Upload
phungnga
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
9
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Psychological Well-being
2.1.1 Pengertian Psychological Well-Being
Penelitian tentang psychological well-being menurut Diener & Jahoda (dalam
Ryff, 1989) mulai berkembang pesat sejak para ahli menyadari bahwa ilmu psikologi
lebih sering menekankan pada ketidakbahagiaan dan penderitaan daripada bagaimana
individu dapat berfungsi secara positif (positive psychological function). Ryff (1989)
juga menuliskan bahwa selama hampir 20 tahun terakhir, studi tentang psychological
well-being berkisar diantara dua konsep utama dari positive psychological
functioning.
Formulasi pertama dari Bradburn (1969) yaitu perbedaan antara afek positif
dan afek negatif yang mendefinisikan kebahagiaan sebagai keseimbangan diantara
keduanya. Formulasi yang kedua, menekankan kepuasan hidup (life satisfaction)
sebagai kunci utama dari well-being. Formulasi yang kedua ini juga berkaitan dengan
seberapa baik seseorang mampu untuk berfungsi secara positif dalam hidupnya
(Andrews & McKennell; Andrews & Withey; Bryant & Veroff, Campbell, Converse
& Rodgers, dalam Ryff & Keyes 1995). Formulasi pertama dari Bradburn (1969)
disebut dengan subjective well-being atau hedonic well-being. Sedangkan formulasi
kedua dari Ryff (1989) disebut dengan psychological well-being atau eudaimonic
well-being (Ryan & Deci 2001).
10
Pengertian psychological well-being sendiri menurut Ryff (1989) merupakan
realisasi dari pencapaian penuh dari potensi individu yang individu dapat menerima
segala kekurangan dan kelebihan dirinya, mandiri, mampu membina hubungan yang
positif dengan orang lain, dapat menguasai lingkungannya dalam arti mampu
memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan keinginannya, memiliki tujuan hidup,
serta terus mengembangkan pribadinya. Keyes, Shotkin & Ryff (2002) kemudian
juga menambahkan bahwa psychological well-being bukan hanya kepuasan hidup dan
keseimbangan antara efek positif dan negatif, namun psychological well-being
melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan tantangan-tantangan selama hidup.
Psychological well-being Ryff pada awalnya merupakan integrasi beberapa
teori psikologi klinis dan psikologi perkembangan yang merujuk pada pendefinisian
positive psychological function, diantaranya adalah self actualization menurut
Maslow (1968), formulation of maturity menurut Alport (1961), account of
individuations menurut C.G. Jung (1933), fully functioning person menurut C. Roger
(1961). Selain itu juga merujuk pada teori perkembangan psikososial menurut
Erikson (1959) dan menurut Buhler (1935) serta teori perubahan kepribadian menurut
Neugarten (1973) dalam (Ryff 1989, Ryff & Keyes 1995). Menurut Ryff (1989)
konsep-konsep mengenai positive psychological function dapat diintegrasikan
menjadi sebuah model psychological well-being yang multidimensional dan
memiliki enam dimensi atau aspek psikologis. Masing-masing aspek menjelaskan
tantangan berbeda-beda yang akan dihadapi oleh individu dalam usahanya berfungsi
secara penuh dan positif (Ryff 1989, Ryf & Keyes 1995, Keyes, Shmotkin & Ryff).
11
Dalam perkembangan teori psychological well-being Ryff & Singer (2008) juga
menyebutkan bahwa dalam pengoperasionalan setiap aspek psychological well-being
memerlukan kajian-kajian empirik lain. Salah satu contohnya adalah Ryff & Singer
(2008) memasukkan kajian dari Frankl tentang will to meaning guna lebih
mengoperasionalkan aspek tujuan hidup dalam teori psychological well-being.
Pengertian psychological well-being yang digunakan adalah pengertian dari
Ryff (1989) yang menyimpulkan psychological well-being merupakan keadaan
individu yang dapat menyadari dirinya serta memfungsikan seluruh fungsi dirinya
yang ditandai dengan 6 aspek yaitu individu memiliki penerimaan diri (self
acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relation with others),
otonomi (autonomy), penguasaan terhadap lingkungan (environmental mastery),
tujuan hidup (purpose of life), serta perkembangan pribadi (personal growth).
2.1.2 Aspek-aspek Psychological Well-Being
Menurut Ryff psychological well-being terdiri dari enam aspek yaitu
penerimaan diri (self acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive
relation with others), otonomi (autonomy), penguasaan terhadap lingkungan
(environmental mastery), tujuan hidup (purpose of life), serta perkembangan pribadi
(personal growth). (Ryff 1989, Ryff & Keyes 1995, Keyes, Shmotkin, & Ryff, 2002,
Ryff & Singer 2008). Dalam pengoperasionalan setiap aspek psychological well-
being memerlukan kajian-kajian empirik lain Ryff & Singer (2008), keadaan ini
membuat pengkajian setiap dimensi psychological well-being dapat terus
12
berkembang. Ryff & Singer (2008) mendeskripsikan aspek-aspek psychological well-
being seperti gambar di bawah ini :
Gambar 2.1 Aspek Psychological Well-Being
Penjelasan setiap aspek psychological well-being sebagai berikut :
2.1.2.1 Penerimaan Diri (Self Acceptance)
Aspek ini didefinisikan sebagai karakteristik utama dari kesehatan mental dan
juga merupakan karakteristik utama dari individu yang mencapai aktualisasi diri,
berfungsi secara optimal dan dewasa (Ryff 1989, Ryff & Keyes 1995).
Ryff & Singer (2008) menjelaskan dimensi ini dengan beberapa perspektif
para pakar psikologi.
Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik akan memiliki
harga diri yang positif, hal tersebut didefinisikan sebagai fitur utama dari
kesehatan mental (Jahoda) serta karakteristik aktualisasi diri (Maslow),
fungsi yang optimal (Rogers), dan kematangan (Alport). Teori tentang
13
rentang kehidupan juga menekankan pentingnya penerimaan diri,
termasuk yang menjadi masa lalu kehidupan (Erikson, Neugarten).
Tujuan konsep individuasi (Jung) semakin menggarisbawahi perlunya
berdamai dengan sisi gelap dari diri sendiri (the shadow). Selanjutnya,
kedua formulasi dari Erikson tentang integritas ego dan individuasi Jung
menekankan semacam penerimaan diri yang lebih kaya dari standar harga
diri yang diperlihatkan. Ini semacam evaluasi diri jangka panjang dan
melibatkan kesadaran dan penerimaan, baik kekuatan dan kelemahan
pribadi.
Orang yang memiliki penerimaan diri yang baik akan dapat memiliki sifat
positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek diri termasuk
sifat baik dan buruk, serta memiliki pandangan positif terhadap kehidupan masa lalu.
Sedangkan orang yang memiliki penerimaan diri rendah akan merasa tidak puas
dengan dirinya sendiri, kecewa dengan apa yang telah terjadi pada masa lalu, merasa
terganggu dengan kualitas pribadi, serta mempunyai keinginan yang berbeda dari
keadaan dirinya. (Ryff & Keyes 1995, Ryff & Singer 2008).
2.1.2.2 Hubungan Positif dengan Orang lain (Positif Relations with Others)
Dimensi hubungan positif dengan orang lain diartikan sebagai kemampuan
untuk mencintai dilihat juga sebagai karakteristik utama dari kesehatan mental.
Hubungan dengan orang lain yang hangat merupakan salah satu kriteria dari
kedewasaan (Ryff 1989, Ryff & Keyes 1995).
Selanjutnya Ryff & Singer (2008) juga menjelaskan aspek hubungan positif
dengan orang lain sebagai berikut;
Dimensi hubungan positif dengan orang lain menggambarkan
ranah antar pribadi sebagai fitur utama dari kehidupan yang positif dan
kehidupan yang baik. Etika Aristotales mencontohkan tentang bagian
panjang persahabatan dan cinta. Otobiografi Mill menawarkan banyak
detail tentang cinta yang besar dalam hidup. Russel melihat kasih sayang
14
sebagai salah satu dari sumber kebahagiaan. Jahoda pada gilirannya
menyebutkan kemampuan untuk mencintai menjadi komponen utama dari
kesehatan mental, sedangkan Maslow menggambarkan aktualisasi diri
dengan memiliki perasaan yang kuat atau empati dan kasih sayang untuk
semua kehidupan baik manusia, kapasitas cinta yang besar, persahabatan
yang mendalam dan menutup identifikasi kepada orang lain. Hubungan
yang hangat juga diajukan sebagai kriteria kematangan (Allport). Teori
perkembangan kedewasaan (Erikson) menekankan pencapaian serikat
dengan orang lain (keintiman) serta bimbingan dan arah orang lain. Di
luar semua perspektif tersebut terdapat filosofi tentang “kriteria bagus”
dalam kehidupan yang baik (Becker 1992) yang menggarisbawahi
keutamaan cinta, empati dan kasih sayang. Dalam perspekstif budaya, ini
merupakan pengakuan universal sebagai fitur utama tentang bagaimana
untuk hidup.
Individu yang mempunyai tingkatan yang baik pada dimensi hubungan positif
dengan orang lain ditandai dengan memiliki hubungan yang hangat, memuaskan dan
saling percaya dengan orang lain, memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang
lain, dapat menunjukkan rasa empati, rasa sayang dan keintiman, serta memahami
konsep memberi dan menerima dalam hubungan sesama manusia. Sedangkan orang
yang memiliki tingkatan yang rendah pada dimensi ini mereka memiliki sedikit
hubungan dekat dengan orang lain, susah untuk bersikap hangat, tebuka dan perhatian
terhadap orang lain. (Ryff & Keyes 1995, Ryf & Singer 2008).
2.1.2.3 Otonomi (Autonomy)
Individu yang sudah mencapai aktualisasi diri dideskripsikan sebagai orang
yang menampilkan sikap otonomi (autonomy). Individu yang berfungsi secara
lengkap ini juga dideskripsikan memiliki internal locus of control dalam
mengevaluasi dirinya, maksudnya individu tersebut tidak meminta persetujuan dari
15
orang lain namun mengevaluasi dirinya sendiri dengan standar-standar pribadinya
(Ryff 1989, Ryff & Keyes 1995).
Ryff & Singer (2008) menjelaskan dengan kajian dari berbagai ahli mengenai
aspek kemandirian sebagai berikut;
Banyak dari kerangka kerja konseptual mendasari model
multidimensional kesejahteraan yang menekankan kualitas penentuan
nasib sendiri, kemerdekaan dan pengaturan perilaku dari dalam diri.
Misalnya aktualisasi diri digambarkan sebagai fungsi yang otonom dan
"resistensi terhadap enkulturasi" (Maslow). Orang yang berfungsi
sepenuhnya (fully function person) dijelaskan oleh Rogers memiliki
internal locus evaluasi, di mana seseorang tidak melihat ke orang lain
untuk disetujui, namun mengevaluasi diri sendiri dengan standar pribadi.
Individuasi juga digambarkan sebagai keterlibatan "pembebasan dari
konvensi" (Jung), yang tidak lagi menyerah dari keyakinan kolektif,
ketakutan, dan hukum dari massa. Ide eksistensial hidup dalam "iktikad
buruk" (Sartre 1956) menyampaikan pentingnya untuk mengubah hidup
dalam tiap tahun kemudian kehidupan, dan saling berhubungan dengan
mendapatkan rasa kebebasan dari norma-norma yang mengatur kehidupan
sehari-hari. Aspek kesejahteraan ini tidak diragukan lagi paling berbudaya
barat dari semua dimensi lainya.
Individu yang memiliki tingkat otonomi yang baik maka individu tersebut akan
mandiri, mampu menolak tekanan sosial untuk berfikir dan berperilaku dengan cara
tertentu, mampu mengatur perilaku diri sendiri dan mengevaluasi diri sendiri dengan
standar pribadi. Individu yang memiliki otonomi yang rendah akan terlalu
memikirkan tuntutan dan evaluasi orang lain, bergantung kepada orang lain untuk
mengambil suatu keputusan serta cenderung untuk bersikap conform terhadap
tekanan sosial (Ryff & Keyes 1995, Ryff & Singer 2008).
16
2.1.2.4 Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
Merupakan kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan suatu
lingkungan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya, dapat didefinisikan
sebagai salah satu karakteristik kesehatan mental. Penguasaan lingkungan yang baik
dapat dilihat dari sejauh mana individu dapat mengambil keuntungan dari peluang-
peluang yang ada di lingkungan.
Ryff & Singer (2008) menjelaskan dengan kajian dari berbagai ahli mengenai
aspek penguasaan lingkungan sebagai berikut :
Jahoda mendefinisikan kemampuan individu untuk memilih atau
menciptakan lingkungan yang cocok sesuai kondisi fisik sebagai
karakteristik kunci dari kesehatan mental. Teori perkembangan hidup juga
menekankan pentingnya kemampuan memanipulasi dan mengontrol
lingkungan yang kompleks. Terutama di usia pertengahan, serta kapasitas
untuk bertindak dan mengubah dunia sekitarnya melalui kegiatan mental
dan fisik. Kriteria Allport tentang kematangan termasuk kapasitas untuk
"memperpanjang diri" oleh Wich maksudnya mampu berpartisipasi dalam
bidang signifikan atau berusaha yang melampaui diri. Bersama-sama,
perspektif ini menunjukkan bahwa partisipasi aktif dalam penguasaan
lingkungan adalah patisari penting dari suatu kerangka terpadu pada
fungsi psikologis yang positif. Meskipun daerah kesejahteraan ini
tampaknya memiliki kesejajaran dengan konstruksi psikologis lain,
seperti kontrol diri dan efikasi diri, penekanan pada menemukan atau
menciptakan konteks sekitarnya yang sesuai dengan kebutuhan pribadi
seseorang dan kapasitas unik untuk penguasaan lingkungan.
Individu yang memiliki penguasaan yang baik tehadap lingkungannya ditandai
dengan kemampuannya dalam memilih atau menciptakan sebuah lingkungan yang
sesuai dengan kebutuhan, nilai-nilai pribadinya dan memanfaatkan secara maksimal
sumber-sumber peluang yang ada di lingkungan. Individu juga dapat
mengembangkan dirinya secara kreatif melalui aktivitas fisik maupun mental.
Sedangkan individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang rendah akan
17
mengalami kesulitan mengatur kegiatan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk
mengubah atau meningkatkan apa yang di luar dirinya serta tidak menyadari peluang
yang ada di lingkungan (Ryff & Keyes 1995, Ryff & Singer 2008).
2.1.2.5 Tujuan Hidup (Purpose of Life)
Individu memiliki keyakinan bahwa hidup ini bermakna dan hidup ini menuju
ke sebuah target tertentu yang selalu berubah merupakan suatu karakteristik
kesehatan mental.
Ryff & Singer (2008) menjelaskan dengan kajian dari berbagai ahli mengenai
aspek tujuan hidup sebagai berikut :
Dimensi well-being ini berkembang dari perspektif eksistensial,
khususnya konsep pencarian makna (search for meaning) Frankl yang
berfokus dalam mengarahkan dan membantu manusia menemukan makna
dan tujuan hidup melalui penderitaan (suffering). Pembentukan makna
dan pengarahan hidup juga merupakan tantangan mendasar hidup otentik
menurut Sartre. Sementara pandangan ini cenderung menekankan
keinginan untuk bermakna dalam menghadapi apa yang mengerikan, atau
tidak masuk akal dalam hidup, tema tujuan juga terlihat dalam literatur
lain kurang terfokus pada kegelapan, penekanan Russell pada semangat,
misalnya, pada dasarnya adalah tentang aktif mengikutsertakan dan
memiliki sikap reflektif terhadap kehidupan. Definisi Jahoda tentang
kesehatan mental memberikan penekanan eksplisit untuk pentingnya
kepercayaan yang memberikan satu rasa tujuan dan makna hidup. Definisi
Allport yang akhir termasuk rasa pengarahan diri dan intensionalitas.
Akhirnya, teori perkembangan rentang hidup mengacu pada tujuan
mengubah atau tujuan yang mencirikan tahap kehidupan yang berbeda,
seperti menjadi kreatif atau produktif di usia setengah baya, dan menuju
ke arah integrasi emosional di kemudian hari.
Individu yang memiliki tujuan hidup yang baik akan memiliki target dan cita-
cita dalam hidupnya serta merasa bahwa kehidupan di saat ini dan masa lalu adalah
bermakna, individu tersebut juga memegang teguh pada suatu kepercayaan tertentu
yang dapat membuat hidupnya lebih berarti. Sedangkan individu yang kurang
18
memiliki tujuan hidup akan kurang memaknai hidupnya, tidak memiliki tujuan dalam
hidup, tidak melihat adanya manfaat dari masa lalu dan kurang memiliki target dan
cita-cita (Ryff & Keyes 1995, Ryff & Singer 2008).
2.1.2.6 Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)
Individu dalam berfungsi secara optimal secara psikologis harus berkembang,
mengembangkan potensi-potensinya, untuk tumbuh dan maju. Pemanfaatkan secara
optimal seluruh bakat dan kapasitas yang dimiliki oleh individu merupakan hal yang
penting dalam psychological well-being. Individu yang terbuka terhadap
pengalaman-pengalaman baru berarti individu tersebut akan terus berkembang bukan
hanya mencari suatu titik yang diam di mana semua masalah terselesaikan.
Ryff & Singer (2008) menjelaskan dengan kajian dari berbagai ahli mengenai
aspek pertumbuhan pribadi sebagai berikut;
Dari semua aspek kesejahteraan, pertumbuhan pribadi adalah yang
paling mendekati arti tentang eudaimonia Aristotales. Seperti yang secara
eksplisit berkaitan dengan realisasi diri individu. Bagian dari fungsi
positif sehingga dinamis, yang melibatkan suatu proses terus-menerus
untuk mengembangkan potensi seseorang. Aktualisasi diri, seperti yang
dirumuskan oleh Maslow, dan diuraikan oleh Norton, terpusat pada
realisasi potensi pribadi, seperti konsepsi positif Jahoda tentang kesehatan
mental. Rogers juga menggambarkan orang yang berfungsi penuh
memiliki keterbukaan terhadap pengalaman dan dia terus
mengembangkannya, daripada mencapai keadaan tetap di mana semua
masalah diselesaikan. Teori rentang kehidupan (Buhler, Erikson,
Neugarten, Jung) juga memberikan penekanan eksplisit pada
pertumbuhan lanjutan dan menghadapi tantangan baru pada periode yang
berbeda dari kehidupan.
Individu yang mempunyai pertumbuhan diri yang baik akan memiliki perasaan
yang terus berkembang, melihat diri sendiri sebagi sesuatu yang terus berkembang,
19
menyadari potensi-potensi yang dimiliki dan mampu melihat peningkatan dalam diri
dan perilakunya dalam waktu-kewaktu. Sedangkan individu yang kurang baik dalam
perkembangan dirinya akan mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang yang
stagnan, kurang meningkat dalam perilaku dari waktu-kewaktu, merasa bosan dengan
hidup dan tidak mampu mengembangkan sikap dan perilaku tertentu (Ryff & Keyes
1995, Ryff & Singer 2008).
2.1.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being
2.1.3.1 Faktor Demografis
Faktor demografis meliputi usia, jenis kelamin, tingkat sosial ekonomi, dan
budaya. Melalui berbagai penelitian, Ryff dan Singer (1996) menemukan beberapa
faktor-faktor demografis yang mempengaruhi perkembangan psychological well-
being seseorang
a) Usia
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Singer (1996) menunjukkan
beberapa aspek dari psychological well-being seperti penguasaan lingkungan dan
otonomi menunjukkan pola yang meningkat sejalan dengan usia. Khususnya dari
dewasa awal (usia 18 tahun – 29 tahun) ke dewasa madya (usia 30 tahun – 64 tahun).
Aspek lain seperti pertumbuhan pribadi dan tujuan hidup menunjukkan pola menurun
khususnya dari dewasa ke lanjut usia. Hubungan positif dengan orang lain dan
penerimaan diri menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan bila ditinjau
20
berdasarkan usia. Karasawa dkk (2011) juga mendapatkan hasil penelitian bahwa usia
mempengaruhi perkembangan psychological well-being.
b) Jenis Kelamin
Penelititan Karasawa, Ryff dkk (2011) menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan tingkat psychological well-being jika ditinjau dari jenis kelamin yang
dimiliki. Pada dimensi otonomi terlihat perbedaan yang signifikan antara laki-laki
dan perempuan. Laki-laki mempunyai otonomi yang lebih tinggi dibandingkan
perempuan pada masa usia 35 tahun - 54 tahun, kemudian wanita yang berbalik
mempunyai psychological well-being lebih tinggi pada usia 55 tahun - 74 tahun.
c) Status Sosial Ekonomi
Hasil penelitian longitudinal Wiscousin (dalam Ryff & Singer 1996)
menunjukkan bahwa psychological well-being lebih tinggi pada individu yang
memiliki pendidikan lebih tinggi, terutama untuk dimensi tujuan hidup dan
perkembangan pribadi, baik pada wanita maupun pria. Selanjutnya individu yang
mempunyai penghasilan dan jabatan lebih tinggi menunjukan psychological well-
being yang lebih baik pula
d) Budaya
Penelitian yang dilaksanakan oleh Karasawa, Ryff dkk (2011) melihat
psychological well-being dalam dua prespektif kebudayaan yang berbeda yaitu
kebudayaan Jepang dan Amerika. Dari penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa
tingkat psychological well-being yang dimiliki masyarakat Jepang sangat berbeda
dengan yang dimiliki masyarakat Amerika dalam setiap aspek/dimensinya.
21
2.1.3.2 Pemberian Arti Terhadap Hidup
Menurut Ryff (1989) pemberian arti terhadap pengalaman hidup memberi
kontribusi yang sangat besar terhadap pencapaian psychological well-being.
Pengalaman tersebut mencakup berbagai hal dan berbagai periode kehidupan yang
dialami oleh individu. Pengalaman individu tersebut dapat berupa pengalaman
religius, pengalaman pernah mengalami pelecehan.
2.1.3.3 Kepribadian
Kepribadian sering dihubungkan dengan dimensi psychological well-being,
Schumutte & Ryff (1997) menemukan sifat neurotik, ektrovet dan conscientiousness
adalah prediktor yang konsisten dari dimensi-dimensi psychological well-being
khususnya dimensi penerimaan diri,penguasaan lingkungan dan tujuan hidup.
2.2 Ethnic Identity
2.2.1 Pengertian Ethnic Identity
Ethnic identity atau ethnic identity didefinisikan dengan berbagai macam
cara dan banyak ahli. Jean Phinney (1996, 2003) yang sekarang menjadi ahli dan
mengembangkannya, mengakui ketidaksamaan definisi-definisi tentang ethnic
identity membuat generalisasi dan perbandingan lintas kajian menjadi sulit dan
mendua. Oleh sebab itu menurutnya definisi itu merupakan konsep psikologis, bahwa
ethnic identity adalah suatu konstruk dinamis, multidimensional yang merujuk kepada
identitas diri, atau ia merasa diri sebagai anggota dari satu kelompok etnik tertentu
22
(Phinney 1996, Phinney 2003). Menurut pandangannya seseorang mengklaim suatu
identitas dalam konteks satu sub-kelompok mempunyai kesamaan keturunan dan
memiliki bersama satu kebudayaan yang sama, ras, agama, bahasa, kekerabatan, atau
tempat asal-usul. Phinney juga menambahkan bahwa ethnic identity bukanlah satu
yang sudah pasti (fixed) melainkan cair (fluid) dan pemahaman dinamis tentang diri
dan latar belakang etnik. Identitas diri itu dikonstruksi dan dimodifikasi ketika
individu-individu meyadari etnisitas mereka, dengan setting sosiokultural yang luas
(Phinney, 2003).
Selanjutnya Phinney & Ong (2007) menjelaskan bahwa sebagian besar
penelitian tentang ethnic identity telah didasarkan pada studi identitas kelompok oleh
para psikolog sosial (misalnya, Tajfel & Turner, 1986). Dari perspektif ini, identitas
etnik merupakan aspek sosial identitas, yang didefinisikan oleh Tajfel (1981) sebagai
bagian dari konsep diri individu yang berasal dari pengetahuan yang didapatkannya
sebagai anggota kelompok sosial sekaligus dengan nilai dan makna emosional yang
melekat sebagai anggota. Definisi tersebut menunjukkan konstruksi yang
multidimensional (Phinney & Ong 2007).
Identitas etnik berasal dari rasa keberadaan umat dalam suatu kelompok,
budaya, dan pengaturan tertentu. Namun identitas etnik tidak hanya pengetahuan dan
pemahaman tentang afiliasi in group seseorang, bahkan wawasan dan pemahaman
tersebut adalah sebagai bagian dari itu. Pencapaian identitas etnik berasal dari
pengalaman, tapi pengalaman juga tidak cukup untuk memproduksinya. Karena
identitas etnik seseorang dibangun dari waktu ke waktu, tindakan dan pilihan individu
23
penting dalam proses pembentukannya (Phinney & Ong 2007). Kesimpulan tentang
identitas etnik yang selalu berkembang seiring berjalannya waktu ini juga
memberikan kontibusi dalam perkembangan ilmunya. Ada beberapa penelitian oleh
Phinney dan koleganya yang muncul hingga mempengaruhi konstruksi bangunan
teori ethnic identity dari waktu ke waktu. Menurut Phinney (1990), Phinney dan
Alipora (1990), Phinney (1996) ethnic identity adalah sebuah konstruksi kompleks
yang mengandung sebuah komitmen dan rasa kepemilikan (sense of belonging) pada
kelompok etnik, evaluasi positif pada kelompok, berminat di dalam dan
berpengetahuan tentang kelompok, dan turut serta terlibat dalam aktivitas sosial
kelompok. Identitas itu berkaitan dengan masa lalu dan aspirasi masa depan yang
berhubungan dengan etnisitas. Jadi, ethnic identity akan membuat seseorang memiliki
harapan akan masa depan yang berkait dengan etnisnya. Phinney & Ong (2007)
mendefinisikan identitas etnik adalah rasa diri sebagai anggota kelompok yang
berkembang dari waktu ke waktu melalui proses aktif penyidikan, belajar, dan
komitmen. Sedangkan dalam penelitian ini pengertian, konstruksi bangunan teori dan
alat ukur yang digunakan akan disesuaikan dengan bangunan teori ethnic identity
Phinney & Ong (2007) dengan aspek eksplorasi (penyidikan, belajar) dan komitmen
menjadi aspek utama dan menjadi komponen utama dalam konstruk multigroup
ethnic identity measure – revised (MEIM – R).
24
2.2.2 Komponen Ethnic Identity / Ethnic identity
Komponen ethnic identity Phinney (1989) telah mengalami banyak
perkembangan sejak dimunculkan pada tahun 1989. Beberapa penelitian mengenai
ethnic identity juga digunakan Phinney untuk memperbaharui konseptualisasi ethnic
identitynya. Dalam review terbaru dari ethnic identity, Ashmore dkk dalam Phinney
& Ong 2007) berusaha untuk mengidentifikasi komponen-komponen utama dari
identitas kelompok dan memberikan kerangka yang berguna untuk pemahaman
identitas etnik dalam arti luas. Review sebagian besar adalah pada gambaran teori
serta bukti empiris yang ada. Namun, sangat membantu sebagai dasar untuk
memeriksa aspek identitas etnik. Dalam hal ini bagian yang dipertimbangkan sebagai
komponen identitas etnik yang telah diidentifikasi oleh Ashmore dkk serta peneliti
lainnya. Secara khusus, akan dibahas kategorisasi diri, komitmen dan keterikatan,
eksplorasi, keterlibatan perilaku, sikap ingroup, nilai-nilai etnik dan keyakinan,
pentingnya atau arti-penting dari keanggotaan kelompok, dan identitas etnik dalam
kaitannya dengan identitas nasional Phinney & Ong (2007).
2.2.2.1 Kategorisasi Diri dan Pelabelan
Kategorisasi diri, yaitu mengidentifikasi diri sendiri sebagai anggota dari
kelompok sosial tertentu Phinney & Ong (2007). Pengukuran identitas etnik harus
dimulai dengan memverifikasi bahwa individu-individu yang dipelajari pada
kenyataannya mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok tertentu. Ini bisa
dilakukan baik dengan pertanyaan terbuka atau dengan daftar yang tepat inklusif
25
(Phinney, 1992). Untuk tujuan ini, tidak dipedulikan apakah label adalah kelompok
etnik atau kelompok ras (terlepas dari bagaimana istilah ini didefinisikan dan apakah
mereka dalam lingkup luas atau sempit). Individu dapat menggunakan berbagai
pelabelan atau kategori, tergantung pada situasi, misalnya, orang yang sama mungkin
menggunakan istilah Cina, Amerika Cina, Asia, atau Asia / Kepulauan Pasifik, atau
alternatif lain seperti, Meksiko Amerika, Latin, Hispanik, atau bahkan Maya.
Penggunaan label dipengaruhi untuk batas tertentu tergantung konteksnya dan dengan
bagaimana seseorang terlihat oleh orang lain, sehingga orang tidak dapat dengan
mudah menggunakan label yang berbeda dengan penampilan kelompoknya (Phinney
& Ong 2007).
Kategorisasi diri peserta penelitian dapat diperoleh melalui kedua pertanyaan
terbuka dan daftar cek. Karena mungkin ada perbedaan, maka juga berguna untuk
meminta individu untuk melaporkan latar belakang (etnik, ras, atau bangsa) dari
kedua orang tua. Prosedur ini memungkinkan untuk identifikasi etnik campuran
individu yang mungkin mengidentifikasikan diri hanya dengan satu kelompok, dan
juga dapat membantu memperjelas latar belakang spesifik responden, misalnya,
dalam kasus responden yang menganggap dirinya orang Latin, sedangkan kedua
orang tua menyebut dirinya Meksiko. Peneliti kemudian dapat membuat keputusan
tentang kriteria yang digunakan dalam mengkategorikan peserta untuk tujuan
tertentu. Namun demikian, kategori atau label itu sendiri adalah kurang penting
secara psikologis daripada makna dari kategori bagi individu sendiri (Phinney & Ong
2007).
26
2.2.2.2 Komitmen dan Keterikatan
Phinney & Ong (2007) menjelaskan bahwa sebuah komitmen, atau rasa
memiliki (sense of belonging), menjadi hal yang paling penting sebagai komponen
identitas etnik. Keterikatan atau rasa komitmen dimasukkan oleh Ashmore dkk 2004
(dalam Phinney & Ong 2007) sebagai kunci komponen identitas kelompok. Istilah
komitmen telah digunakan baik dalam psikologi sosial (misalnya, Ellemers, Spears,
& Doosje, dalam Phinney & Ong 2007) dan psikologi perkembangan (Roberts dkk.
dalam Phinney & Ong 2007) untuk merujuk pada keterikatan pribadi yang kuat
dalam kelompok.
Selanjutnya, sesuai dengan model perkembangan (Marcia, 1980; Phinney,
1989, 1993), komitmen saja tidak dapat mendefinisikan kepercayaan diri dan
kematangan dalam pencapaian identitas. Ini karena komitmen diidentifikasi dari
orang tua atau panutan lainnya yang belum sepenuhnya diinternalisasi oleh individu.
Demikian juga komitmen disebut tertutup, ketika individu tidak memiliki pemahaman
yang jelas tentang makna dan implikasi komitmen kelompoknya. Sebaliknya, rasa
aman dan kestabilan diri didefinisikan sebagai pencapaian identitas yang
mencerminkan pengetahuan dan pemahaman tentang etnik yang didasarkan pada
proses eksplorasi (Phinney & Ong 2007).
2.2.2.3 Eksplorasi
Eksplorasi, didefinisikan sebagai pencarian informasi dan pengalaman yang
relevan dengan etnik seseorang, Eksplorasi dapat melibatkan berbagai kegiatan,
27
seperti membaca dan berbicara kepada orang-orang, belajar praktek budaya, dan
menghadiri acara budaya. Meskipun eksplorasi paling sering terjadi pada remaja, itu
adalah proses yang berkelanjutan yang dapat terus dari waktu ke waktu, mungkin
sepanjang hidup (Phinney, 2006), tergantung pada pengalaman individu. Eksplorasi
menjadi hal yang penting dalam prosesnya, karena tanpa proses itu, komitmen
seseorang mungkin kurang baik dan lebih tunduk pada perubahan dengan
pengalaman baru (Phinney & Ong 2007).
2.2.2.4 Perilaku Keetnisan
Perilaku etnik telah dimasukkan dalam banyak ukuran identitas etnik, praktek
etnik dan interaksi sosial termasuk dalam versi asli dari MEIM (Phinney, 1992).
Pengukuran ethnic identity dikembangkan oleh kelompok tertentu (misalnya, Felix-
Ortiz, Newcomb, & Myers, 1994) umumnya termasuk perilaku seperti berbicara
bahasa, makan-makanan, dan bergaul dengan anggota kelompok seseorang.
Pengetahuan dan penggunaan bahasa etnik, secara khusus telah dianggap oleh
beberapa peneliti menjadi aspek kunci dalam identitas etnik. Perilaku adalah
tindakan yang dapat mengekspresikan identitas, etnik dan perilaku umumnya
berkorelasi dengan aspek-aspek lain dari identitas etnik. Namun, identitas etnik
adalah struktur internal yang dapat eksis tanpa perilaku. Perilaku terkait dengan
budaya seseorang atau kelompok etnik telah dipelajari sebagai aspek akulturasi,
berbeda dengan identitas etnik (Berry, Phinney, Sam, & Vedder, 2006 dalam Phinney
& Ong 2007). Untuk kejelasan konseptual, perilaku harus dipertimbangkan secara
28
terpisah dari identitas. Hasil penelitian yang cenderung lebih pelit jika perilaku etnik
dimasukkan sebagai langkah-langkah diskrit dalam studi identitas etnik, sehingga
hasilnya dapat dianalisis secara terpisah, untuk membedakan implikasi dari identitas
seseorang dan keterkaitan dengan perilaku (Phinney & Ong 2007).
2.2.2.5 Evaluasi dan Sikap Ingroup
Secara teoritis, rasa yang kuat memiliki kelompok (sense of belonging)
diasumsikan untuk memasukkan perasaan nyaman dengan etnik seseorang dan
memiliki perasaan positif tentang keanggotaan kelompok seseorang (Tajfel & Turner,
1986 dalam Phinney & Ong 2007). Sikap positif tentang kelompok dan diri sendiri
sebagai anggota kelompok adalah penting karena anggota minoritas dan status
kelompok yang lebih rendah menjadi subyek diskriminasi yang dapat menyebabkan
sikap negatif ingroup (Tajfel dalam Phinney & Ong 2007). Hampir semua kelompok
etnik minoritas telah mengalami diskriminasi, dan sikap negatif ingroup, seperti
keinginan untuk termasuk dalam kelompok yang dominan, telah dilakukan oleh
kebanyakan anggota kelompok minoritas (Phinney, 1989). Sebuah perspektif
perkembangan menunjukkan bahwa pembentukan identitas etnik dicapai berdasarkan
belajar tentang kelompok etnik seseorang dan membuat komitmen ke dalam
kelompok yang mengarah pada penolakan pandangan negatif sesuai stereotip
(Phinney, 1989).
Sebuah identitas etnik dicapai menyiratkan bahwa sikap tentang kelompok
seseorang telah diperiksa dan dievaluasi secara independen dan tidak hanya
29
internalisasi dari apa yang orang lain pikirkan. Secara empiris, sejumlah studi
(Phinney, Cantu, & Kurtz, 1997, Roberts et al, 1999) telah menemukan sikap positif
seperti kebanggaan dan perasaan yang baik tentang kelompok seseorang untuk
menjadi bagian dari pencapaian identitas etnik. Perasaan positif untuk kelompok
seseorang telah ditunjukkan sebagai prediksi kebahagiaan setiap harinya (Kiang, Yip,
Gonzales, Witkow, & Fuligni, 2006 dalam Phinney & Ong 2007).
2.2.2.6 Nilai dan Keyakinan
Banyak pengukuran identitas etnik telah dikembangkan untuk kelompok
tertentu dan telah memasukkan nilai-nilai dan keyakinan tertentu ke kelompok
(misalnya, Felix Ortiz dkk, dalam Phinney & Ong 2007). Pengkajian nilai-nilai dan
keyakinan memerlukan penggunaan konten yang berbeda antar kelompok, misalnya
kekeluargaan untuk orang Latin, berbakti bagi orang Asia, dan nilai Afrocentric untuk
Afrika Amerika. Penelitian dengan komponen tersebut menunjukkan berkorelasi
sangat kuat dengan komitmen atau rasa memiliki (sense of belonging) (Phinney &
Ong 2007).
Nilai adalah indikator penting dari kedekatan seseorang kepada kelompok.
Namun terbatas dalam kelompok itu, tidak selalu ada dalam konsensus kelompok
tentang nilai-nilai dan keyakinan harus termasuk dalam skala. Bahkan ada
kesepakatan, seperti pengukuran dapat digunakan hanya dengan kelompok-kelompok
tertentu dan tidak dapat digunakan untuk perbandingan seluruh kelompok. Selain itu,
nilai-nilai dan keyakinan mungkin memiliki korelasi yang berbeda dari identitas etnik
30
per skala, yaitu dari rasa berkomitmen kepemilikan kelompoknya. Oleh karena itu,
kejelasan yang lebih besar dapat diperoleh dengan menilai secara terpisah nilai-nilai
dan rasa memiliki seseorang (Phinney & Ong 2007).
2.2.2.7 Nilai Penting Ethnic Identity
Ada variasi luas tentang pentingnya atribut untuk identitas etnik seseorang
dibandingkan individu dan kelompok (Phinney & Alipuria, 1990). Atribut etnisitas
anggota kelompok etnik minoritas lebih besar dan penting daripada anggota dominan
mayoritas. Ada juga variasi dalam arti penting dari identitas etnik dari waktu ke
waktu. Para penulis juga menunjukkan bahwa arti penting dikaitkan dengan positive
well-being setiap hari bagi individu dengan identitas etnik yang tinggi tetapi tidak
individu yang rendah dalam identitas etniknya (Phinney & Ong 2007).
2.2.2.8 Rangkuman
Phinney & Ong (2007) menyebutkan berbagai komponen identitas etnik yang
telah diidentifikasi menimbulkan pertanyaan pengukuran: Apakah ada satu konstruk
menyeluruh identitas etnik, atau ada berbagai komponen yang harus dinilai dan
dipelajari secara terpisah? Dalam penelitian masa lalu, jawabannya selalu agak
sewenang-wenang, dengan peneliti memilih aspek konsep untuk menilai untuk tujuan
tertentu atau menambahkan elemen baru untuk menjawab pertanyaan penelitian
mereka (misalnya,Altschul, Oyserman, & Bybee, 2006, Yip & Fuligni, 2002).
Sekarang diusulkan bahwa pendekatan pembangunan, yang berfokus pada proses
31
pembentukan identitas etnik dapat memberikan petunjuk secara teoritis dan
psikometris untuk mengukur aspek-aspek inti identitas etnik. Pada kesimpulan
artikelnya Phinney & Ong (2007) menyimpulkan untuk menggunakan dua aspek
utama ethnic identity yaitu eksplorasi dan komitmen untuk membangun konstruk
pengukuran berupa Multigroup Ethnic Identity Measure Revised (MEIM – R).
2.2.3 Tahap Pembentukan Ethnic Identity
Dalam tulisannya yang berjudul Understanding Ethnic Identity Diversity : The
Role of Ethnic Identity, Phinney (1996) menyebutkan tiga tahap pembentukan ethnic
identity. Ketiga tahap tersebut adalah :
1. Unexamined Ethnic Identity
Phinney (1996) menggambarkan pada tahap ini hubungan individu dengan
kelompoknya sendiri dapat berlangsung positif, negatif ataupun netral, semua
tergantung dengan adanya sosialisasi (keluarga dan komunitas). Sedangkan hubungan
dengan kelompok lainnya juga dapat positif, negatif ataupun netral tergantung dengan
adanya sosialisasi. Kemungkinan juga dapat terjadi identifikasi kepada kelompok
lainya.
2. Moratorium / Exploration
Phinney (1996) menggambarkan pada tahap ini hubungan individu dengan
kelompoknya sendiri terdapat banyak keterlibatan dalam kelompok, mempunyai
tipikal sikap yang positif tetapi memungkinkan adanya perpindahan sesuai dengan
keadaan jiwa (mood) yang ada. Sedangkan hubungan dengan kelompok lainnya
32
adalah adanya kesadaran akan rasisme, kemungkinan kemarahan kepada kelompok
kulit putih / lainnya dan adanya empati kepada kelompok minoritas lainnya.
3. Achieved Ethnic Identity
Phinney (1996) menggambarkan pada tahap ini hubungan individu dengan
kelompoknya sendiri adalah terjaminnya perasaan sebagai anggota kelompok,
penilaian yang realistik terhadap kelompoknya sedangkan hubunan dengan kelompok
lainnya adalah dapat menerima dan memiliki keterlibatan positif (integrasi) dalam
memilih separatisme atau pendekatan positif akn diskriminasi.
2.3 Etnik Jawa
Kata etnik sendiri diartikan oleh Jones (dalam Liliweri, 2011) sebagai sebuah
himpunan manusia (sekelompok manusia) yang dipersatukan oleh suatu kesadaran
atas kesamaan sebuah kultur atau subkultur tertentu, atau karena kesamaan ras,
agama, asal-usul bangsa, bahkan peran dan fungsi tertentu. Selaras dengan pendapat
Jones, Phinney (1996) juga menyebutkan bahwa keetnisan seringkali dianggap
sebagai budaya. Asumsi yang paling umum dipakai adalah norma-norma, nilai-nilai,
sikap-sikap, dan perilaku-perilaku yang ditampilkan oleh individu anggota kelompok
etnik tertentu merupakan tipikal etnik yang bersangkutan di mana individu itu
berasal. Perilaku tipikal individu berakar pada budaya yang sudah diturunkan dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Itu sebabnya mengapa perilaku individu tersebut
bersifat khas. Dalam penelitian ini secara spesifik etnik yang menjadi subjek
33
penelitian adalah etnik Jawa. Phinney (1996) menyebutkan 3 aspek psikologis yang
penting mengenai keetnisan, yaitu :
1. Nilai budaya, sikap dan perilaku yang sesuai dengan kelompok etnik.
2. Perasaan subjektif sebagai anggota kelompok etnik.
3. Pengalaman hubungan dengan status minoritas, kepemilikan kekuatan,
diskriminasi dan prasangka.
Etnik Jawa sendiri tidak berarti seluruh masyarakat pulau Jawa seluruhnya,
yang dimaksudkan adalah masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jawa Barat
tidak dimasukkan karena adanya perbedaan sosial budaya yang cukup besar bila
dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur (Sastrosupono dalam Pusat
Bimbingan UKSW, 1982). Penduduk Jawa Tengah pada umumnya lebih halus
perilakunya dibandingkan dengan penduduk Jawa Timur. Orang Surakarta dan
Yogyakarta dikenal sebagai orang yang lebih halus dibandingkan penduduk daerah
Kedu-Begelen maupun Banyumas, Tegal, dan sekitarnya. Begitu pula masyarakat
pesisir mempunyai corak yang berbeda dengan daerah pegunungan maupun daerah
bekas kerajaan Surakarta-Yogyakarta. Faktor rasa lebih diperhatikan dan dijunjung
tinggi didaerah Yogyakarta-Surakarta, sedangkan keterusterangan dan spontanitas
lebih menonjol di daerah Kedu – Begelen, Banyumas dan Jawa Timur (Sastrosupono
dalam Pusat Bimbingan UKSW, 1982).
Geertz, (2013) menjelaskan sangat besarnya suku Jawa juga memunculkan
beberapa varian di dalamnya. Penggolongan penduduk menurut pandangan morang
Jawa, menurut kepercayaan agama, preferensi etis dan ideologi politik orang Jawa
34
menghasilkan tiga tipe utama kebudayaan yang mencerminkan organisasi moral
kebudayaan Jawa. Tiga tipe kebudayaan ini adalah abangan, santri dan priyayi.
Abangan menekankan aspek-aspek animisme sinkretisme Jawa secara keseluruhan
dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur petani Desa; santri menekankan
aspek-aspek Islam sinkretisme serta umumnya diasosiasikan dengan unsur pedagang
dan unsur tertentu dalam kaum tani; dan priyayi yang menekankan aspek-aspek
Hindu yang diasosiasikan dengan unsur birokrasi. Penjelasan mengenai ketiga varian
yang ada dalam etnik atau penduduk Jawa sebagai berikut :
2.3.1 Varian Abangan
Geertz (2013) menjelaskan tentang varian abangan dalam tulisannya sebagai
berikut :
Dewasa ini sistem keagamaan Desa lazimnya terdiri atas sebuah integrasi
yang berimbang antara unsur-unsur animisme, hindu, dan Islam; sebuah
sinkretisme dasar orang Jawa yang merupakan tradisi rakyat yang
sebenarnya di pulau itu (Jawa). Dasar utama peradabannya; namun
situasinya lebih kompleks dibandingkan dari ini, karena seperti yang akan
kita lihat nanti, tidak hanya banyak petani yang tidak mengikuti
sinkritisme ini, tetapi juga banyak orang kota-kebanyakan para petani
kelas rendah yang tersingkir atau anak-anak petani yang tersingkir-
mengikutinya. Tradisi keagamaan abangan, yang terutama sekali terdiri
atas pesta keupacaraan yang disebut slametan, kepercayaan yang luas dan
kompleks terhadap mahluk halus serta serangkaian teori dan praktik
pengobatan, sihir serta magi, adalah subvarian pertama dalam sistem
keagamaan umum orang Jawa.
Secara singkat pengertian orang Jawa varian abangan dilukiskan oleh Geertz
(2013) sebagai varian yang menekankan aspek-aspek animisme sinkretisme Jawa
secara keseluruhan dan pada umumnya diasosiasikan dengan unsur petani.
35
2.3.2 Varian Santri
Geertz (2013) menjelaskan tentang varian santri dalam tulisannya sebagai
berikut :
Islam yang lebih murni itu merupakan subtradisi yang saya sebut santri.
Walaupun dengan cara umum dan luas, subvarian santri ini dipertautkan
dengan elemen dagang orang Jawa, ini tidak hanya berlaku bagi kalangan
dagang saja. Demikian juga, tidak semua pedagang betul-betul pemeluk
merupakan pemeluk subvarian itu. Ada elemen santri yang kuat di desa-
desa. Mereka seringkali berada di bawah pimpinan para petani yang lebih
kaya yang sudah mampu naik haji ke Mekkah dan setelah kembali
mendirikan sekolah-sekolah agama. Pada pihak lain, pasar, khususnya
sejak perang dan lenyapnya pemerintahan Belanda akan pelayan dan
buruh kasar, penuh sesak oleh kerumunan pedagang kecil abangan yang
mencoba mencari nafkah seadanya. Walaupun begitu, jumlah terbanyak
dari pedagang lebih besar serta giat masih berasal dari kalangan santri.
Tradisi keagamaan kalangan santri tidak hanya terdiri atas pelaksanaan
ritual dasar Islam secara cermat dan teratur-sembahyang, puasa, haji,
tetapi juga mencakup seluruh organisasi sosial, kedermawanan serta
politik Islam. Tradisi ini adalah subvarian kedua dari sistem keagamaan
masyarakat Jawa.
Secara singkat pengertian orang Jawa varian santri dilukiskan oleh Geertz
(2013) sebagai varian yang menekankan aspek-aspek Islam sinkretisme dan pada
umumnya diasosiasikan dengan unsur pedagang.
2.3.3 Varian Priyayi
Geertz (2013) menjelaskan tentang varian priyayi dalam tulisannya sebagai
berikut :
Pada mulanya priyayi hanya merujuk pada kalangan aristokrasi turun-
temurun yang oleh Belanda dicomot dengan mudah dari Raja-raja
pribumi yang ditaklukan, untuk kemudian diangkat sebagai pegawai sipil
yang digaji. Elite pegawai kerah-putih ini yang ujung akarnya terletak
pada keraton Hindu-Jawa sebelum masa kolonial, memelihara dan
mengembangkan etiket keraton yang sangat halus, seni tari, sandiwara,
musik dan puisi, yang sangat kompleks dan mistisme Hindu-Budha.
Mereka tidak menekankan elemen animistis dari sinkretisme Jawa yang
serba melingkupi seperti kaum abangan, tetapi tidak pula menekankan
36
elemen Islam sebagaimana kaum santri melainkan menitikberatkan pada
elemen Hinduisme.
Secara singkat pengertian orang Jawa varian priyayi dilukiskan oleh Geertz
(2013) sebagai varian yang menekankan aspek-aspek Hindu dan diasosiasikan
dengan unsur birokrasi.
Dalam penelitian ini varian etnik Jawa yang akan dipilih adalah varian santri
yaitu varian etnik Jawa yang menekankan pada aspek Islam sinkretisme dalam
kehidupannya. Pemilihan subjek penelitian akan ditentukan melalui angket tertutup
dengan skala Gutman agar subjek yang mengisi angket mampu memberikan
yawaban yang tegas dalam pengisiannya. Angket yang disusun berdasarkan teori
yang dikemukakan oleh Geertz (2013) yang membagi penduduk Jawa menjadi 3
varian berbeda dan ciri yang berbeda.
2.4 Well-Being dalam Bimbingan dan Konseling
Konsep psychological well-being Ryff (1989) mempunyai tempat tersendiri
dalam dunia Bimbingan dan Konseling. Christopher (1999) menyebutkan dalam
tulisannya bahwa pencapaian yang bagus dari keenam aspek psychological well-being
dapat dijadikan tujuan pelaksanaan konseling. Selain itu adanya keenam aspek
tersebut juga dapat memotivasi konseli dalam mencapai setiap aspeknya melalui
proses konseling.
Selain kesimpulan yang disampaiakan Christoper (1999) orang yang
mengarah pada pencapaian well-being juga memiliki kecenderungan untuk mencari
37
bantuan jika membutuhkan serta mau membantu orang lain pula disekitarnya
(Brodsky 1988). Hal ini selaras dengan tujuan pelaksanaan bimbingan yang
dipaparkan Winkel & Hastuti (2006), ialah supaya sesama manusia mengatur
kehidupan sendiri, menjamin kehidupan pribadinya sendiri secara optimal mungkin,
memikul tanggung jawab sendiri sebagai manusia secara dewasa dengan berpedoman
pada cita-cita yang mewujudkan semua potensi baik padanya, dan menyelesaikan
semua tugas yang dihadapi dalam kehidupan secara memuaskan. Winkel & Hastuti
(2006) membuat kesimpulan bahwa semua bimbingan yang diberikan kepada
individu dalam berbagai aspek kehidupan bertujuan supaya manusia mencapai
kebahagiaan (happiness) dan kesejahteraan (well-being) di aneka bidang kehidupan.
2.5 Penelitian yang Relevan
Penelitian mengenai ethnic identity dengan psychological well-being
dilakukan oleh Rayya (2006) yang meneliti siswa remaja yang memiliki latar
belakang ibu Eropa dan ayah Arab dengan judul Ethnic identity, ego identity, and
psychological well-being among mixed ethnic Arab European adolescents in Israel
menunjukkan bahwa ethnic identity berhubungan positif signifikan dengan
psychological well-being dengan r = 0, 63 dan p < 0, 001.
Penelitian Quraishi & Evangeli (2007) kepada mahasiswa perempuan asal
India, Pakistan, Banglades dan Sri Lanka yang kuliah di Universitas London Inggris
dengan judul An Investigation of Psychological Well-being and Cultural Identity in
British Asia Female University Students, menemukan hasil bahwa tidak ada
38
hubungan yang signifikan dengan arah yang negatif antara culture identity dengan
psychological well-being dengan r = -0,01 dan p > 0,05. Penelitian tersebut
menyimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara culture identity dengan
psychological well-being.
Phinney (2004) menyebutkan bahwa adanya komitmen ethnic identity akan
ditemukan hubungan yang positif dengan psychological well-being (contohnya
adanya harga diri yang tinggi), rendahnya subtansi abuse, dan ketiadaan depresi
(Phinney,Cantu, & Kurtz, 1997; Roberts et al., 1999 dalam Phinney 2004). Terdapat
juga fakta bahwa terdapat hubungan yang positif dengan prestasi akademik (Phinney
& Devich-Navarro, 1997 dalam Phinney 2004).
2.6 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kajian teori yang relevan, peneliti merumuskan hipotesis sebagai
berikut :
Ada hubungan yang signifikan antara ethnic identity dengan psychological
well-being mahasiswa etnik Jawa varian Santri Program Studi Bimbingan dan
Konseling Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya
Wacana.