Upload
dominh
View
253
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Penelitian yang Relevan
Penelitian Etnolinguistik pernah diteliti oleh Sukarno (2005), Harto Wicaksono
(2013), Wahyu Widodo (2012), Alip Sugiyanto (2014), Robson, Stuart & Yacinta
Kurniasih (2000), Siane F. Walangarei (2013), Kartubi (2012), Braker (1999a),
Wahyono (2013), Damesi (2013), Burgos-Martinez (2013), danSyarifuddin (2008).
Sukarno (2005) dalam tesisnya yang berjudul“Bahasa Ritual Pertanian Sawah
Petani Jawa Tradisional: Studi Kasus di Desa Plosorejo Kecamatan Matesih Kabupaten
Karanganyar” mengulas (1)wujud wacana ritual berupa kohesi gramatikal, yaitu
referensi eksofora maupun endofora, substitusi dan elipsis, sedangkan kohesi leksikal
berupa repetisi, antonimi, sinonimi dan ekuivalensi,(2) wujud fungsional bahasa ritual
berupa fungsi emotif untuk mengungkapkan pengharapan dan permintaan, (3)
pandangan hidup dan cara berfikir petani Jawa tradisional, (4) aspek nonverbal dalam
ritual pertanian petani Jawa,dan(5)pengaruh perkembangan ilmu pengetahun dan
teknologi bagi pertanian padi petani Jawa tradisional.
Harto Wicaknono (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Pengobatan Dongke
dalam Konteks Kosmologi Jawa pada Masyarakat Tanggulangin Kabupaten Tuban:
Suatu Kajian Etnomedisin Jawa” mengulas (1)pemahaman masyarakat mengenai
konsep sehat, sakit, dan penyebab sakit Desa Tanggulangin, (2) cara masyarakat
mengidentifikasi dan merespons penyakit serta perilaku pencegahan penyakit, dan(3)
perubahan-perubahan sosial dan pilihan rasional masyarakat dalam melakukan
pengobatan.
15
Wahyu Widodo (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Mantra Kidung Jawa:
Kajian Repetisi dan Fungsi” mengulas repetisi gramatikal, leksikal, dan semantik.
Fungsi repetisi dapat menumbuhkan keyakinan pada pengamal mantra.
Alip Sugianto (2014) dalam tesis berjudul ”Gaya Bahasa dan Budaya Mantra
Warok Reog Ponorogo: Kajian Etnolinguistik” mengulas (1) ekspresi verbal dan
nonverbal dalam kajian stilistika yang didalamnya terdapat repetisi, (2) menjelaskan
pandangan hidup, pola pikir, dan pandangan terhadap dunia para Warok Reog
Ponorogo,dan(3) alasan mantra merupakan bagian penting dalam kesenianReog
Ponorogo.
Robson, Stuart,& Yacinta Kurniasih (2000:297–302) dalam artikel berjudul
“Describing Character in Javanese Three Grammatical Categories”, yang dimuat
dalam jurnal Bahasa dan Budaya Bijdragen menjelaskan karakter masyarakat Jawa yang
tercermin dalam tiga kategori sintaksis, yaitu adjektiva, nomina, dan verba.
Dalamartikeltersebut, disimpulkan bahwa melalui tiga kategori sintaksis bahasa Jawa
terdapat fakta bahwa dalam beberapa kata sifat menunjukkan karakter masyarakat Jawa
sebagai masyarakat yang senantiasa menyatu dengan alam. Kata kerja menunjukkan
karakter masyarakat yang bertanggung jawab, memiliki kecenderungan untuk
melakukan pekerjaan dengan tekun, dan kadangada kata yang dihasilkan itumemiliki
tambahan nuansa negatif' ‘untuk melakukan terlalu banyak atau terlalu
mudah’sepertifrasaaja gumunan. Dalam beberapa kata benda menunjukkan karakter
masyarakat Jawa yang luwes termasuk 'untuk menempati posisi tertentu', 'bergerak
dengan cara tertentu', 'berada dalam keadaan tertentu', atau 'untuk menghasilkan
sesuatu’.
16
Siane F. Walangarei (2013) dalam makalah yang berjudul “Sikap dan Perilaku
Masyarakat Terhadap Simbol-Simbol Budaya:Suatu Kajian Etnolinguistik”,
membahasbentuk simbol masyarakat Tondano, makna dan pola pikir yang terkandung
dalam simbol, dan tanda budaya pada masyarakat Tondano. Simbol-simbol yang diteliti
merupakan perilaku nonverbal berupa unsur material, gerak atau kinetik, dan suara.
Kartubi (2012) dalam makalah yang berjudul “Bahasa, Kebudayaan Material, dan
Tradisi Lisan: Studi Etnolinguistik Orang Kui di Alor, Nusa Tenggara Timur”, mengulas
tentang situasi kebahasaan orang Kui di Alor; materialisasi struktur sosial orang Kui
yang tercermar dalam tradisi lisan (lego-lego) dan mitologi; serta penggunaan aspek
untuk mengonstruksi identitas etnik.
Braker (1999a) dalam makalah yang berjudul “Reflection on the Meaning of a
Sacred Song Text” mengulas teks lagu Jawa yang dianggap sakral dandi dalamnya
terdapat mitos Kanjeng Ratu Kidul. Makna yang diulang mengenai makna kultur
berdasarkan sistem kognisi masyarakat Jawa.
Wahyono (2013) dalam makalahnya yang berjudul “Ethnicity as Identity in
Packaging Design of Traditional Medicine (Jamu) for Women”, mengulas etnisitas yang
menjadi identitas dalam produk jamu tradisional. Dalam penelitian ini, desain kemasan
jamu ini seolah membuka fakta bahwa penanda ‘etnisitas’ dapat berperan penting dalam
penyampaian pesan. Konstruksi etnisitas Jawa sangat kuat selain pada pose dan objek
juga pada pesan linguistiknya, khususnya pada pemberian nama produk. Melalui pose,
objek dan simbol-simbol, wanita dikonstruksikan sebagai wanita modern dan tradisional
beserta ciri-ciri etnisitasnya. Wahyono menganalisis berdasarkan teori semiotika
Rolland Barthes yang mengungkap pesan linguistik, pesan denotatif dan konotatif.
17
Damesi (2013) dalam makalahnya yang berjudul “On The Metaphorical
Connectivity of Cultural Sign Systems” mengulas hubungan metafora dari sistem tanda
budaya dalam analisis linguistik dan budaya. Teori budaya, berdasarkan tanda-tanda dan
sistem yang ditemukan,merupakan ilmu interdisipliner. Bentuk-bentuk budaya (bahasa,
meterial, keindahan, ritual) terhubung satu sama lain dalam beberapa cara. Dengan
muculnya teori konseptual metafora, artikel ini mengklaim bahwa mekanisme atau
metafor kognitif yang menghubungkan bentuk satuan lingual dapat ditemukan dalam
kerangka teori ini. Hal ini juga menempatkan metafor sebagai mitra atau terkait dengan
unsur nonverbal. Dengan cara ini, dimungkinkan untuk menghubungkan tanda-tanda
dan sistem satu sama lain dalam jaringan penyaluran makna yang merupakan suatu
budaya.
Burgos-Martinez (2013) dalam makalahnya yang berjudul “Hilang Bersama
Anging: The Impact of Environmental Change on Language Development among Two
Bajau Communities of the Celebes Sea”, mengulas secara detail potret dua kelompok
yang dirasa tidak sama dari suku Bajau (Sama-Bajau yang tinggal menetap dan Bajau
Palao yang nomaden), memahami dan perubahan dalam lingkungan mereka. Metode
yang digunakan dalampenelitian ini, yaitumetode etnografi.
Syarifuddin (2008)mengulas sedikit mengenai mantra sakit pada bahasa dan Suku
Bajo. Peneliti berfokus pada ranah nelayan pada Suku Bajo tentang aspek fonologi,
struktur kalimat,dan konstruksi wacana. Mantra-mantra yang dianalisis adalah mantra-
mantra dalam aktivitas akan, sedang, dan setelah melaut pada bahasa dan Suku Bajo.
Berdasarkan uraian dan hasil review di atas, penelitian mengenai ranah kesehatan
belum pernah diteliti secara khusus dan mendalam. Adapun Wahyu Widodo (2012)
dalam Kidung Warawedha terdapat variasi data dan hanya memfokuskan penelitianpada
18
repetisi. Sukarno (2005) mengulas mantra dalam ranah pertanian dan Alip Sugiyanto
(2014) meneliti mantra Reog yang keduanya lebih memfokuskan pada kajianrepetisi
berdasarkan perspektif analisis wacana dan stilistika.Robson, Stuart,& Yacinta
Kurniasih (2000:297–302)hanyamengulaskarakteristik masyarakat Jawa berdasarkan
beberapa leksikon bahasa Jawa tanpa adanya data yang spesifik padaranah tertentu.
Siane F. Walangarei (2013), Katubi (2012),Braker (1999a), danDamesi (2013) mengulas
ekspresi nonverbal yang dianalisis berdasarkan makna semiotika.Pada penelitian di atas
disimpulkan adanya pola pikir, pandangan hidup, pandangan dunia berdasarkan makna
simbolik dari perilaku nonverbal. Oleh karena itu, peneliti mempunyai kesempatan
untuk meneliti perilaku verbal dan nonverbal dalam ranah kesehatan pada masyarakat
Dusun Tambran Kidul Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul. Sebuah matra
menjadi indah bukan hanya pada repetisi saja tetapi pembentukan kata polimorfemis
yang menjadikan mantra itu memiliki ciri khas yang lain juga. Selain itu, perilaku
verbal dan nonverbal juga mengandung nilai-nilai budaya yang dapat diterapkan dalam
kehidupan masyarakat tersebut.
B. Tinjauan Pustaka
1. Kajian Etnolinguistik
Istilah Linguistik Antropologi seringkali tumpang tindih dengan istilah
Antropologi Linguistik sehingga dalam praktiknya, kedua istilah itu digunakan
secara berbeda berdasarkan penekanan subjek yang berbeda yaitu dari perspektif
yang dominan linguistik atau antropologi. Foley dalam karangan Greemberg
(1975), Anthropological Linguistic, menyatakanbahwa penekanan subjek yang
lebih dominan berfokus pada kajian linguistik. Namun, Duranti (1997) dalam
19
karangan berjudul Linguistic Anthropology, menegaskanbahwa penekanannya lebih
terarah kepada perspektif antropologi. Dengan demikian, pandangan yang
dikemukakan Duranti lebih cenderung identik dengan model Etnolinguistik yang
selalu berkembang di Eropa (Fernandez, 2015).
Crystal (1987)menyebutkanbahwa etnolinguistik merupakan cabang ilmu
linguistik yang mempelajari bahasa terkait dengan seluruh peringkat variabel ekstra
linguistik di mana diidentifikasikan basis sosial dari komunikasi,
sepertihalnyaWinick, (Mario Pei dan Gaynor [1980]) yang menjelaskan istilah
Etnolinguistik sebagai sebuah kajian sistemik mengenai hubungan Linguistik dan
Etnologi. Adapun Etnologi atau Antropologi Budaya adalah kajian budaya atas
dasar komparatif dan Teori Kebudayaan. Kajian ini dibedakan dari Etnografi
karena Etnologi lebih cenderung terfokus pada teori dan kajian bandingan terhadap
lambang-lambang. Namun, oleh para sarjana Barat penggunaan istilah ini
adakalanya mirip juga dengan etnografi.Etnografi adalah kajian tentang suatu
kebudayaan yang spesifik dan individual tentang suatu suku bangsa (Fernandez,
2015:3). Menurut Foley (2001:1), Linguistik Antropologi adalah bagian dari
linguistik yang menaruh perhatian pada bahasa dalam konteks sosial dan budaya
yang lebih luas dan juga peran bahasa dalam menempa dan memelihara praktik
budaya dan struktur sosial. Pendapat lain dikemukakan oleh Sibarani (2004:50),
bahwaantropolinguistik adalah cabang linguistik yang mempelajari variasi dan
penggunaan bahasa dalam hubungannya dengan perkembangan waktu, perbedaan
tempat komunikasi, sistem kekerabatan, pengaruh kebiasaan etnik, kepercayaan,
etika berbahasa, adat-istiadat, dan pola-pola kebudayaan lain dari suatu suku
bahasa.
20
Linguistik Antropologi bertujuan umum untuk memberikan pemahaman
tentang aspek aneka bahasa sebagai seperangkat praktik budaya, yaitu sebagai
sistem komunikasi yang memungkinkan untuk interpsychological (antara individu)
dan intrapsychological (dalam individu yang sama) sebagairepresentasi dari tatanan
sosial dan membantu orang menggunakan representasi tersebut untuk tindakan
sosial (Duranti, 1997:3).
2. Etnosains dalam Kajian Etnolinguistik
Istilah etnosains (ethnoscience) juga dikenal dengan the new ethnography
atau cognitive anthropology (Spradley, 1997:xix). Secara metodologis, etnosains
dipandang cukup memadai untuk mengungkap aspek pengetahuan manusia yang
membimbing perilaku sehari-harinya. Penekanan etnosains terletakpada sistem atau
perangkat pengetahuan yang merupakan pengetahuan khas dari suatu masyarakat
yang menunjukkan kelompok tersebut bertahan hidup yang dimiliki suatu bangsa
lebih tepat lagi suku bangsa atau kelompok sosial tertentu (Ahimsa-Putra dalam
Wakit Abdullah, 2013:14).
3. Tradisi Lisan dalam Kajian Etnolinguistik
Tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang
diwariskan secara turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi
lain, baik berupa susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lain yang bukan
lisan (nonverbal). Tradisi budaya atau tradisi lisan memiliki ciri-ciri berikut ini. (1)
Merupakan kegiatan budaya berbentuk lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan; (2)
Memiliki konteks penggunaannya, yakni konteks situasi, konteks sosial, konteks
21
budaya, dan konteks ideologi; (3) Dapat diamati dan ditonton; (4) Bersifat
tradisional; (5) Diwariskan secara turun-temurun; (6) Proses penyampaian ‘dari
mulut ke telinga’; (7) Mengandung nilai-nilai dan norma-norma budaya; (8)
Memiliki versi-versi; (9) Milik bersama komunitas tertentu; (10) Berpotensi
direvitalisasi, dilestarikan, dan diangkat sebagai sumber industri budaya (Sibarani,
2014: 125–126).
Wujud tradisi lisan atau tradisi budaya itu dapat berupa (1) tradisi
berkesusastraaan lisan seperti tradisi menggunakan bahasa rakyat, tradisi
penyebutan ungkapan tradisional, tradisi pertanyaan tradisional atau berteka-teki,
berpuisi rakyat, bercerita rakyat, melantunkan nyanyian rakyat, dan memberikan
gelar kebangsawanan; (2) tradisi pertunjukan dan permainan rakyat seperti
kepercayaan rakyat, teater rakyat, permainan rakyat, tari rakyat, adatistiadat,
upacara atau ritual, dan pesta rakyat; (3) tradisi upacara adat dan ritual seperti
upacara yang berkenaan dengan siklus kehidupan (kelahiran, pernikahan,
dankematian) dan upacara yang berkenaan dengan siklus mata pencaharian
(menanan, merawat, dan memanen); (4) tradisi teknologi tradisional seperti
arsitektur rakyat, ukiran rakyat, pembuatan pupuk tradisional, kerajinan tangan
rakyat, keterampilan menjahit pakaian, keterampilan perhiasan adat, pengolahan
makanan dan minuman rakyat, sertaperamuan obat-obatan tradisional; (5) tradisi
pelambangan atau simbolisme seperti tradisi gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat
untuk komunikasi rakyat; (6) tradisi musik rakyat seperti tradisi mempertunjukkan
permainan gendang, seruling, dan alat-alat musik lainnya.
Kandungan (content) yang dapat digali dari wujud tradisi lisan atau tradisi
budaya tersebut dapat berupa: 1) usege (cara-cara), yakni berkaitan dengan cara
22
melakukan sesuatu seperti cara makan, cara berpakaian, cara menari, dan cara
melaksanakan upacara atau ritual; 2) falksways (kebiasaan), yaitu berkaitan
dengansejumlah kebiasaan yang dilakukan masyarakat seperti menghormati orang
yang lebih tua; 3) mores atau ethics (moral atau etika), yaitu berkaitan dengan
sejumlah perbuatan yang diperbolehkan dan yang dilarang dalam kehidupan
bermasyarakat; 5) custom (adatistiadat), yaitu berkaitan dengan adat yang harus
diketahui dan ditaati oleh setiap individu dan masyarakatnya; 6) skill
(keterampilan), berkaitan dengan keterampilan membuatproduk tradisional; dan 7)
competence (kompetensi), yakni berkaitan dengan kemampuan tentang sesuatu
terutama pengetahuan masa lalu(Sibarani,2014:126).
Jan Harold Brunvand dalam Yapi-Taum (2011:65–66) membagi bahan-bahan
tradisi lisan, yaitu:
a. Tradisi Verbal
Tradisi verbal mencakup lima kategori, yakni (1) ungkapan tradisional
termasuk pepatah, peribahasa, dan wasita adi; (2) nyanyian rakyat; (3) bahasa
rakyat, seperti dialek, julukan, sindiran, gelar-gelar, bahasa sandi; (4) teka-teki;
dan (5) cerita rakyat, seperti dongeng, mitos legenda, sage, dancerita jenaka.
b. Tradisi Nonverbal
Tradisi nonverbal mencakup dua tipologi dasar, yakni (1) tradisi yang
berciri material (misalnya mainan, makanan, minuman, peralatan dan senjata,
alat-alat musik, pakaian dan perhiasan, obat-obatan, seni kerajinan tangan, dan
arsitektur rakyat); (2) tradisi nonmaterial (irama musik gamelan Bali, Jawa,
Sunda, dll; menganggukkan kepala, menggelengkan kepala, dan lain
sebagainya).
23
Ditinjau dari aspek kebahasaan, kebudayaan material diungkapkan
dengan unsur leksikal bahasa berkategori nomina. Nomina (kata benda) dapat
dilihat dari segi semantik, sintaktis, dan segi bentuk. Menurut penggolongan
semantik, unsur leksikal kebudayaan material termasuk ke dalam kategori
semantik tidak bernyawa dan mengacu pada benda-benda sebagai hasil fisik
dari aktivitas, perbuatan, atau karya manusia, yang dibutuhkan dan diberi nama
oleh manusia pemilik kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan material
diungkapkan dalam unsur leksikal atau kata yang dapat menyampaikan
informasi secara faktual melalui rujukan ke benda tak bernyawa.
Kebudayaan material tertentu diciptakan secara khusus bersifat
komunikatif dan representatif. Layaknya kata dan bahasa yang bersifat arbitrer,
simbol-simbol dalam kebudayaan material seringkali juga bersifat arbitrer
(sewenang-wenang dalam penyampaian makna). Sistem makna dalam kajian
kebudayaan material pun dapat dianalogikan dengan kajian sistem makna
dalam bahasa yang disusun secara sintagmatik dan paradigmatik. Bahkan,
menurut Hodder (19997:548), kini berbagai penelitian kebudayaan material
menaruh perhatian pada batasan analogi antara kebudayaan material dengan
bahasa, yang membuat pemaknaan kebudayaan material dan menjadi lebih
jelas. Namun, harus diingat bahwa mayoritas simbol-simbol material memiliki
dimensi ‘pemaknaan’ yang berbeda dengan bahasa. Simbol-simbol material
memiliki dimensi pemaknaan abstrak berdasar pola hubungan dan pola
penerapan (Kartubi, 2011:4).
4. Mantra dan Jenis Mantra
24
Mantra adalah perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib (Alwi,dll,
2008:713). Mantra sering dijadikan dasar kasekten orang Jawa. Melalui mantra,
orang Jawa dapat lebih sakti jika diterapkan sebagaimana mestinya. Mantra
semacam rapal (ucapan) magis yang dapat digunakan untuk tameng (menjaga)diri
dari gangguan apa saja. Penggunaan mantra tidaksekadar dihafalkan begitu saja.
Mantra perlu disertai laku khusus, seperti halnya tapa brata. Upaya mencegah
hawa nafsu akan menyebabkan mantra semakin ampuh (sakti). Mantra sering
berupa aji-aji, yaitu sebuah bekal keampuhan diri. Jika aji-aji yang berupa mantra
tersebut di-watek (dibaca dengan batin) dan disertai keheningan, makayang
diinginkan akan tercapai. Aji-aji tersebut merupakan gambaran hidup supranatural
orang Jawa. MenurutEndraswara(2012: 125–126), kata-kata (mantra) memiliki
kekuatan supranatural yang luar biasa jika diyakini.
Hartanta dalam Widodo (2010: 43–47) membagi mantra berdasarkan fungsi
atau gunanya sebagai berikut. (1) Mantra pengasihan yaitu mantra yang memiliki
kekuatan untuk memikat lawan jenis atau objek sasaran tertentu yang menjadi
sasaran. Objek sasaran akan terpesona dengan sang pengamal mantra. (2) Mantra
kanuragan atau mantra aji-aji untuk mencapai kekebalan tubuh. (3) Mantra
kasukman yaitu mantra yang terdapat dalam olah batin atau pendakian ke alam
batin. (4) Mantra pertanian yaitu mantra yang digunakan dalam ritual-ritual
pertanian ketika menabur benihatau memetik panen untuk mencapai keselarasan
dengan alam. (5) Mantra penglarisan yaitu mantra yang digunakan untuk
menarikdatangnya rejeki melalui jalan perniagaan. (6) Mantra penyuwunan yaitu
mantra yang digunakan pada saat kegiatan-kegiatan tertentu untuk memperoleh
keselamatan, misalnya, mendirikan rumah, menggali sumur, menebang pohon, dan
25
sebagainya. (7) Mantra panulakan yaitu mantra yang digunakan untuk melindungi
diri dari gangguan-gangguan orang-orang jahat atau makhluk halus untuk
memperloleh keselamatan. (8) Mantra pengobatan yaitu mantra yang digunakan
untuk pengobatan penyakit-penyakit tertentu. (9) Mantra trawangan/sorog yaitu
mantra yang digunakan untuk menembus dimensi alam lain. (10) Mantra
penglarutan yaitu mantra yang digunakan untuk merendam amarah atau emosi
seseorang. (11) Mantra sirep atau penglerepan yaitu mantra yang digunakan untuk
menidurkan seseorang dalam jangka waktu tertentu (hipnotis). (12) Mantra
pengracutan yaitu mantra yang digunakan untuk melarutkan ilmu seseorang ketika
menjelang ajal. (13) Mantra dhanyangan yaitu mantra yang digunakan untuk
berkomunikasi dengan roh-roh tertentu.
5. StrukturMakro dan Struktur Mikro
Menurut Sibarani (2013:3,10), studi bahasa dalam bidang antropolinguistik
dikaitkan dengan peran bahasa dalam seluk-beluk kehidupan manusia. Kebudayaan
merupakan aspek yang paling dominan dalam kehidupan manusia sehingga segala
hierarki kajian bahasa dalam bidang antropolinguistik dianalisis dalam kaitannya
dengan kebudayaan. Studi bahasa ini disebut dengan memahami bahasa dalam
konteks budaya. Studi budaya dalam bidang antropolinguistik berarti memahami
seluk-beluk budaya dari kajian linguistik atau memahami kebudayaan melalui
bahasa. Studi aspek-aspek lain kehidupan manusia selain kebudayaan seperti politik
dan agama dapat dipelajari dari kejadian bahasa sehingga bidang itu juga menarik
dalam kajian.
26
Dari sudut etnolinguistik, semua ragam bahasa menggambarkan cara berpikir
masyarakatnya dan berbicara sesuai dengan cara berpikirnya termasuk cara-cara
dalam seluk-beluk kebudayaannya (Sibarani, 2004). Asumsi ini mendorong peran
etnolinguistik dalam kajian tradisi lisan atau tradisi budaya khususnya yang
memiliki unusr-unsur verbal. Melalui unsur-unsur itu, etnolinguistik mengkaji
struktur bahasa tradisi lisan atau tradisi budaya terutama untuk menemukan formula
atau kaidah unsur verbal itu. Struktur itu boleh berupa struktur makro dan struktur
mikro. Dalam tradisi lisan, sebuah teks seringkali didampingi oleh unsur-unsur
nonverbal yang disebut dengan ‘ko-teks’ (co-text). Ko-teks berupa unsur
paralinguistik, unsur proksemik, unsur kinetik atau unsur material yangkesemuanya
penting untukdipertimbangkan dalam menganalisis struktur teks. Ketika ada proses
bermantra, bukan hanya struktur mantranya yang perlu dianalisis, tetapi juga
struktur unsur nonverbalnya sebagai ko-teks seperti tekanan suara, tinggi rendahnya
suara, penjagaan jarak antara pemantra dengan pendengar, dangerak isyarat
pemantra atau benda-benda yang digunakan oleh pemantra. Keseluruhan teks dan
ko-teks ini menjadi satu kesatuan dalam produksi dan distribusi tradisi lisan. Di
samping pentingnya ko-teks, pemahaman makna dan fungsi teks tradisi lisan juga
perlu mempertimbangkan konteks tradisi lisan. Konteks tradisi lisan dapat berupa
konteks budaya, konteks ideologi, konteks situasi, dan konteks sosial.
Dalam membicarakan struktur teks tradisi lisan atau tradisi budaya,
dipergunakan konsep struktur wacana Van Dijk dengan modifikasi berdasarkan
kebutuhan kajian tradisi lisan. Dalam berbagai tulisannya, Van Dijk (1985a:1–
8;1985b:1–10; 1985c:1–11; 1985d:1–8) menyebutkan bahwa ada tiga kerangka
27
struktural teks yakni struktur mikro, struktur alur dan struktural makro. Pada
penelitian ini menggunakan struktur mikro dan struktur makro.
Struktur mikro adalah struktur teks secara linguistik teoritis. Linguistik
teoritis yang dimaksud di sini mencakup tataran bahasa seperti bunyi (fonologi),
kata (morfologi), kalimat (sintaksis), wacana (diskursus), makna (semantik),
maksud (pragmatik), gaya bahasa (stilistika), dan bahasa kiasan (figuratif).
Penelitian teks dalam struktur mikro perlu memahami terlebihdahuluseluk-beluk
kajian fonemik dan fonetik, seluk-beluk pembentukan kata dari susunan morfem,
seluk-beluk frasa, klausa, dan kalimat, seluk-beluk hubungan antarkalimat dan
antarparagraf, seluk-beluk makna dan maksud, dan seluk-beluk gaya bahasa. Kajian
struktur mikro ini dapat dilaksanakan secara bersama-sama, tetapi dapat juga dipilih
tataran tertentu sesuai dengan kebutuhan analisis dan sesuai dengan karakteristik
teks tradisi lisan yangdikaji. Kajian fonologi dan morfologi, misalnya, lebih
berperan untuk kajian teks pantun daripada teks mitos, sedangkan kajian sintaksis
dan wacana lebih berperan dalam kajian teks mitos daripada teks pantun (Sibarani,
2014:326–330).
Struktur makro mengacu pada peristiwa tutur. Menurut Chaer (2010: 47-
48), peristiwa tutur adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam
satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan
tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Dell
Hymes ( 1972 ), seorang pakar sosiolinguistik terkenal, bahwa suatu peristiwa tutur
harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkai
menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah Setting and scene,
28
Participants, Ends: Purpose dan goal, Act sequences, Key: tone or spiritof act,
Instrumentalities, Norms of interaction and interpretation, Genres.
6. Semantik Kultural dalam Kajian Etnolinguistik
Adapun semantik kultur (cultural semantics) yaitu makna yang dimiliki
bahasa sesuai dengan konteks budaya penuturnya (Subroto, 1998). Pendekatan
budaya/kebudayaan terhadap arti disebut pula pandangan reduksionisme budaya
(cultural reductionism). Pandangan ini menyatakan bahwa budaya adalah penentu
terakhir terhadap arti atau arti bahasa sepenuhnya ditentukan oleh konteks budaya
di mana bahasa itu dipakai (Frawley, 1992:45;Subroto, 2011:17 dalam Wakit
Abdullah, 2013:16). Dengan demikian, arti kultur sebuah bahasa adalah arti
yangsecara khas mengungkapkan unsur-unsur budaya dan keperluan budaya secara
khas aspek kebudayaannya (Subroto, 2011:36).
7. Semiotik dalam Kajian Etnolinguistik
Pendekatan semiotik ini digunakan untuk menunjang kajian etnolinguistik.
Semiotik dipilih berdasarkan kegunaannya, karena semiotik berkaitan dengan
semantik kultur yang digunakan untuk memaknai perilaku verbal, sedangkan
semiotik untuk memaknai perilaku nonverbal.Teori pelengkap ini dipilih secara
mana suka atau arbiter.
Pendekatan terhadap arti/makna ‘tanda’, yaitu meliputi (1) arti dengan
penunjukkan (meaning as reference), (2) arti sebagai bentuk logika (meaning as
29
logical form), (3) arti berdasarkan konteks dan penggunaan (meaning as contect
and us), (4) arti sebagai budaya (meaning as culture), dan (5) arti sebagai struktur
konseptual (meaning as conceptual structure) (Frawley, 1992; dalam Subroto,
2011:12). Melengkapi pendekatan tersebut, dalam perkembangannya, semiotik
dikenal memiliki lima pendekatan, yaitu pendekatan (1) logis, (2) struktural, (3)
fenomenologis, (4) pragmatis, dan (5) budaya (Christomy dan Yuwono, 2004:vi).
Berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya ada tiga jenis tanda, yaitu
ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang penanda dan petandanya
menunjukkan ada hubungan yang bersifat alamiah, yaitu penanda sama dengan
petandanya (misalnya gambar, potret, danpatung). Indeks adalah tanda yang
penanda dan petandanya menunjukkan adanya hubungan alamiah yang bersifat
kausalitas (misal asap menandai apidan mendung menandai hujan). Sementaraitu,
simbol adalah tanda yang penanda dan petandanya tidak menunjukkan hubungan
alamiah, hubungannya arbitrer (semau-maunya) berdasarkan konvensi (misalnya
kata ibu [penanda] menandai ‘orang yang melahirkan kita’, dalamBahasa Inggris
disebutmother, sedangkandalamBahasa Perancis disebutLa mere). Di samping
ketiga tanda itu, ada pula tanda yang disebut (4) simtom (gejala), yaitu tanda yang
menunjukkanpetandanya belum pasti (misal suhu panas orang sakit sebagai gejala
sakit apa?) (Preminger, 1974:980; Lyons, 1997:100–108; Pradopo, 1999:76; Wakit,
2013:16–17).
Kajian semiotik dalam penelitian ini digunakan untuk mengungkap makna
unsur nonvernal dalam ranah kesehatan. Unsur nonverbal berisi simbol-simbol
yang terdapat dalam perilaku nonverbal yang berupasarana dalam praktik
penyembuhan, gerak, nada, tenakan, dan intonasi.
30
8. Pola Pikir, Pandangan Hidup, dan Pandangan Dunia
Konsep pola pikir dalam tulisan ini mengacu kepada beberapa pendapat, di
antaranya Casson (1981) dan Ahimsa-Putra (1985;1997). Menurut Casson
(1981:11–12), bahasa atau lebih tepatnya struktur bahasa dapat membentuk pola
berpikir penutur-penuturnya. Menurut pemakaian kata, sekelompok orang dapat
dilihat dan dimengerti bagaimana mereka memandang dan mengonsepsikan
lingkungan atau dunianya, misalnya melalui cara mengonsepsikan dunia binatang
atau tumbuhan. Lebih jelas lagi, cara sekelompok orang mengonsepkan atau
melihat dunianya dapat dilihat melalui struktur dan organisaai kategori konsep pada
sistem klasifikasi taksonomi. Dengan demikian, pola pikir, menurut Casson
(1981:75) adalah inferensi atau integrasi kategori konsep yang diperoleh melalui
tindak klasifikasi yang hasilnya merupakan bentuk skemata. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa pola pikir meliputi model, cara, gagasan, dan proses yang
dipakai sebagai pedoman, kesimpulan, dan bentuk konsep (Casson dalam
Fernandez, 2015:41).
Pandangan di atas dipertegas lagi oleh Ahimsa-Putra (1985:107).Pola pikir
adalah pengetahuan suatu masyarakat yang isinya antara lain klasifikasi-klasifikasi,
aturan-aturan, prinsip-prinsip yang sebagaimana dinyatakan melalui bahasa. Dalam
bahasa inilah tersimpan nama-nama berbagai benda yang ada dalam lingkungan
manusia. Dari nama-nama ini dapat diketahui patokan yang dipakai oleh suatu
masyarakat untuk membuat klasifikasi-klasifikasi, yang berarti juga dapat diketahui
‘pandangan hidup’ pendukung kebudayaan tersebut. Melalui bahasa inilah berbagai
pengetahuan, baik yang tersembunyi (tacit) maupun yang terungkap (explicit) oleh
31
peneliti. Pandangan hidup itu sendiri adalah konsep yang dimiliki seseorang atau
golongan dalam masyarakat yang bermaksud menanggapi dan menerangkan segala
masalah di dunia ini (KBBI, 2008:1011). Adapun pandangan dunia adalah
bagaimana masyarakat memandang dunia.
9. Konsep Sehat dan Sakit Secara Umum
a. Konsep Sehat
Sehat merupakan sebuah keadaan yang tidak hanya terbebas dari penyakit
akan tetapi juga meliputi seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi aspek
fisik, emosi, sosial, dan spiritual. Beberapa definisi sehat, yaitusebagaiberikut.
1) Sehat menurut WHO (1927)
Sehat adalah keadaan utuh secara fisik, jasmani, mental, dan sosial
dan bukan hanya suatu keadaan yang bebas daripenyakit cacat dan
kelemahan. Mengandung 3 karakteristik :
a) Merefleksikan perhatian pada individu sebagai manusia.
b) Memandang sehat dalam konteks lingkungan internal dan eksternal.
c) Sehat diartikan sebagai hidup yang kreatif dan produktif.
2) Sehat menurut UU No.23/1992 tentang Kesehatan
Kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan (jasmani), jiwa
(rohani) dan sosial yang memungkinkan hidup produktif secara sosial dan
ekonomi.
b. Konsep Sakit
Sakit adalah keadaan dimana fisik, emosional, intelektual, sosial,
perkembangan, seseorang berkurang atau terganggu, dan bukan hanya keadaan
32
terjadinya proses penyakit.Oleh karena itu, sakit tidak sama dengan penyakit.
Sebagai contoh klien dengan leukemia yang sedang menjalani pengobatan
mungkin akan mampu berfungsi seperti biasanya, sedangkan klien lain dengan
kanker payudara yang sedang mempersiapkan diri untuk menjalani operasi
mungkin akan merasakan akibatnya pada dimensi lain, selain dimensi
fisik.Beberapa definisi sakit, yaitusebagaiberikut.
1) Sakit menurut Parson (1972)
Sakit adalah gangguan dalam fungsi normal individu sebagai totalitas,
termasuk keadaan organisme sebagai sistem biologis dan penyesuaian sosialnya.
2) Sakit menurut Zaidin Ali (1998)
Sakit adalah suatu keadaan yang mengganggu keseimbangan status
kesehatan biologis (jasmani), psikologis (mental), sosial, dan spiritual yang
mengakibatkan gangguan fungsi tubuh, produktivitas, dan kemandirian individu
baik secara keseluruhan maupun sebagian.http://harmokosaja.blogspot.
com/2013/06/persepsi-masyarakat-tentang-sehat-sakit.html.
C. Kerangka Berpikir
Berdasarkan pada tujuan penelitian, dapatdiketahuibahwapermasalahan yang
akan dicari jawabannya dalam penelitian ”Perilaku Verbal dan Nonverbal dalam
RanahKesehatan pada Masyarakat di Dusun Tambran Kidul Kecamatan
SeminKabupaten Gunungkidul (Kajian Etnolinguistik)” adalah (1)pandangan sehat dan
sakit menurut sistem kognisi masyarakat di Dusun Tambran Kidul Kecamatan Semin
Kabupaten Gunungkidul; (2) perilaku verbal dan nonverbal dalam praktik penyembuhan
penyakit pada masyarakat di Dusun Tambran Kidul Kecamatan Semin Kabupaten
33
Gunungkidul; (3) mengapa perilaku verbal dan nonverbal sangat penting dan
merupakan satu-kesatuan dalam praktik penyembuhan penyakit pada masyarakat di
Dusun Tambran Kidul Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul; dan (4) pola pikir,
pandangan hidup, dan pandangan dunia pada masyarakat di Dusun Tambran Kidul
Kecamatan Semin Kabupaten Gunungkidul. Untuk mencapai jawaban tersebut, pada
penelitian inidigunakan pola pikir pendekatan Etnolinguistik. Berikut adalah alur
kerangka pikir penelitian.
ALUR KERANGKA PIKIR PENELITIAN
PERILAKU VERBAL DAN NONVERBAL DALAMRANAH KESEHATAN PADA MASYARAKAT DI DUSUN
TAMBRAN KIDUL KECAMATAN SEMINKABUPATEN GUNUNGKIDUL
Etnolinguistik
Konsepsehat dan
sakit
Sistemkognisi
Perilaku verbal dannonverbal
Mengapa perilakuverbal dan nonverbal
penting
KonteksSistemkognisi
Kinetikatau gerak
Unsurmaterial
Strukturmikro
Strukturmakro
Ko-teks
BudayaSosial dan
EkonomiSituasi dan
GeografiSpiritual
Teks
34
Diagram 2.1: Alur Kerangka Pikir Penelitian
Pandangan hidup,pola pikir, dan pandangan dunia