35
BAB II KONSEP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN A. Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu: 34 1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; 2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi dan; 3. Dalam arti yang paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. Sudarto mengemukakan defenisi singkat, bahwa kebijakan kriminal adalah merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan atau selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan. 35 Defenisi ini diambil oleh dari defenisi Marc Ancel yang merumuskan sebagai “the rational organization of the control of crime by society”. Bertolak dari pengertian yang dikemukakan oleh Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “Criminal policy is the rational organization of the social 34 Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 1. 35 Ibid. Universitas Sumatera Utara

BAB II KONSEP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN KEJAHATAN A. Kebijakan ...repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/47172/3/Chapter... · 2015-06-18 · kriminal pada hakikatnya

Embed Size (px)

Citation preview

 

BAB II

KONSEP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM

PENANGGULANGAN KEJAHATAN

A. Kebijakan Kriminal (Criminal Policy)

Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal,

yaitu:34

1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar

dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,

termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi dan;

3. Dalam arti yang paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan

melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan

untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Sudarto mengemukakan defenisi singkat, bahwa kebijakan kriminal adalah

merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi

kejahatan atau selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan

merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan.35

Defenisi ini diambil oleh dari defenisi Marc Ancel yang merumuskan

sebagai “the rational organization of the control of crime by society”. Bertolak

dari pengertian yang dikemukakan oleh Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels

mengemukakan bahwa “Criminal policy is the rational organization of the social

                                                            34 Barda Nawawi Arief, 2008, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 1. 35 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

 

reaction to crime”. Berbagai defenisi lainnya yang dikemukakan oleh G. Peter

Hoefnagels ialah:36

a. Criminal policy is the science of responses;

b. Criminal policy is the science of crime prevention;

c. Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime;

d. Criminal policy is arational total of the responses to crime.

Istilah Criminal Policy yang dipergunakan oleh Hoefnagels bila

diterjemahkan dalam bahasa Indonesia disebut sebagai “kebijakan kriminal”.

Istilah ini agaknya kurang pas karena seolah-olah mencari suatu kebijakan untuk

membuat kejahatan (kriminal). Istilah ini lebih tepat digunakan sebagai kebijakan

penanggulangan kejahatan.37

Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya

merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence)

dan upaya mencapai kesejahteraan (social welfare). Kebijakan penanggulangan

kejahatan atau bisa disebut juga politik kriminal memiliki tujuan akhir atau tujuan

utama yaitu “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat”. Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) itu sendiri

merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).

Kebijakan penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan social (social

policy) dan termasuk juga dalam kebijakan legislatif (legislative policy). Politik

                                                            36 Ibid., hlm. 2. 37 Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non

Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press, Medan, hlm. 51.

 

Universitas Sumatera Utara

 

kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan sosial

yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.38

Kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) harus melihat

cakupan yang luas yang terkandung dalam suatu sistem hukum (legal system).

Menurut Friedman bahwa sistem hukum adalah memiliki cakupan yang lebih luas

dari hukum itu sendiri. Kata “hukum” sering mengacu hanya pada aturan dan

peraturan. Sedangkan sistem hukum membedakan antara aturan dan peraturan itu

sendiri, serta struktur, lembaga dan proses yang mengisinya. Oleh karena itu,

bekerjanya hukum di dalam suatu sistem menurut Friedman ditentukan oleh tiga

unsur, yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance),

dan budaya hukum (legal culture).39

a. Struktur Hukum (Legal Structure)

Struktur hukum merupakan suatu kerangka yang memberikan definisi dan

batasan dan bentuk bagi bekerjanya sistem tersebut dalam batasan-batasan yang

telah ditentukan secara keseluruhan. Hal ini sebagai mana dikemukakan oleh

Friedman; “The structure of a system is its skeletal framework, it is the permanent

shape, the institutional body of system, the thought, rigid bones that keep the

process flawing within bound“. Jadi struktur hukum dapat dikatakan sebagai

institusi yang menjalankan penegakan hukum dengan segala proses yang

berlangsung di dalamnya. Institusi ini dalam penegakan hukum pidana, tergabung

dalam system peradilan pidana (criminal justice system), yang terdiri atas

                                                            38 Barda Nawawi Arief, Loc. Cit.   39 Bahan-bahan kuliah Politik Hukum Pidana Fakultas Hukum USU tahun 2011.

Universitas Sumatera Utara

 

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, yang menjamin

berjalannya proses peradilan pidana.40

b. Substansi Hukum (legal substance)

Substansi hukum (legal substance) adalah aturan, norma dan pola perilaku

nyata manusia yang berada di dalam sistem tersebut. Substansi hukum juga berarti

produk yang dihasilkan oleh orang-orang yang berada di dalam sistem hukum itu,

baik berupa keputusan yang mereka keluarkan, maupun juga aturan-aturan baru

yang mereka susun. Penting di ingat bahwa substansi hukum ini tidak hanya

terpusat pada hukum yang tertulis saja (law in the book), tetapi juga mencakup

hukum yang hidup di masyarakat (the living law).41

c. Budaya hukum (legal culture)

Budaya hukum (legal culture) adalah sebagai sikap manusia (dalam hal ini

masyarakat) terhadap hukum dan sistem hukum itu sendiri. Sikap masyarakat ini

menyangkut kepercayaan, nilai-nilai dan ide-ide, serta harapan mereka tentang

hukum dan sistem hukum. Budaya hukum merupakan bagian dari budaya umum

masyarakat. Budaya hukum juga merupakan suasana pikiran sosial dan kekuatan

sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau bahkan

disalahgunakan. Budaya hukum mempunyai peranan yang besar dalam sistem

hukum, sehingga tanpa budaya hukum, maka sistem hukum akan kehilangan

kekuatannya, seperti ikan mati yang terkapar di kerancangnnya, bukan ikan hidup

                                                            40 Ibid. 41 Ibid.  

Universitas Sumatera Utara

 

yang berenang di lautan (without legal culture, the legal system is inert - a dead

fish lying in a basket, not a living fish swimming in its sea).42

Ketiga unsur sistem hukum ini mempunyai hubungan dan peranan yang

tak terpisahkan. Ketiganya adalah satu kesatuan yang menggerakan sistem hukum

tersebut sehingga dapat berjalan dengan lancar. Struktur hukum dapat diibaratkan

sebagai mesin yang menghasilkan sesuatu. Substansi hukum adalah sesuatu yang

dihasilkan oleh mesin tersebut. Sedangkan budaya hukum adalah siapa yang

memutuskan untuk menghidupkan atau mematikan mesin dan membatasi

penggunaan mesin tersebut. Jadi apabila salah satu dari ketiga unsur sistem

hukum ini sakit, maka akan menyebabkan sub sistem lainnya terganggu.43

Menurut Hoefnagels kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal

policy) dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana

(criminal law application), pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana

(prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat

terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa (influencing views of

society on crime and punishment (mass media).44

Teori yang dikemukakan oleh G. Pieter Hoefnagels di atas, maka

kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan melalui dua cara.

Pertama, kebijakan penal (penal policy) yang biasa disebut dengan “criminal law

application.” Kedua, kebijakan non-penal (non-penal policy) yang terdiri dari

“prevention without punishment” dan “influencing views of society on crime and

                                                            42  Ibid.  43Ibid. 44 Ibid. 

Universitas Sumatera Utara

 

punishment (mass media).”45 Pada dasarnya penal policy lebih menitikberatkan

pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non

penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan preventif sebelum terjadinya

suatu tindak pidana.46

B. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

Istilah “kebijakan” berasal dari bahasa Inggris “policy” atau bahasa

Belanda “politiek”. Istilah ini dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan

dengan kata “politik”, oleh karena itu kebijakan hukum pidana biasa disebut

dengan juga dengan politik hukum pidana. Berbicara mengenai politik hukum

pidana, maka tidak terlepas dari pembicaraan mengenai politik hukum secara

keseluruhan karena hukum pidana adalah salah satu bagian dari ilmu hukum. Oleh

karena itu sangat penting untuk dibicarakan tentang politik hukum.47

Menurut Soedarto, politik hukum adalah usaha untuk mewujudkan

peraturan-peraturan yang baik dengan situasi dan kondisi tertentu. Secara

mendalam dikemukan juga bahwa politik hukum merupakan kebijakan negara

melalui alat-alat perlengkapannya yang berwenang untuk menetapkan peraturan-

peraturan yang dikehendaki dan diperkirakan dapat digunakan untuk

mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dalam rangka mencapai

apa yang dicita-citakan.48

Senada dengan pernyataan di atas, Solly Lubis juga menyatakan bahwa

politik hukum adalah kebijaksanaan politik yang menentukan peraturan hukum

                                                            45 Ibid. 46 Teguh Praseyto, Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana: Kajian

Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 17. 47 Mahmud Mulyadi, Op. Cit., hlm. 65. 48 Ibid., hlm. 65-66. 

Universitas Sumatera Utara

 

apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat

dan bernegara.49 Mahmud M.D., juga memberikan defenisi politik hukum sebagai

kebijakan mengenai hukum yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional

oleh pemerintah. Hal ini juga mencakup pula pengertian tentang bagaimana

politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada

dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Dalam konteks ini hukum tidak

bisa hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif, melainkan harus

dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataannya bukan tidak mungkin

sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materinya (pasal-pasal),

maupun dalam penegakannya.50

Berdasarkan pengertian tentang politik hukum sebagaimana dikemukakan

di atas, maka secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa politik hukum pidana

merupakan upaya menentukan ke arah mana pemberlakukan hukum pidana

Indonesia masa yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. Hal ini

juga berkaitan dengan konseptualisasi hukum pidana yang paling baik untuk

diterapkan.51

Lebih lanjut Soedarto mengungkapkan bahwa melaksanakan

melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan dalam rangka

mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dengan memenuhi

syarat keadilan dan dayaguna.52 Marc Ancel menyatakan politik hukum pidana

merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk

                                                            49 Ibid. 50 Ibid. 51 Ibid. 52 Ibid. 

Universitas Sumatera Utara

 

memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk

memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan

undang-undang dan kepada para pelaksana putusan pengadilan. 53 A. Mulder

mengemukakan secara rinci tentang runag lingkup politik hukum pidana yang

menurutnya bahwa politik hukum pidana adalah garis kebijakan untuk

menentukan:54

4. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dilakukan

perubahan atau diperbaharui;

5. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya kejahatan;

6. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan dan pelaksanaan

pidana harus dilaksanakan.

Defenisi Mulder di atas bertolak dari pengertian “sistem hukum pidana”

menurut Marc Ancel yang menyatakan, bahwa tiap masyarakat yang terorganisir

memiliki sistem hukum pidana yang terdiri dari: (a) peraturan-peraturan hukum

pidana dan sanksinya, (b) suatu prosedur hukum pidana, dan (c) suatu mekanisme

pelaksanaan pidana.55.

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik

pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.

Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik

kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka politik

                                                            53 M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 20. 54 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm. 23-24. 55 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

 

hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan

dengan hukum pidana”.56

Upaya penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya

juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan

hukum pidana). Politik atau kebijakan hukum pidana dapat dikatakan merupakan

bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Di samping

itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum)

pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan

masyarakat (social welfare). Kebijakan hukum pidana menjadi sangat wajar bila

merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy).

Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional

untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan

masyarakat. Ini berarti pengertian social policy telah mencakup social welfare

policy dan social defence policy.57

Berdasarkan dimensi di atas, kebijakan hukum pidana pada hakekatnya

merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana

sesuai dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang

(ius constituendum). Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum pidana identik

dengan penal reform dalam arti sempit, karena sebagai suatu sistem, hukum

terdiri dari budaya (cultural), struktur (structural), dan substansi (substantive)

hukum. Undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum, pembaharuan

                                                            56 Ibid. 57 Ibid. hlm. 25. 

Universitas Sumatera Utara

 

hukum pidana, disamping memperbaharui perundang-undangan, juga mencakup

pembaharuan ide dasar dan ilmu hukum pidana.58

Pada hakekatnya, kebijakan hukum pidana (penal policy, criminal policy,

atau strafrechtpolitiek) merupakan proses penegakan hukum pidana secara

menyeluruh atau total. Menurut Wisnubroto, kebijakan hukum pidana merupakan

tindakan yang berhubungan dalam hal-hal:59

a. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan

hukum pidana;

b. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar dapat sesuai dengan kondisi

masyarakat;

c. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan

hukum pidana;

d. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat

dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.

Berdasarkan pengertian politik hukum pidana yang dikemukakan di atas,

baik oleh A. Mulder maupun yang lain, maka ruang lingkup kebijakan hukum

pidana ini sesungguhnya meliputi masalah yang cukup luas, yaitu meliputi

evaluasi terhadap substansi hukum pidana yang berlaku saat ini untuk

pembaharuan substansi hukum pidana pada masa yang akan datang, dan

bagaimana penerapan hukum pidana ini melalui komponen Sistem Peradilan

Pidana, serta yang tidak kalah pentingnya adalah upaya pencegahan terhadap

kejahatan. Upaya pencegahan ini berarti bahwa hukum pidana juga harus menjadi                                                             

58 Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoretis, dan Praktik, PT Alumni, Bandung, hlm. 390.

59Ibid., hlm. 391.

Universitas Sumatera Utara

 

salah satu instrumen pencegah kemungkinan terjadinya kejahatan. Ini juga berarti

bahwa penerapan hukum pidana harus mempunyai pengaruh yang efektif untuk

mencegah sebelum suatu kejahatan terjadi.60

Berkaitan dengan persoalan yang terakhir ini, maka ada satu pertanyaan

yang krusial yang dapat dimunculkan yaitu, mungkinkah pemidanaan dapat

dijadikan instrumen pencegahan kejahatan?. Persoalan ini muncul karena selama

ini banyak anggapan bahwa pemidanaan bukan mengurangi terjadinya kejahatan,

tetapi justru menambah dan membuat kejahatan semakin marak terjadi. Protes ini

ditujukan kepada gagalnya lembaga pemasyarakatan yang seharusnya berfungsi

untuk mengintegrasi narapidana dengan kehidupan sosial, tetapi justru lembaga

pemasyarakatan menjadi sekolah belajar bagaimana meningkatkan kualitas

kejahatan. Dengan kata lain lembaga pemasyarakatan telah menjadi sekolah

kejahatan (school crime).61

Upaya mencari jawaban atas persoalan dia atas, maka pembahasan harus

diarahkan untuk mengungkap secara philosopis apa tujuan sesungguhnya

pemidanaan. Alasan philosopis pemidanaan sangat penting untuk mencari arah

kemana nantinya kebijakan hukum pidana diarahkan. Tanpa itu semua, maka

substansi hukum pidana dan penerapannya akan tercerabut dari akar nilai-nilai

philosopis dan akan menjadi hukum pidana yang kering serta tidak menyentuh

nilai rasa kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat.62

                                                            60 Mahmud Mulyadi, Op.Cit., 67. 61 Ibid.  62 Ibid. 

Universitas Sumatera Utara

 

Usaha menemukan alasan philosopis tujuan hukum pidana ini, maka akan

membawa kita pada pengembaraan secara imaginer dalam alur sejarah pidana dan

pemidanaan dari sejak zaman pidana klasik sampai pada perkembangan hukum

saat ini. Pembahasan tentang tujuan pemidanaan ini dapat diuraikan berdasarkan

teori absolut, relatif, teori gabungan, treatment dan social defence.63

a. Teori Retributif (Teori Absolut)

Teori absolut atau teori retributif atau dikenal juga dengan teori

pembalasan (vergerlingstheori). Tokoh Teori Retributif adalah Immanuel Kant

(1724-1804) dan Hegel (1770-1831). Teori retributif melegitimasi pemidanaan

sebagai sarana pembalasan atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang.

Kejahatan dipandang sebagai perbuatan yang amoral dan asusila di dalam

masyarakat, oleh karena itu pelaku kejahatan harus dibalas dengan menjatuhkan

pidana. Tujuan pemidanaan dilepaskan dari tujuan apapun, sehingga pemidanaan

hanya mempunyai satu tujuan, yaitu pembalasan.64

Tindakan pembalasan ini dilandaskan pada pemikiran bahwa setiap

individu bertanggung jawab dan mempunyai kebebasan penuh secara rasional

dalam mengambil keputusan. Sedangkan dasar pemikiran secara politik

disandarkan bahwa setiap individu berhak atas penghargaan dan harga diri yang

sama. Seorang pelaku kejahatan dalam kondisi ini tidak kehilangan haknya atas

penghukuman tersebut, dan mempunyai hak untuk tidak dihukum secara tidak

proporsional terhadap kejahatan yang dilakukannya. Proporsional merupakan

                                                            63 Ibid.,hlm. 68. 64  Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, 2010, Politik Hukum Pidana Terhadap

kejahatan Korporasi, , PT Softmedia, Medan, hlm. 93.  

Universitas Sumatera Utara

 

kunci dari konsep teori pembalasan setimpal. Ukuran yang utama dari

proporsionalitas ini adalah semua ukuran dari tingkatan pemidanaan ini tidak

boleh melewati batas secara kesesuaian dengan keseriusan suatu perbuatan.65

Kant melihat dalam pemidanaan terdapat suatu “imperatif kategoris”, yang

merupakan tuntutan mutlak dipidananya seseorang karena telah melakukan

kejahatan. Sedangkan Hegel memandang bahwa pemidanaan adalah hak dari

pelaku kejahatan atas perbuatan yang dilakukannya berdasarkan kemauannya

sendiri. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Hegel:66

“Punishment is the right of criminal. It is an act of his own will. The violation of right has been proclaimed by the criminal as his own right. His crime is the negation of right. Punishment is the negation of his negation, and, consequently an affirmation of right, solicited and farced upon the criminal by him self.”

Duff dan Garland memaparkan bahwa paham retributif ini dalam teori

normatif tentang pemidanaan disebut juga sebagai non-consequentialist.

Sedangkan teori relatif atau utilitarian disebut consequentialist. Paham non-

consequentialist menuntut dengan tegas bahwa suatu perbuatan, apakah itu benar

atau salah, hakikatnya terletak pada hati nurani seseorang, dan bersifat bebas dari

konsekuensinya. Hal ini dijelaskan secara tegas oleh tuntutan penganut retributif

bahwa yang bersalah dan hanya yang bersalah yang berhak untuk mendapat

pidana, serta pembenaran pemidanaan ini terletak pada timbulnya penderitaan

yang pantas pada orang bersalah tersebut.67

Nigel Walker mengemukakan bahwa alitran retributif ini terbagi menjadi

dua macam, yaitu nteori retributif murni dan teori retributif tidak murni.                                                             

65 Ibid. 66 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Op. Cit. hlm. 70.   67 Ibid. 

Universitas Sumatera Utara

 

Retributivist murni menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan harus sepadan

dengan kesalahan pelaku. Sedangkan Retributivist yang tidak murni dapat dibagi

menjadi menjadi dua golongan, yaitu:68

1. Retributivist terbatas (the limitating retributivist), yang berpendapat

bahwa pidana tidak harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pelaku,

akan tetapi pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi batas-batas yang

sepadan dengan kesalahan si pelaku;

2. Retributivist yang distribusi (retribution in distribution), yang

berpandangan bahwa sanksi pidana dirancang sebagai pembalasan

terhadap si pelaku kejahatan, namun beratnya sanksi harus didistribusikan

kepada pelaku yang bersalah.

Berdasarkan pembagian aliran retributif di atas, maka hanya the pure

retributivist yang mengemukakan dasar pembenaran dijatuhkannya pidana. Oleh

karena itu golongan ini disebut juga “punisher” atau penganut teori pemidanaan.

Sedangkan penganut golongan lainnya tidak mengajukan alasan-alasan untuk

pengenaan pidana, melainkan mengajukan dasar-dasar pembatasan pidana. Paham

retributif yang tidak murni lebih dekat dengan paham non-retributif. Kebanyakan

KUHP disusun berdasarkan paham non-retributif yang the limitating retributivist

yaitu dengan menetapkan pidana maksimum sebagai batas atas, tanpa mewajibkan

pengadilan untuk mengenakan batasan maksimum tersebut.69

                                                            68 Ibid. hlm. 70-71. 69 Ibid. 

Universitas Sumatera Utara

 

Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan dalam teori retributif ini,

menurut Romli Atmasasmita mempunyai sandaran pembenaran sebagai berikut:70

1. Dijatuhkan pidana akan memuaskan perasaan balas dendam si korban,

baik perasaan adil bagi dirinya, temannya, maupun keluarganya. Perasaan

ini tidak dapat dihindari dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menuduh

tidak menghargai hukum. Tipe aliran retributif ini disebut vindicative;

2. Penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai peringatan kepada pelaku

kejahatan dan anggota masyarakat yang lainnya bahwa setipa perbuatan

yang merugikan orang lain secara tidak wajar, maka akan menerima

ganjarannya. Tipe aliran retributif ini disebut fairness;

3. Pidana dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesebandingan antara

beratnya suatu pelanggaran dengan pidana yang dijatuhkan. Tipe aliran

retributif ini disebut proportionality.

b. Teori Deterrence (Teori Relatif)

Teori Deterrence berakar dari aliran klasik tentang pemidanaan, dengan

dua orang tokoh utamanya, yaitu Cessare Beccaria (1738-1794) dan Jeremy

Bentham (1748-1832). Beccaria menegaskan dalam bukunya yang berjudul dei

Delitti e Delle Pene (1764) bahwa tujuan pemidanaan adalah untuk mencegah

seseorang supaya tidak melakukan kejahatan, dan bukan sebagai sarana

pembalasan masyarakat.71

                                                            70 Ibid. 71 Ibid.  

Universitas Sumatera Utara

 

Christiansen juga memberikan rincian ciri-ciri teori relatif ini sebagai

berikut:72

1. Tujuan pemidanaan adalah untuk pencegahan;

2. Pencegahan ini bukanlah tujuan akhir (final aim), tetapi merupakan sarana

untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi lagi, yaitu kesejahteraan

masyarakat (social welfare);

3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada

pelaku kejahatan, berupa kesengajaan atau kelalaian, sebagai syarat untuk

dijatuhkannya pidana;

4. Penjatuhan pidana harus ditetapkan dengan tujuannya sebagai alat atau

sarana untuk pencegahan kejahatan.

Terminologi “deterrence” menurut Zimring dan Hawkins, digunakan lebih

terbatas pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan

tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan

kejahatan. Namun “the net deterrence effect” dari ancaman secara khusus kepada

seseorang ini dapat juga menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat untuk tidak

melakukan kejahatan.73

Nigel Walker menamakan aliran ini sebagai paham reduktif (reductivism)

karena dasar pembenaran dijatuhkannya pidana dalam pandangan aliran ini adalah

untuk mengurangi frekuensi kejahatan (… the justification for penalizing offences

is that this reduces their frequency). Penganut reductivism meyakini bahwa

                                                            72 Bahan-bahan kuliah Politik Hukum Pidana Fakultas Hukum USU tahun 2011.  73 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Op. Cit., hlm. 72.

Universitas Sumatera Utara

 

pemidanaan dapat mengurangi pelanggaran melalui satu atau beberapa cara

berikut ini:74

1. Pencegahan terhadap pelaku kejahatan (deterring the offender), yaitu

membujuk si pelaku untuk menahan diri atau tidak melakukan

pelanggaran hukum kembali melalui ingatan mereka terhadap pidana yang

dijatuhkan;

2. Pencegahan terhadap pelaku yang potensial (deterring potential imitators),

dalam hal ini memberikan rasa takut kepada orang lain yang potensial

untuk melakukan kejahatan dengan melihat contoh pidana yang telah

dijatuhkan kepada si pelaku sehingga mendatangkan rasa takut akan

kemungkinan dijatuhkan pidana kepadanya;

3. Perbaikan si pelaku (reforming the offender), yaitu memperbaiki tingkah

laku si pelaku sehingga muncul kesadaran si pelaku untuk cenderung tidak

melakukan kejahatan lagi walaupun tanpa adanya rasa ketakutan dari

ancaman pidana;

4. Mendidik masyarakat supaya lebih serius memikirkan terjadinya

kejahatan, sehingga dengan cara ini, secara tidak langsung dapat

mengurangi frekuensi kejahatan;

5. Melindungi masyarakat (protecting the public), melalui pidana penjara

yang cukup lama.

Tujuan pemidanaan sebagai deterrence effect ini, dapat dibagi menjadi

pencegahan umum (general deterrence) dan pencegahan khusus (individual or

                                                            74 Ibid. hlm., 73. 

Universitas Sumatera Utara

 

special deterrence), sebagaimana yang dikemukakan oleh Bentham bahwa:

“determent is equally applicable to the situation of the already-punished

delinquent and that of other persons at large, distinguishes “particular prevention

which applies to the delinquent himself; and general prevention which is

applicable to all members of the community without exception.”75

General prevention menurut T. Mathiesen merupakan sarana komunikasi

yang berupa pesan dari negara sebagai pemegang otoritas untuk menjatuhkan

pemidanaan kepada masyarakat. Pesan ini terdiri dari: “(1) Punishment is a

massage which intends to say that crime does not pay (deterrence); (2) It is a

massage which intends to say that you should avoid certain act because they are

morally improper or incorrect (moral education); (3) It is a massage which

intends to say that you should get into habit of avoiding certain acts (habit

formation).76

Tugas untuk menyampaikan pesan negara ini, terutama menjadi tanggung

jawab dari komponen-komponen sistem peradilan pidana. Hal ini sebagaimana

ditegaskan lebih lanjut oleh T. Mathiesens:77

“The criminal justice system, comprising the prosecuting authorities, the police, the courts, and the sanctioning apparatus which includes the prison system, may be seen as a large machine having the purpose of communicating this massage to the people. The machine constitutes one of the state’s most important mechanisms for ‘talking’ to the people about the people’s own doing… Andenaes say that ’The communication process from the legislator and the law enforcement agencies to the public is therefore a central link in the operating of general prevention.”

                                                            75 Ibid. 76 Ibid., hlm. 74. 77 Ibid. 

Universitas Sumatera Utara

 

Tujuan pemidanaan untuk prevensi umum diharapkan memberikan

peringatan kepada masyarakat supaya tidak melakukan kejahatan. Prevensi umum

ini menurut van Veen mempunyai tiga fungsi, yaitu menegakkan wibawah

pemerintah, menegakkan norma dan membentuk norma.78

Prevensi khusus dimaksudkan bahwa dengan pidana yang dijatuhkan,

memberikan deterrence effect kepada si pelaku sehingga tidak mengulangi

perbuatannya kembali. Sedangkan fungsi perlindungan kepada masyarakat

memungkinkan bahwa dengan pidana pencabutan kebebasan selama beberapa

waktu, maka masyarakat akan terhindar dari kejahatan yang mungkin dilakukan

oleh pelaku.79

Teori tujuan pemidanaan ini biasa disebut juga dengan teori relatif.

Sedangkan Duff dan Garland, menamakan paham ini sebagai

“Consequentialism”. Penganut paham ini menyatakan bahwa sesuatu yang

dianggap benar atau salah dari suatu perbuatan, semata-mata tergantung pada

akibat yang ditimbulkannya secara keseluruhan. Suatu perbuatan dianggap benar

apabila akibat yang dihasilkannya berupa kebaikan dan sebaliknya dianggap salah

bila akibat dari perbuatan tersebut menghasilkan keburukan.80

Selain Cessare Beccaria, maka tokoh aliran klasik yang juga sepakat

dengat tujuan pemidanaan sebagai deterrence, adalah Jeremy Bentham dengan

teori utilitarian. Legitimasi penjatuhan pidana dalam pandangan utilitaranism

                                                            78 Ibid.  79 Ibid. 80 Ibid., hlm. 75. 

Universitas Sumatera Utara

 

adalah untuk deterrence, incapacitation, and rehabilitation. Murphy menjelaskan

sebagai berikut:81

“For a utilitarian theory of punishment (Bentham’s paradigm) must involve justifying punishment in terms of its social result- e. g., deterrence, incapatitation, and rehabilitation. And thus even a guilty man is, on this theory, being punished because of this instrumental value the action of punishment will have in future. He is being use as a means to some future good – e. g., the deterrence of others.”

Menurut Ahmad Ali, penganut paham utilitarian menganggap bahwa

tujuan hukum semata-mata untuk memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan

yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Pandangan

ini didasarkan pada falsafah sosial bahwa setiap warga masyarakat mencari

kebahagiaan dan hukum merupakan salah satu instrumen untuk mencapai

kebahagian tersebut.82

Selain Jeremy Bentham, paham utilitarian juga didukung oleh James Mile

dan John stuart Mile. Jeremy Bentham adalah yang paling radikal pandangannya

dibandingkan yang lain. Bentham berpendapat bahwa keberadaan negara dan

hukum adalah semata-mata ditujukan untuk menggapai kemanfaatan sejati, yaitu

kebahagiaan mayoritas rakyat. Pemikirannya dilatarbelakangi oleh rasa

ketidakpuasan terhadap Undang-Undang Dasar Inggris sehingga ia mendesak agar

diadakan perubahan dan perbaikan berdasarkan suatu ide yang revolusioner. Ide

utilitarian ini diperoleh Bentham dari pemikiran Helvetius dan Cessare Beccaria,

yang kemudian dikemukakan kembali oleh Bentham dalam bukunya yang

berjudul “Introduction to Moral and Legislation.”83

                                                            81 Ibid. 82 Ibid. 83 Ibid. 

Universitas Sumatera Utara

 

Sehubung dengan konsep paham unilitarian ini, Curzon menyatakan

paham utilitarian merupakan suatu filosofi moral yang mendefinisikan kebenaran

suatu perbuatan dalam hubungannya dengan pemberian kontribusi yang besar

untuk kebahagian secara umum dan menganggap kebaikan yang paling pokok

adalah untuk kebahagian sebesar-besarnya bagi keseluruhan warga masyarakat

(the greatest happiness of the greatest number).84

Paham utilitarian dapat dilihat sebagai lawan dari teori retributif. Unsur

kesalahan dan legitimasi moral pembalasan setimpal dalam pandangan paham

utilitarian tidak memainkan peranan yang penting dalam pemidanaan.

Pembenaran pemidanaan menurut paham utilitarian hanya jika pemidanaan

tersebut membawa konsekuensi yang diinginkan dan melahirkan keuntungan yang

lebih banyak. Tujuan pemidanaan menurut pandangan utilitarian ini adalah untuk

meningkatkan jumlah kumulatif (cumulative amount) dari kemanfaatan (utility)

atau kepuasan hati (satisfaction).85

c. Teori Gabungan

Teori ini menitikberatkan kepada suatu kombinasi dari teori absolut dan

relatif. Menurut teori ini, tujuan pidana untuk pembalasan kepada si pelaku juga

dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan ketertiban.

Grotius memandang, pidana berdasarkan keadilan absolut berwujudkan

pembalasan terbatas kepada apa yang berfaedah bagi masyarakat. Teori gabungan

yang menitikberatkan pada perlindungan masyarakat, mengadopsi pemikiran

                                                            84 Ibid. hlm. 76. 85Ibid. 

Universitas Sumatera Utara

 

bahwa secara prevensi umum terletak pada ancaman pidananya. Teori gabungan

ini dipelopori oleh Vos.86

d. Teori Treatment (Teori Relatif)

Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif

yang berpendapat bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku

kejahatan, bukan pada perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh

aliran ini adalah untuk memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan

(rehabilitation) kepada pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.

Argumen aliran positif ini dilandaskan pada alasan bahwa pelaku kejahatan adalah

orang yang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan

perbaikan (rehabilitation).87

Aliran positif lahir pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Casare

Lombroso (1835-1909), Enrico Ferri (1856-1928), dan Raffaele Garofalo (1852-

1934). Mereka menggunakan pendekatan metode ilmiah untuk mengkaji

kejahatan dengan mengkaji karakter pelaku dari sudut pandang ilmu biologi,

psikologi dan sosiologi dan objek analisisnya adalah kepada pelaku, bukan

kejahatannya. Aliran positif berkembang pada abad ke-19 yang dihasilkan oleh

perkembangan filsafat empirisme di Inggris sebagaimana yang ditemukan dalam

ajaran Locke dan Hume, teori Darwin tentang “biological determinisme”, teori

sociological positivism dari Comte dan teori ekonomi Karl Marx.88

                                                            86 Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Op. Cit. 96-97. 87 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Op. Cit. hlm. 79. 88 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

 

August Comte (1798-1857) seorang sosiolog berkebangsaan Perancis,

menerapkan pendekatan metode ilmu pengetahuan alam kepada ilmu-ilmu sosial

melalui bukunya yang berjudul “Cours de Philosophie Positive” atau “Course in

Positive Philosophy”, diterbitkan antara tahun 1830 dan 1842. Comte menyatakan

bahwa “There could be no real knowledge of social phenomena unless it was

based on a positivist (scientific) approach”. Perkembangan ilmu pengetahuan saat

itu juga dipengaruhi oleh Charles Darwin (1809-1892) dengan teori evolusinya.

Lombroso menyatukan pemikiran Comte dan Darwin untu menjelaskan hubungan

antara kejahatan dengan bentuk tubuh manusia. Lombroso menerbitkan bukunya

yang berjudul “L’uomo Delinquente” atau “The Criminal Man” pada tahun 1876,

yang menandai bahwa terjadinya transformasi kajian mengenai kejahatan dari

tataran yang abstrak (philosopis) ke ranah yang lebih konkrit melalui pendekatan

metode ilmiah.89

Lombroso dengan teorinya born criminal menyatakan bahwa ada suatu

kekhasan tertentu yang disebutnya Atavistic Stigmata yang membedakan manusia

kriminal dengan yang bukan kriminal, yang dapat dilihat dari bentuk fisik

seseorang. Ketiga tokoh ini menolak doktrin free will dan menggantinya dengan

konsep determinisme.90

Aliran positif melihat kejahatan secara empiris dengan menggunakan

metode ilmiah untuk mengkonfirmasi fakta-fakta di lapangan dalam kaitannya

dengan terjadinya kejahatan. Aliran ini beralaskan paham determinisme yang

menyatakan bahwa seseorang melakukan kejahatan bukan berdasarkan

                                                            89 Ibid. 90 Ibid., hlm. 80. 

Universitas Sumatera Utara

 

kehendaknya karena manusia tidak mempunyai kehendak bebas dan dibatasi oleh

berbagai faktor, baik watak pribadinya, faktor biologis, maupun faktor

lingkungan. Oleh karena itu pelaku kejahatan tidak dapat dipersalahkan dan

dipidana, melainkan harus diberikan perlakuan (treatment) untuk resosialisasi dan

perbaikan si pelaku.91

Secara lebih rinci, Reid mengemukakan ciri-ciri aliran positif ini sebagai

berikut:92

1. Rejected legal definition of crime;

2. Let the punishment fit the criminal;

3. Doctrin of determinism;

4. Abolition of death penalty;

5. Empirical research, inductive method;

6. Indeterminate sentence.

Gerber dan McAnany menyatakan bahwa munculnya paham

rehabilitasionis dalam ilmu pemidanaan sejalan dengan gerakan reformasi

penjara. Melalui pendekatan kemanusiaan, maka paham ini melihat bahwa sistem

pemidanaan pada masa lampau menyebabkan tidak adanya kepastian nasib

seseorang. Berdasarkan pendekatan keilmuan, maka aliran rehabilitasi berusaha

membuat jelas dan melahirkan suatu dorongan untuk memperbaiki pelaku

kejahatan sebagai tema sentral mengenyampingkan semua tujuan lain dari

pemidanaan. Jadi gerakan rehabilitionist merupakan paham yang menentang

                                                            91 Ibid. 92 Ibid. 

Universitas Sumatera Utara

 

sistem pemidanaan pada masa lalu, baik untuk tujuan retributif, maupun tujuan

deterrence.93

Metode treatment sebagai pengganti pemidanaan sebagaimana yang

dipelopori oleh aliran positif, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model

yang digemari dalam kriminologi. Pengamatan mengenai bahaya sosial yang

potensial dan perlindungan sosial menjadi suatu standar dalam menjustifikasi

suatu perbuatan, daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan. Aliran positif

menolak setiap dasar pemikiran aliran hukum pidana klasik dan menurut aliran ini

masyarakat perlu mengganti standar hukum, pertanggungjawaban moral dan

kehendak bebas (free will) dengan treatment dan perhatian digeser dari perbuatan

ke pelakunya.94

Paham rehabilitasi sebagai tujuan pemidanaan dalam perjalanannya tidak

semulus yang diperkirakan karena paham ini juga banyak menuai kritikan.

Kritikan pertama, ditujukan pada kenyataannya bahwa hanya sedikit negara yang

mempunyai fasilitas untuk menerapkan program rehabilitasi pada tingkat dan

kebijakan yang menekankan penggunaan tindakan untuk memperbaiki (treatment)

atas nama penahanan. Kritikan kedua, adanya tuduhan yang serius bahwa

pendekatan yang digunakan oleh paham rehabilitasi adalah pendekatan yang

mengundang tirani individu dan penolakan hak asasi manusia. Misalnya dalam hal

proses pelaksanaan rehabilitasi ini tidak seseorang pun yang dapat memprediksi

berapa lama pengobatan akan berlangsung ketika seorang tahanan segera

diserahkan kepada dokter untuk disembuhkan atau diobati sebelum tahanan itu

                                                            93 Ibid. hlm. 81-82. 94 Ibid. 

Universitas Sumatera Utara

 

dibebaskan. Dalam hal ini juga sulit untuk mengontrol otonomi keputusan dokter.

Menurut Lewis sebagaimana yang dikemukakan oleh Gerber McAnany bahwa

sebagian besar metode treatment yang dilakukan dengan penuh kebaikan dan atas

nama kemanusiaan, namun akhirnya tidak terkontrol.95

Helbert L. Packer mengajukan suatu varian yang berdasarkan pandangan

aliran klasik yang disebutnya sebagap behavioralisme. Pandangan Behavioral ini

merupakan suatu yang tepat dan oposisi yang lengkap dan tepat untuk paham

retributif serta menyelesaikan dilema yang mengancam hukum pidana saat ini,

maka terdapat empat pokok pikiran behavioralisme ini, yaitu:96

1. Kehendak bebas (free will) adalah suatu ilusi saja karena tingkah laku

manusia ditentukan oleh kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam diri

seseorang untuk mengubahnya;

2. Tanggung jawab moral juga merupakan suatu ilusi karena dosa tidak dapat

dibebankan pada suatu tingkah laku yang kondisinya dibentuk;

3. Tingkah laku manusia seharusnya dipelajari secara ilmiah dan

dikendalikan; dan

4. Fungsi hukum pidana secara murni dan sederhana, seharusnya membawa

seseorang menuju suatu proses pengubahan kepribadian dan tingkah laku

mereka yang telah melakukan kejahatan (perbuatan anti sosial) sehingga

mereka tidak akan kembali melakukan kejahatan pada masa yang akan

datang, atau jika semua tujuan ini gagal, maka untuk menahan mereka

                                                            95 Ibid. hlm. 83. 96 Ibid hlm. 87. 

Universitas Sumatera Utara

 

untuk melakukan kejahatan dengan penggunaan paksaan, misalnya dengan

pidana kurungan.

Bertolak dari pokok-pokok pikiran di atas, aliran ini menegaskan bahwa

tantangan yang harus dihadapi dalam mempertahankan dan menyelamatkan

Hukum Pidana dalam kedudukan dan perspektif retributivisme atau meninggalkan

setiap upaya untuk memberikan beban tanggung jawab pidana terhadap

kejahatan.97

e. Teori Social Defence (Perlindungan Sosial)

Social Defence adalah aliran pemidanaan yang berkembang setelah PD II

dengan tokoh terkenalnya adalah Fillipo Gramatica, yang pada tahun 1945

mendirikan Pusat Studi Perlindungan Masyarakat. Dalam perkembangan

selanjutnya, pandangan social defence ini (Setelah Kongres Ke-2 Tahun 1949)

terpecah menjadi dua aliran, yaitu aliran yang radikal (ekstrim) dan aliran yang

moderat (reformis).98

Pandangan yang radikal dipelopori dan dipertahankan oleh F. Gramatica,

yang salah satu tulisannya berjudul “The fight against punishment” (La Lotta

Contra La Pena). Gramatika berpendapat bahwa: “Hukum perlindungan sosial

harus menggantikan hukum pidana yang ada sekarang. Tujuan utama dari hukum

perlindungan sosial adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan

bukan pemidanaan terhadap perbuatannya.”99

                                                            97 Mahmud Mulyadi, Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Op. Cit., hlm. 100. 98 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Op. Cit. hlm. 88. 99 Ibid.

Universitas Sumatera Utara

 

Pandangan Moderat dipertahankan oleh Marc Ancel (Perancis) yang

menamakan alirannya sebagai “Defence Sociale Nouvelle” atau “New Social

Defence” atau “Perlindungan Sosial Baru”. Menurut Ancel, tiap masyarakat

mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang

tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi sesuai

dengan aspirasi warga masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, peranan yang

besar dari hukum pidana merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan bagi

suatu sistem hukum.100 Beberapa konsep pandangan moderat:101

1. Pandangan moderat bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-

konsepsi perlindungan masyarakat ke dalam konsepsi baru hukum pidana.

2. Perlindungan individu dan masyarakat tergantung pada perumusan yang

tepat mengenai hukum pidana, dan ini tidak kurang pentingnya dari

kehidupan masyarakat itu sendiri;

3. Dalam menggunakan sistem hukum pidana, aliran ini menolak

penggunaan fiksi-fiksi dan tekniks-tekniks yuridis yang terlepas dari

kenyataan sosial. Ini merupakan reaksi terhadap legisme dari aliran klasik.

Aliran moderat ini juga lahir sebagai jawaban terhadap kegagalan aliran

positif dengan paham rehabilisionisnya.

C. Kebijakan Non Penal (Non Penal Policy)

Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih

bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu,

sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya

                                                            100 Ibid. hlm. 89. 101 Ibid. 

Universitas Sumatera Utara

 

kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang

secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan

kejahatan. Dengan demikian dilihat dari kebijakan penanggulangan kejahatan,

maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang strategis dan

memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.102

Pernyataan di atas juga didukung oleh berbagai hasil dari Kongres PBB

ke-6 Tahun 1980 yang berlangsung di Caracas, Venezuela menyatakan dalam

pertimbangan resolusinya mengenai Crime Trends and Crime Prevention

Strategies, antara lain:103

1. Bahwa masalah kejahatan merintangi kemajuan untuk pencapaian kualitas

kehidupan yang layak bagi semua orang (the crime impedes progress

towards the attainment of an acceptable quality of life for all people);

2. Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada penghapusan

sebab-sebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan kejahatan (crime

prevention strategies should be based upon the elemination of causes and

condition giving rise to crime);

3. Bahwa penyebab utama banyaknya terjadi kejahatan diberbagai negara

adalah disebabkan oleh ketimpangan sosial, diskriminasi rasial dan

diskriminasi nasional, standar hidup yang rendah, pengangguran dan

kebodohan diantara sebagain besar penduduk (the main causes of crime in

many countries are social inequality, ratial and national discrimination,

                                                            102 Ibid. hlm. 55. 103 Ibid. 

Universitas Sumatera Utara

 

low standar of living, unemployment and illiteracy among broad section of

the population).

Setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, maka dalam resolusi itu

dinyatakan bahwa menghimbau semua anggota PBB untuk mengambil tindakan

dalam kekuasaan mereka untuk menghapus kondisi-kondisi kehidupan yang

menurunkan martabat kemanusiaan dan menyebabkan kejahatan, yang meliputi

masalah pengangguran, kemiskinan, kebutahurufan (kebodohan), diskriminasi

rasial dan nasional serta bermacam-macam bentuk dari ketimpangan sosial.104

Di dalam Dokumen A/CONF. 121/L/9 mengenai Crime Prevention in the

Context Of Development Kongres PBB ke-7 Tahun 1985 di Milan, Italia

ditegaskan bahwa upaya penghapusan sebab-sebab dan kondisi yang

menimbulkan kejahatan harus merupakan strategi pencegahan kejahatan yang

mendasar. Strategi pencegahan kejahatan yang mendasar ini harus dicarikan untuk

menghilangkan penyebab dan kondisi-kondisi yang menimbulkan suatu kejahatan.

Akhirnya di dalam Guiding Principles yang dihasilkan oleh Kongres PBB ke-7

ini, ditegaskan bahwa berbagai kebijakan mengenai pencegahan kejahatan dan

peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab struktural, termasuk

sebab-sebab ketidakadilan yang bersifat sosio-ekonomi, dimana kejahatan sering

merupakan suatu gejala semata (symptom).105

Kongres PBB ke-8 tahun 1990 tentang the Prevention of Crime and the

Treatment of Offenders yang berlangsung di Havana, Cuba, menekankan,

pentingnya aspek sosial dari kebijakan pembangunan yang merupakan suatu                                                             

104 Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm. 41. 105 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Op. Cit., hlm. 56.

Universitas Sumatera Utara

 

faktor penting dalam pencapaian strategi pencegahan kejahatan dan peradilan

pidana. Oleh karena aspek-aspek social dalam kontek pembangunan ini harus

mendapat prioritas yang utama. Kongres ke-8 ini juga berhasil mengidentifikasi

berbagai aspek sosial yang ditengarai sebagai faktor-faktor kondusif penyebab

timbulnya kejahatan. Hal ini disebutkan dalam Dokumen A/CONF. 144/L.3, yaitu

sebagai berikut:106

1. Kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan, ketiadaan perumahan yang

layak dan sistem pendidikan serta pelatihan yang tidak cocok;

2. Meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan)

karena proses integrasi sosial dan karena memburuknya ketimpangan-

ketimpangan sosial;

3. Mengendornya ikatan sosial dan keluarga;

4. Keadaan-keadaan atau kondisi yang menyulitkan bagi orang yang

berimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain;

5. Rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli, yang bersamaan dengan

adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kelemahan di bidang

sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan;

6. menurunnya atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang

mendorong peningkatan kejahatan dan tidak cukupnya pelayanan bagi

tempat-tempat fasilitas lingkungan kehidupan bertetangga;

                                                            106 Ibid., hlm. 56-57. 

Universitas Sumatera Utara

 

7. kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk

berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya, di

lingkungan keluarga, tempat pekerjaannya atau dilingkungan sekolahnya;

8. Penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga

diperluas karena faktor-faktor yang disebut di atas;

9. meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisir, khususnya perdagangan

obat bius dan penadahan barang-barang curian;

10. dorongan-dorongan (khususnya oleh media massa) mengenai ide-ide dan

sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan (hak)

atau sikap-sikap tidak toleran.

Kondisi sosial yang ditengarai sebagai faktor yang menyebabkan

timbulnya kejahatan seperti yang dikemukakan di atas adalah masalah-masalah

yang sulit dipecahkan bila hanya mengandalkan pendekatan penal semata. Oleh

karena itulah, pemecahan masalah di atas harus didukung dengan pendekatan non

penal berupa kebijakan sosial dan pencegahan kejahatan berbasiskan

masyarakat.107

Pendekatan non penal menurut Hoefnagels adalah pendekatan pencegahan

kejahatan tanpa menggunakan sarana pemidanaan (prevention without

punishment), yaitu antara lain perencanaan kesehatan mental masyarakat

(community planning mental health), kesehatan mental masyarakat secara

nasional (national mental health), social worker and child welfare (kesejahteraan

                                                            107 Ibid. 

Universitas Sumatera Utara

 

anak dan pekerja social), serta penggunaan hukum civil dan hukum administrasi

(administrative & civil law).108

Dalam kontek ini, informasi yang diperoleh melalui disiplin lain, misalnya

sosiologi, antropologi dan psikologi, sangat membantu untuk merumuskan

kebijakan sosial, perencanaan kesehatan mental masyarakat sehingga memberikan

pengaruh preventif terhadap terjadinya kejahatan. Selain itu juga, program-

program untuk mengatasi tekanan (stress) dalam kehidupan bermasyarakat perlu

mendapat perhatian dalam penanggulangan kejahatan, antara lain, kesejahteraan

anak-anak serta rehabilitasi dan kesehatan pekerja sosial. Berdasarkan berbagai

keterangan di atas, maka telah diungkap bahwa kejahatan berakar dari faktor-

faktor yang berkaitan dengan lingkungan sosial masyarakat itu sendiri. Oleh

karena itu perlu langkah-langkah penanggulangan yang didasarkan pada

penguatan sumber daya yang ada di dalam masyarakat (community crime

prevention).109

Menurut Tim Hope, pencegahan kejahatan oleh masyarakat (community

crime prevention) mengarah kepada tindakan-tindakan yang diharapkan dapat

merubah kondisi sosial yang mendukung terjadinya kejahatan di kedia man

masyarakat. Fokus perhatiannya dikonsentrasikan pada kemampuan institusi

sosial lokal untuk mengurangi angka kejahatan. Institusi lokal ini mewadahi

anggota masyarakat dalam suatu komunitas untuk bekerjasama secara sungguh-

sungguh, memberikan bimbingan dan mengatur etika berprilaku, khususnya bagi

anak-anak muda. Community crime prevention ini dapat didekati melalui dua

                                                            108 Ibid. hlm. 58. 109 Ibid. 

Universitas Sumatera Utara

 

dimensi, pertama, melalui dimensi horizontal dari hubungan sosial antara orang-

orang dan group-group dalam masyarakat. Kedua, melalui dimensi vertikal dari

relasi sosial yang menghubungkan institusi lokal dengan komunitas yang lebih

luas dari civil society.110

Program-program dari community crime prevention ini dapat

diklasifikasikan sebagai berikut:111

1. Community organization, tipe ini ditujukan membangun sebuah komunitas

masyarakat yang didasarkan pada kerjasama dalam penanggulangan

kejahatan. Kerjasama ini juga dibina melalui sekolah-sekolah lokal,

tempat-tempat ibadah. Program ini juga menyediakan sarana yang efektif

bagi anak-anak muda untuk bersosialisasi dalam suatu pergaulan yang

positif;

2. Community defence, program pada tipe ini ditujukan untuk mencegah

terjadinya viktimisasi melalui pencegahan terhadap pelaku kejahatan.

Strategi yang digunakan adalah pencegahan kejahatan melalui mendesain

lingkungan (crime prevention through environmental design/ CPTED),

defensible space measures, dan organisasi pengawasan masyarakat melalui

neighbourhood watch.

3. Order-maintenance, pendekatan ini dilakukan untuk mengontrol

pengrusakan sarana fisik, ancaman terhadap kehidupan bertetangga dan

perilaku kasar di jalanan.

                                                            110 Ibid. hlm. 63-64. 111 Ibid. hlm. 65. 

Universitas Sumatera Utara

 

4. Risk-based program, merupakan program yang menggunakan pendekatan

untuk mencari faktor-faktor yang beresiko dalam komunitas kehidupan

masyarakat, mengidentifikasi yang paling beresiko dan menyediakan

upaya pencegahan khusus bagi mereka. Program ini meliputi pendekatan

terhadap seseorang yang kemungkinan menjadi target korban kejahatan

dan strategi ditujukan untuk melindungi korban dan pencegahan supaya

tidak terjadi pengulangan menjadi korban (repeat victimization).

5. Community development, strategi yang digunakan adalah membangun

kembali tatanan kehidupan sosial, fisik dan perekonomian lingkungan

tempat tinggal.

6. Structural change, tujuan yang ingin dicapai hampir sama dengan

community development, yaitu strategi yang dibangun adalah perubahan

yang utama di dalam kehidupan masyarakat yang dapat mereduksi

terjadinya kejahatan. Pendekatan yang dilakukan berupa penerapan

kebijakan di level makro pembangunan ekonomi dan ketenagakerjaan,

perumahan yang layak, pendidikan, pelayanan kesehatan dan

kesejahteraan serta pelayanan sosial.

Universitas Sumatera Utara