Upload
lekiet
View
236
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konflik
1. Pengertian konflik
Secara umum Degenova (2008) mengatakan bahwa konflik merupakan hal
yang normal terjadi pada setiap hubungan, dimana dua orang tidak pernah selalu
setuju pada suatu keputusan yang dibuat. Lewin (dalam Lindzey & Hall, 1985)
menyatakan bahwa konflik adalah keadaan dimana dorongan-dorongan di dalam
diri seseorang berlawanan arah dan hampir sama kekuatannya.
Weiten (2004) mendefenisikan konflik sebagai keadaan ketika dua atau
lebih motivasi atau dorongan berperilaku yang tidak sejalan harus diekspresikan
secara bersamaan. Hal ini sejalan dengan defenisi yang diuraikan oleh Plotnik
(2005) bahwa konflik sebagai perasaan yang dialami ketika individu harus
memilih antara dua atau lebih pilihan yang tidak sejalan.
Berdasarkan beberapa defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa konflik
merupakan suatu keadaan yang terjadi karena seseorang berada di bawah tekanan
untuk merespon stimulus-stimulus yang muncul akibat adanya dua motif yang
saling bertentangan dimana antara motif yang satu akan menimbulkan frustasi
pada motif yang lain. Bahkan
Universitas Sumatera Utara
2. Konflik pernikahan
Finchman (1999) mendefenisikan konflik pernikahan sebagai keadaan
suami-istri yang sedang menghadapi masalah dalam pernikahannya dan hal
tersebut tampak dalam perilaku mereka yang cenderung kurang harmonis ketika
sedang menghadapi konflik. Konflik dalam pernikahan terjadi dikarenakan
masing-masing individu membawa kebutuhan, keinginan dan latar belakang yang
unik dan berbeda(Sprey dalam Lasswell & Laswell, 1987).
Menurut Sadarjoen (2005) konflik pernikahan adalah konflik yang
melibatkan pasangan suami istri dimana konflik memberikan efek atau pengaruh
yang signifikan terhadap relasi kedua pasangan. Lebih lanjut Sadarjoen (2005)
menyatakan bahwa konflik tersebut muncul karena adanya persepsi-persepsi dan
harapan-harapan yang berbeda serta ditunjang oleh keberadaan latar belakang,
kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang mereka anut sebelum memutuskan
untuk menjalin ikatan pernikahan.
Jadi konflik pernikahan adalah perselisihan yang terjadi antara suami istri
yang disebabkan oleh keberadaan dua pribadi yang memiliki pandangan,
tempramen, kepribadian dan tata nilai yang berbeda dalam memandang sesuatu
dan menyebabkan pertentangan sebagai akibat dari adanya kebutuhan, usahan,
keinginan atau tuntutan dari luar yang tidak sesuai.
3. Sumber-sumber konflik pernikahan
Degenova (2008) menyatakan bahwa konflik bisa muncul karena empat
sumber. Sumber-sumber konflik tersebut terdiri dari:
Universitas Sumatera Utara
1. Sumber pribadi
Konflik pribadi yang berasal dari dorongan dalam diri individu, naluri
(instinct) dan nilai-nilai yang berpengaruh dan saling berlawanan satu sama lain.
Adanya ketakutan irasional dan kecemasan neuroticyang terjadi pada individu
seperti terlalu posesif menjadi sumber dasar dari perselisihan suami istri. Penyakit
emosional lainnya seperti depresi juga bisa menjadi sumber perselisihan.
Penyebab konflik utama individu melibatkan jauh di dalam jiwa individu tersebut,
apalagi kecemasan yang berasal dari pengalaman pada masa kanak-kanak.
2. Sumber fisik
Kelelahan fisik adalah salah satu sumber lainnya. Kelelahan dapat
menyebabkan individu cepat marah, tidak sabar, sedikitnya toleransi dan frustasi.
Hal ini menyebabkan seseorang dapat berkata atau melakukan sesuatu yang tidak
ingin dilakukannya. Kelaparan, beban kerja berlebih, gula darah yang menurun
dan sakit kepala juga merupakan beberapa sumber lainnya yang dapat
menyebabkan konflik dalam pernikahan.
3. Sumber hubungan interpersonal
Konflik ini terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Orang-orang yang
tidak bahagia dalam pernikahannya lebih sering mengeluh tentang perasaan
diabaikan, kekurangan cinta, kasih sayang, kepuasan seksual dan lainnya daripada
orang-orang yang bahagia dalam pernikahannya. Individu merasa bahwa
pasangan mereka terlalu membesar-besarkan masalah dan menganggap kecil
usaha yang dilakukan serta menuduh mereka akan sesuatu. Kesulitan
Universitas Sumatera Utara
menyelesaikan perbedaan dan kekurangan komunikasi juga menyebabkan
pernikahan tersebut menjadi penuh konflik dan tidak bahagia.
4. Sumber lingkungan
Konflik ini meliputi kondisi tempat tinggal, tekanan sosial pada anggota
keluarga, ketegangan budaya diantara keluarga dengan kelompok minoritas
seperti diskriminasi dan kejadian yang tidak diharapkan yang dapat mengganggu
fungsi keluarga. Sumber stress utama bagi keluarga adalah saat wanita yang
memikul tanggung jawab sebagai kepala keluarga, merawat anggota keluarga
yang mengalami penyakit kronik. Hal ini dapat menyebabkan stress dan
kesejahteraan dirinya menjadi berkurang dan pada akhirnya menimbulkan konflik
dalam hidupnya.
4. Metode-metode menghadapi konflik pernikahan
Degenova (2008) membagi konflik ke dalam beberapa metode. Metode-
metode ini digunakan individu untuk menghadapi konflik yang terjadi dengan
pasangannya, metode-metode tersebut adalah:
a. Avoidance conflict
Konflik pertama ini merupakan metode dimana pasangan menghadapi
konflik yang terjadi dengan cara menghindar. Mereka mencoba mencegah konflik
dengan menghindari orang yang bersangkutan, situasinya dan hal-hal yang
berhubungan dengan hal tersebut. Dengan menghindari masalah, untuk sementara
keadaan memang cukup tenang tetapi masalahnya tidak akan selesai, masalah
akan berlarut-larut dan dapat merusak hubungan.
Universitas Sumatera Utara
Pasangan yang tidak pernah melakukan usaha untuk menghindari
pertentangan secara berkala akan menarik diri satu sama lainnya secara perlahan-
lahan dan pengasingan diri terjadi ketika pasangan berhenti berkomunikasi dan
memberi perhatian satu sama lainnya. Sebagai hasilnya, akan terjadi peningkatan
dalam kesendirian, hilangnya intimasi dan berdampak pada hal lainnya seperti
sexual intercourse.
b. Ventilation and catharsis conflict
Metode konflik yang kedua ini merupakan kebalikan dari avoidance, yaitu
individu mencoba menyalurkan konflik tersebut. Ventilation artinya
mengekspresikan emosi dan perasaan negatif. Sama halnya dengan catharsis
dimana individu yang sedang dalam masalah akan menyalurkan emosi dan
perasaan negatif yang dirasakannya, seperti berteriak, bernyanyi sekeras-kerasnya,
dan yang lainnya. Diharapkan setelah proses ini dilakukan seluruh emosi dan
perasaan negatif yang ada akan keluar dan diganti dengan emosi dan perasaan
yang lebih positif.
c. Constructive and destructive conflicts
Setiap pasangan tentu memiliki konflik, dan bagaimana seseorang mengatasi
konflik mempengaruhi perkembangan pribadi mereka. Metode konstruktif
(constructive) yaitu pasangan mengahadapi masalah pernikahannya dengan lebih
memahami dan berkompromi atau menerima solusi yang ditawarkan untuk
dipertimbangkan. Hal ini lebih kepada meminimalisir emosi negatif, menaruh
hormat dan percaya kepada pasangan serta dapat menyebabkan hubungan menjadi
lebih dekat.
Universitas Sumatera Utara
Metode destruktif (destructive) yaitu menyerang orang yang bermasalah
dengan dirinya. Mereka mencoba untuk mempermalukan pasangannya,
mengucilkan atau menghukum orang yang menjadi lawan konfliknya dengan
menghina dan menjelek-jelekkannya.
B. Pernikahan
1. Pengertian pernikahan
Pernikahan merupakan penyatuan dua pribadi yang unik dengan membawa
pribadi masing-masing berdasarkan latar belakang budaya serta pengalamannya.
Hal tersebut menjadikan pernikahan bukanlah sekedar bersatunya dua individu,
tetapi lebih pada persatuan dua sistem keluarga secara keseluruhan dan
pembangunan sebuah sistem yang baru (Santrock, 2009).
Duvall dan Miller (1986) mendefenisikan pernikahan sebagai hubungan
antara pria dan wanita yang diakui dalam masyarakat yang melibatkan hubungan
seksual, adanya penguasaan dan hak mengasuh anak dan saling mengetahui tugas
masing-masing sebagai suami istri. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang
Pernikahan No 1 menyatakan bahwa pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin
antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (UU RI
tentang Perkawinan).
Gardiner & Myers (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2008) menambahkan
bahwa pernikahan menawarkan intimasi, komitmen, persahabatan, kasih sayang,
Universitas Sumatera Utara
pemuasan seksual, pendampingan, dan peluang bagi pertumbuhan emosional serta
sumber identitas dan kepercayaan diri yang baru.
Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa pernikahan
merupakan suatu ikatan lahir dan batin yang sah antara pria dan wanita yang
melibatkan hubungan seksual, hak pengasuhan anak dan adanya pembagian peran
suami istri, adanya komitmen, keintiman, persahabatan, cinta dan kasih sayang
dimana dua individu tersebutmembawa pribadi masing-masing berdasarkan latar
belakang budaya serta pengalamannya.
2. Pernikahan antar budaya (Interculture)
Menurut Tseng (dalam McDemott & Maretzki, 1997) pernikahan antar
budaya (intercultural marriage) adalah pernikahan yang terjadi antara pasangan
yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Budaya menjadi suatu
aspek penting dalam pernikahan, dimana pasangan tersebut tentu memiliki nilai-
nilai budaya yang dianut, keyakinan dan kebiasaan, adat-istiadat dan gaya hidup
budaya.
Koentjaraningrat (1981, dalam Sedyawati, 2003) menyatakan bahwa di
dalam pernikahan juga disatukan dua budaya yang berbeda, latar belakang yang
berbeda dan suku yang berbeda. Latar belakang yang berbeda ini dapat
menimbulkan ketidakcocokan, dimana ketidakcocokan tersebut memungkinkan
dapat menimbulkan konflik di dalam hidup berumah tangga, baik tentang
kebiasaan, sikap perilaku dominan maupun campuran tangan keluarga (Purnomo
dalam Natalia & Iriani, 2
Universitas Sumatera Utara
C. Budaya Jawa
1. Pengertian budaya Jawa
Budaya Jawa adalah salah satu budaya tradisonal di Indonesia yang sudah
cukup tua, dianut secara turun temurun oleh penduduk di sepanjang wilayah Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Meskipun banyak orang Jawa menganggap bahwa
budaya Jawa itu hanya satu dan tidak terbagi-bagi, akan tetapi dalam
kenyataannya terdapat berbagai perbedaan sikap dan perilaku masyarakatnya di
dalam memahami budaya Jawa tersebut (Sedyawati, 2003). Perbedaan tersebut
antara lain disebabkan oleh kondisi geografis yang menjadikan budaya Jawa
terbagi ke dalam beberapa wilayah kebudayaan, dimana setiap wilayah
kebudayaan memiliki karakteristik khas tersendiri dalam mengimplementasikan
falsafah-falsafah budaya Jawa ke dalam kehidupan keseharian (Sujamto, 1997
dalam Sedyawati, 2003).
Salah satu unsur sistem budaya yang tetap dipertahankan dan diajarkan dari
generasi ke generasi berikutnya oleh masyarakat Jawa adalah falsafah hidup.
Falsafah hidup merupakan anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling umum
yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok masyarakat. Falsafah hidup
menjadi landasan dan memberi makna pada sikap hidup suatu masyarakat yang
biasanya tercermin dalam berbagai ungkapan yang dikenal dalam masyarakat
(Sedyawati, 2003).
Endraswara (2003) mengatakan bahwa watak dasar orang Jawa adalah sikap
nrima. Nrima adalah menerima segala sesuatu dengan kesadaran spiritual-
psikologis, tanpa merasa nggrundel (menggerutu karena kecewa di belakang).
Universitas Sumatera Utara
Apapun yang diterima dianggap sebagai karunia Tuhan. Mereka cenderung
menerima dengan kesungguhan hati apapun hasilnya asalkan ada usaha yang lebih
dulu dilakukan. Jika usaha yang dilakukan gagal, orang Jawa cenderung
menerimanya sebagai sebuah pelajaran. Nrima bukan berarti tanpa upaya yang
gigih, namun hanya sebagai sandaran psikologis. Hal ini berarti orang Jawa
mempunyai kewajiban moral untuk menghormati tata kehidupan yang ada di
dunia ini. Mereka harus menerima kehidupan sebagaimana adanya sambil
berusaha sebaik-baiknya dan menumbuhkan kedamaian jiwa serta ketenangan
emosi. Ketika orang Jawa dihadapkan dengan suatu konflik, mereka cenderung
menghadapinya dengan memilih untuk diam dan tidak rewel (melawan) karena
prinsip dasar dari kebanyakan orang Jawa adalah “lebih baik hidup rukun
daripada harus berulah dengan orang lain”. Artinya orang Jawa begitu
menjunjung tinggi sifat keramahtamahan dan nilai kerukunan antar sesama
sehingga begitu menghindari konflik demi mencapai kedamaian dalam hidup
(Suseno, 2001). Lebih lanjut Bratawijaya (1997) mengatakan bahwa orang Jawa
dikenal memiliki sikap yang lamban, tidak mau tergesa-gesa dalam melakukan
pekerjaan, sopan santun, lemah lembut, ramah dan sabar.
2. Nilai-nilai budaya Jawa
Menurut Koentjaraningrat (1981 dalam Sedyawati, 2003) masyarakat Jawa
memiliki sistem nilai budaya yang terdiri dari lima hakekat pokok, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1. Hakekat hidup
Orang Jawa memandang hakekat hidup sangat dipengaruhi oleh pengalaman
masa lalu dan konsep religiusitas yang bernuansa mistis. Mereka sangat
menghormati budaya, agama (Hindu dan Islam), dan kondisi geografis. Pada
dasarnya masyarakat Jawa menerima yang telah diberikan Tuhan secara apa
adanya, harus tabah dan pasrah dengan takdir serta ikhlas menerima segala hal
yang diperolehnya.
2. Hakekat kerja
Bagi masyarakat Jawa kelas bawah yang tinggal di pedesaan maupun
perkotaan cenderung beranggapan bahwa mereka harus terus berikhtiar dan
bekerja. Bagi mereka, bekerja merupakan suatu keharusan untuk
mempertahankan hidup. Sebaliknya bagi masyarakat kelas menengah dan atas
telah memiliki tujuan dari hakekat kerja, sehingga usaha yang dijalankannya
selalu dihubungkan dengan hasil yang diharapkan. Bagi mereka bekerja
adalah segala sesuatu yang dicita-citakan dan harus disertai dengan usaha
yang sungguh-sungguh, artinya untuk mewujudkan cita-cita diperlukan biaya
dan pengorbanan.
3. Hakekat waktu
Banyak orang berpendapat bahwa orang Jawa itu kurang menghargai waktu.
Hal ini disebabkan karena ada pemahaman mereka bahwa melakukan segala
sesuatu tidak usah terburu-buru, yang penting selesai. Melakukan sesuatu
pekerjaan dengan perlahan-lahan memang sudah merupakan sifat orang Jawa.
Universitas Sumatera Utara
4. Hakekat hubungan manusia dengan sesamanya
Masyarakat Jawa menghendaki hidup yang selaras dan serasi dengan pola
pergaulan saling menghormati. Hidup yang saling menghormati akan
menumbuhkan kerukunan, baik di lingkungan rumah tangga maupun di
masyarakat. Dua prinsip yang paling menentukan dalam pola pergaulan
masyarakat Jawa adalah rukun dan hormat. Dengan memegang teguh prinsip
rukun dalam berhubungan dengan sesama, maka tidak akan terjadi konfik.
5. Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya
Pandangan hidup masyarakat Jawa adalah mengharuskan manusia
mengusahakan keselamatan dunia beserta segala isinya agar tetap terpelihara
dan harmonis. Artinya mereka berkewajiban untuk memelihara dan
melestarikan alam, karena alam telah memberikan kehidupan bagi manusia.
D. Budaya Batak
1. Pengertian budaya Batak
Batak adalah suatu suku atau etnis dari daerah Sumatera Utara yang terdiri
dari beberapa fouk, seperti Batak Toba, Dairi, Simalungun, Karo dan Mandailing.
Orang Batak Toba menyebutkan kampung halaman mereka sebagai Bonani
Pasogit atau tanah Batak yaitu daerah kelahiran yang menjalani kehidupan sehari-
hari berdasarkan falsafah-falsafah Batak yang dipegang kuat (Tinambunan, 2010).
Falsafah Batak adalah suatu kebenaran hakiki yang menggambarkan tentang
cirri-ciri khas Batak, yang mengatur perilaku hubungan kekerabatan dan interaksi
antara yang satu dengan yang lainnya yang saling mempengaruhi, saling
Universitas Sumatera Utara
menentukan, saling berhubungan dan saling membutuhkan yang diikat dengan
sistem Dalihan Natolu (Tinambunan, 2010).
Orang Batak tidak seperti paradigma sebagian orang yang menganggap
bahwa penampilannya atau cara berinteraksinya kasar. Sebenarnya “kasar” itu
berarti orang Batak bicara dan bertindak tegas. Orang Batak digambarkan sebagai
orang yang tidak mau kalah, bersuara keras, egois, terbuka, spontan, agresif dan
pemberani kepada orang-orang yang khususnya di luar suku Batak (Tinambunan,
2010). Dengan demikian, orang Batak terkenal tidak takut berkonflik dengan
orang lain karena memiliki ajaran bahwa manusia adalah sederajat, tidak ada
manusia istimewa lebih dari orang lain.
2. Nilai-nilai budaya Batak
Menurut Tinambunan (2010), orang Batak berpegang teguh pada nilai-nilai
yang ditanamkan kepada mereka melalui 7 falsafah hidup yang menjadi pegangan
hidup, antara lain:
1. Mardebata
Mempunyai kepercayaan kepada Tuhan. Sejak zaman batu, orang Batak telah
mengenal adanya Tuhan yang disebut Ompu Mulajadi Nabolon.Oleh karena
itu, orang Batak selalu memperlihatkan hubungan yang dalam kepada Maha
Pencipta. Adanya kepercayaan inilah yang membuat mereka selalu menjalin
keakraban kepada sesama manusia yang diyakini bahwa setiap orang Batak
yang semarga adalah saudara dan sesama saudara tidak boleh saling menyakiti
sesuai dengan ajaran Tuhan.
Universitas Sumatera Utara
2. Marpinompar
Mempunyai keturunan. Setiap marga Batak menghendaki adanya keturunan
sebagai generasi penerus, khususnya anak laki-laki agar silsilahnya tidak
terputus atau hilang. Oleh sebab itu, orang Batak yang belum punya anak laki-
laki belum bisa dianggap mimiliki hagabeon (memiliki anak lengkap,
perempuan dan laki-laki), walaupun sudah memilki hasangopan (terpandang)
di masyarakat dan memiliki hamoraon (punya harta). Oleh karena itu tentunya
sebagai orang Batak akan sangat diusahakan untuk memiliki keturunan
terutama laki-laki. Ketika hal ini tidak terjadi maka keluarga ataupun suami
istri akan selalu mempermasalahkan keadaan ini dalam kehidupan keluarga
mereka. Terkadang hal inilah yang menjadi akar permasalahan dari
pertengkaran yang terjadi pada pernikahan mereka.
3. Martutur
Mempunyai kekerabatan hierarki dalam keluarga yang dikuatkan dengan
Dalihan Natolu, yaitu dongan sabutuha (semarga) dengan panggilan
kekerabatan. Martutur (saling memberitahukan marga dan urutan generasi ke
generasi dalam susunan kekerabatan marga) sejak anak-anak telah diajarkan
oleh orangtua. Oleh karena itu kekerabatan masyarakat Batak dalam setiap
pertemuan baik dalam suka dan duka merupakan konsepsi sistem dalam
menjalankan Dalihan Notulu.
4. Maradat
Mempunyai adat-istiadat dengan pelaksanaan dalihan notulu (tiga tungku)
yang implementasinya hormat kepada keluarga pihak istri, hati-hati kepada
Universitas Sumatera Utara
yang semarga, dan mengasihi kepada boru (anak perempuan kita beserta
keluarga). Hal ini membuktikan bahwa orang Batak saling menghormati dan
mengasihi antar sesama keluarga.
5. Marpangkirimon
Mempunyai pengharapan (cita-cita), yakni mencapai hamoraon (pencapaian
harta/materi), hagabeon (mendapatkan anak laki-laki dan perempuan), dan
hasangapon (punya kedudukan dan dihormati dalam lingkungan masyarakat).
Hal ini yang menyebabkan orang Batak sangat begitu antusias dan keras
dalam menghendaki dan memperoleh sesuatu.
6. Marpatik
Mempunyai aturan dan undang-undang yang dapat mengikat semua
masyarakat Batak untuk tidak berbuat anarkis, dan lengkap dengan sanksi,
yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan raja-raja dan harus dihormati semua
pihak. Umumnya ini terjadi pada masyarakat Batak yang masih menganut
sistem tradisional. Walaupun begitu tetap pada masyarakat Batak, ada aturan
yang ditetapkan kepada mereka untuk tidak berperilaku kasar dan berbuat
anarkis kepada orang lain. Pada dasarnya yang membuat orang Batak sering
marah-marah dan berperilaku anarkis adalah karena hal tersebut sudah di luar
batas kewajaran dan tidak dapat ditolerir lagi.
7. Maruhum
Mempunyai hukum undang-undang yang baku ditetapkan oleh raja huta (raja
kampung) berdasarkan musyawarah yang harus dihormati dan dituruti oleh
semua pihak dan tidak boleh diubah-diubah atau dilanggar oleh siapa pun.
Universitas Sumatera Utara
Dari hukum yang berlaku, masyarakat Batak harus siap menghadapi dan
mengatasi 8 (delapan) penyakit hati, yaitu buruk sangka, buruk lisan, dengki,
dendam, marah, menggunjing, serakah, dan ria/pamer. Selain itu memiliki
kemampuan mewujudkan 7 (tujuh) sasaran utama jati diri, yaitu jati diri jelas,
semangat tinggi, wawasan luas, pengendalian diri, dapat membaca situasi,
persuasive dan soleder (setia kawan.
E. Dewasa Awal
1. Pengertian dewasa awal
Hurlock (2004) mengatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada usia 18
sampai 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang menyertai
berkurangnya kemampuan reproduktif. Berbeda dengan Vaillant (dalam Papalia,
2008) yang membagi tiga masa dewasa awal yaitu masa pembentukan, masa
konsolidasi dan masa transisi. Masa pembentukan dimulai pada usia 20 hingga 30
tahun dengan tugas perkembangan mulai memisahkan diri dari orang tua,
membentuk keluarga baru dengan pernikahan dan mengembangkan persahabatan.
Masa konsolidasi (usia 30-40 tahun) merupakan masa konsolidasi karir dan
memperkuat ikatan pernikahan. Masa transisi (sekitar usia 40 tahun) merupakan
masa meninggalkan kesibukan pekerjaan dan melakukan evaluasi terhadap hal
yang telah diperoleh.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dewasa awal adalah individu
yang menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan baru dalam
Universitas Sumatera Utara
masyarakat, pertumbuhan dan perkembangan aspek-aspek fisiologis sesuai
dengan tugas-tugas perkembangan dan berusia antara 20 hingga 40 tahun.
2. Tugas-tugas perkembangan dewasa awal
Havighurs (dalam Hurlock, 2004) mengatakan bahwa dewasa awal memiliki
tugas-tugas perkembangan yang akan dipenuhi, yaitu:
1.Mencari dan menemukan calon pasangan hidup
2. Mulai membina kehidupan rumah tangga dan mengasuh anak
3. Meniti karier dalam rangka memantapkan kehidupan ekonomi rumah tangga.
4. Menjadi warga negara yang bertanggung jawab
5. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan
F. Gambaran Konflik Pernikahan pada Pasangan Berlatar Belakang Etnis
Jawa-Batak
Pernikahan merupakan hubungan sakral yang terjadi pada suami istri.
Hubungan pernikahan tidak pernah statis, namun secara konstan berubah-ubah
dan semakin berkembang. Terkadang hubungan ini membuat frustasi, tidak
memuaskan dan bermasalah karena pada dasarnya terdapat dua individu dari latar
belakang dan nilai yang berbeda disatukan dalam ikatan pernikahan (Degenova,
2008).
Pada pernikahan perlu ada penyesuaian pernikahan, agar pasangan dapat
menjalani kehidupan rumah tangganya dengan baik dan tentram. Oleh karena itu,
penyesuaian dalam pernikahan adalah penting untuk dilakukan. Menurut
Universitas Sumatera Utara
Degenova (2008) banyak pasangan mengetahui bahwa pernikahan tidak berjalan
seperti yang mereka inginkan karena akan ada konflik yang menghampiri
pernikahan mereka. Akibatnya, mereka perlu melalui beberapa penyesuaian
dimana mereka mencoba mengubah perilaku dan hubungan untuk mencapai
tingkatan kepuasan paling tinggi dengan frustasi paling rendah.
Penyesuaian pernikahan dilakukan oleh semua pasangan, tidak terbatas pada
pasangan yang memiliki perbedaan. Hanya saja akan ditemui perbedaan dalam
melakukan penyesuaian pernikahan ketika terdapat pasangan yang memiliki
karakter, etnis serta nilai-nilai yang sama satu sama lain dimana akan lebih
dengan pasangan yang menikah beda etnis. Perbedaannya terletak pada adanya
kesepahaman dan kesepakatan yang lebih mudah dilakukan oleh pasangan satu
etnis daripada pasangan beda etnis (Bernard, dalam Santrock, 2009).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Gurin dkk (dalam Dewi dan Basti,
2008) diperoleh bahwa konflik akan senantiasa terjadi dalam kehidupan
pernikahan. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitiannya dimana 45% orang yang
sudah menikah mengatakan bahwa dalam kehidupan bersama akan selalu muncul
berbagai masalah, dan 32% pasangan yang menilai pernikahan mereka sangat
membahagiakan melaporkan bahwa mereka juga pernah mengalami pertentangan
dan konflik dalam pernikahan.
Pernikahan umumnya terjadi pada masa dewasa awal yaitu pada rentang
usia 20-40 tahun (Papalia, 2008). Hal ini sejalan dengan tugas perkembangan
yang dituturkan oleh Havighurs (dalam Hurlock, 2004), yang menjelaskan bahwa
Universitas Sumatera Utara
salah satu tugas perkembangan usia dewasa awal adalah mencari dan menemukan
calon pasangan hidup.
Secara umum banyak dijumpai pernikahan yang terjadi dari penyatuan dua
budaya atau latar belakang etnis yang berbeda. Hal ini sesuai dengan penuturan
McDermott dan Maretzki (1997) bahwa pernikahan beda budaya merupakan suatu
hal yang biasa terjadi pada masyarakat Indonesia. Terlebih dengan keadaan
geografis Indonesia dimana banyak ditemui wilayah-wilayah yang tentunya
masing-masing memiliki keragaman suku dan budaya yang berbeda-beda. Hal ini
menyebabkan besarnya kemungkinan untuk terjadinya pernikahan antar budaya
dimana disatukannya dua budaya yang berbeda, latar belakang yang berbeda, dan
suku yang berbeda yang dapat menimbulkan ketidakcocokan (Koentjaraningrat,
1981 dalam Sedyawati 2004).
Salah satu fenomena pernikahan beda etnis yang terjadi adalah pasangan
pernikahan beda etnis pada suku Jawa dan Batak. Suku Jawa merupakan salah
satu suku yang ada di Indonesia dan sampai sekarang masih merupakan salah satu
suku terbesar di Indonesia karena hampir menyebar merata di seluruh pelosok
tanah air. Keunikan dari masyarakat Jawa yang dikenal dengan sikap yang sopan
santun, lamban, lemah lembut, ramah dan sabar menjadikan suku ini memiliki
khas dengan nilai keramahtamahan n kerukunan yang tinggi (Bratawijaya, 1997).
Berbeda dengan Jawa, suku Batak dikenal dengan anggapan kebanyakan
masyarakatnya adalah orang-orang yang keras dan cenderung secara tegas dan
langsung dalam menjalani suatu pekerjaan tanpa ada toleransi dari apa pun,selain
itu juga orang Batak digambarkan sebagai orang yang tidak mau kalah, bersuara
Universitas Sumatera Utara
keras, terbuka, spontan, agresif, pemberani pada orang di luar suku Batak
(Tinambunan 2010).
Adanya perbedaan yang muncul pada pasangan pernikahan dari latar
belakang etnis Jawa dan Batak, pastinya akan membuat pasangan ini melakukan
penyesuaian dalam pernikahan mereka dimana dalam proses ini akan muncul
konflik di dalam pernikahan mereka. Terlebih ketika kedua pasangan tidak
mampu mencari solusi dari konflik yang terjadi (Sadarjoen, 2005).
Menurut Hurlock (2004), laki-laki merupakan seseorang yang harus
memiliki male power dengan sifatnya yang maskulin, gagah, tegas dan berani,
sebaliknya perempuan yang dikenal dengan lebih feminim dan lembut. Hal ini
menarik untuk diteliti ketika male power yang harus dimiliki laki-laki menjadi
hilang ketika ada pengaruh dari latar belakang etnis Jawa yang dikenal sebagai
orang yang lemah dan menurut. Berbeda dengan perempuan yang seharusnya
lemah lembut serta menurut kepada suami, tetapi karena adanya pengaruh dari
budaya Batak yang karakternya keras, tekun dan tegas menjadikan istri memiliki
peran yang lebih dominan daripada suami (female power). Hal inilah yang pada
akhirnya akan menimbulkan ketegangan sehingga memunculkan konflik.
Konflik adalah sesuatu yang normal terjadi pada setiap hubungan dimana
dua orang tidak pernah selalu setuju pada sesuatu. Banyak keputusan yang bisa
saja membuat pasangan kecewa, frustasi dan membutuhkan penyesuaian antara
satu sama lain. Beberapa pasangan memiliki konflik lebih banyak dibandingkan
pasangan lainnya, dan beberapa pasangan bisa mengatasinya dengan cara yang
Universitas Sumatera Utara
lebih konstruktif dibandingkan pasangan lainnya. Tetapi kemungkinan terjadinya
konflik akan selalu ada pada setiap hubungan manusia (Degenova, 2008).
Menurut Degenova (2008), konflik memiliki tiga metode dalam
menghadapinya, yaitu konflik (1) avoidance, yaitu metode dimana pasangan atau
salah satu dari mereka cenderung menghindar ketika menghadapi konflik, (2)
ventilation and catharsis, yaitu pasangan akan mengekspresikan emosi-emosi
negatifnya dengan kegitana lain, seperti berteriak, memukul bantal, dan yang
lainnya, (3) constructive and destructive, metodeconstructive merupakan bentuk
dimana pasangan lebih mencoba memahami dan menghadapi masalahnya dan
berkompromi dengan pasangan ketika menghadapi konflik, sementara destructive
adalah dengan menyerang orang yang bermasalah dengan dirinya.
Konflik dapat bersumber dari mana saja. Menurut Degenova (2008) konflik
bisa berasal dari pribadi, fisik, hubungan interpersonal dan lingkungan. Konflik
yang bersumber dari hubungan interpersonal salah satunya adalah konflik dalam
pernikahan. Orang-orang yang tidak bahagia dalam pernikahan lebih sering
mengeluh merasa diabaikan, kekurangan cinta, kasih sayang, kepuasan seksual
dan lainnya dari pada orang-orang yang bahagia dalam pernikahan.
Berkaitan dengan konflik yang terjadi pada pasangan Jawa-Batak, terdapat
hasil penelitian Andayani (2001) yang menyatakan pada umumnya orang Jawa
akan cenderung lebih menghindari konflik ketika ada masalah pada pernikahan
mereka dengan pertimbangan bahwa mereka tidak ingin masalah tersebut menjadi
besar dan berlarut-larut. Berbeda dengan metode konflik yang dialami oleh orang
Batak, sesuai dengan yang diungkapkan Bangun (1986, dalam Minauli, 2006)
Universitas Sumatera Utara
yang menyatakan bahwa orang Batak tidak takut berkonflik dengan orang lain
secara umum lebih mengarah pada sikap destructive, dimana menurut Degenova
(2008) metode destruktif (destructive) yaitu menyerang orang yang bermasalah
dengan dirinya.
Hal ini pula yang menjadi pertimbangan peneliti untuk mengambil orang
Jawa dan Batak sebagai salah satu subjek pasangan dari pernikahan multikultural,
dimana peneliti ingin melihat bagaimana gambaran konflik pernikahan pada
pasangan dengan latar belakang etnis Jawa dan Batak.
Universitas Sumatera Utara
KONFLIK
avoidance, ventilation & catharsis, and constructive & destructive
Sumber Pribadi
Sumber Fisik
Sumber
Hub.Interpersonal
Sumber
Lingkungan
*nrimo
*ramah
*penyabar
*tidak suka
berkonflik
*tegas
*agresif
*bersuara
keras
*tidak mau
mengalah
G. Paradigma Penelitian
Pasangan multikultur
Laki-laki (Jawa) Perempuan (Batak)
Menikah
Bersatunya dua individu pria dan wanita (Hurlock)
Penyatuan pola pikir perbedaan cara hidup
Melakukan penyesuaian Pernikahan
selama proses
Metode
menghadapi konflik
Universitas Sumatera Utara