Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
II-1
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Prinsip Kerja Turbin Gas
Berdasarkan Gambar II.1 turbin gas memiliki tiga komponen penting, yaitu:
1. Kompresor
2. Ruang Bakar (combustion chamber)
3. Turbin
Gambar II.1 Sistem gas turbin siklus terbuka
(Cohen, 1996)
Untuk sebuah turbin gas cara kerjanya didasarkan pada siklus Brayton seperti
yang terlihat pada Gambar II.2. Pada siklus Brayton ideal terdapat beberapa asumsi,
yaitu:
1. Proses kompresi yang terjadi pada kompresor dan proses ekspansi yang
terjadi pada turbin terjadi secara isentropik.
2. Mengabaikan adanya perubahan energi kinetik dan fluida kerja antara sisi
masukan dan sisi keluaran kompresor.
3. Tekanan masukan dan keluaran ruang bakar dianggap konstan atau dengan
kata lain tidak terjadi penurunan tekanan pada ruang bakar.
4. Massa aliran fluida kerja (gas) dianggap konstan.
II-2
Gambar II.2 Siklus Brayton
(Boyce, 2002)
1 – 2: kompresor melakukan proses kompresi isentropik
2 – 3: proses pembakaran pada ruang bakar pada tekanan konstan
3 – 4: turbin melakukan proses ekspansi isentropik
4 – 1: proses pembuangan kalor pada tekanan konstan
Berdasarkan Gambar II.1 cara kerja turbin gas ini berawal dari kompresor
yang berguna untuk mengisap udara dan mengkompresi udara sehingga temperatur
udara dan tekanan udara keluaran kompresor sesuai dengan yang diinginkan.
Kemudian setelah udara dikompresi pada kompresor, udara bertekanan tinggi
masuk ke dalam ruang bakar, disisi lain bahan bakar disemprotkan ke dalam ruang
bakar sehingga terjadilah proses pembakaran pada ruang bakar. Energi panas yang
dihasilkan pada proses pembakaran akan menaikkan temperatur dan entalpi fluida
kerja setelah ruang bakar. Proses yang terjadi pada ruang bakar idealnya tidak
terjadi penurunan tekanan. Fluida kerja setelah ruang bakar yaitu gas hasil
pembakaran ini kemudian diekspansikan ke dalam turbin sehingga akan memutar
sudu-sudu pada turbin dan juga akan memutar poros. Energi putaran poros pada
turbin gas akan memutar kompresor serta generator dimana posisinya seporos
dengan turbin gas.
II-3
Gambar II.3 Diagram sebuah turbin gas sederhana dengan poros tunggal untuk industri dan komponen utamanya
(Arismunandar, 2002)
Pada pembangkit listrik tenaga gas, rasio perbandingan kerja kompresor
terhadap kerja turbin biasa disebut dengan back work ratio. Biasanya lebih dari satu
setengah kerja total turbin gas digunakan untuk menggerakan kompresor.
Gambar II.4 Back Work Ratio
(Cengel, 2007)
Berdasarkan Gambar II.4 maka back work ratio dapat dirumuskan (Cengel,
2007) sebagai berikut:
II-4
𝑟𝑏𝑤 =𝑤𝑐𝑜𝑚𝑝,𝑖𝑛
𝑤𝑡𝑢𝑟𝑏,𝑜𝑢𝑡 ...................................................................................................(1)
Pada umumnya nilai back work ratio untuk siklus gas turbin berada disekitar 40 –
80 % (Learn Thermo.com, 2014).
II.2 Pengertian Kompresor
Kompresor merupakan merupakan sebuah mesin fluida yang digunakan untuk
mengisap udara dan menaikkan tekanan udara atau gas sesuai yang dinginkan. Pada
umunya kompresor udara mengisap udara dari atmosfer. Kompresor bekerja
sebagai penguat (booster) apabila kompresor mengisap udara atau gas yang
bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer. Apabila kompresor mengisap udara
yang tekanannya lebih rendah dari tekanan atmosfer biasanya kompresor ini disebut
pompa vakum
II.3 Klasifikasi Kompresor
Pada umumnya kompresor dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu
positive displacement compressor dan dynamic compressor (Turbo).
1. Kompresor perpindahan positif (Positive Displacment)
Kompresor ini bekerja dengan menaikkan tekanan dengan memperkecil
atau memampatkan volume gas/udara yang diisap ke dalam silinder atau
stator oleh torak atau sudu. Kompresor perpindahan positif juga dibagi atas
kompresor bolak balik (reciprocating) dan kompresor putar (rotary).
2. Kompresor dinamik/turbo (Non-Positive Displacement)
Kompresor ini bekerja dengan menaikkan tekanan dan kecepatan gas/udara
akibat gaya sentrifugal yang ditimbulkan oleh impeller kompresor atau
akibat gaya angkat (lift) yang ditimbulkan oleh sudu kompresor. Kompresor
dinamik ini dapat dibagi atas kompresor sentrifugal, aksial dan ejector.
Untuk turbin gas yang mana membutuhkan kenaikan tekanan maka
digunakan kompresor radial atau kompresor aksial. Kompresor radial biasanya
digunakan pada turbin gas skala kecil sedangkan untuk turbin gas skala besar
digunakan kompresor aksial karena kompresor aksial dapat menghasilkan kapasitas
udara yang lebih besar dibandingkan dengan kompresor radial. Salah satu
II-5
kelemahan kompresor aksial dalam satu tingkat perubahan momentumnya kecil,
sehingga kenaikan tekanan yang didapatkan dalam satu tingkat tidak besar. Maka
untuk mendapatkan kenaikan tekanan yang sama dengan kompresor sentrifugal,
kompresor aksial membutuhkan jumlah tingkat yang lebih banyak yang disusun
secara seri (10-30 tingkat). Sehingga kompresor aksial dapat menghasilkan
perbandingan tekanan (pressure ratio) yang besar dan memiliki efisiensi yang
tinggi. Gambar II.5 menunjukan bentuk fisik dari kompresor sentrifugal sedangkan
Gambar II.6 menunjukan bentuk fisik dari kompresor aksial.
Gambar II.5 Kompresor sentrifugal banyak tingkat
(Almerza, 2007)
Gambar II.6 Kompresor aksial banyak tingkat
(Almerza, 2007)
II-6
II.4 Konstruksi Kompresor Aksial
Kompresor banyak tingkat yang alirannya bergerak secara aksial diperlihatkan pada
Gambar II.7.
Gambar II.7 Aliran dan konstruksi Kompresor Aksial banyak tingkat
(Arismunandar, 2002)
Sebuah kompresor aksial terdiri dari beberapa tingkat (stage). Dimana untuk
satu tingkat terdiri dari satu baris sudu gerak pada rotor dan satu baris sudu tetap
pada stator. Gambar II.8 menunjukan pengertian satu tingkat pada sebuah
kompresor aksial.
Gambar II.8 Satu tingkat terdiri dari 1 rotor dan 1 stator
(Cohen, 1996)
Pada kompresor aksial penampang sudu berbentuk airfoil. Sudu-sudu gerak
dipasang pada rotor dengan beberapa cara, antara lain konstruksi akar ekor burung
(dovetail root), pemasangan pin (pin fixing), pohon cemara (fir tree), dan akar T
mengangkang (straddle T root), seperti yang ditunjukan pada Gambar II.9.
II-7
Gambar II.9 Konstruksi dan pemasangan sudu pada rotor
(Arismunandar, 2002)
II.5 Tipe Kompresor Aksial
Tipe kompresor aksial dapat didasarkan pada bentuk konfigurasi anulusnya. Pada
kompresor aksial terdapat tiga konfigurasi bentuk anulus yang biasa digunakan
yaitu diameter keluaran/ujung konstan (constant outer/tip diameter), diameter rata-
rata konstan (constant mean diameter), dan diameter hub konstan (constant hub
diameter). Gambar II.10 menunjukan konfigurasi anulus pada kompresor aksial.
Gambar II.10 a) diameter ujung konstan b) diameter rata - rata konstan c) diameter hub konstan
(Harman, 1981)
II.6 Tinjauan Termodinamika
Pada kondisi aktual siklus ideal tidak mungkin didapatkan karena pada kondisi
aktual akan terjadi kerugian kalor akibat adanya isolasi yang kurang sempurna dan
juga akan terjadi kerugian tekanan pada komponen sistem. Gambar II.11
menggambarkan perbandingan siklus ideal dan siklus aktual pada tubin gas.
II-8
Gambar II.11 Diagram T – S
Keterangan gambar:
_________ : siklus ideal
-------------- : siklus aktual
1-2 : proses kompresor ideal pada kompresor
1-21 : proses kompresi aktual pada kompresor
21-3 : proses pembakaran aktual pada ruang bakar
3-4 : proses ekspansi isentropik pada turbin
3-41 : proses ekspansi aktual pada turbin
41-1 : proses pengembangan kalor aktual
Kompresor
Untuk mengetahui kerja spesifik kompresor ideal dari titik 1-2 (Wk1-2) dapat
menggunakan persamaan (Dietzel,1996):
𝑊𝑘1−2 = 𝐶𝑝 (𝑇2 − 𝑇1) = ℎ2 − ℎ1 ....................................................................(2)
dimana
Cp = panas jenis udara pada tekanan konstan (kJ/kg)
T1 = temperatur udara masukan kompresor (K)
T2 = temperatur udara keluaran kompresor (K)
h1 = entalpi udara spesifik masuk kompresor (kJ/kg)
h2 = entalpi udara spesifik keluar kompresor (kJ/kg)
Kerja spesifik kompresor aktual dari titik 1-21(Wk1-21) merupakan kalor
spesifik yang dibutuhkan untuk menggerakkan kompresor pada kondisi aktual.
II-9
Pada kondisi ideal efisiensi kompresor dan kerugian yang terjadi selama proses
kompresi diperhitungkan karena pada kondisi aktual proses kompresi tidak akan
pernah terjadi secara isentropik sehingga kalor yang dibutuhkan untuk
menggerakan sebuah kompresor pada kondisi aktual akan lebih besar dibandingkan
dengan pada kondisi ideal. Untuk mengetahui efisiensi kompresor maka dapat
digunakan persamaan (Cengel, 2007):
𝜂𝑘 =𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎 𝐼𝑑𝑒𝑎𝑙
𝐾𝑒𝑟𝑗𝑎 𝐴𝑘𝑡𝑢𝑎𝑙=
ℎ2−ℎ1
ℎ21− ℎ1
...............................................................................(3)
dimana
h21 = entalpi udara spesifik keluar kompresor aktual (kJ/kg)
ηk = efisiensi kompresor
Untuk menghitung kebutuhan daya kompresor pertama-tama didasarkan kepada
kapasitas udara ṁud = 1 kg/s, dan didapat dari (Dietzel, 1996) :
𝑃𝑣𝑠𝑝𝑒𝑠 =𝐻.𝑔
1000.𝜂𝑣 .................................................................................................(4)
dimana
PVspes = daya yang dibutuhkan kompresor pada mud = 1 kg/s [ kW/(kg/s) ]
H = tinggi kenaikan [m]
ṁud = laju masaa udara [kg/s]
dengan demikian daya yang diperlukan untuk menggerakan kompresor (Dietzel, 1996):
𝑃𝑣 = 𝑚𝑢𝑑. 𝑃𝑣𝑠𝑝𝑒𝑠 ...............................................................................................(5)
dimana
PV = daya yang dibutuhkan kompresor [kW]
Ruang Bakar
Pada ruang bakar idealnya akan terjadi proses pembakaran pada kondisi tekanan
konstan. Energi panas yang dihasilkan pada proses pembakaran akan menaikkan
temperatur dan entalpi fluida kerja sehingga temperatur dan entalpi fluida kerja
setelah ruang bakar akan mengalami kenaikan. Fluida kerja setelah ruang bakar
yaitu berupa gas hasil pembakaran. Agar terjadi proses pembakaran yang sempurna
II-10
pada ruang bakar maka perbandingan volume udara dan volume bahan yang
dimasukan kedalam ruang bakar harus tepat. AFR merupakan istilah yang sering
dijumpai untuk mengetahui perbandingan volume udara dan volume bahan bakar.
Untuk menghitung AFR dapat digunakan persamaan (Sembiring, 2008):
𝐴𝐹𝑅 = 𝑚𝑜𝑙 𝑈𝑑𝑎𝑟𝑎 𝑋 𝐵𝑀 𝑈𝑑𝑎𝑟𝑎
𝑚𝑜𝑙 𝐵𝑎ℎ𝑎𝑛 𝐵𝑎𝑘𝑎𝑟 𝑥 𝐵𝑀 𝐵𝑎ℎ𝑎𝑛 𝐵𝑎𝑘𝑎𝑟 .........................................................(6)
𝐴𝐹𝑅 = 𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑎𝑟 .................................................................................(7)
Kemudian akan didapat faktor kelebihan udara (λ), yaitu (Sembiring, 2008):
𝜆 = 𝐴𝐹𝑅𝑎𝑘𝑡−𝐴𝐹𝑅𝑡𝑒𝑜
𝐴𝐹𝑅𝑡𝑒𝑜 𝑥 100 % .............................................................................(8)
dimana
λ = faktor kelebihan udara ( excess air )
AFR = air Fuel Ratio (kgudara/kgbahan bakar)
BMudara = berat molekul udara (kgudara/kmolbahan bakar)
BMbahan bakar = berat molekul bahan bakar (kgbahan bakar /kmolbahan bakar)
Idealnya pada ruang bakar proses pembakaran terjadi pada tekanan konstan
(isobar), apabila terjadi penuruan tekanan penurunannya pun relatif kecil (Harman,
1981). Pada kondisi aktual untuk mengetahui kalor spesifik pada ruang bakar dapat
digunkan persamaan (Cengel, 2007):
𝑄𝑟𝑏 = 𝐶𝑝 (𝑇3 − 𝑇21) = ℎ3 − ℎ2
1 ...................................................................(9)
dimana
h3 = entalpi gas keluar ruang bakar (kJ/kg)
T3 = temperatur gas keluar ruang bakar (K)
Qrb = kalor spesifik ruang bakar (kJ/kg)
Reaksi pembakaran teoritis dengan udara hidrokarbon dengan rumus CxHy
adalah menurut persamaan reaksi (Turns, 1996)
𝐶𝑥𝐻𝑦 + 𝑎(𝑂2 + 3,76𝑁2) → 𝑥𝐶𝑂2 + (𝑦
2) 𝐻2𝑂 + 3,76𝑎𝑁2
II-11
dimana
a = x + y/4
Menurut (Turns, 1996) dalam bukunya komposisi dari udara adalah 21 % O2
dan 79 % N2 (%Volume). Rasio udara bahan bakar stoikiometrik dapat dicari dari
persamaan:
(𝐴
𝐹)𝑆𝑡𝑜𝑖𝑐 = (
𝑚𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎
𝑚𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑘𝑎𝑟)𝑆𝑡𝑜𝑖𝑐 =
4,76𝑎𝑀𝑊𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎
1𝑀𝑊𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 𝑏𝑎𝑙𝑎𝑟 ...............................................(10)
Dimana MWudara dan MW bahan bakar adalah berat molekul udara dan berat
molekul bahan bakar. Kemudian dalam pembakaran dikenal istilah equivalent ratio
(ϕ) dimana equivalent ratio merupakan parameter indikasi sebuah pembakaran
apakah pembakaran berjalan dengan kaya akan bahan bakar, kaya akan udara atau
stoikiometrik. Persamaan equivalent ratio adalah sebagai berikut (Turns, 1996):
𝜙 = (
𝐴
𝐹)𝑠𝑡𝑜𝑖𝑐
(𝐴
𝐹)
=(
𝐹
𝐴)
(𝐹
𝐴)𝑠𝑡𝑜𝑖𝑐
........................................................................................(11)
Dari definisi diatas dapat dilihat bahwa untuk campuran yang kaya akan
bahan bakar nilai ϕ >1 , untuk campuran yang kaya akan udara nilai ϕ<1 , dan untuk
campuran stiokiometrik nilai ϕ = 1. Untuk mendapatkan equivalent ratio ϕ dapat
diperoleh dari persamaan sebagai berikut (Turns, 1996):
% 𝐸𝑥𝑐𝑒𝑠𝑠 𝐴𝑖𝑟 = (1−𝜙)
𝜙 𝑥 100% ......................................................................(12)
Perlu diketahui bahwa pada umumnya turbin gas menggunakan perbandingan
udara – bahan bakar (A/F) yang relatif sangat besar yaitu 50/1 – 200/1
(Arismunandar, 2002). Sedangkan untuk jenis bahan bakar hidrokarbon (A/F)stoic ±
15/1 (Arismunandar, 2002)
Turbin
Berdasarkan Gambar II.11 proses ekspansi ideal yang terjadi pada turbin ditunjukan
oleh titik 3-4. Proses ekspansi merupakan proses pelepasan energi panas gas hasil
pembakaran dimana energi panas pada gas hasil pembakaran akan digunakan untuk
memutar sudu-sudu turbin sekaligus memutar poros pada turbin. Pada turbin gas
temperatur dan tekanan yang masuk ke dalam turbin gas harus dibatasi mengingat
II-12
terbatasnya kekuatan material sudu turbin. Pada umumnya untuk turbin gas yang
digunakan untuk penggerak pesawat terbang temperatur maksimumnya adalah
1.280 0C dan untuk turbin gas yang digunakan di industri 950 oC (Dietzel, 1996).
Kemudian temperatur gas buang turbin dibatasi sekitar 400 – 550 oC dan agar gas
buang setelah melewati turbin gas dapat mengalir ke udara bebas dengan baik maka
tekanan gas buang setelah melewati turbin gas dirancang 1,1 - 1,2 kali tekanan
udara bebas (Harman, 1981). Sehinga untuk proses ekspansi ideal pada turbin, kerja
turbin yang terjadi adalah (Cengel, 2007) :
𝑊𝑡3−4 = 𝐶𝑝 (𝑇3−𝑇4) = ℎ3 − ℎ4 .....................................................................(13)
dimana
Wt3-4 = kerja spesifik ideal yang keluar turbin (kJ/kg)
T4 = temperatur gas keluar turbin (K)
T3 = temperatur gas masuk turbin (K)
h4 = entalpi gas keluar turbin ideal (kJ/kg)
Pada proses eksapansi akan terjadi kerugian kalor akibat adanya sistem isolasi
yang kurang sempurna sehingga hanya sebagian kalor yang berguna yang diubah
menjadi energi putaran pada poros turbin. Untuk mengetahui efisiensi turbin maka
dapat digunakan persamaan (Cengel, 2007):
𝜂𝑡 = ℎ3−ℎ4
1
ℎ3−ℎ4 .......................................................................................................(14)
dimana
h41 = entalpi spesifik keluar turbin (kJ/kg)
ηt = efisiensi turbin
Efisiensi turbin dan efisiensi kompresor didapatkan dari data lapangan atau
asumsi untuk memperoleh harga entalpi keluar turbin aktual dan kondisi gas buang
aktual.
Laju Aliran Massa Udara dan Bahan Bakar
Untuk menentukan laju aliran massa udara dan bahan bakar maka dapat dihitung
dengan menggunakan prinsip kesetimbangan energi:
II-13
Pt = Pt Net + Pk
Pt Net = Pt – Pk
= ṁg. Wt – ṁud.Wk
= (ṁud + ṁf) Wt – ṁud. Wk
ṁ𝑢𝑑 =𝑃𝑡 𝑁𝑒𝑡
[1+ṁ𝑓/ṁ𝑢𝑑]𝑊𝑡−𝑊𝑘 ...............................................................................(15)
dimana
ṁf/ ṁud = FAR aktual
Pt Net = daya turbin bersih
Pt = daya turbin total
Pk = daya kompresor
Selain itu untuk mendapatkan nilai laju massa udara dan juga laju massa
bahan bakar yang dibutuhkan dapat diperoleh dari heat rate dan laju massa gas
buang turbin gas itu sendiri. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut:
𝐻𝑒𝑎𝑡 𝑟𝑎𝑡𝑒 =𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝐵𝑎ℎ𝑎𝑛 𝐵𝑎𝑘𝑎𝑟 𝑋 𝐿𝐻𝑉 𝐵𝑎ℎ𝑎𝑛 𝐵𝑎𝑘𝑎𝑟
𝐷𝑎𝑦𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝐾𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑇𝑢𝑟𝑏𝑖𝑛 𝐺𝑎𝑠 .....................................(16)
maka
𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝐵𝑎ℎ𝑎𝑛 𝐵𝑎𝑘𝑎𝑟 =𝐷𝑎𝑦𝑎 𝐵𝑒𝑟𝑠𝑖ℎ 𝐾𝑒𝑙𝑢𝑎𝑟𝑎𝑛 𝑇𝑢𝑟𝑏𝑖𝑛 𝐺𝑎𝑠 𝑋 𝐻𝑒𝑎𝑡 𝑟𝑎𝑡𝑒
𝐿𝐻𝑉 𝐵𝑎ℎ𝑎𝑛 𝐵𝑎𝑘𝑎𝑟 ........(17)
Untuk mendapatkan nilai laju massa udara maka dapat dicari melalui
persamaan laju massa gas buang sebagai berikut:
𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝐺𝑎𝑠 𝐵𝑢𝑎𝑛𝑔 = 𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝐵𝑎ℎ𝑎𝑛 𝐵𝑎𝑘𝑎𝑟 + 𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑈𝑑𝑎𝑟𝑎
𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝑈𝑑𝑎𝑟𝑎 = 𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝐺𝑎𝑠 𝐵𝑢𝑎𝑛𝑔 − 𝐿𝑎𝑗𝑢 𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 𝐵𝑎ℎ𝑎𝑛 𝐵𝑎𝑘𝑎𝑟
ṁ𝑢𝑑 = ṁ𝑔 − ṁ𝑓 ..............................................................................................(18)
dimana
ṁud = laju massa udara (kg/s)
ṁg = laju massa gas buang (kg/s)
ṁf = laju massa bahan bakar (kg/s)
II-14
II.7 Perancangan Kompresor
Fluida kerja pada sebuah kompresor aksial biasanya berupa udara namun untuk
siklus gas turbin tertutup jenis gas lain seperti helium atau karbondioksida harus
digunakan. Apabila siklus turbin gas terbuka maka biasanya fluida kerja yang
digunakan hanya berupa udara yang mana nantinya udara ini akan dikompresi di
dalam kompresor aksial.
Gambar II.12 Tingkat Kompresor Aksial dan T – S diagram
(Cohen, 1996)
Pada Gambar II.12 diperlihatkan gambaran dari tingkat kompresor aksial.
Dengan menerapkan persamaan aliran energi pada rotor dan menganggap bahwa
proses diasumsikan terjadi secara adiabatik maka dapat diketahui daya masukannya
sebagai berikut (Cohen, 1996):
𝑊 = 𝑚𝑐𝑝(𝑇02 − 𝑇01) .......................................................................................(19)
Begitu pula pada stator dimana proses diasumsikan kembali pada keadaan
adiabatik dan disana tidak ada daya masukan, dimana T02=T03. Seluruh daya
terserap pada bagian rotor dan bagian stator hanya mengubah energi kinetik untuk
peningkatan tekanan statik dengan temperatur stagnasi konstan. Peningkatan
tekanan stagnasi dicapai sepenuhnya dalam rotor dan dalam prakteknya akan ada
beberapa penurunan tekanan stagnasi dalam stator akibat gesekan fluida. Kerugian
juga akan terjadi pada rotor dan kenaikan tekanan stagnasi akan lebih kecil/kurang
pada saat diperoleh dengan kompresi isentropik dan daya masukan yang sama.
II-15
Sebuah T-S diagram yang terlihat pada Gambar II.12 menunjukan efek dari
kerugian pada bagian rotor dan juga stator.
Nilai daya masukan yang diperoleh dari termodinamika sederhana tidak
begitu membantu dalam merancang sebuah sudu-sudu pada kompresor. Untuk
merancang sebuah sudu-sudu kompresor kita butuh menghubungkan daya masukan
terhadap segitiga kecepatan pada tingkat kompresor. Perhatian awal akan
difokuskan pada analisis sederhana dari aliran pada pertengahan tinggi sudu dimana
kecepatan keliling dinotasikan dengan U, dengan asumsi aliran terjadi pada bidang
tangensial pada pertengahan jari-jari (mean radius). Pendekatan dua dimensi
memiliki arti bahwa secara umum kecepatan aliran akan memiliki dua komponen,
satu aksial (dilambangkan dengan subskrip a) dan satu tangensial (dilambangkan
dengan subskrip w, mengindikasikan kecepatan relatif putaran/whirl velocity). Hal
ini merupakan analisis yang wajar untuk tingkatan selanjutnya dari kompresor
aksial dimana tinggi sudu kecil dan kecepatan sudu pada root dan tip relatif sama.
Pada bagian depan kompresor sudu harus dibuat lebih panjang. Selain itu
diperlukan pula analisis efek tiga dimensi dalam merancang kompresor yang bisa
dimulai dari variasi kecepatan sudu dari akar (root) menuju ujung (tip).
Vektor segitiga kecepatan dan diagram segitiga kecepatan dari sebuah
kompresor aksial diperlihatkan pada Gambar II.13.
II-16
Gambar II.13 Segitiga kecepatan untuk satu tingkat Kompresor Aksial
(Arismunandar, 2002)
Udara masuk ke dalam rotor dengan kecepatan C1 pada sudut α1 dari arah
aksial, menggabungkan C1 secara vektor dengan kecepatan sudu U akan
menghasilkan kecepatan relatif terhadap sudu V1 pada sudut β1 dari arah aksial.
Setelah melalui rotor yang mana akan terjadi peningkatan kecepatan absolut udara,
fluida akan meninggalkan rotor dengan kecepatan relatif V2 pada sudut β2 yang
ditentukan oleh sudut keluaran sudu rotor.
Asumsi desain yang sering dilakukan seperti kecepatan aksial Ca di buat
konstan, nilai dari V2 dapat di cari dan segitiga kecepatan keluaran dapat
digambarkan dengan mengkombinasikan V2 dan U secara vektor untuk
menghasilkan C2 pada sudut α2. Udara kemudian meninggalkan rotor pada α2
kemudian menuju stator dimana udara tersebut kemudian disebarkan ke kecepatan
II-17
C3 pada sudut α3; biasanya dikondisikan C3≈C1 dan α3≈α1 kemudian udara masuk
ke tingkat berikutnya.
Asumsi bahwa CA = CA1 = CA2, dua persamaan dasar yang dapat diturunkan
berdasarkan geometri dari kecepatan segitiga adalah sebagai berikut
(Arismunandar, 2002):
𝑈
𝐶𝐴= cotan 𝛼1 + cotan 𝛽1 .................................................................................(20)
𝑈
𝐶𝐴= cotan 𝛼2 + cotan 𝛽2 ................................................................................(21)
Dengan mempertimbangkan perubahan momentum sudut dari udara yang
melewati rotor, persamaan selanjutnya dari daya masukan ke tingkat kompresor
menjadi (Arismunandar, 2002):
𝑊 = 𝑚𝑈(𝐶𝑢2 − 𝐶𝑢1) .......................................................................................(22)
Dimana Cu1 dan Cu2 merupakan komponen tangensial dari kecepatan fluida
sebelum dan sesudah rotor. Persamaan tersebut kemudian dapat dimasukan
kecepatan aksial dan sudut udara sehingga menghasilkan persamaan
(Arismunandar, 2002):
𝑊 = mU𝐶𝐴(cotan 𝛼2 − cotan 𝛼1) ...................................................................(23)
Akan lebih mudah jika dipersamaan diatas diekspresikan dalam sudut udara
sudu rotor, β1 dan β2. Dapat dilihat dari persamaan sebelumnya bahwa (cotan α2 -
cotan α1) = (cotan β1 - cotan β2). Sehingga daya masukan menjadi (Arismunandar,
2002):
𝑊 = mU𝐶𝐴(cotan 𝛽1 − cotan 𝛽2) ...................................................................(24)
Energi masukan akan diserap dan digunakan untuk meningkatkan tekanan
udara yang dikompresi dan akan terlepas sia-sia untuk mengatasi berbagai kerugian
gesekan. Namun terlepas dari kerugian, atau dengan kata lain dari efisiensi
kompresor, seluruh masukan tersebut akan menyatakan sebagai kenaikan suhu
stagnasi udara. Persamaan kenaikan suhu stagnasi pada tingkat kompresor adalah
sebagai berikut (Arismunandar, 2002):
II-18
𝛥𝑇0𝑆 = 𝑇03 − 𝑇01 = 𝑇02 − 𝑇01 =𝑈𝐶𝐴
𝐶𝑝(cotan 𝛽1 − cotan 𝛽2) .........................(25)
Kenaikan tekanan yang diperoleh akan sangat tergantung pada efisiensi
proses kompresor, seperti yang ditunjukan pada Gambar II.12. Efisiensi isentropik
dinotasikan 𝞰s. Dimana (Cohen, 1996):
𝜂𝑆 = (𝑇03′ − 𝑇01)/(𝑇03 − 𝑇01) .......................................................................(26)
Rasio perbandingan tekanan pada tingkat kompresor adalah (Cohen, 1996):
𝑅𝑆 =𝑝03
𝑝01= [ 1 +
𝜂𝑆𝛥𝑇0𝑆
𝑇01]
𝛾
𝛾−1 ..............................................................................(27)
Sehingga dapat dilihat bahwa untuk memperoleh kenaikan temperatur yang
tinggi pada tingkat kompresor yang diinginkan untuk meminimalkan banyaknya
tingkat untuk rasio perbandingan tekanan keseluruhan seorang desainer kompresor
aksial harus menggabungkan beberapa hal antara lain:
i) Kecepatan sudu tinggi
ii) Kecepatan aksial tinggi
iii) Defleksi fluida tinggi (β1 – β2) pada sudu rotor
Tegangan sudu (blade stresses) akan membatasi kecepatan sudu dan itu akan
terlihat pada bagian selanjutnya pada saat pertimbangan aerodinamis dan
sebelumnya kecuraman tekanan (pressure gradient) dipertimbangkan untuk
membatasi nilai kecepatan aksial dan defleksi fluida pada sudu rotor.
Perancangan Annulus Kompresor Aksial Metode Garis Rata - Rata
Dalam perancangan kompresor hal yang yang pertama dilakukan adalah melakukan
perancangan awal yaitu merancang dimensi anulus kompresor aksial. Perlu
diperhatikan bahwa perancangan anulus kompresor aksial perlu untuk dilakukan
karena dibatasi dengan adanya nilai maksimal dari bilangan mach. Kompresor
aksial dengan tipe diameter rata-rata konstan diperlihatkan pada Gambar II.14.
II-19
Gambar II.14 Anulus diameter rata – rata konstan
dimana
rt1 = jari-jari puncak sisi masukan (m)
rh1 = jari-jari akar/hub sisi masukan (m)
rm = jari-jari rata-rata (m)
rt2 = jari-jari puncak sisi keluaran (m)
rh2 = jari-jari akar/hub sisi keluaran (m)
Untuk mencari nilai jari-jari puncak maka dapat menggunakan persamaan
kontinuitas laju massa (Cohen, 1996):
𝑚 = 𝜌 . 𝐴. 𝐶𝐴 = 𝜌𝜋𝑟𝑡2 [1 − [
𝑟𝑡
𝑟ℎ]
2
𝐶𝐴] .............................................................(28)
dimana
m = laju massa fluida (kg/s)
ρ = densitas fluida (kg/m3)
CA = kecepatan aksial (m/s)
Untuk mencari nilai densitas fluida dapat menggunakan persamaan (Cohen,
1996):
r
t2
r
t1
r
h1
r
h2
r
m
rt1
rh1
rm
Pusat Putar Kompresor
rt2 rh2
rh
rt
II-20
𝜌 = 𝑃
𝑅.𝑇 ..............................................................................................................(29)
dimana
P = tekanan statik udara (bar)
R = konstanta gas udara (0,287 kJ/kg.K)
T = temperatur statik udara (K)
Sehingga untuk untuk mencari nilai jari-jari ujung sudu dapat digunakan
persamaan (Cohen, 1996):
𝑟𝑡2 =
𝑚
𝜋𝜌𝐶𝐴[1−[𝑟𝑡𝑟ℎ
]2
]
............................................................................................(30)
Pada umumnya untuk sisi masukan nilai perbandingan jari-jari akar terhadap
jari-jari puncak dapat diasumsikan 0,4 – 0,6 (Cohen, 1996) Untuk mendapatkan
nilai tinggi sudu dapat menggunakan persamaan (Cohen, 1996):
ℎ = 𝑟𝑡 − 𝑟ℎ .......................................................................................................(31)
atau
ℎ = 𝐴
2𝜋𝑟𝑚 ...........................................................................................................(32)
dimana
𝑟𝑚 = 𝑟𝑡+𝑟ℎ
2 ........................................................................................................(33)
Dengan mensubtitusikan persamaan (32) ke (30) didapatkan persamaan
(Cohen, 1996):
𝑟𝑡 = 𝑟𝑚 +ℎ
2 .......................................................................................................(34)
dan
𝑟ℎ = 𝑟𝑚 −ℎ
2 ......................................................................................................(35)
Untuk mendapatkan kecepatan tangensial sudu pada kompresor aksial maka
dapat menggunakan persamaan (Cohen, 1996):
𝑈 = 2𝜋𝑟𝑁 .........................................................................................................(36)
II-21
Sehingga kecepatan sudu dari pada sudu kompresor aksial akan berbeda-beda
sepanjang tinggi sudu. Berdasarkan (Cohen, 1996) kecepatan tangensial pada
puncak sudu (Ut) lazimnya berada pada nilai 350 m/s untuk penggunaan kompresor
aksial pada turbin gas industri dan untuk fan pada motor turbofan kecepatan
tangensial pada puncak sudu dapat mencapai 450 m/s. Sedangkan nilai kecepatan
aksial (CA) untuk turbin gas berada pada nilai 150 m/s dan untuk pesawat terbang
kecepatan aksial dapat mencapai 200 m/s tergantung dari kecepatan terbang.
Kecepatan aksial pada sisi masukan harus dibatasi karena alasan aerodinamik.
Apabila pada sisi masukan tidak ada katup pengarah masukan maka kecepatan
absolut sama besarnya dengan kecepatan aksial.
Gambar II.15 Segitiga kecepatan
Berdasarkan Gambar II.15 maka kecepatan relatif adalah:
𝑣2 = 𝑈2 + 𝐶𝐴2 ..................................................................................................(37)
Nilai dari kecepatan relatif ini erat kaitannya dengan bilangan mach. Dimana
dalam perancangan anulus kompresor aksial ukuran dari diameter/jari-jari sisi
masukan dibatasi oleh bilangan mach untuk menghindari kejutan dan kerugian
besar dalam kompresor aksial yang dapat mengakibatkan kompresor mati pada
kondisi operasi. Berdasarkan (Cohen, 1996) pada awalnya desain kompresor aksial
harus sedemikian rupa sehingga bilangan mach maksimal pada sisi masukan
puncak sudu rotor harus subsonik (M<1) namun pada awal tahun lima puluhan,
kompresor aksial menjadi mungkin untuk didesain dengan bilangan mach pada sisi
masukan puncak sudu rotor berada pada kondisi transonik(0,8<M<1,3) tanpa
menimbulkan kerugian yang berlebihan. Bilangan mach bisa dikatakan sebagai
satuan kecepatan yang biasa dipakai dalam istilah pesawat terbang dimana bilangan
mach mengekspresikan kecepatan suatu pesawat terbang relatif terhadap kecepatan
II-22
suara. Dengan menggunakan bilangan mach kecepatan dapat dibagi menjadi lima
wilayah yaitu (NASA, 2017):
subsonik (Mach <1,0)
sonik (Mach=1,0)
transonik (0,8<Mach<1,3)
supersonik (Mach>1,0)
hypersonik (Mach>5,0)
Untuk dapat mendapatkan bilangan mach maka dapat menggunakan
persamaan (Cohen, 1996):
𝑀 =𝑣
𝑎 ................................................................................................................(38)
dimana
𝑎 = √𝑘𝑅𝑇 .........................................................................................................(39)
Keterangan
a = kecepatan suara (m/s)
k = isentropik eksponen udara (1,4)
R = tetapan gas udara (0,287 kJ/kg.K)
T = temperatur statik udara (K)
Dalam perkembangannya terdapat berbagai cara untuk mengurangi bilangan
mach pada sisi masukan sebuah mesin kompresor aksial yaitu salah satunya adalah
dengan menggunakan katup pengarah masukan yang variabel. Dengan adanya
katup pengarah masukan akan tercipta nilai kecepatan absolut tangensial sehingga
dapat mengurangi nilai kecepatan relatif Gambar II.16 memperlihatkan pengaruh
penggunan katup pengarah pada sisi masukan kompresor aksial.
II-23
Gambar II.16 Bilangan mach relatif terhadap puncak sudu pada sisi masukan
(Cohen, 1996)
Estimasi Jumlah Tingkat Pada Kompresor Aksial
Salah satu ciri dari kompresor aksial adalah kecilnya harga perbandingan tekanan
per tingkatnya, sehingga kompresor aksial untuk mendapatkan perbandingan
tekanan yang besar dibuat bertingkat banyak. Pada umumnya untuk kompresor
aksial pada industri turbin gas jumlah tingkat yang dibutuhkan 10 – 30 tingkat.
Usaha untuk mengurangi jumlah tingkat ini terus dilakukan dengan meningkatkan
perbandingan tekanan per tingkatnya. Namun di sisi lain hal ini dapat membuat
diameter sisi masukan bertambah besar sehingga dapat meningkatkan bilangan
mach. Untuk dapat mengestimasi jumlah tingkat maka dapat dilakukan dengan
membandingkan kenaikan tekanan total terhadap kenaikan tekanan per tingkatnya
atau dapat pula dengan membandingkan kenaikan temperatur total dengan kenaikan
temperatur per tingkatnya. Untuk mencari kenaikan temperatur per tingkat aktual
maka dapat menggunakan persamaan (Cohen, 1996):
𝛥𝑇0𝑆 =𝜆𝑈𝐶𝐴
𝐶𝑝(cotan 𝛽1 − cotan 𝛽2) .................................................................(40)
II-24
Nilai faktor penyelesaian kerja (work-done factor) λ dapat dilihat pada
lampiran E. Sehingga jumlah tingkat dapat diestimasikan dengan persamaan
(Cohen, 1996):
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 =𝑇02−𝑇01
𝛥𝑇0𝑆 ...............................................................................(41)
dimana
T02 = temperatur total keluaran kompresor (K)
T01 = temperatur total masukan kompresor (K)
Prestasi Kompresor Aksial
Untuk mengetahui karakteristik prestasi dari sebuah kompresor aksial maka
dapat ditampilkan dalam bentuk grafik (pte/pti) versus (mud√𝜃𝑡𝑖/δti) dengan (n/√𝜃𝑡𝑖)
dimana
pte/pti = perbandingan tekaan total udara keluar dan masuk kompresor
mud = laju massa udara (kg/s)
θti = Tti/Tstandar ; Tstandar = 15 o C
δti = pti/pstandar ; pstandar = 1,01325 bar
n = putaran poros per menit (rpm)
Gambar II.17 menunjukkan contoh grafik prestasi kompresor aksial.
Gambar II.17 Grafik prestasi sebuah Kompresor Aksial
(Arismunandar, 1996)
II-25
Sebuah kompresor aksial biasanya digunakan dalam melayani kebutuhan
udara sebuah turbin gas. Dimana salah satu keunggulan kompresor aksial ini adalah
mampu untuk menyuplai kebutuhan udara yang cukup besar. Namun di sisi lain
kompresor aksial memiliki kelemahan yaitu perbandingan tekanan pertingkatnya
relatif kecil. Dari Gambar II.17 terlihat bahwa kompresor aksial memiliki daerah
kerja stabil dan juga daerah kerja tak stabil. Garis surjing merupakan sebuah batas
operasi stabil dan tak stabil dari sebuah kompresor aksial. Dimana kondisi operasi
stabil berada di daerah sebelah kanan batas garis surjing sedangkan daerah sebelah
kiri batas surjing merupakan daerah operasi tak stabil.