44
1 BAB II Landasan Teori Pengantar Kisah perceraian dan pengusiran terhadap perempuan asing dan anak-anaknya dalam Kitab Ezra berbeda dengan tradisi-tradisi Yahudi sebelumnya. Perbedaan ini terlihat dari aturan yang digunakan Ezra terhadap perkawinan campur yang dilakukan orang-orang Israel yang kembali dari pembungan dengan orang-orang negeri terkhususnya „perempuan asing‟, berbeda dengan hukum yang digunakan oleh Muza di zaman sebelumnya. Dasar dari diberlakukannya aturan dan larangan ini ialah masalah krisis jati diri yang dialami masyarakat Israel ketika harus terusir secara paksa dari tanah, yang bagi mereka merupakan tanda perjanjian Allah dengan Abraham, selain itu di tandai juga dengan hancurnya Bait Allah yang merupakan simbol peribadatan orang-orang Israel disaat itu. Dengan berbagai pengalaman ini, salah satu cara yang dianggap penting serta dalam membantu proses merekonstruski kembali jati diri mereka menurut Ezra ialah dengan cara memimasahkan diri dari perempuan asing. Guna mengakaji lebih dalam mengenai berbagai dinamika yang terjadi dalam kehidupan bangsa Israel dan hubungannya dengan aturan-aturan yang diterapkan dalam komunitas disaat itu, maka diperlukan beberapa kajian teoritis. Landasan teori dalam bab ini akan diawali dengan pembahasan identitas dan secara khusus identitas masyarakt diaspora, kemudian diikuti dengan teori sang liyan/the other yang juga berpengaruh terhadap kedudukan laki-laki dan perempuan yang terbentuk di Israel Kuno. Pada akhirnya penulis akan membahas tentang teori feminis secara umum dan teologi feminis. Karena dalam keseluruhan tesis ini akan dibaca dengan menggunakan kacamata feminis

BAB II Landasan Teorirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/10513/2/T2_752013026_BAB II... · Berdasarkan penjelasan ini ... identitas bisa berbentuk kebangsaan, ras, ... Fearon

Embed Size (px)

Citation preview

1

BAB II

Landasan Teori

Pengantar

Kisah perceraian dan pengusiran terhadap perempuan asing dan anak-anaknya dalam

Kitab Ezra berbeda dengan tradisi-tradisi Yahudi sebelumnya. Perbedaan ini terlihat dari

aturan yang digunakan Ezra terhadap perkawinan campur yang dilakukan orang-orang Israel

yang kembali dari pembungan dengan orang-orang negeri terkhususnya „perempuan asing‟,

berbeda dengan hukum yang digunakan oleh Muza di zaman sebelumnya. Dasar dari

diberlakukannya aturan dan larangan ini ialah masalah krisis jati diri yang dialami

masyarakat Israel ketika harus terusir secara paksa dari tanah, yang bagi mereka merupakan

tanda perjanjian Allah dengan Abraham, selain itu di tandai juga dengan hancurnya Bait

Allah yang merupakan simbol peribadatan orang-orang Israel disaat itu. Dengan berbagai

pengalaman ini, salah satu cara yang dianggap penting serta dalam membantu proses

merekonstruski kembali jati diri mereka menurut Ezra ialah dengan cara memimasahkan diri

dari perempuan asing.

Guna mengakaji lebih dalam mengenai berbagai dinamika yang terjadi dalam

kehidupan bangsa Israel dan hubungannya dengan aturan-aturan yang diterapkan dalam

komunitas disaat itu, maka diperlukan beberapa kajian teoritis. Landasan teori dalam bab ini

akan diawali dengan pembahasan identitas dan secara khusus identitas masyarakt diaspora,

kemudian diikuti dengan teori sang liyan/the other yang juga berpengaruh terhadap

kedudukan laki-laki dan perempuan yang terbentuk di Israel Kuno. Pada akhirnya penulis

akan membahas tentang teori feminis secara umum dan teologi feminis. Karena dalam

keseluruhan tesis ini akan dibaca dengan menggunakan kacamata feminis

2

A. Teori Identitas Sosial

Persoalan identitas terlihat jelas dalam Ezra 9-10, teks menggambarkan bagaimana

upaya Ezra dalam mempertahankan identitas bangsa Israel. Ketika Ezra mempersoalkan

orang-orang Israel yang menikah dengan penduduk negeri atau perempuan asing, dapat

dipastikan bahwa Ezra melihat bangsa Israel sebagai bangsa pilihan Allah, dan sebagai

komunitas yang suci; tidak diperkenankan untuk bercampur baur dengan perempuan asing.

Melihat latar belakang ini teori identitas sangatlah penting dalam menolong penulis untuk

melihat realita bangsa Israel pasca pembungan; bagaimana konsep identitas yang melekat

dalam bangsa Israel.

1. Konsep Identitas

Richard Jenkins berpendapat bahwa identitas adalah pemahaman kita akan siapa kita,

dan siapa orang lain, serta secara resiprokal, pemahaman orang lain akan diri mereka sendiri

dan orang lain. Identitas adalah sesuatu yang bisa dinegosiasikan dan dibuat dalam proses

interaksi manusia. Menurut Jenkins, identitas adalah tentang „arti‟ (meaning) yang lebih

mengarah kepada dikonstruksi secara sosial, dari pada mengenai perbedaan mendasar antar

manusia, karena identitas yang berbeda memberikan indikasi dengan orang seperti apa

seseorang berhubungan, dan karena itu bagaimana seseorang bisa berhubungan dengan

mereka (ada setelah motif). Identitas juga merupakan klasifikasi multi-dimensi atau pemetaan

dunia manusia dimana kita ada di dalamnya, baik sebagai individu atau sebagai kelompok.1

Berdasarkan penjelasan ini maka komponen penting dalam sebuah upaya untuk

mengerti identitas adalah proses identifikasi.Terdapat dua perspektif yang berbeda dan sangat

berpengaruh dalam pembahasan identitas, yaitu konsep Barth yang berlatar belakang

antropologi sosial, dan konsep Tajfel yang berlatar belakang psikologi sosial.2 Menurut

1 Richard Jenkins, Social Identity, Third Edition (New York: Routledge Taylor & Francis Group,

2008), 5. 2 Jenkins, Social Identity, 7.

3

Barth, identifikasi dan kolektifitas itu dihasilkan atau muncul dari proses transaksi dan

negosiasi individu dalam memenuhi kepentingan atau intersnya. Orang–orang yang

melakukan sesuatu berdasarkan identitas mereka, khususnya keanggotaan mereka dalam

kelompok atau budaya tertentu, misalnya kelompok sepermainan, klan, dan suku. Di sisi lain

Tajfel berpendapat bahwa, keanggotaan kelompok adalah cukup dalam dirinya sendiri untuk

menghasilkan identifikasi dengan kelompok tersebut dan meneruskan perilaku terhadap

anggota kelompoknya untuk melawan yang bukan anggota kelompok.

Pengertian identitas harus berdasarkan pada pemahaman tindakan manusia dalam

konteks sosialnya. Identitas sosial adalah persamaan dan perbedaan, soal personal dan sosial,

soal apa yang kamu miliki secara besama-sama dengan beberapa orang dan apa yang

membedakanmu dengan orang lain.3 Menurut Sherman, setiap orang berusaha membangun

sebuah identitas sosial (social identity), sebuah representasi diri yang akan membantu

mengkonseptualisasikan dan mengevaluasikan siapa diri kita. Dengan mengatahui siapa diri

kita, kita akan dapat mengatahui sapa diri (self) dan siapa yang lain (others).4 Soerjono

Soekanto mengatakan bahwa sejak lahir individu (manusia) sudah memiliki dua keinginan

pokok yaitu: keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di sekitarnya (masyarakat)

dan keinginan untuk menjadi satu dengan suasana alam sekitarnya.5

Teori identitas secara umum membahas tentang perilaku individu yang mereflesikan

unit-unit sosial yang lebih besar seperti kelompok sosial, organisasi, kebudayaan, dan

kelompok sosial yang menjadi rujukan bagi setiap perilaku individu tersebut.6 Teori ini

meyakinkan bahwa apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan individu merupakan

manifestasi dari nilai-nilai kolektif yang biasanya dilestarikan dalam organisasi sosial dan

3 Cris Barker, Cultural Studies Teori dan Praktik (Yohyakarta: PT Benteng Pustaka, 2005), 221.

4 Robert A. Baron & Donn Byrne, Psikologi Social, Jilid 1 (Jakarta: Erlangga, 2003), 162-163.

5 Soerjonon Soekanto, Sosiologi Satu Pengantar (Jakarta: PT raja Grafindo Persada, 1990), 124-125.

6 S. Alexander Haslam, Psychology in Organization: The Social Identity Approach (London: Sage

Publication, 2001)26-27.

4

kebudayaan tertentu di mana individu merupakan bagian di dalamnya.7 Dalam ensiklopedia

ilmu sosial, identitas atau konsep diri di defenisikan sebagai keseluruhan pemikiran dan

perasaan tentang dirinya sendiri.8

Para ahli membagi identitas menjadi 4 tipe yaitu:9

1. Identitas berdasarkan pada perseorangan, yang lebih ditekankan pada tipe ini adalah

bagaimana sifat diri dari bagian kelompok di internalisasikan oleh anggota individu

sebagai bagian dari konsep diri.

2. Identitas sosial berdasarkan korelasi. Tipe ini memberikan pemahaman bahwa individu

menggunakan identitas kelompok pada saat-saat tertentu. Dimana individu berhubungan

khusus dengan orang-orang yang berada diluar kelompoknya. Hubungan relasional ini

biasanya sering dilakukan dalam hubungan antar kelompok.

3. Identitas sosial berdasarkan kelompok, artinya perilaku individu dalam berhubungan

dengan kelompoknya. Pada kondisi seperti ini, individu harus menggunakan identitas

sosial untuk bisa bergabung dengan kelompok sosial lainnya.

4. Identitas kolektif, identitas ini memiliki makna yang lebih praksis. Identitas sosial tidak

hanya menjadi sebauah pengetahuan bersama untuk mendefinisikan identitas diri dan

kelompok. Mempertahankan identitas kelompok yang positif adalah motif yang ada di

balik setiap sikap dan perilaku kelompok.

Oleh sebab itu menurut Tajfel, identitas bisa berbentuk kebangsaan, ras, etnik, kelas

pekerja, agama, umur, gender, suku, keturunan, dan sebagainya. Biasanya pendekatan dalam

identitas sosial erat kaitannya dengan hubungan interrlasionship, serta kehidupan alamiah

masyarakat dan society. Identitas sosial merupakan bagian dari konsep individu yang

7 Adam Kuper dan Jesica Kuper, ed. The social Science Encyclopedia (London: Routlegde & Kegan

Paul, 1985), 739. 8 A.M Padila, &W. Perez W. Accultutration, Social Identity, And Social Cognition: A New Perspective

(Hispanic Journal of Behavioral Sciences. Vil 25 No 1. Pp2003), 35-55. 9 Peter Burke & Jan Stets, Identity Theory And Social Identity (Pullman: Depertemen Sociology,

Washington State University, 1998), 17-19

5

bersumber dari pengatahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial

dengan berbagai jenis nilai, latar belakang sejarah, norma, dan ikatan emosional yang

berkembang dalam kelomok tersebut.10

Pandangan yang sama juga datang dari Hogg dan Abram menyatakan bahwa, identitas

sosial mengacu pada asumsi-asumsi mengenai sifat individu dan sifat masyarakat dan

interaksi yang terjalin antar keduanya. Di dalam masyarakat yang hirarkis terstruktur

kategori-kategori sosial merupakan penggolangan orang menurut agama, ras, klas, pekerjaan,

jenis kelamin, etnis, agama, dll. Di dalam masing-masing kategori-kategori sosial melekat

suatu kekuasaan (power), status, martabat (prestige) yang pada akhirnya memunculkan suatu

sturuktur sosial yang khas dalam masyarakat, yaitu suatau struktur yang menentukan

kekuatan dan status hubungan antar individu dan antar kelompok. Sementara di dalam diri

individu berlangsung proses kognitif, efektif dan konatif yang dijadikan pertimbangan

individu untuk mengerti dan beperlaku.11

Bingkai kerja sosiologi menjelaskan identitas, sebagai sebuah pandangan yang

muncul dari tradisi interaksionisme simbolis struktural (structural symbolic interractionism).

Beberapa hal penting identitas sosial dalam pandangan ini, yaitu:12

pertama, perilaku yang

tergantung pada kata bernama atau diklasifikasikan dan bahwa nama-nama ini membawa

makna dalam bentuk respon bersama dan ekspektasi perilaku yang bersumber dari interaksi

sosial. Kedua, bahwa di antara kelas-kelas yang bernama adalah simbol yang digunakan

untuk menunjuk posisi dalam struktur sosial. Ketiga, bahwa orang-orang yang bertindak

dalam konteks satu nama yang lain pada struktur sosial dalam arti mengakui satu sama lain

sebagai penghuni posisi dan datang untuk memiliki harapan bagi orang lain ini. Keempat,

10

Henry Tajfel, “Social Categorization”, dalam S Moscovici (ed) Introduction a la psychilogic sociale,

Vil 1 (Paris: Larousse, 1972),31 11

Michael A. Hogg & Dominic Abrams, Social Identification: A Social Pshchology of Intergroup

Relation and Group Processes, (London:Routledge, 1998), 61-62 12

Jan E. Stects and Peter J.Burke, A Sociological Approach to self and Identity (Departement of

Sociology: Washington State University, tanpa tahun), 9-10.

6

bahwa orang yang bertindak dalam konteks struktur sosial juga menamai diri mereka sendiri

dan menciptakan makna terinternalisasi dan harapan berkaitan dengan perilaku mereka

sendiri. Kelima, bahwa harapan dan makna dari dasar penuntun untuk perilaku sosial dan

dengan persimpangan menyelidik antara aktor ini membentuk dan membentuk kembali isi

dari interaksi, serta kategori, nama-nama dan arti yang digunakan.

2. Syarat Dan Proses Terbentuknya Identitas Sosial

Setelah melihat konsep identitas, penting juga bagi penulis untuk melihat bagaimana

bangsa Israel sebagai komunitas kecil pasca pembuangan dapat kembali membentuk identitas

dirinya ketika diperhadapkan dengan penduduk asli di Yehuda. Sebab itu perlu untuk melihat

apa sajakah syarat dan bagaimana proses dalam membentuk identitas.

Identitas sosial terbentuk sebagai akibat dari keanggotaan kita dalam suatu kelompok

kebudayan. Indetitas sosial terbentuk melalui proses kategorisasi diri dan perbandingan sosial

yang lebih menekankan pentingnya faktor kelompok dari pada individu. Menurut Jenkins,

identitas diri merujuk pada cara yang digunakan oleh individu dan kelompok dilihat dari

hubungan sosial mereka dengan kelompok lain.13

Dalam istilah Erick Erikson, identitas diri

merupakan sebuah kondisi psikologi secara keseluruhan yang membuat individu menerima

dirinya, memiki orientasi dan tujuan dalam mengarahkan hidupnya seta keyakinan

internalnya.14

Menurut Burke dan Stets , identitas adalah seperangkat makna yang menentukan arti,

seperti: peran seseorang dalam masyarakat, anggota dari kelompok tertentu, atau karakteristik

khusus yang mengidentifikasi dia sebagai pribadi yang unik. Sebagai contoh, individu

memiliki makna bahwa mereka berlaku untuk diri mereka sendiri ketika mereka adalah

mahasiswa, pekerja, pasangan, atau orang tua (ini adalah peran yang mereka tempati), ketika

13

Stects and Burke, A Sociological, 6. 14

Erick. H. Erikson, Identitas Dan Siklus hidup Manusia; bunga rampai I. Penerjemah agus cremes

(Jakarta: PT. Gramedia, 1989).

7

mereka adalah anggota dari persaudaraan (ini adalah keanggotaan dalam kelompok tertentu),

atau ketika mereka mengklaim mereka adalah individu keluar atau orang moral (ini adalah

karakteristik pribadi yang mengidentifikasi diri mereka sebagai orang yang unik).15

Fearon menyimpulkan tiga pengertian dasar yang sering digunakan oleh para ahli

dalam mendefenisikan identititas diri:16

1. Keanggotaan dalam sebuah komunitas yang menyebabkan seseorang merasa terlibat,

termotivasi, berkomitmen dan menjadikannya rujukan atau pertimbangan dalam

memilih dan memutuskan sesuatu berdasarkan hal yang normatif. Terbentuknya

identitas diri pada dasarnya dipengaruhi secara intensif oleh interaksi seseorang

dengan lingkungan sosialnya. Identitas diri yang digunakan seseorang untuk

menjelaskan tentang dirinya (individu) biasanya juga berisikan identittas sosial.

2. Identitas diri juga merujuk pada konsep abstrak dan relatif dan jangka panjang yang

ada dalam pikiran seseorang tentang siapa dirinya, menunjukan eksistensi dan

keberhargaan serta membuat dirinya menjadi „seseorang‟. Karena itu identitas diri

juga biasanya berisi harga diri seseorang (self esteem). Konsep ini menunjukan bahwa

identitas diri merupakan sesuatu yang berperan sebagia motivator perilaku yang

menyebabkan keterlibatan emosional yang mendalam dengan individu tentang apa

yang dianggapnya sebagai identitas diri.

3. Identitas diri bukan hanya terdiri dari suatu „bentuk‟, tapi juga termasuk potensi dan

status bawaan sejak lahir, misalnya jenis kelamin dan keturunan.

Berdasarkan beberapa pengertian identitas diri di atas dapat disimpulkan bahwa

identitas diri merupakan sebuah triminologi yang cukup luas yang dipakai seseorang untuk

menjelaskan siapakah dirinya. Identitas diri dapat berisi atribut fisik, keanggotaan dalam

15

Peter J. Burke and Jan E. Stets, Identity Theory (New York: Oxford University Press, 2009), 3. 16

Fearon, James D and David D. Laitin Expalining Ethnic Violence, (Presented March Instituute,

Madrid, May 1997), 21.

8

suatu komunitas, keyakinan, tujuan, harapan, prinsip moral atau gaya sosial. identitas diri

juga merupakan sesuatu yang disadari dan diakui individu sebagai sesuatu yang menjelaskan

tentang dirinya dan membuatnya berbeda dengan orang lain.17

Teori identitas berusaha untuk menjelaskan makna khusus bahwa individu dapat

memilki beberapa identitas; dan bagaimana identitas ini berhubungan satu sama lain untuk

setiap satu orang; bagaimana identitas mereka mempengaruhi perilaku mereka, pikiran, dan

perasaan atau emosi; dan bagaimana identitas mereka mengikat mereka ke masyarakat luas.

Dengan demikian, ada sistem yang saling mempengaruhi antara karakteristik individu dan

karakteristik dari masyarakat. Oleh karena itu kita perlu memahami dua sifat yakni, sifak

individu yang menciptakan masyarakat dan sifat masyarakat di mana individu bertindak.18

Adapun syarat-syarat penting komunitas atau sebuah kelompok sosial menurut

Charles H. Cooley dalam tulisan Soerjono Soekanto adalah:19

bahawa angota-anggota

kelompok tersebut secara fisik berdekatan suatu dengan yang lainnya, dan adanya suatu

kelanggengan dari pada hubungannya antara angota-anggota kelompok yang bersangkutan.

Soerjono juga menambahkan bahwa himpunan manusia yang dapat disebut sebagai kelompok

sosial jika memenuhi beberapa persyaratan seperti: pertama, setiap anggota kelompok harus

sadar bahwa dia merupakan kelompok bersangkutan. Kedua. Adanya hubungan timbal-balik

antar anggota yang satu dengan yang lainnya. Ketiga, ada suatu faktor yang dimiliki bersama,

sehingga mereka bertambah erat. Seperti: latar belakang sejarah yang sama, kepentingan

yang sama, tujuan dan ideologi politik yang sama. Keempat,berstruktur, berkaidah dan

memiliki pola perilaku serta bersistem dan berproses.20

17

Fearon, Laitin Expalining, 23 18

Burke and Stets, Identity Theory, 4. 19

Soekanto, Sosiologi Suatu,138. 20

Soekanto, Sosiologi Suatu, 125-126.

9

Teori Identitas sosial menurut Michael A. Hogg yang juga mengikuti pola Tajfel

mengatakan bahwa ada tiga proses pembentukan identitas sosial, yaitu:21

1. Kategori Diri (Self Categorisation)

Kategorisasi diri merupakan komponen kognitif dari identitas sosial dan berfungsi

untuk mengatahui bagaimana sebuah kelompok mengkonstruksi dirinya dihadapan kelompok

lain terkait dengan ciri-ciri tertentu yang dimilikinya. Kategorisasi diri merupakan kesadaran

atas keanggotan dalam kelompok yang dapat digunakan untuk membedakan antara individu

yang menjadi bagian dari kelompok sendiri (ingroup) dan individu dari kelompok lain

(outgroup).

2. Perbandingan Sosial (Social Comparison)

Menurut perbandingan sosial, individu cenderung membandingkan dirinya dengan

individu lain yang mirip dengannya. Lebih spesifik lagi, ketika individu berada dalam kondisi

kekurangan makna-makna objektif atas opini dan kemampunnya, dia akan membandingkan

opini dan kemampuannya terhadap individu lain yang mirip denganya. Dari proses

membanding-bandingkan itu, individu berharap akan menemukan perbedaan-perbedaan yang

bervalensi positif pada dirinya.

3. Model Interaksional

Meskipun dalam teori identitas sosial kelompok ditempatkan sebagai unit analisis

utamanya, tetapi hal itu bukan berarti faktor-faktor individual diabaikan. Setidaknya hal ini

ditunjukan oleh model interaksional pembentukan identitas sosial yang melihat secara lebih

komprenhensip bagaimana identitas sosial itu terbentuk, karena bukan hanya faktor

kelompok saja yang menentukan terbentuknya identitas sosial individu, tetapi juga terkait

21

Michael Hogg, dalam Ridyawanit tentang Hubungan Identitas Sosial dan Konformitas Kelompok

dengan Agersvitas. Diunduh dari: http://library.gunadarma.ac.id/repository/files/241428/10507204/bab-ii.pdf,

pada 07 November 2014, 22:27 WIB.

10

dengan bagaimana individu berinteraksi dengan semua anggota kelompok dan bagaimana

cara individu mengadopsi nilai-nilai yang ada di kelompoknya maupun kelompok lain.

3. Identitas dalam Teori Postkolonial

Identitas juga merupakan cara seseorang menjaga kelangsungan diri, yang

menghubungkan masa lalu dan masa kini. Seperti halnya bangsa Israel yang membawa

pengalaman mereka dalam masa pembuangan, kemudian pengalaman ini tetap terjaga sampai

bangsa Israel tiba di Yehuda. Sehingga identitas Bangsa Israel harus dilihat dalam bentuk

pengalaman-pengalaman koloni.

Di negara-negara difusi, identitas merupakan pengalaman seseorang untuk mengenal

dan membedakan dirinya dengan orang lain. Pada intinya, identitas menjadi sarana di mana

orang mengatur dan memahami pengalaman mereka dalam berbagai sistem makna dengan

orang lain/other.22

Dalam refleksinya pada identitas, Stanley Aronowitz menegaskan bahwa

teori-teori yang lebih tua cenderung menempatkan masyarakat dan individu sebagai sesuatu

yang stabil. Stuart Hall mengasumsikan bahwa di masa lalu wacana identitas bertumpu pada

gagasan ketetapan dan kestabilan, di mana keaslian dianggap sebagai jaminan untuk

mengamankan kelangsungan dan menolak perubahan dari dunia. Logikanya identitas

berhubungan dengan „jati diri‟, bahasa identitas sering dihubungkan dengan pencarian

keaslian dari pengalaman seseorang. Menurut Rajchman, dalam wacana yang lebih tua

identitas bertumpu pada mengesampingkan yang lain „other‟, individu atau kelompok lain

yang dirasakan memilki potensi ancaman atau bahaya. Dalam dunia kontemporer

memunculkan obsesi dengan menegaskan identitas atau kesamaan dari anggota kelompok

yang bertujuan untuk menegaskan perbedaan dengan apa yang dianggap sebagai ancaman;

seperti „different or other‟. Perbedaan yang dirasakan mungkin milik sejumlah tipologi

22

Ruthellen Josselson, Finding Herself: Pathways to Identity Developmen in Women (San Fransisco:

Jossey-Bas Publisher, 1990), 10-11.

11

seperti ras, agama, etnis, jenis kelamin, kelas, preferensi seksual, atau status lainnya yang

diambil untuk menjadi "dasar" dalam arti tertentu seharusnya mengkhawatirkan.23

Sejalan dengan postmodern, teori postkolonial sepenuhnya menganut wacana

identitas dengan mengakui destabilisasi dan fragmentasi yang mempengaruhi konsep

identitas. Destabilisasi konsep identitas berasal dari kesadaran bahwa identitas merupakan

pertanyaan yang melibatkan hubungan„self or other‟. Tanpa lainnya/other, tidak akan ada

diri, tidak ada identitas. Perhatian kontemporer dengan menyoroti keberadaan proposisi yang

alteritas (perbedaan atau keberadaan yang lain) guna menentukan proses identifikasi. Ini

adalah keberadaan the other yang memberikan makna diri.24

Banyak pemikir sepakat hari ini pada sifat pergeseran identitas dalam dunia global

yang ditandai dengan apa yang disebut Edward Said dalam Budaya dan Imperialisme

"campuran budaya dan identitas". Untuk Edward Said, ketidakstabilan merupakan

karakteristik utama dari identitas. Identitas selalu berlangsung, berfluktuasi antara perbedaan,

pergeseran melewati proses tanpa akhir. Identitas pluralistik adalah gagasan yang

membutuhkan pengolahan, bagi Homi Bhabha contoh identitas pluralistik yakni hibriditas.25

Konsep hibriditas seperti ini tak terelakkan terkait dengan gagasan ambivalensi dan

ketidakpastian, karena adanya ketidak tetapan antara kesamaan dan perbedaan, muncul dari

ketidak mampuan untuk mengadopsi satu identitas tertentu.

Ada beberapa tema yang berhubungan dengan identitas terutama bagaimana mereka

yang terjajah kemudian memaknai identitas mereka ketika berhadapan dengan pengaruh-

pengaruh penjajah yang ada disekitar mereka. Contohnya dalam melihat latar belakang Ezra,

ketika ada dalam pembuangan di babylonia, secara tidak langsung bangsa Israel ingin seperti

23

Cherki Karkaba, Deconstructing Indentity in Postcolonial Fiction (Marocco: Sultan Slimane

University, 2010), 92-93. 24

Karkaba, Deconstructing Indentity, 93. 25

Karkaba, Deconstructing Indentity, 93-94.

12

Babylonia, yang maju dan berkuasa. Namun disaat yang sama bangsa Israel tetap menjaga

identitas mereka, inilah disebut „ambivalensi‟ mencintai sekaligus membenci tetapi

merupakan bentuk dari penolakan atau pemberontakan yang dijajah terhadap kekuasaan

kolonial. Dalam rangka membahas masalah identitas, penting untuk memahami sejumlah

tema seperti tema ambivalensi, mimikri, dan hybriditas yang merupakan bagaian yang tidak

terpisahkan dari pembentukan identitas, terutama bagi mereka yang berhadapan dengan

kekuasan penjajah/kolonial, seperti:26

a) Ambivalensi : Melalui konsep ambivalensi adanya proses yang kompleks terkait

bagaimana yang dominan „memandang‟ yang subordinat, begitu pula sebaliknya

bagaimana yang subordinat mengganggu yang dominan dengan bentuk mimikri.

Konsep ambivalensi menunjukan bahwa subjek poskolonial tidak pernah utuh

menjadi posisi diri yang terjajah maupun yang menjajah (dominan). Artinya ketika

penjajah dengan agresif menyatakan superiornya kepada penjajah, namun selalu

cemas untuk merenungkan identitasnya sendiri, yang tidak cukup stabil seperti

menyiratkan agresi.

b) Mimikri : Mimikri merupakan proses kultural yang memberi peluang

berlangsungnya agensi dari subjek kolonial untuk memasuki kuasa dominan

sekaligus bermain-main di dalamnya dengan menunjukkan subjektivitas yang

menyerupai penjajah tetapi tidak sepenuhnya sama. Ambivalensi berkaitan dengan

mimikri, dengan terjajah mengadopsi dan beradaptasi dengan budaya penjajah bukan

berarti terjajah berasimilasi kedalam budaya penjajah (dominan).

c) Hybrid : Konsep ini memandang suatu budaya tidak pernah murni, budaya bukan

fenomena terpisah sebaliknya, mereka selalu melakukan kontak dengan orang lain;

dan kontak ini menyebabkan „cultural mixed‟.

26

David Huddrat, Homi K. Bhabha (London and New York, 2006), 24-39.

13

Dalam wacana baru ini, identitas dalam teori postkolonial menjadi proses interogasi.

Teori postkolonial memandang identitas sebagai proses yang terus menerus berubah di mana

self, dalam negosiasi terus-menerus dengan the other, dalam memberlakukan mekanisme

self-interogasi.

4. Identitas Masyarakat Diaspora

Ketika melihat perjalanan panjang bangsa Israel dari masa pembuangan hingga pasca

pembuangan, identitas bangsa Israel berupa simbolik; dimana Yerusalem disombolik sebagai

tanah, Bait Allah sebagai pusat kehidupan serta torah yang berfungsi untuk mempersatukan

antara tanah dan pusat kehidupan. Kuatnya identitas bangsa Israel itu terlihat dari

diberlakukananya torah di Yerusalem, sehingga penulis merasa penting untuk melihat

identitas bangsa Israel sebagai masyarakat diaspora. Apakah dalam pasca pembuangan

identitas bangsa Israel akan pudar ataukah semakain mengkristal.

Istilah diaspora berasal dari bahasa Yunani „diapeiro‟ , kemudian diterjemahkan

dalam bahasa Inggris „dispersion‟ yang bermakna terpencar atau penyerbarluasan; yang

berarti menyebar keluar negeri ataupun menyebar disekitarnya. Oleh karena itu istilah

diaspora menurut Webster mencakup gagasan tentang sebuah pusat, lokus atau sebuah

'rumah' dari mana penyebarluasan itu terjadi. Dalam kamus di Amerika Serikat menyoroti

hubungan kata ini (diaspora) dengan penyebaran orang-orang Yahudi setelah pembuangan di

Babel; yang tetap berusaha mempertahankan ikatan komunitas yang kuat beserta dengan

tradisi, budaya, dan agama mereka.27

Menurut Brah, penggunaan istilah diaspora

memungkinkan kita untuk mulai mendekonstruksi rezim kekuasaan yang beroperasi untuk

membedakan satu kelompok dari kelompok yang lain; dan untuk mewakili mereka sebagai

yang sama atau berbeda; untuk memasukan atau mengeluarkan mereka dari rekonstruksi

27

Avtar Brah, Cartographies of Diaspora Contesting identities (London: Raoutledge, 1996), 178.

14

bangsa.28

Para ilmuan sosiologi modern menggunakan istilah „diaspora‟ merujuk kepada

para migran yang tinggal di daerah perantauan dan melahirkan generasi-generasi baru di

perantauan, namun semuanya tetap menjaga hubungan kekeluargaan dan melakukan

kunjungan berkala ke daerah asal mereka.29

Paul Gilory mengidentifikasi diaspora sebagai suatu hubungan relational,

pembentukan karakater yang disebabkan penyebaran suku atau etnis secara terpaksa. Faktor

pendukung diaspora yakni adanya suatu pengaruh yang dominan, seperti perang atau desakan

internal dalam suatu wilayah, atau faktor ekonomi. Pendapat lainnya, tidak hanya membatasi

diaspora hanya tempat penampungan bagi etnis yang terusir paksa.30

Menurut Jana Evans

Braziel, diaspora adalah suatu istilah yang secara harafiah berada pada tingkatan historis,

dimana suatu etnis „memindahkan tanah air atau homeland‟ mereka melalui migrasi atau

mengasingkan diri sebagai konsekuensi dari upaya perluasan daerah koloni.31

Demikian

halnya diungkapkan Sheffer, diaspora adalah suatu kelompok etnis atau bangsa yang

meninggalkan tanah airnya; karena adanya kekerasan atau hal lainnya, namun di lain pihak

tetap memilihara identitas kolektifnya (bahasa, agama, budaya). Sheffer menggolongkan

diaspora atas dua kategori yakni diaspora lama atau traditional historical dan diaspora baru.32

Vertovec membagi diaspora dalam tiga kategorisasi, yang menyangkut proses

penyebaran, masyarakat yang tinggal di daerah asing, serta tampat atau ruang geografis

dimana mereka tinggal atau berdiaspora. Secara sosiologis dan antropologis, diasporik atau

masyarakat diaspora mengalami pola perubahan akibat interaksi dan adaptasi dengan

28

Brah, Cartographies of, 179. 29

Singgih Tri Sulistiyono, Ðiaspora dan Proses Formasi „Keindonesiaan‟: Sebuah Pengantar Diskusi

(Makala dipresentasikan pada Konfrensi Sejarah IX, 5-7 Juli, 2010), 8. 30

Jana Evans Braziel & Anita Mannur, Theorizing Diaspora (Germany : Blackwel Publishing, 2003),

1-3. 31

Braziel & Mannur, Theorizing Diaspora, 5. 32

Gabriel Sheffer, Diaspora Politics At Home Abroad (England: Cambridge Iniversity Press, 2002),

18.

15

masyarakat lokal. Pola perubahan ini berhubungan dengan migrasi dan status minoritas yang

meliputi etnis dan pluralisme agama, identitas serta perubahan lainnya.33

Dalam menyimpulkan pendapat para ahli sebelumnya, Safran mengusulkan teori

Diaspora Klasik yang dijelaskannya dalama lima karakteristik dari diasporik, yaitu: Pertama,

etnis atau suku yang meningalkan tanah airnya karena terpaksa menuju daerah asing. Kedua,

mereka tetap mempertahankan memori kolektif, visi atau sejarah tentang tanah airnya.

Ketiga, disamping itu adanya kesadaran bahwa tidak sepenuhnya mereka akan diterima oleh

karena itu sebagian dari mereka mengasingkan diri. Keempat, masyarakat diaspora

menganggap bahwa tanah air mereka merupakan wilayah ideal sehingga ada harapan untuk

kembali. Kelima, mereka tetap berupaya untuk menghubungkan dirinya dengan tanah airnya

dengan cara memilihara kebudayaan dan kepercayaannya.34

Lewat karakteristik tersebut

dapat dijelaskan bahwa, populasi diasporik „terintegrasi‟ tetapi tidak „terasimilasi‟ dengan

penduduk lokal, yang disebabkan oleh adanya kesadaran mempertahankan identitas yang

kuat karena masih memelihara memori tentang daerah asal dan sejarahnya, atau dikenal

dengan istilah „komunitas imajiner‟.

B. Perempuan Sebagai ‘sang liyan’

Ketika Ezra melarang adanya perkawinan bahkan pengusiran bagi perempuan yang

telah dinikahi oleh laki-laki Israel, hal tersebut bukan hanya sebagai upaya mempertahankan

identitas melainkan kecenderungan dalam memandang perempuan-perempuan asing sebagai

yang lain dari komunitas Israel yang harus dihindari. Maka dengan itu teori sang liyan atau

the other untuk menolong penulis dalam memahami kitab Ezra terkhusnya perlakuan Ezra

terhadap perempuan asing.

33

Steven Vertovec, “Religion and Diaspora” dalam Peter Antes, A, A. W. Geertz and Randi Arne, New

Approachhes of Transnational Studies, Vol 1 (Belin: Walter de Gruyter, 2004), 275-297. 34

Wilian Safran , “The Jewish Diaspora in a Coparative and Theoretical Perspective” Vol 10/No 1,

(Spring : 2005), 36-38.

16

Teori „the other‟ atau yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai „sang

liyan‟, pertama kali di bentuk dari rekonstruksi budaya oleh Simone de Beavoir yang

menyebutnya „perempuan sebagai sang liyan‟. Ia menyatakan bahwa, kategori „sang liyan‟

sangat fundamental dalam pembentukan seluruh manusia menjadi subjek, disebabkan

pengertian kita tentang diri sendiri.35

Artinya bahwa, „sang liyan‟ itu muncul, ketika

perempuan mempersepsikan dirinya bukan sebagai manusia seutuhya, oleh karena itu adanya

dorongan untuk perempuan harus menggunakan agensi atau badan mereka dalam melayani

manusia yang dianggap utuh (yang dimaksudkan dengan manusia utuh ialah laki-laki).36

.

Dengan cara pandang seperti itu, ia yakin bahwa bagian dari laki-laki. Sehingga terciptakan

citra laki-laki sebagai subjek sedangkan perempuan adalah objek atau „yang lain‟ (the other).

Dalam menjelaskan dasar teorinya tentang perempuan Beauvoir mengacu pada teori

eksistensialisme dari Jean Paul Sartre tentang tiga modus atau konsep „ada‟ pada manusia.

Konsep yang dipakai ialah etre pour les autres atau ada untuk orang lain. Bagi Satre, setiap

relasi antar manusia pada dasarnya bermula dari konflik. Dalam perjumpaan antar subyek

atau kesadaran, aktivitas menindak berlangsung, artinya masing-masing pihak

mempertahankan kesubyekannya, dunianya, dan berusaha mengobyekan orang lain.37

Beauvoir mengemukakan bahwa, laki-laki dinamai sang „diri', sedangkan “perempuan” sang

Liyan. Jika Liyan adalah ancaman bagi „diri‟, maka perempuan adalah ancaman bagi laki-

laki. Oleh karena itu, jika laki-laki ingin tetap bebas, ia harus mensubordinasi perempuan

terhadap dirinya.38

Lacan memahami konsep „sang liyan‟, sebagai korban dari tata simbolik. Tata

simbolik berhubungan erat dengan aturan laki-laki, yang diungkapkan dalam bahasa dan cara

35

Sarah Gamble, Pengantar Memahami Feminisme & Postfeminisme (Yogyakarta: Jalasutra, 2004),

41. 36

Nancy Bauer, Simone De Beauvoir: Philosophy & Feminism (New York: Columbia University

Press, 2001), 44. 37

Arivia, Filsafat Berperspektif ,123. 38

Arivia, Filsafat Berperspektif, 124.

17

berfikir, dimana laki-laki selalu diistimewakan. Simbol istimewa dari laki-laki yakni „phallus‟

atau „lingga‟ ialah lambang kemaluan laki-laki, maka timbulah rasa bersalah dari perempuan

karena tidak memiliki „phallus. Ketidakpemilikan lingga membentuk perempuan

mendeskripsikan dirinya sebagai bentuk lain dari laki-laki yang tidak sempurna, sehingga

memaksa perempuan untuk berpesan sebagai bawahan dari laki-laki. Oleh alasan inilah

perempuan dikonstruksikan sebagai sang liyan.39

Kontribusi Spivak di dasarkan pada perbedaan antara perempuan dari berbagai segi,

yang menekankan bahwa penilaian terhadap perempuan tidak dapat diwakilkan hanya oleh

para intelektual barat dan para lelaki tidak dapat membuat pernyataan atas nama perempuan.

Karena ketika laki-laki berbicara mengatasnamakan perempuan, tanpa disadari telah

merekonstruksi perempuan sebagai sang liyan.40

Bagi Spivak, liyan disebut juga sebagai

subaltern yang mengacu pada kelompok yang lemah, dan yang tidak berdaya.

Ketidakberdayaan subaltern ini berasal dari penindasan yang mereka alami, sehingga

perempuan terkonstruksikan menjadi kelompok minoritas, berkulit hitam, perempuan, ras

pinggiran, dan warga negara kelas dua.41

Melihat jauh kebelakang pada masyarakat Yunani kuno, bentuk geografis dari sang

liyan diawali dari perbedaan cara penuturan Yunani dan Barbar. Barbar adalah orang yang

tidak berbicara bahasa Yunani dengan demikian dianggap tidak menguasai logos. Dalam

demensi geografis sang liyan terbentuk karena budaya permukaan di bagi menjadi blok-blok

spasial (seperti,\: negara, zona, benua). Konstruksi sang liyan didasarkan hirarki peradaban

dan mengharuskan kriteria universal yang memungkinkan terjadi perbandingan.42

39

Elizabeth Grosz, Jacques Lacan: A Feminist Introduction (New York: Routledge, 1990), 69. 40

Sangeeta Ray, In Other Words (India: Wiley-Blackwell, 2009), 107-19. 41

Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006), 40. 42

Jean Francois Staszak, „Other/Otherness,‟ International Encyclopedia of Human Geography (2008),

4.

18

Semua kelompok cenderung akan menghargai diri sendiri dan membedakan diri dari

orang lain merupakan wacana terbentuknya sang liyan. Selain itu sang liyan terbentuk akibat

konstruksi masyarakat Barat berbicara mengatasnamakan masyarakat non Barat, sehingga

kemampuan untuk menginterpretasikan diri sebagai non Barat menjadi kabur. Menurut

Staszak,43

masyarakat Barat menonjol karena dua alasan. yakni: 1) identitas sang liyan di

dasarkan pada logika biner, 2) kolonialisasi memungkinkan Masyarakat Barat untuk

mengekspor nilai-nilai kepada masyarakat non Barat, sehingga terjadinya pembauran budaya.

Bagi Staszak kategori identitas Barat dan sang liyan ditransmisikan melalui kalim universalis

agama dan ilmu pengetahuan yang diberlakukan paksa melalui kolonisasi.

Negara tradisonal atau dunia ketiga dipandang sebagai orang Kristen yang tidak

memilki keuntungan, sehingga perempuan Asia dianggap berhak menjadi yang berbeda atau

sebagai sang liyan. Menurut teolog Asia Marianne Katoppo,44

konsep sang liyan terbentuk

dari laki-laki yang menganggap nilai mereka sebagai manusia utuh tidak boleh terancam oleh

keberadaan perempuan. Laki-laki yang merasa terancam akan beraksi secara emosional,

sehingga mereka gagal menyadari bahwa pembebasan perempuan juga merupakan

pembebasan manusia sejauh berkaitan dengsan pembebasan semua orang untuk menjadi

pelaku penuh dalam masyarakat. Reaksi tersebut dikarenakan oleh rasa takut akan kehilangan

status, runtuhnya struktur patriakal dan takut terancam oleh sang liyan. Refleksi Maraianne

terhadap perempuan Asia penuh dengan ketidakpastian. Hal ini dapat dikaitkan dengan faktor

budaya dan pendidikan, sejak usia dini perempuan telah dikodratkan untuk tunduk dan

memilki status di bawah laki-laki.45

Status perempuan tidak akan pernah menjadi utama

bahkan untuk menentukan haknya sendiri, perempuan akan selalu berperan sebagai putri, istri

atau ibu dari seorang laki-laki.

43

Staszak, Other/otherness, 4. 44

Marianne Katoppo, Compassionate and Free: An Asian Woman‟s Theology (New York: Orbis

Books, 1981), 8. 45

Katoppo, Compassionate and, 10.

19

C. Kedudukan Laki-laki dan Perempuan di Israel Kuno

Masyarakat Israel Kuno sangat melekat dengan dunia patriakhal, ketika Ezra

memutuskan harus memisahkan antara laki-laki Israel dan perempuan asing menunjukan

bahwa kedudukan perempuan sangat terancam; sehingga dalam setiap keputusan nasib

perempuan di Israel tidak diperhitungkan. Oleh sebab itu teori ini kiranya dapat menolong

melihat bagaimana kedudukan sebenarnya antara laki-laki dan perempuan di Israel Kuno.

Parameter dominasi laki-laki telah menjadi norma hampir di semua lapisan

masyarakat. Ahli seperti Rogers mendaftar karakteristik dalam sistem dominasi laki-laki,

yang juga dapat digunakan dalam mempertimbangkan kelompok sosial di Israel, yakni;46

1)

Wanita dikaitkan dengan urusan rumah tangga. 2) Masyarakat yang berorientasi ranah

domestik; kehidupannya berpusat di sekitar rumah, dan apa yang terjadi memiliki implikasi

untuk kehidupan diluar rumah. 3) Hak formal dalam masyarakat dapat merugikan

perempuan; tetapi di hari-hari resmi, perempuan dapat memberikan kekuasan dalam

komunitas kecil. 4) Sebuah konsekuensi terhadap item ke-3, bahwa laki-laki tetap memiliki

akses yang lebih besar dalam aspek formal, politik, dan struktur masyarakat. 5) Pria yang

sibuk dengan kegiatan secara kultural tetap dihargai. 6) Laki-laki dan perempuan saling

ketergantungan dalam hal-hal penting, misalnya; politik, ekonomi. Kemungkinan laki-laki

secara otonom betindak namun laki-laki membutuhkan perempuan untuk bertahan hidup.

Menurut Rogers item ke-6 penting karena, memperlihatkan tindakan saling

mengimbangi antara otoritas laki-laki dan kekuatan perempuan. Model ini juga dapat

memberi petunjuk untuk mengevaluasi hubungan gender dalam formatif Bangsa Israel.

Patriarki dalam kanon Alkitab menetapkan sifat androsentrik Israel Kuno sehubungan dengan

hukum-hukum yang bersifat formal dalam masyarakat. Item pertama, dapat diasumsikan

46

Carol Meyers, Discovering Eve; Ancient Israelite Women In Context (New York: Oxford University

Press, 1988), 43.

20

bahwa tidak semua perempuan dalam Alkitab tidak tergabung dalam orientasi publik. Dalam

Alkitab secara terang-terangan peduli dengan kehidupan publik dan korporasi yang

memperlihatkan peran perempuan. Yang disebut patriarki dalam kitab Kejadian ialah

pengaturan sosial terhadap kehidupan keluarga dan penokohan perempuan dalam diri orang

laian „matriarchs‟ yang merupakan bagian penting dalam narasi.47

Selama priode pramonarki, Isreal Kuno diyakini telah memiliki tiga tingkatan dalam

organisasi kemasyarakatan, yakni; tribe, clan atau family, dan household. Unit utama dalam

organiasi kemasyarakatan di Israel adalah tribe atau suku. Setiap suku memiliki namanya

sendiri, yang berasal dari nama para leluhur atau berasal dari nama anak laki-laki yang

disegani.48

Di Israel Kuno, orang-orang yang tidak terikat dengan hubungan darah atau

keluarga akan membentuk mispahah (clan or family), atau kelompok kekerabatan keluarga

yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu dan bekerja di kebun yang mengelilingi desa

mereka. Pada saman besi jumlah orang dalam ‟mispaha‟ sekitar 100 jiwa yang

memungkinkan untuk membentuk suatu desa. „Mispaha‟ dibagi menjadi unit-unit rumah

tangga, gabungan dari keluarga.49

Penekanan besar terhadap silsilah dalam catatan Alkitab adalah pentingnya konsep

patrilinear. Demikian pula triminologi untuk unit dasar keluarga, yang dikenal dengan bet‟ab

yang secara harafiah berarti father‟s house; terdiri dari keluarga sedarah serta perempuan

yang terhubung melalai suatu pernikahan. Selain keluarga inti dari dua orang tua dan anak-

anak yang belum menikah, bet‟ab terdiri dari beberapa genarisi anggota keluarga serta budak,

hamba.50

Salah satu bentuk kompleksitas bet‟ab digambarkan dalam kisah Mikha dalam

Kitab Hakim-hakim 17. Bet‟ab tidak hanya merujuk pada anggota keluarga, tetapi juga

47

Meyers, Discovering Eve, 43-44. 48

Meyers, Discovering Eve, 124-125. 49

Jennie R. Ebeling, Women‟s Lives in Biblical Times (New York: T&T Clark International, 2010), 26 50

Ebeling, Women‟s Lives, 27.

21

menyangkut aspek ekonomi, dan itu termasuk struktur rumah tangga, harta, hewan serta

manusia. Jadi bet‟ab dapat diterjemahkan sebagai family household, karena

mempertimbangkan berbagai fungsi rumah tangga, produksi rumah tangga, kegiatan sosial,

kutus atau praktek religius

Karena keturunan dan warisan pada umumnya diperhitungkan melalui ayah, bet‟ab

sehingga sering dianggap sebagai unit patriakal dengan otoritas yang tertinggi ilah laki-laki

tertuah dalam rumah tangga. Namun dalam penerapan model patriakal di Israel Kuno, juga

terdapat peran utama perempuan dalam pengambilan keputusan penting di keluarga dan adat

istiadat, seperti; perkawinan. Bukti menunjukan bahwa perempuan memilki kekuasaan dalam

periode di masyarakat agraris, berdasarkan periode ini kontribusi ekonomi sangat besar pada

suatu rumah tangga. Pentingnya perempuan dalam rumah tangga Israel dalam Alkitab

Ibarani, yang disebut bet‟em atau mother‟s house. Dalam empat ayat-ayat (Kej 24,28; Ruth

1:8; Kidung Aguang 3,4) ini mencakup ekspersi bet‟em, dengan teks yang menceritakan

hubungan dengan hikmat ini hadir; ketika perempuan sebagai agen yang menentukan

nasibnya sendiri, pengaturan domestik dan pernikahan. 51

Dalam konsep Perjajian Lama, perempuan dalam masyarakat Israel sepenuhnya di

tentukan oleh penilaian yang diberikan oleh suami dan anak-anak mereka. Fakta bahwa ayah

adalah kepala hukum dari rumah tangga dan bahwa setiap perempuan ada di bawah otoritas

beberapa laki-laki, yakni; ayah dan kemudian suaminya.52

Oleh karena itu wanita dipandang

sebagai harta benda namun terkadang perempuan dilihat sesuai dengan hak mereka sendiri.

Menurut Mace, dua faktor yang mempengaruhi kedudukan perempuan adalah;53

pertama,

bahwa adanya pengaburan antara istri yang memilki hak-hak hukum tertentu, sehingga dapat

mengajukan banding kepada keluarga mereka sendiri untuk memulihkan haknya, dengan

51

Ebeling, Women‟s Lives, 28. 52

Mary J. Evans, Women in the Bibile (Amerika: InterVarsity Press, 1983), 24. 53

David R. Mace, Hebrew Marriage (New York: The Philosophical Press, 1953), 184-186

22

hamba perempuan, yang memiliki sangat sedikit hak, dan selir yang lebih dari budak, dan

lebih kecil dari istri, mengakibatkan penurunan status perempuan secara umum. Istri mungkin

menemukan dirinya diperlakukan sebagai budak dan sebaliknya. Kedua, Mace melihat tidak

ada perbedaan jelas antara otoritas suami atau ayah. Wanita, dalam kaitannya dengan

seksualitas dimiliki oleh sang suami, itulah sebabnya mengapa hukum perzinahan dan

perceraian dalam kategori properti hukum.

Dalam literatur di Timur Dekat Kuno, memiliki undang-undang yang lebih

menguntungkan perempuan dibandingkan dengan Israel. Sebagai contoh, Kode Hammurabi

memungkinkan perempuan untuk mewarisi harta bersama dengan saudaranya laki-laki dan

ketika dia bercerai dengan suaminya mendapatkan bagian harta dari sang suami. McKenzie

menunjukan bahwa keadaan terbalik di Israel, perempuan tidak dapat membuat keputusan

moral secara pribadi, karena harus disetujui/disahkan oleh ayah atau suami. Vriezen

mengutip dari Reinfenberg bahwa, perempuan terikat untuk menyimpan berbagai ajaran

moral dan hukum yang merupakan tanggung jawab pribadi. Para perempuan Israel memang

memiliki hak, baik hukum dan ekonomi namun hak-hak ini diamankan dan dijaga, bukan

oleh dirinya sendiri melainkan ayah bagi perempuan yang belum menikah dan suami bagi

yang sudah menikah.54

Eichrodt mencatat bahwa di mana ikatan keluaga yang kuat,

peraturan-peraturan seakan tidak penting, hal ini menjelaskan mengapa perempuan yang

tidak memiliki keluarga untuk melindungi hak-hak mereka (seperti, janda dengan anak-anak),

berada di bawah perlindungan khusus dari Yahwe.55

Hubungan perjanjian antara Allah dan umat-Nya melibatkan berkat dan

tanggungjawab. Berkat yang di terima Israel berdasarkan hubungan khusus dengan Allah

beragam; namun yang terutama ialah umur panjang, kesejahteraan, anak-anak, dan tanah.

54

Mace, Hebrew Marage,189. 55

Walt-Her Eichrodt, Theology of the Old Tastamnet, Vol 1 (Philadephia: The Westminster, 1960), 81.

23

Dalam hal ini perempuan mengambil peran penting dalam pemunuhan janji, dan tidak ada

alasan untuk mengecualikan perempuan dalam menerima berkat untuk menjadi umat Allah.56

Benar bahwa perempuan tidak menerima sunat yang merupakan tanda lahiriah perjanjian, ini

mungkin ungkapan simbolik akan fakta bahwa perempuan berstatus sekunder sejak lahir.

Disisi lain sunat merupakan simbolik dari fungsi yang menandai laki-laki yang akan

mewakili keluarganya di hadapan Allah. Perempuan Israel juga memiliki tanggung jawab

yang sama dengan laki-laki yakni, untuk menjaga hukum dan menjaga kemurnian budaya.

Dari penjelasan diatas, tampak jelas bahwa hukum di Israel tidak dirancang untuk mencabut

perempuan dalam menerima berkat kultus; seperti yang tertulis dalam Ulangan 31:9-13.57

1. Perkawinan dan Perceraian di Israel Kuno

Perkawinan dalam dunia Israel Kuno sangat sakral dan sangat penting dalam tatanan

masyarakat Israel, sehingga teori ini dirasa penting untuk membantu penulis dalam mehamai

perkawinan seperti apakah yang diperbolehkan di Israel yang juga akan membantuk untuk

melihat alasan adanya larangan pernikahan dengan perempuan asing.

Ketika Allah menciptakan manusia pertama yakni laki-laki, dirasakanNya laki-laki

tidak baik sendiri, sehingga membutuhkan seseorang untuk membantunya; oleh karena itu

Allah menciptakan perempuan untuk menjadi penolong. Perempuan diambil dari laki-laki,

sehingga perempuan harus berada dengan laki-laki; agar menjadi manusia seutuhnya.58

Latar

belakang inilah yang dianggap menjadi dasar mengapa perkawinan dianggap penting dalam

kehidupan masyarakat Israel.

Dari manakah laki-laki Israel menemukan perempuan yang paling tepat untuk

dijadikan sebagai penolong dan untuk membentuk keluarga baru? Dalam hal perkawinan,

56

Vos, Women in, 131. 57

Vos, Women in, 51-59. 58

Johanes Pedersen, Israel Its Life Culture, Vol 1 (Georgia: Scholars Press Atlanta, 1977), 61.

24

Bangsa Israel memiliki aturan tetap dan ketat. Prinsip utamanya ialah, seorang perempuan

yang tidak boleh jauh dari keluarga laki-laki; hal ini dilakukan untuk mengantisipasi

masuknya elemen atau unsur baru yang berbeda. Unsur baru yang berbeda akan berdampak

kekacauan dalam bet ab, di mana anak laki-laki dikeluarkan dari rumah ayahnya. Kisah

Abraham mencari istri untuk Ishak adalah contoh nyata dari penerapan aturan ini (Kejadian

24). Tujuan utamnya adalah, mencari seseorang yang berasal dari daging dan darah yang

sama, agar keturunan Abraham tetap murni.59

Alkitab Ibrani penuh dengan status perempuan sebagai istri dan ibu; istri merupakan

figur yang menonjol dalam narasi patriarkal khususnya dalam Kitab Kejadian, dengan banyak

cerita keluarga dan penekanan pada menciptakan skema silsilah. Menikah adalah situasi yang

diharapkan dari seorang wanita dewasa di Israel kuno, dan tidak menikah adalah sumber

penghinaan (Yes. 4.1). Tidak ada istilah Ibrani untuk istri; sebaliknya, para penulis Alkitab

menggunakan kata umum untuk "wanita" disebut 'Isya‟, sementara suami sering disebut

Ba'al. Istilah ini merujuk terhadap hubungan suami istri yang ditandai dengan

tersubordinasinya istri dari tuan atau suami, sehingga istri selalu menjadi orang luar dalam

rumah tangga suaminya.60

Pernikahan yang ideal di Israel kuno adalah endogamous, atau dibuat dalam

kelompok yang lebih besar(Kej 24.1-4;. Hakim-hakim14.1-3); ini mungkin berarti bahwa

seorang pria dan seorang wanita dari suku yang sama idealnya menikah. Pernikahan dengan

orang asing yang dianggap berbahaya, seperti dalam kasus Salomo, yang banyak istri asing

yang menyembah dewa selainYahweh (1 Raj11.1-8).

Ketika seorang perempuan telah meninggalkan ayahnya dan menikah, bersamaan

dengan itu perempuan bukan lagi menjadi tanggung jawab seorang ayah. Oleh karena itu

perempuan tidak bisa diharapkan untuk melestarikan nama keluarga atau mewarisi harta

59

Pedersen, Israel Its, 64. 60

Ebeling, Women‟s Lives, 82.

25

dalam keluarga ayahnya. Untuk alasan ini, hukum menyatakan bahwa perempuan berfungsi

sebagai „pemeliharaan‟ dari pada perwarisan.61

Menurut Vos tidak ada aturan untuk menggambarkan subordinasi terhadap istri,

tepatnya di mana istri disuruh untuk menghormati atau mematuhi suaminya, seperti untuk

selalu berada dengan anak-anak. Struktur masyarakat patriakal terkhususnya di dalam

keluarga tidak dibenarkan dalam teori doktrinal, begitu pun dengan hukum. Melainkan hanya

diterima begitu saja, bahwa jiwa manusia adalah kuat.62

Dalam konsep Ibrani, yang lemah

selalu menghormati yang kuat, sehingga terbentuk komunitas dengan pola pikir bahwa

pemimpin dari keluarga ialah laki-laki sebagai yang kuat. Terkadang, istri dipandang hanya

sebagai sarana untuk memperoleh anak, untuk bangsa Israel memiliki anak, terutama anak

laki-laki yang akan melanjutkan garis keturunannya, adalah sangat penting. Namun, ada

banyak indikasi bahwa terkadang istri juga dilihat sebagai pribadi yang memiliki haknya,

karena itu perempuan dihargai. Seperti halnya dalam Amsal 31 yang menyajikan istri yang

ideal sebagai bawahan suami, dan pengasuh bagi seorang anak laki-laki. Pada kenyataannya,

dalam gambar yang ideal ini, istri dan anak-anak yang disebutkan hanya kebetulan.

Sebaliknya, 'sebagai mitra dari suaminya, perempuan memiliki tanggung jawab dalam

domain-nya yang melampaui rumah; yakni pengelolaan lahan dan untuk transaksi di pasar.63

Harus dicatat bahwa hal ini tidak menggambarkan situasi ideal yang sebenarnya, namun itu

adalah hal yang menarik untuk melihat bagaimana gambaran ideal dapat jauh berbeda dengan

yang umum diterima oleh perempuan dalam ciri khas perjanjian lama.

Dalam Kitab suci Perjanjian Lama, juga terdapat teks-teks yang memuat aturan-aturan

tentang perceraian. Aturan-aturan tersebut berupa larangan maupun persetujuan terhadap

61

Ben Witherington III, Women in the Genesis of Christianity (New York: Cambrigade University

Press, 1990 ), 3-4 62

Clarence F. Vos, Women in Old Testament Worship (Delft: Judels & Brinkman, 1986), 46. 63

Derek Kidner, Proverbs, Vol. 17, Of Tyndale Old Testament Comentaries (Amerika: InterVarsity

Press, 2009), 183

26

tindakan perceraian. Ada dua faktor yang menyebabkan perceraian dilarang:64

1) jika

seseorang mengajukan tuduhan palsu terhadap istrinya, bahwa sebelum pernikahan mereka,

istri sudah melakukan persetubuhan dengan laki-laki lain (Ul 22:13-19); 2) jika seseorang

laki-laki bersetubuh dengan perempuan, dan ayah perempuan itu memaksa laki-laki itu untuk

menikah dengan anaknya (Ul 22:28-29; Kel 22:16-17). Kemudian peraturan dalam Ulangan

24:1-4 menjadi pokok pertantangan Yesus dengan orang Farisi, akan tetapi peraturan ini tidak

bersifat „memerintahkan atau keharusan‟ untuk bercerai; tetapi mengandaikan bahwa

perceraian sudah terjadi. Karena melihat kehidupan dalam budaya Israel yang sangat

patriakal, karena suami memilki hak untuk menceraikan istrinya dengan alasan apapun.65

Terutama hal ini banyak terjadi ketika masa peperangan, banyak para suami yang

menceraikan istrinya kemudian melakukan kawin kontrak dengan perempuan-perempuan

tawanan.66

Dengan demikian perceraian ditoleransi dalam batas-batas hukum dan alasannya

telah melakukan tindakan yang „senonoh‟, dalam menanggapi kasus ini suami diminta

menulis surat cerai guna melindunginya.67

D. Gerakan Feminisme

Perempuan di Israel kuno maupun perempuan di zaman sekarang akan terus saling

berhubungan, ketika masih adanya dominiasi dari kaum laki-laki; hal pentingan dalam

keseluruhan tesis ini ialah membaca tulisan ini dalam terang feminis. Sehingga teori ini

64

Yayasan Komunikasih Bina Kasih. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini-jilid II (Jakarta: Yayasan

Komunikasi Binah Kasih/OMF, 2004), 157 65

Asnath N. Natar, Ketika Perempuan Berteologi: Teologi Feminis Kontekstual (Yogyakarta: Taman

Pustaka Kristen, 2012)126-127. 66

http://citijam.blogspot.com/2012/02/konsep-perceraian-dalam-pl.html, diunduh pada Minggu, 30 Nov

2014, pukul 23.00 WIB 67

Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 1993), 182.

27

merasa penting dalam meonolong penulis untuk melihat lebih dalam gerakan feminis

berkembang.

Istilah „feminis‟ pertama kali digunakan dalam literatur Bahasa Inggris pada tahun

1880-an, yang menunjukan dukungan untuk wanita mengenai persamaan hukum dan politik

dengan laki-laki. Kata „feminis‟ dari akar kata femme, yang dalam bahasa Inggris disebut

woman, berarti perempuan (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum

perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Perlu dibedakan antara kata male dan female yang

merujuk pada aspek perbedaan biologis/seks secara lahiriah, dan penggunaan kata masculine

dan feminine merujuk pada aspek perbedaan psikologis cultural/gender. Oleh karena itu

istilah „feminis‟ secara umum merujuk pada teori-teori yang melihat hubungan antar kedua

jenis kelamin sebagai salah satu bentuk dalam ketidaksetaraan, subordinasi atau penindasan,

yang juga sebagai masalah kekuasan politik yang bukan bersifat alami.68

Teori nurture

(kebudayaan) berpandangan bahwa, perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang ada di

masyarakat tercipta melalui proses belajar dari lingkungan. Lebih jauh dijelaskan bahwa

konsepsi perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan lebih dikarenakan oleh persoalan

sosialisasi dan internalisasi secara kultural di masyarakat, dalam segala sistem pranata sosial

yang ada. Ditambahkan pula dalam teori sosialisasi (social learning) bahwa perbedaan peran

gender merupakan hasil dari tuntutan dan harapan lingkungan yang patriakal.69

Dasar awal dari teori feminisme ialah untuk memahami penyebab ketertindasan

perempuan dengan tujuan menjungkirbalikan tatanan sosial yang didominasi laki-laki.70

Berpikir sebagai seorang feminis akan membawa kita pada kenyataan historis di mana

kehidupan masyarakat ada dalam dominasi laki-laki dan perempuan sering dijadikan objek.

68

Valerie Bryson, Feminist Political Theory : Second Editions (New York: Palgrave Macmillan, 2003),

3 69

Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 53-55 70

Stevi Jackson & Jackie J, Pengantar Teori-Teori Feminis Kontenporer (Yogyakarta: Jalasutra,

2009), 5.

28

Kemudian hal ini diwariskan sebagai pengatahuan objektif bahwa dunia dihasilkan oleh

kaum laki-laki.71

Joan W. Conn mengemukakan feminisme sebagai seperangkat ide dan juga

rancana aksi yang praktis, yang berakar dalam kesadaran kritis kaum perempuan tentang

bagaimana suatu kebudayaan yang dikendalikan dan untuk keuntungan mereka sendiri.

Sebagai suatu rencana aksi yang praktis, ia menjadikan orang-orang yang mengambil bagaian

dalam ideologi feminis untuk bertindak sebagai agen-agen perubahan dalam melawan

dominasi laki-laki.72

Berkembangnya ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan terbentuk dari

adanya peradaban berburu, di mana perempuan tidak dilibatkan dalam proses berburu.

Dengan tersingkirnya perempuan dalam ranah publik, kaum lelaki membangun legitimasi

kelakiannya yang diperkenalkan lewat simbol-simbol magi atau religi primitif yang kemudian

dianggap sakral bagi masyarakat.73

Pandangan berbeda muncul dari Engels Federich dalam

bukunya The Origin of the Family; Private Property and the State, menjelaskan bahwa

sejarah terpuruknya perempuan disebabkan oleh munculnya perubahan dalam organisasi

kekayaan. Munculnya hewan piaraan dan pertanian menetap, yakni suatu masa awal

penciptaan surplus yang merupakan dasar munculnya private property. Karena laki-laki di

saat itu mengontrol produksi untuk perdagangan, maka mereka mendominasi hubungan sosial

dan politik, sehingga perempuan direduksi menjadi bagaian dari property belaka.74

Perubahan tentang peran dan posisi perempuan dalam suatu masyarakat relatif terjadi;

perubahan ini dipicu oleh perubahan sosial yang terus berlangsung. Perubahan dalam peran

dan posisi perempuan juga tidak dapat dipungkiri, difasilitasi oleh politik dan budaya

patriarki yang menganggap bahwa laki-laki lebih superior dibanding perempuan yang

71

Jackson & Jackie J, Pengantar Teori, 2. 72

Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis (Maumera: Ledalero, 2002), 29 73

Maryln French, Beyond Power: On Women, Men, and Morals (New York: Balantine Books, 1985),

27. 74

Mansour Fakih, Analisis Gender & Tranformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1996), 87

29

inferior.75

Seperti halnya keadaan perempuan dalam masyarakat agraris; dalam keluarga,

dominasi laki-laki adalah aturan mutlak. Suami memperoleh hak mutlak terhadap harta

miliknya. Di India, di bawah hukum Hindu, satu-satunya barang yang dimiliki secara mutlak

oleh seorang perempuan adalah hadiah pernikahan atau hadiah dari kerabatnya.76

Karena

kaum pria mengontrol politik dan berkuasa, kaum wanita hanya diorientasikan dalam urusan

rumah tangga dan kegiatan yang berkaitan dengan itu. Dengan demikian berkembanglah apa

yang disebut oleh Martin dan Voorhies yaitu “dikhotomi luar-dalam” atau oleh yang lain

disebut pembedaan publik domestik. Ini mencakup dibaginya kehidupan sosial menjadi dua

dunia terpisah dan berbeda.77

Berpengaruhnya kondisi sosial yang membentuk kehidupan perempuan, serta

beragamnya pengalaman dan peran perempuan yang berbeda-beda dan dibentuk berdasarkan

lingkungan budayanya, sehingga teori feminis tidak bisa mentotalisasi dalam menjelaskan

dunia bagi seluruh perempuan di semua masa dan tempat. Oleh karena itu pemikiran feminis

terus mengalami perkembangan dalam menjelaskan kompleksistas narasi yang menyertai

keberadaan perempuan.78

Dalam sejarah perkembanganya masyarakat mengenal beberapa

jenis gerakan feminisme, seperti feminis liberal, feminis radikal, dan feminis sosial marxis.

E. Teologi Feminis

Setelah melihat perkembangan femimis, perlu juga untuk melihat bagaimana feminis

Kristen berteologi, apa sajakah yang dapat disumbangkan oleh teolog Kristen dalam melihat

perempuan yang tertindas oleh kaum laki-laki. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa teologi

Kristen juga turut melanggengkan dominasi ptriakhal dalam berbagai teks-teks Alkitab,

begitulah persoalan perempuan dalam kitab Ezra.

75

Nur Syam, Antropologi, (Yogyakarta : LkiS, 2007), 154 76

Patrick Nolan & Gerhard Lenski, Human Societies (An Introduction To Macrosociology), (London :

Paradigma, 2008), 92. 77

Stephen K. Sanderson, Makrososiologi, (Jakarta : Rajawali, 2010), 402. 78

Jackson & Jackie J, Pengantar Teori-teori ,14.

30

1. Konsep Teologi Feminis

Teologi feminis dilahirkan dalam perjuangan dan terus memberikan gambaran rohani

yang baru, dalam wacana yang memberdayakan perempuan. Gelombang pertama feminis

dalam agama berasal dari usaha-usaha akademik perempuan-perempuan di tahun 1960-an

dan 1970-an untuk menentang seksisme dalam agama yang sudah lama didimonasi oleh laki-

laki.79

Teologi feminis tidak berarti teologi khusus tentang wanita atau untuk wanita

melainkan teologi „oleh‟ wanita, sehingga teologi feminis juga ikut serta dalam berbagai

usaha teologi lain seperti „Asian Theology‟ atau „black Theology‟.

Teologi feminis merupakan suatu spesialisasi teologis, dalam arti suatu usaha

membicarakan hubungan timbal balik Allah dengan manusia secara alternatif. Cara alternatif

ini bermaksud membebaskan baik kaum laki-laki, maupun perempuan dari belenggu tafsiran

patriakat Alkitab dan stereotipe tradisi gereja.80

Teologi feminis bukan hanya dibangun oleh

teolog perempuan tetapi juga kaum laki-laki, yang tidak lagi memahami perempuan sebagai

objek melainkan subjek. Teologi feminis juga merupakan usaha perempuan dalam mencari

jati diri dan tidak bersedia menyamakan dirinya dengan laki-laki.81

Menurut Gerda Lernes, budaya dan teologi Kristen merupakan salah bentuk

manifestasi dari budaya patriarki. Bertolak dari anggapan bahwa, laki-laki mewakili seluruh

umat manusia dan laki-laki percaya bahwa pengalaman mereka, sudut pandang, dan ide-ide

mewakili semua pengalaman manusia, ini disebut sebagai kekeliruan androsentris.82

Acuan

teologi feminis terletak dalam penggunaan pengalaman perempuan „female experience‟

sebagai sumber dasar serta kriteria kebenaran. Tetapi ketika dalam penulisan Alkitab dan

79

Margaret D. Kamitsuka, Feminist Theology and the Challengeof Difference (New York: Oxford

University Press, 2007), 3. 80

Anne Homes, Perubahan Peran Pria & Wanita Dalam Gereja & Masyarakat (Yogyakarta:

Kanisius, 1992), 83. 81

Marie Clairie Barth – Frommel, Hati Allah bagaikan Hati Seorang Ibu: Pengantar Teologi Feminis

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 12. 82

Anna Loades, Feminist Theology a Reader (Britain: SPCK, 1990), 1.

31

tradisi-tradisi tradisional telah dimodifikasi sehingga hanya memuat male experience. Yang

terjadi ialah, perempuan dianggap bagian dari manusia (laki-laki) dan tidak dilihat sebagai

subjek atau manusia yang utuh.83

Anna Hommes menyatakan bahwa, walaupun pengalaman wanita menjadi kata kunci

dalam teologi feminis, tetapi pengalaman perempuan bergantung bagaimana cara mereka

menafsirkan pengalamannya dengan sudut pandang yang berbeda.84

Teologi feminis

mengambil kritik feminis dan merekonstruksi paradigma gender ke dalam wilayah teologi.

Clifford mendefenisikan teologi feminis, sebagai gerakan dalam memperjuangkan

pembebasan bagi perempuan-perempuan dari segala bentuk seksisme dengan memperhatikan

relasi antara pengalaman perempuan dengan Allah.85

Menurut Nasimuyu-Wasika, feminisme

menuju suatu masyarakat yang di dalamnya semua orang mampu mewujudkan keutuhan

hidupnya.

Menurut Pamela Dickey Young, ada empat tema yang mempersatukan para teologi

feminis, yaitu: Pertama, teologi Kristen yang bersifat patriakhal. Kedua, teologi traditional

yang telah mengabaikan kaum wanita serta female experience. Ketiga, budaya teologi yang

patrikahal, sehingga memberikan dampak atau konsekuensi yang merusak wanita. Kempat,

dan sebagai solusi dari ketiga masalah tersebut, maka wanita harus memulai usaha teologis

mereka.86

Sementara menurut Tolbert, teologi feminisme menjadi gerakan menuju kesetaraan

manusia, di mana tertindas dan penindas akhirnya didamaikan.87

83

Rosemary R. Ruether, Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theologi ( Boston: Beacon Press,

1983) 13. 84

Homes, Perubahan Peran, 88-90. 85

Clifford, Memperkenalkan Teologi, 28-29. 86

Pamela Dickey Young, Feminist Theology/Christian Theology: In Search of Method (Minneapolis:

Fortress, 1990), 15-17. 87

Susan Frank Parsons, The Cambridge Companion to Feminist Theology (New York: Cambridge

University Press 2004), 100.

32

Oleh karena itu teologi feminis bertujuan untuk merekonstruksi pemikiran radikal dan

menganalisis kembali agar dapat berdamai dengan kenyataan bahwa, manusia terdiri dari

perempuan dan laki-laki.

2. Feminis Dalam Studi Alkitab Perjanjian Lama

Cerita tentang perempuan telah sepenuhnya dikeluarkan dari proses di mana budaya

menemukan makna, menafsirkan masa lalu dan masa sekarang, serta mengorientasikan diri

ke masa depan. Hal ini merupakan bentuk penindasan dari sistem patriakjis yang

merendahkan perempuan.88

Status perempuan dalam masyarakat tergantung pada, hak dan kewajibannya secara

religius, legal dan ekonomi.89

Alkitab adalah produk dari budaya patriarki, karena itu tidak

mengherankan jika kisah-kisah dan aturan-aturan yang ada dalam Alkitab bersifat patriarkhis,

yang juga turut mempengaruhi pembacaan dan penafsiran terhadap Alkitab. Letty M. Russel

memahami Alkitab sebagai kabar baik, tulisan rahasia karena berfungsi sebagai tulisan yang

memberikan semangat semangat hidup, yakni undangan Tuhan untuk bergabung dalam

pemulihan keutuhan, kedamain, keadilan di dunia.90

Russel juga menambahkan bahwa, berita

kitab suci selain dapat menjadi firman yang membebaskan bagi mereka yang mendengar dan

bertindak di dalam iman. Namun, berita kitab suci ini perlu dibebaskan dari penafsiran seksis

yang dapat mendominasi pikiran dan tindakan kita.91

Anne Clifford mengemukakan tiga cara pandang orang Kristen terhadap Alkitab.

Pertama, orang yang memandang Alkitab sebagai firman Allah yang harus diterima tanpa

syarat. Kedua, Alkitab dipandang sebagai wahyu Ilahi dalam rekaman manusia yang ditulis di

masa lalu oleh orang-orang yang bergumul tentang persoalan hidup dan iman. Alkitab

88

Hommes, Perubahan Peran, 83. 89

Hommes, Perubahan Peran, 71. 90

Letty M. Russel, Feminist Interpretation of the Book (Philadelpia: The Westminster Press, 1985),

137-138. 91

Letty M. Russel, Perempuan dan Tafsir Kitab Suci (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 11.

33

diterima sebagai firman Allah tetapi diberi makna baru. Ketiga, orang yang tidak dapat

menentukan sikap terhadap Alkitab. Para teolog feminis ada dalam cara pandang kedua,

mereka mengembangkan dengan bebas pandangannya terhadap Alkitab, dan dengannya

membangun metode untuk merekonstruksi teks Alkitab.92

Schleiemacher adalah pemikir pertama yang menyeimbangkan fokus pada penulis

dengan fokus pada teks. Latar belakang pemikiran ini, bahwa telah terjadi peralihan

epistimologi ke ontologi sampai linguistik, dengan kata lain telah terjadi suatu pembaharuan

dari pemahaman realitas kontekstual teks; antara pemahaman penulis serta pemahaman dari

komunitas pembaca. Pergeseran paradigma ini turut mempengaruhi cara kita mengatahui

(epistimologis) dan cara menafsirkan dunia di sekitar kita (hermeneutika). Oleh karena itu

Schleiemacher menawarkan fase baru dalam konsep hermeneutik dengan memperkenalkan

wacana dalam teori pengatahuan yaitu ke dalam proses pembaca. Pertama, ia menekanakan

subjek (penulis) dan objek (teks) yang terlibat dalam proses interpretasi, sebaliknya pada

pendekatan pencerahan bahasa dilihat secara umum (tertulis dan lisan) dipahami hanya

sebagai representasi dari suatu gagasan. Kedua, Schleiermacher memperkenalkan pembaca

sebagai pelaku penting dalam penjelasanya tentang lingkaran hermeneutik komunikasi;

namun, dalam proses ini pembaca tetap merupakan agen pasif (yaitu sepenuhnya obyektif)

dalam proses penafsiran.93

Katharina Doob Sakenfeld mengusulkan tiga aspek yang dapat digunakan oleh kaum

feminis dalam menafsirkan Alkitab, yaitu:94

1) Mencari dan memperhatikan nats Alkitab

yang bertantangan dengan nats yang sering digunakan untuk membatasi perempuan. 2)

Memperhatikan seluruh kitab suci untuk memperoleh suatu perspektif teologis yang kritis

92

Clifford, Memperkenalkan Teologoi, 84-88. 93

Ahida E. Pilarski, “The Past and Futire of Feminist Biblical Hermeneutics”, Biblical Theology

Bulletin Volume 41 No 1 (2011), 17 94

Letty M. Russel, Feminist Interpretation Of The Bible (Philadelpia: The Westminster Press, 1985),

55-56.

34

terhadap patriarki. 3) Memperhatikan naskah tentang perempuan dari sejarah dan cerita

perempuan (dulu dan kini) yang hidup dalam lingkungan patriarki.

Melalui tiga aspek ini Sakenfeld menyimpulkan bahwa, Alkitab di satu segi dapat

melukai perempuan dan mengaburkan kisah Allah, namun di segi lain Alkitab dapat

menolong perempuan untuk memahami kemerdekaannya. Pendapat ini ditegaskan oleh

Russel, ketika Alkitab di baca dari sudut pandang pengalaman perempuan yang tertindas,

maka Alkitab dapat digunakan untuk menentang ketidakadilan serta menemui makna

kehidupan dan spritulitas yang menunjang hidup.95

Elizabeth Cady Stanton dengan karyanya The Woman‟s Bible, juga turut mendukung

pandangan seperti Sakenfel; melihat kitab suci sendiri memuat teks-teks yang digunakan

sebagai pembenaran untuk melawan perubahan demi perbaikan kondisi kaum perempuan.

Oleh sebab itu Stanton, berupaya merevisi teks-teks kitab suci dan perikop-perikop yang

secara langsung mengacu kepada kaum perempuan, dan juga teks-teks di mana kaum

perempuan ditonjolkan maupun dengan cara tidak menyebutkan mereka. Dengan tujuan yang

sama bahwa Alkitab dapat menjadi penerang bagi perempuan. Salah satu contoh penindasan

kaum perempuan ialah perkawinan, bagi Stanton orang-orang Kristen menggunakan teks-teks

kitab suci guna mendukung keberadaan kaum perempuan dalam ranah rumah tangga, dengan

demikian mengucilkan mereka dari lingkup publik.96

Dalam menafsirkan teks Alkitab, beberapa ahli menggunakan metode atau

pendeketan yang berbeda-beda. Phyllis Trible, memberikan perhatian khusus terhadap teks

Alkitab dan menolak adanya pemisahan antara teks dan tradisi. Baginya, Alkitab di

umpamakan sebagai pengembara yang berkelana melewati sejarah guna menggabungkan

95

Marie Clairie Barth – Frommel, Hati Allah bagaikan Hati Seorang Ibu: Pengantar Teologi Feminis

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 33. 96

Clifford, Memperkenalkan Teologi, 79-80.

35

masa lampau dan masa kini. Trible menggunakan metode retorika dalam menemukan niat

Allah lewat penafsiran teks.97

Bertolak dari kenyataan bahwa Alkitab dapat bersifat androsentrik dan di sisi lain

teks-teks Alkitab dapat menjadi sumber kekuatan, maka Schussier Fiorenza mengusulkan

metode hermeneutik kecurigaan dan hermeneutik kenangan sebagai suatu kebutuhan dalam

melihat teks-teks Alkitab.98

Hermeneutik kecurigaan, menuntut seseorang untuk turut

mempertimbangkan pengaruh dari berbagai peran dan pola sikap menyangkut jenis kelamin

yang ditentukan secara kultural terhadap Alkitab. Titik tolaknya adalah pengandaian bahwa

patriakat secara mendalam berdampak atas teks-teks Alkitab dan tafsiran-tafsiran yang

mencakup bagaimana Alkitab memperlakukan perempuan di dalam berbagai penuturan

kisahnya, dan juga apa yang didiamkan mengenai kaum ini. Sedangkan hermeneutik

kenangan merupakan sisi lain dari hermeneutik yang mengakui perendahan martabat,

pembuangan, penganiayaan yang dialami oleh perempuan dan menjadikan pengalaman

tersebut sebagai kenangan yang berbahaya guna menyediakan khazanah yang kaya bagi kita

saat ini guna merancang sebuah teologi yang dapat menyembuhkan penderitaan dan

kemerdekaan dalam perjuangan. Sejalan dengan ini maka, aturan-aturan metodologis berikut

ini sangat diperlukan.99

Pertama, teks-teks dan sumber-sumber historis Yahudi maupun

Kristen harus dibaca sebagai teks-teks androsentrik. Kedua, pengagungan maupun

penghinaan atau marginalisasi perempuan dalam teks-teks Yahudi harus dipahami sebagai

bangunan realitas sosial dalam pengertian patriakal atau sebagai proyeksi tentang realitas

laki-laki. Ketiga, kanon-kanon resmi dari kanon patriakal yang dikodifikasikan pada

umumnya lebih membatasi dibandingkan interaksi dan hubungan yang sesungguhnya antara

perempuan dan laki-laki serta realitas sosial yang diaturnya. Keempat, status sosial-

97

Fiorenza, Untuk Mengenang, 41-42. 98

Barth – Frommel, Hati Allah, 3. 99

Elisabeth Schussier Fiorenza, Untuk Mengenang Perempuan itu (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

1995), 148.

36

keagamaan perempuan yang sesungguhnya harus ditentukan melalui tingkatan onotomi

ekonomi dan peranan-peranan sosial mereka dari pada oleh pernyataan-pernyataan ideologis.

Dengan demikian penafsiran feminis bertugas menempatkan semua perempuan di tengah-

tengah rekonstruksi historis sebagai tanggapan perempuan terhadap perubahan sosial yang

mempengaruhi hidup mereka, serta upaya perempuan untuk mentransformasikan dan

mengubah struktur dan pranata masyarakat.100

Ruetther, menggunakan metode „lingkaran hermeneutik‟ dalam menguji pengalaman

unik perempuan sebagai dasar dalam membangun feminis teologi dan kekuatan bagi teori

kritis dalam menguji teologi tradisional dan tradisi gereja.101

Kriteria pengalamannya adalah

pengalaman perempuan berdasarkan pengalaman tradisi laki-laki, pengalaman laki-laki yang

telah membentuk tradisi gereja dan komunitas yang mengadopsinya, serta pengalaman

universal (pengalaman laki-laki dan pengalaman perempuan setara dalam pengertian hukum).

Dapat disimpulkan bahwa, melalui hermenutik lingkaran terlihat pengalaman pewahyuan

telah membentuk suatu komunitas yang mempercayainya dan kemudian mengatur seluruh

relasi-relasi kehidupan dalam Kitab suci hanya berdasarkan pengalaman laki-laki.102

Osiek mengklasifikasikan lima pendekatan hermeneutik yang dikembangkan oleh

para ahli feminis yang dapat dilihat melalaui karya mereka. kelima posisi tersebut adalah

rejectionist, loyalist, revisionist, sublimationist, dan liberationist.103

Pertama, kelompok rejectionist yang diprakasai oleh Marry Dally, dalam perspektif

ini secara total menolak kewibawaan Alkitab beserta tradisi-tradisi keagamaan, karena

patriakat dianggap sebagai komponen penting dan korup dalam Yudaisme – Kristen. Bagi

Daly satu-satunya prisnsip yang dapat diterima adalah ketika perempuan dan laki-laki

100 Fiorenza, Untuk Mengenang, 149-151. 101

Ruether, Sexism and, 12-13. 102

Ruether, Sexism and, 14. 103

Carolyn Osiek, “The Feminist and the Bible: Hermeneutical Alternatives,” HTS Teologies Studies /

Thological Studies Vol. 53, No. 4 (1997), 960

37

meninggalkan Yudaisme dan tradisi Kristen dan bersama-sama membentuk iman Kristen

baru yang mampu menaklukan kejahatan aliran patriakal. Akhirnya arah ini menyebabkan

dualisme baru, di mana kelelakian melambangkan kejahatan dan keperempuanan

melambangkan kebaikan. McKay mengusulkan pilihan lain untuk meninggalkan intergritas

Alkitab tetapi bukan Alkitab itu sendiri. Dengan maksud untuk menjaga integritas perempuan

dengan tidak sepenuhnya menolak atau menirima status Ilahi dari Alkitab. Sebab Alkitab

sebagai produk sejarah dan budaya, menyediakan akses ke suara masa lalu, suara-suara yang

menawarkan wawasan ke dalam peran-peran perempuan atau kurangnya peran perempuan

yang di tampilkan.104

Beberapa dari para pengikut pendekatan ini, mencoba untuk menggali

kedalam teks-teks Alkitab untuk menemukan suara-suara teredan dan membawa suara-suara

ini keluar dari posisi margin untuk dianalisa dan dikritik. Hermeneutik rejectionist adalah

bentuk teologis yang radikal, pada akhirnya pendekatan hermenutik model ini ingin

menunjukan bahwa kewibawaan yang diperoleh dari teks-teks Alkitab haruslah diukur

melalui tingkat relevansi teks-teks tersebut terhadap kehidupan para pembacanya.

Kedua, kelompok heremeneutik kedua adalah loyalist, merupakan kebalikan dari

hermeneutik rejectionist. Terdapat dasar pemikiran dan kebaikan tradisi Alkitab sebagai

Firman Allah, yang tidak dapat ditolak dalam keadan apapun, karena sebagai Firman Allah;

Alkitab membuktikan otoritas tertinggi dari Allah dengan demikian tidak bisa menindas.

Kesaksian Alkitab dipandang sebagai wahyu yang memiliki status independen yang tidak

perlu dibuktikan oleh otoritas manusia; Alkitab adalah pernyataan terbesar dari otoritas Allah,

dalam bentuk deskriptif dan prespektif sehingga penyelidikan manusia harus tunduk. Apabila

ditemukan kesalahan dari Alkitab, maka bagi mereka kesalahan terletak pada

interpreter/penerjemah dan penafsiran tradisi, bukan dengan teks. Osiek memuji para

104

Susan Brayford, “Feminist Criticism: Sarah Laughs Last,” dalam Joel M. Lemon and Kend Harold

Richards, Method Matters: Essay on the Interpretation of the Hebrew Bible in Honor of David L (Atlanta:

Society of Biblical Laterature, 2009), 314-315.

38

pengikut Loyalist, yang bertekad dalam menemukan dan berfokus pada pesan yang mendasari

Alkitab tentang kasih dan kebebasan manusia, sehingga memungkinkan mereka untuk

menempatkan teks Alkitab yang berpusat pada kehidupan dan identitas mereka sebagai

perempuan. Namun Osiek juga mengakui bahwa pendekatan Loyalist, rentan godaan yang

dapat meregangkaan sejarah dan makna harafia dari teks-teks, serta memiliki kecendrungan

untuk mengabaikan implikasi politik sebagai interpretasi yang kurang memadai dalam teks-

teks yang bermasalah. Menurut Mckey, kelemahan dari pendekatan loyalist ialah

memberikan wewenang yang telalu besar kepada Alkitab di mana perempuan dapat

memainkan peran atau menyajikan cerita yang bersifat ambigu dalam bentuk yang posotif.

Dengan demikian kebutuhan pendekatan ini ialah mempertahankan Alkitab ketika

berhadapan dengan orang luar, namun tetap menjadikan Alkitab sebagai pusat bagi anggota

komunitas iman. oleh karena itu mereka sering menuntut keterlibatan penuh dari penganut

pendekatan loyalist.105

Ketiga, kelompok hermeneutik revisionis merupakan penggabungan hermeneutik

rejectionist dan loyalist. Dasar pemikiran dari kelompok ini adalah cetakan/pembentukan

patriarki di dalam tradisi Yahudi –Kristen berperan secara historis, namun tidak ditentukan

secara teologis. Mereka juga mengakui bahwa faktor sosial dan sejarah telah didominasi laki-

laki, bersifat androsentrik, dan diskriminatif sehingga perempuan tidak dapat tampil setara

dalam berbagai peran. Tradisi ini juga mampu merombak berbagai perspektif tentang teks-

teks Alkitab, dan kemudian memberikan revisi terhadap teks tersebut; dan itulah tantangan

agama ditujukan kepada feminis kontemporer. Pengikut pendekatan revisionist mengaggap

banyak keadaan sosial dan sejarah yang berbeda namun terkait dengan tulisan, membaca, dan

penafsiran Alkitab sebagai penyebab rusaknya sisi kebaikan yang terkandung dalam Alkitab.

Oleh karena itu mereka menyatakan bahwa tradisi dapat di perbaiki dengan menggali lebih

105

Brayford, Feminist Criticism, 315.

39

dalam konteks dari teks agar dapat menemukan peren penting yang di mainkan perempuan.

Teolog feminis yang sesuai dengan pendekatan ini ialah Phyllis Trible, dengan analisa

retorikanya yang memampukannya dalam menemukan pesan yang baik dalam teks-teks yang

bersifat androsentris; namun tatap memperhatikan benih-benih misogini dalam teks-teks

tersebut. 106

Pada akhirnya tujuan utama dari hermeneutik revisionist ialah menafsirkan ulang

sumber-sumber sejarah,untuk menunjukkan berapa banyak kita benar-benar tahu tentang

wanita dan kontribusi mereka terhadap pembentukan sejarah.

Empat, hermeneutik alternatif sublimationist, dasar pemikiranya ialah keliyanan

feminim sebagaimana yang ditunjukan dalam citra feminim dan simbolis dalam budaya

manusia. Sang liyan yakni para feminis beroperasi dengan prinsip-prinsip dan aturan sendiri,

yang benar-benar berbeda dari dunia laki-laki, oleh sebab itu kesetaraan sosial atau

egalitarisme dengan laki-laki terpinggirkan. Hermeneutik sublimationis fokus terhadap

simbol-simbol dalam teks-teks Alkitab (Israel sebagai perawan dan pengantin Allah, gereja

sebagai mempelai Kristus dan ibu orang beriman) dan kelemahan utamanya adalah

kecenderungan untuk eksklusivisme dan separatisme dari dimensi sosial-politik dan

kecenderungan ke arah dogmatisme pada pertanyaan peran perempuan dan sosial.

Kelima, pendekatan terakhir adalah hermeneutik liberationist, dipelapori oleh Letty

Russell dan mulai dikembangkan juga oleh Elisabeth S. Fiorenza dan Rosemary Radford

dengan dasar pemikirannya adalah reinterpretasi radikal terhadap eskatologi Alkitab;

pemerintahan Allah dengan penebusan diproklamasikan sebagai tugas dan misi orang percaya

di dunia saan ini serta harapan realisasi di masa depan. Ketika ia menulis pada tahun 1985,

Osiek berpikir bahwa pendekatan liberasionis akan menawarkan yang paling menjanjikan

untuk penafsiran Alkitab feminis. Berdasarkan teologi pembebasan, pendekatan ini diakui

dan terus memahami penindasan perempuan sebagai bagian dari pola yang lebih besar dari

106

Brayford, Feminist Criticism, 315-316.

40

dominasi. Sebagai loyalis mempertahankan kebaikan yang melekat dari Alkitab, liberasionis

berpendapat bahwa pesan utama Alkitab adalah pembebasan manusia dari penindasan, baik

fisik maupun spiritual, dan mempertahankan bahwa tujuan penafsiran Alkitab adalah

transformasi. Jika teks-teks Alkitab yang ditafsirkan tidak mempromosikan kesetaraan penuh

perempuan, mereka tidak bisa dianggap sebagai firman Allah yang otentik.107

Awal

realisasiny bagi perempuan berarti pembebasan dari dominasi patriarki sehingga semua orang

manusia dapat untuk menjadi mitra dan sama dalam tugas bersama. Feminisme liberasionis

menyatakan bahwa pesan utama dari Alkitab adalah pembebasan manusia, bahwa ini

sebenarnya arti keselamatan. Ruether menemukan inti dari pesan Alkitab adalah pembebasan

dalam tradisi kenabian. Pemberitaan perubahan dari praktek-praktek sosial dan ekonomi yang

tidak adil adalah panggilan bersama untuk menciptakan masyarakat yang adil bebas dari

segala bentuk penindasan.

Dalam melihat kelima alternatif yang disediakan oleh Osiek, penulis lebih cenderung

memilih pendekatan hermeneutik liberationis. Dengan alasan bahwa, Alkitab harus dilihat

dalam terang pembebasan bagi manusia entah laki-laki maupun perempuan dari belengggu

ketertindasan. Sebagai pembaca Alkitab, kita tidak dapat jatuh dalam pendapat pasif tentang

Alkitab yang melanggengkan dominasi, Alkitab harus tetap terbuka dalam penafsiran yang

dapat mentranformasi para pembaca dan keluar dari tindakan ekslusifisme.

3. Teologi Feminis Asia

Bagi penulis belumlah cukup ketika kita membaca Alkitab dalam terang feminis

secara umun, sehingga dianggap penting bagi penulis untuk membaca Alkitab dalam kaca

mata feminis Asia; yang akan membantu untuk melihat feminis pada masa dimana penulis

menyusun tulisan ini.

107

Brayford, Feminist Criticism, 316-317.

41

Pandangan lain datang dari para ahli feminis Asia seperti Chandra Mohanty dalam

artikelnya „Under Wastern Eyes‟ mengkritik pandangan feminis barat yang menggunakan

„female experience‟ sebagai titik tolak dalam menafsirkan Kitab Suci. Mengacu pada suatu

pengandaian bahwa manusia berasal dari jenis kelamin yang sama di kelas sosial dan budaya,

dan secara sosial perempuan merupakan bagian dari kelompok yang dapat diidentifikasikan

secara beragam. Sebelum adanya proses analisis homogenitas perempuan sebagai kelompok,

perempuan tidak diklasifikasikan atas dasar biologis melainkan atas dasar sosiologi dan

antropologi. Misalnya, dalam bagian tertentu dari analisi feminis, wanita ditandai sebagai

kelompok tunggal berdasakan penindasan, dan mengikat secara keseluruhan perempuan

adalah gagasan sosiologis dari kesamaan penindasan.108

Mohanty mengfokuskan cara

pandang feminis barat terhadap perempuan dunia ketiga, di mana adanya kecenderungan

pelabelan bahwa perempuan dunia ketiga sebagai korban sistem budaya dan sosial-ekonomi

yang identik dengan; ketidakberdayaan, dimanfaatkan, dilecehkan secara seksual, emosional

dll. dengan adanya penghomogenesian terhadap perempuan maka akan merujuk padat sifat

Eurosentris, serta kecenderungan untuk menyederhanakan atau meromantisir pengalaman

wanita di dunia ketiga.109

Dalam analisanya Kwok Pui-Lan mengemukakan empat alasan mengapa teologi-

teologi feminis barat perlu dikritis. Pertama, para feminis barat berasal dari sebuah konteks

budaya di mana Kekristenan merupakan tradisi yang dominan sedangankan di Asia

(terkecuali Filipina dan Korea Utara) merupakan kelompok minoritas. Kedua, teologi feminis

muncul dengan kecenderungan untuk menguniversalkan pengalaman Barat yang seoalah-olah

dapat mewakili kehidupan semua perempuan. Kegagalan untuk menghormati keberagaman

dan sikap menggenereralisasi „sang liyan‟ sebenarnya berakar dalam matriks sosial dan

108

Chandra Mohanty, “Under Western Eyes: Feminist Scholarshid and Colonial Discourses,” dalam

Reina Lewis and Sara Mills, ed, Feminist Postcolonial Theory: A Reader (Edinburgh, UK: Edenburgh

University Press, 2003), 54. 109

Mohanty, Under Western, 68.

42

budaya kolonialisme. Ketiga, dengan memberikan pengertian patriakal sebagai bentuk

penguasaan laki-laki atas perempuan menunjukan kegagalan dalam menyediakan alat-alat

yang diperlukan untuk memeriksa kolonialisme, kebudayaan imperialisme, pluralisme

agama, dan kekerasan horizontal perempuan atas perempuan. Keempat, beberapa dari teolog

feminis menampilkan orientasi-orientasirasis dan etnosentris meskipun di saat yang sama

mereka menyuarakan persaudaran anatar kaum perempuan yang bersifat global.110

Dari

penjelasan diatas maka Kwok Pui-Lan menyarankan bahwa para perempuan Eropa dan

Eropa-Amerika dapat berpatisipasi sepenuhnya di dalam perjuangan pembebasan perempuan

ke dalam konteks negara-negara berkembang ketika mereka dengan rela mau membebaskan

diri dari kecenderungan mendekolonisasikan cara mereka berfikir.

Pandangan lain hadir dalam pendapat Schussler Fiorenza, yang mengusulkan sebuah

pemindahan dari patriarki yang didasarkan oleh dualisme gender kepada kyriarki yang

mengandung arti kekuasan dari master atas mereka yang berada di bawahnya. Perpindahan

ini akan menolong kita untuk melihat struktur dan sistem antara yang menguasai dan

dikuasi.111

Dengan memahami patriarki sebagai sebuah piramida kyriarki yang saling

berhubungan dengan sistem dominasi, Schussler Fiorenza mengidentifikasikan

eurocentricism sebagai „univerlsalist kyriocentric‟ yaitu pendominasian dari aturan ayah

berkulit putih dan para perempuan kulit putih yang beragama Kristen sejauh mereka masih

menjabat sebagai sumber pengatahuan patriakal, nilai-nilai, agama dan kebudayaan. Untuk

menghindari kecenderungan terhadap retorika kyriarki maka Fiorenza mengusulkan „eklesia

of women‟ sebagai ruang retorika feminis yang ditandai dengan pergeseran logika identitas

dari Barat ke logika kesetaraan yang bersifat radikal.112

Dalam cara berfikir yang radikal,

110

Ira D. Mangililo, “Pendekatan Post-kolonial Feminis di Indonesia,” dalam Jalan-jalan Mendekati

Firman Tuhan, ed. oleh R.F. Bhanu Viktroraha (Kanasius: Yogyakarta, 2014), 71-72. 111

Schussler Fiorenza, But The Said: Feminist Practices of Biblical Interpretation (Boston, MA:

Beacon Press, 1992), 115 112

Fiorenza, But The, 122-123.

43

eklesia dikonsepskan sebagai para perempuan yang berjuang untuk mengubah lembaga sosial

dan keagamaan. Kemuadian Fiorenza mengubah istilah ekklesia of women menjadi ekklesia

wo/men, pengubahan istilah ini merupakan penolakan terhadap perempuan yang dianggap

sebagai kelompok sosial, karena baginya pandangan terhadap perempuan tercipta oleh karena

hasil dari suatu sistem struktur ras, kelas, agama, hetroseksual, kolonialisme, usia dan

kesehatan.113

Dube mengungkapkan kekuatirannya terhadap penggunaan istilah patriarki/kyriarki

sebagai imperialisme yang di usung oleh Fiorenza, karena di jajah memiliki berbagai bentuk

hirarkis dan sistem patriaki yang berlapis tetapi mereka tidak setara dengan imperialisme.

Runtuhnya patriarki dan imperialisme tidak memberikan sumbangsih untuk wanita Barat

menyadari akan bentuk penindasan yang berbeda dari penindasan non Barat. Imperalisme

melibatkan pengonstruksikan orang-orang yang tunduk sehingga mereka percaya bahwa

adanya ketergantungan terhadap para penguasa.114

Berdasarkan pemaparan teori-teori diatas, jelas menunjukan bahwa upaya para ahli

dalam memberikan pemahaman tentang pentingnya identitas dalam kehidupan berinteraksi

antar perorangan dengan suatu kelompok masyarakat. Persoalan seperti ini pun terlihat dalam

teks Ezra 9-10, oleh sebab itu dengan menggunakan konsep identitas penulis akan memeriksa

bagaimana pengalaman-pengalaman bangsa Israel yang terbentuk selama pembuangan dapat

mempengaruhi suatu komunitas secara pribadi dalam mepersepsikan kuminitas yang

dianggap berbeda, serta penulis juga akan melihat konsep identitas diri yang direkonstruksi

Ezra dan pengikutnya sebagai bagian dari bentuk pertahanan diri ketika diperhadapkan

dengan situasi yang terancam.

113

Schussler Fiorenza, Jesus: Mariam‟s Child, Sophia‟s Prophet: Critical Issue in Feminist

Christology (New York: Continum, 1994), 24. 114

Musa W. Dube, Postcolonial Feminist Interpretation of The Bible (St.Louise MO: Chalice Press,

2000), 35-36.

44

Ketika bangsa Israel dengan pengalaman serta budaya dan ajaran agama yang mereka

pelihara sebagai seuatu komunitas mampu mengidentifikasi dirinya diantara kehidupan

berinteraksi maka akan terciptanya ruang bagi yang lain yakni perempuan asing menjadi

tersisihkan. Di sinilah penting sekali untuk memahami teks Ezra 9-10 di dalam

keterhubungannya dengan isu gender guna melihat bagaimana penggambaran perempuan

asing sebagai sang liyan merupakan salah satu strategi yang digunakan untuk mengkonstruksi

identitas keagamaan bangsa Israel yang dipercaya sebagai salah satu cara untuk

mempertahankan eksistensi mereka.

Dengan demikian, pembahasan-pembahasan dalam bab ini menjadi titik tolak bagi

penulis dalam menganalisa keterhubungan antara Persia sebagai bangsa penjajah namun

sekaligus sebagai bangsa yang mengijinkan bangsa Israel kembali ke Yerusalem. Dan untuk

mendapatkan analisa yang mendalam terhadap kehidupan bangsa Israel yang tergambarkan

dalam kitab Ezra, maka bab berikutnya penulis akan memfokuskan pada dinamika kehidupan

yang tercipta dalam periode pra-pembuangan dan paska-pembuangan bangsa Israel serta apa

dampak yang ditimbukan dari interaksi tersebut.