Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1. Kajian Teori
2.1.1. Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung
a. Perspektif Teoritis
David Easton, teoritisi politik pertama yang memperkenalkan pendekatan
sistem politik, menyatakan bahwa suatu sistem selalu memiliki sekurang-
kurangnya tiga sifat, ketiga sifat tersebut adalah (1) terdiri dari banyak bagian-
bagian, (2) bagian-bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung, (3)
mempunyai perbatasan (boundaries) yang memisahkannya dari lingkungannya
yang juga terdiri dari sistem lain. Sebagai suatu sistem, sistem Pilkada Langsung
mempunyai bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder (secondary system)
atau sub-sub sistem (subsystems). Bagian-bagian tersebut adalah electoral
regulation, electoral process, dan electoral law enforcement. Electoral regulation
adalah segala ketentuan atau aturan mengenai Pilkada Langsung yang berlaku,
bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih
dalam menunaikan peran dan fungsi masing-masing. Electoral process
dimaksudkan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan Pilkada yang
merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik yang bersifat legal maupun
teknikal. Electoral law enforcement yaitu penegakan hukum terhadap aturan-
aturan Pilkada baik politis, administratif atau pidana. Ketiga bagian Pilkada
Langsung tersebut sangat menentukan sejauh mana kapasitas sistem dapat
menjembatani pencapaian tujuan dari proses awalnya. Masing-masing bagian
9
tidak dapat dipisah-pisahkan karena merupakan suatu kesatuan utuh yang
komplementer.
Mekenisme, prosedur dan tata cara dalam Pilkada Langsung merupakan
dimensi electoral regulation. Secara teknis parameter mekanisme, prosedur dan
tata cara dalam sistem adalah yang terukur (measurable). Ben Reilly
mengonstatasikan tiga ukuran tersebut yang menurutnya juga komplementer dan
tak dapat dipisah-pisahkan. Ketiganya adalah:
1. Sistem pemilihan menerjemahkan jumlah suara yang diperoleh dalam
pemilihan menjadi kursi.
2. Sistem pemilihan bertindak sebagai wahana penghubung yang
memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab pemimpin yang
telah mereka pilih.
3. Sistem pemilihan memberi dorongan terhadap pihak-pihak yang saling
bersaing pengaruh supaya melakukannya dengan cara yang tidak sama.
Pendeknya, untuk memperoleh hasil Pilkada Langsung yang demokratis, proses
yang dilalui pun harus demokratis pula, yang didalamnya mengandung aspek
keadilan, keterbukaan, dan kejujuran.
b. Perspektif Praktis
Kepala daerah adalah jabatan politik dan jabatan publik yang bertugas
memimpin birokrasi menggerakkan jalannya roda pemerintahan. Fungsi-fungsi
pemerintahan terbagi menjadi perlindungan, pelayanan publik dan pembangunan
(protective, public service, and development). Kepala daerah menjalankan fungsi
pengambilan kebijakan atas ketiga fungsi pemerintahan itu. Dalam konteks
10
struktur kekuasaan, kepala daerah adalah kepala eksekutif di daerah. Istilah
jabatan publik mengandung pengertian bahwa kepala daerah menjalankan fungsi
pengambilan kebijakan yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat (publik),
berdampak terhadap rakyat, dan dirasakan oleh rakyat. Oleh sebab itu, kepala
daerah harus dipilih oleh rakyat dan wajib mempertanggungjawabkan
kepercayaan yang telah diberikan kepada rakyat. Adapun dalam pejabat politik
terkandung maksud bahwa mekanisme rekrutmen kepala daerah dilakukan dengan
mekanisme politik, yaitu melalui pemilihan yang melibatkan elemen-elemen
politik, seperti rakyat dan partai-partai politik.
Pilkada merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap
tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik Gubernur/Wakil
Gubernur maupun Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota. Dalam
kehidupan politik di daerah, Pilkada merupakan satu kegiatan, yang nilainya
equivalen dengan pemilihan anggota DPRD. Equivalensi tersebut ditunjukkan
dengan kedudukan yang sejajar antara kepala daerah dan DPRD. Hubungan
kemitraan dijalankan dengan cara melaksanakan fungsi masing-masing sehingga
terbentuk mekanisme check and balances. Oleh sebab itu, Pilkada sesungguhnya
bagian dari sistem politik di daerah. Sistem Pilkada juga bagian sistem politik di
daerah.
Aktor utama sistem Pilkada adalah rakyat, partai politik dan calon kepala
daerah. Ketiga aktor tersebut terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan yang
dilaksanakan dalam rangkaian tahapan-tahapan kegiatan Pilkada Langsung.
Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain: pendaftaran pemilih, pendaftaran calon,
11
penetapan calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan
calon terpilih.
Karena Pilkada Langsung merupakan implementasi demokrasi partisipatoris,
maka nilai-nilai demokrasi menjadi parameter keberhasilan pelaksanaan proses
kegiatan. Nilai-nilai tersebut diwujudkan malalui asas-asas Pilkada Langsung,
yang umumnya terdiri dari langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Sebagai implikasinya proses pelaksanaan tahapan-tahapan kegiatan di atas harus
menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai objektivitas, keterbukaan, keadilan
dan kejujuran. Partai-partai politik mempunyai kepentingan besar untuk
menjadikan calonnya terpilih sehingga tidak mungkin menyerahkan
penyelenggaraan pada mereka. Catatan Pilkada selama ini menunjukkan
penyelenggaraan Pilkada oleh partai-partai politik menimbulkan bias demokrasi,
seperti persekongkolan, nepotisme dan politik uang. Oleh sebab itu, kegiatan-
kegiatan tersebut harus diselenggarakan oleh lembaga yang diatur secara ketat
untuk menjaga dan menjamin dilaksanakannya nilai-nilai objektivitas,
keterbukaan, keadilan dan kejujuran. Lembaga tersebut harus mandiri,
independen, non-partisan dan bebas kepentingan politik dengan tujuan agar dapat
menjamin pelaksanaan masing-masing kegiatan secara tertib dan adil. (Lembaga
Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) Universitas
Wahid Hasyim).
Untuk mengoptimalkan tujuan dan fungsi tersebut perlu lembaga yang secara
formal berfungsi mengawasi pelaksanaan tahapan-tahapan kegiatan tersebut.
Istilah mengoptimalkan diartikan bahwa tugas yang dijalankan untuk tahapan-
12
tahapan kegiatan diselenggarakan dengan sebaik-baiknya menurut kriteria
demokrasi dan ketentuan Perundang-Undangan. Oleh sebab itu, secara struktural
lembaga tersebut menjadi bagian dari penyelenggara namun bersifat otonom,
independen dan non-partisan. Kalau strukturnya diatas membawahi
penyelenggara, keberadaan lembaga bisa memunculkan terjadinya deadlock (jalan
buntu) proses Pilkada apabila optimalisasi tahapan kegiatan yang terhambat
ditafsirkan sebagai kesalahan yang harus dihentikan. Sebaliknya, jika di bawah
atau menjadi bagian dari penyelenggara Pilkada namun tidak bersifat otonom,
tujuan optimalisasi tidak akan tercapai karena mudah diintervensi dan dikooptasi.
Oleh sebab itulah, di beberapa Negara maju lembaga pengawasan pemilihan tidak
dibentuk karena penyelengara benar-benar otonom, independen dan non-partisan.
Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali
disebut Pilkada atau Pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala
daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk
daerah setempat yang memenuhi syarat. Kepala daerah dan wakil kepala daerah
adalah; Gubernur dan Wakil Gubernur untuk Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati
untuk Kabupaten, Walikota dan Wakil Walikota untuk Kota.
Sebelum tahun 2005, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya UU No.
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezim Pemilu,
13
sehingga secara resmi bernama "Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah" atau "Pemilukada". Pilkada pertama yang diselenggarakan
berdasarkan Undang-Undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta Pilkada adalah
pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang
menyatakan bahwa peserta Pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon
perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-Undang ini
menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa
pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh
partai politik lokal.
c. Jenis-Jenis Sistem Pemilu
Sistem pemilihan umum adalah merupakan salah satu instrumen
kelembagaan penting di dalam negara demokrasi. Demokrasi itu di tandai dengan
3 (tiga) syarat yakni; adanya kompetisi di dalam memperebutkan dan
mempertahankan kekuasaan, adanya partisipasi masyarakat, adanya jaminan hak-
hak sipil dan politik. Untuk memenuhi persyaratan tersebut diadakanlah sistem
pemilihan umum, dengan sistem ini kompetisi, partisipasi, dan jaminan hak-hak
politik bisa terpenuhi dan dapat dilihat. Secara sederhana sistem politik berarti
instrumen untuk menerjemahkan perolehan suara di dalam pemilu ke dalam kursi-
kursi yang di menangkan oleh partai atau calon. Sistem pemilu di bagi menjadi
dua kelompok yakni:
14
1. Sistem Distrik (satu daerah pemilihan memilih satu wakil)
Di dalam sistem distrik satu wilayah kecil memilih satu wakil tunggal atas
dasar suara terbanyak, sistem distrik memiliki variasi, yakni:
a. First Past the Post, sistem yang menggunakan single member district dan
pemilihan yang berpusat pada calon, pemenangnya adalah calon yang
memiliki suara terbanyak.
b. The Two Round System, sistem ini menggunakan putaran kedua sebagai
landasan untuk menentukan pemenang pemilu. Hal ini dilakukan untuk
menghasilkan pemenang yang memperoleh suara mayoritas.
c. The Alternative Vote, sama seperti First Past the Post bedanya para
pemilih diberi otoritas untuk menentukan preferensinya melalui penentuan
ranking terhadap calon-calon yang ada.
d. Block Vote, para pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon-calon
yang terdapat dalam daftar calon tanpa melihat afiliasi partai dari calon-
calon yang ada.
2. Sistem Proporsional (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil)
Dalam sistem ini satu wilayah besar memilih beberapa wakil, prinsip utama
di dalam sistem ini adalah adanya terjemahan capaian suara di dalam Pemilu oleh
peserta Pemilu ke dalam alokasi kursi di lembaga perwakilan secara proporsional,
sistem ini menggunakan sistem multimember districts. ada dua macam sistem di
dalam sistem proporsional, yakni;
15
a. List Proportional Representation, disini partai-partai peserta pemilu
menunjukkan daftar calon yang diajukan, para pemilih cukup memilih
partai. Alokasi kursi partai didasarkan pada daftar urut yang sudah ada.
b. The Single Transferable Vote, para pemilih diberi otoritas untuk
menentukan preferensinya, pemenangnya didasarkan atas penggunaan
kuota.
Perbedaan pokok antara Sistem Distrik dan Proporsional adalah bahwa cara
menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi
perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.
Di Indonesia sudah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum sejak
kemerdekaan Indonesia hingga tahun 2009. Sistem pemilihan umum yang di anut
oleh Indonesia dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan
Proporsional, adanya usulan sistem Pemilihan Umum Distrik di Indonesia yang
sempat diajukan, ternyata di tolak. Pemilu-Pemilu paska Soeharto tetap
menggunakan Sistem Proporsional dengan alasan bahwa sistem ini dianggap
sebagai sistem yang lebih pas untuk Indonesia. Hal ini berkaitan dengan tingkat
kemajemukan masyarakat di Indonesia yang cukup besar. Terdapat kekhawatiran
ketika Sistem Distrik di pakai akan banyak kelompok-kelompok yang tidak
terwakili khususnya kelompok kecil. Disamping itu sistem Pemilu merupakan
bagian dari apa yang terdapat dalam UU Pemilu 1999 yang di putuskan oleh para
wakil rakyat yang duduk di DPR. Para wakil rakyat tersebut berpandangan bahwa
Sistem Proporsional itu lebih menguntungkan dari pada Sistem Distrik. Sistem
Proporsional tetap dipilih menjadi sistem Pemilihan Umum di Indonesia bisa jadi
16
sistem ini yang akan terus di pakai. Hal ini tak lepas dari realitas yang pernah
terjadi di Negara-Negara lain bahwa mengubah Sistem Pemilu itu merupakan
sesuatu yang sangat sulit perubahan itu dapat memungkinkan jika terdapat
perubahan politik yang radikal. Di Indonesia sendiri Sistem Proporsional telah
mengalami perubahan-perubahan yakni dari perubahan Proporsional tertutup
menjadi Sistem Proporsional Semi Daftar Terbuka dan Sistem Proporsional
Daftar Terbuka.
Pasca pemerintahan Soeharto 1999, 2004 dan 2009 terdapat perubahan
terhadap Sistem Pemilu di Indonesia yakni terjadinya modifikasi Sistem
proporsional di Indonesia, dari Proporsional Tertutup menjadi Proporsional Semi
Daftar Terbuka. Dilihat dari daerah pemilihan terdapat perubahan antara Pemilu
1999 dengan masa Orde Baru. pada Orde Baru yang menjadi daerah pilihan
adalah Provinsi, alokasi kursinya murni di dasarkan pada perolehan suara di
dalam satu Provinsi, sedangkan di tahun 1999 Provinsi masih sebagai daerah
pilihan namun sudah menjadi pertimbangan Kabupaten/Kota dan alokasi kursi
dari partai peserta Pemilu didasarkan pada perolehan suara yang ada di masing-
masing Provinsi tetapi mulai mempertimbangkan perolehan calon dari masing-
masing Kabupaten/Kota. Pada Pemilu 2004 daerah pemilihan tidak lagi Provinsi
melainkan daerah yang lebih kecil lagi meskipun ada juga daerah pemilihan yang
mencakup satu Provinsi seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung,
Kepulauan Riau, Yogyakarta, Bali, NTB, semua Provinsi di Kalimantan, Sulawesi
Utara dan Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Irian Jaya
Barat. masing-masing daerah pilihan mendapat jatah antara 3-12 kursi. Pada
17
Pemilu 2009 besaran daerah pemilihan untuk DPR diperkecil antara 3-10.
Perbedaan lain berkaitan dengan pilihan terhadap kontestan. pada Pemilu 1999
dan Orde Baru para pemilih cukup memilih tanda gambar kontestan Pemilu. Pada
tahun 2004 para pemilih boleh mencoblos tanda gambar kontestan Pemilu dan
juga mencoblos calonnya. Hal ini dimaksudkan agar pemilih dapat mengenal dan
menentukan siapa yang menjadi wakil di DPR dan memberikan kesempatan pada
calon yang tidak berada di nomor atas untuk terpilih asalkan memenuhi jumlah
Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), dikatakan perubahan Proporsional ini Semi
Daftar Terbuka karena penentuan siapa yang akan mewakili partai didalam
perolehan kursi di DPR/DPRD tidak didasarkan pada perolehan suara tebanyak
melainkan tetap berdasarkan nomor urut, kalaupun di luar nomor urut harus
memiliki suara yang mencukupi BPP.
Sistem Proporsional Semi Daftar Terbuka sendiri pada dasarnya merupakan
hasil sebuah kompromi. dalam pembahasan RUU mengenai hasil Pemilu pada
2002, PDIP, GOLKAR, PPP terang-terangan menolak Sistem Daftar Terbuka,
dikarenakan penentuan Calon Legislatif merupakan hak partai peserta Pemilu.
Memang jika diberlakukannya Sistem Daftar Terbuka akan mengurangi otoritas
partai di dalam menyeleksi Calon Legislatif mana saja yang di pandang lebih pas
duduk di DPR/DPRD. Tetapi tiga partai itu akhirnya menyetujui perubahan hanya
saja perubahannya tidak terbuka secara bebas melainkan setengah terbuka.
Perubahan-perubahan desain kelembagaan seperti itu pada kenyataannya tidak
membawa perubahan yang berarti. Ada beberapa penyebab diantaranya yaitu,
pada kenyataannya para pemilih tetap lebih suka memilih tanda gambar dari pada
18
menggabungkannya dengan memilih calon yang ada di dalam daftar pemilih
karena lebih mudah. Selain itu, di lihat dari tingkat keterwakilan masih
mengandung masalah. Permasalahan ini khususnya berkaitan dengan
perbandingan jumlah suara dengan jumlah alokasi kursi di DPR/DPRD kepada
partai-partai, di sisi lain juga nilai BPP antara daerah pemilihan yang satu dengan
daerah pemilihan yang lain memiliki perbedaan. Hal ini terkait dua hal yakni
pertama terdapat upaya untuk mengakomodasi gagasan adanya keterwakilan yang
berimbang antara Jawa dan luar Jawa, kedua secara kelembagaan terdapat
keputusan bahwa satu daerah pemilihan mininal memiliki 3 kursi, implikasinya
adalah terdapatnya daerah pemilih bahwa BPP nya berada di bawah rata-rata
BPP nasional tetapi ada juga yang berada dia atas BPP nasional.
Mengingat Sistem Pemilu yang sudah di modifikasi dan mengalami sedikit
perbaikan itu masih tidak terlepas dari kekurangan, terdapat usul untuk melakukan
modifikasi Sistem Proporsional lanjutan. Kalau pada Pemilu 2004 sudah dipakai
Sistem Daftar Setengah Terbuka, untuk Pemilu-Pemilu selanjutnya usulan
digunakannya Sistem Daftar Terbuka, di dalam sistem ini digunakan nomor urut
di dalam daftar calon tidak lagi dijadikan ukuran untuk menjadikan calon mana
yang mewakili partai di dalam perolehan kursi sekitarnya tidak ada calon yang
memenuhi BPP yang di jadikan ukurannya adalah calon yang memperoleh suara
terbanyak. Sistem ini juga mendapat dukungan dari PAN akan tetapi PDIP
menolak, sebagimana dikemukakan oleh Tjahjo Kumolo, dengan menghapuskan
nomor urut itu justru membuka peluang money politics dan dianggap
mendeligitimasi keberadaan partai, demikian juga Jusuf Kalla (GOLKAR)
19
menurutnya Sistem Terbuka tanpa nomor urut dapat dilakukan secara teoritis tapi
sulit praktiknya. Perdebatan semacam itu telah di selesaikan di dalam UU Pemilu
No. 10 Tahun 2008. UU ini merupakan aturan dasar untuk Pemilu 2009 di dalam
UU ini memang disebutkan bahwa pada Pemilu 1999 Indonesia menganut Sistem
Daftar Terbuka, tetapi kenyataanya Indonesia masih menganut Sistem Semi
Daftar Terbuka. Hal ini tidak terlepas dari aturan bahwa calon yang memperoleh
suara terbanyak di dalam suatu partai tidak otomatis terpilih menjadi wakil, tapi
yang membedakan dengan Pemilu 2004 adalah bahwa di dalam Pemilu 2009 yang
memperoleh suara minimal 30% dari BPP memiliki kesempatan mewakili partai
di dalam perolehan kursi meskipun tidak berada di nomor urut, jadi, di samping
itu Pemilu 2009 juga memperkuat tuntutan pemberian kepada perempuan, semua
partai wajib menyertakan calon perempuan sebanyak 30%, atau 1 dari setiap 3
calon harus perempuan. Tetapi aturan wajib ini tidak disertai sanksi yang jelas dan
tegas manakala ada partai-partai yang melanggarnya.
Keputusan sebagaimana yang terdapat di dalam UU No. 10 tahun 2008
mengalami perubahan setelah hampir setahun, kemudian MK mengabulkan
tentang suara terbanyak sebagai patokan untuk mengalokasikan kursi kepada
partai-partai yang memperoleh kursi. Keputusan ini menjadikan Sistem Pemilu di
Indonesia benar-benar masuk kedalam kategori Sistem Proporsional Daftar
Terbuka. Calon yang memperoleh suara terbanyak yang akan lolos menjadi
anggota DPR/DPRD dari partai yang memperoleh alokasi kursi. Akibat dari
perubahan-perubahan itu, Pemilu 2009 dan bisa jadi Pemilu-Pemilu selanjutnya
memiliki konsekuensi-konsekuensi tersendiri. Pertama, kompetisi partai semakin
20
kuat seiring di berlakukannya Parliementary Threshold, Parliementary Threshold
adalah dimungkinkannya sistem multipartai sederhana di dalam pemerintahan di
tingkat pusat, multipartai di dalam pemerintahan di daerah dan di Pemilu. Hasil
Pemilu 2009 menunjukkan 9 partai yang mendapat kursi di DPR yaitu Hanura,
Gerindra, PKS, PAN, PKB, GOLKAR, PPP, PDIP, Partai Demokrat karena lolos
Parliementary Threshold dan tidak sedikit juga partai-partai yang tidak memiliki
kursi di DPR tetapi mendapat kursi di DPRD. Hal ini dikarenakan ketentuan
Parliementary Threshold hanya berlaku untuk DPR bukan untuk DPRD. Realitas
ini memperkuat pandangan bahwa aturan main di dalam Sistem Pemilu itu
mewakili implikasi yang cukup besar pada alokasi kursi atau perwakilan dan
kekuatan-kekuatan politik yang ada, dan pengecilan besaran daftar pilih untuk
Pemilu anggota DPR, Kedua, kompetisi internal partai semakin tinggi, Kompetisi
akhir ini mencakup kompetisi antarcalon di dalam setiap Dapil dan antar
calon laki-laki dan perempuan. Kompetisi ini menjadi sangat tinggi setelah
pengalokasian kursi menggunakan mekanisme (suara terbanyak).
d. Asas-Asas Pilkada Langsung
Rumusan mengenai asas-asas Pilkada Langsung tertuang dalam Pasal 56 Ayat
(1) UU No. 32/2004 dan ditegaskan kembali pada Pasal 4 Ayat (3) PP No. 6/2005.
Selengkapnya bunyi Pasal 56 Ayat (1) berbunyi :
“Kepala Daerah danWakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon
yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil.”
Dengan asas-asas tersebut. Dapat dikatakan bahwa Pilkada Langsung di
Indonesia telah menggunakan prinsip yang berlaku umum yang berlaku umum
21
dalam rekrutmen pejabat publik atau pejabat politik yang terbuka. Dalam UU No.
22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, penyelenggara
Pemilihan Umum dalam hal ini KPU, KPU Provinsi maupun KPUD harus
berpedoman pada asas: Mandiri, Jujur, Adil, Kepastian hukum, Tertib
penyelenggara Pemilu, Kepentingan umum, Keterbukaan, Proporsionalitas,
Profesionalitas, Akuntabilitas, Efisiensi, Efektivitas.
2.1.2. Komisi Pemilihan Umum (KPU)
2.1.2.1. Visi dan Misi Komisi Pemilihan Umum (KPU)
1) Visi
Terwujudnya Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilihan Umum
yang memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel, demi
terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan UUD
1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2) Misi
a. Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki
kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan
Pemilihan Umum.
b. Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
adil, akuntabel, edukatif dan beradab.
22
c. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang
bersih, efisien dan efektif.
d. Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara
adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara
konsisten sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
e. Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif
dalam Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat
Indonesia yang demokratis.
2.1.2.2. Tugas dan Wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan
Umum dan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 Tentang
Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja
Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk
melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai
berikut :
1. Merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum.
2. Menerima, meneliti dan menetapkan Partai-Partai Politik yang berhak
sebagai peserta Pemilihan Umum.
3. Membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan
mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat
sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS.
4. Menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk
setiap daerah pemilihan.
23
5. Menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah
pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II.
6. Mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil
Pemilihan Umum.
7. Memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.
Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 terdapat tambahan
huruf:
1. Tugas dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
Sedangkan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tersebut
juga ditambahkan, bahwa selain tugas dan kewenangan KPU sebagai dimaksud
dalam Pasal 10, selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Pemilihan Umum
dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum.
2.1.2.3. Penyelenggara Pilkada Langsung
Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan
KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum
(Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Khusus di Nanggroe Aceh
Darussalam, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP)
dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).
Penyelenggara menentukan kualitas pelaksanaan Pilkada Langsung. Pilkada
Langsung yang berkualitas umumnya diselenggarakan oleh lembaga yang
independen, mandiri dan non-partisan. Dengan kelembagaan penyelenggara yang
demikian, objektivitas dalam arti transparansi dan keadilan bagi pemilih dan
http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemilihan_Umumhttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Panitia_Pengawas_Pemilihan_Umum&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Independen_Pemilihanhttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Panitia_Pengawas_Pemilihan_Aceh&action=edit&redlink=1
24
peserta Pilkada relatif bisa dioptimalkan. Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden tahun 2004 merupakan bukti kinerja kelembagaan
penyelenggara yang independen, mandiri dan non-partisan.
Fungsi utama penyelenggara adalah merencanakan dan menyelenggarakan
tahapan-tahapan kegiatan. Fungsi tersebut bisa optimal apabila dilengkapi
mekanisme kontrol dan pertanggungjawaban (accountability) sehingga
dibutuhkan pengawasan. Ada tiga jenis pengawasan, yakni pengawasan internal,
semi-internal dan eksternal. Pengawasan internal dilaksanakan melalui
mekanisme organisasi yang bersifat struktural dalam bentuk supervisi dan
pengambilan keputusan yang bersifat kolektif kolegial melalui mekanisme pleno.
Pengawasan eksternal diwujudkan melalui pemantauan dan pengawasan oleh
masyarakat, Partai Politik, Pers, dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM). Sedangkan pengawasan semi-internal dilakukan dengan pembentukan
lembaga pengawasan yang mandiri, otonom dan independen namun berada di
dalam struktur penyelenggara yang bertugas mengawasi pelaksanaan tahapan-
tahapan kegiatan. Fungsi utama lembaga pengawas adalah mengoptimalkan
penyelenggaraan tahapan-tahapan kegiatan.
Berbeda dengan penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden yang memposisikan KPU yang bersifat nasional, tetap dan
mandiri sebagai pemegang mandat tunggal penyelenggaraan, UU No. 32/2004
membagi kewenangan penyelenggaraan Pilkada Langsung kepada tiga institusi,
yakni DPRD, KPUD dan Pemerintah Daerah. Secara fungsional, kedudukan
ketiga institusi tersebut berbeda menurut tugas dan wewenangnya.
25
1. DPRD merupakan pemegang otoritas politik.
Dimaksud pemegang otoritas politik adalah bahwa DPRD merupakan
representasi rakyat yang memiliki kedaulatan dan memberikan mandat
penyelenggaraan Pilkada Langsung, berwujud pemberitahuan mengenai
berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah kepada Kepala Daerah dan KPUD.
Karena mekanisme itu bersifat politis, prosedur tersebut berimplikasi pada
kekuatan hukum penyelenggaraan namun tidak berimplikasi pada
pertanggungjawaban secara hukum. Karena KPUD harus bersifat mandiri,
independen dan non-partisan, maka pertanggungjawabannya kepada publik.
Mekanismenya adalah penyampaian laporan pelaksanaan tahapan kegiatan ke
DPRD. Penilaian politis DPRD dilakukan terhadap kinerja (baik atau kurang)
KPUD. Kritik, saran dan aspirasi rakyat disampaikan DPRD dengan tujuan
memperbaiki kinerja KPUD. Dengan demikian, penilaian DPRD tidak memiliki
implikasi hukum, misalnya membatalkan tahapan kegiatan atau membubarkan
KPUD.
Masih sebagai pemegang otoritas politik yang merupakan representasi rakyat,
DPRD juga menyelenggarakan rapat paripurna untuk mendengarkan penyampaian
visi, misi dan program dari Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah. Tujuannya, agar DPRD dan rakyat mengenal visi, misi dan program calon
dengan baik.
2. KPUD sebagai pelaksana teknis.
Sebagai pemegang mandat penyelenggaraan, KPUD secara teknis bertugas
melaksanakan tahapan-tahapan kegiatan, dari tahap pendaftaran pemilih sampai
26
penetapan calon terpilih. KPUD juga membuat regulasi (aturan), mengambil
keputusan dan membuat kebijakan yang harus sesuai dengan koridor hukum dan
ketentuan Perundangan.
3. Pemerintah Daerah menjalankan fungsi fasilitasi.
Pemerintah Daerah berkewajiban memberikan fasilitasi proses Pilkada
Langsung meliputi bidang anggaran, personalia dan kebijakan sebagai eksekutif.
Selain itu, ada beberapa tugas teknis yang harus dilaksanakan untuk menunjang
pelaksanaan tahapan kegiatan.
Konstruksi penyelenggara Pilkada Langsung tersebut memperlihatkan
semangat otonomi daerah atau desentralisasi. KPUD tidak memiliki hubungan
struktural baik dengan DPRD dan Pemerintah Daerah maupun dengan KPU.
KPUD merupakan penyelenggara Pilkada Langsung tertinggi di wilayah kerjanya.
KPUD tidak bertanggung jawab secara hukum kepada DPRD dan Pemerintah
Daerah. Dalam pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota,
KPU Kabupaten/Kota adalah penyelenggara tertinggi dan tidak bertanggung
jawab kepada KPU provinsi atau KPUD dalam pemilihan Gubernur/Wakil
Gubernur, KPU provinsi menjadi penyelenggara tertinggi dan tidak bertanggung
jawab kepada KPU. Masih dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, KPU
Kabupaten/Kota menjadi bagian yang harus memberikan pertanggungjawaban
teknis kepada KPU provinsi. Tanggung jawab politis KPUD adalah kepada publik
melalui DPRD sehingga KPUD menjadi penyelenggara yang benar-benar
independen, mandiri dan non-partisan.
27
KPUD dalam Pilkada Langsung merupakan metamorphosis dari KPU Provinsi
dan KPU Kabupaten/Kota yang dibentuk berdasarkan UU No. 12/2003, KPUD
merupakan lembaga yang bertanggungjawab terhadap berbagai bidang dan aspek
perencanaan, penyelenggaraan, dan pengendalian penyelenggaraan Pilkada
Langsung.
2.1.2.4. Dasar Hukum Penyelenggaraan Pilkada.
Dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
ada beberapa acuan yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. UUD 1945 pada pasal 18
ayat (4) yang berbunyi: Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara
demokratis. Dari pasal 18 ayat (4) tersebut dapat diungkapkan, bahwa kepala
daerah pemerintah di daerah Provinsi sebagai kepala pemerintah disebut
Gubernur, dan Kepala Daerah di daerah Kabupaten sebagai kepala pemerintah
disebut Bupati, serta kepala daerah di daerah Kota sebagai Kepala Daerah disebut
Walikota. Semua jabatan kepala daerah Gubernur, Bupati dan Walikota dilakukan
pemilihan secara demokratis. Pengertian demokratis dijelaskan oleh UU No. 32
Tahun 2004 dengan pertimbangan pemilihan secara demokratis terhadap kepala
daerah tersebut, dengan mengingat bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut
UU No. 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah menyatakan antara lain bahwa DPRD tidak memiliki
tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
28
maka pemilihan secara demokratis dalam UU No. 32 Tahun 2004 dilakukan oleh
rakyat secara langsung. Dalam UU No. 22 Tahun 2003 dalam pasal 61 bahwa
DPRD Provinsi mempunyai fungsi: legislasi, anggaran dan pengawasan.
Disamping UUD 1945 pada pasal 18 ayat (4) dan UU No. 22 Tahun 2003 ada
beberapa dasar hukum yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan dalam
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yaitu UU No. 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 06 Tahun 2005
menjadi acuan sekaligus pedoman bagi KPUD untuk membuat berbagai produk
aturan KPUD berupa Peraturan KPUD yang berkaitan langsung dengan
penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
sebagaimana dijelaskan pada Pasal 65 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004.
Ada beberapa penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, sebagai
berikut:
1. Pemilihan pada pasal 56 sampai pasal 67.
2. Penetapan Pemilih pada pasal 68 sampai dengan pasal 74.
3. Kampanye pada pasal 75 sampai dengan pasal 85.
4. Pemungutan Suara pada pasal 86 sampai dengan pasal 106.
5. Penetapan calon terpilih dan Pelantikan pada pasal 107 sampai dengan
pasal 111.
6. Pemantau Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada pasal
113 dan pasal 114.
29
7. Ketentuan Pidana Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
pada pasal 115 sampai dengan pasal 119.
Sebagai turunan dari UU No. 32 Tahun 2004 pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 06 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,
sebagai berikut:
1. Persiapan Pemilihan pada pasal 2 dan pasal 3.
2. Penyelenggaraan Pemilihan pada pasal 4 sampai dengan pasal 14.
3. Penetapan Pemilih pada pasal 15 sampai dengan pasal 35.
4. Pendaftaran dan Penetapan Pasangan Calon dijelaskan pada pasal 36
sampai dengan pasal 53.
a. Peserta Pemilihan dijelaskan pada pasal 36 sampai dengan pasal 40.
b. Pendaftaran Pasangan Calon dijelaskan pada pasal 41, pasal 42 dan
pasal 138.
c. Penelitian Pasangan Calon dijelaskan pada pasal 43 sampai dengan
pasal 49.
d. Penetapan dan Pengumuman Pasangan Calon dijelaskan pada pasal 50
sampai dengan pasal 53.
5. Kampanye dijelaskan pada pasal 54 sampai dengan pasal 69
a. Pelaksanaan kampanye pada pasal 54 dan pasal 55.
b. Bentuk Kampanye pada pasal 56 sampai dengan pasal 59.
c. Larangan Kampanye pada pasal 60 sampai dengan pasal 63.
d. Dana Kampanye pada pasal 65 sampai dengan pasal 69.
30
6. Pemungutan dan Penghitungan Suara pada pasal 70 sampai dengan pasal
94.
7. Penetapan Calon Terpilih Pengesahan Pengangkatan dan Pelantikan pada
pasal 95 sampai dengan pasal 104.
8. Pengawasan dan Pemantauan Pemilihan pada pasal 105 sampai dengan
pasal 122.
9. Pengawas Pemilihan pada pasal 105 sampai dengan pasal 114.
10. Pemantau Pemilihan pada pasal 115 sampai dengan pasal 122.
UU No. 32 Tahun 2004 dan penjelasan, serta Peraturan Pemerintah No. 06
Tahun 2005 dan penjelasan dijadikan sebagai panduan dalam penyelenggaraan
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
2.1.3. Evaluasi Kinerja
2.1.3.1. Evaluasi
Evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka
(rating) dan penilaian (assessment). Evaluasi kinerja sangat penting untuk menilai
akuntabilitas organisasi dalam menghasilkan pelayanan publik. Akuntabilitas
bukan sekedar kemampuan menunjukkan bagaimana uang publik dibelanjakan,
akan tetapi meliputi apakah uang tersebut dibelanjakan secara ekonomis, efektif,
dan efisien. Pendapat William N. Dunn, istilah evaluasi mempunyai arti yaitu:
“Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal),
pemberian angka (rating) dan penilaian (assessment), kata-kata yang menyatakan
usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan nilainya. Dalam arti
31
yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai
atau manfaat hasil kebijakan” (Dunn, 2003).
Adapun menurut Taliziduhu Ndraha dalam buku Konsep Administrasi dan
Administrasi di Indonesia berpendapat bahwa evaluasi merupakan proses
perbandingan antara standar dengan fakta dan analisa hasilnya (Ndraha, 1989).
Kesimpulannya adalah perbandingan antara tujuan yang hendak dicapai dalam
penyelesaian masalah dengan kejadian yang sebenarnya, sehingga dapat
disimpulkan dengan analisa akhir apakah suatu kebijakan harus direvisi atau
dilanjutkan.
Sudarwan Danim mengemukakan definisi penilaian (evaluating) adalah:
“Proses pengukuran dan perbandingan dari hasil-hasil pekerjaan yang nyatanya
dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya. Ada beberapa hal yang penting
diperhatikan dalam definisi tersebut, yaitu:
1. Bahwa penilaian merupakan fungsi organik karena pelaksanaan fungsi
tersebut turut menentukan mati hidupnya suatu organisasi.
2. Bahwa penilaian itu adalah suatu proses yang berarti bahwa penilaian
adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan oleh administrasi dan
manajemen.
3. Bahwa penilaian menunjukkan jurang pemisah antara hasil pelaksanaan
yang sesungguhnya dengan hasil yang seharusnya dicapai” (Danim, 2000).
Evaluasi mempunyai karakteristik yang membedakannya dari metode-metode
analisis kebijakan lainnya yaitu:
32
1. Fokus nilai. Evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipusatkan pada
penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan
program.
2. Interdependensi Fakta-Nilai. Tuntutan evaluasi tergantung baik ”fakta”
maupun “nilai”.
3. Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau. Tuntutan evaluatif, berbeda
dengan tuntutan-tuntutan advokat, diarahkan pada hasil sekarang dan masa
lalu, ketimbang hasil di masa depan.
4. Dualitas nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai
kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus
cara. (Dunn, 2003)
Berdasarkan penjelasan di atas, karakteristik evaluasi terdiri dari empat
karakter. Yang pertama yaitu fokus nilai, karena evaluasi adalah penilaian dari
suatu kebijakan dalam ketepatan pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan. Kedua
yaitu interdependensi fakta-nilai, karena untuk menentukan nilai dari suatu
kebijakan bukan hanya dilihat dari tingkat kinerja tetapi juga dilihat dari bukti
atau fakta bahwa kebijakan dapat memecahkan masalah tertentu. Ketiga yaitu
orientasi masa kini dan masa lampau, karena tuntutan evaluatif diarahkan pada
hasil sekarang dan masa lalu sehingga hasil evaluasi dapat dibandingkan nilai dari
kebijakan tersebut. Keempat yaitu dualitas nilai, karena nilai-nilai dari evaluasi
mempunyai arti ganda baik rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada
maupun nilai yang diperlukan dalam mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain.
2.1.3.2. Kinerja.
33
Kinerja (Performance) adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari
fungsi-fungsi pekerjaan/kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu. (Bernardin
dan Russel, 1993 dalam As’ad : 2003).
Kinerja adalah penampilan hasil kerja pegawai baik secara kuantitas maupun
kualitas, kinerja dapat berupa penampilan kerja perorangan maupun kelompok,
kinerja organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dan agregasi kinerja
sejumlah individu dalam organisasi. (Yaslis Ilyas, 2003)
Kinerja mengandung dua komponen: kompetensi berarti individu atau
organisasi memiliki kemampuan untuk mengidentifikasikan tingkat kinerjanya,
produktivitas adalah kompetensi tersebut dapat diterjemahkan kedalam tindakan
atau kegiatan-kegiatan yang tepat untuk mencapai hasil kinerja (outcome) (Yaslis
Ilyas, 2002).
Kinerja merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasikan
kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi
dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi atau perusahaan serta
mengetahui dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan operasional. Mink
(1993) mengemukakan pendapatnya bahwa individu yang memiliki kinerja yang
tinggi memiliki beberapa karakteristik, yaitu diantaranya: berorientasi pada
prestasi, memiliki percaya diri, berpengendalian diri dan kompetensi.
Evaluasi kinerja disebut juga “Performance evaluation” atau “Performance
appraisal”. Leon C. Mengginson mengemukakan evaluasi kinerja atau penilaian
prestasi adalah “penilaian prestasi kerja (Performance appraisal), suatu proses
yang digunakan pimpinan untuk menentukan apakah seseorang karyawan
34
melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.” (Dalam
Mangkunegara, 2005). Berdasarkan pendapat tersebut, maka evaluasi kinerja
merupakan suatu proses penilaian kinerja aparatur yang dilakukan untuk melihat
tanggung jawab pekerjaannya setiap hari apakah terjadi peningkatan atau
penurunan sehingga pemimpin bisa memberikan suatu motivasi penunjang untuk
melihat kinerja aparatur kedepannya.
Evaluasi kinerja kemudian di definisikan oleh Society for Human Resource
Management yaitu “The process of evaluting how well employees perform their
jobs when compared to a set of standards, and then communicating that
information to employees. (Proses mengevaluasi sejauh mana kinerja aparatur
dalam bekerja ketika dibandingkan dengan serangkaian standar, dan
mengkomunikasikan informasi tersebut pada aparatur).” (Dalam Wirawan 2009).
Berdasarkan definisi tersebut, maka evaluasi kinerja merupakan suatu proses
untuk mengetahui sejauh mana kinerja aparatur bila dibandingan dengan
serangkaian standarisasi yang dilakukan untuk bekerja sesuai komunikasi
informasi yang telah diberikan oleh pimpinan. Evaluasi kinerja dilakukan juga
untuk menilai seberapa baik aparatur bekerja setelah menerima informasi dan
berkomunikasi dengan aparatur yang lain agar pekerjaan sesuai dengan kemauan
pimpinan dan kinerja para aparatur itu sendiri dapat terlihat secara baik oleh
pimpinan dan masyarakat selaku penilai.
Fungsi evaluasi kinerja yang dikemukakan Wirawan (2009) sebagai berikut :
1. Memberikan balikan kepada aparatur ternilai mengenai kinerjanya. Ketika
merekrut pegawai (ternilai), aparatur harus melaksanakan pekerjaan yang
35
ditugaskan kepadanya sesuai dengan uraian tugas, prosedur operasi, dan
memenuhi standar kinerja.
2. Alat promosi dan demosi. Hampir disemua sistem evaluasi kinerja, hasil
evaluasi digunakan untuk mengambil keputusan memberikan promosi
kepada aparatur ternilai yang kinerjanya memenuhi ketentuan pemberian
promosi. Promosi dapat berupa kenaikan gaji, pemberian bonus atau
komisi, kenaikan pangkat atau menduduki jabatan tertentu. Sebaliknya,
jika kinerja aparatur ternilai tidak memenuhi standar atau buruk, instansi
menggunakan hasilnya sebagai dasar untuk memberikan demosi berupa
penurunan gaji, pangkat atau jabatan aparatur ternilai.
3. Alat memotivasi ternilai. Kinerja ternilai yang memenuhi standar, sangat
baik, atau superior, evaluasi kinerja merupakan alat untuk memotivasi
kinerja aparatur. Hasil evaluasi dapat digunakan instansi untuk memotivasi
aparatur agar mempertahankan kinerja yang superior dan meningkatkan
kinerja baik atau sedang.
4. Penentuan dan pengukuran tujuan kinerja. Sistem evaluasi kinerja yang
menggunakan prinsip managemen by objectives, evaluasi kinerja dimulai
dengan menentukan tujuan atau sasaran kerja aparatur ternilai pada awal
tahun.
5. Konseling kinerja buruk. Evaluasi kinerja, tidak semua aparatur mampu
memenuhi standar kinerjanya atau kinerjanya buruk. Hal itu mungkin
karena ia menghadapi masalah pribadi atau ia tidak berupaya
menyelesaikan pekerjaannya secara maksimal. Bagi aparatur seperti ini
36
penilai akan memberikan konseling mengenai penyebab rendahnya kinerja
ternilai dan mengupayakan peningkatan kinerja ditahun mendatang.
Konseling dapat dilakukan sebelum evaluasi kinerja jika atasan dapat
mengetahui kelambanan aparatur.
6. Pemberdayaan aparatur. Evaluasi kinerja merupakan alat untuk
memberdayakan aparatur agar mampu menaiki tangga atau jenjang karier.
Evaluasi kinerja menentukan apakah kinerja aparatur dapat dipergunakan
sebagai ukuran untuk meningkatkan kariernya. (Wirawan, 2009)
Berdasarkan fungsi di atas, evaluasi kinerja merupakan alat yang digunakan
oleh instansi pemerintahan atau organisasi tertentu untuk menilai kinerja para
aparatur yang lamban. Evaluasi kinerja untuk memotivasi para aparatur untuk
meningkatkan kinerjanya, pemberian konseling membantu para aparatur untuk
mencegah kinerja yang terlalu lamban sehingga sebelum diadakan evaluasi kinerja
para pemimpin sudah lebih dulu menjalankan konseling untuk mengadakan
perbaikan pada waktu mendatang. Evaluasi kinerja merupakan alat motivasi bagi
para aparatur untuk menaikkan standar kerja mereka, selain sebagai alat untuk
memotivasi, evaluasi kinerja juga untuk mengukur tujuan kerja serta
memberdayakan para aparatur.
2.1.3.3. Pengukuran Kinerja dan Akuntabilitas Publik.
Tugas utama Pemerintah sebagai organisasi sektor publik terbesar adalah
untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat
merupakan sebuah konsep yang sangat multi kompleks. Kesejahteraan masyarakat
tidak hanya berupa kesejahteraan fisik yang bersifat material saja, namun
37
termasuk kesejahteraan nonfisik yang lebih bersifat inmaterial. Dalam suatu
negara yang berbentuk Kerajaan Negara memiliki Raja, namun dalam Negara
berbentuk Republik yang dimiliki Negara adalah rakyat atau masyarakat. Oleh
karena itu, rakyat atau masyarakat yang harus dilayani oleh Negara. Negara
berkewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya.
Dalam suatu pemerintahan demokrasi, hubungan antara pemerintah dan
masyarakat dapat digambarkan sebagai suatu hubungan keagenan (agency
relationship), dalam hal ini pemerintah berfungsi sebagai agen yang diberi
kewenangan untuk melaksanakan kewajiban tertentu yang ditentukan oleh
masyarakat kewenangan untuk melaksanakan kewajiban tertentu yang ditentukan
oleh masyarakat sebagai prinsipal, baik secara langsung maupun tidak langsung
melalui wakil-wakilnya. Dalam hubungan keagenan, pemerintah sebagai agen
harus melaksanakan apa yang menjadi kepentingan masyarakat sebagai
prinsipalnya. Apabila pemerintah yang berkuasa tidak bekerja untuk kepentingan
masyarakat, maka masyarakat sebagai prinsipal dapat memberikan sanksi kepada
agennya, misalnya dengan tidak memilihnya untuk periode berikutnya atau
mengganti pemerintah yang sedang memegang kekuasaan saat itu.
Hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang demikian merupakan
sebuah hubungan pertanggungjawaban, dalam hal ini pemerintah sebagai agen
harus mempertanggungjawabkan aktivitas dan kinerjanya kepada masyarakat
yang telah memberikan dana (public fund) kepada pemerintah.
Pertanggungjawaban kepada masyarakat ini disebut akuntabilitas publik.
Berdasarkan teori keagenan tidak ada jaminan agen (pemerintah) selalu bertindak
38
atas kepentingan prinsipal (masyarakat). Pemerintah sebagai agen memiliki
perilaku oportunis (opportunistic behavior), yaitu pemerintah bertindak untuk
kepentingan dan kesejahteraannya sendiri bukan kesejahteraan masyarakat yang
menjadi prinsipalnya (Watt dan Zimmerman, 1986, Godfrey et al, 1997).
Dalam hubungan keagenan seringkali muncul masalah berupa adanya
informasi asimetrik, yaitu informasi yang tidak dimiliki secara sama oleh tiap-tiap
pihak. Pemerintah memiliki informasi yang lebih banyak mengenai kinerja
organisasi yang sesungguhnya, sedangkan masyarakat hanya memperoleh
informasi kinerja secara terbatas atau bahkan tidak sama sekali. Permasalahan lain
yang mungkin muncul dalam hubungan keagenan adalah adanya moral hazard.
Moral hazard memiliki banyak bentuk, dalam konteks kepada masyarakat luas,
dilakukannya korupsi, kolusi dan nepotisme. Pemberian informasi mengenai
kinerja pemerintah kepada masyarakat merupakan cara untuk mengurangi
informasi asimetrik di sektor publik.
Di samping itu, di tubuh pemerintah sendiri dikembangkan hubungan patron-
client antara pemerintah yang sedang berkuasa dengan patron-patron politiknya.
Hubungan ini seringkali bertujuan untuk mengamankan dan melanggengkan
kekuasaan. Hubungan patron-client ini dapat berupa konspirasi antara pemerintah
yang sedang berkuasa dengan partai politik terbesar, militer, pelaku pasar atau
kaum kapitalis, dan kaum intelektual untuk menciptakan hegemoni politik.
Apabila hubungan patron-client tersebut semakin kuat, maka efek negatif
yang mungkin muncul adalah lahirnya rezim berkuasa secara otoriter dan absolut.
Di samping itu, kekuasaan yang absolut tersebut akan semakin sulit dikontrol
39
masyarakat dan menimbulkan korupsi yang akut. Untuk meminimalkan dan
mengantisipasi timbulnya pemerintahan yang menyimpang tersebut diperlukan
suatu sistem akuntabilitas publik. Untuk menciptakan sistem akuntabilitas publik
yang baik diperlukan saluran-saluran akuntabilitas yang bersistem dengan baik
sehingga sistem tersebut mampu mencegah berbagai bentuk penyimpangan yang
mungkin terjadi (Mulgan, 1997).
2.1.3.4. Dimensi Akuntabilitas Publik.
Kewajiban agen untuk mengelola sumber daya, melaporkan dan
mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan
sumber daya publik kepada pihak pemberi mandat (principal). Dalam konteks
organisasi pemerintah, akuntabilitas publik adalah pemberian informasi atas
aktivitas dan kinerja pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Penekanan utama akuntabilitas publik adalah pemberian informasi kepada publik
dan konstituen lainnya yang menjadi pemangku kepentingan (stakeholder).
Akuntabilitas publik juga terkait dengan kewajiban untuk menjelaskan dan
menjawab pertanyaan mengenai apa yang telah, sedang dan direncanakan akan
dilakukan organisasi sektor publik.
Akuntabilitas berbeda dengan konsep responsibilitas (responsibility).
Akuntabilitas dapat dilihat sebagai salah satu elemen dalam konsep responsibilitas.
Akuntabilitas berarti kewajiban mempertanggungjawabkan apa yang telah
dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang, sedangkan responsibilitas
merupakan akuntabilitas yang berkaitan dengan kewajiban untuk menjelaskan
kepada orang/pihak lain yang memiliki kewenangan untuk meminta
40
pertanggungjawaban dan memberikan penilaian. Namun harus diingat bahwa
tuntutan akuntabilitas harus diikuti dengan pemberian kapasitas untuk
melaksanakan, keleluasaan (diskresi), dan kewenangan.
Akuntabilitas publik terdiri atas dua macam, yaitu akuntabilitas vertikal
(vertical accountability) dan akuntabilitas horizontal (horizontal accountability).
Akuntabilitas vertikal (vertical accountability) adalah akuntabilitas kepada
otoritas yang lebih tinggi, misalnya akuntabilitas kepala dinas kepada Bupati atau
Walikota, Menteri kepada Presiden, Kepala Unit kepada Kepala Cabang, Kepala
Cabang kepada CEO, dan sebagainya. Akuntabilitas horizontal (horizontal
accountability) adalah akuntabilitas kepada publik secara luas atau terhadap
sesama lembaga lainnya yang tidak memiliki hubungan atasan bawahan.
Akuntabilitas publik harus dilakukan oleh organisasi sektor publik terdiri atas
beberapa aspek. Dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh lembaga-
lembaga publik tersebut antara lain (Hopwood dan Tomkins, 1984; Elwood,
1993):
1. Akuntabilitas Hukum dan Kejujuran (accountability for probity and
legality)
Akuntabilitas lembaga-lembaga publik untuk berperilaku jujur dalam bekerja
dan menaati ketentuan hukum yang berlaku. Akuntabilitas hukum berkaitan
dengan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam
menjalankan organisasi, sedangkan akuntabilitas kejujuran berkaitan dengan
penghindaran penyalahgunaan jabatan (abuse of power), korupsi dan kolusi.
Akuntabilitas hukum menuntut penegakan hukum (law enforcement), sedangkan
41
akuntabilitas kejujuran menuntut adanya praktik organisasi yang sehat tidak
terjadi malpraktik dan maladministrasi.
2. Akuntabilitas Manajerial (managerial accountability)
Pertanggungjawaban lembaga publik untuk melakukan pengelolaan organisasi
secara efisien dan efektif. Akuntabilitas manajerial dapat juga diartikan sebagai
akuntabilitas kinerja (performance accountability). Inefisiensi organisasi publik
adalah menjadi tanggung jawab lembaga yang bersangkutan dan tidak boleh
dibebankan kepada klien atau customer-nya. Akuntabilitas manajerial juga
berkaitan dengan akuntabilitas proses (process accountability) yang berarti bahwa
proses organisasi harus dapat dipertanggungjawabkan, dengan kata lain tidak
terjadi inefisiensi dan ketidakefektifan organisasi. Analisis terhadap sektor publik
akan banyak berfokus pada akuntabilitas manajerial. Namun perlu dipahami
bahwa akuntabilitas manajerial ini berbeda dengan akuntabilitas komersial.
Akuntabilitas manajerial merupakan akuntabilitas bawahan kepada atasan dalam
suatu organisasi, sedangkan akuntabilitas komersial merupakan akuntabilitas
suatu perusahaan kepada pemiliknya misalnya akuntabilitas perusahaan
BUMN/BUMD kepada pemerintah sebagai pemilik. Akuntabilitas manajerial
menjadi perhatian utama manajer sektor publik dalam melaksanakan sistem
manajemen berbasis kinerja.
3. Akuntabilitas Program (program accountability)
Akuntabilitas program berkaitan dengan pertimbangan apakah tujuan yang
ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah organisasi telah
mempertimbangkan alternatif program yang memberikan hasil yang optimal
42
dengan biaya yang minimal. Lembaga-lembaga publik harus
mempertanggungjawabkan program yang telah dibuat sampai pada pelaksanaan
program. Dengan kata lain akuntabilitas program berarti bahwa program-program
organisasi hendaknya merupakan program yang bermutu yang mendukung
strategi dan pencapaian misi, visi dan tujuan organisasi.
4. Akuntabilitas Kebijakan (policy accountability)
Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban lembaga publik
atas kebijakan-kebijakan yang diambil. Lembaga-lembaga publik hendaknya
dapat mempertanggungjawabkan kebijakan yang telah ditetapkan dengan
mempertimbangkan dampak dimasa depan. Dalam membuat kebijakan harus
dipertimbangkan apa tujuan kebijakan tersebut, mengapa kebijakan itu diambil,
siapa sasarannya, pemangku kepentingan (stakeholder) mana yang akan
terpengaruh dan memperoleh manfaat dan dampak (negatif) atas kebijakan
tersebut.
5. Akuntabilitas Finansial (financial accountability)
Pertanggungjawaban lembaga-lembaga publik untuk menggunakan uang
publik (public money) secara ekonomi, efisien dan efektif, tidak ada pemborosan
dan kebocoran dana serta korupsi. Akuntabilitas finansial menekankan pada
ukuran anggaran dan finansial. Akuntabilitas finansial sangat penting karena
pengelolaan keuangan publik akan menjadi perhatian utama masyarakat.
Akuntabilitas finansial mengharuskan lembaga-lembaga publik untuk membuat
laporan keuangan untuk menggambarkan kinerja finansial organisasi kepada
pihak luar. Meskipun informasi mengenai kinerja finansial sangat penting, namun
43
saat ini ada keyakinan bahwa ukuran kerja finansial saja tidak cukup, karena
ukuran finansial hanya menggambarkan salah satu aspek kinerja organisasi secara
keseluruhan. Untuk memperbaiki sistem pengukuran kinerja dan akuntabilitas
kepada berbagai pemangku kepentingan yang berbeda-beda, ukuran kinerja
nonfinansial harus dikembangkan dalam organisasi sektor publik. Ukuran
nonfinansial dalam menentukan akuntabilitas hasil semakin penting dalam sistem
manajemen berbasis kinerja. Akuntansi sektor publik memiliki peran yang sangat
penting dalam mendorong terciptanya akuntabilitas finansial. Kekuatan utama
akuntansi adalah pada pemberian informasi. Informasi keuangan merupakan
produk akuntansi yang sangat powerful untuk mempengaruhi pengambilan
keputusan, meskipun informasi bukanlah satu-satunya informasi yang dibutuhkan
untuk mendukung pengambilan keputusan.
2.2. Penelitian yang Relevan
Dalam penyusunan karya ilmiah ini mengacu pada hasil penelitian skripsi oleh
Pradipta Budhi Setyawan mahasiswa Universitas Sebelas Maret Tahun 2010 yang
berjudul “Evaluasi kinerja Komisi Pemilihan Umum Daerah Ponorogo Dalam
Penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 Di Kabupaten
Ponorogo”, bahwa Kinerja Komisi Pemilihan Umum Daerah Ponorogo dalam
penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 termasuk dalam
kategori cukup dilihat dari indikator Responsivitas, Responsibilitas, Akuntabilitas,
Transparansi.
2.3. Kerangka Berpikir Penelitian
44
Kerangka Penelitian adalah model konseptual tentang bagaimana teori
berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah
yang penting, kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah:
Bagan 2.1
Kerangka Pikir Penelitian
KPU Kota Salatiga dalam Penyelengaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah
Kota Salatiga terbagi dalam tiga tahap yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan
dan tahap penyelesaiaan dengan hasil terpilihnya Calon Walikota terpilih
Yulianto, SE. MM dan H. Muh. Haris, SS. MM, namun dalam tahap penyelesaian
KPU Kota Salatiga mendapat gugatan PHPU dari Pasangan Calon Ir. Hj. Diah
Sunarsasi dan M. Teddy Sulistio, SE oleh karena itu dilaksanakan evaluasi
penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
yang dilihat dari dimensi Akuntabilitas Publik yang terbagi dalam Akuntabilitas
Hukum dan Kejujuran, Akuntabilitas Program, Akuntabilitas Kebijakan,
Akuntabilitas manajerial dan Akuntabilitas Finansial sehingga dari hasil evaluasi
Hasil Kinerja KPU
Kota Salatiga
Evaluasi Kinerja KPUD
Dimensi kinerja :
1. Akuntabilitas Hukum dan
Kejujuran.
2. Akuntabilitas Manajerial.
3. Akuntabilitas Program.
4. Akuntabilitas Kebijakan.
5. Akuntabilitas Finansial.
Hasil Pilkada Pelaksanaan
Pilkada
Umpan Balik
Untuk Pilkada Berikutnya
Persiapan Pilkada
Penyelesaian
Pilkada
KPU Kota Salatiga
45
tersebut akan dijadikan umpan balik untuk KPU Kota Salatiga untuk
penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
kedepan.