Upload
others
View
10
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
26
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Jamaluddin Al-Afghani
1. Silsilah dan Riwayat Hidup Jamaluddin Al-Afghani
Jamaluddin Al-Afghani dilahirkan pada tahun 1838. Ayahnya bernama
Sayyid Shand yang dikenal dengan gelar Shafdar Al-Hussaini. Afghani
merupakan seorang bangsawan terhormat yang mempunyai hubungan nasab
dengan Hussein ibn Ali ibn Abi Thalib. Hal tersebut mengakibatkan Jamaluddin
Al-Afghani mendapat gelar Sayyid (Rusli, 2013: 83; Hadikusuma, 1994: 4).
Sejak kecil Al-Afghani tinggal di Kabul sampai usia 18 tahun. Kakeknya
Sayyid Ali pernah tinggal di Iran, Hamadan, bersama-sama keluarga
(Hadikusuma, 1994: 4-5). Jamaluddin Al-Afghani sangat jenius, ia banyak
mempelajari buku-buku Islam dan filsafat. Berbagai ilmu telah ia pelajari
diantaranya adalah filsafat, hukum, astronomi, sejarah kedokteran, matematika,
methafisika. Kejeniusannya menghantarkan Al-Afghani menguasai enam bahasa
yaitu Arab, Inggris, Perancis, Turki, Persia dan Rusia. Menurutnya Ilmu
pengetahuan akan dikuasai dengan cara menguasai bahasa. Ilmu baginya bukan
hanya ilmu-ilmu yang bersumber dari teks-teks wahyu namun semua sains
merupakan urat nadi kehidupan manusia.
Al-Afghani ketika berumur 19 tahun memutuskan untuk merantau ke
India. Nasionalisme tumbuh karena ia melihat rakyat India yang mengalami
27
kesengsaraan akibat ditindas oleh penjajah Inggris. Kebencian kepada
kolonialisme dan imperialisme semakin membara dalam diri Al-Afghani. Ia
mengobarkan anti-penjajahan dan ikut ambil bagian dalam perjuangan
kemerdekaan India pada Mei 1857. Jamaludin Al-Afghani memberikan semangat,
menyadarkan orang supaya menentang penjajah demi kemajuan masyarakat
agama dan negara. Suatu ketika ia memberikan pidato yang bersemangat
mengobarkan perjuangan kepada rakyat India. Al-Afghani berkata:
“Seandainya jumlah kalian yang beratus-ratus juta ini
ditakdirkan menjadi lalat dan nyamuk sekalipun niscaya dapat
memekakkan telinga orang-orang Inggris dengan suara kalian.
Seandainya kalian ditakdirkan menjadi penyu sekalipun lalu kalian
berenang ke tanah Inggris, bilangan kalian yang banyak ini akan
dapat mengapungkan dan menenggelamkan Inggris dan kamu akan
pulang dengan selamat ke India dalam keadaan selamat”
(www.deryjamaluddin.page.tl: 2007).
Petualangan Afghani sampai di Afganistan. Setelah Al-Afghani diusir dari
Afghanistan tahun 1858, ia pergi ke Istambul Turki pada tahun 1860, menemukan
kesesuainnya dengan reformis sekaligus pemimpin Ali Pasya, tetapi ia diusir
kembali dengan tuduhan bid‟ah tahun 1870 setelah memberikan ceramah umum
dalam rangka pendidikannya dalam filsafat Islam dan membanding-kannya
dengan filsafat, “Keahlian Tetinggi”. Menurutnya sains dan filsafat merupakan
alat untuk menemukan kebenaran tentang dunia. Sains bersifat universal dan
kebenaran yang disingkapkannya besifat tidak terbantahkan (Nasution,1991:52).
Jamaluddin Al-Afghani terlalu agresif dalam menyampaikan gagasan-
gagasannya sehingga dianggap berbahaya maka pergerakan Jamaluddin selalu
diawasi bahkan tidak boleh memakai jalur darat termasuk jalur ke India juga
28
diblokir. Untungnya pada saat kondisi semacam ini Al-Afghani mendapat
undangan dari politisi Mesir terkemuka yaitu Rasyid Pasya untuk ke negerinya
dan tinggal di sana dari kurun waktu 1871-1879. Jamaluddin Al-Afghani
menghabiskan waktunya untuk membina para pemuda dan intelektual di Mesir,
salah satunya adalah Muhmmad Abduh. Ia banyak mengajar bidang studi salah
satunya adalah filsafat Islam. Muhammad Abduh sebagai murid sekaligus
pengagum Jamaluddin selalu mengikuti materi-materi yang diberikannya.
Sehingga tumbuh dalam dada Abduh jiwa yang hampir sama dengan gurunya
yaitu semangat mengobarkan perjuangan dan persatuan umat Islam serta berjuang
menentang penjajah (Hadikusuma, 1994: 5-9).
Awal mulanya Jamaluddin hanya mengabdikan dirinya untuk mengajar
dan membina para pemuda Mesir namun karena jiwa “pembebasnya” maka
muncul semangat menggelora ketika penjajah Inggris ikut campur dalam
persoalan Mesir. Ia terjun lagi di bidang politik dengan menggelorakan semangat
anti penjajahan, pembebasan bahkan mendirikan partai politik bernama Huzbul
Wathoni (Partai Kebangsaan). Inggris menampakkan ketidaksukaannya kepada
aktivitas Jamaludin sehingga mempengaruhi kaum ortodok untuk melawan
Jamaluddin. Jamaluddin diusir dari Masir tahun 1879 kemudian Jamaludin pergi
ke Hyderabad India.
Corak pemikiran Al-Afghani membawa masyarakat Islam pada kemajuan
dan merdeka dari penjajah. Mengembara, berkeliling di berbagai negara untuk
mencari ilmu pengetahuan di samping berdakwah untuk membenarkan
pemahaman ajaran Islam yang sebenarnya. Dari India Jamaluddin melanjutkan
29
pengembaraannya ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah
itu ia pulang ke negerinya, Afganistan. Di sana ia diminta oleh Pangeran Dost
Muhammad Khan untuk membantunya. Tahun 1864 Muhammad Khan diganti
oleh Ser Ali Khan atas bantuan penjajah Inggris. Beberapa tahun kemudian Al-
Afghani diangkat oleh Muhammad A‟zam Khan menjadi perdana menteri
(Nasution, 1991: 51).
Tahun 1882 Al-Afghani pergi mengembara ke Amerika Serikat dan
tinggal beberapa bulan di London, Moscow, dan Rusia. Kemudian keliling Eropa
dilanjutkan ke Paris. Pada awal 1883 ia bekerjasama dengan muridnya Muhmmad
Abduh membuat jurnal anti penjajahan yang bernama Al Urwatul Wustqa. Usia
jurnal hanya tujuh bulan. Terbit pertama tanggal 13 Maret 1884 dan berakhir 16
Oktober 1884 M. Alasannya, penguasa Barat melarang beredarnya jurnal ini
karena khawatir dapat mengobarkan kebencian umat Islam terhadap kolonialisme
dan imperialisme Barat terhadap Islam. Dan sangat khawatir bila umat Islam
bersatu (Nasution, 1991: 53).
Akibat penyakit kanker yang dideritanya, pada tanggal 9 Maret 1897
Jamaluddin menghembuskan nafasnya yang terakhir. Seorang reformer telah pergi
dengan tidak meninggalkan keturunan karena selama hidupnya Jamaludin tidak
menikah. Kondisi tidak menikah inilah yang menjadikan Jamaluddian kuat untuk
selalu mengembara kemana-mana dengan tidak khawatir untuk memikirkan
keluarga, ia bebas mengembara ke berbagai negara untuk mengobarkan semangat
persatuan umat. Jenazahnya dipindahkan ke Afghanistan pada tahun 1944 atas
permintaan pihak kerajaan dan dikebumikan di Universitas Kabul Palestina.
30
Kematiannya kontroversial. Ustadz Abu Rayyah dalam bukunya “Al-Afghani;
Sejarah, Risalah dan Prinsip-prinsipnya”, menyatakan, bahwa Al-Afghani
meninggal akibat diracun dan ada pendapat kedua yang menyatakan bahwa ada
rencana Sultan untuk membinasakannya (www.fospi.wordpress.com: 2007).
2. Karya-karya Jamaluddin Al-Afghani
Karya-karya Al-Afghani umumnya merupakan usaha mempertemukan
rasio manusia dengan teks kitab suci, ajaran filsafat dan ajaran Islam. Hubungan
agama dengan filsafat, beliau mengatakan bahwa semua agama saling menyerupai
dan agama-agama pada derajat yang sama dan secara fundamental tidak cocok
dengan filsafat. Pada manusia agama memberikan iman dan kepercayaan,
sementara filsafat membebaskannya baik sebagian atau seluruhnya.
Jamaluddin Al-Afghani lebih banyak terjun di bidang politik, moral,
intelektual dan sosial, mengajak umat Islam untuk kembali pada Al-Qur‟an,
Hadits dan kehidupan Salaf. Ia membangkitkan semangat umat Islam untuk
melawan penjajahan dan kekuasaan absolut, mendorong umat Islam mempelajari
sains dan teknologi Barat tanpa terbaratkan. Gagasan besar Jamaludin Al-Afghani
terkenal dengan Pan-Islamisme. Tujuan akhirnya adalah menyatukan negara-
negara Islam dalam satu komando kepemimpinan, yang mampu menghalau
campur tangan Eropa dan mewujudkan kembaIi kejayaan Islam. Perjuangannya
bertujuan membangun sistem politik berdasarkan persaudaraan yang telah
berantakan di tangan penjajah. Dialah orang yang pertama yang menyadari
sepenuhnya akan bahaya dominasi Barat .
31
Selain mendirikan surat kabar Al-Urwatul Wustsqo, Al-Misr dan At-Tijarah
Afghani juga telah menyusun beberapa buku, diantaranya:
1) Tatimuta Al- Bayan (Cairo 1879, yang menguraikan tentang aspek
Sejarah, Politik dan Budaya Afghanistan).
2) Ar-raddu „Ala ad-Dahriyyin (Menangkal kaum-kaum pemuja masa,
materalistik, membongkar teori Evolisi atau Darwinisme. Jamaluddin
mengganggap teori Darwin yang dipahami saat itu akan mengingkari
adanya Tuhan).
3) Hakikat Madhabi Naysarifa bayani hali naysariyah ( India, tentang
teologi yang menolak paham materialiasme, naturalisme).
4) Ta‟liqot ala shr Al Dawanni lil aqoid al adudiyah ( Cairo , 1869).
5) Risalat Al waridat fi sirr at-tajaliyat ( Cairo, 1868, buku yang
didiktekan kepada muridnya Muhmamad Abduh ).
6) Khatirot Jamlaudin AL-Afghaai AL-Husaini ( kompilasi atau beberapa
kuliah di forum diskusi) (Asmuni, 1998: 75-76).
B. Biografi Muhammad Abduh
1. Silsilah dan Riwayat Hidup Muhammad Abduh
Muhammad Abduh Hasan Khairullah atau yang lebih dikenal dengan
nama Muhammad Abduh lahir di salah satu desa di daerah Al-Gharbiah Mesir
Hilir (Nasution, 1987: 11; Nizar, 2007: 240). Namun „Imarah dalam bukunya
menyebutkan bahwa Muhammad Abduh lahir di Desa Mahallat Nasr, Syibrakhit,
Provinsi Buhairah Mesir („Imarah, 2009: 225). Muhammad Abduh lahir pada
32
tahun 1849 M dan wafat pada tahun 1905 M. Ayahnya, Abduh bin Hasan
Khairallah, mempunyai silsilah keturunan dengan bangsa Turki. Sedang ibunya,
mempunyai silsilah keturunan dengan orang besar Islam, Umar bin Khathab
Khalifah yang kedua (Abduh, 1975: 17).
Abduh bin Khairallah di masa remaja terpaksa meninggalkan kampung
halamannya, setelah orang tuannya, yaitu kakek Muhammad Abduh, meninggal
dunia. Kakeknya diketahui sebagai orang yang turut menentang pemerintahan
Muhammad Ali. Ayah Muhammad Abduh pernah masuk penjara. Setelah ia
bebas, untuk sementara waktu ia menetap di daerah Al-Gharbiah. Di sana lah ia
bertemu dengan ibu Muhammad Abduh kemudian mereka menikah. Dari hasil
perkawinannya lahirlah Muhammad Abduh dan dua saudara perempuannya.
Setelah keadaan politik kembali normal, Abduh Khairullah kembali ke Mahallat
Nasr, kampung halamannya semula. Di sinilah Muhammad Abduh berkembang
menjadi anak remaja (Nasution, 1987 : 11).
Nasution juga menambahkan, Muhammad Abduh belajar menulis dan
membaca di rumah. Ia juga belajar menghafal Al-Qur‟an di bawah bimbingan
seorang guru. Pada tahun 1866 diusianya yang ke-16 tahun , Muhammad Abduh
memutuskan untuk menikah. Pada suatu ketika ia hendak menuju Masjid Ahmad
di Thanta atas perintah ayahnya, Muhammad Abduh bertemu dengan Syeikh
Darwisy Khadr yang merupakan paman dari ayah Muhammad Abduh (Nizar,
2007: 241). Beliau adalah seorang yang sering melakukan perjalanan ke luar
Mesir untuk belajar berbagai ilmu agama Islam. Syeikh Darwisy Khard
merupakan pengikut tarikat Al-Syaziliah (Nasution, 1987: 11).
33
Muhammad Abduh menceritakan sebagaimana yang dikutip oleh Harun
Nasution dari kitab; Muzakirat al-Iman Muhammad Abduh, bahwa ia pada saat itu
benci melihat buku, dan buku yang diberikan oleh Syeikh Darwisy ia lempar jauh-
jauh. Buku itu kemudian diambil lagi oleh Syeikh Darwisy dan diberikan lagi
kepada Abduh. Syeikh Darwisy selalu sabar menghadapi Abduh, dan akhirnya
Abduh mau untuk membaca buku walaupun hanya beberapa baris. Setiap barisnya
Darwisy memberikan penjelasan luas tentang arti dan maksud yang dikandung
kalimat tersebut. Akhirnya Muhammad Abduh berubah sikapnya terhadap buku
dan ilmu pengetahuan. Hingga akhirnya ia paham dengan setiap yang ia baca.
Pada bulan Oktober 1865 M/ 1288 H, Muhammad Abduh kembali ke Thanta
(Nizar, 2007: 241).
Muhammad Abduh melanjutkkan pendidikan di Thanta, akan tetapi 6
bulan belajar di Thanta ia pergi ke Cairo untuk melanjutkan belajarnya di al-
Azhar yang diyakininya al-Azhar adalah tempat mencari ilmu yang sesuai
untuknya (Nasution, 1987: 12; Nizar, 2007: 241). Pada tiap libur tahunan Abduh
kembali ke Mahallat Nasr. Syeikh Darwisy, yang terus memperhatikan
perkembangan studinya senantiasa menunggu kedatangannya. Muhammad Abduh
menceritakan bahwa di al-Azhar ia hanya belajar ilmu-ilmu agama saja. Tidak
seperti yang ia bayangkan bahwa di al-Azhar ia akan belajar ilmu-ilmu lainnya.
Metode pembelajaran yang digunakan di al-Azhar sama dengan yang di terapkan
di Masjid Al-Ahmad di Thanta, yaitu metode menghafal. Muhammad Abduh
lebih senang membaca kitab yang ia gemari di perpustakaan di al-Azhar
(Nasution, 1987: 12-13).
34
Muhammad Abduh akhirnya mencari ilmu-ilmu diluar ilmu agama dan
bahasa Arab di luar al-Azhar. Ilmu- ilmu itu ia jumpai pada seorang ulama
bernama Syeikh Hasan Al-Tawil, yang mengerti tentang ilmu falsafah, logika,
ilmu ukur, persoalan tentang dunia dan politik. Namun pelajaran yang diberikan
Syeikh Hasan kurang memuaskan bagi Muhammad Abduh (Nasution, 1987: 13).
Nasution juga menambahkan, pada tahun 1286 H/ 1870 M, Abduh
bertemu dengan sayyid Jamaludin Al-Afghani. Bersama Jamaludin, Muhammad
Abduh mendapat kepuasan belajar ilmu falsafah, matematika, teologi dan
sebagainnya. Ia mengajak teman-temannya untuk turut belajar bersama tokoh
pembaharu itu. Meskipun Abduh aktif mencari ilmu di luar al-azhar, di al-azhar
sendiri pun ia tidak melalaikan tugasnya sebagai mahasiswa hingga ia meraih
gelar „alim pada tahun 1877 (Nizar, 2007: 242).
Muhammad Abduh meninggal pada tanggal 11 Juli 1905 M/ 1314 H.
Menurut Nasution dalam bukunya Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu‟tazilah, Abduh diketahui mengidap sakit kanker hati yang sudah ia derita
sejak lama. Muhammad Abduh kemudian dimakamkan di Iskandariyah, Mesir
(www.ilma95.net :2005).
2. Riwayat Pendidikan Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir dari keluarga yang taat beragama. Mula-mula
Muhammad Abduh diserahkan oleh orang tuanya belajar mengaji Al-qur‟an.
Berkat kemampuan berfikirnya yang cemerlang, maka dalam waktu dua tahun ia
telah menghafal Al-Qur‟an ketika ia masih berusia 12 tahun.
35
Riwayat pendidikannya ia lanjutkan dengan belajar ilmu agama di Masjid
Ahmadi yang terletak di desa Thanta. Hingga akhirnya ia melanjutkan
pendidikannya diperguruan tinggi Islam Al-Azhar Kairo. Di kampus ini ia banyak
kenal dengan dosen-dosen hebat, diantaranya ada Syaikh Hasan ath-Thawi yang
mengajarkan kitab-kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles,
dan lain sebagainya. Padahal, kitab-kitab tersebut tidak diajarkan di al-Azhar pada
waktu itu. Kedua, Muhammad al-Basyuni, seorang ilmuan yang banyak
mencurahkan perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melalui pengajaran tata
bahasa melainkan melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktekkannya
(www.jejakulama.com: 2011).
Keberhasilan Muhammad Abduh dalam pendidikannya tidak dapat
dipisahkan dengan pertemuan Abduh dengan gurunya Jamaluddin Al-Afghani.
Pertemuan pertama kali Muhammad Abduh dengan Jamaluddin Al-Afghani untuk
pertama kalinya ketika Muhammad Abduh yang masih menyandang predikat
mahasiswa Al-Azhar datang ke rumah Jamaluddin Al-Afghani bersama gurunya,
Syekh Hasan At-Tawil, yang dalam pertemuan tu mereka berdiskusi tentang ilmu
tasawwuf dan tasfir.
Sejak itulah Abduh tertarik berguru kepada Jamaluddin karena menurut
Abduh, cara berpikir yang modern dan pengetahuannya yang luas mengakibatkan
Abduh benar-benar mengaguminya dan selalu berada si sampingnya sambil
belajar juga di Al-Azhar. Muhammad Abduh juga mengajak mahasiswa Al-Azhar
lainnya untuk belajar bersama Jamaluddin Al-Afghani.
36
Muhammad Abduh dan teman-temannya tidak hanya berdiskusi tentang
ilmu-ilmu agama, mereka belajar juga pengetahuan-pengetahuan modern, filsafat,
sejarah, hukum, ketata negaraan, dan ilmu lainnya. Satu hal istimewa yang
diberikan Jamaluddin Al-Afghani kepada Muhammad Abduh ialah semangat
berbakti kepada masyarakat dan berjihad memutus rantai-rantai kekolotan dan
cara-cara berfikir yang fanatik dan merombaknya dengan berfikir yang lebih maju
dan modern. Udara baru yang ditiupkan Jamaluddin Al-Afghani, berkembang
dengan pesat sekali di Mesir, terutama dikalangan mahasiswa-mahasiswa Al-
Azhar yang dipelopori oleh Muhammad Abduh.
Muhammad Abduh sangat terpengaruh oleh pemikiran Jamaluddin Al-
Afghani, gurunya. Bagi Abduh, Jamaluddin Al-Afghani adalah orang yang telah
membukakan dunia Islam di hadapannya, beserta problema yang dihadapinya di
zaman modern. Jamaluddin Al-Afghani bahkan telah mendorong dan
mengarahkan Abduh untuk membuat sebuah penerbitan yang menjadi media
dakwah bagi kedua orang tersebut. Dari sini lahirlah majalah Al-Urwah at-Wutsqa
(www.ilma95.net: 2005 ).
3. Riwayat Pekerjaan Muhammad Abduh
a. Mengajar di Al-Azhar dan Darul Al-Ulum
Berkat gelar yang ia dapatkan setelah ia lulus di Al-Azhar, Abduh
mempunyai hak dan wewenang untuk mengajar di al-Azhar. Di setiap majelis
pembelajarannya senantiasa didatangi banyak mahasiswa. Menurut Ahmad Amin
dalam Nasution (1987: 14), ilmu-ilmu yang diajarkannya adalah logika, teologi,
37
dan falsafah. Selain di al-Azhar, atas usaha dari Perdana Menteri Mesir Riadl
Pasya, ia juga mengajar di Darul al-Ulum dan di rumahnnya sendiri.
Bersumber ilmu-ilmu yang diajarkannya, baik di al-Azhar maupun di
Darul al-ulum dan di rumahnya, terlihat bahwa pengetahuan Muhammad Abduh
tidak hanya terbatas pada ilmu keagamaan yang diajarkan di al-Azhar, tetapi juga
mencakup logika, falsafah, sejarah dan peradaban Eropa yang diperolehnya
melalui bacaannya diluar Universitas al-Azhar, terutama di bawah bimbingan
Jamaluddin al-afghani (Nasution, 1987: 15).
Abduh ketika memangku jabatannya itu, ia terus mengadakan perubahan-
perubahan yang radikal sesuai dengan cita-citannya, yaitu memasukkan udara
baru yang segar ke dalam perguruan-perguruan tinggi Islam, menghidupkan Islam
dengan metode-metode baru sesuai dengan kemajuan zaman,
memperkembangkan kesusasteraan Arab sehingga ia merupakan bahasa yang
hidup dan kaya-raya, serta melenyapkan cara-cara lama yang kolot dan fanatik.
Tidak saja itu, tetapi ia juga mengkritik politik pemerintah pada umumnya,
terutama sekali politik pengajaran, yang menyebabkan para mahasiswa Mesir
tidak mempunyai roh kebangsaan yang hidup, sehingga rela dipermainkan oleh
politik penjajahan asing (Abduh, 1975: 18).
Namun setelah kurang lebih dua tahun ia melaksanakan tugasnya sebagai
dosen dengan cita-cita yang murni dan semangat yang penuh, pada tahun 1879
pemerintah Mesir berganti dengan yang lebih kolot dan reaksioner. Pemerintahan
yang baru ini segera memecat Abduh dari jabatannya dan mengusir Jamaluddin
38
dari Mesir. Akan tetapi pada tahun berikutnya, Abduh diberi tugas kembali oleh
pemerintah menjadi pemimpin majalah Al Waka‟i Al Mishriyah dan sebagai
pembantunnya diangkat Sa‟ad Zaglul Pasya, yang kemudian ternyata menjadi
pemimpin Mesir yang termasyur. Dengan majalah ini, Abduh mendapat
kesempatan yang lebih luas untuk kembali menyampaikan isi hatinya, dengan
menulis artikel-artikel yang hangat dan tinggi nilainya tentang ilmu-ilmu agama,
filsafat, kesusasteraan dan lain-lain. Dan juga ia mendapat kesempatan untuk
mengkritik pemerintah tentang nasib rakyat, pendidikan dan pengajaran di Mesir
(Abduh, 1975: 19).
b. Dibuang ke Syria (Beirut)
Tahun 1882 terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Urabi Pasya di
Mesir. Muhammad Abduh adalah tokoh yang termasuk ke dalam golongan
nasionalis yang pada hakikatnya tidak setuju dengan politik Urabi Pasya dalam
menentang penguasa dan menutut parlemen. Menurut pandangannya, rakyat
Mesir belum matang untuk hidup dalam kehidupan parlemen. Menurut Abduh,
untuk kehidupan parlemen rakyat harus dicerdaskan lebih dahulu. Oleh karena itu
yang diperlukan Mesir pada waktu itu bukanlah parlemen, tetapi pendidikan yang
dapat mencerdaskan rakyat Mesir (Nasution, 1987: 17).
Peristiwa ini dikenal dengan revolusi Urabi Pasya, dari peristiwa ini
Muhammad Abduh pun ditangkap beserta pemimpin-pemimpin lainnya yang
terang-terangan melakukan pemberontakan. Ia dipenjara dan diasingkan ke luar
Mesir pada akhir tahun 1882 M. Pemerintah Mesir memutuskan untuk
39
mengasingkannya selama tiga tahun dengan memberikan hak kepadanya untuk
memilih tempat pengasingannya dan Muhammad Abduh memilih Beirut, Syiria
(Sjadzali, 1990: 121).
Muhammad Abduh ketika di Beirut mendapat kesempatan mengajar di
Perguruan Tinggi Sulthaniyah, kurang lebih satu tahun (Abduh, 1975: 19). Tahun
1984 M, Muhammad Abduh mendapatkan surat dari Jamaluddin Al-Afghani.
Surat itu berisikan ajakan Al-Afghani kepada Abduh untuk datang ke Paris,
karena pada saat itu Al-Afghani sedang berada di Paris.
c. Mendirikan Gerakan Al-Urwatul Wutsqa
Gerakan Al-Urwatul Wutsqa merupakan gerakan yang dibentuk oleh
Jamaluddin Al-Afghani bersama Muhammad Abduh di Paris. Tujuan dibentuknya
gerakan ini ialah membangkitkan semangat perjuangan seluruh umat Islam dalam
menentang ekspansi Eropa ke dunia Islam. Untuk tujuan tersebut diterbitkanlah
majalah yang juga bernama Al-Urwatul Wutsqa. Menurut Ahmad Amin dalam
Nasution, jiwa dan pemikiran yang dikandung majalah itu berasal dari
Jamaluddin Al-Afgani, sedang tulisan yang mengungkapkan jiwa dan pemikiran
itu adalah dari Muhammad Abduh (Nasution, 1987: 17).
Tulisan-tulisan yang berisi jiwa dan pemikiran revolusioner tersebut
membangkitkan semangat umat Islam baik di daerah-daerah yang sudah jatuh ke
bawah kekuasaan Eropa maupun yang belum, untuk melawan kolonialisme dan
ekspansi dari Eropa. Hal tersebut membuat kaum imperialis menjadi gempar dan
cemas. Akhirnya Al-Urwatul Wutsqa hanya dapat bertahan delapan bulan dengan
40
delapan belas kali penerbitan. peristiwa ini membuat Abduh dan Al-Afghani
berpisah dan meninggalkan Paris (Nasution, 1987: 17, Abduh, 1975: 19).
d. Menjadi Mufti Mesir
Tanggal 3 Juni 1899 Abduh diserahi jabatan oleh Pemerintah untuk
menjadi Mufti Mesir. Yaitu suatu jabatan yang paling tinggi dipandang oleh kaum
Muslimin. Jabatan itu ia dapatkan karena menggantikan Syekh Hasanuddin Al-
Nadawi. Berbeda dengan Mufti-Mufti sebelumnya, Abduh tidak membatasi
dirinya hanya sebagai alat penjawab pertanyaan-pertanyaan pemerintah saja,
tetapi ia memperluas tugas jabatan itu untuk kepentingan kaum Muslimin. Apa
saja masalah-masalah yang timbul di kalangan kaum Muslimin, terutama bangsa
Mesir, yang dihadapkan kepadanya dilayaninya dengan senang hati dan
diselesaikan dengan baik (Abduh, 1975: 20).
Berdasarkan pernyataan di atas dapat dikatakan juga bahwa Muhammad
Abduh berusaha untuk memperbaiki pandangan masyarakat bahkan pandangan
Mufti sendiri tentang kedudukan mereka sebagai seorang hakim. Mufti-Mufti
sebelumnya berpandangan, bahwa sebagai hakim bertugas sebagai penasihat
hukum bagi kepentingan negara. Di luar itu seakan mereka melepaskan diri dari
orang yang mencari kepastian hukum. Mufti bagi Muhammad Abduh bukan hanya
berkhidmat pada negara, tetapi juga pada masyarakat luas. Dengan demikian,
kehadiran Muhammad Abduh tidak hanya dibutuhkan oleh negara tetapi juga oleh
masyarakat luas.
41
Abduh diangkat pula menjadi anggota Majelis Perwakilan (Legistative
Council). Dalam majelis ini Abduh banyak memberikan jasa-jasanya, dan oleh
karena itu pula Muhammad Abduh sering ditunjuk menjadi ketua panitia
penghubung dengan pemerintah (Abduh, 1975: 20).
4. Karya-karya Muhammad Abduh
Adapun beberapa karya-karya dari Muhammad Abduh seperti :
1) Risalah Al‟Aridat tahun 1873 M
2) Hasyiah-Syarah Al-Jalal Ad-Dawwani Lil-Aqa‟id Al-Adhudhiyah
tahun 1875 M. Karya ini ditulis Muhammad Abduh ketika berumur 26
tahun. Karya ini berisi tentnag aliran-aliran filsafat, ilmu kalam
(teologi) dan tasawuf. Serta berisikan kritikan pendapat-pendapat yang
salah.
3) Risalah At-Tauhid, karya ini berisikan tentang teologi.
4) Syarah Nahjul-Balaghah, karya ini berisikan komentar menyangkut
kumpulan pidato dan upacara Imam Ali bin Abi Thalib.
5) Menerjemahkan kitab karangan Jamaluddin Al-Afghani yaitu Ar-
Raddu‟ Ala Al-Dahriyyin dari bahasa Persia. Karya ini berisikan
bantahan terhadap orang yang tidak mempercayai wujud Tuhan.
6) Syarah Maqamat Badi‟ Al-Zaman Al-Hamazani, karya ini berisikan
tentang bahasa dan sastra Arab.
7) Tafsir Al-Manar, karya ini berorientasi pada sastra-budaya dan
kemasyarakatan.
42
C. Pengertian Salafiyah
Salafiyah yang muncul pada era dunia modern atau yang disebut dengan
salafiyah modern muncul pada abad ke-19. Kemunculan salafiyah modern
disebabkan karena kaum salafiyah sering disebut sebagai golongan tradisional.
Kategori ini disebutkan karena kecenderungan salafiyah untuk kembali ke asal
dan akar yaitu ke masa lampau pada zaman Nabi dan parasahabatnya dalam
generasi kaum salaf (Nashir, 2013: 152). Sebelum membahas kemunculan
salafiyah modern, peneliti membahas tentang pengertian salafiyah terlebih dahulu.
Arti salaf secara bahasa adalah pendahulu bagi suatu generasi. Sedangkan
dalam istilah syariah Islamiyah as-salaf itu ialah orang-orang pertama yang
memahami, mengimani, memperjuangkan serta mengajarkan Islam yang diambil
langsung dari sahabat Nabi SAW, para tabi‟in (kaum mukmin yang mengambil
ilmu dan pemahaman/murid dari para sahabat) dan para tabi‟in tabi‟in (kaum
mukmin yang mengambil ilmu dan pemahaman /murid dari tabi‟in. Istilah yag
lebih lengkap bagi mereka adalah as-salafus sha>lih. Selanjutnya pemahaman as-
salafus sha>lih terhadap Al-Qur‟an dan Al-Hadits dinamakan as-salafiyyah.
Sedangkan orang Islam yang ikut pemahaman ini dinamakan salafi. Demikian
pula dakwah kepada pemahaman ini dinamakan dakwah salafiyyah (Thalib, 1995:
15).
Salafiyah (Salafiyyah) sebagai suatu istilah dengan berbagai kata lainnya
seperti Salafiyyun, Salafiyyin, Salafy atau Salafi, memiliki kaitan dengan kata
Salaf, dalam bahasa Arab berarti “terdahulu, telah lalu, telah selesai, kaum di
43
masa lalu, dan sebagainya”. Adapun secara istilah, yang dimaksud di sini ialah
Salafus Shalih, yaitu para pendahulu umat Islam yang saleh. Mereka adalah tiga
generasi Islam pertama, yaitu para Sahabat, generasi Tabiin (para pengikut
Sahabat), dan Tabiin-Tabiin (Para pengikut Tabiin) sesuai dengan penjelasan
Rasulullah saw dalam haditsnya: “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di
masaku, kemudian yang mengikuti mereka, kemudian yang mengikuti mereka”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Salafiyah (Salafiyyah) merupakan paham orang-orang yang
mengidentifikasikan pemikiran mereka dengan pemikiran para Salaf. Adapun
gerakan Salafiyah adalah suatu gerakan yang ingin mengembalikan agama Islam
kepada dua macam sumbernya yang murni, yaitu Kitab Suci Al-Quran dan
Sunnah Nabi, dengan meninggalkan pertengkaran mazhab dan segala bid‟ah yang
disisipkan orang ke dalamnya (Nashir, 2013: 148-150).
El Fadl dalam bukunya yang berjudul Sejarah Wahabi & Salafi juga
menjelaskan istilah salaf berarti pendahulu, dan dalam konteks Islam, pendahulu
itu merujuk pada periode Nabi, para Sahabat, dan Tabiin. Selain itu, istilah salafi
(seseorang yang mengikuti kaum salaf ) punya makna fleksibel dan lentur serta
memiliki daya tarik natural, sebab ia melambangkan autensitas dan keabsahan.
Salafisme menyeru untuk kembali pada konsep yang sangat dasar dan
fundamental di dalam Islam-bahwa umat Islam seharusnya mengikuti preseden-
preseden Nabi dam para Sahabatnya yang mendapat petunjuk (al-salaf al-sha>lih)
dan juga generasi awal yang saleh (El Fadl, 2015: 59-60).
44
Menurut Karyono dalam harian Kompasiana online istilah salafi lahir
sebagai identifikasi sebuah gerakan pemurnian Islam sebagaimana yang diajarkan
Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Kata salaf sendiri berarti "yang
terdahulu". Dalam hal ini pengertian salaf (yang terdahulu) adalah generasi
Sahabat Nabi, Tabiin, dan Tabiut Tabiin. Pengertian itu merujuk kepada sebuah
hadis Nabi SAW yang berbunyi, "Sebaik - baik generasi adalah mereka yang
hidup pada masaku, kemudian sesudahnya lagi, kemudian sesudahnya lagi". Jadi,
salafiyah adalah ajaran Islam yang merujuk kepada Al-Qur'an dan As Sunnah
berdasarkan pemahaman salafus shalih (tiga generasi awal). Orang - orang yang
mengikuti ajaran salafiyah disebut dengan salafi (www.kompasiana.com: 2012).
Hakikatnya, tidak ada persoalan dengan istilah Salafi. Sebab, secara
harfiah berarti mengikuti kaum salaf, yakni Rasulullah SAW dan para sahabat.
Setiap Muslim tentu bertekad untuk meneladani Rasulullah SAW dan, para
sahabat dan tabi‟in nya. Generasi beliau (Nabi SAW), sahabat dan tabi‟in adalah
generasi terbaik umat ini. Generasi inilah yang disebut as-Salafu Sha>lih.
Guna menghadapi pemikiran dan keyakinan bid‟ah, seperti Khawarij,
Syiah, Qadariyah, Murji‟ah, Mu‟tazilah dan lainnya, pada masa tabi‟in dan
sesudahnya, munculnya istilah Ahlu Sunnah wal Jama>h. Istilah ini menegaskan
keharusan umat Islam untuk berpegang pada Al Qur‟an dan Sunnah, dan agar
umat Islam bersatu di dalamnya. Dalam konteks kekinian, kehadiran gerakan
Salafi mempunyai sejumlah nilai positif dalam bentuk upaya menghidupkan
45
sunnah, memerangi syirik dan bid‟ah, menekankan rujukan kepada para ulama
yang keilmuannya diakui oleh kaum Muslimin dan lainnya (El Fadl, 2015:60).
Secara sederhana, salafi berarti orang-orang di zaman sekarang yang
mengikuti generasi Salaf. Jadi, Salaf yang dimaksud adalah tiga generasi islam
permulaan (generasi Rasulullah SAW dan para sahabat ra, generasi Tabi‟in dan
gerenasi Tabi‟ut Tabi‟in) itulah yang kerap disebut as-Salafu Sha>lih, yaitu para
pendahulu umat Islam yang shalih. Istilah Salafi merujuk pada pengertian,
seseorang yang mengikuti ajaran Salafus Shalih ra. Adapun bentuk jamak (plural)
dari Salafi ialah Salafiyun atau Salafiyin.
Menurut harian Arrahmah online, dalam diri para Salafu Sha>lih memiliki
sifat-sifat berikut ini:
1. Berakidah lurus, beribadah kepada Allah, dengan tidak menjadikan bagi-
Nya sekutu dalam bentuk apapun.
2. Mengimami Rasulullah Saw, membenarkan ajarannya, memuliakan
Syari‟atnya, membela kemuliannya, serta berjalan di atas cahaya
petunjuknya.
3. Sebagai konsekuensi tauhid ialah munculnya Al Wala’ Wal Bara’, yaitu
menetapkan Wala‟ (Kesetiaan) kepada orang-orang yang beriman, dan
menetapkan Bara‟ (anti kesetiaan) kepada orang-orang kafir.
4. Mengerjakan shalat (berjamaah bagi laki-laki dewasa), menunaikan zakat,
menginfakkan sebagian rezeki disaat lapang maupun sempit.
46
5. Sikap itsar, yang mendahulukan saudara mukmin, meskipun diri sendiri
kukurangan dan membutuhkan.
6. Hidupnya bermanfaat bagi orang lain, ibarat pohon kurma yang selalu
mengeluarkan buah di setiap musim.
7. Senantiasa menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah dari perbuatan
buruk (menunaikan amar makruf nahi munkar).
8. Berakhlak mulia, menjauhi kesia-siaan, memelihara kehormatan diri,
menunai amanah dan jani-janji. Menahan amarah, memaafkan manusia,
serta tidak melayani perkataan orang-orang jahil.
9. Senantiasa berdzikir mengingat Allah di pagi dan petang, tidak lalai dari
dzikir karena kesibukan perdagangan, jual beli, pekerjaan dll.
10. Menunaikan hak-hak persaudaraan (ukhuwah), tidak menghina, tidak
mencela, tidak memanggil dengan gelaran buruk, menghindari prasangka
buruk, tajassus (mencari-cari kesalahan), dan ghibah (bergunjing).
11. Hatinya lembut untuk senantiasa bertaubat, memohon ampun atas dosa-
dosa, dan lekas berhenti dari perbuatan keji.
12. Berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa, serta tidak melemah atau
lesu menghadapi segala resiko jihad di jalan Allah (www.arrahmah.com:
2011).
Tujuan dari dakwah Salafiyah adalah:
1. Mengembalikan umat manusia kepada posisinya sebagai hamba Allah dan
tugasnya sebagai hamba-Nya, yaitu mentauhidkan-Nya dalam:
47
a). Rububiyyah-Nya, dengan arti meyakini-Nya sebagai satu-satunya
pencipta, pemberi rezeki, penguasa dan pemilik segenap makhluk-Nya.
b). Uluhiyyah-Nya, yaitu meyakini hanya Allah-lah satu-satunya Dzat
yang pantas dan harus diibadahi.
c). Asma‟wa Sifat-Nya, yaitu meyakini bahwa Allah-lah satu-saunyaDzat
yang mempunyai nama-nama kebesaran dan sifat-sifat kemuliaan yang
sempurna dan tidak sama dengan kebesaran serta kemuliaan yang ada pada
makhluk.
2. Membersihkan hati, lisan dan amalan manusia dari noda syirik sehingga
syirik tidak menurunkan nilai amalan dan keyakinannya atau tidak
membatalkan keduanya.
3. Menyelamatkan umat manusia dari api neraka dan adzab kubur serta
mengantarkan mereka kepada rahmat Allah dan magfirah-Nya (ampunan-
Nya) (Thalib, 1995:39).
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai pengertian, tujuan, dan ciri-ciri
dari seorang yang menganut paham Salafi dapat digaris bawahi bahwa para
pendiri salafisme menegaskan bahwa dalam menghadapi semua persoalan, umat
Islam seharusnya kembali pada sumber tekstual asli yaitu Al-Qur‟an dan Sunnah
Nabi.
D. Munculnya Salafiyah Modern
Menurut Istadiyantha dalam disertasinya, 2004 Transmisi Ideologi
Gerakan Islam Politik Timur Tengah Terhadap Gerakan Islam Politik Di
48
Yogyakarta dan Surakarta, Salafiyah dibagi menjadi empat penafsiran
berdasarkan karakter dan periodisasinya. Pertama, salafiyah klasik yaitu
kecenderungan intelektual untuk kembali kepada Islam yang murni yang
dipelopori oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal. Kedua, salafiyah pra modern yaitu
berupa gerakan reformasi yang muncul pada abad ke-18 dengan tujuan menangani
kehancuran moral dan sosial umat muslim yang didirikan oleh Muhammad Ibn
Abdul Wahab. Dalam gerakan ini, mereka berjuang bukan untuk membangun
model yang bisa hidup pada masa depan, melainkan menciptakan kembali model
awal Nabi dan para Sahabat. Ketiga, salafiyah modern yang dipelopori oleh
Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh pada pergantian abad ke-20.
Tujuan utamanya adalah menyingkirkan mentalitas taklid dan jumud (stagnasi)
dari umat Islam berabab-abad, mengembalikan Islam pada bentuk murninya, dan
mereformasi kondisi moral, budaya, dan politik. Meskipun dua tokoh serangkai
ini berusaha kembali kepada sumber otoritas Islam Al-Qur‟an dan Sunnah seperti
dalam Salafiyah Klasik, Salafiyah modern selangkah lebih jauh dalam usaha
mereka membuat sintesis antara teks dan akal. Mereka menganggap wahyu dan
akal sepenuhnya harmonis. Keempat, salafiyah sebagai istilah, yaitu orang yang
mengamalkan ajaran Nabi, para tabiin, dan tabiin-tabiin, mereka tidak di batasi
oleh ruang dan waktu.
Sesuai dengan pandangan Salafisme, setiap orang dinilai memenuhi
kualifikasi untuk kembali pada sumber asli Islam dan berbicara atas nama Tuhan.
Logika dan asumsi Salafisme sendiri adalah bahwa setiap orang awam itu dapat
membaca Al-Qur‟an dan kitab-kitab yang memuat hadis Nabi dan para Sahabat
49
dan kemudian membuat penilaian hukum. Ekstrimnya, ini berarti bahwa setiap
individu muslim dapat membuat versinya sendiri mengenai hukum Islam (El Fadl,
2015: 61-62).
Kaum salafiyah sering pula disebut sebagai golongan tradisional, kadang
disamakan juga dengan fundamentalisme. Hal tersebut disebabkan karena
kecenderungan Salafiyah untuk kembali ke asal dan akar, ke masa lampau pada
zaman Nabi dan para sabahatnya dalam generasi kaum salaf (Nashir, 2013: 152).
Hal tersebut membuat masyarakat muslim hanya beorientasi pada aspek
keagamaan saja yang tanpa disadari aspek-aspek lainnya ternyata telah tertinggal
jauh dari tuntutan kehidupan yang ada. Faktor lain munculnya salafiyah modern
pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah munculnya sikap taklid dan jumud
pada masyarakat muslim.
Banyak pendukung salafisme berkeinginan kuat untuk membuang
belenggu tradisi dan terlibat dalam memikirkan solusi Islam dari sudut tuntutan
modern. Satu bagian penting pada salafisme adalah bahwa sebagian besar ia
didirikan oleh kaum nasionalis muslim yang sangat ingin menafsirkan nilai-nilai
modernisme ke dalam sumber-sumber orisinal Islam. Salafisme ditandai dengan
keinginan yang kuat untuk menggapai hasil yang akan membawa Islam selaras
dengan modernitas, bukan hasrat untuk secara kritis memahami modernitas
maupun tradisi Islam itu sendiri (El Fadl, 2015: 62-63).
Berdasarkan faktor-faktor di atas, lahirlah sebuah gerakan modernisme
Islam yang dipelopori oleh Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh
50
sebagai sebuah gerakan Salafiyah modern. Modernisasi atau pembaharu Islam
sendiri bagi para penggeraknya sebagaimana ditunjukkan oleh tokoh dua
serangkai pembaru Islam tersebut memiliki perspektif yang kukuh bahwa original
message Islam yang telah memberikan bagan ideal bagi pembentukan masyarakat
Muslim pada masa lalu tetap berlaku untuk masa kini maupun masa yang akan
datang (Nashir, 2013: 152-153).
Kaum modernis masuk dalam kategori Salafiyah karena watak utama
moderisme ialah mengajak kembali ke Islam yang murni yang bertema ar-ruju>’u
ila> al-Qura>n wa as-Sunnah, selain orientasi pada pembaruan melalui ijtihad.
Gerakan modernisme Islam belakangan ini disebut pula dengan gerakan
pemurnian (purifikasi), sehingga dalam makna lain sering pula disebut sebagai
gerakan puritan. Pada perkembangan berikutnya dari corak dan orientasi
Salafisme atau juga modernisme Islam itu maka muncul berbagai ragam gerakan
baik yang bersifat radikal atau fundamentalis, moderat, maupun liberal (2013:
153).
Sjadzali dalam bukunya (1990: 124) menyebutkan Salafiyah modern yang
dicetuskan oleh tokoh dua serangkai Jamaluddin Al-Afghani dan diteruskan oleh
muridnya Muhammad Abduh dengan sebutan Salafiyah (baru). Menurutnya,
Salafiyah (baru) dari Afghani terdiri dari tiga komponen utama, yakni (1)
keyakinan bahwa kebangunan dan kejayaan kembali Islam hanya mungkin
terwujud jika umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang masih murni, dan
meneladani pola hidup para sahabat Nabi, khususnya Khulafa Rasyidin, (2)
51
perlawanan terhadap kolonialisme dan dominasi Barat, baik politik, ekonomi,
maupun kebudayaan, (3) pengakuan terhadap keunggulan Barat dalam bidang
ilmu dan teknologi, dan karenanya umat Islam harus belajar dari Barat dalam dua
bidang tersebut, yang pada hakikatnya mengambil kembali apa yang dahulu
disumbangkan oleh dunia Islam kepada Barat, dan kemudian secara selektif dan
kritis memanfaatkan ilmu dan teknologi Barat itu untuk kejayaan kembali dunia
Islam.
Jamaluddin Al-Afghani yang menggelorakan Pan-Islamisme ke seluruh
penjuru dunia Islam pada penghujung abad ke-19, meyakini bahwa Islam
merupakan suatu tata kehidupan yang komprehensif dan ketat, mencakup politik
dan kemasyarakatan di samping peribadahan, serta seseorang yang betul-betul
Muslim niscaya akan melaksanakan kemauan Tuhannya sepanjang sejarah.
Sedangkan Muhammad Abduh meyakini bahwa basis Islam sebagai ajaran untuk
perubahan adalah pembagian hukum Islam dalam dua lingkup, yaitu kewajiban
kepada Tuhan seperti shalat, puasa, haji, dan lain-lain yang pokok-pokok
keyakinan serta pelaksanaannya bersifat tetap, serta yang kedua berupa kewajiban
sosial kepada manusia seperti pidana, perdata, hukum keluarga, dan lain-lain yang
terbuka bagi perubahan.
Modernisme Islam sebagaimana ditunjukkan oleh dua tokoh pembaru
tersebut memiliki tujuan yang bersifat ganda, yaitu: (1) membangun kembali
masyarakat Islam dan memulihkan kekuatannya melalui reformasi Islam dan
52
reformulasi ajaran Islam; dan (2) menyingkirkan imperialisme Eropa di dunia
Islam untuk memperoleh otonomi dan kemerdekaan (2013: 154).
Semangat dasar gerakan pembaruan Islam yang memiliki dimensi
salafiyah ke masa lalu berikhtiar untuk membangun persambungan antara warisan
Islam pada masa lampau dan perubahan modern. Di satu pihak gerakan ini
mendasarkan argumentasi-argumentasinya pada prinsip Wahyu dan sejarah Islam
serta mengidentifikasikan diri dengan para pendahulunya sebagaimana gerakan
kaum pembaharu, pada pihak lain menampung pemikiran-pemikiran Barat dan
institusinya untuk perubahan ke arah kemajuan.
E. Modernisasi pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh
1. Modernisasi Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani
Jamaluddin Al-Afghani berpendapat bahwa kemunduran umat Islam
disebabkan antara lain karena umat telah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang
sebenarnya. Ajaran qada‟ dan qadar telah berubah menjadi ajaran fatalisme yang
menjadikan umat menjadi statis. Sebab-sebab lain lagi adalah perpecahan di
kalangan umat Islam sendiri, lemahnya persaudaraan antara umat Islam dan lain-
lain. Untuk mengatasi semua hal itu antara lain menurut pendapatnya ialah umat
Islam harus kembali kepada ajaran Islam yang benar, mensucikan hati,
memuliakan akhlak, berkorban untuk kepentingan umat, kekuasaan pemerintah
yang mutlak harus diubah menjadi demokratis, dan persatuan umat Islam harus
diwujudkan sehingga umat akan maju sesuai dengan tuntutan zaman. Afghani
juga menganjurkan umat Islam untuk mengembangkan pendidikan secara umum,
53
yang tujuan akhirnya untuk memperkuat dunia Islam secara politis dalam
menghadapi dominasi dunia Barat. Afghani berpendapat tidak ada sesuatu dalam
ajaran Islam yang tidak sesuai dengan akal atau ilmu pengetahuan, atau dengan
kata lain Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan (Mufrodi, 1997: 157-
158).
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, Al-Afghani melancarkan ide-ide
pembaharuan dan pemikiran politik agar tercapai masyarakat Muslim yang maju
sesuai tuntutan zaman dan tanpa keluar dari syariat Islam. Ide-ide modernisasi
Jamaluddin Al-Afghani sebagai berikut:
a. Bentuk negara dan pemerintahan
Menurut Al-Afghani, Islam menghendaki bahwa bentuk pemerintahan
adalah republik. Sebab, di dalamnya terdapat kebebasan berpendapat dan kepala
negara harus tunduk kepada Undang-Undang Dasar. Pendapat seperti ini baru
dalam sejarah politik Islam yang selama ini pemikirnya hanya mengenal bentuk
khalifah yang mempunyai kekuasaan absolut. Sedangkan negara yang
berpemerintahan republik, yang berkuasa adalah undang-undang dan hukum,
bukan kepala negara. Kepala negara hanya mempunyai kekuasaan untuk
menjalankan undang-undang dan hukum yang digariskan oleh lembaga legestatif
untuk memajukan kesejahteraan rakyat (Pulungan, 2002: 281-282).
Pendapat Al-Afghani tersebut tampak dipengaruhi oleh pemikiran Barat,
sebab Barat lebih dahulu mengenal pemerintahan republik, meskipun pemahaman
Al-Afghani tidak lepas terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam yang berkaitan
dengan dengan kemasyarakatan dan kenegaraan. Penafsiran atau pendapat
54
tersebut sama dengan bahwa Islam tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan,
maka bentuk demikianpun harus mengikuti masyarakat dalam kehidupan materi
dan kebebasan berpikir. Ini mengandung makna, bahwa apapun bentuk
pemerintahan, Afghani menghendaki suatu pemerintahan yang dinamis.
Pemunculan ide Al-Afghani tersebut sebagai reaksi kepada salah satu sebab
kemunduran politik yaitu pemerintah yang absolut (2002: 282-283).
Pemerintahan yang absolut dan semena-mena di dalamnya tidak ada
kebebasan berpendapat, kebebasan hanya ada pada raja atau kepala negara untuk
bertindak yang tidak diatur oleh Undang-undang. Menurut Nasution (dalam
Pulungan, 2002: 284-285) Al-Afghani menghendaki agar corak pemerintahan
absolut diganti dengan dengan corak pemerintahan demokrasi. Menurutnya,
pemerintahan demokratis merupakan salah satu identitas yang paling khas dari
dari pemerintahan yang berbentuk republik. Demokrasi adalah pasangan
pemerintahan republik sebagaimana berkembang di Barat dan diterapkan oleh
Mustafa Kemal Attaturk di Turki sebagai ganti pemerintahan khalifah. Dalam
pemerintahan negara yang demokratis, kepala negara harus mengadakan syura
dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang berpengalaman.
Bukti keinginan Afghani akan pemerintahan yang demokratis, adalah
penegasannya tentang keharusan kepala negara mengadakan syura dengan
pemimpin-pemimpin masyarakat yang berpengalaman. Syura diperintahkan oleh
Allah dalam Al-Qur‟an agar dipraktekkan dalam berbagai urusan (pulungan,
2002: 285).
55
Selanjutnya Al-Afghani berpendapat pemerintahan absolut yang cenderung
meniadakan hak-hak individu tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sangat
menghargai hak-hak individu. Maka pemerintahan absolut harus diganti dengan
pemerintahan yang bercorak demokrasi yang menjunjung tinggi hak-hak individu
(Rusli, 2013: 89). Menurut Al-Afghani, pemerintahan yang demokrasi
menghendaki adanya majelis perwakilan rakyat. Lembaga ini bertugas
memberikan usul dan pendapat kepada pemerintah dalam menentukan suatu
kebijakan negara. Urgensi lembaga ini untuk menghindari agar tidak muncul
pemerintahan yang absolut. Ide atau usul para wakil rakyat yang berpengalaman
merupakan sumbangan yang berharga bagi pemerintah. Karena itu para wakil
rakyat harus yang berpengetahuan dan berwawasan luas serta bermoral baik.
Wakil-wakil rakyat yang demikian membawa dampak positif terhadap pemerintah
sehingga akan melahirkan undang-undang dan peraturan atau keputusan yang baik
bagi rakyat (Pulungan, 2002: 286-287).
Selanjutnya, para pemegang kekuasaan haruslah orang-orang yang paling
taat kepada undang-undang. Kekuasaan yang diperoleh tidak lantaran kehebatan
suku, ras, kekuatan material dan kekayaan. Baginya kekuasaan itu harus diperoleh
melalui pemilihan dan disepakati oleh rakyat. Dengan demikian orang yang
terpilih memiliki dasar hukum untuk melaksanakan kekuasaan itu. Pendapat di
atas mengisyaratkan bahwa sumber kekuasaan menurut Al-Afghani adalah
rakyat, karena dalam pemerintahan republik, kekuasaan atau kedaulatan rakyat
terlembaga dalam perwakilan rakyat yang anggotanya dipilih oleh rakyat.
56
Namun demikian, tampaknya Al-Afghani tidak memberikan gambaran jelas
tentang undang-undang dasar yang dikehendakinya. Namun, jika diperhatikan
kepedulian pembaharuan yang coba dibenarkan oleh Afghani, dapat diduga bahwa
yang dimaksud undang-undang dasar adalah suatu konstitusi yang dijadikan dasar
untuk menjalankan roda pemerintahan, hal mana nilai dan norma yang terangkum
di dalamnya berdasarkan Al-Qur‟an dan Sunnah ( Rusli, 2013: 89).
b. Pan Islamisme / Solidaritas Islam
Menurut Asmui (1998: 77) selama di Mesir Al-Afghani mengajukan
konsep-konsep pembaharuannya, antara lain : musuh utama adalah penjajahan
(Barat), umat Islam harus menentang penjajah di mana dan kapan saja, dan untuk
mencapai tujuan itu umat Islam harus bersatu. Pan Islamisme bukan berarti
leburnya kerajaan-kerajaan Islam menjadi satu, tetapi mereka harus mempunyai
satu pandangan bersatu dalam kerja sama. Persatuan dan kerja sama merupakan
sendi yang amat penting dalam Islam. Persatuan Islam hanya dapat dicapai bila
berada dalam kesatuan pandangan dan kembali kepada ajaran Islam yang murni
yaitu Al-Qur‟an dan As-Sunnah. Untuk mencapai usaha-usaha pembaharuan
tersebut di atas:
1. Rakyat harus dibersihkan dari kepercayaan ketakhayulan.
2. Orang harus yakin bahwa ia dapat mencapai tingkat/derajat budi luhur.
3. Rukun Iman harus betul-betul menjadi pandangan hidup dan kehidupan
manusia bukan sekedar ikutan belaka.
57
4. Setiap generasi umat harus ada lapisan istimewa untuk memberikan
pengajaran dan pendidikan pada manusia-manusia yang bodoh dan juga
memerangi hawa nafsu jahat dan juga menegakkan disiplin.
Al-Afghani menginginkan adanya persatuan umat Islam baik yang sudah
merdeka maupun masih terjajah. Gagasannya ini terkenal dengan Pan Islamisme.
Ide besar ini menghendaki terjalinnya kerjasama antara negara-negara Islam
dalam masalah keagamaan, kerjasama antara kepala negara Islam. Persatuan dan
kerja sama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam. Kerjasama itu
menuntut adanya rasa tanggungjawab bersama dari tiap negara terhadap umat
Islam dimana saja mereka berada, dan menumbuhkan keinginan hidup bersama
dalam suatu komunitas serta mewujudkan kesejahteraan umat Islam ( Rusli, 2013:
89-90): (Asmuni, 1998: 77).
Kesatuan benar-benar menjadi tema pokok pada gagasan Al-Afghani. Ia
menginginkan agar umat Islam harus mengatasi perbedaan doktrin dan kebiasaan
permusuhan. Perbedaan sekte tidak perlu menjadi hambatan dalam politik, dan
kaum muslimin harus mengambil pelajaran dari contoh Jerman, yang kehilangan
kesatuan nasionalnya karena terlalu memandang penting perbedaan agama.
Bahkan perbedaan besar dalam doktrin wilayah teluk, antara sunni dan syi‟ah,
dapat dijembatani sehingga ia menyerukan kepada bangsa Persia dan
Afghanistan supaya bersatu, meskipun yang pertama adalah syi‟ah dan yang
kedua adalah bukan, dan selama masa-masa akhir hidupnya ia melontarkan ide
rekonsiliasi umum dari kedua sekte tersebut.
58
Meskipun semua ide Al-Afghani bertujuan untuk mempersatukan umat
Islam guna menanggulangi penetrasi barat dan kekuasaan Turki Usmani yang
dipandangnya menyimpang dari Islam, tapi ide Pan-Islamnya itu tidak jelas.
Apakah bentuk-bentuk kerjasama tersebut dalam rangka mempersatukan umat
Islam dalam bentuk asosiasi, atau bentuk federasi yang dipimpin oleh seseorang
atau badan yang mengkoordinasi kerjasama tersebut, dan atau seperti negara
persemakmuran di bawah negara Inggris. Sebab ia mengetahui adanya kepala
negara di setiap negara Islam. Tapi, menurut Munawwir Sjadzali, Pan-
Islamismenya Al-Afghani itu adalah suatu asosiasi antar negara-negara Islam dan
umat Islam di wilayah jajahan untuk menentang kezaliman interen, para
pengusaha muslim yang lain, menentang kolonialisme dan imperialisme barat
serta mewujudkan keadilan. Al-Afghani menekankan solidaritas sesama muslim
karena ikatan agama, bukan ikatan teknik atau rasial. Seorang penguasa muslim
yang dari bangsa mana datangnya, walau pada mulanya kecil, akan berkembang
dan diterima oleh suku dan bangsa lain seagama selagi ia masih menegakkan
hukum agama. Penguasa itu hendaknya dipilih dari orang-orang yang paling taat
dalam agamanya, bukan karena pewarisan, kehebatan sukunya atau kekayaan
materialnya, dan disepakati oleh anggota masyarakatnya.
Inilah ide pemikir orisinil yang merupakan solidaritas umat yang dikenal
dengan Pan-Islamisme atau Al-Jamiah al Islamiyah (Persaudaraan sesama umat
Islam sedunia. Namun usaha Al-Afghani tentang Pan-Islamismenya ini tidak
berhasil.
59
Berdasarkan ulasan di atas, secara ringkas gagasan Jamaluddin Al- Aghani
tentang modernisasi pemikiran Islam dapat digambarkan sebagai berikut :
No Aspek Pemikiran Bentuk Pemikiran
1. Kerangka teori Islam sesuai untuk semua bangsa, zaman, dan
keadaan.
2. Metodologi
Reinterpretasi ajaran Islam dengan kembali
kepada Al-Qur‟an dan sunnah melalui konsep
ijtihad yang sesuai dengan akal dan ilmu
pengetahuan.
3. Di pengaruhi oleh Kondisi terpuruk umat Islam akibat
kolonialisme Barat.
4. Konsep modernisasi
- Melenyapkan pola pikir yang salah terhadap
ajaran Islam, yakni kembali kepada ajaran
dasar Islam (Al-Qur‟an dan As-Sunnah).
- Mengganti sistem pemerintahan otokrasi
dengan sistem emerintahan demokrasi.
- Menggagas Pan-Islame, yakni persatuan
seluruh umat Islam.
Tabel 1. Ringkasan Konsep Modernisasi Pemikiran Jamaluddin
Al Afghani
2. Modernisasi pemikiran Muhammad Abduh
Di antara sekian banyaknya pemikir muslim, pemikiran Muhammad
Abduhlah yang paling banyak mendapatkan perhatian serta pembahasan para
orientalis Barat, baik yang pro mapun yang kontra. Hal ini disebabkan buah
pikirannya dan tulisan-tulisan Abduh yang bersifat reformis yang menyangkut
60
aspek politik, pendidikan, tauhid, sastra dan lain sebagainya. Ide dan pemikiran
Abduh ini kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh murid terbaiknya Rasyid
Ridha. Selain itu, Muhammad Abduh dikenal sebagai tokoh pemikir yang
independen dan bersikap liberal, karena ia banyak bersentuhan dengan peradaban
Barat. Berikut ini merupakan pemikiran-pemikiran dari Muhammad Abduh:
a. Ijtihad
Al- Bahiy dalam bukunya (1986: 90) menyebutkan Muhammad Abduh
mempunyai keyakinan bahwa manusia memiliki kemampuan diri dan
kemerdekaan di dunia ini. Maka, konsekuensi logisnya adalah manusia mampu
memahami nash-nash Kitab yang diturunkan dan dasar-dasarnya. Itulah yang
dikenal dengan ijtihad. Sebab ijtihad meneliti sumber agama yang asli untuk
menciptakan suasana dan cakrawala baru sesuai dengan hasil penelitian itu,
sehinggan tidak meyalahi sumber tersebut.
Hal tersebut membuat Muhammad Abduh tidak ragu-ragu membuka pintu
ijtihad dan menolak taklid. Ijtihad merupakan cara yang ilmiah dan sesuai dengan
ajaran agama, untuk menyesuaikan peristiwa-peristiwa kehidupan yang berubah-
ubah dengan ajaran-ajaran Islam secara umum. Jika ajaran Islam hanya terbatas
pada pemahaman (fiqh) para Imam yang terdahulu, maka kehidupan masyarakat
akan jauh dari tuntutan agama Islam, baik dalam hal keagamaan maupun
kehidupan sehari-hari. Akibatnya, nilai-nilai Islam akan menipis dalam diri
mereka menghadapi peristiwa-peristiwa hidup, atau mereka tidak mampu
mengejar lagi perkembangan hidup.
61
Muhammad Abduh sangat menentang taklid yang dipandangnya sebagai
faktor yang melemahkan jiwa umat Islam. Pandangan Abduh tentang perlunya
upaya pembongkaran kejumudan yang telah sedemikian lama mengalami
pengerakan tersebut akan melahirkan ide tentang perlunya melaksanakan kegiatan
ijtihad. Menurut Abduh, taklid akan menghentikan akal pikiran manusia pada
batas tertentu, yakni taklid sangat bertentangan dengan akal, taklid bertentangan
dengan tabiat kehidupan, dan taklid itu juga bertentangan dengan tabiat dasar-
dasar dan ciri Islam. Muhammad Abduh mengikis habis taklid sebagai suatu
prinsip, dalam bentuknya yang ada pada saat itu, seperti mengikuti mazhab secara
harfiah dengan pengkultusan. Fanatisme itu disebabkan oleh adanya kelemahan
pemikiran, politik, dan ekonomi pada masyarakat Islam (Al-Bahiy, 1986: 91).
Ijtihad menurut Abduh, bukan hanya boleh bahkan perlu dilakukan.
Namun, menurut Abduh bukan berarti setiap orang boleh berijtihad. Hanya orang-
orang tertentu dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihadlah yang boleh
melakukan ijtihad tersebut. Ijtihad dilakukan langsung terhadap al-Qur‟an dan
hadits sebagai sumber dari ajaran Islam (Nasution, 1991: 64). Tempat untuk
berijtihad adalah mengenai soal-soal mu‟amalah yang ayat-ayat dan haditsnya
bersifat umum dan jumlahnya sedikit. Sedangkan soal ibadah bukanlah bagian
dari lapangan ijtihad, karena persoalan ibadah merupakan hubungan manusia
dengan Tuhan, dan bukan antara manusia dengan manusia yang tidak
menghendaki perubahan menurut zaman.
Bahwasanya keterbelakangan dan kemunduran yang dialami umat Islam
disebabkan oleh pandangan dan sikap jumud. Maka untuk membebaskan umat
62
Islam dari taklid, dan kembali kepada ajaran Islam yang sesuai dengan al-Qur‟an
dan Hadits. Bahkan Abduh mengecam orang yang melakuakan taqlid.
Orang yang melakukan taklid menurut Abduh, memiliki derajat yang
lebih rendah dari orang yang diikutinya. Karena taklid hanya melihat lahir
perbuatan orang yang diikutinya, tanpa memeriksa dasar dan rahasia
perbuatannya. Hal ini membuat taqlid menjadi tanpa dasar dan tidak karuan.
Pandangan Muhammad Abduh tentang perlunya ijtihad dan
pemberantasan taklid, tampaknya didasari atas kepercayaannya yang tinggi
terhadap akal. Karena menurut Abduh, Islam menempatkan akal pada kedudukan
yang tinggi. Sebab akal dapat membedakan antara baik dan yang buruk, antara
yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Islam adalah agama yang rasional,
dan menggunakan akal merupakan salah satu dari dasar-dasar Islam. Kebenaran
yang dicapai akal tidak bertentangan dengan kebenaran yang disampaikan oleh
wahyu. Iman seseorang tidak sempurna jika tidak didasarkan pada akal.
Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Pemikiran
akallah akan menimbulkan ilmu pengetahuan (Nasution, 1991: 65).
Ilmu pengetahuan modern yang banyak berdasar pada hukum alam tidak
bertentangan dengan Islam yang sebenarnya. Hukum alam adalah ciptaan Allah
dan wahyu juga berasal dari Allah. Karena keduannya berasal dari Allah, maka
ilmu pengetahuan modern yang berdasar pada wahyu, tidak bisa dan tidak
mungkin bertentangan. Islam harus sesuai dengan ilmu pengetahuan modern dan
ilmu pengetahuan modern harus sesuai dengan Islam.
63
Meskipun begitu, Abduh tetap mengakui keterbatasan akal manusia.
Menurutnya, selain akal juga diperlukan wahyu. Sebab, tanpa wahyu akal tidak
mampu membawa manusia untuk mencapai kebahagiaan. Selanjutnya, Abduh
berpendapat bahwa masalah-masalah yang merupakan wilayah sepenuhnya dapat
dijangkau akal. Karena itu, penjelajahan akal dalam hal seperti itu perlu dibatasi.
Di samping itu, akal juga memiliki keterbatasan dalam mengetahui kegunaan
perbuatan-perbuatan tertentu, seperti jumlah raka‟at shalat dan amalan-amalan
dalam ibadah haji, dan sebagainya (Nasution, 1991: 66).
Dengan demikian, ijtihad menurut Abduh sangat diperlukan dalam Islam,
agar umat tidak terbelenggu oleh taklid dan memberikan kebebasan bagi umatnya
untuk berijtihad melalui akal lewat ilmu pengetahuan selagi tidak bertentangan
dengan ajaran Islam.
b. Teologi Abduh
Teologi sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu
agama. Dalam istilah Arab ajaran-ajaran dasar itu disebut Us}u>l al-Di>n. Teologi
(ilmu tauhid) dalam pendapat Abduh adalah ilmu yang membahas tentang wujud
Allah, sifat-sifatnya dan soal kenabian. Definisi ini sebenarnya kurang lengkap.
Alam ini adalah ciptaan Tuhan, dan oleh karena itu, teologi disamping hal-hal di
atas, juga membahas hubungan Tuhan dengan makhluk-Nya.
Bidang teologi (akidah) Muhammad Abduh membahas dua tema pokok,
yakni:
a) Pembebasan umat Islam dari akidah kaum Jabariyah.
64
b) Pemberian pengertian kepada mereka (umat Islam), bahwa akal
adalah nikmat dari Allah dan harus selaras dengan agama dan
risalah-Nya bagi manusia. Melalaikan kemampuan akal, berarti
menutup mata dari nikmat Allah.
Muhammad Abduh berpendapat, sikap fanatik terhadap berbagai mazhab
dan buku-buku yang ada secara mutlak, tidak hanya berkaitan erat dengan
kelemahan kepribadian dan ilmu pengetahuan umat Islam waktu itu, sehingga
tidak lagi selaras dengan al-Qur‟an dan hadits. Tetapi berkaitan erat dengan
akidah Jabariyah. Paham Jabariyah ini sama dengan taklid, penganut paham ini
hidupnya tergantung kepada prinsip kebetulan (accident). Abduh tidak rela
melihat akidah Jabariyah (fatallisme) dianut oleh manusia, sebab melemahkan
jiwa, kemauan dan peranan positif manusia. Maka, Abduh berjuang mengikis
habis paham Jabariyah, agar manusia berusaha (ikhtiar) (Al-Bahiy, 1986: 77).
Selanjutnya, dalam menghadapi paham Jabariyah ini, Abduh tidak
memakai cara yang dilakukan oleh seorang filosuf yang mengemukakan
pandangan hanya menurut satu segi pandangan tertentu. Ia mengemukakan
pandangan dengan kritik dan padangannya seperti ahli agama yang berpandangan
luas. Jadi dasar pemikirannya agama, tujuan yang ingin dicapainya juga tujuan
agama, dan saran antara dasar dan tujuannya juga agama (1986: 78).
Pendapat Abduh yang menyatakan bahwa manusia itu harus berikhtiar
(usaha) didasarkan kepada ayat-ayat al-Qur‟an, dan nash-nash lainnya, yang
menyatakan balasan diakhirat sangat berkaitan erat dengan amal perbuatan yang
dilakukan seseorang di dunia. Kepercayaan kepada kekuatan akal membawa
65
Muhammad Abduh kepada paham bahwasanya manusia mempunyai kebebasan
dalam kemauan dan perbuatan (free will and free act atau qadariyah). Ia
menyatakan bahwa manusia mewujudkan perbuatannya dengan kemauan dan
usahanya sendiri, dengan tidak melupakan bahwa di atasnya masih ada kekuatan
dan kekuasaan yang lebih tinggi.
Pada majalah al-Urwatul Wuthqa, Abduh dan Jamaluddin al-Afghani
menjelaskan bahwa paham qada dan qadar telah diselewengkan menjadi paham
fatalisme, sedangkan paham itu sebenarnya mengandung paham yang dinamis
yang dapat membawa umat pada kemajuan sebagaimana yang terjadi pada zaman
klasik. Paham fatalisme yang terdapat dikalangan umat Islam perlu diubah dengan
paham kebebasan dalam kemauan dan perbuatan. Keyakinan akan qada dan qadar
tidak sama dengan keyakinan fatalisme (Jabariyah). Percaya kepada qada
diperkuat oleh dalil, dan bahkan memang sesuai dengan fitrah kejadian. Manusia
merupakan makhluk yang berpikir dan berikhtiar dalam amal perbuatan menurut
petunjuk pikirannya. Manusia memiliki kehendak bebas karena ia memiliki
pikiran untuk menentukan pilihan dalam perbuatannya. Menurut Abduh tidak satu
pun yang dapat membawa paksaan bagi manusia untuk beramal. Pilihan perbuatan
yang dilakukan manusia akan menimbulkan konsekuensi, yakni jika perbuatan itu
baik, maka diberi pahala, namun jika perbuatan itu jahat maka pelakunya akan
memperoleh siksa (Nasution, 1991: 66).
c. Pemikiran Politik dan Pemerintahan
Pandangan Muhammad Abduh tentang bentuk pemerintahan dalam sistem
politik mempunyai kesamaan dengan pendapat Ibn Taimiyah. Keduannya sama-
66
sama tidak mementingkan bentuk pemerintahan dan sama-sama berpendapat
bahwa sistem pemerintahan disesuaikan dengan kehendak umat melalui ijtihad
serta tidak berdasarkan kepada sistem syariat yang kaku (Pulungan, 2002: 282).
Tambahnya, jika bentuk khalifah masih tetap menjadi pilihan dalam
pemerintahan, maka bentuk demikianpun harus mengikuti perkembangan
masyarakat. Ini mengandung maksud bahwa apa pun bentuk dari suatu
pemerintahan, Abduh menghendaki pemerintahan yang dinamis. Dengan
demikian, ia mampu mengantisipasi perkembangan zaman.
Abduh mengatakan bahwa rakyat merupakan sumber kekuasaan bagi
pemerintah. Rakyatlah yang mengangkat dan memiliki hak memaksa pemerintah.
Oleh karena itu rakyat harus menjadi pertimbangan utama dalam menetapkan
hukum untuk kemaslahatan meraka. Karena sumber kekuasaan adalah rakyat,
Islam tidak mengenal kekuasaan agama, seperti yang terdapat dalam Kristen
Katolik pada abad pertengahan di Barat (2002: 287). Islam tidak memberikan
kekuasaan kepada seorangpun selain kepada Allah dan Rasul-Nya.
Menurut Abduh, salah satu prinsip ajaran Islam adalah mengikis habis
kekuasaan agama sehingga setelah Allah dan Rasul-Nya, tidak ada seorangpun
yang mempunyai kekuasaan atas akidah dan agama orang lain. Bukankah Nabi
Muhammad hanyalah seorang mubalig dan pemberi peringatan tanpa adanya
pemaksaan untuk mengikuti ajarannya. Pendapatnya ini mengisyaratkan
ketidaksepakatannya dengan para pemikir politik pada masa klasik dan masa
pertengahan, yang menyatakan bahwa kekuasaan khalifah atau kepala negara itu
merupakan mandat dari Allah, maka dengan demikian ia harus bertenggungjawab
67
kepada Allah pula. Menurut Abduh, khalifah atau kepala negara hanya seorang
penguasa sipil yang diangkat dan diberhentikan oleh rakyat dan bukanlah hak
Tuhan untuk mengangkat dan memberhentikannya (Sjadzali, 1990: 131-132).
Menurut Abduh rakyat tidak boleh menaati pemimpin yang berbuat
maksiat yang bertentangan dengan al-Qur‟an dan hadits. Jika pemimpin berbuat
sesuatu yang bertentangan, rakyat harus menggantinya dengan orang lain, selama
proses itu tidak menimbulkan bahaya yang lebih besar dari pada maslahatnya.
Dengan kekuasaan politik yang dipegang oleh pemimpin, hendaknya prinsip-
prinsip ajaran Islam dapat dijalankan oleh yang mempunyai hak dan wewenang.
Usaha pemimpin atau pemerintah untuk menerapkan prinsip-prinsip Islam
disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Undang-undang yang adil dan
bebas bukanlah didasarkan pada prinsip-prinsip budaya dan politik negara lain.
Abduh mengatakan bahwa harus ada hubungan yang erat antara undang-undang
dan kondisi negara setempat. Karena setiap negara berbeda menurut perbedaan
tempat, kondisi perdagangan dan pertanian. Warganya pun berbeda-beda dalam
tradisi, moral, keyakinan, dan sebagainya. Peraturan yang cocok dan bermanfaat
untuk satu bangsa, belum tentu cocok dan sesuai untuk bangsa yang lainnya.
Maka perundang-undangan harus memperhatikan dengan benar perbedaan
manusia, sesuai dengan tingkat, kondisi, tempat tinggal, keyakinan dan tradisinya.
Hal tersebut akan memudahkan baginya untuk mengambil hal yang berguna dan
mencegah dari yang bahaya.
Muhammad Abduh dalam salah satu pendapatnya tentang politik, ia
berpendapat bahwa sungguhpun aktif dalam politik, secara pribadi ia tidak ingin
68
terlibat dalam masalah politik. Bagi Muhammada Abduh politik mengekang
kebebasan berpikir, perkembangan ilmu dan agama. Abduh pada akhirnya begitu
tidak senang dengan politik, sehingga ia menulis “Aku berlindung pada Allah dari
politik, kata politik dan arti politik” (Rusli, 2013: 110).
d. Pemikiran Pendidikan
Modernisme dalam bidang pendidikan adalah bagian terpenting dari
modernisme sosial, ekonomi, dan politik. Maksudnya untuk membangun suatu
tatanan masyarakat yang modern, maka pendidikan merupakan unsur yang amat
penting sebagai media transformasi nilai budaya maupun pengetahuan. Hal serupa
juga dikemukan oleh Belling dan Toten bahwasanya pendidikan merupakan
instrumen dalam modernisasi yang lebih mudah dibandingkan dengan
modernisasi dalam bentuk modal untuk membeli teknologi. Pendidikan akan
mendorong berkembangnya intelegensi dan produk kebudayaan masyarakat.
Pendapat mereka ini jelas mengandung implikasi bahwa investasi sumber daya
manusia lewat pendidikan akan lebih menjanjikan dari pada dalam bentuk modal
untuk membeli teknologi yang pada dasarnya mempersiapkan manusia lewat
pendidikan sama halnya dengan mentransfer teknologi.
Pendapat yang mengatakan adanya relevansi yang signifikan antara
pembaharuan dengan pendidikan sebagaimana yang dikemukakan oleh Syafi‟i
Ma‟arif, bahwa salah satu fungsi pendidikan adalah membebaskan masyarakat
dari belenggu keterbelakangan. Artinya untuk mengadakan perubahan
pembaharuan dalam masyarakat, yang menjadi kuncinya adalah pendidikan.
69
Muhammad Abduh merupakan tokoh pemikir yang juga menaruh
perhatian terhadap pendidikan. Hal ini terlihat dari usahahnya untuk mendorong
agar umat Islam mementingkan persoalan pendidikan sebagai jalan untuk
memperoleh pendidikan. Selain mengetahui pengetahuan agama, umat Islam juga
dituntut untuk mengetahui dan memahami pengetahuan modern. Hal ini terlihat
dari usahanya dalam mereformasi kurikulum al-Azhar yang juga merupakan
almamaternya sendiri, dengan memperjuangkan agar mahasiswa al-Azhar juga
diajarkan mata kuliah filsafat, demi menghidupkan kembali dan mengembangkan
intelektualisme Islam yang telah padam itu. Selain itu, memasukkan ilmu-ilmu
modern agar ulama-ulama mengerti kebudayaan modern dan dengan demikian
dapat mencari penyelesaian yang baik bagi persoalan-persoalan yang timbul di
zaman modern ini.
Mereformasi sistem pendidikan di al-Azhar akan mempunyai pengaruh
yang besar dalam usaha moderenisasi Islam. Hal ini menurut Abduh lembaga
pendidikan al-Azhar merupakan tujuan para pelajar segala penjuru dunia. Dari
sinilah nantinya para lulusan dapat menjadi para pembaharu Islam yang akan
dibawa ke negaranya masing-masing. Di samping itu, Abduh juga mengusulkan
agar sekolah-sekolah pemerintah yang telah didirikan untuk mencetak ahli
administrasi, militer, kesehatan, pendidikan, perindustrian, dan sebagainya,
memerlukan pendidikan yang lebih kuat, termasuk sejarah Islam dan sejarah
kebudayaan Islam. Atas usahannya itu maka didirikanlah Majelis Pengajaran
Tinggi (Asmuni, 1998: 81).
70
Menurut Abduh sistem dualisme dalam pendidikan akan membahayakan
dunia pendidikan. Sistem madrasah lama akan mengeluarkan ulama-ulama yang
tidak memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu modern. Sebaliknya sekolah-
sekolah pemerintah akan mengeluarkan ahli-ahli yang sedikit pengetahuannya
tentang ilmu-ilmu agama. Sehingga muhammad Abduh menyarankan untuk
menambah pengetahuan umum pada madrasah-madrasah dan menambah
pengetahuan agama pada sekolah-sekolah umum. Dengan demikian, jurang
pemisah antara dua lembaga pendidikan itu dapat ditanggulangi.
Kemudian menurut Abduh dalam Asmuni (1998: 81) bahasa Arab perlu
dihidupkan dan untuk itu metodenya perlu dilakukan perbaikan dan ini berkaitan
dengan metode pendidikan. Sistem mengahafal di luar kepala perlu diganti
dengan sistem penguasaan dan penghayatan serta penalaran materi yang
dipelajari. Bahasa Arab yang selama ini menjadi bahasa baku tanpa
pengembangan, oleh Abduh dikembangkan dengan metode menerjemahkan teks-
teks pengetahuan modern ke dalam bahasa Arab, terutama istilah-istilah yang
muncul yang padanannya tidak ditemukan dalam kosakata Arab.
Usaha-usaha pembaharuan dalam pendidikan mendapat tantangan dari
para ulama yang kuat berpegang pada tradisi lama. Tantangan terhadap
Muhammad Abduh bertambah keras setelah Khadevi Abbas terpengaruh dan
akhirnya tidak merestui usaha-usaha pembaharuan itu. Dengan demikian, usaha
Muhammada Abduh kandas. Tampaknya karena tekanan Abbas itulah, ia
mengundurkan diri dari keanggotaan dewan pimpinan Al-Azhar pada tahun 1905
(Rusli, 2003: 109).
71
Berdasarkan ulasan di atas, secara ringkas gagasan Muhammad Abduh
tentang modernisasi pemikiran Islam dapat digambarkan sebagai berikut:
No Aspek Pemikiran Bentuk Pemikiran
1. Kerangka teori Akal dan wahyu (Islam) selaras, tidak
bertentangan.
2. Metodologi Reinterpretasi ajaran Islam (Al-Qur‟an dan
sunnah) secara rasional.
3. Di pengaruhi oleh Gagasan dan pemikiran pembaruan Islam al-
Afghani.
4. Konsep modernisasi
- Membuka pintu ijtihad
- Pembaruan teologi Islam dengan
membebaskan umat Islam dari taklid.
-sistem pemerintahan sesuai dengan kehendak
umat.
- Restrukturisasi dan pembaruan pendidikan
Islam.
Tabel 2. Ringkasan Konsep Modernisasi Pemikiran Muhammad
Abduh
Jika dibandingkan antara konsep modernisasi pemikiran antara tokoh dua
serangkai Jamluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh, maka akan didapatkan
ringkasan sebagai berikut:
No Aspek
Pemikiran
Bentuk Pemikiran
Jamaluddin Al-Afghani Muhammad Abduh
1. Kerangka
teori
Islam sesuai untuk semua
bangsa, zaman, dan keadaan.
Akal dan wahyu (Islam)
selaras, tidak bertentangan.
72
2. Metodologi Reinterpretasi ajaran Islam
dengan kembali kepada Al-
Qur‟an dan sunnah melalui
konsep ijtihad yang sesuai
dengan akal dan ilmu
pengetahuan.
Reinterpretasi ajaran Islam
(Al-Qur‟an dan sunnah)
secara rasional.
3. Di pengaruhi
oleh
Kondisi terpuruk umat Islam
akibat kolonialisme Barat.
Gagasan dan pemikiran
pembaruan Islam al-Afghani.
4. Konsep
modernisasi
- Melenyapkan pola pikir
yang salah terhadap ajaran
Islam, yakni kembali kepada
ajaran dasar Islam (Al-Qur‟an
dan As-Sunnah).
- Mengganti sistem
pemerintahan otokrasi dengan
sistem emerintahan
demokrasi.
- Menggagas Pan-Islame,
yakni persatuan seluruh umat
Islam.
- Membuka pintu ijtihad
- Pembaruan teologi Islam
dengan membebaskan umat
Islam dari taklid.
-sistem pemerintahan sesuai
dengan kehendak umat.
- Restrukturisasi dan
pembaruan pendidikan Islam.
Tabel 3. Perbandingan Konsep Modernisasi Pemikiran Jamaluddin Al-
Afghani dan Muhammad Abduh
F. Pengaruh Modernisasi Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani
dan Muhammad Abduh di Mesir
Nama asli Mesir adalah Al-Jumhuriyah Al-Arabiyah El-Misriyah. Nama
internasionalnya Arab Republic of Egypt. Mesir menjadi republik sejak tahun
1953, sebelumnya berbentuk kerajaan yang diperintah oleh Raja Farouk. Presiden
73
pertama republik ini adalah Gamal Abdul Nasser. Sampai sekarang Mesir
bernama Republik Arab Mesir, dengan ibu kota Kairo (Cairo)
(http://www.sejarah-negara.com: 2013).
Mesir selain menjadi salah satu pusat peradaban Islam, juga merupakan
negara yang memiliki tata letak yang strategis. Hal tersebut membuat Mesir
menjadi rebutan negara-negara Eropa untuk menguasainya. Salah satunya adalah
Inggris. Mesir jatuh ke tangan Inggris secara resmi pada tahun 1882 dari
pendudukan Turki Utsmani. Pasca pendudukan Inggris, Mesir menjadi negara
monarki konstitusional dengan penentuan kebijakan yang didominasi oleh Inggris.
Hal tersebut membuat para tokoh pemikir Islam di Mesir tidak tahan dengan
pemerintahan yang absolut dan semena-mena. Muncullah tokoh dua serangkai
Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.
1. Pengaruh Modernisasi Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani
Modernisasi pemikiran oleh Jamaluddin Al-Afghani yang sudah
dijelaskan pada sub bab sebelumnya telah menjadikan kesimpulan bahwa ide-ide
pembaharuan yang dilancarkan oleh Afghani lebih dominan kepada pembaharuan
di bidang perpolitikan. Reformasi dan pembaharuan politik yang hendak
diperjuangkan oleh Salafiyah modern di negara-negara Islam, khususnya Mesir
adalah pelaksanaan ajaran Islam tentang musyawarah melalui dewan-dewan
konstitusi dan badan-badan perwakilan (rakyat), pembatasan terhadap kekuasaan
dan kewenangan pemerintah dengan kostitusi undang-undang, serta pengerahan
74
kekuatan dan potensi rakyat untuk mendukung reformasi politik dan sekaligus
untuk membebaskan dunia Islam dari penjajh dan dominsasi Barat.
Menurut Afghani, cara yang terbaik dan paling efektif untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut adalah melalui revolusi yang didasarkan atas kekuatan
rakyat (Sjadzali,1990: 127). Melalui pandangan revolusionernya itu maka setiap
Afghani berkunjung ke atau tinggal di suatu negara atau wilaya Islam, Afghani
selalu melibatkan diri dalam percaturan politik setempat, dengan memanfaatkan
kemahirannya yang luar biasa sebagai pemberontak yang berpengalaman. Tidak
jarang Afghani menggabungkan diri dengan-atau bahkan mendirikan-organisasi
rahasia di negara atau wilayah itu, dan melancarkan pemberontakan terhadap
pemerintah setempat, tidak jarang hal tersebut mengakibatkan Afghani sering
diusir dari negara dan wilayah tersebut.
Jamaluddin Al-Afghani ketika tinggal di Mesir, sejak awal Afghani
menganjurkan pembentukan pemerintah yang demokratis melalui pasrtisipasi
rakyat Mesir dalam pemerintahan konsitusional yang sejati. Afghani banyak
berbicara tentang keharusan pembentukan dewan perwakilan yang disusun sesuai
dengan apa yang diinginkan oleh rakyat, anggota-anggotanya terdiri dari orang-
orang yang betul-betul dipilih oleh rakyat, sebab Afghani berkeyakinan bahwa
suatu dewan perwakilan yang dibentuk atas perintah raja atau kepala negara, atau
atas anjuran penguasaan asing, maka lembaga tersebut akan lebih merupakan alat
politik bagi yang membentuknya.
75
Tahun 1879 atas usaha Al-Afghani terbentuklah partai Al-Hizb Al-Watani
(Partai Naional) yang terkenal dengan slogan “Mesir untuk orang Mesir”. Tujuan
dari partai ini adalah memperjuangkan pendidikan universal, kemerdekaan pers
dan memasukkan unsur-unsur Mesir ke dalam posisi-posisi dalam militer. Atas
sokongan partai ini Al-Afghani berusaha menggulingkan Raja Mesir yang
berkuasa pada waktu itu, yakni Khedewi Ismail, untuk diganti dengan Putra
Mahkota Tawfiq. Putra Mahkota Tawfiq berjanji akan mengadakan pembaharuan-
pembaharuan yang dituntu Al-Hizb Al-Watani. Namun, setalah menjadi pemimpin
Mesir, Khedewi Tawfiq bermaksud menarik kembali janjinya untuk membentuk
dewan perwakilan rakyat berdasarkan alasan bahwa rakyat masih buta politik.
Afghani menulis surat kepada Khadewi Taufiq yang isinya menyatakan bahwa
memang benar di antara rakyat Mesir, seperti halnya rakyat di negara-negara lain,
banyak yang masih bodoh, tetapi itu tidak berarti bahwa di antara mereka tidak
terdapat orang-orang pandai dan berotak (Sjadzali, 1990: 128) hingga akhirnya
Al-Afghani diusir dari Mesir pada tahun 1879.
Masa delapan tahun menetap di Mesir menurut pihak Mesir sendiri
mempunyai pengaruh yang tidak kecil bagi umat Islam di sana. Menurut M.S.
Madkur, Al-Afghanilah yang membangkitkan gerakan berfikir di Mesir sehingga
Mesir dapat mencapai kemajuan. “Mesir modern, demikian Madkur, adalah hasil
dari usaha-usaha Jamaluddin Al-Afghani” (Nasution, 1975: 52-53).
Melihat kegiatan politik yang demikian besar dilakukkan Jamluddin
Afghani, tidak salah kalau dikatakan bahwa Afghani lebih banyak bersifat
76
pemimpin politik dari pada pemimpin dan pemikir pembaharuan dalam Islam
lainnya. Tidaklah salah jika dikatakan bahwa Afghani merupakan tokoh politik
dan bukan sebagai pemimpin pembaharuan dalam soal-soal agama.
2. Pengaruh Modernisasi Pemikiran Muhammad Abduh
Menurut Rusli dalam bukunya yang berjudul Pembaharuan Pemikiran
Modern dalam Islam (2013: 109) bahwa pada masa Muhammad Abduh, Mesir
merupakan negara yang mempunyai konstitusi. Tahun 1899 Abduh ikut aktif di
Majelis Syura, dewan legeslatif Mesir. Atas usaha-usahanya kerjasama antara
Majelis Syura dan pemerintah berjalan harmonis. Kedua lembaga itu berhasil
diyakinkan bahwa keduanya adalah untuk kepentingan rakyat Mesirr. Pemerintah
pun berencana untuk membahasnya dalam majelis. Pembahasannya dilakukan
oleh panitia yang dibentuk khusus untuk masing-masing rencana yang diajukan,
dan biasanya Muhammad Abduh lah yang dipilih menjadi ketuanya.
Pandangan Abduh tentang hubungan antara agama dan politik akan menjadi
lebih jelas dengan membaca program Partai Nasional Mesir. Pada butir V dari
program Partai Nasional Mesir, yang perumusan dan penyusunannya
dipercayakan kepada Abduh, yang diumumkan pada bulan desember 1881
menyatakan bahwa:
“Partai Nasional adalah suatu partai politik, dan bukan partai agama,
yang keanggotaanya terdiri atas orang-orang dari berbagai
kepercayaan dan mazhab, termasuk orang-orang Nasrani dan Yahudi,
serta semua yang bercocok tanam di atas bumi Mesir dan berbicara
bahasa Mesir, karena partai ini tidak memiliki perbedaan keyakinan,
dan (sebaliknya) didasarkan atas kesadaran bahwa semua (orang
77
Mesir) itu saudara datu sama lain, dan bahwa hak-hak mereka dalam
politik dan dimuka hukum itu sama”.
Abduh menyatakan bahwa yang demikian itu bukan pandangan dia
sendiri, melainkan juga pandangan rekan-rekannya ulama Al-Azhar, oleh
karena syariat Islam yang betul melarang sikap membenci, dan mengajarkan
persamaan tanpa membeda-bedakan. Jika keputusan dari program Partai
Nasional Mesir tersebut dapat dianggap sebagai perncerminan pandangan
politik Abduh maka tampaknya ia tidak menginginkan berdirinya suatu
negara Islam di Mesir, tetapi negara nasional yang kewarganegaraannya
meliputi seluruh penduduk Mesir, baik yang beragama Islam, Nasrani
maupun Yahudi, dengan hak-hak yang sama dalam bidang politik, ekonomi,
serta di bidang hukum (Sjadzali, 1990: 133).
Muhammad Abduh berpendirian bahwa sebuah pembaharuan akan
tercapai dengan baik melalui evolusi dan usaha-usaha bertahap dan untuk
menjamin bahwa pembaharuan itu nanti akan menghasilkan perubahan-perubahan
yang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat banyak, dan tidak hanya oleh
segelintir manusia saja, diperlukan juga pembaharuan dalam bidang pendidikan
yang akan meningkatkan kualitas pendidikan dan memperluas kesempatan belajar
sampai pada rakyat jelata. Abduh percaya betul bahwa hanya melalui reformasi
dalam bidang pendidikan umat Islam di satu sisi akan mendapatkan kebebasan
dan kemampuan berfikir serta tahu akan hak-haknya, dan di sisi lain
meningkatkan kesadaran akan bertanggung jawab dan kewajibannya (Sjadzali,
1990: 127).
78
Muhammad Abduh diangkat oleh Khadevi Abbas pada tanggal 15 Janauari
1895 menjadi anggota dewan pimpinan Al-Azhar mewakili pemerintah Mesir.
Dalam dewan tersebut Abduh menjadi penggeraknya. Honorarium ulam
ditentukan dengan layak, sehingga tidak tergantung pada pemberian-pemberian
mahasiswa, beasiswa mahasiswa jumlahnya dinaikkan, asrama diperbaiki dengan
memasukkan air ke dalamnya, didirikan gedung tersendiri untuk keperluan
administrasi, pengangkatan para pegawai untuk membantu rektor yang
sebelumnya tidak ada. Selanjutnya Muhammad Abduh memperpanjang masa
belajar dan memperpendek masa libur, kepada mahasiswa untuk empat tahun
pertama diberikan pokok-pokok mata pelajaran dalam bahasa yang sudah
dimengerti. Perpustakaan Al-Azhar mendapat perhatian juga, Abduh mengerti
betul pentingnya arti perpustakaan bagi suatu perguruan tinggi. Buku-buku Al-
Azhar yang bertebaran di berbagai tempat penyimpanan, ia kumpulkan dalam satu
perpustakaan yang teratur, sehigga memudahkan bagi mahasiswa yang
membutuhkan (Rusli, 2013: 108).
G. Persebaran Salafiyah Modern di Indonesia
Kemunculan gerakan Salafi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ide dan
gerakan pembaruan yang dilancarkan oleh Muhammad ibn „Abd al-Wahhab di
kawasan Jazirah Arab. Menurut al-Thalibi dalam artikel Ikhsan yang berjudul
Gerakan Salafiyah Modern di Indonesia, ide pembaruan Ibn „Abd al-Wahhab
diduga pertama kali dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh beberapa ulama
asal Sumatera Barat pada awal abad ke-19. Inilah gerakan Salafiyah pertama di
tanah air yang kemudian lebih dikenal dengan gerakan kaum Padri, yang salah
79
satu tokoh utamanya adalah Imam Bonjol. Gerakan ini sendiri berlangsung dalam
kurun waktu 1803 hingga sekitar 1832. Tetapi, Ja‟far Umar Thalib mengklaim
bahwa gerakan ini sebenarnya telah mulai muncul bibitnya pada masa Sultan
Aceh Iskandar Muda (1603-1637) (Ikhsan: 2006).
Berkembangnya gerakan pembaruan tersebut secara relatif juga
memberikan pengaruh pada gerakan-gerakan Islam modern yang lahir kemudian,
seperti Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad. Ajakan untuk kembali kepada al-
Quran dan al-Sunnah serta pemberantasan takhayul, bid‟ah dan khurafat menjadi
hal-hal mendasar yang diusung oleh gerakan-gerakan ini. Meskipun satu hal yang
patut dicatat bahwa nampaknya gerakan-gerakan ini tidak sepenuhnya mengambil
apalagi menjalankan ide-ide yang dibawa oleh gerakan purifikasi Muhammad ibn
„Abd al-Wahhab yang kemudian dilanjutkan oleh Jamluddin Al-Afghani dan
Muhammad Abduh. Apalagi dengan munculnya ide pembaruan lain yang datang
belakangan, seperti ide liberalisasi Islam yang nyaris dapat dikatakan telah
menempati posisinya di setiap gerakan tersebut.
Seiring dengan maraknya gerakan Islam untuk kembali kepada al-Qur‟an
dan as-Sunnah di berbagai kampus di Indonesia dapat dikatakan sebagai tonggak
awal kemunculan gerakan Salafiyah modern di Indonesia. Ja‟far Umar Thalib
adalah salah satu tokoh utama yang berperan dalam hal ini. Di samping Ja‟far
Thalib, terdapat beberapa tokoh lain yang dapat dikatakan sebagai penggerak awal
Gerakan Salafi Modern di Indonesia, seperti: Yazid Abdul Qadir Jawwaz (Bogor),
Abdul Hakim Abdat (Jakarta), Muhammad Umar As-Sewed (Solo), Ahmad Fais
Asifuddin (Solo), dan Abu Nida‟ (Yogyakarta). Nama-nama tersebut bahkan
80
kemudian tergabung dalam dewan redaksi Majalah As-Sunnah yang merupakan
majalah Gerakan Salafi Modern pertama di Indonesia, sebelum kemudian mereka
berpecah beberapa tahun kemudian (Ikhsan: 2006).