38
8 BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung a. Perspektif Teoritis David Easton, teoritisi politik pertama yang memperkenalkan pendekatan sistem politik, menyatakan bahwa suatu sistem selalu memiliki sekurang- kurangnya tiga sifat, ketiga sifat tersebut adalah (1) terdiri dari banyak bagian- bagian, (2) bagian-bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung, (3) mempunyai perbatasan (boundaries) yang memisahkannya dari lingkungannya yang juga terdiri dari sistem lain. Sebagai suatu sistem, sistem Pilkada Langsung mempunyai bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder (secondary system) atau sub-sub sistem (subsystems). Bagian-bagian tersebut adalah electoral regulation, electoral process, dan electoral law enforcement. Electoral regulation adalah segala ketentuan atau aturan mengenai Pilkada Langsung yang berlaku, bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih dalam menunaikan peran dan fungsi masing-masing. Electoral process dimaksudkan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan Pilkada yang merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik yang bersifat legal maupun teknikal. Electoral law enforcement yaitu penegakan hukum terhadap aturan- aturan Pilkada baik politis, administratif atau pidana. Ketiga bagian Pilkada Langsung tersebut sangat menentukan sejauh mana kapasitas sistem dapat menjembatani pencapaian tujuan dari proses awalnya. Masing-masing bagian

BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Sistem ... › bitstream › 123456789...mencakup satu Provinsi seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Yogyakarta,

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8

    BAB II

    LANDASAN TEORITIS

    2.1. Kajian Teori

    2.1.1. Sistem Pemilihan Kepala Daerah Langsung

    a. Perspektif Teoritis

    David Easton, teoritisi politik pertama yang memperkenalkan pendekatan

    sistem politik, menyatakan bahwa suatu sistem selalu memiliki sekurang-

    kurangnya tiga sifat, ketiga sifat tersebut adalah (1) terdiri dari banyak bagian-

    bagian, (2) bagian-bagian itu saling berinteraksi dan saling tergantung, (3)

    mempunyai perbatasan (boundaries) yang memisahkannya dari lingkungannya

    yang juga terdiri dari sistem lain. Sebagai suatu sistem, sistem Pilkada Langsung

    mempunyai bagian-bagian yang merupakan sistem sekunder (secondary system)

    atau sub-sub sistem (subsystems). Bagian-bagian tersebut adalah electoral

    regulation, electoral process, dan electoral law enforcement. Electoral regulation

    adalah segala ketentuan atau aturan mengenai Pilkada Langsung yang berlaku,

    bersifat mengikat dan menjadi pedoman bagi penyelenggara, calon dan pemilih

    dalam menunaikan peran dan fungsi masing-masing. Electoral process

    dimaksudkan seluruh kegiatan yang terkait secara langsung dengan Pilkada yang

    merujuk pada ketentuan perundang-undangan baik yang bersifat legal maupun

    teknikal. Electoral law enforcement yaitu penegakan hukum terhadap aturan-

    aturan Pilkada baik politis, administratif atau pidana. Ketiga bagian Pilkada

    Langsung tersebut sangat menentukan sejauh mana kapasitas sistem dapat

    menjembatani pencapaian tujuan dari proses awalnya. Masing-masing bagian

  • 9

    tidak dapat dipisah-pisahkan karena merupakan suatu kesatuan utuh yang

    komplementer.

    Mekenisme, prosedur dan tata cara dalam Pilkada Langsung merupakan

    dimensi electoral regulation. Secara teknis parameter mekanisme, prosedur dan

    tata cara dalam sistem adalah yang terukur (measurable). Ben Reilly

    mengonstatasikan tiga ukuran tersebut yang menurutnya juga komplementer dan

    tak dapat dipisah-pisahkan. Ketiganya adalah:

    1. Sistem pemilihan menerjemahkan jumlah suara yang diperoleh dalam

    pemilihan menjadi kursi.

    2. Sistem pemilihan bertindak sebagai wahana penghubung yang

    memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab pemimpin yang

    telah mereka pilih.

    3. Sistem pemilihan memberi dorongan terhadap pihak-pihak yang saling

    bersaing pengaruh supaya melakukannya dengan cara yang tidak sama.

    Pendeknya, untuk memperoleh hasil Pilkada Langsung yang demokratis, proses

    yang dilalui pun harus demokratis pula, yang didalamnya mengandung aspek

    keadilan, keterbukaan, dan kejujuran.

    b. Perspektif Praktis

    Kepala daerah adalah jabatan politik dan jabatan publik yang bertugas

    memimpin birokrasi menggerakkan jalannya roda pemerintahan. Fungsi-fungsi

    pemerintahan terbagi menjadi perlindungan, pelayanan publik dan pembangunan

    (protective, public service, and development). Kepala daerah menjalankan fungsi

    pengambilan kebijakan atas ketiga fungsi pemerintahan itu. Dalam konteks

  • 10

    struktur kekuasaan, kepala daerah adalah kepala eksekutif di daerah. Istilah

    jabatan publik mengandung pengertian bahwa kepala daerah menjalankan fungsi

    pengambilan kebijakan yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat (publik),

    berdampak terhadap rakyat, dan dirasakan oleh rakyat. Oleh sebab itu, kepala

    daerah harus dipilih oleh rakyat dan wajib mempertanggungjawabkan

    kepercayaan yang telah diberikan kepada rakyat. Adapun dalam pejabat politik

    terkandung maksud bahwa mekanisme rekrutmen kepala daerah dilakukan dengan

    mekanisme politik, yaitu melalui pemilihan yang melibatkan elemen-elemen

    politik, seperti rakyat dan partai-partai politik.

    Pilkada merupakan rekrutmen politik yaitu penyeleksian rakyat terhadap

    tokoh-tokoh yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah, baik Gubernur/Wakil

    Gubernur maupun Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota. Dalam

    kehidupan politik di daerah, Pilkada merupakan satu kegiatan, yang nilainya

    equivalen dengan pemilihan anggota DPRD. Equivalensi tersebut ditunjukkan

    dengan kedudukan yang sejajar antara kepala daerah dan DPRD. Hubungan

    kemitraan dijalankan dengan cara melaksanakan fungsi masing-masing sehingga

    terbentuk mekanisme check and balances. Oleh sebab itu, Pilkada sesungguhnya

    bagian dari sistem politik di daerah. Sistem Pilkada juga bagian sistem politik di

    daerah.

    Aktor utama sistem Pilkada adalah rakyat, partai politik dan calon kepala

    daerah. Ketiga aktor tersebut terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan yang

    dilaksanakan dalam rangkaian tahapan-tahapan kegiatan Pilkada Langsung.

    Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain: pendaftaran pemilih, pendaftaran calon,

  • 11

    penetapan calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan

    calon terpilih.

    Karena Pilkada Langsung merupakan implementasi demokrasi partisipatoris,

    maka nilai-nilai demokrasi menjadi parameter keberhasilan pelaksanaan proses

    kegiatan. Nilai-nilai tersebut diwujudkan malalui asas-asas Pilkada Langsung,

    yang umumnya terdiri dari langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

    Sebagai implikasinya proses pelaksanaan tahapan-tahapan kegiatan di atas harus

    menegakkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai objektivitas, keterbukaan, keadilan

    dan kejujuran. Partai-partai politik mempunyai kepentingan besar untuk

    menjadikan calonnya terpilih sehingga tidak mungkin menyerahkan

    penyelenggaraan pada mereka. Catatan Pilkada selama ini menunjukkan

    penyelenggaraan Pilkada oleh partai-partai politik menimbulkan bias demokrasi,

    seperti persekongkolan, nepotisme dan politik uang. Oleh sebab itu, kegiatan-

    kegiatan tersebut harus diselenggarakan oleh lembaga yang diatur secara ketat

    untuk menjaga dan menjamin dilaksanakannya nilai-nilai objektivitas,

    keterbukaan, keadilan dan kejujuran. Lembaga tersebut harus mandiri,

    independen, non-partisan dan bebas kepentingan politik dengan tujuan agar dapat

    menjamin pelaksanaan masing-masing kegiatan secara tertib dan adil. (Lembaga

    Penelitian, Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) Universitas

    Wahid Hasyim).

    Untuk mengoptimalkan tujuan dan fungsi tersebut perlu lembaga yang secara

    formal berfungsi mengawasi pelaksanaan tahapan-tahapan kegiatan tersebut.

    Istilah mengoptimalkan diartikan bahwa tugas yang dijalankan untuk tahapan-

  • 12

    tahapan kegiatan diselenggarakan dengan sebaik-baiknya menurut kriteria

    demokrasi dan ketentuan Perundang-Undangan. Oleh sebab itu, secara struktural

    lembaga tersebut menjadi bagian dari penyelenggara namun bersifat otonom,

    independen dan non-partisan. Kalau strukturnya diatas membawahi

    penyelenggara, keberadaan lembaga bisa memunculkan terjadinya deadlock (jalan

    buntu) proses Pilkada apabila optimalisasi tahapan kegiatan yang terhambat

    ditafsirkan sebagai kesalahan yang harus dihentikan. Sebaliknya, jika di bawah

    atau menjadi bagian dari penyelenggara Pilkada namun tidak bersifat otonom,

    tujuan optimalisasi tidak akan tercapai karena mudah diintervensi dan dikooptasi.

    Oleh sebab itulah, di beberapa Negara maju lembaga pengawasan pemilihan tidak

    dibentuk karena penyelengara benar-benar otonom, independen dan non-partisan.

    Pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali

    disebut Pilkada atau Pemilukada, adalah pemilihan umum untuk memilih kepala

    daerah dan wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk

    daerah setempat yang memenuhi syarat. Kepala daerah dan wakil kepala daerah

    adalah; Gubernur dan Wakil Gubernur untuk Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati

    untuk Kabupaten, Walikota dan Wakil Walikota untuk Kota.

    Sebelum tahun 2005, Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

    dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya UU No.

    32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Pemilihan Kepala Daerah dan

    Wakil Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat.

    Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang

    Penyelenggara Pemilihan Umum, Pilkada dimasukkan dalam rezim Pemilu,

  • 13

    sehingga secara resmi bernama "Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil

    Kepala Daerah" atau "Pemilukada". Pilkada pertama yang diselenggarakan

    berdasarkan Undang-Undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.

    Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, peserta Pilkada adalah

    pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

    Ketentuan ini diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang

    menyatakan bahwa peserta Pilkada juga dapat berasal dari pasangan calon

    perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Undang-Undang ini

    menindaklanjuti keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa

    pasal menyangkut peserta Pilkada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

    Khusus di Nanggroe Aceh Darussalam, peserta Pilkada juga dapat diusulkan oleh

    partai politik lokal.

    c. Jenis-Jenis Sistem Pemilu

    Sistem pemilihan umum adalah merupakan salah satu instrumen

    kelembagaan penting di dalam negara demokrasi. Demokrasi itu di tandai dengan

    3 (tiga) syarat yakni; adanya kompetisi di dalam memperebutkan dan

    mempertahankan kekuasaan, adanya partisipasi masyarakat, adanya jaminan hak-

    hak sipil dan politik. Untuk memenuhi persyaratan tersebut diadakanlah sistem

    pemilihan umum, dengan sistem ini kompetisi, partisipasi, dan jaminan hak-hak

    politik bisa terpenuhi dan dapat dilihat. Secara sederhana sistem politik berarti

    instrumen untuk menerjemahkan perolehan suara di dalam pemilu ke dalam kursi-

    kursi yang di menangkan oleh partai atau calon. Sistem pemilu di bagi menjadi

    dua kelompok yakni:

  • 14

    1. Sistem Distrik (satu daerah pemilihan memilih satu wakil)

    Di dalam sistem distrik satu wilayah kecil memilih satu wakil tunggal atas

    dasar suara terbanyak, sistem distrik memiliki variasi, yakni:

    a. First Past the Post, sistem yang menggunakan single member district dan

    pemilihan yang berpusat pada calon, pemenangnya adalah calon yang

    memiliki suara terbanyak.

    b. The Two Round System, sistem ini menggunakan putaran kedua sebagai

    landasan untuk menentukan pemenang pemilu. Hal ini dilakukan untuk

    menghasilkan pemenang yang memperoleh suara mayoritas.

    c. The Alternative Vote, sama seperti First Past the Post bedanya para

    pemilih diberi otoritas untuk menentukan preferensinya melalui penentuan

    ranking terhadap calon-calon yang ada.

    d. Block Vote, para pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon-calon

    yang terdapat dalam daftar calon tanpa melihat afiliasi partai dari calon-

    calon yang ada.

    2. Sistem Proporsional (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil)

    Dalam sistem ini satu wilayah besar memilih beberapa wakil, prinsip utama

    di dalam sistem ini adalah adanya terjemahan capaian suara di dalam Pemilu oleh

    peserta Pemilu ke dalam alokasi kursi di lembaga perwakilan secara proporsional,

    sistem ini menggunakan sistem multimember districts. ada dua macam sistem di

    dalam sistem proporsional, yakni;

  • 15

    a. List Proportional Representation, disini partai-partai peserta pemilu

    menunjukkan daftar calon yang diajukan, para pemilih cukup memilih

    partai. Alokasi kursi partai didasarkan pada daftar urut yang sudah ada.

    b. The Single Transferable Vote, para pemilih diberi otoritas untuk

    menentukan preferensinya, pemenangnya didasarkan atas penggunaan

    kuota.

    Perbedaan pokok antara Sistem Distrik dan Proporsional adalah bahwa cara

    menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi

    perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik.

    Di Indonesia sudah menyelenggarakan sepuluh kali pemilihan umum sejak

    kemerdekaan Indonesia hingga tahun 2009. Sistem pemilihan umum yang di anut

    oleh Indonesia dari tahun 1945-2009 adalah sistem pemilihan

    Proporsional, adanya usulan sistem Pemilihan Umum Distrik di Indonesia yang

    sempat diajukan, ternyata di tolak. Pemilu-Pemilu paska Soeharto tetap

    menggunakan Sistem Proporsional dengan alasan bahwa sistem ini dianggap

    sebagai sistem yang lebih pas untuk Indonesia. Hal ini berkaitan dengan tingkat

    kemajemukan masyarakat di Indonesia yang cukup besar. Terdapat kekhawatiran

    ketika Sistem Distrik di pakai akan banyak kelompok-kelompok yang tidak

    terwakili khususnya kelompok kecil. Disamping itu sistem Pemilu merupakan

    bagian dari apa yang terdapat dalam UU Pemilu 1999 yang di putuskan oleh para

    wakil rakyat yang duduk di DPR. Para wakil rakyat tersebut berpandangan bahwa

    Sistem Proporsional itu lebih menguntungkan dari pada Sistem Distrik. Sistem

    Proporsional tetap dipilih menjadi sistem Pemilihan Umum di Indonesia bisa jadi

  • 16

    sistem ini yang akan terus di pakai. Hal ini tak lepas dari realitas yang pernah

    terjadi di Negara-Negara lain bahwa mengubah Sistem Pemilu itu merupakan

    sesuatu yang sangat sulit perubahan itu dapat memungkinkan jika terdapat

    perubahan politik yang radikal. Di Indonesia sendiri Sistem Proporsional telah

    mengalami perubahan-perubahan yakni dari perubahan Proporsional tertutup

    menjadi Sistem Proporsional Semi Daftar Terbuka dan Sistem Proporsional

    Daftar Terbuka.

    Pasca pemerintahan Soeharto 1999, 2004 dan 2009 terdapat perubahan

    terhadap Sistem Pemilu di Indonesia yakni terjadinya modifikasi Sistem

    proporsional di Indonesia, dari Proporsional Tertutup menjadi Proporsional Semi

    Daftar Terbuka. Dilihat dari daerah pemilihan terdapat perubahan antara Pemilu

    1999 dengan masa Orde Baru. pada Orde Baru yang menjadi daerah pilihan

    adalah Provinsi, alokasi kursinya murni di dasarkan pada perolehan suara di

    dalam satu Provinsi, sedangkan di tahun 1999 Provinsi masih sebagai daerah

    pilihan namun sudah menjadi pertimbangan Kabupaten/Kota dan alokasi kursi

    dari partai peserta Pemilu didasarkan pada perolehan suara yang ada di masing-

    masing Provinsi tetapi mulai mempertimbangkan perolehan calon dari masing-

    masing Kabupaten/Kota. Pada Pemilu 2004 daerah pemilihan tidak lagi Provinsi

    melainkan daerah yang lebih kecil lagi meskipun ada juga daerah pemilihan yang

    mencakup satu Provinsi seperti Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka Belitung,

    Kepulauan Riau, Yogyakarta, Bali, NTB, semua Provinsi di Kalimantan, Sulawesi

    Utara dan Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Irian Jaya

    Barat. masing-masing daerah pilihan mendapat jatah antara 3-12 kursi. Pada

  • 17

    Pemilu 2009 besaran daerah pemilihan untuk DPR diperkecil antara 3-10.

    Perbedaan lain berkaitan dengan pilihan terhadap kontestan. pada Pemilu 1999

    dan Orde Baru para pemilih cukup memilih tanda gambar kontestan Pemilu. Pada

    tahun 2004 para pemilih boleh mencoblos tanda gambar kontestan Pemilu dan

    juga mencoblos calonnya. Hal ini dimaksudkan agar pemilih dapat mengenal dan

    menentukan siapa yang menjadi wakil di DPR dan memberikan kesempatan pada

    calon yang tidak berada di nomor atas untuk terpilih asalkan memenuhi jumlah

    Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), dikatakan perubahan Proporsional ini Semi

    Daftar Terbuka karena penentuan siapa yang akan mewakili partai didalam

    perolehan kursi di DPR/DPRD tidak didasarkan pada perolehan suara tebanyak

    melainkan tetap berdasarkan nomor urut, kalaupun di luar nomor urut harus

    memiliki suara yang mencukupi BPP.

    Sistem Proporsional Semi Daftar Terbuka sendiri pada dasarnya merupakan

    hasil sebuah kompromi. dalam pembahasan RUU mengenai hasil Pemilu pada

    2002, PDIP, GOLKAR, PPP terang-terangan menolak Sistem Daftar Terbuka,

    dikarenakan penentuan Calon Legislatif merupakan hak partai peserta Pemilu.

    Memang jika diberlakukannya Sistem Daftar Terbuka akan mengurangi otoritas

    partai di dalam menyeleksi Calon Legislatif mana saja yang di pandang lebih pas

    duduk di DPR/DPRD. Tetapi tiga partai itu akhirnya menyetujui perubahan hanya

    saja perubahannya tidak terbuka secara bebas melainkan setengah terbuka.

    Perubahan-perubahan desain kelembagaan seperti itu pada kenyataannya tidak

    membawa perubahan yang berarti. Ada beberapa penyebab diantaranya yaitu,

    pada kenyataannya para pemilih tetap lebih suka memilih tanda gambar dari pada

  • 18

    menggabungkannya dengan memilih calon yang ada di dalam daftar pemilih

    karena lebih mudah. Selain itu, di lihat dari tingkat keterwakilan masih

    mengandung masalah. Permasalahan ini khususnya berkaitan dengan

    perbandingan jumlah suara dengan jumlah alokasi kursi di DPR/DPRD kepada

    partai-partai, di sisi lain juga nilai BPP antara daerah pemilihan yang satu dengan

    daerah pemilihan yang lain memiliki perbedaan. Hal ini terkait dua hal yakni

    pertama terdapat upaya untuk mengakomodasi gagasan adanya keterwakilan yang

    berimbang antara Jawa dan luar Jawa, kedua secara kelembagaan terdapat

    keputusan bahwa satu daerah pemilihan mininal memiliki 3 kursi, implikasinya

    adalah terdapatnya daerah pemilih bahwa BPP nya berada di bawah rata-rata

    BPP nasional tetapi ada juga yang berada dia atas BPP nasional.

    Mengingat Sistem Pemilu yang sudah di modifikasi dan mengalami sedikit

    perbaikan itu masih tidak terlepas dari kekurangan, terdapat usul untuk melakukan

    modifikasi Sistem Proporsional lanjutan. Kalau pada Pemilu 2004 sudah dipakai

    Sistem Daftar Setengah Terbuka, untuk Pemilu-Pemilu selanjutnya usulan

    digunakannya Sistem Daftar Terbuka, di dalam sistem ini digunakan nomor urut

    di dalam daftar calon tidak lagi dijadikan ukuran untuk menjadikan calon mana

    yang mewakili partai di dalam perolehan kursi sekitarnya tidak ada calon yang

    memenuhi BPP yang di jadikan ukurannya adalah calon yang memperoleh suara

    terbanyak. Sistem ini juga mendapat dukungan dari PAN akan tetapi PDIP

    menolak, sebagimana dikemukakan oleh Tjahjo Kumolo, dengan menghapuskan

    nomor urut itu justru membuka peluang money politics dan dianggap

    mendeligitimasi keberadaan partai, demikian juga Jusuf Kalla (GOLKAR)

  • 19

    menurutnya Sistem Terbuka tanpa nomor urut dapat dilakukan secara teoritis tapi

    sulit praktiknya. Perdebatan semacam itu telah di selesaikan di dalam UU Pemilu

    No. 10 Tahun 2008. UU ini merupakan aturan dasar untuk Pemilu 2009 di dalam

    UU ini memang disebutkan bahwa pada Pemilu 1999 Indonesia menganut Sistem

    Daftar Terbuka, tetapi kenyataanya Indonesia masih menganut Sistem Semi

    Daftar Terbuka. Hal ini tidak terlepas dari aturan bahwa calon yang memperoleh

    suara terbanyak di dalam suatu partai tidak otomatis terpilih menjadi wakil, tapi

    yang membedakan dengan Pemilu 2004 adalah bahwa di dalam Pemilu 2009 yang

    memperoleh suara minimal 30% dari BPP memiliki kesempatan mewakili partai

    di dalam perolehan kursi meskipun tidak berada di nomor urut, jadi, di samping

    itu Pemilu 2009 juga memperkuat tuntutan pemberian kepada perempuan, semua

    partai wajib menyertakan calon perempuan sebanyak 30%, atau 1 dari setiap 3

    calon harus perempuan. Tetapi aturan wajib ini tidak disertai sanksi yang jelas dan

    tegas manakala ada partai-partai yang melanggarnya.

    Keputusan sebagaimana yang terdapat di dalam UU No. 10 tahun 2008

    mengalami perubahan setelah hampir setahun, kemudian MK mengabulkan

    tentang suara terbanyak sebagai patokan untuk mengalokasikan kursi kepada

    partai-partai yang memperoleh kursi. Keputusan ini menjadikan Sistem Pemilu di

    Indonesia benar-benar masuk kedalam kategori Sistem Proporsional Daftar

    Terbuka. Calon yang memperoleh suara terbanyak yang akan lolos menjadi

    anggota DPR/DPRD dari partai yang memperoleh alokasi kursi. Akibat dari

    perubahan-perubahan itu, Pemilu 2009 dan bisa jadi Pemilu-Pemilu selanjutnya

    memiliki konsekuensi-konsekuensi tersendiri. Pertama, kompetisi partai semakin

  • 20

    kuat seiring di berlakukannya Parliementary Threshold, Parliementary Threshold

    adalah dimungkinkannya sistem multipartai sederhana di dalam pemerintahan di

    tingkat pusat, multipartai di dalam pemerintahan di daerah dan di Pemilu. Hasil

    Pemilu 2009 menunjukkan 9 partai yang mendapat kursi di DPR yaitu Hanura,

    Gerindra, PKS, PAN, PKB, GOLKAR, PPP, PDIP, Partai Demokrat karena lolos

    Parliementary Threshold dan tidak sedikit juga partai-partai yang tidak memiliki

    kursi di DPR tetapi mendapat kursi di DPRD. Hal ini dikarenakan ketentuan

    Parliementary Threshold hanya berlaku untuk DPR bukan untuk DPRD. Realitas

    ini memperkuat pandangan bahwa aturan main di dalam Sistem Pemilu itu

    mewakili implikasi yang cukup besar pada alokasi kursi atau perwakilan dan

    kekuatan-kekuatan politik yang ada, dan pengecilan besaran daftar pilih untuk

    Pemilu anggota DPR, Kedua, kompetisi internal partai semakin tinggi, Kompetisi

    akhir ini mencakup kompetisi antarcalon di dalam setiap Dapil dan antar

    calon laki-laki dan perempuan. Kompetisi ini menjadi sangat tinggi setelah

    pengalokasian kursi menggunakan mekanisme (suara terbanyak).

    d. Asas-Asas Pilkada Langsung

    Rumusan mengenai asas-asas Pilkada Langsung tertuang dalam Pasal 56 Ayat

    (1) UU No. 32/2004 dan ditegaskan kembali pada Pasal 4 Ayat (3) PP No. 6/2005.

    Selengkapnya bunyi Pasal 56 Ayat (1) berbunyi :

    “Kepala Daerah danWakil Kepala Daerah dipilih dalam satu pasangan calon

    yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas,

    rahasia, jujur, dan adil.”

    Dengan asas-asas tersebut. Dapat dikatakan bahwa Pilkada Langsung di

    Indonesia telah menggunakan prinsip yang berlaku umum yang berlaku umum

  • 21

    dalam rekrutmen pejabat publik atau pejabat politik yang terbuka. Dalam UU No.

    22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, penyelenggara

    Pemilihan Umum dalam hal ini KPU, KPU Provinsi maupun KPUD harus

    berpedoman pada asas: Mandiri, Jujur, Adil, Kepastian hukum, Tertib

    penyelenggara Pemilu, Kepentingan umum, Keterbukaan, Proporsionalitas,

    Profesionalitas, Akuntabilitas, Efisiensi, Efektivitas.

    2.1.2. Komisi Pemilihan Umum (KPU)

    2.1.2.1. Visi dan Misi Komisi Pemilihan Umum (KPU)

    1) Visi

    Terwujudnya Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara Pemilihan Umum

    yang memiliki integritas, profesional, mandiri, transparan dan akuntabel, demi

    terciptanya demokrasi Indonesia yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan UUD

    1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    2) Misi

    a. Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki

    kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan

    Pemilihan Umum.

    b. Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan

    Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan

    Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan

    Wakil Kepala Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,

    adil, akuntabel, edukatif dan beradab.

  • 22

    c. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang

    bersih, efisien dan efektif.

    d. Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara

    adil dan setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara

    konsisten sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

    e. Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif

    dalam Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat

    Indonesia yang demokratis.

    2.1.2.2. Tugas dan Wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU)

    Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan

    Umum dan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 Tentang

    Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja

    Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk

    melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai

    berikut :

    1. Merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum.

    2. Menerima, meneliti dan menetapkan Partai-Partai Politik yang berhak

    sebagai peserta Pemilihan Umum.

    3. Membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan

    mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat

    sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS.

    4. Menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk

    setiap daerah pemilihan.

  • 23

    5. Menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah

    pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II.

    6. Mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil

    Pemilihan Umum.

    7. Memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.

    Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 terdapat tambahan

    huruf:

    1. Tugas dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam Undang-Undang

    Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.

    Sedangkan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tersebut

    juga ditambahkan, bahwa selain tugas dan kewenangan KPU sebagai dimaksud

    dalam Pasal 10, selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Pemilihan Umum

    dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum.

    2.1.2.3. Penyelenggara Pilkada Langsung

    Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan

    KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum

    (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Khusus di Nanggroe Aceh

    Darussalam, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP)

    dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).

    Penyelenggara menentukan kualitas pelaksanaan Pilkada Langsung. Pilkada

    Langsung yang berkualitas umumnya diselenggarakan oleh lembaga yang

    independen, mandiri dan non-partisan. Dengan kelembagaan penyelenggara yang

    demikian, objektivitas dalam arti transparansi dan keadilan bagi pemilih dan

    http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemilihan_Umumhttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Panitia_Pengawas_Pemilihan_Umum&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Independen_Pemilihanhttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Panitia_Pengawas_Pemilihan_Aceh&action=edit&redlink=1

  • 24

    peserta Pilkada relatif bisa dioptimalkan. Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden

    dan Wakil Presiden tahun 2004 merupakan bukti kinerja kelembagaan

    penyelenggara yang independen, mandiri dan non-partisan.

    Fungsi utama penyelenggara adalah merencanakan dan menyelenggarakan

    tahapan-tahapan kegiatan. Fungsi tersebut bisa optimal apabila dilengkapi

    mekanisme kontrol dan pertanggungjawaban (accountability) sehingga

    dibutuhkan pengawasan. Ada tiga jenis pengawasan, yakni pengawasan internal,

    semi-internal dan eksternal. Pengawasan internal dilaksanakan melalui

    mekanisme organisasi yang bersifat struktural dalam bentuk supervisi dan

    pengambilan keputusan yang bersifat kolektif kolegial melalui mekanisme pleno.

    Pengawasan eksternal diwujudkan melalui pemantauan dan pengawasan oleh

    masyarakat, Partai Politik, Pers, dan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat

    (LSM). Sedangkan pengawasan semi-internal dilakukan dengan pembentukan

    lembaga pengawasan yang mandiri, otonom dan independen namun berada di

    dalam struktur penyelenggara yang bertugas mengawasi pelaksanaan tahapan-

    tahapan kegiatan. Fungsi utama lembaga pengawas adalah mengoptimalkan

    penyelenggaraan tahapan-tahapan kegiatan.

    Berbeda dengan penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan

    Wakil Presiden yang memposisikan KPU yang bersifat nasional, tetap dan

    mandiri sebagai pemegang mandat tunggal penyelenggaraan, UU No. 32/2004

    membagi kewenangan penyelenggaraan Pilkada Langsung kepada tiga institusi,

    yakni DPRD, KPUD dan Pemerintah Daerah. Secara fungsional, kedudukan

    ketiga institusi tersebut berbeda menurut tugas dan wewenangnya.

  • 25

    1. DPRD merupakan pemegang otoritas politik.

    Dimaksud pemegang otoritas politik adalah bahwa DPRD merupakan

    representasi rakyat yang memiliki kedaulatan dan memberikan mandat

    penyelenggaraan Pilkada Langsung, berwujud pemberitahuan mengenai

    berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah kepada Kepala Daerah dan KPUD.

    Karena mekanisme itu bersifat politis, prosedur tersebut berimplikasi pada

    kekuatan hukum penyelenggaraan namun tidak berimplikasi pada

    pertanggungjawaban secara hukum. Karena KPUD harus bersifat mandiri,

    independen dan non-partisan, maka pertanggungjawabannya kepada publik.

    Mekanismenya adalah penyampaian laporan pelaksanaan tahapan kegiatan ke

    DPRD. Penilaian politis DPRD dilakukan terhadap kinerja (baik atau kurang)

    KPUD. Kritik, saran dan aspirasi rakyat disampaikan DPRD dengan tujuan

    memperbaiki kinerja KPUD. Dengan demikian, penilaian DPRD tidak memiliki

    implikasi hukum, misalnya membatalkan tahapan kegiatan atau membubarkan

    KPUD.

    Masih sebagai pemegang otoritas politik yang merupakan representasi rakyat,

    DPRD juga menyelenggarakan rapat paripurna untuk mendengarkan penyampaian

    visi, misi dan program dari Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala

    Daerah. Tujuannya, agar DPRD dan rakyat mengenal visi, misi dan program calon

    dengan baik.

    2. KPUD sebagai pelaksana teknis.

    Sebagai pemegang mandat penyelenggaraan, KPUD secara teknis bertugas

    melaksanakan tahapan-tahapan kegiatan, dari tahap pendaftaran pemilih sampai

  • 26

    penetapan calon terpilih. KPUD juga membuat regulasi (aturan), mengambil

    keputusan dan membuat kebijakan yang harus sesuai dengan koridor hukum dan

    ketentuan Perundangan.

    3. Pemerintah Daerah menjalankan fungsi fasilitasi.

    Pemerintah Daerah berkewajiban memberikan fasilitasi proses Pilkada

    Langsung meliputi bidang anggaran, personalia dan kebijakan sebagai eksekutif.

    Selain itu, ada beberapa tugas teknis yang harus dilaksanakan untuk menunjang

    pelaksanaan tahapan kegiatan.

    Konstruksi penyelenggara Pilkada Langsung tersebut memperlihatkan

    semangat otonomi daerah atau desentralisasi. KPUD tidak memiliki hubungan

    struktural baik dengan DPRD dan Pemerintah Daerah maupun dengan KPU.

    KPUD merupakan penyelenggara Pilkada Langsung tertinggi di wilayah kerjanya.

    KPUD tidak bertanggung jawab secara hukum kepada DPRD dan Pemerintah

    Daerah. Dalam pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota,

    KPU Kabupaten/Kota adalah penyelenggara tertinggi dan tidak bertanggung

    jawab kepada KPU provinsi atau KPUD dalam pemilihan Gubernur/Wakil

    Gubernur, KPU provinsi menjadi penyelenggara tertinggi dan tidak bertanggung

    jawab kepada KPU. Masih dalam pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, KPU

    Kabupaten/Kota menjadi bagian yang harus memberikan pertanggungjawaban

    teknis kepada KPU provinsi. Tanggung jawab politis KPUD adalah kepada publik

    melalui DPRD sehingga KPUD menjadi penyelenggara yang benar-benar

    independen, mandiri dan non-partisan.

  • 27

    KPUD dalam Pilkada Langsung merupakan metamorphosis dari KPU Provinsi

    dan KPU Kabupaten/Kota yang dibentuk berdasarkan UU No. 12/2003, KPUD

    merupakan lembaga yang bertanggungjawab terhadap berbagai bidang dan aspek

    perencanaan, penyelenggaraan, dan pengendalian penyelenggaraan Pilkada

    Langsung.

    2.1.2.4. Dasar Hukum Penyelenggaraan Pilkada.

    Dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

    ada beberapa acuan yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam penyelenggaraan

    Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. UUD 1945 pada pasal 18

    ayat (4) yang berbunyi: Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai

    kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara

    demokratis. Dari pasal 18 ayat (4) tersebut dapat diungkapkan, bahwa kepala

    daerah pemerintah di daerah Provinsi sebagai kepala pemerintah disebut

    Gubernur, dan Kepala Daerah di daerah Kabupaten sebagai kepala pemerintah

    disebut Bupati, serta kepala daerah di daerah Kota sebagai Kepala Daerah disebut

    Walikota. Semua jabatan kepala daerah Gubernur, Bupati dan Walikota dilakukan

    pemilihan secara demokratis. Pengertian demokratis dijelaskan oleh UU No. 32

    Tahun 2004 dengan pertimbangan pemilihan secara demokratis terhadap kepala

    daerah tersebut, dengan mengingat bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut

    UU No. 22 Tahun 2003 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Perwakilan

    Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

    Perwakilan Rakyat Daerah menyatakan antara lain bahwa DPRD tidak memiliki

    tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

  • 28

    maka pemilihan secara demokratis dalam UU No. 32 Tahun 2004 dilakukan oleh

    rakyat secara langsung. Dalam UU No. 22 Tahun 2003 dalam pasal 61 bahwa

    DPRD Provinsi mempunyai fungsi: legislasi, anggaran dan pengawasan.

    Disamping UUD 1945 pada pasal 18 ayat (4) dan UU No. 22 Tahun 2003 ada

    beberapa dasar hukum yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan dalam

    Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yaitu UU No. 32 Tahun

    2004 Tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 06 Tahun 2005

    menjadi acuan sekaligus pedoman bagi KPUD untuk membuat berbagai produk

    aturan KPUD berupa Peraturan KPUD yang berkaitan langsung dengan

    penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

    sebagaimana dijelaskan pada Pasal 65 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004.

    Ada beberapa penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala

    Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, sebagai

    berikut:

    1. Pemilihan pada pasal 56 sampai pasal 67.

    2. Penetapan Pemilih pada pasal 68 sampai dengan pasal 74.

    3. Kampanye pada pasal 75 sampai dengan pasal 85.

    4. Pemungutan Suara pada pasal 86 sampai dengan pasal 106.

    5. Penetapan calon terpilih dan Pelantikan pada pasal 107 sampai dengan

    pasal 111.

    6. Pemantau Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada pasal

    113 dan pasal 114.

  • 29

    7. Ketentuan Pidana Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

    pada pasal 115 sampai dengan pasal 119.

    Sebagai turunan dari UU No. 32 Tahun 2004 pemerintah mengeluarkan

    Peraturan Pemerintah No. 06 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan,

    Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,

    sebagai berikut:

    1. Persiapan Pemilihan pada pasal 2 dan pasal 3.

    2. Penyelenggaraan Pemilihan pada pasal 4 sampai dengan pasal 14.

    3. Penetapan Pemilih pada pasal 15 sampai dengan pasal 35.

    4. Pendaftaran dan Penetapan Pasangan Calon dijelaskan pada pasal 36

    sampai dengan pasal 53.

    a. Peserta Pemilihan dijelaskan pada pasal 36 sampai dengan pasal 40.

    b. Pendaftaran Pasangan Calon dijelaskan pada pasal 41, pasal 42 dan

    pasal 138.

    c. Penelitian Pasangan Calon dijelaskan pada pasal 43 sampai dengan

    pasal 49.

    d. Penetapan dan Pengumuman Pasangan Calon dijelaskan pada pasal 50

    sampai dengan pasal 53.

    5. Kampanye dijelaskan pada pasal 54 sampai dengan pasal 69

    a. Pelaksanaan kampanye pada pasal 54 dan pasal 55.

    b. Bentuk Kampanye pada pasal 56 sampai dengan pasal 59.

    c. Larangan Kampanye pada pasal 60 sampai dengan pasal 63.

    d. Dana Kampanye pada pasal 65 sampai dengan pasal 69.

  • 30

    6. Pemungutan dan Penghitungan Suara pada pasal 70 sampai dengan pasal

    94.

    7. Penetapan Calon Terpilih Pengesahan Pengangkatan dan Pelantikan pada

    pasal 95 sampai dengan pasal 104.

    8. Pengawasan dan Pemantauan Pemilihan pada pasal 105 sampai dengan

    pasal 122.

    9. Pengawas Pemilihan pada pasal 105 sampai dengan pasal 114.

    10. Pemantau Pemilihan pada pasal 115 sampai dengan pasal 122.

    UU No. 32 Tahun 2004 dan penjelasan, serta Peraturan Pemerintah No. 06

    Tahun 2005 dan penjelasan dijadikan sebagai panduan dalam penyelenggaraan

    Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

    2.1.3. Evaluasi Kinerja

    2.1.3.1. Evaluasi

    Evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka

    (rating) dan penilaian (assessment). Evaluasi kinerja sangat penting untuk menilai

    akuntabilitas organisasi dalam menghasilkan pelayanan publik. Akuntabilitas

    bukan sekedar kemampuan menunjukkan bagaimana uang publik dibelanjakan,

    akan tetapi meliputi apakah uang tersebut dibelanjakan secara ekonomis, efektif,

    dan efisien. Pendapat William N. Dunn, istilah evaluasi mempunyai arti yaitu:

    “Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal),

    pemberian angka (rating) dan penilaian (assessment), kata-kata yang menyatakan

    usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan nilainya. Dalam arti

  • 31

    yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai

    atau manfaat hasil kebijakan” (Dunn, 2003).

    Adapun menurut Taliziduhu Ndraha dalam buku Konsep Administrasi dan

    Administrasi di Indonesia berpendapat bahwa evaluasi merupakan proses

    perbandingan antara standar dengan fakta dan analisa hasilnya (Ndraha, 1989).

    Kesimpulannya adalah perbandingan antara tujuan yang hendak dicapai dalam

    penyelesaian masalah dengan kejadian yang sebenarnya, sehingga dapat

    disimpulkan dengan analisa akhir apakah suatu kebijakan harus direvisi atau

    dilanjutkan.

    Sudarwan Danim mengemukakan definisi penilaian (evaluating) adalah:

    “Proses pengukuran dan perbandingan dari hasil-hasil pekerjaan yang nyatanya

    dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya. Ada beberapa hal yang penting

    diperhatikan dalam definisi tersebut, yaitu:

    1. Bahwa penilaian merupakan fungsi organik karena pelaksanaan fungsi

    tersebut turut menentukan mati hidupnya suatu organisasi.

    2. Bahwa penilaian itu adalah suatu proses yang berarti bahwa penilaian

    adalah kegiatan yang terus menerus dilakukan oleh administrasi dan

    manajemen.

    3. Bahwa penilaian menunjukkan jurang pemisah antara hasil pelaksanaan

    yang sesungguhnya dengan hasil yang seharusnya dicapai” (Danim, 2000).

    Evaluasi mempunyai karakteristik yang membedakannya dari metode-metode

    analisis kebijakan lainnya yaitu:

  • 32

    1. Fokus nilai. Evaluasi berbeda dengan pemantauan, dipusatkan pada

    penilaian menyangkut keperluan atau nilai dari sesuatu kebijakan dan

    program.

    2. Interdependensi Fakta-Nilai. Tuntutan evaluasi tergantung baik ”fakta”

    maupun “nilai”.

    3. Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau. Tuntutan evaluatif, berbeda

    dengan tuntutan-tuntutan advokat, diarahkan pada hasil sekarang dan masa

    lalu, ketimbang hasil di masa depan.

    4. Dualitas nilai. Nilai-nilai yang mendasari tuntutan evaluasi mempunyai

    kualitas ganda, karena mereka dipandang sebagai tujuan dan sekaligus

    cara. (Dunn, 2003)

    Berdasarkan penjelasan di atas, karakteristik evaluasi terdiri dari empat

    karakter. Yang pertama yaitu fokus nilai, karena evaluasi adalah penilaian dari

    suatu kebijakan dalam ketepatan pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan. Kedua

    yaitu interdependensi fakta-nilai, karena untuk menentukan nilai dari suatu

    kebijakan bukan hanya dilihat dari tingkat kinerja tetapi juga dilihat dari bukti

    atau fakta bahwa kebijakan dapat memecahkan masalah tertentu. Ketiga yaitu

    orientasi masa kini dan masa lampau, karena tuntutan evaluatif diarahkan pada

    hasil sekarang dan masa lalu sehingga hasil evaluasi dapat dibandingkan nilai dari

    kebijakan tersebut. Keempat yaitu dualitas nilai, karena nilai-nilai dari evaluasi

    mempunyai arti ganda baik rekomendasi sejauh berkenaan dengan nilai yang ada

    maupun nilai yang diperlukan dalam mempengaruhi pencapaian tujuan-tujuan lain.

    2.1.3.2. Kinerja.

  • 33

    Kinerja (Performance) adalah catatan tentang hasil-hasil yang diperoleh dari

    fungsi-fungsi pekerjaan/kegiatan tertentu selama kurun waktu tertentu. (Bernardin

    dan Russel, 1993 dalam As’ad : 2003).

    Kinerja adalah penampilan hasil kerja pegawai baik secara kuantitas maupun

    kualitas, kinerja dapat berupa penampilan kerja perorangan maupun kelompok,

    kinerja organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dan agregasi kinerja

    sejumlah individu dalam organisasi. (Yaslis Ilyas, 2003)

    Kinerja mengandung dua komponen: kompetensi berarti individu atau

    organisasi memiliki kemampuan untuk mengidentifikasikan tingkat kinerjanya,

    produktivitas adalah kompetensi tersebut dapat diterjemahkan kedalam tindakan

    atau kegiatan-kegiatan yang tepat untuk mencapai hasil kinerja (outcome) (Yaslis

    Ilyas, 2002).

    Kinerja merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan dikonfirmasikan

    kepada pihak tertentu untuk mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi

    dihubungkan dengan visi yang diemban suatu organisasi atau perusahaan serta

    mengetahui dampak positif dan negatif dari suatu kebijakan operasional. Mink

    (1993) mengemukakan pendapatnya bahwa individu yang memiliki kinerja yang

    tinggi memiliki beberapa karakteristik, yaitu diantaranya: berorientasi pada

    prestasi, memiliki percaya diri, berpengendalian diri dan kompetensi.

    Evaluasi kinerja disebut juga “Performance evaluation” atau “Performance

    appraisal”. Leon C. Mengginson mengemukakan evaluasi kinerja atau penilaian

    prestasi adalah “penilaian prestasi kerja (Performance appraisal), suatu proses

    yang digunakan pimpinan untuk menentukan apakah seseorang karyawan

  • 34

    melakukan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.” (Dalam

    Mangkunegara, 2005). Berdasarkan pendapat tersebut, maka evaluasi kinerja

    merupakan suatu proses penilaian kinerja aparatur yang dilakukan untuk melihat

    tanggung jawab pekerjaannya setiap hari apakah terjadi peningkatan atau

    penurunan sehingga pemimpin bisa memberikan suatu motivasi penunjang untuk

    melihat kinerja aparatur kedepannya.

    Evaluasi kinerja kemudian di definisikan oleh Society for Human Resource

    Management yaitu “The process of evaluting how well employees perform their

    jobs when compared to a set of standards, and then communicating that

    information to employees. (Proses mengevaluasi sejauh mana kinerja aparatur

    dalam bekerja ketika dibandingkan dengan serangkaian standar, dan

    mengkomunikasikan informasi tersebut pada aparatur).” (Dalam Wirawan 2009).

    Berdasarkan definisi tersebut, maka evaluasi kinerja merupakan suatu proses

    untuk mengetahui sejauh mana kinerja aparatur bila dibandingan dengan

    serangkaian standarisasi yang dilakukan untuk bekerja sesuai komunikasi

    informasi yang telah diberikan oleh pimpinan. Evaluasi kinerja dilakukan juga

    untuk menilai seberapa baik aparatur bekerja setelah menerima informasi dan

    berkomunikasi dengan aparatur yang lain agar pekerjaan sesuai dengan kemauan

    pimpinan dan kinerja para aparatur itu sendiri dapat terlihat secara baik oleh

    pimpinan dan masyarakat selaku penilai.

    Fungsi evaluasi kinerja yang dikemukakan Wirawan (2009) sebagai berikut :

    1. Memberikan balikan kepada aparatur ternilai mengenai kinerjanya. Ketika

    merekrut pegawai (ternilai), aparatur harus melaksanakan pekerjaan yang

  • 35

    ditugaskan kepadanya sesuai dengan uraian tugas, prosedur operasi, dan

    memenuhi standar kinerja.

    2. Alat promosi dan demosi. Hampir disemua sistem evaluasi kinerja, hasil

    evaluasi digunakan untuk mengambil keputusan memberikan promosi

    kepada aparatur ternilai yang kinerjanya memenuhi ketentuan pemberian

    promosi. Promosi dapat berupa kenaikan gaji, pemberian bonus atau

    komisi, kenaikan pangkat atau menduduki jabatan tertentu. Sebaliknya,

    jika kinerja aparatur ternilai tidak memenuhi standar atau buruk, instansi

    menggunakan hasilnya sebagai dasar untuk memberikan demosi berupa

    penurunan gaji, pangkat atau jabatan aparatur ternilai.

    3. Alat memotivasi ternilai. Kinerja ternilai yang memenuhi standar, sangat

    baik, atau superior, evaluasi kinerja merupakan alat untuk memotivasi

    kinerja aparatur. Hasil evaluasi dapat digunakan instansi untuk memotivasi

    aparatur agar mempertahankan kinerja yang superior dan meningkatkan

    kinerja baik atau sedang.

    4. Penentuan dan pengukuran tujuan kinerja. Sistem evaluasi kinerja yang

    menggunakan prinsip managemen by objectives, evaluasi kinerja dimulai

    dengan menentukan tujuan atau sasaran kerja aparatur ternilai pada awal

    tahun.

    5. Konseling kinerja buruk. Evaluasi kinerja, tidak semua aparatur mampu

    memenuhi standar kinerjanya atau kinerjanya buruk. Hal itu mungkin

    karena ia menghadapi masalah pribadi atau ia tidak berupaya

    menyelesaikan pekerjaannya secara maksimal. Bagi aparatur seperti ini

  • 36

    penilai akan memberikan konseling mengenai penyebab rendahnya kinerja

    ternilai dan mengupayakan peningkatan kinerja ditahun mendatang.

    Konseling dapat dilakukan sebelum evaluasi kinerja jika atasan dapat

    mengetahui kelambanan aparatur.

    6. Pemberdayaan aparatur. Evaluasi kinerja merupakan alat untuk

    memberdayakan aparatur agar mampu menaiki tangga atau jenjang karier.

    Evaluasi kinerja menentukan apakah kinerja aparatur dapat dipergunakan

    sebagai ukuran untuk meningkatkan kariernya. (Wirawan, 2009)

    Berdasarkan fungsi di atas, evaluasi kinerja merupakan alat yang digunakan

    oleh instansi pemerintahan atau organisasi tertentu untuk menilai kinerja para

    aparatur yang lamban. Evaluasi kinerja untuk memotivasi para aparatur untuk

    meningkatkan kinerjanya, pemberian konseling membantu para aparatur untuk

    mencegah kinerja yang terlalu lamban sehingga sebelum diadakan evaluasi kinerja

    para pemimpin sudah lebih dulu menjalankan konseling untuk mengadakan

    perbaikan pada waktu mendatang. Evaluasi kinerja merupakan alat motivasi bagi

    para aparatur untuk menaikkan standar kerja mereka, selain sebagai alat untuk

    memotivasi, evaluasi kinerja juga untuk mengukur tujuan kerja serta

    memberdayakan para aparatur.

    2.1.3.3. Pengukuran Kinerja dan Akuntabilitas Publik.

    Tugas utama Pemerintah sebagai organisasi sektor publik terbesar adalah

    untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat

    merupakan sebuah konsep yang sangat multi kompleks. Kesejahteraan masyarakat

    tidak hanya berupa kesejahteraan fisik yang bersifat material saja, namun

  • 37

    termasuk kesejahteraan nonfisik yang lebih bersifat inmaterial. Dalam suatu

    negara yang berbentuk Kerajaan Negara memiliki Raja, namun dalam Negara

    berbentuk Republik yang dimiliki Negara adalah rakyat atau masyarakat. Oleh

    karena itu, rakyat atau masyarakat yang harus dilayani oleh Negara. Negara

    berkewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakatnya.

    Dalam suatu pemerintahan demokrasi, hubungan antara pemerintah dan

    masyarakat dapat digambarkan sebagai suatu hubungan keagenan (agency

    relationship), dalam hal ini pemerintah berfungsi sebagai agen yang diberi

    kewenangan untuk melaksanakan kewajiban tertentu yang ditentukan oleh

    masyarakat kewenangan untuk melaksanakan kewajiban tertentu yang ditentukan

    oleh masyarakat sebagai prinsipal, baik secara langsung maupun tidak langsung

    melalui wakil-wakilnya. Dalam hubungan keagenan, pemerintah sebagai agen

    harus melaksanakan apa yang menjadi kepentingan masyarakat sebagai

    prinsipalnya. Apabila pemerintah yang berkuasa tidak bekerja untuk kepentingan

    masyarakat, maka masyarakat sebagai prinsipal dapat memberikan sanksi kepada

    agennya, misalnya dengan tidak memilihnya untuk periode berikutnya atau

    mengganti pemerintah yang sedang memegang kekuasaan saat itu.

    Hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang demikian merupakan

    sebuah hubungan pertanggungjawaban, dalam hal ini pemerintah sebagai agen

    harus mempertanggungjawabkan aktivitas dan kinerjanya kepada masyarakat

    yang telah memberikan dana (public fund) kepada pemerintah.

    Pertanggungjawaban kepada masyarakat ini disebut akuntabilitas publik.

    Berdasarkan teori keagenan tidak ada jaminan agen (pemerintah) selalu bertindak

  • 38

    atas kepentingan prinsipal (masyarakat). Pemerintah sebagai agen memiliki

    perilaku oportunis (opportunistic behavior), yaitu pemerintah bertindak untuk

    kepentingan dan kesejahteraannya sendiri bukan kesejahteraan masyarakat yang

    menjadi prinsipalnya (Watt dan Zimmerman, 1986, Godfrey et al, 1997).

    Dalam hubungan keagenan seringkali muncul masalah berupa adanya

    informasi asimetrik, yaitu informasi yang tidak dimiliki secara sama oleh tiap-tiap

    pihak. Pemerintah memiliki informasi yang lebih banyak mengenai kinerja

    organisasi yang sesungguhnya, sedangkan masyarakat hanya memperoleh

    informasi kinerja secara terbatas atau bahkan tidak sama sekali. Permasalahan lain

    yang mungkin muncul dalam hubungan keagenan adalah adanya moral hazard.

    Moral hazard memiliki banyak bentuk, dalam konteks kepada masyarakat luas,

    dilakukannya korupsi, kolusi dan nepotisme. Pemberian informasi mengenai

    kinerja pemerintah kepada masyarakat merupakan cara untuk mengurangi

    informasi asimetrik di sektor publik.

    Di samping itu, di tubuh pemerintah sendiri dikembangkan hubungan patron-

    client antara pemerintah yang sedang berkuasa dengan patron-patron politiknya.

    Hubungan ini seringkali bertujuan untuk mengamankan dan melanggengkan

    kekuasaan. Hubungan patron-client ini dapat berupa konspirasi antara pemerintah

    yang sedang berkuasa dengan partai politik terbesar, militer, pelaku pasar atau

    kaum kapitalis, dan kaum intelektual untuk menciptakan hegemoni politik.

    Apabila hubungan patron-client tersebut semakin kuat, maka efek negatif

    yang mungkin muncul adalah lahirnya rezim berkuasa secara otoriter dan absolut.

    Di samping itu, kekuasaan yang absolut tersebut akan semakin sulit dikontrol

  • 39

    masyarakat dan menimbulkan korupsi yang akut. Untuk meminimalkan dan

    mengantisipasi timbulnya pemerintahan yang menyimpang tersebut diperlukan

    suatu sistem akuntabilitas publik. Untuk menciptakan sistem akuntabilitas publik

    yang baik diperlukan saluran-saluran akuntabilitas yang bersistem dengan baik

    sehingga sistem tersebut mampu mencegah berbagai bentuk penyimpangan yang

    mungkin terjadi (Mulgan, 1997).

    2.1.3.4. Dimensi Akuntabilitas Publik.

    Kewajiban agen untuk mengelola sumber daya, melaporkan dan

    mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan

    sumber daya publik kepada pihak pemberi mandat (principal). Dalam konteks

    organisasi pemerintah, akuntabilitas publik adalah pemberian informasi atas

    aktivitas dan kinerja pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

    Penekanan utama akuntabilitas publik adalah pemberian informasi kepada publik

    dan konstituen lainnya yang menjadi pemangku kepentingan (stakeholder).

    Akuntabilitas publik juga terkait dengan kewajiban untuk menjelaskan dan

    menjawab pertanyaan mengenai apa yang telah, sedang dan direncanakan akan

    dilakukan organisasi sektor publik.

    Akuntabilitas berbeda dengan konsep responsibilitas (responsibility).

    Akuntabilitas dapat dilihat sebagai salah satu elemen dalam konsep responsibilitas.

    Akuntabilitas berarti kewajiban mempertanggungjawabkan apa yang telah

    dilakukan atau tidak dilakukan oleh seseorang, sedangkan responsibilitas

    merupakan akuntabilitas yang berkaitan dengan kewajiban untuk menjelaskan

    kepada orang/pihak lain yang memiliki kewenangan untuk meminta

  • 40

    pertanggungjawaban dan memberikan penilaian. Namun harus diingat bahwa

    tuntutan akuntabilitas harus diikuti dengan pemberian kapasitas untuk

    melaksanakan, keleluasaan (diskresi), dan kewenangan.

    Akuntabilitas publik terdiri atas dua macam, yaitu akuntabilitas vertikal

    (vertical accountability) dan akuntabilitas horizontal (horizontal accountability).

    Akuntabilitas vertikal (vertical accountability) adalah akuntabilitas kepada

    otoritas yang lebih tinggi, misalnya akuntabilitas kepala dinas kepada Bupati atau

    Walikota, Menteri kepada Presiden, Kepala Unit kepada Kepala Cabang, Kepala

    Cabang kepada CEO, dan sebagainya. Akuntabilitas horizontal (horizontal

    accountability) adalah akuntabilitas kepada publik secara luas atau terhadap

    sesama lembaga lainnya yang tidak memiliki hubungan atasan bawahan.

    Akuntabilitas publik harus dilakukan oleh organisasi sektor publik terdiri atas

    beberapa aspek. Dimensi akuntabilitas yang harus dipenuhi oleh lembaga-

    lembaga publik tersebut antara lain (Hopwood dan Tomkins, 1984; Elwood,

    1993):

    1. Akuntabilitas Hukum dan Kejujuran (accountability for probity and

    legality)

    Akuntabilitas lembaga-lembaga publik untuk berperilaku jujur dalam bekerja

    dan menaati ketentuan hukum yang berlaku. Akuntabilitas hukum berkaitan

    dengan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang disyaratkan dalam

    menjalankan organisasi, sedangkan akuntabilitas kejujuran berkaitan dengan

    penghindaran penyalahgunaan jabatan (abuse of power), korupsi dan kolusi.

    Akuntabilitas hukum menuntut penegakan hukum (law enforcement), sedangkan

  • 41

    akuntabilitas kejujuran menuntut adanya praktik organisasi yang sehat tidak

    terjadi malpraktik dan maladministrasi.

    2. Akuntabilitas Manajerial (managerial accountability)

    Pertanggungjawaban lembaga publik untuk melakukan pengelolaan organisasi

    secara efisien dan efektif. Akuntabilitas manajerial dapat juga diartikan sebagai

    akuntabilitas kinerja (performance accountability). Inefisiensi organisasi publik

    adalah menjadi tanggung jawab lembaga yang bersangkutan dan tidak boleh

    dibebankan kepada klien atau customer-nya. Akuntabilitas manajerial juga

    berkaitan dengan akuntabilitas proses (process accountability) yang berarti bahwa

    proses organisasi harus dapat dipertanggungjawabkan, dengan kata lain tidak

    terjadi inefisiensi dan ketidakefektifan organisasi. Analisis terhadap sektor publik

    akan banyak berfokus pada akuntabilitas manajerial. Namun perlu dipahami

    bahwa akuntabilitas manajerial ini berbeda dengan akuntabilitas komersial.

    Akuntabilitas manajerial merupakan akuntabilitas bawahan kepada atasan dalam

    suatu organisasi, sedangkan akuntabilitas komersial merupakan akuntabilitas

    suatu perusahaan kepada pemiliknya misalnya akuntabilitas perusahaan

    BUMN/BUMD kepada pemerintah sebagai pemilik. Akuntabilitas manajerial

    menjadi perhatian utama manajer sektor publik dalam melaksanakan sistem

    manajemen berbasis kinerja.

    3. Akuntabilitas Program (program accountability)

    Akuntabilitas program berkaitan dengan pertimbangan apakah tujuan yang

    ditetapkan dapat dicapai atau tidak, dan apakah organisasi telah

    mempertimbangkan alternatif program yang memberikan hasil yang optimal

  • 42

    dengan biaya yang minimal. Lembaga-lembaga publik harus

    mempertanggungjawabkan program yang telah dibuat sampai pada pelaksanaan

    program. Dengan kata lain akuntabilitas program berarti bahwa program-program

    organisasi hendaknya merupakan program yang bermutu yang mendukung

    strategi dan pencapaian misi, visi dan tujuan organisasi.

    4. Akuntabilitas Kebijakan (policy accountability)

    Akuntabilitas kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban lembaga publik

    atas kebijakan-kebijakan yang diambil. Lembaga-lembaga publik hendaknya

    dapat mempertanggungjawabkan kebijakan yang telah ditetapkan dengan

    mempertimbangkan dampak dimasa depan. Dalam membuat kebijakan harus

    dipertimbangkan apa tujuan kebijakan tersebut, mengapa kebijakan itu diambil,

    siapa sasarannya, pemangku kepentingan (stakeholder) mana yang akan

    terpengaruh dan memperoleh manfaat dan dampak (negatif) atas kebijakan

    tersebut.

    5. Akuntabilitas Finansial (financial accountability)

    Pertanggungjawaban lembaga-lembaga publik untuk menggunakan uang

    publik (public money) secara ekonomi, efisien dan efektif, tidak ada pemborosan

    dan kebocoran dana serta korupsi. Akuntabilitas finansial menekankan pada

    ukuran anggaran dan finansial. Akuntabilitas finansial sangat penting karena

    pengelolaan keuangan publik akan menjadi perhatian utama masyarakat.

    Akuntabilitas finansial mengharuskan lembaga-lembaga publik untuk membuat

    laporan keuangan untuk menggambarkan kinerja finansial organisasi kepada

    pihak luar. Meskipun informasi mengenai kinerja finansial sangat penting, namun

  • 43

    saat ini ada keyakinan bahwa ukuran kerja finansial saja tidak cukup, karena

    ukuran finansial hanya menggambarkan salah satu aspek kinerja organisasi secara

    keseluruhan. Untuk memperbaiki sistem pengukuran kinerja dan akuntabilitas

    kepada berbagai pemangku kepentingan yang berbeda-beda, ukuran kinerja

    nonfinansial harus dikembangkan dalam organisasi sektor publik. Ukuran

    nonfinansial dalam menentukan akuntabilitas hasil semakin penting dalam sistem

    manajemen berbasis kinerja. Akuntansi sektor publik memiliki peran yang sangat

    penting dalam mendorong terciptanya akuntabilitas finansial. Kekuatan utama

    akuntansi adalah pada pemberian informasi. Informasi keuangan merupakan

    produk akuntansi yang sangat powerful untuk mempengaruhi pengambilan

    keputusan, meskipun informasi bukanlah satu-satunya informasi yang dibutuhkan

    untuk mendukung pengambilan keputusan.

    2.2. Penelitian yang Relevan

    Dalam penyusunan karya ilmiah ini mengacu pada hasil penelitian skripsi oleh

    Pradipta Budhi Setyawan mahasiswa Universitas Sebelas Maret Tahun 2010 yang

    berjudul “Evaluasi kinerja Komisi Pemilihan Umum Daerah Ponorogo Dalam

    Penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 Di Kabupaten

    Ponorogo”, bahwa Kinerja Komisi Pemilihan Umum Daerah Ponorogo dalam

    penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009 termasuk dalam

    kategori cukup dilihat dari indikator Responsivitas, Responsibilitas, Akuntabilitas,

    Transparansi.

    2.3. Kerangka Berpikir Penelitian

  • 44

    Kerangka Penelitian adalah model konseptual tentang bagaimana teori

    berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah

    yang penting, kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah:

    Bagan 2.1

    Kerangka Pikir Penelitian

    KPU Kota Salatiga dalam Penyelengaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah

    Kota Salatiga terbagi dalam tiga tahap yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan

    dan tahap penyelesaiaan dengan hasil terpilihnya Calon Walikota terpilih

    Yulianto, SE. MM dan H. Muh. Haris, SS. MM, namun dalam tahap penyelesaian

    KPU Kota Salatiga mendapat gugatan PHPU dari Pasangan Calon Ir. Hj. Diah

    Sunarsasi dan M. Teddy Sulistio, SE oleh karena itu dilaksanakan evaluasi

    penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

    yang dilihat dari dimensi Akuntabilitas Publik yang terbagi dalam Akuntabilitas

    Hukum dan Kejujuran, Akuntabilitas Program, Akuntabilitas Kebijakan,

    Akuntabilitas manajerial dan Akuntabilitas Finansial sehingga dari hasil evaluasi

    Hasil Kinerja KPU

    Kota Salatiga

    Evaluasi Kinerja KPUD

    Dimensi kinerja :

    1. Akuntabilitas Hukum dan

    Kejujuran.

    2. Akuntabilitas Manajerial.

    3. Akuntabilitas Program.

    4. Akuntabilitas Kebijakan.

    5. Akuntabilitas Finansial.

    Hasil Pilkada Pelaksanaan

    Pilkada

    Umpan Balik

    Untuk Pilkada Berikutnya

    Persiapan Pilkada

    Penyelesaian

    Pilkada

    KPU Kota Salatiga

  • 45

    tersebut akan dijadikan umpan balik untuk KPU Kota Salatiga untuk

    penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

    kedepan.