16
3 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Kondisi Rumah Tradisional Masa Kini Di Provinsi Bali 2.1.1 Rumah Tradisional di Provinsi Bali Kebudayaan di Indonesia merupakan hal yang dipegang teguh oleh penduduknya. Baik kebudayaan adat maupun beragama. Kebudayaan sendiri, banyak diartikan oleh berbagai ahli, misalnya menurut edward b. Tylor “kebudayaan merupakan suatu kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, kebiasaan, serta setiap kemampuan lain yang dipelajari manusia sebagai anggota masyarakat”. Tiap provinsi memiliki ciri kebudayaan masing- masing, dimana salah satu yang masih dapat sering dilihat adalah kebudayaan masyarakat bali. Menurut j.j. Honigmann terdapat 3 wujud kebudayaan, yaitu: Ide : wujud kebudayaan dari suatu kompleks dari gagasan, norma dan nilai Aktivitas : wujud kebudayaan dari kompleks aktivitas yang berpola Artifak :wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia Sedangkan menurut samuel koening, perubahan budaya berasal dari modifikasi- modifikasi yang terjadi pada pola kehidupan masyarakat. Arsitektur rumah tradisional bali, merupakan suatu karya yang lahir dari suatu tradisi, kepercayaan dan aktivitas spiritual masyarakat bali yang diwujudkan dalam berbagai bentuk fisik. Seperti rumah adat, tempat suci (tempat pemujaan yang disebut pura), balai pertemuan, dan lain-lain. Lahirnya berbagai perwujudan fisik juga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu keadaan geografi, budaya, adat-istiadat, dan sosial ekonomi masyarakat. Arsitektur tradisional bali merupakan kombinasi dari hubungan keseimbangan antara bhuwana agung (alam semesta, dunia yang lebih besar,) dan bhuwana alit (manusia, miniatur kecil). Arsitektur tradisional bali mendapat pengaruh campuran budaya hindu, cina buddha, dan kebudayaan megalitik.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Kondisi Rumah Tradisional Masa · PDF fileKonsep ruang ini pada umumnya diterapkan pada pola ruang desa. ... yang memuat tentang aturan-aturan pembuatan rumah

Embed Size (px)

Citation preview

3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kondisi Rumah Tradisional Masa Kini Di Provinsi Bali

2.1.1 Rumah Tradisional di Provinsi Bali

Kebudayaan di Indonesia merupakan hal yang dipegang teguh oleh

penduduknya. Baik kebudayaan adat maupun beragama. Kebudayaan sendiri,

banyak diartikan oleh berbagai ahli, misalnya menurut edward b. Tylor “kebudayaan

merupakan suatu kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan,

seni, hukum, kebiasaan, serta setiap kemampuan lain yang dipelajari manusia

sebagai anggota masyarakat”. Tiap provinsi memiliki ciri kebudayaan masing-

masing, dimana salah satu yang masih dapat sering dilihat adalah kebudayaan

masyarakat bali. Menurut j.j. Honigmann terdapat 3 wujud kebudayaan, yaitu:

Ide : wujud kebudayaan dari suatu kompleks dari gagasan, norma dan nilai

Aktivitas : wujud kebudayaan dari kompleks aktivitas yang berpola

Artifak :wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia

Sedangkan menurut samuel koening, perubahan budaya berasal dari modifikasi-

modifikasi yang terjadi pada pola kehidupan masyarakat.

Arsitektur rumah tradisional bali, merupakan suatu karya yang lahir dari

suatu tradisi, kepercayaan dan aktivitas spiritual masyarakat bali yang diwujudkan

dalam berbagai bentuk fisik. Seperti rumah adat, tempat suci (tempat pemujaan yang

disebut pura), balai pertemuan, dan lain-lain. Lahirnya berbagai perwujudan fisik

juga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu keadaan geografi, budaya, adat-istiadat,

dan sosial ekonomi masyarakat. Arsitektur tradisional bali merupakan kombinasi

dari hubungan keseimbangan antara bhuwana agung (alam semesta, dunia yang lebih

besar,) dan bhuwana alit (manusia, miniatur kecil). Arsitektur tradisional bali

mendapat pengaruh campuran budaya hindu, cina buddha, dan kebudayaan

megalitik.

4

Nawa sanga adalah konsep 9 mata angin yang menjadi pedoman bagi

kehidupan keseharian masyarakat bali.seperti halnya dengan mata angin arah utara –

selatan yang di sebut kaja – kelod, dan timur–barat yang disebut kangin – kaluh. Hal

ini sangat penting karena orientasi orang bali terhadap gunung agung dan arah terbit

matahari menjadi pedoman bagi perletakan pola perumahan pada umumnya.utara

melambangkan dewa wisnu, selatan dewa brahma, timur dewa iswara dan barat

dewa mahadewa.

Sistem konstruksi pada arsitektur tradisional bali mempertimbangkan konsep

agama hindu bali yang dinamakan tri angga, yaitu sebuah konsep hirarki dari mulai

nista, madya dan utama.

nista menggambarkan suatu hirarki paling bawah suatu tingkatan, yang

biasanya diwujudkan dengan pondasi bangunan atau bagian bawah sebuah

bangunan sebagai penyangga bangunan diatasnya. Atau bilah dalam tiang

kolom. Materialnya dapat terbuat dari batu bata atau batu gunung. Batu bata

tersebut tersusun dalam suatu bentuk yang cukup rapi sesuai dengan dimensi

ruang yang akandibuat. Pada permukaan batu bata atau batu gunung dibuat

semacam penghalus sebagai elemen leveling yang rata.atau merupakan

plesteran akhir.nista juga digambarkan sebagai alam bawah atau alam setan

atau nafsu.

madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan

dinding, jendela dan pintu.madya mengambarkan strata manusia atau alam

manusia.

utama adalah simbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam

bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah

sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang

sudah meninggal, pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur

tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang.

Pembagian zone utama, madya dan nista didasari bukan oleh sumbu hierarki

yang vertikal, tetapi oleh tata nilai ritual dan orientasi kosmologis. Ada tiga buah

5

sumbu yang digunakan sebagai pedoman penataan bangunan di bali, sumbu-sumbu

itu antara lain:

sumbu kosmos bhur, bhuwah dan swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir)

sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari) berorientasi

pada lintasan terbit dan terbenamnya matahari dengan arah kangin sebagai

nilai utama (arah terbitnya matahari) dan arah kauh sebagai nilai nista (arah

terbenamnya matahari), sedangkan nilai madya ada di tengahnya.

sumbu natural kaja-kelod (gunung dan laut).

Segala sesuatu yang dikategorikan bersifat suci dan bernilai sakral akan

menempati letak di baian kaja (utara) mengarah ke gunung seperti : letak pura, arah

sembahyang, arah tidur dan sebagainya. Sebaiknya, segala sesuatu yang

dikategorikan kurang suci dan bernilai profan, akan menempati letak bagian kelod

(selatan), seperti : letak kuburan, letak kandang, tempat pembuangan sampah/

kotoran,dan sebagainya. Zona yang dianggap bernilai utama adalah arah kaja

(menghadap gunung) dan kangin (timur sebagai arah terbitnya matahari–sumber

kehidupan), dan zone yang dianggap nista atau bernilai rendah adalah arah kelod

(menghadap laut) dan kauh (barat).

Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat bali mengenal konsep orientasi

kosmologikal, nawa sanga atau sanga mandala yang akan dibahas pada subbab

berikutnya. Transformasi fisik dari konsep ini pada perancangan arsitektur,

merupakan acuan pada penataan ruang hunian tipikal di bali. Catuspatha adalah

konsep ruang kosong di tengah-tengah pertemuan sumbu orientasi kosmologis (kaja-

kelod) dan tata nilai ritual (kangin-kauh) pada pola ruang masyarakat tradisional bali.

Area pertemuan sumbu kaja-kelod dan kangin-kauh di tengah-tengah dibiarkan

kosong karena nilai pusat dianggap kosong (pralina) sebagai simbol pusat kekuatan

yang maha sempurna.

Penerapan konsep catus patha pada pola ruang area rumah tinggal tradisional bali

adalah adanya ruang kosong (halaman tengah/inner court) di tengah-tengah sebagai

area pertemuan sumbu kaja-kelod-kangin-kauh, yang pada area rumah tinggal

6

disebut natah. Karena area pusat ini dinilai paling tinggi sebagai simbol yang maha

sempurna, maka semua bangunan di zone arah kaja-kelod-kangin-kauh dibuat

menghadap area tengah.di masing-masing sudut perempatan, disediakan tanah

kosong (karang tuang) seluas satu persil, yang berfungsi sebagai “ruang terbuka

hijau”. Konsep ruang ini pada umumnya diterapkan pada pola ruang desa.

Konsep Sanga Mandala adalah pengembangan dari kombinasi konsep triangga

dan catuspatha. Konsep sangamandala adalah pembagian ruang ke dalam 9 zone

yang lahir dari aplikasi konseptriangga dalam bidang vertikal dan horisontal, di mana

ruang di tengah-tengah sebagai pusat dan simbol sumber kekuatan dibiarkan kosong

(konsep catuspatha).

Konsep Triangga membagi bidang atau sumbu vertikal orientasi kosmologis

kaja-kelod dalam 3 zone ruang: utama, madya dan nista, sementara bidang atau

sumbu horisontal orientasi tata nilai sakral kangin-kauh juga dibagi dalam 3 zone

ruang: utama, madya dan nista. Kombinasi pembagian bidang vertikal dan horisontal

ke dalam 3 zone ruang yang hirarkis, secara keseluruhan, menghasilkan 9 zone

ruang. Kesembilan bagian tersebut merangkum semua kegiatan sosial, ekonomi,

spiritual, budaya dan keamanan, yang menjadi satu-kesatuan utuh dan saling

berhubungan pada masing-masing anggota keluarga di rumah tersebut.artinya

seluruh kegiatan keluarga dapat dilakukan dalam satu lingkungan rumah di dalam

penyengker yang cukup luas.

Konsep ruang Sanga Mandala adalah konsep ruang yang dibagi menjadi

sembilan bagian area (pah pinara sanga sesa 1, 2, 3, dst.), artinya ruang dibagi

sembilan dan disisakan satu, dua, atau tiga bagian, dan seterusnya pada bagian luar

sebelah kiri. Bagian ini dikelompokkan menjadi 3 bagian besar, yaitu: nista, madya

dan utama.

nista, merupakan area tiga kelompok ruang yang berada di sebelah kiri,

meliputi bangunan

Kandang dan angkul-angkul, serta sebagian bale dauh dan paon.

7

madya merupakan area ruang untuk melakukan kegiatan sehari-hari, seperti

untuk melakukan upacara adat dan keagamaan. Kelopok ruang madya yang

merupakan ruang bagian tengah, meliputi bangunan tempat suci penunggun

karang, natah (halaman), jineng (lumbung) dan bangunan angkul-angkul

(pintu keluar-masuk halaman).

utama merupakan area ruang tempat suci (sanggah/ merajan).

Beberapa bagian dari gaya eropa juga dapat ditemukan dalam arsitektur bali.

Proporsi pengukuran rumah adat bali tidak menggunakan ukuran skala internasional,

seperti cm atau meter. Dengan sistem kepemilikan rumah tradisional indonesia yang

berdasarkan kepemilikan, rumah adat bali menggunakan ukuran rumah denganskala

pemilik rumah lelaki, serupa pula pada peletakan ruang yang menggunakan orientasi

tubuh laki-laki.

Karena bangunan merupakan bangunan dari penghuni. Dengan simbolisasi atap

sebagai kepala, kolom sebagai badan, dan kaki kolom atau dasar bangunan sebagai

kaki. Semua elemen bangunan tersebut diukur berdasarkan ukuran tubuh sang

pemilik rumah lelaki, yang diukur dengan ukuran, depa, hasta, jengkal, dsb.

Dimaksudkan untuk kenyamanan sang penghuni.

Arsitektur tradisional bali tidak terlepas dari keberadaan asta kosala – kosali

yang memuat tentang aturan-aturan pembuatan rumah atau puri dan aturan tempat

pembuatan ibadah atau pura. Dalam asta kosala-kosali disebutkan bahwa aturan-

aturan pembuatan sebuah rumah harus mengikuti aturan aturan anatomi tubuh sang

pemilik rumah.

Dalam asta kosala-kosali terdapat ukuran-ukuran atau dimensi yang didasarkan

pada ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran jari-jari si pemilik rumah

yang akan menempati rumah tersebut. Seperti musti, yaitu ukuran atau dimensi

untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas. Hasta untuk

ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewasa dari pergelangan tengah tangan

sampai ujung jari tengah yang terbuka. Depa untuk ukuran yang dipakai antara dua

bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan.

8

Penerapan konsep tri angga pada pola ruang pemukiman, yaitu di teritorial rumah

tinggal dan bangunan arsitektur adalah sebagai berikut:

Dalam tata ruang area rumah tinggal, utama angga adalah pelataran pemerajan

atau tempat sembahyang yang dianggap suci, madya angga adalah lokasi

massamassa bangunan tempat tinggal, nista angga adalah teba, yaitu area kandang

hewan, tempat pembuangan sampah/kotoran rumah tangga lainnya. Pada bangunan,

utama angga atau yang dianggap kepala adalah bagian atap (rab), madya angga

adalah “badan” bangunan (pengawak), dan nista angga adalah “kaki” bangunan

(bebataran). Pada bidang vertikal, seperti pada bangunan dan manusia, dengan

mudah dilihat bahwa utama angga adalah bagian atas (kepala), madya angga adalah

bagian tengah (badan), dan nista angga adalah bagian bawah (kaki).

Perumahan tradisional bali juga memiliki konteks kehidupan pribadi dan

masyarakat serta pantangan-pantangan.dalam konteks pribadi seperti halnya

menentukan dimensi pekarangan dan proporsi bangunan memakai ukuran bagian

tubuh penghuni/kepala keluarga, seperti tangan, kaki dan lainnya. Beberapa nama

dimensi ukuran tradisional bali adalah : astha, tapak, tapak ngandang, musti, depa,

nyari, a guli serta masih banyak lagi yang lainnya.

Unsur kesenian

Sebuah rumah tradisional bali terdiri bangunan yang memiliki fungsi berbeda, yaitu:

Angkul-angkul

Angkul-angkul adalah gerbang/pintu masuk dengan atap sebagai penghubung

kedua sisinya. Angkul-angkul memiliki atap piramida yang terbuat dari rumput

kering. Angkul-angkul biasanya lebih tinggi dari dinding yang mengelilingi rumah.

Aling-aling

Aling – aling adalah semacam tembok sekat dari batu setinggi kurang lebih 150

cm, yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga untuk memasuki rumah

harus menyamping ke arah kiri dan saat keluar nanti melalui sisi kanan dari arah

9

masuk. Ini mempunyai tujuan agar pandangan dari luar tidak langsung bisa melihat

apa yang ada di dalam.

Meten / bale daja

Bale meten terletak di bagian utara (dajan natah umah) atau di sebelah barat

tempat suci/ sanggah. Bale meten ini juga sering disebut dengan bale daja, karena

tempatnya di zona utara (kaja). Fasilitas desain interiornya adalah 2 buah bale yang

terletak di kiri dan kanan ruang. Bentuk bangunan bale meten adalah persegi

panjang, dapat menggunakan saka/tiang yang terbuat dari kayu yang berjumlah 8

(sakutus), dan 12 (saka roras). Fungsi bale meten adalah untuk tempat tidur orang

tua atau kepala keluarga di bale sebelah kiri. Sedangkan di bale sebelah kanan

difungsikan untuk ruang suci, tempat sembahyang dan tempat menyimpan alat- alat

upacara.

Sebagaimana dengan bangunan bali lainnya, bangunan bale meten adalah rumah

tinggal yang memakai bebaturan dengan lantai yang cukup tinggi dari tanah

halaman (±75-100 cm). Bangunan ini adalah bangunan yang memiliki tempat

tertinggi pada seluruh bale dalam satu pekarangan disamping untuk menghindari

terjadinya resapan air tanah.

Bale sakepat

Bale sakepat adalah bangunan dengan jumlah tiang empat dan dipergunakan

untuk kamar tidur anak.

Bale sakenem / demi enem

Jumlah tiangnya enam. Fungsinya sama dengan bale sakepat.

Bale dangin / bale gede

Bale dangin terletak di bagian timur atau dangin natah umah, sering pula disebut

dengan balegede apabila bertiang 12. Fungsi bale dangin ini adalah untuk

tempat upacara dan bisa difungsikan sebagai tempat tidur. Fasilitas pada bangunan

bale dangin ini menggunakan 1 bale- bale dan kalau bale gede menggunakan 2 buah

bale-bale yang terletak di bagian kiri dan kanan. Bentuk bangunan bale dangin

10

adalah segi empat ataupun persegi panjang, dan dapat menggunakan saka/tiang

yang terbuat dari kayu yang dapat berjumlah 6 (sakenem), 8 (sakutus/astasari),

9 (sangasari) dan 12 (saka roras/bale gede). Bangunan bale dangin adalah rumah

tinggal yang memakai bebaturan dengan lantai yang cukup tinggi dari tanah

halaman namun lebih rendah dari bale meten.

Pamerajan

Pamerajan adalah kuil yang didedikasikan untuk berdoa kepada tuhan dan

leluhur keluarga.terletak di daerah utama (sisi timur laut) dari rumah, seperti yang

diceritakan pada konsep tri mandala.

Bale dauh

Bale dauh ini terletak dibagian barat (dauhnatahumah), dan sering pula disebut

dengan bale loji, serta tiang sanga. Fungsi bale dauh ini adalah untuk tempat

menerima tamu dan juga digunakan sebagai tempat tidur anak remaja atau anak

muda. Fasilitas pada bangunan bale dauh ini adalah 1 buah bale-bale yang terletak

dibagian dalam. Bentuk bangunan bale dauh adalah persegi panjang, dan

menggunakan saka atau tiang yang terbuat dari kayu. Bila tiangnya berjumlah 6

disebut sakenem, bila berjumlah 8 disebut sakutus/astasari, dan bila tiangnya

bejumlah 9 disebut sangasari. Bangunan bale dauh adalah rumah tinggal yang

memakaibebaturan dengan lantaiyanglebih rendah dari bale dangin serta bale meten.

Paon

Dapur (paon) terletak di sisi selatan rumah milik daerah nista, karena merupakan

tempat di mana keluarga menyimpan peralatan untuk menyembelih hewan dan

menebang pohon, termasuk pisau, kapak, dll.paon terdiri dari dua bagian, bagian

pertama disebut jalikan, yaitu area terbuka yang digunakan untuk memasak dengan

oven kayu api. Bagian kedua adalah sebuah ruangan di mana makanan dan peralatan

memasak lainnya disimpan.

Jineng / lumbung

11

Jineng / lumbung adalah gudang beras.gudang ini terletak di belakang demi

enem, didekat paon (dapur).jineng / lumbung diposisikan lebih tinggi dari bangunan

lainnya.

Konsep arsitektur rumah bali yang diterapkan menggunakan prinsip agama

hindu, bahwa dewa terdapat di tempat yang tinggi (gunung). Dalam hal ini gunung

agung dianggap sebagai orientasi utama. Maka terdapat penzonaan berdasarkan tri

angga, yang disebut nawa sanga, yakni utama, madya, dan nista. Dimana utama

adalah tempat yang dianggap suci, sehingga diperuntukan sebagai tempat

peribadatan (pamerajan). Madya berhubungan dengan kehidupan manusia.

Sedangkan nista merupakan tempat yang dianggap kotor, misalnya kandang babi.

Ditinjau dari unsur kesenian, terdapat dua warna khas yang tetap dipertahankan

pada rumah bali. Yaitu warna bata dan warna batu andesit, serta adanya patung

karakter dari legenda hindu dan ukiran di beberapa bagian rumah seperti atap dan

pintu. Dari unsur hukum, tinggi bangunan yang didirikan di bali tidak boleh melebihi

tinggi pohon kelapa (sekitar 10 hingga 12 meter), sebab ketinggian pohon kelapa

direpresentasikan sebagai tinggi pura utama di bali, yaitu pura besakih.

Pembangunan rumah bali harus dipimpin oleh undagi (arsitek tradisional bali), dan

dikerjakan oleh tukang dari bali.

1. Adanya perubahan gaya hidup yang lebih modern ketika pemilik rumah

memiliki kendaraan bermotor, maka terjadi perubahan pada bentuk rumah bali,

seperti ditiadakannya undakan dan aling-aling di pintu masuk. Kemudian dengan

keterbatasan lahan yang ada saat ini, pembangunan rumah bali tidak lagi dipisah per-

ruang, namun digabungkan dalam satu bangunan yang monolit. Saat pembangunan

rumah, pengukuran tetap menggunakan ukuran skala bagian tubuh dari pemilik

rumah laki-laki, dan tetap harus dipimpin oleh undagi.

Konsep arsitektur rumah bali, masih mengacu pada agama hindu, seperti

pembagian tiga tahapan halaman rumah, yaitu nistamandala yang merupakan

halaman rumah, madyamandala merupakan teras rumah, dan utamamandala yang

merupakan bagian dalam rumah. Terdapat orientasi kaja-kelod (gunung-laut). Pura

selalu menghadap ke tempat tinggi (gunung agung). Rumah tidak boleh lebih tinggi

12

dari pohon kelapa (10-12 m). Namun tinggi pura menyamai tinggi pohon kelapa.

Dalam pembangunannya selalu diadakan upacara adat, seperti peletakan batu

pertama.

Keterdapatan pamerajan tetap dipertahankan, hanya lokasinya saja yang

dipindahkan di paling atas atau depan bangunan, serta warna bangunan yang

berwarna bata dan ornamen berupa patung dari legenda hindu. Terdapat ornamen

khusus di pojok-pojok rumah bali masa kini. Bagian dari rumah bali yang masih bisa

dipertahankan saat ini adalah gapura, yaitu tempat masuk yang melambangkan

gunung dan patung yang berguna untuk menjaga pintu masuk ke gunung. Selain itu,

terdapat konsep seka4 yang menunjukan 4 arah mata angin, yang dulunya digunakan

sebagai tempat berkumpul, dengan tinggi sekitar 2 atau 3 meter, dan diatasnya

terdapat lumbung dan terpisah di luar rumah.

2.1.2 Rumah Tradisional Masa Kini di Provinsi Bali

Kondisi rumah tradisional di Bali pada masa kini sebagian besar mengalami

perubahan pada penggunaan bahan dari bangunan tersebut. Jika dilihat dari segi

filosofis dan tata letak bangunan, bangunan rumah tradisional di Bali masih

memperhatikan kaidah yang berlaku yang digunakan secara turun temurun. Pada

pembahasan di bawah ini diperlihatkan Griya Batuan sebagai objek rumah tinggal

tradisional yang ada pada masa modern di Bali.

a. Elemen Atas

13

Struktur banguan pada banguan tradisisonal Bali umumnya menggunakan

struktur bidang yang terbuat dari kayu atau bambu. Sedangkan pada objek ini

struktur atap menggunakan bahan kayu sebagai struktur initi. Bambu juga digunakan

pada bangian atap namun sebagai elemen estetika untuk menutupi bagian penutup

atap sedangkan bagian struktur kayu dibiarkan terekspos sehingga berfungsi sebagai

elemen estetika, kayu yang dipilih merupaka kayu jati agar kuat dan tahan lama.

b. Elemen Samping

Bagian dinding bangunan pada bangunan tradisional bali umumnya terbuat

dari bahan yang mudah dibongkar sehingga saat banguanan rumah tinggal sudah

diwariskan kepada keturunannya akan diganti dengan bahan yang baru. Penggatian

bahan dipengaruhi oleh aturan bangunan bali yang menggunakan ukuran pengguni

bangunan tersebut sehingga harus dibongkar saat pergantian penghuni. Pada objek

ini elemen samping menggunakan bahan bata gosok, bagian dinding ini bukan

sebagai elemen struktur namun hanya sebagai elemen pengisi atau hanya sebagai

elemen pembatas saja bahan bata dipilih agara lebih mudah memeberi ukiran pada

dinding sebaia penambah ragam hias pada bangun

14

c. Elemen Bawah Bangunan

Pada bagian bawah bangunana umumnya terbuat dari bahan keras atau solid yang

berfungsi menahan beban bangunan, pada objek ini elemen bawah menggunakan

bahan beton yang diselimuti dengan keramik. Penonjolan elemnt struktur untuk

mempertahankan konsep tri angga pada bangunan tradisional bali. Walaupun pada

keadaan tanah yang labil atau lembek bagian bawah bangunan tetap ditonjolkan ke

permukaan tanah agar air tanah tidak naik ke permukaan bangunan sehingga bahan

banguna adi atasnya yang umumnya menggunakan bahan kayu lebih tahan lama.

d. Ornamen

1. Sendi

15

Merupakan pertemuan antara eleman samping dan elemen bawah bangunan ,

juga berfungsi untuk meratakan beban yang diterima dari struktur atap.ini

merupakan salah satu dari penerapan konsep rwa binedha yang juga disebut dengan

konsep lanang wadon.pada bangunan ini bahan yang digunakan adalah bahan

marmer, marmer merupakan bahan yang banyak diimpor dari luar daerah bali

sehingga sudah dapat dikatakan modern.

2. Canggahwang

Penerapan canggahwang ditemukan pada bangunana bale daja dan bale delod

namun dengan tampilan yang berbeda sesuai dengan tahun pembuataanya. pada

gambar kiri canggahwang sudah menggunakan warna-warna cerah seperti merah dan

biru dan pada gambar kanan masih menggunakan warna alami kayu. Walaupun

teknologi telah mempengaruhi arsitektur namun penerapan konsep masih terlihat

sama denagn 2 cabang sebagai penahan gaya lateral bangunan.

16

3. Sendi pada Bangunan Modern

Pada fungsi bangunana dapur(paon) masih menerpkan konsep tradisional

pada bagian saka yang menerapkan konsep lanang wadon namun berbeda dari

penggunaan bahan ,pada bangunana ini menggunakan bahan beton sehingga tidak

terdapat bagian yang dapat bergeser saat terjadi gempa. Namun jika dibandingkan

dengan saka yang menggunakan bahan kayu, tampilan masih terlihat sama

4. Sesaka

Pada bangunan ini bagian atap sudah menggunakan plafon dengan bahan

gypsum sehingga struktur atap sudah tidak terlihat. Namun tonjolan balok yang

ditopang oleh kolom yang berjejer masih memperlihatkan kesan bali. Kesan

17

tradisional bali distonjolkan pada sususan paras pada saka yang disusun berundak

seperti pada bebataran bangunan bali.

2.2 Kondisi Rumah Tradisional Masa Kini di Provinsi DKI Jakarta

Pada masa sekarang ini rumah-rumah adat tradisional khas betawi yang

benar-benar asli di Jakarta sudah sangat langka. Kebanyakan rumah yang dibangun

di lingkungan DKI Jakarta adalah rumah dengan arsitektur modern. Namun, di

beberapa kesempatan tempat seperti di sekitar maruna, condet maupun daerah-

daerah pinggiran lain, rumah tradisional khas betawi masih dapat ditemukan.

Bentuk rumah betawi secara umum berkesan sederhana, hal ini juga

menggambarkan sikap hidup sehari-hari orang betawi yang sederhana. Bahan

bangunan yang banyak dipergunakan adalah kayu atau bambu. Adapun atap rumah

menggunakan genting.

Sebagai contoh ,bentuk rumah kebaya maupun bentuk rumah bapang

(limasan) memiliki bentuk atap yang hampir sama. Akan tetapi kalau dilihat dari

arah depan, bagian atap rumah kebaya bentuknya memanjang, sedangkan rumah

bapang bagian atapnya melebar.

Tempo dulu, rumah gaya betawi asli pada umumnya berlantai tanah,

berdinding kayu atau bilik bambu, serta tiang-tiangnya berasal dari kayu nangka.

Namun,saat ini rumah-rumah yang demikian sudah sangat jarang ditemukan,

berganti dengan rumah yang berlantai ubin dan berkaca nako.

Beberapa bagian rumah yang melengkapi rumah khas betawi adalah sebagai berikut :

a) Ruang depan, yang merupakan ruangak terbuka dengan kayu jati berukir sebagai

langkannya dan berfungsi sebagai tempat menerima tamu.

b) Ruang tamu perempuan, ruang tamu khusus tamu wanita. Ruang tidur atau

pangken.

c) Pendaringan, yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan tempayan berisi

beras dan balai-balai kecil untuk meletakkan barang. Tapang, ruangan kecil

dengan balai-balai yang berfungsi serba guna, di mana tersedia kendidan

peralatan minuman lainnya.

18

d) Dapur, di mana terdapat tungku tradisional dengan tiga lubang biasanya dari

tanah liat.

e) Kamar mandi, biasanya dilengkapi dengan pandasan, sumur beserta senggotnya.

f) Halaman rumah orang betawi pada umumnya ditanami dengan berbagai

tumbuhan. Apabila luas halaman rumah mencukupi maka beberapa jenis pohon

yang biasa ditanam adalah rambutan, nangka, kecapi, petai, jengkol, jamblang,

duku, salak, tangkildan sebagainya. Di seputar rumah biasa ditanami pula dengan

jenis tanaman perdu yang berfungsi sebagai “apotek hidup”, antara lain jahe,

kunyit, lengkuas, kencur, temulawak, beluntas, dan lain sebagainya