Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6 Universitas Internasional Batam
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1. Jalan
Menurut UU RI No 38 Tahun 2004 berisi tentang Jalan mengartikan “jalan
merupakan prasarana transportasi dari darat yang mencakupi segala bagian pada
jalan, termasuk pelengkap bangunan dan pelengkapnya yang digunakan di
permukaan tanah bagi lalu lintas, di atas permukaan tanah, diatas permukaan air,
di atas permukaan tanah dan/atau air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan
kabel”.
Sedangkan menurut UU RI No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang diundangkan setelah UU No 38 menjelaskan “jalan
merupakan seluruh bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap serta
perlengkapannya yang ditujukan bagi lalu lintas umum, yang berada pada
permukaan tanah, diatas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau
air, serta di ats permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel”.
2.1.1. Klasifikasi Kelas Jalan
a. Klasifikasi menurut fungsi jalan yaitu terbagi atas
Menurut A Policy on Geometric Design of Highway and Street (AASHTO,
2011), Klasifikasi fungsional jalan raya menetapkan tipe desain dasar yang akan
digunakan untuk fasilitas itu. Dua kesulitan utama muncul dari pendekatan ini.
Yang pertama melibatkan jalan bebas hambatan. Jalan bebas hambatan bukanlah
kelas fungsional itu sendiri tetapi biasanya diklasifikasikan sebagai arteri utama.
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
7
Universitas Internasional Batam
Namun, ia memiliki kriteria geometris unik yang menuntut penunjukan desain
terpisah selain dari arteri lainnya. Oleh karena itu, bab terpisah tentang jalan raya
telah dimasukkan bersama dengan bab tentang arteri, kolektor, dan jalan dan jalan
lokal. Penambahan istilah “jalan bebas hambatan” yang umum dikenal untuk
kelas fungsional dasar tampaknya lebih disukai daripada penerapan sistem tipe
desain yang sepenuhnya terpisah.
Kesulitan utama kedua adalah bahwa, di masa lalu, kriteria desain
geometris dan tingkat kapasitas secara tradisional didasarkan pada klasifikasi
rentang volume lalu lintas. Di bawah sistem seperti itu, jalan raya dengan volume
lalu lintas yang sebanding dibangun dengan kriteria yang sama dan memberikan
tingkat layanan yang sama, meskipun mungkin ada perbedaan besar dalam fungsi
yang mereka layani.
Di bawah sistem klasifikasi fungsional, kriteria desain dan tingkat layanan
bervariasi sesuai dengan fungsi fasilitas jalan raya. Volume berfungsi untuk lebih
menyempurnakan kriteria desain untuk setiap kelas.
1) Jalan Arteri
Arteri diharapkan memberikan tingkat mobilitas yang tinggi untuk
perjalanan yang lebih panjang. Oleh karena itu, mereka harus
menyediakan kecepatan operasi dan tingkat layanan setinggi mungkin
dalam konteks area proyek. Karena akses ke properti berbatasan bukan
fungsi utama mereka, beberapa tingkat kontrol akses diinginkan untuk
meningkatkan mobilitas.
2) Jalan Kolektor
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
8
Universitas Internasional Batam
Jalan kolektor memiliki fungsi ganda dalam mengakomodasi
perjalanan yang lebih singkat dan memberi makan arteri. Mereka harus
menyediakan beberapa t ingkat mobilitas dan juga melayani properti
berbatasan. Dengan demikian, kecepatan desain menengah dan tingkat
layanan sesuai.
3) Jalan Lokal
Jalan lokal memiliki panjang perjalanan yang relatif pendek, dan,
karena akses properti adalah fungsi utama mereka, ada sedikit
kebutuhan untuk mobilitas atau kecepatan operasi yang tinggi. Fungsi
ini tercermin dengan penggunaan kecepatan desain dan tingkat layanan
yang lebih rendah.
Konsep fungsional penting bagi perancang. Meskipun banyak dari nilai
desain geometris dapat ditentukan tanpa mengacu pada klasifikasi fungsional,
perancang harus mengingat tujuan keseluruhan bahwa jalan atau jalan raya
dimaksudkan untuk melayani, serta konteks area proyek. Konsep ini konsisten
dengan pendekatan sistematis untuk perencanaan dan desain jalan raya.
Langkah pertama dalam proses desain adalah mendefinisikan fungsi yang
harus dilayani oleh fasilitas serta teks dari area proyek. Tingkat layanan yang
diperlukan untuk memenuhi fungsi ini untuk volume dan komposisi lalu lintas
yang diantisipasi memberikan dasar yang rasional dan hemat biaya untuk
pemilihan kecepatan desain dan kriteria geometri dalam rentang nilai yang
tersedia untuk perancang. Penggunaan klasifikasi fungsional sebagai jenis desain
harus secara tepat mengintegrasikan perencanaan jalan raya dan proses desain.
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
9
Universitas Internasional Batam
b. Klasifikasi menurut kelas jalan
Pada Standar Nasional Indonesia tentang Teknik Perencanaan Geometrik
Jalan Perkotaan 1999, kelas jalan dijelaskan sebagai berikut:
1) Diklasifikasikan menurut beban lalulintas yang melintasi jalan,
dinyatakan dengan MST (muatan sumbu terberat) dalam satuan ton.
2) Klasifikasi kelas jalan serta kaitannya dengan fungsi jalan rencana
dalan dilihat ditabel berikut:
Tabel 2.1 Klasifikasi menurut Kelas Jalan
Kelas
Jalan Fungsi Jalan
Dimensi Kendaraan
Maksimum Muatan
Sumbu
Terberat MST
(Ton) Panjang
(m)
Lebar (m)
I
Arteri
18 2,5 >10
II 18 2,5 10
III A 18 2,5 8
III A Kolektor
18 2,5 8
III B 12 2,5 8
III C Lokal 9 2,1 8 (Sumber: Teknik Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan 1999)
c. Klasifikasi menurut medan jalan
1) Medan jalan diklasifikasikan menurut dari kontur dan kelandaian
mendan yang diukur menurut tegak lurus kontur.
2) Klasifikasi menurut medan dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.2 Golongan Medan
Golongan Meda Notasi Kemiringan Medan
(%)
Datar D 25
(Sumber: Teknik Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1999)
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
10
Universitas Internasional Batam
2.2. Perencanaan Geometrik
2.2.1. Pengertian
Shirley L.Hendarson (2000) perencanaan geometrik jalan merupakan
perencanaan rute/jalur dari suatu ruas jalan secara lengkap, meliputi beberapa
komponen elemen yang disesuaikan sama kelengkapan dan basic data yang telah
ada atau tersedia dari hasil survey di lapangan dan telah dianalisis, serta mengacu
kepada ketentuan/parameter yang berlaku.
Kontrol utama dalam desain jalan raya geometris adalah karakteristik fisik
dan proporsi kendaraan dari berbagai ukuran menggunakan jalan raya. Oleh
karena itu, adalah tepat untuk memeriksa semua jenis kendaraan, menetapkan
pengelompokan kelas umum, dan memilih kendaraan dengan ukuran representatif
di dalam setiap kelas untuk penggunaan desain. Kendaraan yang dipilih ini,
dengan bobot, dimensi, dan karakteristik operasi yang representatif, digunakan
untuk membuat kontrol desain jalan raya untuk mengakomodasi kelas kendaraan
yang ditunjuk dan dikenal sebagai kendaraan desain. Untuk keperluan desain
geometrik, setiap kendaraan desain memiliki dimensi fisik yang lebih besar dan
radius belok minimum yang lebih besar daripada kebanyakan kendaraan di
kelasnya. Kendaraan desain terbesar biasanya ditampung dalam desain jalan bebas
hambatan.
2.2.2. Kriteria perencanaan
Dalam perencanaan geometrik terdapat beberapa kriteria dalam
perencanaan seperti satuan mobil penumpang, kendaraan rencana, volume lalu
lintas, kecepatan rencana, dan jarak pandang, kriteria/syarat tersebut adalah
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
11
Universitas Internasional Batam
penentu tingkatan kenyamanan dan kemanan yang ditentukan dengan bentuk
geometrik rencana jalan.
a. Kendaraan rencana
Kendaraan rencana (design vehicle), adalah kendaraan dengan dimensi,
berat dan kontrol kendali tertentu yang digunakan pada perencanaan suatu
jalan, supaya dapat menampung kendaraan dari titik yang direncanakan
(Ir. Hamirhan Saodang MSCE, 2004).
Rencana kendaraan dikategorikan menjadi 3:
1) Kendaraan kecil, Kelas mobil penumpang mencakup mobil
penumpang dari semua ukuran, kendaraan sport / utilitas, minivan,
van, dan truk pick-up.
2) Kendaraan sedang, kendaraan dengan 3 as tandem dan Bus termasuk
antarkota (kereta motor), transit kota, sekolah, dan bus gandeng
3) Kendaraan besar, mencakup truk unit tunggal, kombinasi traktor-
semitrailer truk, dan traktor truk dengan semitrailer yang
dikombinasikan dengan trailer penuh.
b. Satuan Mobil Penumpang
Satuan mobil penumpang (SMP) adalah jumlah dari mobil penumpang
yang di ubah satuannya menggantikan posisi kendaran dengan jenis
berbeda-beda, dengan kondisi jalan lain, pengawasan dan lalulintas yang
berlaku.
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
12
Universitas Internasional Batam
Tabel 2.3 Dimensi Kendaraan Rencana
Kategori
Kendaraan
Rencana
Dimensi kendaraan
(cm)
Tonjolan
Kendaraan
(cm)
Radius
Putar
Radius
Tonjolan
(cm) T L P D B Min Max
Kendaraan
Kecil 130 210 580 90 150 420 730 730
Kendaraan
Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410
Kendaraan
Besar 410 260 2100 120 90 290 1400 1370
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Raya Perkotaan 1999)
Gamnbar 2.1 Dimensi kendaraan kecil
Gambar 2.2 Dimensi kendaraan sedang
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
13
Universitas Internasional Batam
Gambar 2.3 Dimensi kendaraan besar
c. Volume Lalu Lintas
Sebagai parameter/pengukur jumlah dari arus lalu lintas digunakan
volume, volume lalu lintas menunjukkan nilai jumlah kendaraan yang
melewati satu titik pengamatan (observasi) dalam satu satuan waktu (hari,
jam, menit). Volume lalu lintas yang tinggi berbanding lurus dengan
kebutuhan lebar perkerasan jalan sehingga dapat menciptakan kenyamanan
serta keamanan, sedangkan jalan yang memiliki lebar perkersaan cukup
besar dengan volume kendaraan rendah cukup membahayakan bagi
pengendara, karena pengendara tidak dapat mengontrol kecepatan
minimum pada jalan yang lengang tersebut. Dan dilain sisi dapat
menyebabkan peningkatan biaya pembangunan jalan yang jelas tidak pada
posisinya.
Satuan volume lalu lintas yang umum dipergunakan sehubung dengan
penentuan jumlah dan lebar lajur ialah:
1) Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR)
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
14
Universitas Internasional Batam
LHR merupakan volume lalu lintas rata-rata dalam satu hari. LHR
diperoleh dari analisa data survei dilapangan asal-tujuan dan volume
lalu lintas disekitar jalan yang diamati.
Lalu lintas harian rata-rata dihitung menggunakan rumus berikut:
LHR
........................(1)
2) Volume Jam Perencanaan
Arus lalu lintas yang beragam dari jam ke jam dalam 1 (satu) hari
mengakibatkan diperlukannya perencanaan volume lalu lintas dalam
satu jam, perencanaan tersebut dinamakan volume jam perencanaan.
Volume jam perencanaan dinyatakan dalam satuan SMP/jam dan
dihitung menggunakan rumus:
VPJ ...............................................................(2)
Dimana, K adalah faktor volume lalu lintas jam sibuk. Nilai K
diperoleh beragam antara 10 – 15% untuk jalan perencanaan antar
kota, sedangkan untuk perencanaan jalan dalam kota faktor K akan
lebih kecil (TGPJAK, 1997: 10)
3) Kapasitas
Kapasitas adalah kemampuan jalan dapat menampung jumlah
kendaraan yang melintas dalam suatu penampang jalan pada lajur
selama 1 (satu) jam dengan perkiraan kondisi lalulintas yang tertentu
(Sukirman, 1994). Nilai kapasitas dapat didapat dari penyesuaian
kapasitas dasar/ideal dengan kondisi dari jalan yang akan
direncanakan.
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
15
Universitas Internasional Batam
d. Kecepatan Rencana
Kecepatan rencana (VR), digunakan untuk menjadi dasar perencanaan
geometrik yang memungkinkan kendaraan dapat melaju dengan aman dan
nyaman pada suatu kondisi cuaca yang ceras, arus lalulintas yang lengang
dan pengaruh hambatan samping tidak terlalu berarti (Sukirman, 1994),
Tabel 2.4 Kecepatan Rencana
Fungsi Jalan Kecepatan Rencana Vr (Km/jam)
Arteri Primer 50 – 100
Kolektor Primer 40 – 80
Arteri Sekunder 50 – 80
Kolektor Sekunder 30 – 50
Lokal Sekunder 30 – 50
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Raya Antar Kota Perkotaan 1999)
Untuk kondisi medan-medan yang sulit, kecepatan rencana (Vr) pada
suatu segmen ruas jalan dapat diturunkan dari kecepatan rencana sebanyak
20 km/jam dan tidak boleh melebihi dari tersebut.
2.2.3. Jarak Pandang
Kemampuan pengemudi untuk melihat ke depan diperlukan untuk
pengoperasian kendaraan di jalan raya yang aman dan efisien. Misalnya, di jalan
kereta api, kereta api terbatas pada jalur tetap, namun sistem sinyal blok dan
operator terlatih diperlukan untuk pengoperasian yang aman. Perancang harus
memberikan jarak pandang yang cukup panjang sehingga pengemudi dapat
mengontrol operasi kendaraan mereka untuk menghindari menabrak benda yang
tidak terduga dalam perjalanan. Jalan raya dua jalur tertentu juga harus memiliki
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
16
Universitas Internasional Batam
jarak pandang yang cukup untuk memungkinkan pengemudi menggunakan jalur
lalu lintas yang berlawanan untuk melewati kendaraan lain taddnpa mengganggu
kendaraan yang melaju. Dua aspek jarak pandangan dibahas di bawah ini: (1)
jarak pandangan yang dibutuhkan untuk berhenti, yang berlaku di semua jalan
raya; (2) jarak pandang yang diperlukan untuk melewati kendaraan yang disalip,
hanya berlaku di jalan raya dua lajur Jarak pandangan terdiri dari:
a. Jarak Pandang Henti (Jh)
Jarak pandang henti adalah panjang jalan di depan yang terlihat oleh
pengemudi. Jarak pandang yang tersedia di jalan raya harus cukup panjang
untuk memungkinkan kendaraan melaju pada atau di dekat kecepatan desain
untuk berhenti sebelum mencapai benda diam di jalurnya. Meskipun panjang
yang lebih besar dari jalan yang terlihat diinginkan, jarak penglihatan di
setiap titik di sepanjang jalan harus setidaknya yang dibutuhkan untuk
pengemudi atau kendaraan di bawah rata-rata untuk berhenti.
Ls
.................................(3)
Menghentikan jarak pandang adalah jumlah dari dua jarak: (1) jarak yang
dilalui oleh kendaraan dari saat pengemudi melihat suatu objek yang
memerlukan pemberhentian saat rem diterapkan, dan (2) jarak yang
diperlukan untuk menghentikan kendaraan dari aplikasi rem instan dimulai.
Ini disebut masing-masing sebagai jarak reaksi rem dan jarak pengereman.
Jh diukur berdasarkan pada asumsi bahwa tinggi mata pengemudi
kendaraan ialah 105 cm dan tinggi halangan 15 cm diukur dari permukaan
jalan. Jh terdiri atas dua elemen jarak, ialah:
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
17
Universitas Internasional Batam
1) Jarak tanggap (Jht) merupakan jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak
pengemudi melihat suatu halangan yang dapat mengakibatkan ia harus
berhenti hingga saat pengemudi menginjak rem,
2) Jarak pengereman (Jhm) merupakan jarak yang dibutuhkan pengemudi
untuk menghentikan kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai
kendaraan dapat berhenti.
Tabel 2.5 Jarak Pandang Henti (Jh)
Vr (Km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jh minimum (m) 185 160 130 105 85 65 50 35
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan, 1999)
b. Jarak Pandang Mendahului (Jd)
Jarak pandangan mendahului minimum untuk jalan dua lajur atau jalan
sekitar dua kali jarak henti pandangan minimum pada kecepatan desain yang
sama. Untuk menyesuaikan dengan jarak penglihatan yang lebih besar, area
penglihatan yang jelas di bagian dalam kurva harus memiliki lebar lebih dari
yang dibahas. A Policy on Geometric Design of Highway and Street
(AASHTO, 2011),
Tabel 2.6 Jarak Pandang mendahului (Jd)
Vr (Km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jd minimum (m) 800 670 550 350 250 200 150 100
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan, 1999)
Jd diukur mengacu pada asumsi bahwa tinggi mata pengemudi kendaraan
adalah 105 cm dan tinggi halangan adalah 15 cm.
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
18
Universitas Internasional Batam
Gambar 2.4 Jarak Pandang Mendahului
Jd ditentukan dalam satuan meter ditentukan sebagai berikut
Jd = d1 + d2 + d3 +d4
Keterangan :
d1 = jarak yang ditempuh selama reaction time oleh kendaraan yang hendak
mendahului dan membawa kendaraanya yang hendak membelok ke
jalur kanan.
d2 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang mendahului selama berada
dalam lajur kanan.
d3 = jarak bebas yang ada diantara kendaraan yang berlawanan arah setelah
gerakkan mendahului dilakukan.
d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang berlawanan arah ditempuh
selama 2/3 dari waktu yang diperlukan oleh kendaraan mendahului
yang berada pada lajur sebelah kanan atau sama dengan 2/3 d2.
2.2.4. Komponen Penampang Melintang
2.2.4.1. Jalur lalu lintas
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
19
Universitas Internasional Batam
a. Jalur lalu lintas merupakan bagian dari jalan yang dioeruntukkan untuk
lalulintas pergerakkan kendaraan secara fisik yang berupa road pavement
(perkerasan jalan).
Batas jalur lalu lintas dapat berupa sebagai berikut:
1) Median
2) Bahu
3) Trotoar
4) Pulau Jalan
5) Separator
b. Jalur lalu lintas dapat terdiri dari berbagai berbagai lajur
c. Jalur lalu lintas bisa terdiri atas beberapa tipe (1) 1 jalur-2lajur-arah (2/2)TB
1) 1 jalur-2 lajur-1 arah (2/1 TB)
2) 2 jalur-4 lajur-2 arah (4/2 B)
3) 2 jalur-n lajur-2 arah (n/2 B), di mana n = jumlah lajur.
Keterangan : TB = tidak Terbagi
B = Terbagi
d. Lebar Jalur
1) Lebar jalur sangat dipengaruhi oleh jumlah dan lebar lajur peruntukannya.
Tabel 2.7 menunjukkan lebar jalur jalan dan bahu jalan sesuai VLHR-nya.
2) Lebar jalur minimum ialah 4,5 meter, memungkinkan 2 kendaraan
berukuran kecil saling berpapasan. Papasan dua kendaraan yang besar
yang terjadi sewaktu-waktu dapat menggunakan fungsi bahu jalan.
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
20
Universitas Internasional Batam
2.2.4.2. Lajur
a. Lajur merupakan bagian lurus memanjang jalur yang dibagi atau dibatasi oleh
marka lajur, lebar lajur harus dapat dilewati oleh kendaraan bermotor yang
disesuaikan dengan kendaraan rencana.
b. Lebar lajur sangat tergantung pada kecepatan dan kendaraan rencana, yang
dalam hal ini dinyatakan dalam fungsi dan kelas jalan seperti ditetapkan pada
tabel 2.7.
c. Jumlah lajur ditetapkan dengan mengacu kepada Manual Kapasitas Jalan
Indonesia (MKJI) berdasarkan tingkat kinerja yang direncanakan, di mana
untuk suatu ruas jalan yang dinyatakan oleh nilai rasio antara volume
terhadap kapasitas yang nilainya tidak lebih dari 0,80.
d. Untuk memperlancar arus aliran drainase permukaan, pada lajur alinyemen
membutuhkan pada potongan melintang kemirinagan normal sebagai berikut:
- 2-3% diperuntukkan untuk perkerasan beton dan aspal.
- 4-5% diperuntukkan untuk coarst pavement.
Gambar 2.5 Kemiringan melintang jalan normal
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
21
Universitas Internasional Batam
Tabel 2.7 Penentuan Lebar dan Bahu Jalan
(Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota, 1999)
Keterangan : **) = Mengacu persyaratan ideal
*) = 2 jalur terbagi, masing-masing n x 3,5 m, dimana n = jumlah lajur per jalur
- = tidak ditentukan
VLHR
(smp/hr)
Arteri Kolektor Lokal
Lebar
Jalur
(m)
Lebar
Bahu
(m)
Lebar
Jalur
(m)
Lebar
Bahu
(m)
Lebar
Jalur
(m)
Lebar
Bahu
(m)
Lebar
Jalur
(m)
Lebar
Bahu
(m)
Lebar
Jalur
(m)
Lebar
Bahu
(m)
Lebar
Jalur
(m)
Lebar
Bahu
(m)
25.000 2n x 3,5 2,5 2n x 7,0 2,0 2n x 3,5 2,0 **) **) - - - -
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
22
Universitas Internasional Batam
Tabel 2.8 Lebar Lajur Ideal
Fungsi Kelas Lebar Lajur Ideal
(m)
Arteri I
II, III A
3,75
3,50
Kolektor III A, III B 3,00
Lokal III C 3,00
(Sumber: Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan, 1999)
2.2.4.3. Bahu Jalan
Bahu merupakan bagian dari jalan yang berdekatan dengan cara
perjalanan yang mengakomodasi kendaraan yang berhenti, penggunaan darurat,
dan dukungan lateral dari subbase, landasan, dan permukaan. Dalam beberapa
kasus, bahu dapat mengakomodasi pengendara sepeda. Lebar bervariasi dari
hanya 0,6 m di jalan pedesaan kecil di mana tidak ada permukaan, atau
permukaan diterapkan di atas seluruh landasan, hingga sekitar 3,6 m di jalan-jalan
utama di mana seluruh bahu dapat distabilkan atau diaspal.
a. Kemiringan bahu jalan normal berada diantara 3 - 5%
b. Lebar bahu jalan bisa dilihat dalam tabel 2.7
Gambar 2.6 Bahu Jalan
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
23
Universitas Internasional Batam
2.2.5. Alinyemen Horizontal
Alinyemen horizontal merupakan gambaran sumbu jalan pada bidang
horizontal. Alinyemen horizontal juga dikenal dengan nama trase jalan. Dalam
alinyemen horizontal ada beberapa pembahasan perencanaan seperti, tikungan,
diagram superelevasi, pelebaran perkerasan di tikungan dan kebebasan samping di
tikungan.
2.2.5.1. Tikungan
A Policy on Geometric Design of Highway and Street (AASHTO, 2011),
tikungan adalah nilai batas kelengkungan untuk kecepatan desain yang diberikan
dan ditentukan dari tingkat maksimum superelevasi dan faktor gesekan sisi
maksimum yang dipilih untuk desain (nilai batas tidak aktif). Penggunaan
kelengkungan yang lebih tajam untuk kecepatan desain akan membutuhkan
superelevasi di luar batas yang dianggap praktis atau untuk operasi dengan
gesekan ban dan akselerasi lateral di luar apa yang dianggap nyaman oleh banyak
pengemudi, atau keduanya. Jari-jari kelengkungan minimum didasarkan pada
ambang kenyamanan pengemudi yang memadai untuk memberikan margin
keselamatan terhadap penyaradan dan rollover kendaraan. Jari-jari minimum
kelengkungan juga merupakan nilai kontrol penting untuk menentukan tingkat
superelevasi untuk kurva yang lebih rata. Jari-jari minimum kelengkungan pada
tikungan dapat dilihat pada tabel 2.10.
Rmin
..............................................................................(4)
Dimana : Rmin = Jari-jari minimum
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
24
Universitas Internasional Batam
Vr = Kecepatan Rencana
= Elevasi maksimum (ditetapkan10%)
f = Koefisien gesek (f = 0,14 s/d 0,24)
Tabel 2.9 Jari-jari Tikungan yang memerlukan lengkung peralihan
Kecepatan Rencana
(Km/jam)
Jari-jari Lengkungan
(meter)
120
100
80
60
50
40
30
20
600
370
280
210
115
80
50
15
(Sumber : Penuntun Praktis Perencanaan Teknik Jalan Raya; 95)
Tabel 2.10 Panjang Bagian Lengkung Minimum
Kecepatan Rencana
(Km/jam)
Panjang Tikungan
Minimum (meter)
100
90
80
70
60
50
40
30
170
155
135
120
105
85
70
55
(Sumber : Penuntun Praktis Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan,1999)
2.2.5.2. Kemiringan Melintang pada Lengkung Horizontal (Superelevasi)
A Policy on Geometric Design of Highway and Street (AASHTO, 2011),
Tingkat maksimum superelevasi yang digunakan di jalan rencana sangati
dipengaruhi oleh empat faktor yaitu kondisi medan, alam, jenis area, dan
frekuensi kendaraan yang bergerak sangat lambat yang operasinya mungkin
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
25
Universitas Internasional Batam
dipengaruhi oleh tingkat superelevasi yang tinggi. Pertimbangan faktor-faktor ini
bersama-sama mengarah pada kesimpulan bahwa tidak ada tingkat superelevasi
maksimum tunggal yang berlaku secara universal. Namun, hanya menggunakan
satu tingkat superelevasi maksimum dalam suatu wilayah dengan iklim dan
penggunaan lahan yang serupa adalah hal yang diinginkan, karena praktik
semacam itu meningkatkan konsistensi desain.
Tingkat superelevasi tertinggi untuk jalan raya yang umum digunakan
adalah 10 persen, meskipun 12 persen digunakan dalam beberapa kasus. Tingkat
superelevasi di atas 8 persen hanya digunakan di daerah tanpa salju dan es.
Meskipun tingkat superelevasi yang lebih tinggi menawarkan keuntungan bagi
pengemudi yang bepergian dengan kecepatan tinggi, praktik saat ini menganggap
bahwa nilai lebih dari 12 persen berada di luar batas praktis. Praktik ini mengakui
efek gabungan dari proses konstruksi, kesulitan perawatan, dan pengoperasian
kendaraan dengan kecepatan rendah.
Tahapan pencapaian superelevasi ke masksimum dilalu secara bertahap
dimulai dari keminginga lengkung peralihan normal pada bagian lurus jalan
hinggap pada kemiringan peduh superelevasi. (Shirley L.Hendarsin, 2000)..
a. Pada tikungan S-C-S (Spiral-Circle-Sprial), superelevasi dicapai mulai
dari garis lurus lengkung peralihan (Ls) diawali dengan superelevasi
normal hingga akhir lengkung peralihan hinnga superelevasi maksimum
pada bagian awal lengkung hingga akhir lengkung.
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
26
Universitas Internasional Batam
b. Pada tikungan FC (Full Circle), superelevasi dicapai dimulai dari 2/3
lengkung peralihan hingga sampe pada bagian lengkung penuh penjang
1/3 Ls.
c. Pada tikungan S-S (Spiral-Spiral), untuk mencapai superelevasi
seluruhnya dilakukan hanya pada bagian spiral.
2.2.5.3. Lengkung Peralihan
Lengkung peralihan berfungsi untuk memberikan kesempatan kepada
pengendara untuk mengantisipasi perubahan garis melintang (alinyemen) jalan
dari bentuk jalan lurus (R tak hingga) sampai pada bagian lengkung jalan berjari
tetap R. Dengan hal tersebut, gaya dorong keluar kendara (sentrifugal) yang
bekerja pada kendaraan saat melintasi tikungan berubah secara berangsur-angsur,
baik saat kendaraan mendekati tikungan maupun meninggalkan tikungan.
Ketentuan lengkung peralihan sebagai berikut:
a) Bentuk lengkung peralihan yang digunakan adalah bentuk spiral
(clothhoide).
b) Panjang lengkung peralihan (Ls) didapat dari perhitungan
berikutsebagai berikut :
Ls
........................................................................(5)
Dimana : T = Waktu temput pada Ls, 2 detik
Vr = Kecepatan Rencana
Tabel 2.11 Panjang minimum lengkung peralihan, Ls (m)
Vr (km/jam) 100 90 80 70 60 50 40 30
Ls (m) 56 50 44 39 33 28 22 12
(Sumber : Penuntun Praktis Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan, 1999)
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
27
Universitas Internasional Batam
2.2.5.4. Pelebaran Jalur Lalulintas di Tikungan
Menurut DPU (1997), kendaraan yang berjalan menuju tikungan dari
bagian lurus jalan biasanya tidak dapat mempertahankan kontrol terhadap jalu
lalulintasnya. Hal ini disebabkan karena :
a. Pada waktu berbelok pertama kali cuma roda depan, sehingga pada
lintasan roda belakang agak keluar dari lajur (off tracking).
b. Jarak lintasan kendaraan tidak lagi dapat berimpit, karena bemper depan
kendaraan dan belakang kendaraan akan memiliki lintasan yang berbeda
dengan lintasan roda depan kendaraan dan roda belakang kendaraan.
c. Pengemudi akan mengalami kesulitan untuk mempertahankan lintasannya
tetap berada pada lajur jalannya terutama di tikungan-tikungan yang tajam
atau pada kecepatan-kecepatan yang cukup tinggi.
Perlu perkerasan jalan yang diperlebar pada tikungan-tikungan yang tajam
untuk menghindari hal-hal tersebut. Pelebaran perkerasan ini adalah faktor dari
kecepatan kendaraan, jari-jari lengkung, ukuran kendaraan rencana, dan jenis
kendaraan yang akan diperuntukkan sebagai jalan perencanaan., jenis kendaraan
relatif sendang seperti semi trailer merupakan kendaraan rencana yang cocok pada
desain pelebaran pada tikungan ini.
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
28
Universitas Internasional Batam
Tabel 2.12 Pelebaran ditikungan untuk lebar jalur 2,5m, 2 arah atau 1 arah
R (m) Kecepatan Rencana, Vr (km/jam)
50 60 70 80 90 100 110 120
1500
1000
750
500
400
300
250
*200
150
140
130
120
110
100
90
80
70
0,0
0,0
0,0
0,2
0,3
0,3
0,4
0,4
0,6
0,7
0,7
0,7
0,7
0,8
0,8
1,0
1,0
0,0
0,0
0,0
0,3
0,3
0,4
0,5
0,7
0,8
0,8
0,8
0,8
0,0
0,1
0,1
0,3
0,4
0,4
0,5
0,8
0,0
0,1
0,1
0,4
0,4
0,5
0,6
0,0
0,1
0,1
0,4
0,5
0,5
0,0
0,1
0,2
0,5
0,5
0,0
0,2
0,3
0,5
0,1
0,2
0,3
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan, 1999)
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
29
Universitas Internasional Batam
Tabel 2.13 Pelebaran ditikungan untuk lebar jalur 2x3.00 m, 2 arah atau 1 arah
R (m) Kecepatan Rencana, Vr (km/jam)
50 60 70 80 90 100 110
1500
1000
750
500
400
300
250
*200
150
140
130
120
110
100
90
80
70
0,3
0,4
0,6
0,8
0,9
0,9
1,0
1,2
1,3
1,3
1,3
1,3
1,3
1,4
1,4
1,6
1,7
0,4
0,4
0,6
0,9
0,9
1,0
1,1
1,3
1,4
1,4
1,4
1,4
0,4
0,4
0,7
0,9
1,0
1,0
1,1
1,3
0,4
0,5
0,7
1,0
1,0
1,1
1,2
1,4
0,4
0,5
0,7
1,0
1,1
0,5
0,5
0,8
1,1
1,1
0,6
0,6
0,8
1,0
(sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Pekotaan, 1999)
2.2.5.5. Kebebasan Samping pada Tikungan
Jarak pandang lengkung horizontal (ditikungan) bagi pengemudi
merupakan penglihatan bebas pengemudi dari berbagai benda-benda yang
menghalangi disisi jalan. Daerah samping tikungan dapat dihitung berdasarkan
rumus-rumus sebagai berikut :
a. Jarak pandang lebih kecil dari pada lengkung tikungan (Jh < Lt)
Rumus yang digunakan :
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
30
Universitas Internasional Batam
E = (
).....................................................................(6)
Dimana : Jh = Jarak pandang henti (Jh)
Lt = Panjang tikungan (m)
E = Daerah kebebasan samping (m)
R = Jari-jari tikungan
Gambar 2.7 Daerah bebas samping pada tikungan untuk Jh Lt)
E = (
) (
)............................(7)
Dimana :
E = Daerah kebeasan samping (m)
Jh = Jarak pandang henti (Jh)
Lt = Panjang tikungan (m)
E = Daerah kebebasan samping (m)
R = Jari-jari tikungan
R’ = Jari-jari sumbu lajur
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
31
Universitas Internasional Batam
Gambar 2.8 Daerah bebas samping di tikungan, untuk Jh> Lt
Untuk menetapkan besarnya kebebasan samping yang diperlukan juga dapat
menggunakan tabel 2., tabel 2., dan tabel 2. yang dihitung menggunakan
persamaan 2.
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
32
Universitas Internasional Batam
Tabel 2.14 Nilai E (m) untuk Jh
33
Universitas Internasional Batam
Tabel 2.15 Nilai E (m) untuk Jh>L, Vr (km/jam) dan Jh (m), dimana Jh-Lt=25
R (m) 20 30 40 50 60 80 100 120
16 27 40 55 75 120 175 250
6000
5000
3000
2000
1500
1200
1000
800
600
500
400
300
250
200
175
150
130
120
110
100
90
80
70
60
50
40
30
20
15
1,5
1,6
1,9
2,2
2,6
3,3
4,4
6,4
8,4 Rmin=15
1,5
1,7
2,0
2,2
2,4
2,6
2,9
3,2
3,7
4,3
5,1
6,4
8,4 Rmin=30
1,5
1,8
2,2
2,6
3,0
3,5
3,7
4,1
4,5
5,0
5,6
6,4
7,4
8,8 Rmin=50
1,8
2,4
2,9
3,6
4,1
4,8
5,5
6,0
6,5
7,2
7,9
8,9 Rmin=80
1,5
2,0
2,3
2,9
3,9
4,7
5,8
6,7
7,8
8,9
9,7 Rmin=115
1,5
2,1
2,5
3,2
4,2
5,1
6,4
8,5
10,1 Rmin=210
1,6
2,5
3,3
4,1
4,9
6,1
8,2
9,8
12,5 Rmin=350
1,6
1,9
3,1
4,7
6,2
7,8
9,4
11,7
15,6
18,6 Rmin=500
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1999)
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
34
Universitas Internasional Batam
Tabel 2.16 Nilai E (m) untuk Jh>L, Vr (km/jam) dan Jh (m), dimana Jh-Lt=50
R (m) 20 30 40 50 60 80 100 120
16 27 40 55 75 120 175 250
6000
5000
3000
2000
1500
1200
1000
800
600
500
400
300
250
200
175
150
130
120
110
100
90
80
70
60
50
40
30
20
15
1,5
1,8
1,9
2,1
2,3
2,6
2,9
3,3
3,9
4,6
5,8
7,6
11,3
14,8 Rmin=15
1,7
2,1
2,4
2,9
3,3
3,6
3,9
4,3
4,7
5,3
6,1
7,1
8,5
10,5
13,9 Rmin=30
1,7
2,3
2,8
3,5
4,0
4,7
5,4
5,8
6,3
7,0
7,7
8,7
9,9
11,5
13,7 Rmin=50
1,8
2,1
2,7
3,5
4,3
5,3
6,1
7,1
8,1
8,8
9,6
10,5
11,7
13,1 Rmin=80
1,6
2,1
2,7
3,3
4,1
5,5
6,5
8,2
9,3
10,8
12,5
13,5 Rmin=115
1,6
2,2
2,7
3,3
4,1
5,5
6,6
8,2
10,9
13,1 Rmin=210
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,5
10,0
12,0
15,0 Rmin=350
1,8
2,2
3,6
5,5
7,3
9,1
10,9
13,6
18,1
21,7 Rmin=500
(Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1999)
2.2.6. Alinyemen Vertikal
Alinyemen vertikal dapat terdiri dari bagian-bagian seperti vertikal landai
dan vertikal bagian lengkung. Di lihat dari titik perencanaan awal, landai bagian
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
35
Universitas Internasional Batam
vertikal dapat bisa berupa turunan (landai negatif), tanjakkan (landai positif), atau
datar (landai nol).
Bagian pada lengkung vertikal bisa berupa bentuk cekung lengkung atau
cembung lengkung. Perencanaan pada alinyemen vertikal yang mengikuti muka
tanah asli akan mengurangi perkerjaan galian dan timbunan tanah, tetapi mungkin
saja dapat mengakibatkan jalan tersebut banyak memiliki beberapa tikungan.
Dengan demikian penarikkan alinyemen vertikal dipengaruhi dengan berbagai
pertimbangan yaitu kondisi tanah dasar, fungsi jalan, keadaan medan, muka air
tanah, muka air banjir, kelandaian yang masih memungkinkan, ada beberapa hal
yang harus diperhatikan, diantaranya yaitu :
2.2.6.1. Kelandaian pada Alinyemen Vertikal
1) Landai Minimum
Berdasarkan keperluan arus lalu lintas, landai yang ideal merupakan
landai datar sebesar 0%. Sebaliknya jika ditinjau dari keperluan drainase,
jalan yang berlandai merupakan jalan yang ideal. Dalam suatu
perencanaan disarankan menggunakan :
- Landai datar pada jalan-jalan yang diatas timbunan tanah yang tidak
memiliki kereb. Lereng jalan yang melintang dianggap cukup
mengaliri air di atas bagian badan jalan dan kemudian menuju ke
lerengg jalan.
- Landai 0,15 % diperuntukkan pada jalan-jalan yang berada diatas
timbunan tanah dengan kondisi medan yang datar dan
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
36
Universitas Internasional Batam
mempergunakan kereb. Kelandaian ini cukup membantu untuk
menglirkan air hujan menuju saluran pembuangan.
- Landai minimum sebesar 0,3-0,5 % disarankan untuk dipergunakan di
daerah galian pada jalan-jalan atau kereb jalan yang digunakan.
Lereng melintang hanya cukup untuk dapat mengalirkan air hujan
yang jatuh diatas pada bagian badan jalan, sedangkan landai jalan
dibutuhkan untuk membuat kemiringan pada dasar saluran samping.
2) Landai Maksimum
Kelandaian maksimum dimaksudkan agar dapat kendaraan bergerak
memungkinkan terus tanpa kehilangan kecepatan yang cukup berarti.
Maksimum kelandaian didasarkan dengan truk berkecepatan yang
bermuatan penuh dan mampu berjalan dengan penurunan kecepatan tidak
lebih dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi
rendah.
Kelandaian maksimum dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2.17 Kelandaian Maksimum
Vr (km/jam) 100 90 80 70 60 50
Kelandaian Max 5 5 6 6 7 8
(Sumber : Teknik Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan, 1999)
3) Panjang Kritis Suatu Kelandaian
Panjang kritis merupakan panjang landai maksimum yang harus
disediakan supaya kendaraan dapat mempertahankan kecepatan
kendaraannya sedemikian agar penurunan kecepatan tidak terjadi lebih
dari separuh kecepatan rencana.
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
37
Universitas Internasional Batam
Tabel 2.18 Panjang Kritis
Kecepatan pada awal
tanjakkan km/jam
Kelandaian %
4 5 6 7 8 9 10
80 630 460 360 270 230 230 200
60 320 210 160 120 110 90 80
(Sumber : Teknik Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 1999)
2.6.6.2. Lengkung Vertikal
Panjang minimum lengkung vertikal puncak berdasarkan kriteria jarak
pandang umumnya memuaskan dari sudut pandang keselamatan, kenyamanan,
dan penampilan. Pengecualian mungkin ada di area seperti jalan keluar ramp, di
mana jarak penglihatan yang lebih panjang dan, oleh karena itu, lengkung vertikal
yang lebih panjang harus disediakan.
Tabel 2.19 Panjang Minimum Lengkung Vertikal
Kecepatan Rencana
(km/jam)
Perbedaan Kelandaian
Memanjang (%) Panjang Lengkung (m)
60
1
0,6
0,4
20 – 30
40 – 80
80 – 150
(Sumber : Teknik Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan, 1999)
Jenis lengkung vertikal dapat dilihat dari garis rencana yang yang terletak
pada titik perpotongan kedua garis rencana (tangen) ada dua yaitu lengkung
cekung vertikal serta lengkung cembung vertikal.
Rumus Umum :
...............................................................(8)
1) Lengkung vertikal cembung merupakan lengkung dimana letak singgung
garis rencana berada di atas permukaan jalan yang direncanakan.
Y’
.....................................................................(9)
A = q2 – q
1...................................................................(10)
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
38
Universitas Internasional Batam
Dimana
EV =Penyimpangan kedua dari titik potong kedua tangen
kelengkungan vertikal (Y’ = EV untuk x = ½ L)
L = Panjang lengkung vertikal cembung
Gambar 2.9 Lengkung Vertikal Cembung
2) Lengkung vertikal cekung merupakan lengkung dimana posidi titik
potongan garis lurus antara kedua tangen berada pada bawah permukaan
jalan.
Dalam menentukan nilai A = q2 – q
1 ada dua cara, yaitu :
a. Bila persen ikut serta dihitung maka rumus yang digunakan seperti
pada lengkung cembung.
b. Bila persen tidak digunakan dalam rumus maka rumus menjadi :
Y’
........................................................(11)
Gambar 2.10 Lengkung Vertikal Cekung
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
39
Universitas Internasional Batam
2.3. Pelengkap Jalan
2.3.1. Marka Jalan
Rambu lalu lintas, marka jalan, dan sinyal lalu lintas berhubungan
langsung dengan, dan melengkapi, desain jalan raya. Mereka adalah fitur penting
dari kontrol lalu lintas dan operasi yang dipertimbangkan perancang dalam tata
letak geometris dari fasilitas tersebut. Dengan
Sejauh mana perangkat kontrol lalu lintas digunakan tergantung pada
volume lalu lintas, jenis fasilitas, dan tingkat kontrol lalu lintas yang sesuai untuk
operasi yang aman dan efisien. Jalan raya arteri biasanya merupakan rute
bernomor tipe cukup tinggi dan memiliki volume lalu lintas yang relatif tinggi. Di
jalan raya seperti itu, rambu dan marka digunakan secara luas dan sinyal lalu
lintas sering digunakan di daerah perkotaan. Jalan kolektor dan lokal biasanya
memiliki volume dan kecepatan yang lebih rendah dan karenanya biasanya
membutuhkan lebih sedikit perangkat pengontrol lalu lintas. Desain geometrik
fasilitas harus ditambah dengan marka dan rambu yang efektif sebagai sarana
untuk memberi informasi, peringatan, dan mengendalikan pengguna selama
operasi siang dan malam dan di bawah berbagai kondisi lingkungan. Rencana
marka dan rambu harus dikoordinasikan dengan penyelarasan horizontal dan
vertikal, penghalang jarak pandang, kecepatan dan manuver operasional, dan item
lain yang dapat diterapkan sebelum penyelesaian desain. Untuk persyaratan dan
panduan mengenai desain, lokasi, dan penerapan tanda dan tanda
2.3.2. Marka Membujur
a. Marka Membujur Garis Utuh
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
40
Universitas Internasional Batam
Marka jalan garis utuh sebagai peringatan bagi pengendara yang melintas
untuk tidak melewati batas yang telah tandai dengan marka garis utuh secara
membujur, marka garis utuh dapat juga sebagai tanda bagi tepi jalur.
Gambar 2.11 Standar Marka Membujur Garis Utuh
b. Marka Membujur Garis Putus-Putus
Sebagai tanda pembagi jalur yang memiliki lebih dari 1 lajur serta sebagai
tanda peringatan bagi pengemudi untuk hati dalam pengambilan lajur.
Gambar 2.12 Standar Marka Membujur Garis Putus-Putus
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
41
Universitas Internasional Batam
2.3.3. Marka Lambang
a. Paku Jalan
Paku Jalan difungsikan sebagai alat pemantul cahaya kendaraan lalulintas
khususnya pada malam hari. Paku jalan dengan warrna reflektor kuning berfungsi
sebagai tanda pemisah jalur ataupun lajur lalulintas, paku jalan dengann reflektor
cahaya merah biasanya ditempatkan gasri batas di sisi jalan, paku jalan dengan
reflektor cahaya berwarna putih berfungsi sebagai tanda pembatas sisi kanan
jalan, paku jalan lalu lintas biasanya ditempatkan untuk:
- Menjadi batas sisi tepi pada jalur lalu lintas ;
- Marka membujur dapat berupa garis putus-putus sebagai tanda peringatan ;
- Difungsikan sebagai sebagai pemisah jalur;
- Marka membujur sebagai pemisah untuk jalur bus;
- chevron untuk Marka lambang;
- Pulau lalu lintas;
Gambar 2.13 Paku jalan
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
42
Universitas Internasional Batam
b. Rambu-Rambu Lalu Lintas
Desain geometrik fasilitas harus ditambah dengan rambu yang efektif
sebagai sarana untuk memberi informasi, peringatan, dan mengendalikan
pengguna selama operasi siang dan malam dan di bawah berbagai kondisi
lingkungan. Rambu yang efektif harus memenuhi hal-hal berikut:
1. memenuhi akan kebutuhan pengendara.
2. mendapat respek dan menarik perhatian pengguna jalan.
3. mudah dimengerti dan memberikan pesan sederhana.
4. memberikan waktu yang cukup kepada pengguna jalan dalam memberikan
respon.
Seperti yang disebutkan diatas untuk memenuhi hal tersebut, beberapa
pertimbagan dalam pemasangan rambu yang wajib diperhatikan untuk
perencanaan pemasangan rambu adalah:
1. Keseragaman bentuk dan ukuran rambu
Keseragaman dalam alat kontrol lalu lintas harus memudahkan tugas
pengemudi agar dapat mengenal, memahami dan memberikan respon.
Konsistensi dalam penerapan bentuk dan ukuran rambu akan dapat
menghasilkan konsistensi persepsi dan respon terhadap pengemudi.
2. Desain rambu
Bentuk, warna, serta ukuran dan tingkat refleksi memenuhi standar, dapat
dengan mudah direspon pengemudi dan dapat mudah dipahami dan
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
43
Universitas Internasional Batam
memberikan waktu bagi pengemudi untuk melakukan tindakan selanjutnya
agar dapat mempertahankan keamanan dan kenyamanan.
3. Lokasi rambu
Harus dapat dengan mudah dilihat pengendara jauh dari penghalang yang
mengganggu lokasi penempatan rambu agar dengan cepat direspon oleh
pengendara.
4. Operasi rambu
Rambu yang benar tepat pada lokasi yang dan pas harus memenuhi
kebutuhan akan lalu lintas dan dibutuhkan pelayanan yang konsisten dengan
memasang rambu sesuai dengan kebutuhan.
5. Pemeliharaan rambu
Pemeliharaan rambu diperlukan agar rambu tetap berfungsi baik.
2.3.4. Jarak Penempatan
1. Rambu Sebelah Kiri
Gambar 2.14 Penempatan Rambu pada Sisi Kiri Jalan
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
44
Universitas Internasional Batam
2. Rambu Sebelah Kanan
Gambar 2.15 Penempatan Rambu pada Sisi Kanan/median Jalan
2.4. Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu menjadi salah satu refrensi penulis dalam melakukan
penelitian dalam tugas akhir ini. Dari penelitian yang dilakukan terdahulu, penulis
mengambil beberapa penelitian sebagai refrensi dalam memperkaya bahan kajian
pada penilitian penulis. Berikut merupakan penelitian terdahulu berupa beberapa
karya tulis terkait dengan penelitian penulis lakukan :
1. Merhrabani BB dan Mirbaha B (2018), melakukan penelitian tentang
hubungan antara bentuk geometrik jalan dan bahu jalana (roadside)
dengan tingkat keamanan berkendara dan pengaturan
kecepatanapengendara, penelitian tersebut melakukan pemodelan
penelitian dengan metode Structural Equation Modeling (SEM) dengan
dua variabel utama yaitu efek geometrik dan efek bahu jalan (roadside).
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
45
Universitas Internasional Batam
Gambar 2.16 Hubungan geometrik dan bahu jalan (roadside) dengan
keamanan dan kecepatan pengendara
2. Razeb, K (2017) melakuka penelitian dengan judul evaluasi alinyemen
vertikal dan alinyemen horizontal di ruas jalan dermaga, kabupaten Bogor
mengacu pada standar Departemen Pekerjaan Umum (DPU) dalam Tata
Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (TPGJAK) 1997.
Berdasarkan hasil penelitiannyalebar jalan dan bahu jalan belum
memenuhi standar TPGJAK sehingga perlu dilakukan pelebaran jalur dan
bahu jalan pada beberapa titik agar sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dan pada pengukuran aktual nilai radius minimum (Rmin) dan
superelevasi didapat hasil sebesar 100 m dan 5,7%. Data tersebut sudah
sesuai dengan data perhitungan menurut data-data aktual sebesar 99,92 m
dan superelevasi maksimum 10%. Namun pada pengukuran aktual nilai
daerah bebas samping dan pelebaran jalan belum sesuai karena hanya
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
46
Universitas Internasional Batam
memiliki nilai sebesar 3,2 dan 1 m, sedangkan dalam evaluasinya yaitu
minimum 4,9 m dan 1,4 m.
3. Dzaky, S (2018) melakukan penelitian dengan judul evaluasi geomtri dan
perlengkapan jalan lingkar leuwiliang Bogor berdasarkan RSNI T-14-2004
dan pedoman No. 038/TBM/1997 serta perlengkapan jalan berdasarkan
pedoman No. 01/P/BNKT/1991 dan SNI 7391:2008 di jalan Lingkar
Leuwiliang Bogor. Hasil dari penelitian menunjukkan disain geometri dan
perlengkapan jalan ini belum sesuai standar. Kecepatan yang digunakan
sebagai batas kecepatan adalah 50 km/jam. Daerah bebas samping pada
tikungan ke-4 sebesar 3m kurang dari standar (3,04 m), terdapat
kelandaian yang melebihi standar 9% pada beberapa segmen pada
alinyemen vertikal. Tidak terdapat marka jalan pada jalan ini maka dibuat
disain markagaris utuh pada tepi jalan. Marka garis putus –putus didisain
pada Sta 0+000 sampai Sta 0+200 dan marka garis utuh pada Sta 0+200
sampai Sta 0+974.5 pada pembatas jalan.Tidak terdapat lampu penerangan
jalan pada tiang ke-7 sampai tiang ke-22. Untuk itudibuat disain lampu
penerangan pada tiang tersebut dengan jenis lampu SON 100 W pada tiang
dengan ketinggian 6 m dari permukaan tanah.
4. Dwijayanto, P, et, al (2013) melakukan penelitian dengan judul tinjauan
geometrik jalan pada ruas jalan Airmadidi-Tondano menggunakan alat
bantu GPS dengan bantuan Garmin GPSmap 60Csx untuk mendapatkan
data elevasi dan koordinat jalan Airmadidi-Tondano dengan cara
melakukan tracking sepanjang 3.00 km, dengan menggunakan bantuan
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
47
Universitas Internasional Batam
software AutiCAD Land Dekstop 2007 menghasilkan trase jalan
sepanjang 2961.464 m dimana trase sebelumnya 3447.869, yang terdiri
dari 15 tikungan dengan 1 tikungan full-circle, 7 tikungan spiral-circlr-
spiral, 3 tikungan spiral-spiral dan 2 tikungan gabungan dengan radius
lengkung yang berbeda-beda dimana tipe lengkung spiral-circle-circle-
spiral. Untuk perencanaan alinyemen vertikal menghasilkan 15 lengkung
dengan tipe lengkung yaitu 6 lengkung vertikal cekung dan 9 lengkung
vertikal cembung.
5. Kiki, T, et, al (2014) melakukan penelitian dengan judul evaluasi
kelayakan teknis jalan Lingkar Salatiga pada penelitian kinerja jalan,
bahwa jalan lingkar Salatiga masih mampu melayani volume kendaraan
dibuktikan dengan nilai derajat kejenuhan sebesar 0,633 < 0,75. Pada
alinyemen horizontal yang tidak memenuhi adalah jarak antar tikungan
dimana jarak tersebut kurang dari setengah jarak total antar tikungan yang
berdekatan, Maka perlu adanya perubahan dalam bentuk pengurangan jari-
jari tikungan. Sedangkan pada alinyemen vertikal yang tidak memenuhi
terdapat pada kelandaian pada beberapa lengkung, dimana kelandaian
tersebut lebih dari kelandaian maksimum yang diijinkan yaitu sebesar 8%.
Maka perlu diadakan perubahan kelandaian pada lengkung yang tidak
memenuhi tersebut.
6. Bayu Chandra, F, et, al (2014) melakukan penelitian dengan judul evaluasi
perencanaan geometrik jaringan jalan di dalam Universitas Brawijaya
Malang Dari hasil analisis, lengkung PPV 1 dan PPV 2 sudah sesuai
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019
48
Universitas Internasional Batam
dengan StandardPerencanaan Geometrik untuk Jalan Kotatahun 1992 pada
kriteria kelandaian maksimum dan panjang lengkung vertikal. Dari total
empat alinyemen horizontal yang ada pada lokasi studi, dua tikungan (C1
dan C2) tidak memenuhi standard perencanaan jalan yang dikeluarkan
oleh DirjenBina Marga untuk jalan kotatahun 1992 pada aspek jari-jari
tikungan. Pada dua titik alinyemen vertikal yang dikaji, dilakukan
perencanaan ulang pada semua titik. Hal tersebut dilakukan agar tercipta
keselarasan yang baik pada kedua titik tersebut. Untuk PPV 1
direncanakan ulang menggunakan lengkung vertikal cembung dan PPV 2
menggunakan lengkung vertikal cekung.Pada alinyemen horizontal,
tikungan C1 dan C2 yang tidak memenuhi persyaratan radius tikung,
dilakukan perbaikan dengan mengubah radius tikungan sesuai dengan
peraturan. Untuk tikungan C3 dan C4 yang sudah memenuhi syarat, tetap
dilakukan perbaikan dengan penyesuaian garis tangen sehingga tercipta
kenyamanan geometrik yang lebih optimal dan dalam satu garis lurus
dengan tikungan sebelumnya.
Yan Heri Fikri, Evaluasi Geometrik dan Pelengkap Jalan pada Ruas Jalan Gajah Mada. Batam. 2019. UIB Repository©2019