Respons

(dalam Notoatmodjo, 2012). Menurut Ensiklopedia Amerika perilaku

diartikan sebagai suatu aksi atau reaksi organisme terhadap

lingkungannya. Hal ini berarti bahwa perilaku baru terjadi apabila ada

sesuatu yang diperlukan untuk menimbulkan reaksi, yakni yang disebut

16

Page 2: BAB II kesehatan masyarakat

rangsangan. Dengan demikian maka suatu rangsangan akan menghasilkan

reaksi atau perilaku tertentu (dalam Amalia, 2013).

Dengan demikian berdasarkan pengertian diatas yang dimaksud

dengan perilaku secara umum adalah kegiatan atau tindakan seseorang

baik yang dapat diamati langsung maupun tidak langsung dengan proses

adanya rangsangan atau stimulus dari lingkungannya.

2.1.2 Perilaku Masyarakat Terhadap Kesehatan

Masyarakat memiliki beberapa macam perilaku terhadap kesehatan.

Berdasarkan batasan perilaku dari Skinner tersebut, maka perilaku

kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme terhadap stimulus

atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan

kesehatan, makanan, dan minuman, serta lingkungan. Dari batasan ini,

perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok.

1. Perilaku pemeliharaan kesehatan (Health maintenance)

Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau

menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan

bilamana sakit. Oleh sebab itu, perilaku pemeliharaan kesehatan ini

terdiri dari tiga aspek, yaitu:

a. Perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila

sakit, serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari

penyakit.

b. Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan

sehat. Penjelasan yang dimaksud ini adalah bahwa kesehatan itu

17

Page 3: BAB II kesehatan masyarakat

sangat dinamis dan relatif, maka dari itu orang yang sehat pun

perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan yang

seoptimal mungkin. Defini kesehatan itu sendiri menurut Undang-

Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 adalah bahwa kesehatan itu

mencakup lima aspek yakni fisik (badan), mental (jiwa), sosial,

spiritual, dan ekonomi.

c. Perilaku gizi (makanan dan minuman), hal ini tergantung pada

perilaku seseorang terhadap makanan dan minuman tersebut.

2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan

kesehatan, atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health

seeking behavior)

Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada

saat menderita penyakit dan atau kecelakaan. Perilaku ini dimulai dari

mengobati sendiri sampai mencari pengobatan ke luar negeri.

3. Perilaku kesehatan lingkungan

Bagaimana seseorang merespons lingkungan, baik lingkungan fisik

maupun sosial budaya, dan sebagainya, sehingga lingkungan tersebut

tidak mempengaruhi kesehatannya. Dengan perkataan lain, bagaimana

seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu

kesehatannya sendiri, keluarga, atau masyarakatnya. Misalnya

bagaimana seseorang memelihara lingkungan rumahnya supaya tidak

ada jentik nyamuk DBD agar terhindar dari gigitan nyamuk DBD

(Notoatmodjo, 2012).

18

Page 4: BAB II kesehatan masyarakat

2.1.3 Domain Perilaku

Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap

stimulus atau rangsangan dari luar organisme (orang), namun dalam

memberikan respons sangat tergantung pada karakterisitik atau faktor-

faktor lain dari orang yang bersangkutan. Hal ini berarti meskipun

stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respons tiap-tiap orang

berbeda. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang

berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat

dibedakan menjadi dua, yakni:

1. Determinan atau faktor internal, yakni karak teristik orang yang

bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat

kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan

fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor

lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai

perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2012).

2.1.4 Perubahan (Adopsi) Perilaku dan Indikatornya

Perubahan atau adopsi perilaku baru adalah suatu proses yang

kompleks dan memerlukan waktu yang relative lama. Secara teori

perubahan perilaku seseorang menerima atau mengadopsi perilaku baru

dalam kehidupannya melalui tiga tahap.

19

Page 5: BAB II kesehatan masyarakat

1. Perubahan Pengetahuan

Sebelum seseorang mengadopsi perilaku (berperilaku baru), ia

harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi

dirinya atau keluarganya. Orang akan melakukan pemberantasan

sarang nyamuk (PSN) apabila ia tahu apa tujuan dan manfaatnya bagi

kesehatan atau keluarganya, dan apa bahayanya bila tidak melakukan

PSN tersebut. Indikator-indikator apa yang dapat digunakan untuk

mengetahui tingkat pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan,

dapat dikelompokkan menjadi:

a. pengetahuan tentang sakit dan penyakit yang meliputi:

1) penyebab penyakit

2) gejala atau tanda-tanda penyakit

3) bagaimana cara pengobatan, atau ke mana mencari pengobatan

4) bagaimana cara penularannya

5) bagaimana cara pencegahannya termasuk imunisasi, dan

sebagainya

b. pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup

sehat, meliputi:

1) jenis-jenis makanan yang bergizi

2) manfaat makan yang bergizi bagi kesehatannya

3) pentingnya olahraga bagi kesehatan

4) penyakit-penyakit atau bahaya merokok, minum-minuman

keras, narkoba, dan sebagainya

20

Page 6: BAB II kesehatan masyarakat

5) pentingnya istirahat cukup, relaksasi, rekreasi, dan sebagainya

bagi kesehatan.

c. pengetahuan tentang kesehatan lingkungan

1) manfaat air bersih

2) cara-cara pembuangan limbah yang sehat, termasuk

pembuangan kotoran yang sehat, dan sampah

3) manfaat pencahayaan dan penerangan rumah yang sehat

4) akibat polusi (polusi air, udara, dan tanah) bagi kesehatan, dan

sebagainya.

Proses Adopsi Perilaku

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perihal yang

didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku

yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974)

mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru

(berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang

berurutan, disingkat AIETA, yang artinya Awareness (kesadaran),

Interest (tertarik pada stimulus), Evaluation (menimbang-nimbang

baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya), Trial (orang

telah mulai mencoba perilaku baru), dan Adoption (subjek telah

berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan

sikapnya terhadap stimulus).

21

Page 7: BAB II kesehatan masyarakat

Namun demikian, dari penelitian selanjutnya Rogers

menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati

tahap-tahap di atas (Notoatmodjo, 2012).

2. Sikap

Telah diuraikan di atas bahwa sikap adalah penilaian (bisa berupa

pendapat) seseorang terhadap stimulus atau objek (dalam hal ini adalah

masalah kesehatan, termasuk penyakit). Setelah seseorang mengetahui

stimulus atau objek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap

terhadap stimulus atau objek kesehatan tersebut. Oleh sebab itu

indikator untuk sikap kesehatan juga sejalan dengan pengetahuan

kesehatan seperti di atas, yakni:

a. Sikap terhadap sakit dan penyakit

Adalah bagaimana penilaian atau pendapat seseorang terhadap:

gejala atau tanda-tanda penyakit, penyebab penyakit, cara penularan

penyakit, cara pencegahan penyakit, dan sebagainya.

b. Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat

Adalah penilaian atau pendapat seseorang terhadap cara-cara

memelihara dan cara-cara (berperilaku) hidup sehat. Dengan

perkataan lain pendapat atau penilaian terhadap makanan, minuman,

olahraga, relaksasi (istirahat), dan sebagainya bagi kesehatannya.

c. Sikap terhadap kesehatan lingkungan

Adalah pendapat atau penilaian seseorang terhadap lingkungan dan

pengaruhnya terhadap kesehatan. Misalnya pendapat atau penilaian

22

Page 8: BAB II kesehatan masyarakat

terhadap air bersih, pembuangan limbah, polusi, melakukan PSN

dengan 3M, dan sebagainya.

3. Praktik atau Tindakan (Practice)

Setelah seseorang mengetahui stimulus atau objek kesehatan,

kemudian mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang

diketahui, proses selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau

mempraktikan apa yang diketahui atau disikapinya dinilai baik. Inilah

yang disebut praktik (practice) kesehatan, atau dapat juga dikatakan

perilaku kesehatan (overt behavior). Oleh sebab itu indikator praktik

kesehatan ini juga mencakup hal-hal tersebut di atas, yakni:

a. Tindakan (praktik) sehubungan dengan penyakit

b. Tindakan (praktik) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan

c. Tindakan (praktik) kesehatan lingkungan

2.1.5 Perubahan Perilaku dan Pendidikan Kesehatan

Menurut Blum dalam Notoatmodjo, 2012 perilaku merupakan faktor

terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan

individu, kelompok, atau masyarakat. Oleh sebab itu, dalam rangka

membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat, intervensi atau upaya

yang ditujukan kepada faktor perilaku ini sangat strategis. Intervensi

terhadap faktor perilaku secara garis besar dapat dilakukan melalui dua

upaya yang saling bertentangan. Masing-masing upaya tersebut

mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kedua upaya tersebut dilakukan

melalui:

23

Page 9: BAB II kesehatan masyarakat

1. Paksaan (Coertion)

Upaya agar masyarakat mengubah perilaku atau mengadopsi

perilaku kesehatan dengan cara-cara tekanan, paksaan atau koersi

(coertion). Upaya ini bisa secara tidak langsung dalam bentuk undang-

undang atau peraturan-peraturan (law enforcement), instruksi-instruksi,

dan secara langsung melalui tekanan-tekanan (fisik atau nonfisik),

sanksi-sanksi, dan sebagainya. Pendekatan atau cara ini biasanya

menimbulkan dampak yang lebih cepat terhadap perubahan perilaku.

Tetapi pada umummnya perubahan atau perilaku baru ini tidak

langgeng (sustainable), karena perubahan perilaku yang dihasilkan

dengan cara ini tidak didasari oleh pengertian dan kesadaran yang

tinggi terhadap tujuan perilaku tersebut dilaksanakan.

2. Pendidikan (Education)

Upaya agar masyarakat berperilaku atau mengadopsi perilaku

kesehatan dengan cara persuasi, bujukan, imbauan, ajakan,

memberikan informasi, memberikan kesadaran, dan sebagainya,

melalui kegiatan yang disebut pendidikan atau promosi kesehatan.

Memang dampak yang timbul dari cara ini terhadap perubahan

perilaku masyarakat, akan memakan waktu lama dibandingkan dengan

cara koersi. Namun demikian, bila perilaku tersebut berhasil diadopsi

masyarakat, maka akan langgeng, bahkan selama hidup dilakukan.

Dalam rangka pembinaan dan peningkatan perilaku kesehatan

masyarakat, tampaknya pendekatan edukasi (pendidikan kesehatan)

24

Page 10: BAB II kesehatan masyarakat

lebih tepat dibandingkan dengan pendekatan koersi. Dapat disimpulkan

bahwa pendidikan atau promosi kesehatan adalah suatu bentuk

intervensi atau upaya yang ditujukan kepada perilaku, agar perilaku

tersebut kondusif untuk kesehatan. Dengan perkata lain, promosi

kesehatan mengupayakan agar perilaku individu, kelompok, atau

masyarakat mempunyai pengaruh positif terhadap pemeliharaan dan

peningkatan kesehatan. Agar intervensi atau upaya tersebut efektif,

maka sebelum dilakukan intervensi perlu dilakukan diagnosis atau

analisis terhadap masalah perilaku tersebut. Konsep umum yang

digunakan untuk mendiagnosis perilaku adalah konsep dari Lawrence

Green (1980). Menurut Green, perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor

utama, yaitu:

a. Faktor predisposisi (Predisposing factor)

Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat

terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap

hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, system nilai yang dianut

masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan

sebagainya.

b. Faktor Pemungkin (Enabling factors)

Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau

fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya air bersih, tempat

pembuangan sampah, tempat pembuangan tinja, ketersediaan

makanan yang bergizi, dan sebagainya. Termasuk juga fasilitas

25

Page 11: BAB II kesehatan masyarakat

pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit, poliklinik,

posyandu, polindes, pos obat desa, dokter atau bidan praktik swasta,

dan sebagainya. Untuk berperilaku sehat, masyarakat memerlukan

sarana dan prasarana pendukung.

Fasilitas ini pada hakikatnya mendukung atau memungkinkan

terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut

faktor pendukung, atau faktor pemungkin. Kemampuan ekonomi

pun juga merupakan faktor pendukung untuk berperilaku sehat.

c. Faktor Penguat (Reinforcing factors)

Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat

(toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas

termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang,

peraturan-peraturan, baik dari pusat maupun pemerintah daerah,

yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat

kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif

dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh

(acuan) dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, dan para petugas,

lebih-lebih para petugas kesehatan. Di samping itu undang-undang

juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut.

Oleh sebab itu, intervensi pendidikan (promosi) kesehatan

hendaknya dimulai dengan mendiagnosis ketiga faktor penyebab

(determinan) tersebut, kemudian intervensinya juga diarahkan

terhadap tiga faktor tersebut. Diagnosis perilaku ini disebut model

26

Page 12: BAB II kesehatan masyarakat

Keturunan

Pelayanan Kesehatan

Predisposing Factors (Pengetahuan, sikap,

kepercayaan, tradisisi, nilai, dsb.

Reinforcing Factors (sikap dan perilaku petugas, peraturan

UU, dll

Enabling Factors (ketersediaan sumber-

sumber/fasilitas)

Perilaku

Status Kesehatan Lingkungan

Training Advokasi, dll

Pemberdayaan Masyarakat (Pemberdayaan Sosial)

Komunikasai (Penyuluhan)

Edukasi

Promosi kesehatan

“Precede” atau predisposing, reinforcing and enabling cause in

educational diagnosis and evaluation (Green, 1980 dalam

Notoatmodjo, 2012).

Gambar 2.1Hubungan Status Kesehatan, Perilaku, dan Promosi Kesehatan

Apabila konsep Blum yang menjelaskan bahwa derajat kesehatan itu

dipengaruhi oleh empat faktor utama, yakni lingkungan, perilaku,

pelayanan kesehatan, dan keturunan (hereditas), maka promosi kesehatan

adalah sebuah intervensi terhadap faktor perilaku (konsep Green), maka

27

Page 13: BAB II kesehatan masyarakat

kedua konsep tersebut dapat diilustrasikan seperti gambar 2.1 di atas

(Notoatmodjo, 2012).

2.2 Demam Berdarah Dengue (DBD)

Penyakit DBD merupakan penyakit menular yang bersumber binatang,

penyakit ini ditularkan oleh gigitan nyamuk. Dibawah ini akan dijelaskan

mengenai tinjauan umum yang berkaitan dengan penyakit DBD sebagai

berikut:

2.2.1 Pengertian DBD

Pengertian Demam Berdarah Dengue atau dalam bahasa inggris

Dengue Haemoragic Fever menurut Arief Mansjoer & Suprohaita,

2000 adalah penyakit demam akut yang disertai dengan adanya

manisfestasi perdarahan, yang bertendensi mengakibatkan renjatan

(syok) yang dapat menyebabkan kematian (dalam Indah, 2014).

Menurut Soegijanto (2006) DBD adalah penyakit yang disebabkan

oleh virus dengue I, II, III, IV yang ditularkan oleh nyamuk Aedes

aegypti dan Aedes albopictus (dalam Anonim).

Sedangkan menurut Depkes RI, 2005 Demam berdarah dengue

(DBD) adalah penyakit yang ditandai dengan: (1) demam tinggi

mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama

2-7 hari, (2) Manisfestasi perdarahan (petekie, purpura, perdarahan

konjungtivita, epistaksis, ekimosis, perdarahan mukosa, perdarahan

gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji tourniquet (Rumple

Leede) positif, (3) Trombositopenia (jumlah trombosit ≤ 100.000/µl),

28

Page 14: BAB II kesehatan masyarakat

(4) Hemokonsentrasi (Peningkatan hematokrit ≥ 20 %), dan (5)

Disertai dengan atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali).

DBD pada umumnya menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade

terakhir terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi pada

kelompok umur dewasa. Penyebab DBD adalah virus dengue yang

sampai sekarang dikenal 4 serotipe (Dengue-1, Dengue-2, Dengue-3,

dan Dengue-4), termasuk dalam grup B Arthropod Borne Virus

(Arbovirus). Ke-empat serotipe virus ini telah ditemukan di berbagai

daerah di Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa

Dengue-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan

serotipe yang paling luas distribusinya disusul oleh Dengue-2, Dengue-

1 dan Dengue-4 (Depkes RI, 2005).

Dengan demikian berdasarkan pengertian diatas yang dimaksud

dengan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit

demam akut selama 2-7 hari dengan adanya perdarahan yang

disebabkan oleh virus dengue I, II, III, dan IV yang ditularkan oleh

nyamuk jenis Aedes Aegypti dan Aedes Albopictus yang dapat

menyerang semua kelompok umur dan dapat menyebabkan kematian.

2.2.2 Tanda dan Gejala Penyakit DBD

1. Demam

DBD didahului oleh demam tinggi yang mendadak, terus menerus,

berlangsung 2-7 hari dan panasnya naik turun kurang lebih dari hari

ketiga sampai ketujuh.

29

Page 15: BAB II kesehatan masyarakat

2. Tanda-tanda Perdarahan

Perdarahan ini terjadi disemua organ. Bentuk perdarahan ini hanya

dapat uji Tourniquet (Rumple Leede) positif dalam bentuk satu atau

lebih manifestasi perdarahan, salah satunya adalah petekie yang

merupakan tanda perdarahan yang sering ditemukan, tanda ini dapat

muncul pada hari-hari pertama.

3. Pembesaran Hati (hepatomegali)

Sifat pembesaran hati ini pada umumnya dapat ditemukan pada

permulaan penyakit, tidak sejajar dengan beratnya penyakit dan

adanya nyeri tekan sering ditemukan tanpa disertai ikterus.

4. Renjatan (syok)

Tanda-tanda renjatan ini kulit teraba dingin dan lembab terutama

pada ujung hidung, jari tangan dan kaki, penderita menjadi gelisah,

sianosis disekitar mulut, nadi cepat, lemah, kecil sampai tak teraba

dan tekanan nadi menurun sampai 80 mmHg atau kurang.

5. Trombositopeni

Jumlah trombosit ≤ 100.000/µl biasanya ditemukan diantara hari ke

3-7 sakit. Pemeriksaan trombosit perlu diulang sampai terbukti

bahwa jumlah trombosit dalam batas normal atau menurun.

6. Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)

Peningkatan nilai hematokrit (Ht) menggambarkan hemokonsentrasi

selalu dijumpai pada DBD, merupakan indikator yang peka

30

Page 16: BAB II kesehatan masyarakat

terjadinya perembesan plasma, sehingga dilakukan pemeriksaan

hematokrit secara berkala.

7. Gejala klinik lain

Gejala klinik lain yang dapat menyertai penderita DBD ialah nyeri

otot, anoreksia, lemah, mual, muntah, sakit perut, diare atau

konstipasi, dan kejang. Pada beberapa kasus terjadi hiperpireksia

disertai kejang dan penurunan kesadaran sehingga sering di

diagnosis sebagai ensefalitis, selain itu adalah keluhan sakit perut

yang hebat sering kali timbul mendahului perdarahan

gastrointestinal dan renjatan (Depkes RI, 2005).

2.2.3 Diagnosis Klinis DBD

Diagnosis klinis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis

menurut WHO terdiri dari kriteria klinis dan laboratoris. Penggunaan

kriteria ini dimaksudkan untuk mengurangi diagnosis yang berlebihan.

Berikut tanda-tanda kriteria klinis dan Kriteria Laboratoris:

1. Kriteria klinis

a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung

terus menerus selama 2-7 hari.

b. Terdapat manifestasi perdarahan, sekurang-kurangnya uji

Tourniquet (Rumple Leede) positif. Tanda-tanda perdarahan ini

terjadi di semua organ.

c. Pembesaran hati (hepatomegali)

d. Syok (renjatan)

31

Page 17: BAB II kesehatan masyarakat

2. Kriteria Laboratoris

a. Trombositopenia (jumlah trombosit ≤ 100.000/µl.

b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit

≥20% (Depkes RI, 2005).

2.2.4 Masa Inkubasi Penyakit DBD

Terdapat masa inkubasi ekstrinsik dan masa inkubasi intrinsik.

Masa inkubasi ekstrinsik merupakan periode waktu perkembangbiakan

virus dalam kelenjar liur nyamuk sampai dapat menularkan pada

manusia yang berkisar 8 – 10 hari. Masa inkubasi intrinsik merupakan

periode waktu perkembangbiakan virus didalam tubuh manusia sejak

masuk sampai timbulnya gejala penyakit yang berkisar 4 – 6 hari

(Kemenkes RI, 2011).

2.2.5 Epidemiologi Penyakit DBD

Di Indonesia, KLB DBD sering terjadi pada saat perubahan musim

dari kemarau ke hujan atau sebaliknya. Hampir sebagian besar wilayah

Indonesia endemis DBD. KLB DBD dapat terjadi di daerah yang

memiliki sistim pembuangan dan penyediaan air tidak memadai, baik di

pedesaan maupun perkotaan. Serangan DBD sering terjadi pada daerah

yang padat penduduk dan kumuh (Kemennkes RI, 2011).

Frekuensi KLB DBD semakin tahun semakin meningkat, daerah

yang terserang juga semakin luas. Berdasarkan data yang ada dapat

diidentifikasi terjadinya peningkatan frekuensi serangan setiap 3-5

tahun sekali dengan jumlah penderita yang lebih besar. Walaupun risiko

32

Page 18: BAB II kesehatan masyarakat

kematian diantara penderita DBD (CFR) semakin menurun tetapi

jumlah kematian DBD (angka kematian) semakin meningkat

(Kemenkes RI, 2011).

2.2.6 Penularan Virus DBD

1. Sumber dan Cara Penularan

Sumber penularan penyakit adalah manusia dan nyamuk Aedes.

Manusia tertular melalui gigitan nyamuk Aedes yang telah terinfeksi

virus dengue, sebaliknya nyamuk terinfeksi ketika menggigit

manusia dalam stadium viremia. Viremia terjadi pada satu atau dua

hari sebelum awal munculnya gejala. Terdapat 2 jenis vektor, yaitu

Ae. aegypti dan Ae. albopictus. Ae.aegypti merupakan vektor utama

(Kemenkes RI, 2011).

2. Mekanisme Penularan

Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari

sebelum demam. Bila penderita DBD digigit nyamuk penular, maka

virus dalam darah akan ikut terisap masuk ke dalam lambung

nyamuk, selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar di

berbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk di dalam kelenjar liurnya.

Kira-kira 1 (satu) minggu setelah menghisap darah penderita,

nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain (masa

inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan tetap berada dalam tubuh

nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu nyamuk Aedes aegypti

yang telah mengisap virus dengue menjadi penular (infektif)

33

Page 19: BAB II kesehatan masyarakat

sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk

menusuk (menggigit), sebelum mengisap darah akan mengeluarkan

air liur melalui saluran alat tusuknya (proboscis), agar darah yang

diisap tidak membeku. Bersama air liur inilah virus dengue

dipindahkan dari nyamuk ke orang lain (Depkes RI, 2005).

Mekanisme penularan DBD yaitu seperti pada gambar 2.2 dibawah

ini:

Gambar 2.2 Mekanisme Penularan DBD

2.2.7 Ciri-ciri Nyamuk DBD (Aedes Aegypti)

Nyamuk penular penyakit DBD mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Nyamuk Aedes aegypti berwarna hitam dengan belang-belang

(loreng) putih pada seluruh tubuhnya.

2. Hidup di dalam dan di sekitar rumah, juga ditemukan di tempat

umum.

3. Mampu terbang sampai 100 meter.

34

Page 20: BAB II kesehatan masyarakat

4. Nyamuk betina aktif menggigit (menghisap) darah pada pagi hari

sampai sore hari. Nyamuk jantan biasa menghisap sari

bunga/tumbuhan yang mengandung gula.

5. Umur nyamuk Aedes aegypti rata-rata 2 minggu, tetapi sebagian

diantaranya dapat hidup 2-3 bulan (Depkes RI, 2007).

Gambar 2.3 Nyamuk Aedes Aegypti

2.2.8 Siklus Hidup Nyamuk DBD (Aedes Aegypti)

Nyamuk Aedes aegypti seperti juga nyamuk Anophelini lainnya

mengalami metamorfosis sempurna, yaitu: (Telur Jentik

Kepompong Nyamuk). Stadium telur, jentik dan kepompong hidup

di dalam air. Pada umumnya telur akan menetas menjadi jentik dalam

waktu ±2 hari setelah telur terendam air. Stadium jentik biasanya

berlangsung 6-8 hari, dan stadium kepompong berlangsung antara 2-4

hari. Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari.

Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan (Depkes RI, 2005).

35

Page 21: BAB II kesehatan masyarakat

Gambar 2.4 Siklus Hidup Nyamuk Aedes Aegypti

2.2.9 Morfologi Nyamuk DBD (Aedes Aegypti)

Aedes aegypti mempunyai morfologi sebagai berikut :

1. Nyamuk dewasa

Nyamuk Aedes aegypti betina menghisap darah manusia setiap 2

hari. Protein dari darah tersebut diperlukan untuk pematangan telur

yang dikandungnya. Setelah menghisap darah, nyamuk ini akan

mencari tempat hinggap ((beristirahat) (biasanya di tempat yang

agak gelap dan lembab)). Setelah masa istirahat selesai, nyamuk itu

akan meletakkan telurnya pada dinding bak mandi/WC, tempayan,

drum, kaleng, ban bekas, dan lain-lain. Biasanya sedikit di atas

permukaan air. Selanjutnya nyamuk akan mencari mangsanya

(menghisap darah) lagi dan seterusnya (Depkes RI, 2007).

Nyamuk Aedes Aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan atau

sari bunga untuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina

mengisap darah. Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia

daripada binatang (bersifat antropofilik). Darah (proteinnya)

36

Page 22: BAB II kesehatan masyarakat

diperlukan untuk mematangkan telur agar jika dibuahi oleh sperma

nyamuk jantan, dapat menetas. Biasanya nyamuk betina mencari

mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya mulai

pagi sampai petang hari, dengan 2 puncak aktivitas antara pukul

09.00 – 10.00 dan 16.00 – 17.00. Tidak seperti nyamuk lain, Aedes

Aegypti mempunyai kebiasaan mengisap darah berulang kali, untuk

memenuhi lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini

sangat efektif sabagai penular penyakit (Depkes RI, 2005).

2. Kepompong

Kepompong (pupa) berbentuk seperti “koma”. Bentuknya lebih

besar namun lebih ramping dibanding larva (jentik)nya. Pupa ini

berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata pupa

nyamuk lainnya (Depkes RI, 2005). Gerakannya lamban, sering

berada di permukaan air (Depkes RI, 2007).

3. Jentik (larva)

Ada 4 tingkat (instar) jentik sesuai dengan pertumbuhan larva

tersebut, yaitu: (Depkes RI, 2005)

a. Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm

b. Instar II : 2,5 – 3,8 mm

c. Instar III : lebih besar sedikit dari larva Instar II

d. Instar IV : berukuran paling besar 5 mm

Jentik nyamuk ini akan selalu bergerak aktif dalam air

berulang-ulang dari bawah ke atas permukaan air untuk

37

Page 23: BAB II kesehatan masyarakat

bernafas (mengambil udara) kemudian turun, kembali kebawah

dan seterusnya. Pada waktu istirahat, posisinya hampir tegak

lurus dengan permukaan air. Biasanya berada di sekitar dinding

tempat penampungan air. (Depkes RI, 2007).

4. Telur

Telur berwarna hitam dengan ukuran ±0,80 mm, berbentuk oval

yang mengapung satu per satu pada permukaan air yang jernih, atau

menempel pada dinding tempat penampung air (Depkes RI, 2005).

Setiap kali bertelur, nyamuk betina dapat mengeluarkan telur

sebanyak 100 butir. Telur ini ditempat yang kering dapat bertahan

sampai 6 bulan. (Depkes RI, 2007).

2.2.10 Tempat Berkembangbiak Nyamuk DBD

Tempat perkembang-biakan utama ialah tempat-tempat

penampungan air berupa genangan air yang tertampung disuatu

tempat atau bejana di dalam atau sekitar rumah atau tempat-tempat

umum, biasanya tidak melebihi jarak 500 meter dari rumah. Nyamuk

ini biasanya tidak dapat berkembang biak di genangan air yang

langsung berhubungan dengan tanah.

Jenis tempat perkembang biakan nyamuk Aedes Aegypti dapat

dikelompokkan sebagai berikut :

1. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari,

seperti: drum, tangki reservoir, bak mandi/wc, ember, dll.

38

Page 24: BAB II kesehatan masyarakat

2. TPA bukan untuk keperluan sehari-hari seperti: tempat minum

burung, vas bunga, perangkap semut dan barang-barang bekas

(kaleng, botol, plastik, dll).

3. TPA alamiah seperti: lobang pohon, lobang batu, pelepah daun,

tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu (Depkes

RI, 2005).

2.2.11 Penyebaran

Kemampuan terbang nyamuk betina rata-rata 40 meter, maksimal

100 meter, namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa

kendaraan dapat berpindah lebih jauh (Depkes RI, 2005).

Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis dan sub-tropis. Di

Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik di rumah-rumah maupun di

tempat-tempat umum. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembang biak

sampai ketinggian daerah ±1.000 m dari permukaan air laut. Di atas

ketinggian 1.000 m tidak dapat berkembang biak, karena pada

ketinggian tersebut suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak

memungkinkan bagi kehidupan nyamuk tersebut (Depkes RI, 2005).

2.2.12 Variasi Musiman

Pada musim hujan tempat perkembangbiakan Aedes aegypti yang

pada musim kemarau tidak terisi air, mulai terisi air. Telur-telur yang

tadinya belum sempat menetas akan menetas. Selain itu pada musim

hujan semakin banyak tempat penampungan air alamiah yang terisi air

hujan dan dapat digunakan sebagai tempat berkembangbiaknya

39

Page 25: BAB II kesehatan masyarakat

nyamuk ini. Oleh karena itu pada musim hujan populasi Aedes aegypti

meningkat. Bertambahnya populasi nyamuk ini merupakan salah satu

faktor yang menyebabkan peningkatan penularan penyakit dengue

(Depkes RI, 2005), Namun pada akhir-akhir ini hampir sepanjang

tahun selalu didapatkan kasus demam berdarah dengue (Sofro &

Anurogo, 2013).

2.3 Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD)

Cara memberantas nyamuk Demam Berdarah yang tepat guna ialah

dengan melakukan kegiatan Pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah

dengue (PSN-DBD). PSN adalah kegiatan memberantas jentik di tempat

berkembang biaknya nyamuk dengan cara 3M Plus yaitu tindakan yang

dilakukan secara teratur untuk memberantas jentik dan menghindari gigitan

nyamuk demam berdarah (Depkes RI, 2009). Adapun tujuan dari PSN-DBD

ialah mengendalikan populasi nyamuk Aedes Aegypti, sehingga penularan

DBD dapat dicegah atau dikurangi.

Keberhasilan dalam melaksanakan PSN-DBD antara lain dapat diukur

dengan angka bebas jentik (ABJ), apabila ABJ lebih atau sama dengan 95%

diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi (Depkes RI, 2005).

Adapun Sasaran dan cara melaksanakan PSN-DBD adalah sebagai berikut:

2.3.1 Sasaran PSN-DBD

1. Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari.

2. Tempat penampungan air bukanlah untuk keperluan sehari-harai

(Non-TPA).

40

Page 26: BAB II kesehatan masyarakat

Nyamuk Dewasa

Jentik

Dengan insektisida (fogging dan ULV)

Kimiawi

Fisik

Biologi

3. Tempat penampungan air alamiah.

2.3.2 Cara PSN-DBD

Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD dapat dilakukan dengan cara

seperti pada bagan dibawah ini:

Gambar 2.5 Cara Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD (Depkes RI, 2005).

Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan cara

penyemprotan (pengasapan/pengabutan=fogging) dengan insektisida. Alat

yang digunakan untuk menyemprot adalah mesin Fog atau mesin ULV.

Adapun untuk pemberantasan terhadap jentik nyamuk Aedes Aegypti

seperti bagan diatas saat ini lebih dikenal dengan sebutan 3M Plus yaitu

dengan cara 3M berarti melakukan secara fisik, untuk cara kimiawi

menggunakan bubuk abate, dan dengan cara biologi yaitu memelihara ikan

pemakan jentik. Berikut penjelasannya:

1. Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak

mandi/wc, drum, dan lai-lain seminggu sekali (M1).

41

Page 27: BAB II kesehatan masyarakat

2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong

air/tempayan, dan lain-lain (M2).

3. Mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat

menampung air hujan (M3).

4. Plus adalah tindakan memberantas jentik dan menghindari gigitan

nyamuk dengan cara:

a. Membunuh jentik nyamuk Demam Berdarah di tempat air yang

sulit dikuras atau sulit air dengan menaburkan bubuk Temephos

(abate) atau Altosid. Temephos atau Altosid ditaburkan 2-3 bulan

sekali dengan takaran 1 gram abate untuk 10 liter air atau 2,5 gram

Altosid untuk 100 liter air. Abate dapat diperoleh/dibeli di

Puskesmas atau di Apotik.

b. Memelihara ikan pemakan jentik nyamuk.

c. Mengusir nyamuk dengan menggunakan obat nyamuk.

d. Mencegah gigitan nyamuk dengan memakai obat nyamuk gosok.

e. Memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi.

f. Tidak membiasakan menggantung pakaian di dalam kamar

(Depkes RI, 2009).

2.4 Faktor-faktor yang Berhubungan Dengan Perilaku PSN-DBD

Dibawah ini teori yang menjelaskan mengenai variabel-variabel yang

berhubungan dengan perilaku masyarakat dalam PSN-DBD menurut

beberapa penelitian terdahulu diantaranya sebagai berikut:

42

Page 28: BAB II kesehatan masyarakat

2.4.1 Faktor Predisposisi

Faktor Predisposisi adalah faktor yang dapat mempermudah seseorang

untuk melaksanakan tindakan-tindakan yang berhubungan dengan

kesehatan dirinya, faktor tersebut diantaranya adalah:

1. Tingkat Pendidikan

Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 pasal 1, pada dasarnya jenjang

pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan

tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan

kemampuan yang dikembangkan. Menurut UU RI No.20 Tahun 2003

pasal 3 Pendidikan bertujuan untuk “Mencerdaskan kehidupan bangsa

dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia

yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi

pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan

jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan bertanggung jawab

kemasyarakatan dan kebangsaan” (dalam Halifat, 2014). Sehingga dari

pengertian ini jenjang pendidikan yang memiliki suatu pencapaian

tujuan tertentu, diharapkan agar seseorang yang memiliki pendidikan

tinggi dapat memiliki pengetahuan mengenai kesehatan agar perilaku

kesehatan seseorang menjadi baik untuk mencapai derajat kesehatan

yang setinggi-tingginya.

Menurut Undang-Undang No.2 tahun 1999 dalam Zoel Fikar

(2013), pengukuran tingkat pendidikan formal digolongkan menjadi 4

(empat) yaitu:

43

Page 29: BAB II kesehatan masyarakat

a. Tingkat pendidikan sangat tinggi, yaitu minimal pernah menempuh

pendidikan tinggi

b. Tingkat pendidikan tinggi, yaitu pendidikan SLTA/ sederajat

c. Tingkat Pendidikan sedang, yaitu pendidikan SMP/sederajat

d. Tingkat pendidikan rendah, yaitu pendidikan SD/ sederajat

Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara tingkat

pendidikan dengan perilaku PSN-DBD, diantaranya penelitian yang

dilakukan oleh Oktaviani (2008) dan Agustinawati (2013)

menunjukkan adanya hubungan tingkat pendidikan dengan perilaku

PSN-DBD.

2. Sosial Ekonomi (Pendapatan)

Menurut Shadily, 1984 istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani

yaitu “oikos” yang artinya rumah tangga dan “nomos” yang artinya

mengatur, jadi secara harfiah ekonomi berarti cara mengatur rumah

tangga. Menurut Sumardi dan Evers (1982) dalam Nugroho (2009)

pendapatan adalah uang yang diterima dan diberikan kepada subyek

ekonomi berdasarkan prestasi-prestasinya yang diserahkan yaitu

berupa pendapatan dari pekerjaan, pendapatan dari profesi yang

dilakukan sendiri atau usaha perorangan, dan pendapatan dari

kekayaan serta dari sektor subsistens. Ditambahkan pula pengertian

pendapatan subsistens menurut Sumardi dan Evers (1982) yang berarti

“pendapatan yang diterima dari usaha-usaha yang tidak dipasarkan

untuk memenuhi keperluan hidup keluarga”.

44

Page 30: BAB II kesehatan masyarakat

Biro Pusat statistik merinci pendapatan dalam kategori sebagai berikut:

a. Pendapatan berupa uang adalah segala penghasilan berupa uang

yang sifatnya regular dan diterima biasanya sebagai balas atau

kontra prestasi, sumbernya berasal dari:

1) Gaji dan upah yang diterima dari gaji pokok, kerja sampingan,

kerja lembur dan kerja kadang-kadang.

2) Usaha sendiri yang meliputi hasil bersih dari usaha sendiri,

komisi, penjualan dari kerajinan rumah.

3) Hasil investasi yakni pendapatan yang diperoleh dari hak milik

tanah. Keuntungan serial yakni pendapatan yang diperoleh dari

hak milik.

b. Pendapatan yang berupa barang yaitu: Pembayaran upah dan gaji

yang ditentukan dalam beras, pengobatan, transportasi, perumahan

dan kreasi.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas Pitono dalam wijaksana

(1992) mendefinisikan pendapatan adalah sebagai “Seluruh

penerimaan baik berupa uang ataupun barang baik dari pihak lain

maupun dari hasil sendiri, dengan jalan dinilai sejumlah atas harga

yang berlaku saat ini”.

Berdasarkan penggolongannya, BPS membedakan pendapatan

penduduk menjadi 4 golongan yaitu:

1) Golongan pendapatan sangat tinggi adalah jika pendapatan rata-

rata lebih dari Rp. 3.500.000,00 per bulan.

45

Page 31: BAB II kesehatan masyarakat

2) Golongan pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-rata

antara Rp. 2.500.000,00 s/d Rp. 3.500.000,00 per bulan.

3) Golongan pendapatan sedang adalah jika pendapatan rata-rata

dibawah antara Rp. 1.500.000 s/d Rp. 2.500.000,00 per bulan.

Golongan pendapatan rendah adalah jika pendapatan rata-rata

Rp. 1.500.000,00 per bulan. Dari keterangan diatas dapat dikatakan

bahwa pendapatan juga sangat berpengaruh terhadap tingkat

ekonomi seseorang. Apabila seseorang mempunyai pendapatan

yang tinggi, maka dapat dikatakan bahwa tingkat ekonominya

tinggi juga (dalam Anonim).

Menurut teori Green status ekonomi yang baik dapat

mempengaruhi perilaku kesehatan seseorang, sejalan dengan

penelitian Agustinawati (2013) bahwa sosial ekonomi terdapat

hubungan dengan perilaku PSN-DBD, begitu juga penelitian yang

dilakukan oleh (Riyanto) terdapat perbedaan yang bermakna

perilaku terhadap PSN DBD antara responden yang berstatus

ekonomi tinggi dengan responden status ekonomi rendah dengan

nilai (P=0,029). Maka dari itu peneliti ingin melihat hubungan

perilaku responden dengan status ekonomi atau pendapatan

responden.

3. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu

seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Dengan

46

Page 32: BAB II kesehatan masyarakat

sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan

pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan

persepsi terhadap objek. Sebagian besar pengetahuan seseorang

diperoleh malalui indra pendengaran dan indera penglihatan.

Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau

tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6

tingkat pengetahuan, yakni : (Notoatmodjo, 2010)

a. Tahu (know) yang diartikan hanya sebagai recall (memanggil)

memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

Misalnya saja tahu bahwa penyakit demam berdarah ditularkan

oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti dan bagaimana cara

melakukan PSN-DBD, dsb.

b. Memahami (comprehension) tidak hanya sekedar tahu terhadap

objek tersebut, tetapi harus menginterpretasikan secara benar

tentang objek yang diketahuinya tersebut. Misalnya orang yang

memahami cara PSN-DBD, bukan hanya sekedar menyebutkan

3M tetapi juga harus dapat menjelaskan mengapa harus menutup,

menguras, dan mengubur tempat penampungan air tersebut.

c. Aplikasi (application) diartikan apabila orang yang telah

memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau

mengaplikasikan prinsip yang diketahuinya tersebut pada situasi

lain.

47

Page 33: BAB II kesehatan masyarakat

d. Anlisis (analysis) adalah kemampuan seseorang untuk

menjabarkan dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan

antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah

atau objek yang diketahuinya. Misalnya dapat membedakan antara

nyamuk Aedes aegypti dengan nyamuk biasa, dan dapat membuat

diagramnya.

e. Sintesis diartikan dapat menunjukkan suatu kemampuan seseorang

untuk merangkum atau meletakkan dalam suatu hubungan yang

logis dari komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki.

Sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru

dari formulasi-formulasi yang ada.

f. Evaluasi (evaluation) berkaitan dengan kemampuan seseorang

untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek

tertentu biasanya didasarkan pada nilai atau norma yang berlaku di

masyarakat.

Pengetahuan seseorang dapat diketahui dengan skala yang bersifat

kualitatif, yaitu (Arikunto dalam Wawan 2010):

a. Baik : Hasil presentasi 76% - 100%

b. Cukup : Hasil presentasi 56% - 75%

c. Kurang : Hasil presentasi < 56%

Menurut beberapa penelitian yang telah dilakukan sebagian besar

pengetahuan memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku PSN-

48

Page 34: BAB II kesehatan masyarakat

DBD, diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani (2008),

Agustinawati (2013), Sibarani (2007), dan Noralisa (2011).

4. Sikap

Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari

seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata

menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus

tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang

bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Sikap belum merupakan

suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan predisposisi

tindakan suatu perilaku (Notoatmodjo, 2012). Menurut allport (1954)

dalam Notoatmodjo, 2012 sikap memiliki tiga komponen pokok yaitu:

a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.

b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.Misalnya

bagaimana seseorang menilai penyakit DBD itu bahaya atau tidak

atau sikap seseorang menilai penting atau tidak penting melakukan

PSN.

c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave)

Sikap juga memiliki berbagai tingkatan yaitu, (Notoatmodjo, 2012) :

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (objek). Misalnya sikap seseorang terhadap

PSN dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian seseorang terhadap

ceramah-ceramah atau informasi tentang PSN.

49

Page 35: BAB II kesehatan masyarakat

b. Merespons (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari

sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau

mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari pekerjaan itu benar

atau salah, adalah berarti bahwa orang menerima ide tersebut.

c. Menghargai (valving)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya

seseorang yang mengajak tetangga atau saudaranya untuk

melaksanakan PSN, adalah suatu bukti bahwa seseorang tersebut

telah mempunyai sikap positif terhadap pencegahan penyakit DBD.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya

dengan segala risiko merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya

seseorang mau menjadi kader jumantik dan menggerakan

masyarakat untuk rutin melaksanakan PSN seminggu sekali,

meskipun ia tahu resiko nya adalah masyarakat yang terkadang

tidak mau ikut berpartisipasi.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak

langsung. Secara langsung dapat dinyatakan bagaimana pendapat

atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara tidak

50

Page 36: BAB II kesehatan masyarakat

langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis,

kemudian ditanyakan pendapat responden (Notoatmodjo, 2010).

Pengukuran sikap yang langsung bisa diberikan dengan cara

memberikan pendapat dengan menggunakan “Setuju” atau “Tidak

Setuju” pada pertanyaan-pertanyaan terhadap objek tertentu, dan

penilaian tersebut dilakukan menggunakan skala Lickert dengan

cara: sikap positif diberi skor 5 apabila sangat setuju, 4 setuju, 3

biasa saja, 2 tidak setuju, 1 bila sangat tidak setuju. Adapun

pernyataan negatif dengan cara: 1 sangat setuju, 2 setuju, 3 biasa

saja, 4 tidak setuju, dan 5 sangat tidak setuju.

Hasil penjumlahan dari skor yang didapat dari jawaban

responden tersebut diubah kedalam data kualitatif berupa baik,

cukup, atau kurang baik dengan kriteria sebagai berikut (Arikunto,

2009):

a. Sikap baik : jika jawaban benar 76% - 100%

b. Sikap cukup baik : jika jawaban benar 56 – 75%

c. Sikap kurang baik : jika jawaban benar ≤ 55%

Menurut penelitian Oktaviani (2008) dan Noralisa (2011) sikap

memiliki hubungan dengan perilaku PSN-DBD.

2.4.2 Faktor Pemungkin

1. Ketersediaan Sarana Prasarana

Faktor pemungkin ialah faktor yang memungkinkan masyarakat

berperilaku kesehatan dalam hal ini seperti ketersediaan sarana dan

51

Page 37: BAB II kesehatan masyarakat

prasana. Menurut Depkes RI, 1998 yang dikutip oleh Mourbas (2000)

sarana dan prasarana dalam upaya pencegahan dan pemberantasan

DBD yaitu alat atau peralatan yang digunakan dalam menunjang

pelaksanaan kegiatan pencegahan dan pemberantasan DBD.

Dalam pengendalian vektor diperlukan sarana dan prasarana DBD

tentang PERMENKES Nomor: 374/Menkes/Per/III/2010 tentang

pengendalian vektor. Dimana peralatan dan bahan surveilans vektor

adalah semua alat dan bahan yang digunakan untuk kegiatan surveilans

vektor dalam rangka mengumpulkan data dan informasi tentang vektor

yang digunakan sebagai dasar dalam tindakan pengendalian vektor

(dalam Agustinawati, 2013).

Adapun sarana dan prasarana yang digunakan baik oleh masyarakat

maupun petugas kesehatan adalah sebagai berikut:

b. Penyuluhan kesehatan lingkungan, menggunakan sarana berupa

over head projector (OHP), Slide, poster, flip chart dan lain

sebagainya.

c. Pemberantasan sarang nyamuk, menggunakan cangkul, parang,

sekop, gerobak sampah, mobil sampah dan lain sebagainya.

d. Pemeriksaan jentik Aedes Aegypti menggunakan pipet penyedot

jentik, senter, tabung, mikroskop, dan lain sebagainya.

e. Abatisasi menggunakan sendok makan, abate san granula 1% dan

lain sebagainya. (Depkes RI, 1998 dalam Mourbas, 2000).

52

Page 38: BAB II kesehatan masyarakat

Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2012) sarana dan

prasarana termasuk kedalam faktor pemungkin, hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan Agustinawati (2013) di Kabupaten

Kuningan terdapat hubungan antara sarana dan prasarana DBD

dengan perilaku masyarakat dalam PSN-DBD dan penelitian Rambey

(2003) di Kota Jambi bahwa terdapat hubungan antara sarana dan

prasarana dengan perilaku PSN-DBD.

2.4.3 Faktor Penguat

Faktor penguat adalah faktor yang menguatkan atau yang mendukung

perilaku masyarakat kearah perilaku yang dapat memelihara

kesehatannya dalam hal ini adalah upaya pencegahan penyakit DBD

dengan melakukan PSN-DBD. Diharapkan dengan adanya faktor yang

dapat memperkuat perilaku masyarakat, masyarakat berdaya dalam

melakukan PSN-DBD, berikut faktor penguat yang penulis jabarkan:

1. Pemeriksaan jentik nyamuk Aedes Aegypti

Tujuan umum dari pemeriksaan jentik oleh jumantik (juru

pemantau jentik) adalah untuk menurunkan populasi nyamuk penular

demam berdarah dengue serta jentiknya dengan meningkatkan peran

serta masyarakat dalam PSN-DBD melalui jumantik, sedangkan

tujuan khususnya ialah untuk mengetahui kepadatan jentik nyamuk

secara berkala dan terus menerus sebagai indikator keberhasilan

PSN-DBD dalam masyarakat, untuk memotivasi masyarakat dalam

memperhatikan tempat-tempat yang potensial untuk

53

Page 39: BAB II kesehatan masyarakat

perkembangbiakan nyamuk, serta meningkatkan peran serta

masyarakat dalam PSN-DBD (Depkes RI, 2007).

Menurut Kemenkes, 2011 keberhasilan kegiatan PSN-DBD

antara lain dapat diukur dengan angka Bebas Jentik (ABJ), apabila

ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat

dicegah atau dikurangi. Kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB)

dilakukan untuk melihat ABJ guna mengetahui tingkat keberhasilan

PSN melalui 3M baik di permukaan atau di tempat-tempat

umum/industri. Tujuan dari PJB adalah melakukan pemeriksaan

jentik nyamuk penular demam berdarah dengue termasuk memotivasi

keluarga/masyarakat dalam melaksanakan PSN-DBD. Dengan

kunjungan yang berulang-ulang disertai penyuluhan diharapkan

masyarakat dapat melaksanakan PSN-DBD secara teratur dan terus

menerus (Depkes RI, 2005). Pelaksana PJB dilakukan oleh kader,

PKK, Jumantik (juru pemantau jentik) atau tenaga pemeriksa jentik

lainnya,cara melaksanakan PJB adalah :

a. Dilakukan dengan mengunjungi rumah dan tempat-tempat umum

untuk memeriksa tempat penampungan air (TPA), non-TPA dan

tempat penampungan air alamiah. Di dalam dan di luar

rumah/bangunan serta memberikan penyuluhan tentang PSN

DBD kepada keluarga/masyarakat.

54

Page 40: BAB II kesehatan masyarakat

b. Jika ditemukan jentik, anggota keluarga atau pengelola tempat-

tempat umum diminta untuk ikut melihat/menyaksikan,

kemudian lanjutkan dengan PSN DBD (3M atau 3M Plus)

c. Memberikan penjelasan dan anjuran PSN-DBD kepada keluarga

dan pengelola/petugas kebersihan tempat-tempat umum.

d. Mencatat hasil pemeriksaan jentik pada kartu jentik

rumah/bangunan yang ditinggalkan di rumah/bangunan dan pada

formulir JP-1 untuk pelaporan ke puskesmas dan yang terkait

lainnya.

Menurut hasil penelitian Agustinawati (2013) dan Rambey

(2003) ada perbedaan proporsi antara responden yang pernah

dilakukan pemeriksaan jentik dan yang tidak pernah dilakukan

pemeriksaan jentik dengan perilaku dalam PSN-DBD artinya

terdapat hubungan yang signifikan antara pemeriksaan jentik dengan

perilaku responden dalam PSN-DBD.

2. Keterpaparan Informasi

Informasi adalah sebuah pesan yang diberikan kepada khalayak

dengan maksud dan tujuan tertentu. Untuk mewujudkan perilaku

seseorang menjadi sehat, terlebih dulu seseorang itu harus

mendapatkan informasi. Informasi bisa didapatkan dari seseorang

yang menyampaikan pesan atau dari media cetak seperti surat kabar,

majalah, Koran, dan sebagainya atau pun dari media elektronik

seperti TV, radio, dan sebagainya. Apabila seseorang telah mendapat

55

Page 41: BAB II kesehatan masyarakat

informasi dari komunikator (orang atau sumber yang menyampaikan

pesan/informasi) maka disini telah terjalin komunikasi, yang

dimaksud komunikasi menurut Notoatmodjo, 2012 adalah proses

pengoperasian rangsangan (stimulus) dalam bentuk lambing atau

simbol bahasa atau gerak (nonverbal), untuk mempengaruhi perilaku

orang lain.

Sedangkan arti dari Komunikasi kesehatan itu sendiri menurut

Notoatmodjo, 2012 adalah usaha yang sistematis untuk

mempengaruhi secara positif perilaku kesehatan masyarakat, dengan

menggunakan berbagai prinsip dan metode komunikasi, baik

menggunakan komunikasi interpersonal, maupun komunikasi massa.

Sedangkan menurut Liliweri (2007) Komunikasi kesehatan yaitu

studi yang menekankan peranan teori komunikasi yang dapat

digunakan dalam penelitian dan praktik yang berkaitan dengan

promosi kesehatan dan pemeliharaan kesehatan. Oleh karena itu,

tujuan komunikasi kesehatan adalah perubahan perilaku kesehatan

masyarakat dan selanjutnya perilaku masyarakat yang sehat tersebut

akan berpengaruh kepada meningkatnya derajat kesehatan

masyarakat.

Fungsi utama dan pertama dari informasi adalah menyampaikan

pesan (informasi), atau menyebarluaskan informasi yang bersifat

mendidik atau persuasi, dikatakan mendidik artinya, dari

penyebarluasan informasi itu diharapkan para penerima informasi

56

Page 42: BAB II kesehatan masyarakat

akan menambah pengetahuan tentang sesuatu yang ingin dia ketahui,

sedangkan diakatakan persuasi artinya fungsi komunikasi yang

menyebarkan informasi yang dapat memengaruhi (mengubah) sikap

penerima agar dia menentukan sikap dan perilaku yang sesuai dengan

kehendak pengirim (Liliweri, 2007).

Dalam penelitian ini diharapkan masyarakat yang terpapar oleh

informasi mengenai PSN-DBD dapat mengubah perilaku nya menjadi

baik dalam melaksanakan 3M untuk pencegahan DBD. Menurut

penelitian Nuryanti (2013) terdapat hubungan yang signifikan antara

ketersedian informasi dengan perilaku PSN (P=0,0001). Begitu juga

penelitian yang dilakukan oleh Oktaviani (2008) ada hubungan yang

signifikan antara keterpaparan informasi dengan perilaku terhadap

PSN-DBD.

3. Dukungan Toma/Toga

Menurut teori Green dukungan toma/toga termasuk kedalam

faktor penguat, dimana adanya dukungan dari tokoh masyarakat

(toma)/ pamong atau tokoh masyarakat (toga) dapat merubah perilaku

kesehatan seseorang, hal ini sejalan dengan hasil penelitian

Wicaksono (2006) bahwa terdapat hubungan perilaku PSN-DBD

dengan peranan pamong.

57