Upload
hakhanh
View
236
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
PEMBAHASAN
A. Bentuk dan Struktur cerita Kyai Ageng Pengging
1. Bentuk Cerita Kyai Ageng Pengging
a) Kedudukan dan Fungsi Cerita Rakyat Kyai Ageng Pengging
Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging adalah cerita rakyat
yang masih hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat
Boyolali khususnya daerah Pengging. Cerita rakyat ini biasanya
disebarluaskan secara lisan dan hanya didasarkan pada kemampuan
mengingat para penuturnya. Oleh karena itu, tidak mustahil jika
ceritarakyat Kyai Ageng Pengging sangat mudah mengalami
penyimpangan atau perbedaan yang biasa disebut munculnya versi
dari bentuk ceritanya yang asli
Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini bersumber dari
para penutur atau orang-orang tua yang sebagian besar telah
meninggal. Orang-orang tua tersebut belum tentu mewariskan
kepada anak cucu mereka. Kenyataan di lapangan membuktikan
bahwa ada cerita yang berbeda versinya dalam lokasi yang
berdekatan. Bahkan ada satu cerita yang diingat sebagian saja
hingga tidak didapatkan cerita utuh. Pengungkapan cerita yang
tidak utuh atau tidak diketahui secara keseluruhan ini
sangat memungkinkan hilangnya nilai yang terkandung di
dalamnya.
51
52
Berasal dari hasil wawancara dengan beberapa informan,
dapat diketahui bahwa Kabupaten Boyolali, khususnya Kecamatan
Banyudono yang di Desa Jembungan terdapat cerita rakyat yang
memiliki usia yang sudah tua, mempunyai ciri tradisional,
disebarkan dari mulut ke mulut, dan tanpa diketahui
pengaranganya. Namun, cerita tersebut sampai sekarang masih
hidup. Adapula peninggalan bersejarah dari cerita tersebut, yaitu
adanya makam sang Kyai yang sampai saat ini tetap dijaga dan
dilestarikan.
Cerita-cerita yang ada mempunyai latar belakang dan
budaya serta hasil lingkungan yang merupakan pegalaman
masyarakat pemiliknya. Cerita rakyat yang ada digunakan sebagai
pembentuk watak manusia aslinya. Dahulu cerita-cerita rakyat yang
digunakan oleh orang-orang tua untuk membentuk watak anak
cucunya atau generasi muda agar menjadi manusia yang baik.
Cerita rakyat juga digunakan sebagai alat kontrol sosial, yakni
digunakan untuk mendidik agar manusia hidup sesuai nora yang
berlaku dalam masyarakat. Isi cerita yang disampaikan dapat
memberi petunjuk tentang apa yang benar dan apa yang salah.
Fungsi cerita menurut Kosasih (2003:222), ada lima
kelompok fungsi, yakni sebagai rekreatif yang mampu menghibur
penikmat atau pendengar cerita rakyat Kyai Ageng Pengging
karena ceritanya yang menginspiratif. Kedua adalah sebagai fungsi
didaktif, di dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini terdapat
kandungan nilai-nilai yang mampu mendidik manusia agar mereka
dapat hidup sesuai dengan amanat-amanat yang terkandung di
dalam isi cerita rakyat Kyai Ageng Pengging agar mampu menjadi
manusia yang lebih baik. Selanjutnya, sebagai fungsi estetis yang
memberikan nilai keindahan ada setiap cerita Kyai Ageng
Pengging. Baik keindahan dalam kandungan isinya maupun
keindahan dalam penyampaian cerita yang dituturkan oleh juru
kunci apabila kita berkunjung ke makam Kyai Ageng Pengging
tersebut.
Kemudian adanya fungsi moralitas yang terkandung di
dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging yang dapat membuat
pembaca atau pendengar cerita tersebut mampu membedakan mana
moral yang baik dan moral yang tidak baik untuk dilakukan di
masyarakat, serta mereka mampu hidup sesuai dengan norma dan
moral yang berlaku di dalam suatu masyarakat. Terakhir adalah
fungsi religiusitas, dalam cerita Kyai Ageng Pengging ini
mengandung ajaran agama yaitu agama Islam. Diharapkan dengan
medengar cerita rakyat ini para pendengar mampu mengambil
pembelajaran yang dapat dijadikan sebagai teladan. Tidak hanya
agama Islam saja yang diharapkan mampu mengambi teladan
dalam cerita rakyat ini, namun berbagai agama yang ada di
Indonesia ini diharapkan mampu mengambil teladan agar menjadi
manusia yang lebih baik lagi.
53
54
Melalui cerita ternyata juga dapat ditumbuhkan rasa cinta
dan penghargaan kepada leluhur. Hal inilah yang mengilhami
anggota masyarakat saat ini masih berusaha melestarikan tradisi
atau kebiasaan yang ditinggalkan seperti berziarah ke makam
leluhur atau tokoh terdahulu sebagai bentuk pennghormatan.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara juga ditemukan bahwa
hal-hal atau kebiasaan tersebut jarang dijumpai pada masyarakat
dewasa ini di Kecamatan Banyudono. Keadaan seperti ini biasanya
terdapat di lingkungan perkotaan yang dengan kondisi penduduk
yang super sibuk.
Tradisi mendongeng atau bercerita yang dilakukan oleh
orang-orang tua dulu sekarang tidak lagi menjadi hal yang lazim
pada masa kini. Apabila dicermati, hilangnya kebiasaan tersebut
disebabkan oeh beberapa hal, antara lain: 1) para orang tua yang
sibuk mencari nafkah karena harus memenuhi kebutuhan keluarga;
2) teknik komunikasi dan alat komunikasi yang ada saat ini sudah
lebih canggih yang dianggap lebih praktis dan dapat dijangkau
hampir seluruh masyarakat, contohnya televisi dan internet; 3)
adanya pengaruh kebudayaan asing melalui berbagai media
sehingga menggeser kebudayaan lokal; 4) kurangnya usaha
mengenalkan cerita-cerita lokal, termasuk cerita rakyat oleh para
orang tua, lembaga pendidikan, pemerintah daerah kepada kaum
muda.
b) Bentuk Cerita Kyai Ageng Pengging
Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging merupakan lokal
legenda karena mempunyai cerita tentang seorang tokoh yang
bernama Kyai Ageng Pengging atau Kebo Kenongo. Kyai Ageng
Pengging adalah seorang pemimpin dalam sebuah padepokan yang
ia bangun sendiri untuk mengajarkan agama Islam. Beliau
dianggap sebagai seorang guru yang pinunjul atau linuwih yang
dihormati oleh masyarakat Desa Jembungan. Tokoh ini memiliki
kekuatan-kekuatan magis yang disakralkan oleh masyarakat
pendukungnya. Kyai ageng Pengging meskipun mempunyai
kekuatan yang tinggi tetapi tidaklah sombong dan selalu rendah
hati. Beliau tidak mau menduduki tahta dan diagung-agungkan
karena dia tidak menginginkan kenyamanan duniawi.
Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging disebarkan dengan
media lisan. Cerita ini dituturkan dari mulut ke mulut dari generasi
ke generasi berikutnya. Sampai saat ini, cerita rakyat Kyai Ageng
Pengging ini masih dijaga oleh pemilik cerita rakyat Kyai Ageng
Pengging yaitu warga Desa Jembungan Kecamatan Banyudono
Kabupaten Boyolali. Cerita rakyat ini merupakan sebuah folklor
lisan berupa cerita rakyat yang berbentuk legenda.
Berdasarkan keterangan dan hasil penelitian dapat diambil
kesimpulan bahwa cerita Kyai Ageng Pengging memiliki dua versi
dari masyarakat setempat. Keterkaitan data berada tepat di dua desa
yaitu di Desa Jembungan dan Desa Dukuh. Penelitian ini
55
56
dikhususkan pada Desa Jembungan yang merupakan tempat
makam Kebo Kenongo atau biasa disebut Kyai Ageng Pengging.
Menurut cerita dari Juru kunci makam Kyai Ageng
Pengging di desa Jembungan, yaitu Bapak Karsino. Melalui
penelitian yang dilakukan pada Rabu, 14 Juli 2016 sebagai berikut :
1) Penutur Cerita
Penutur cerita disini yang dimaksud adalah juru kunci
sebagai pendukung aktif, yang merupakan pemberi informasi
utama atas cerita rakyat Kyai Ageng Pengging. Juru kunci disini
adalah Bapak Karsino (60 tahun) yang sudah menjadi juru
kunci. Bapak Karsino yang kesehariannya hanya sebagai juru
kunci makam. Sebagai juru kunci di area makam Kyai Ageng
Pengging beliau sering kedatangan tamu yang hendak
berkunjung atau melakukan ritual di area makam.
Penutur cerita Bapak Karsino selalu menceritakan dan
memberikan informasi yang dibutuhkan oleh pengunjung
berkenaan tentang Kyai Ageng Pengging. Pengunjung paling
banyak adalah dari kalangan peziarah yang hendak ingin
berziarah ataupun melakukan ritual. Ritual disini biasanya
dengan tirakatan di dalam makam. Menurut Bapak Karsino
tempat ini paling ramai dikunjungi peziarah adalah pada malam
jumat dan selasa kliwon. Meskipun hanya ada hari tertentu yang
ramai dikunjungi, namun makam ini dibuka setiap hari mulai
senin sampai jumat. Pada hari sabtu dan minggu pun Bapak
Karsino selaku juru kunci bersedia untuk membukakan pintu
bagi pengunjung atau peziarah yang datang pada hari itu.
Selain Bapak Karsino selaku juru kunci makam sebagai
pemberi informan, ada pula beberapa pemberi informasi lain
yang menunjang penelitian tentang cerita rakyat Kyai Ageng
Pengging ini. pemberi informan yang lain antara lain: (1) Bapak
Sadiman, selaku kepala desa Jembungan yang menjadi tempat
penelitian; (2) Bapak Parjiyono, selaku warga sekitar yang
berprofesi sebagai guru; (3) Ibu Parinah, warga sekitar makam
yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga; (4) Bapak
Mujiyanto, selaku peziarah yang mengunjungi makam secara
rutin; (5) Agus, warga sekitar yang masih duduk di bangku
Sekolah Menengah Atas kelas 2; dan masih banyak lagi warga
sekitar yang tidak peneliti tulis dalam skripsi karena data dan
kategori informan yang sama dengan keempat informan yang
sudah disebutkan di atas.
Kelompok pendengar cerita pendukung pasif disini yang
dimaksud adalah para peziarah yang berkunjung. Mereka yang
sering berkunjung tidak hanya dari kalangan rakyat biasa, tetapi
banyak juga dari kalangan pejabat. Hampir setiap hari ada saja
pengunjung yang datang ke makam Kyai Ageng Pengging ini.
Maksud kunjungan mereka ada yang hanya sekedar berkunjung
untuk berdoa atau ingin melakukan serangkaian ritual untuk
tujuan tertentu, seperti meminta berkah dan sebagainya.
57
58
Meskipun tidak ada sesaji-sesaji khusus yang diwajibkan dalam
ritual, masyarakat sering membawa beberapa sesaji seperti di
bawah ini, seperti:
1. Dhupa
Dhupa merupakan simbol pemujaan, dan
melambangkan kekuatan pikiran manusia dengan
Tuhan. Bahan yang digunakan dalam dhupa adalah
kemenyan.
2. Bunga (kembang)
Bunga sebagai simbol dari keikhlasan dan
kesucian. Bunga merupakan sarana untuk persembahan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bunga yang digunakan
yaitu dengan bunga mawar merah dan mawar putih.
Adapula yang membawa kembang setaman atau bunga
setaman (tujuh rupa).
3. Tumpeng
Tumpeng yaitu nasi kuning yang berbentuk
gunung yang disajikan bersama-sama dengan lauk-pauk
berupa sayuran dan makanan tradisional.
2) Kesempatan bercerita
Kesempatan bercerita disini maksudnya adalah suatu
kesempatan dimana juru kunci/sumber cerita mampu atau bisa
bercerita kepada para pengunjung atau orang yang mendengarkan
cerita tersebut. Berasal dari wawancara penulis yang dilakukan di
lokasi, juru kunci sering sekali bercerita kepada pengunjung yang
datang untuk berziarah ataupun melakukan ritual. Biasanya mereka
menanyakan bagaimana sejarah dari riwayat Ki Ageng Pengging.
Kesempatan bercerita paling banyak adalah ketika
pengunjung datang, entah itu dari warga sekitar, pejabat, ataupun
siswa/mahasiswa yang berkunjung untuk mencari data tugas.
Biasanya jika juru kunci bercerita, ia menceritakan semua cerita
berdasar apa yang dia ketahui. Penulis sempat menanyakan
bagaimana beliau mengetahui atau dapat menceritakan keseluruhan
cerita tersebut, beliau mengatakan bahwa ia mengetahui cerita
tersebut secara turun temurun dari para juru kunci terdahulu.
Juru kunci selalu mencoba untuk menjawab dari apa yang
pengunjung tanyakan, meski dari waktu ke waktu mungkin sudah
agak berubah ceritanya, tetapi tidak mengubah inti dari cerita Kyai
Ageng Pengging tersebut. Mungkin ini pengaruh dari pemahaman
yang berbeda dari setiap juru kunci ketika diwariskan oleh juru
kunci yang terdahulu. Ini sesuai dengan pernyataan dari
Danandjaja yang mengatakan bahwa definisi folklore adalah
sebagai berikut:
“Adalah sebagai kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar
dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam
apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda”.
(Danandjaja, 1984:2)
3) Tujuan bercerita
59
60
Folklor mengandung arti keyakinan atau kisah-kisah lama
(tradisional) mengenai rakyat, sekaligus juga bisa dimengerti
sebagai studi atas kisah atau keyakinan rakyat itu sendiri. Rakyat di
sini bisa suku, masyarakat, atau penduduk suatu wilayah dengan
ragam budayanya sendiri. Folklor adalah sebagian kebudayaan
suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun di
antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi
yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai
dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemoninic
device) (Danandjaja
1997:2).
Tujuan cerita rakyat ini agar tidak habis dimakan jaman.
Karena pada
kenyataan di lapangan, banyak sekali generasi muda yang tidak
mengetahui atau mampu bercerita tentang sejarah ini. Sebenarnya
bisa mengetahui cerita rakyat ini cukup besar manfaatnya, selain
bisa menjaga suatu peninggalan sejarah yang hidup di daerah
tersebut, juga mampu untuk melestarikan serta ikut memiliki
kearifan lokal tersebut.
Bagi penulis secara pribadi, selain ingin melakukan
penelitian sebagai judul skripsi, penulis juga ingin mengetahui
secara luas bagaimana bentuk dan struktur cerita rakyat tersebut.
Bagi juru kunci sendiri bisa memberikan informasi merupakan
suatu kewajiban yang telah diberi amanat oleh para pendahulunya
yang bertugas sebagai juru kunci makam Ki Ageng Pengging. Juru
kunci tidak bosan atau mengeluh untuk bercerita, karena beliau
sadar ini merupakan bagian dari peninggalan kebudayaan yang
wajib untuk dijaga dan dilestarikan keberadaannya, karena jika
sampai punah merupakan suatu kecerobohan. Seperti sifat cerita
rakyat yang diceritakan dari mulut ke mulut dan secara turun-
temurun tanpa menghilangkan versi aslinya.
Mungkin bagi sebagian generasi muda, tidak mengetahui
bagaimana cerita Kyai Ageng Pengging, bahkan sering dijumpai
para muda yang tidak tahu sama sekali tentang salah satu
peninggalan tradisi lisan tersebut yang berada di Desa Jembungan,
Kecamatan Banyudono. Dari itu pula, penulis mengangkat cerita
tersebut untuk diangkat menjadi judul skripsi.
4) Kekuatan Kultural Cerita Rakyat Kyai Ageng Pengging
Masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah,
pertama sebagai suatu kekuatan atau faktor material istimewa, dan
kedua sebagai tradisi yakni kecenderungan-kecenderungan spiritual
maupun kultural yang bersifat kolektif. Bentuk dan isi dengan
sendirinya dapat mencerminkan perkembangan sosiologis, atau
menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak
kultural (Darmono, 1978 dalam Endraswara, 2003:92).
Merujuk pada pendapat tersebut, dapat dilihat bahwa cerita
rakyat Kyai Ageng Pengging memiliki dua ciri pendekatan sebuah
61
62
karya sastra, sebagai kekuatan atau material istimewa. Hal ini
terbukti makam Kyai Ageng Pengging sering dikunjungi peziarah
untuk ngalap berkah karena makam Kyai Ageng dianggap sebagai
tempat yang sakral. Sedangkan sebagai tradisi, untuk peziarah yang
akan memasuki makam Kyai Ageng Pengging diharuskan
melepaskan alas kaki dan memakai pakaian sopan, tidak diijinkan
memakai celana pendek. Kemudian untuk para peziarah maupun
warga sekitar yang hendak memasuki masjid yang terletak di
samping makam tetapi masih termasuk bagian dari makam Kyai
Ageng Pengging itu harus bersuci dahulu. Seperti pernyataan yang
dituturkan oleh juru kunci dan warga berikut ini.
Kutipan:
Tur riyin mesjid niku rada gawat. Pas jaman nem-
neman kula nika ingkang tiyang bibar ngusungi
lethong apa piye dha mboten purun adus ngoten
niku jane kula mpun sanjang nek umpami mlebu
mesjid kudu adus. Ndase dicegur nyelem enten
blumbang diresiki ngoten hle. Enten sok-sok sing
mboten purun, niku terjadi kala mben, niku bar
ngusungi lethong jaran dingge ngobong bata ngoten
nggeh. Niku terjadi diwedeni lah srek pyur, niku
diwedeni drijine gedhe-gedhe sak gedang ngono
kae, tangane mpun ageng sanget trus niku do mlayu
kula sanjang “iki mau mesti enek sing rung adus”.
“ho.o aku mau rung adus, wis adem ra wani”.
(Karsino, 14 Juli 2016)
Terjemahan:
Dahulu kala masjid itu sangat sakral atau angker.
Pada saat saya masih muda itu ada orang yang baru
selesai membawa lethong atau tahi kuda apa
bagaimana tapi ereka tidak mau mandi dulu, padahal
saya sudah memperingatkan mereka untuk mandi
dahulu sebelum masuk ke masjid. Kepalanya
dicelupkan menyelam di blumbang atau kolam kecil
dibersihkan sepeti itu. Ada yang tidak mau, dan
terjadilah, itu yang baru selesai membawa tahi kuda
untuk membakar batu bata. Mereka ditakut-takuti
sesosok makhluk halus yang jarinya besar-besar
seperti pisang, tangannya lebih besar lagi trus
mereka semua lari ketakutan. Saya bertanya pada
mereka “tadi pasti ada yang belum mandi”, “iya, aku
tadi belum mandi, sudah dingin makanya tidak
berani mandi”.
Kutipan:
Mesjid lawas niku wonten cara sak niki nggeh enten
sing jaga tiyang sing mboten katon ngeten hle
sebabe niku kan mesjide Gusti Allah, ning malah do
nyepelekne. Sak niki mboten patos gawat.
(Parjiyono, 1 Februari 2017)
Terjemahan:
Masjid lama itu apabila untuk jaman sekarang ini
ada yang menunggu orang yang tidak kelihatan atau
makhluk halus. Karena masjid itu adalah masjidnya
Allah, tapi ada yang menyepelekannya. Tapi
sekarang tidak terlalu gawat atau angker seperti
dahulu kala.
Hal tersebut membuktikan bahwa Cerita Rakyat Kyai
Ageng Pengging masih sangat dijaga keberadaannya dan
dilestarikan oleh sang pemilik dan pendukung Cerita Rakyat Kyai
Ageng Pengging yaitu masyarakat Desa Jembungan Kecamatan
Banyudono Kabupaten Boyolali. Sampai sekarang masyarakat
Jembungan masih melestarikan tradisi-tradisi yang mengukuhkan
perwujudan cerita rakyat Kyai Ageng Pengging.
63
64
Beberapa tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat
pendukung cerita rakyat Kyai Ageng Pengging antara lain:
1) Tradisi ziarah pada malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon
Tradisi ziarah ke makam Kyai Ageng Pengging
dilakukan oleh para peziarah merupakan sebuah tradisi yang
turun-temurun sejak dulu. Para peziarah memiliki suatu
kepercayaan bahwa pada malam Selasa Kliwon dan Jumat
Kliwon merupakan hari yang paling baik untuk ngalap berkah
di makam Kyai Ageng Pengging. Meskipun pada
kenyataannya, makam Kyai Ageng Pengging dibuka untuk
umum setiap harinya, bahkan pada saat libur pun sang juru
kunci bersedia untuk membukakan pintu bagi mereka yang
hendak datang ke makam. Mereka percaya bahwa pada hari
tersebut, roh Kyai Ageng Pengging turun ke bumi sehingga
akan mengabulkan doa yang mereka minta.
Hal-hal yang tidak boleh dilakukan saat melakukan
ziarah kubur di makam Kyai Ageng Pengging antara lain: (1)
berkata kotor; (2) menggunjing orang lain; (3) berbuat asusila;
(4) dalam berdoa meminta hal-hal yang tidak baik misalnya
dilindungi dalam melakukan tindak kejahatan seperti mencuri,
dan lain-lain. (5) Peziarah juga tidak diperbolehkan
menyimpan dendam terhadap orang lain. (6) Wanita yang
sedang dalam keadaan haid tidak diperbolehkan memasuki
area makam. (7) Alas kaki yang digunakan oleh peziarah
haruslah dilepas saat memasuki makam Kyai Ageng Pengging.
2) Tradisi memperingati meninggalnya seseorang atau
upacara kematian
Upacara kematian yang dilakukan masyarakat Jawa
pada umumnya memiliki kesamaan satu sama lain di
daerah manapun. Adapun upacara keamtian yang sampai
saat ini masih digunakan oleh masyarakat desa Jembungan
Kecamatan Banyudono Kabupaten Boyolali, sebagai
berikut:
a) Upacara Tigang Dinten (tiga hari)
Merupakan upacara untuk memperingati tiga hari
meninggalnya seseorang, dan menyempurnakan
empat perkara yaitu bumi, api, air, dan angin.
Acara peringatan ini yaitu dengan mengundang
tetangga terdekat untuk melakukan upacara
kenduri bersama.
b) Upacara Pitung Dinten (tujuh hari)
Pitung Dinten merupakan bahasa Jawa yang jika
diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti tujuh
hari, yaitu upacara peringatan tujuh hari
meninggalnya seseorang.
c) Upacara Sekawan Dasa Dinten (empat puluh hari)
65
66
Merupakan upacara untuk memperingati empat
puluh hari meninggalnya seseorang supaya
memberikan kesempurnaan hal yang bersifat badan
wadag atau jasad.
d) Upacara Nyatus (seratus hari)
Nyatus dalam bahasa Indonesia artinya seratus.
Merupakan upacara untuk memperingati seratus
hari meninggalnya seseorang.
e) Upacara Mendhak Pisan
Upacara ini untuk memperingati meninggalnya
seseorag setahun pertama sebahai perwujudan
penyempurnaan kulit, daging, dan jeroan atau isi
perut.
f) Upacara Mendhak Pindho
Merupakan upacara setahun kedua untuk
memperingati meninggalnya seseorang. Upacara
ini sebagai wujud penyempurnaan semua unsur
dari kulit, darah, dan semacamnya.
g) Upacara Mendhak Ketelu
Merupakan upacara untuk memperingati seribu
hari meninggalnya seseorang. Upacara ini sebagai
bentuk keikhlasan paling akhir di masyarakat Jawa
untuk melepas seseorang ke alam baka, dimana
penyempurnaan seluruh unsur semua rasa dan bau
telah hilang.
Juru kunci menceritakan sedikit tentang ritual-
ritual yang hingga kini masih dianut oleh masyarakat
berkaitan dengan meninggalnya seseorang dari upacara
Tigang Dinten (tiga hari) sampai upacara nyewu (seribu
hari) adalah sebagai berikut dengan menggunakan
beberapa ubarampe:
a) Tumpeng
Sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan Yang
Maha Esa serta arwah leluhur yang telah meninggal.
b) Ingkung
Ingkung merupakan daging ayam jago yang
disajikan utuh sebagai lambang kepasrahan kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
c) Lalaban
Lalaban dimaksudkan supay sesaji yang digunakan
lengkap tanpa kurang satu apapun. Lalaban ini
berupa cabai merah, garam, dan bawang merah.
d) Sega Liwet
Nasi Liwet yang dimasak gurih dan diberi telur.
e) Apem
67
68
Apem melambangkan sebagai ungkapan maaf dari
seseorang yang telah meninggal semasa hidupnya.
Apem merupakan makanan yang dibuat dari tepung
gandum dan dibentuk bulat-bulat.
f) Dhele Ireng (kedelai hitam)
Merupakan perambangan penerangan yang
diberikan Tuhan kepada orang yang meninggal.
3) Tradisi Upacara Sadranan
Cerita-cerita lanjutan dari sastra lisan Kyai Ageng Pengging
yang semula dianggap mitos bisa saja berubah menjadi cerita non
fiksi dan menjadi acuan masyarakat, dipercaya kebenarannya dan
memiliki nilai-nilai serta manfaat di dalamnya. Nilai-nilai yang
terkandung dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging seperti nilai
budaya, lingkungan, dan seni. Masyarakat melakukan syukuran
berupa menyembelih kambing, ayam, mengisi khas, dan lain-lain.
Eyang tidak mempunyai amarah sama sekali. Hal ini membuktikan
dia adalah orang yang sudah pada taraf tinggi ilmunya. Daerah
sekitar makam sering diadakan upacara sadranan.
Upacara sadranan dilakukan setahun sekali, pada saat
ruwah tanggal 20. Tradisi Upacara Sadranan yang berada di
makam Kyai Ageng Pengging di dalamnya sendiri terdapat
lambang-lambang yang berwujud dalam bentuk sesaji. Selain
memiliki pesan tentang baik dan buruk, sesaji juga digunakan
sebagai sarana komunikasi kepada makhluk-makhluk gaib untuk
menghormati keberadaan mereka. Sesaji ataupun uborampe yang
digunakan antara lain adalah:
1. Tumpeng
Tumpeng atau Nasi Gunungan melambangkan suatu cita-cita
atau
tujuan yang mulia, seperti gunung yang memiliki sifat besar dan
puncaknya
yang menjulang tinggi. Nasi tumpeng bermacam-macam jenisnya,
ada nasi
tumpeng alus, nasi tumpeng among-among, megana, reboyong,
pungkur dan
suci (Wahyana Giri, 2010: 18-20).
Kata “tumpeng” berasal dari kata Tumungkula Sing
Mempeng, artinya kalau ingin selamat, hendaknya selalu rajin
beribadah. Tumpeng yang berbentuk kerucut dalam tradisi upacara
Sadranan mengartikan bahwa semakin hari manusia harus
senantiasa ingat kepada Tuhan. Tumpeng juga sebagai
perumampaan alam semesta, dimana nasi berwujud gunung
dikelilingi oleh hasil bumi berupa tumbuh-tumbuhan dan hewan
darat/air.
2. Pisang Raja
69
70
Pisang raja sebagai lambang manusia yang harus bersatu,
manunggal (bersatu) antara pekerjaan dan panyuwunan
(permintaan). Pisang raja juga dapat dimaknai sebagaiperwujudan
seorang pemimpin yang didukung oleh seluruh rakyatnya.
Masyarakatakan hidup berdampingan dan saling melengkapi.
Pemimpin seharusnya tidak semena-mena kepada rakyatnya tetapi
harus dapat mengayomi rakyatnya, sehingga hidup mereka tentram,
makmur dan bahagia.
3. Ayam Ingkung.
Ayam ingkung berupa ayam jago (jantan) yang dimasak
utuh (ingkung), adalah simbol menyambah Tuhan dengan Khusuk
(manekung) dengan hati yang tenang (wening). Menyembelih ayam
jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk yang
dilambangkan oleh ayam jago, antara lain : sombong, congkak,
kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar
sendiri (berkokok). Manusia hanya bisa berusaha kemudian berdoa
dan hanya bisa berpasrah diri kepada Tuhan, untuk itu digunakan
ayam ingkung sebagai lambangnya.
Ingkung ayam juga merupakan simbol berserah dirinya
manusia di hadapan Tuhan. Ayam ingkung juga melambangkan
manusia ketika masih bayi dan yang masih suci serta bersih dari
dosa.
4. Kedelai Goreng
Kedelai goreng disini bermaksud untuk menghindarkan diri
dari masalah-masalah yang datang.
5. Cabai Merah
Cabai merah memiliki makna atau symbol dilah/api yang
memberikan penerangan/tauladan yang bermanfaat bagi orang lain.
Diibaratkan Kyai Ageng Pengging yang selalu mengajarkan budi
pekerti yang baik dan dalam menyebarkan Agama Islam.
Tradisi upacara sadranan mempunyai beberapa tujuan dan
manfaat dalam penyelenggaraan tradisi upacara Sadranan ini.
1. Tujuan tradisi Upacara Sadranan
a. Mempererat tali persaudaraan dan kebersamaan di
antara masyarakat, khususnya masyarakat Desa
Jembungan.
b. Sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan yang selalu
memberi rizki dan keselamatan kepada masyarakat
Desa Jembungan.
c. Menjaga warisan kebudayaan.
2. Manfaat tradisi Upacara Sadranan
a. Suatu tradisi yang mempunyai daya pikat pasti dapat
dijadikan aset pendapatan penduduk sekitar dengan
71
72
adanya orang berjualan maupun lahan parkir yang di
sediakan oleh masyarakat.
Pemerintah daerah dengan adanya suatu tradisi yang masih
dilestarikan di Desa Jembungan ini dapat menjadi aset pariwisata
religi yang bisa dikembangkan.
2. Struktur Cerita Kyai Ageng Pengging
Secara etimologis struktur berasal dari kata structure, bahasa
Latin yang berarti bentuk atau bangunan (Ratna, 2012:88). Struktur
cerita diartikan susunan, penegasan, dan gambaran dari semua bahan
dan bagian yang menjadikan komponennya secara bersama
membentuk suatu kebulatan (Nurgiyantoro, 1995:36). Selain itu,
struktur cerita karya sastra juga mengacu pada pengertian hubungan
antar unsur intrinsik yang bersifat timbal balik, saling menentukan,
saling mempengaruhi dan secara bersama-sama membentuk kesatuan
yang utuh. Karya sastra besar merupakan produk strukturilisasi dari
subjek kolektif. Oleh karena itu karya sastra mempunyai struktur yang
koheran dan padat.
Cerita rakyat Ki Ageng Pengging ialah cerita yang secara turun
temurun dan dipercaya oleh masyarakat pemiliknya sebagai suatu
legenda setempat yang dipercaya benar-benar terjadi. Berikut di bawah
ini ialah ringkasan cerita yang penulis dapatkan dari hasil wawancara
dengan juru kunci setempat.
Asal mulanya berawal dari pernikahan Prabu Sri Makurung
dan Ratna Pembayun yang mempunyai tiga orang anak yaitu Kebo
Kanigara, Kebo Kenongo, dan Kebo Amiluhur. Dari keturunan
tersebut yang mampu menurunkan kelanjutan sejarah adalah Kebo
Kenongo. Yang nantinya menurunkan Jaka Tingkir (Mas Karebet).
Kebo Kenongo awalnya berkepercayaan Hindu. Kemudian datanglah
Syekh Siti Jenar yang datang ke daerah Pengging untuk mencari orang
yang berilmu tinggi. Kemudian, setelah menemukan nama bukit
pengging itu berarti orang yang berilmu tinggi. Kebo kenongo semedi
untuk mengajar murid-muridnya. Beberapa hari setelah perbincangan
yang dilakukan Syekh Siti Jenar dengan Kebo Kenongo itu, akhirnya
Kebo Kenongo ingin merubah kepercayaan menjadi islam. Islam yang
dianutnya ini adalah Islam Kejawen. Kyai Ageng Pengging kemudian
membuat sebuah masjid dan membujuk muridnya untuk merubah
kepercayaan menjadi islam seperti yang sekarang dianutnya, dan itu
semua tanpa paksaan sama sekali.
Ajaran dan tokoh Syekh Siti Jenar ini dianggap ajaran yang
menyimpang dari ajaran buku dan kemudian dituduh menyesatkan.
Tuduhan itu sebenarnya juga mengarah pada anggapan ajaran yang
menanam bibit pembangkangan pada legitimasi kekuasaaan Demak.
Kemudian Sultan Demak mengutus Sunan Kudus untuk membujuk
Kyai Ageng Pengging untuk datang ke Demak dengan alih-alih
membayar pajak. Akan tetapi, Kyai Ageng Pengging tidak mau
menuruti perintah tersebut. Sebagai ganti dari ketidakpatuhan Kyai
73
74
Ageng Pengging ini, maka pemerintahan Demak membawa istri Kyai
Ageng Pengging yang tengah hamil itu ke Demak.
Kyai Ageng Pengging merelakan istrinya untuk dibawa ke
Demak. Kemudian Kyai Ageng Pengging meninggal dengan cara
mukso atau hilang bersama dengan raga dan jasadnya begitu saja di
hadapan Sunan Kudus. Sunan Kudus menjadi takjub akan kesaktian
Kyai Ageng Pengging ini dan kemudian mempercayai Kyai Ageng
Pengging. Seperti pada kutipan berikut ini:
“Ngapa aku ndadak mbok pateni, wong aku mati dhewe
saiki wae iso kok” sanjange Eyang mekaten. (Karsino, 14
Juli 2016)
Terjemahan:
“Kenapa saya harus kamu bunuh, saya mati sendiri
sekarang saja bisa kok” kata Eyang seperti itu.
Masa hidupnya dari cerita di atas, meninggalnya Kyai Ageng
Pengging atau Kebo Kenongo ada dua versi yaitu versi pertama yang
menyatakan bahwa Kyai Ageng Pengging meninggal dengan cara
mukso atau hilang bersama dengan raga dan jasadnya.
Versi cerita lainnya adalah kematian Kyai Ageng Pengging
diakibatkan oleh Sunan Kudus yang membunuhnya. Akan tetapi
faktanya, Sunan Kudus diutus dari Demak lalu Kebo Kenongo diminta
datang ke Demak, akan tetapi eyang (Kyai Ageng Pengging) tidak
mau kesana karena bumi pengging merupakan bumi kemerdekaan
yang terlepas dari kerajaan Demak. Eyang mati tanpa pusaka apapun,
dia bisa mati sendiri dan hidup sendiri. Lalu Sunan Kudus takut dan
justru ia berguru pada Kyai Ageng Pengging. Sunan Kudus pulang lagi
dengan tangan hampa, lalu Demak mengutus Sunan Kalijaga untuk
datang ke Pengging. Pusakanya digunakannya untuk bukti bahwa dia
berhasil membunuh eyang, tapi faktanya pusaka itu digunakan untuk
membunuh seekor anjing.
Berdasarkan cerita di atas, ada bermacam–macam ritual,
menurut keyakinan pribadi masing-masing pengunjung. Ritual
kejawen tidak diharuskan dengan aturan yang ramai, yaitu setiap
malam jumat dan selasa kliwon, jika ada tamu biasa dapat dilayani
setiap hari. Ubarampe itu tidak diharuskan dengan aturan yang
berbagai macam. Menurut pribadi sendiri, apabila terkabul itu, baru
mereka biasanya memberikan beberapa hasil bumi atau melakukan
syukuran. Sastra lisan yang telah dikarang dan kemudian diceritakan
kembali dari mulut ke mulut itu biasanya mengandung hal-hal bersifat
supranatural yang tekadang tidak dapat diterima oleh akal manusia,
sehingga banyak sastra lisan yang hanya dianggap sebagai dongeng
yang pada intinya tidak dapat diterima secara logika.
Keekstensian sastra lisan (foklor) dirasa masih populer dan
semakin populer hingga saat ini. terbukti ketika sastra lisan dijadikan
sebagai judul film atau dicetak sebagai buku. Sastra lisan yng dulunya
sampai sekarang hanya dari mulut ke mulut, bahkan sebagian
masyarakat yang menyukai cerita berbau khayalan nemiliki
ketertarikan sendiri terhadap ssatra lisan atau foklor.
75
76
Sastra lisan memiliki makna yang sebenarnya sangat
diperlukan untuk kelangsungan hidup yang lebih baik kedepannya
untuk manusia. Sastra lisan mengandung unsur sejarah dan memiliki
kaitan langsung dengan sejarah yang sudah ada. Sastra lisan cerita
Kyai Ageng Pengging memiliki daya tarik karena di dalamnya
memiliki unsur kenyataan yang berkaitan dengan sejarah masa lalu.
Cerita Rakyat Ki Ageng Pengging yang diwariskan turun
temurun oleh masyarakat secara lisan. Dengan demikian cerita rakyat
Kyai Ageng Pengging memiliki hubungan erat dengan masyarakat,
sebagai suatu kelompok sosial pemilik warisan adat-istiadat tersebut.
Berdasarkan ringkasan cerita rakyat Kyai Ageng Pengging di
atas, maka dapat ditemukan unsur-unsur yang membangun cerita
rakyat tersebut antara lain:
a. Tema
Peristiwa yang diceritakan dalam Kyai Ageng Pengging
ini menggambarkan kisah Kebijaksanaan seorang Kyai semasa
hidupnya dalam memimpin padepokan. Namun dalam
mengajarkan agama mengalami berbagai rintangan. Seperti
dianggap memberontak oleh Kerajaan Demak dan diprasangka
agama atau ajarannya menyesatkan. Hal ini dapat ditunjukkan
dalam kutipan sebagai berikut:
Eyang niku pribadi ingkang wicaksana, mboten nate
duka, sabar, seneng tetulung. (Karsino, 14 Juli
2016)
Terjemahan :
Eyang (Kyai Ageng Pengging) itu pribadi yang
bijaksana, tidak pernah marah, sabar, suka
membantu sesama.
Kyai Ageng Pengginng sangatg ini merupakan sosok
yang sangat disegani oleh masyarakat dan pengikutnya. Karena
hal itu lah, beliau jadi dibenci atau dianggap oleh Kerajaan
Demak dan dituduh hendak memberontak Demak.
Berdasarkan inti dari cerita Kyai Ageng Pengging adalah
pemaksaan kekuasaan oleh suatu kerajaan terhadap seorang
Kyai atau pemimpin suatu padepokan. Di tempat ini pula
ditemukan makam Kyai Ageng Pengging yang masih ramai
dikunjungi oleh para peziarah. Maka dari itu, dapat dikatakan
bahwa cerita rakyat Kyai Ageng Pengging diklasifikasikan
dalam legenda tempat dan legenda perseorangan.
b. Alur
Alur yang digunakan dalam cerita rakyat Kyai Ageng
Pengging adalah alur maju atau alur lurus. Hal ini terbukti
bahwa cerita mengalir disampaikan secara runtut dan
menimbulkan kejadian selanjutnya. Cerita diawali dengan
menggambarkan tokoh yang sangat berpengaruh dalam cerita
yaitu Kyai Ageng Pengging dan tokoh-tokoh yang lain. Awal
mula ketika Kyai Ageng Pengging bertemu dengan Syekh Siti
Jenar. Syekh Siti Jenar sebenarnya memang sengaja menemui
Kyai Ageng Pengging untuk mengajarkan agama Islam.
Kedatangannya ini disambut hangat oleh Kyai Ageng Pengging
77
78
yang bernama aslinya Kebo Kenongo. Nama aslinya ini masih
melekat pada dirinya saat beliau masih menganut agama
Hindu. Setelah lama berbincang-bincang dengan Syekh Siti
Jenar, beliau akhirnya merubah keyakinannya menjadi agama
Islam, tapi dengan tanpa paksaan.
Permasalahan mulai timbul ketika Kerajaan Demak
berprasangka buruk kepada Kyai Ageng Pengging dikarenakan
pihak Demak berpikir Kyai Ageng Pengging membuat pasukan
untuk menyerang Kerajaan Demak. Permasalahan selanjutnya
adalah ketika Demak mengutus Sunan Kudus untuk membawa
kembali Kyai Ageng Pengging ke Kerajaan Demak, jika Kyai
tidak mau maka dibunuhlah Kyai Ageng Pengging. Bahkan
ancaman Demak yang akan membawa istri Kyai Ageng
Pengging ke Demak sebagai jaminan untuk membayar pajak.
Perkembangan terhadap konflik dalam cerita rakyat
Kyai Ageng Pengging ini adalah saat kematian Kyai Ageng
Pengging. Konflik berakhir ketika Kyai Ageng Pengging
meninggal dengan meninggalkan jasad dan raganya (muksa).
Kematian Kyai Ageng Pengging tidak membuat berhentinya
cerita-cerita sejarah berikutnya. Melainkan itu merupakan awal
mula terbentuknya sejarah yang nantinya Kyai Ageng
Pengging akan menurunkan Jaka Tingkir sebagai penerusnya.
c. Tokoh
Tokoh utama dalam cerita rakyat ini adalah Kyai
Ageng Pengging yang mempunyai nama kecil Kebo Kenongo.
Ketika Kyai Ageng Pengging berbincang-bincang dengan
Syekh Siti Jenar, dan kemudian berpindah agama menjadi
penganut agama Islam. Namun, Islam yang dianutnya ini
merupakan Islam kejawen. Adapun tokoh tersebut mempunyai
karakter yang bijaksana, tidak sombong, santun, sabar, tidak
pernah marah. Hal ini tercermin dari cara menghadapi tuduhan
yang ditujukan kepadanya dari Kerajaan Demak bahwa beliau
dituduh memberontak dan menjadi ancaman utuk Kerajaan
Demak. Seperti pada kutipan di bawah ini:
Lajeng eyang mriki istilahe dangu-dangu kiyat.
Lha diprasangka Demak niku ajeng ngrebasa niku
wani kalih Demak. Makane amargi eyang mriki
mboten purun asok glondhong pengareng-areng
niku istilahipun pajek ngoten. Lha terus
diprasangka Demak niku badhe wantun nyusun
kekuatan ngoten, ning sejatose eyang mriki
mboten. Ora ngepengenke lungguh kursi dadi ratu
ngoten niku. (Karsino,14 Juli 2016)
Terjemahan:
Selanjutnya, Eyang itu istilahnya dulunya adalah
orang yang kuat. Kemudian diprasangka Demak
bahwa Eyang itu dirasa berani kepada
pemerintahan Demak. Karena Eyang itu tidak mau
asok glondhong pengareng-areng atau istilahnya
membayar pajak seperti itu. Kemudian justru
diprasangka oleh Demak bahwa beliau berani dan
menyusun kekuatan begitu, tapi sejatinya Eyang
tidak melakukannya. Beliau tidak menginginkan
duduk di tahta menjadi ratu seperti itu.
79
80
Kyai Ageng Pengging merupakan tokoh pemimpin
padepokan agama Islam Kejawen, khususnya di bumi
Pengging. Nama asli Kyai Ageng Pengging adalah Kebo
Kenongo. Beliau juga dikenal menguasai ilmu yang tinggi
melebihi Sunan-Sunan yang ada sehingga banyak santri dari
berbagai tempat yang ingin berguru kepadanya. Kyai Ageng
Pengging mempunyai sifat yang sabar, tidak pernah marah,
tidak sombong, rendah hati, tidak menginginkan hal-hal yang
bersifat duniawi.
Kutipan:
Nek kesaktiane Eyang mriki niku piyantun ingkang
sabar, mboten nate duka, ngeten niku. Mboten
kepengin bandha donya lah istilahe niku. (Karsino,
14 Juli 2016)
Terjemahan:
Kalau kesaktian Eyang itu pribadi yang sabar, tidak
pernah marah, seperti itu. Tidak menginginkan
harta duniawi lah istilahnya itu.
Sifat-sifat yang dimiliki Kyai Ageng Pengging yang
sangat positif membuatnya disegani semua masyarakat sekitar
dan pengikutnya. Jiwa yang sabar dan tidak pernah marah
tercermin saat beliau dituduh dan diancan hendak dibunuh oleh
Sunan Kudus. Sifat-sifat Kyai Ageng Pengging ini yang
membuat dirinya mempunyai kekuatan yang tinggi atau inggil,
berbeda dengan Kyai-Kyai maupun Sunan-Sunan yang ada
dahulunya.
Selain tokoh utama yaitu Kyai Ageng Pengging ada pula
tokoh lain bernama Syekh Siti Jenar. Dalam cerita rakyat Kyai
Ageng Pengging, tokoh Syekh Siti Jenar merupakan orang
yang mengajarkan dan membujuk Kyai Ageng Pengging untuk
masuk agama Islam. Namun, perpindahan kepercayaan yang
dilakukan Kyai Ageng Pengging ini tidak ada unsur paksaaan
sama sekali dari Syekh Siti Jenar . Dia mengajarkan agama
Islam melalui diskusi atau tukar pengalaman bersama Kyai
Ageng Pengging. Karena pada awalnya Kyai Ageng Pengging
menganut agama Hindu.
Kutipan:
Niku rikala rumiyin Pengging niku lak riwayatipun
eyang mriki niku rumiyin tasih hindu. Hindu lajeng
dirawuhipun eyang syekh siti jenar. Niku tukar
ilmu, tukar pengalaman, tukar kawruh kejawen
ning mboten wonten dalemipun ning wonten
sanggar pamujan. Sanggar pamujan rumiyin niku
nek cara sakniki vihara ngoten niku hle nek
rumiyin sanggar pamujan. Lajeng eyang mriki
dipun rujuk niku supados ngrasuk islam, hla lajeng
eyang kersa ngrasuk islam. (Karsino, 14 Juli 2016)
Terjemahan:
Itu dahulunya di Pengging itu Eyang (Kebo
Kenongo) dulu masih beragama Hindu. Hindu
kemudian datanglah Syekh Siti Jenar. Mereka
melakukan tukar ilmu, tukar pengalaman, tukar
pengetahuan tentang kejawen akan tetapi tidak di
rumah tetapi di dalam tempat pemujaan. Tempat
pemujaan itu dulu apabila dikaitkan sekarang
81
82
adalah sebuah vihara seperti itu dulu sanggar
pemujaan. Kemudian Eyang dibujuk supaya
berpindah agama menjadi Islam, hla kemudian
Eyang bersedia masuk Islam.
Selain tokoh utama, ada pula tokoh lain yaitu Sunan
Kudus. Sunan Kudus adalah utusan Kerajaan Demak.
Kutipan:
Lajeng sing Demak mrika terus, utusan Sunan
Kudus ngapurih nek purun diajak sowan mrika, nek
mboten purun purbawasesa menika kapurih
merjaya menika.(Karsino, 14 Juli 2016)
Terjemahan:
Kemudian dari Demak sana mengutus Sunan Kudus
untuk membawa Kyai Ageng Pengging ke Demak
apabila beliau bersedia ikut, namun apabila beliau
menolaknya maka Sunan Kudus ditugaskan untuk
membunuh Kyai Ageng Pengging.
Sunan Kudus yang diutus untuk membawa Kyai Ageng
Pengging dan ditugaskan untuk membunuhnya. Akan tetapi
istri dari Kyai Ageng Pengging yang dibawa agar Kyai Ageng
Pengging marah seperti yang telah diceritakan di atas. Tapi
pada akhirnya Sunan Kudus berguru pada Kyai Ageng
Pengging.
Kutipan:
Sunan Kudus damel kareben Eyang niku nesu,
muring. Bojone lak disuwun, utusan saking mrika
nyuwun bojone utawi garwane Eyang mriki,
padahal niku mpun enten dalam kandutan 4 bulan.
Disuwun supados dingge gantine asok glondhong
pengarong-arong, pajek niku hle istilahe. (Karsino,
14 Juli 2016)
Terjemahan:
Sunan Kudus membuat agar Eyang itu marah,
mengamuk. Istrinya diambil, utusan dari sana
minta istrinya Eyang sini, padahal itu sudah
mengandung sekitar 4 bulan. Dibawa supaya untuk
menggantikan Eyang sebagai “asok glondhong
pengarong-arong”, atau istilahnya pajak.
d. Latar
Latar dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging antara
lain latar tempat, dan suasana. Akan tetapi, latar yang sangat
menonjol yang terjadi dala cerita rakyat Kyai Ageng Pengging
adalah latar tempat. Latar tempat diantaranya yaitu Pengging,
sanggar pemujaan (vihara). Sanggar pemujaan yang sekarang
beralih fungsi menjadi padepokan Kyai Ageng Pengging untuk
mengajarkan agama Islam di bumi Pengging.
Latar cerita dimulai dari pernikahan Prabu Sri Makurung
dengan Putri Ratna Pembayun yang merupakan anak dari
Brawijaya V dari Majapahit. Hadiah untuk pernikahan
keduanya ini, Brawijaya V memberikan tanah Pengging untuk
mereka berdua. Kemudian mereka dikaruniai tiga orang putra,
yang salah satunya adalah Kebo Kenongo atau sekarang
berubah menjadi Kyai Ageng Pengging.
Kutipan:
83
84
Hla menika terus lajeng niku tasih wonten
Majapahit lajeng dipunparingi bumi pengging.
Terus wonten mriki dipun paringi asma jejuluk
prabu sri makurung, nek saderengipun niki sakjane
prabu sri makurung handayaningrat menika
setelah pikantuk putrinipun retno
pembayun.(Karsino, 14 Juli 2016)
Terjemahan:
Hla kemudian itu masih berada di Majapahit, lalu
dihadiahi tanh Pengging untuk mereka berdua.
Kemudian di Pengging diberi nama julukan Prabu
Sri Makurung, sebenarnya nama Prabu Sri
Makurung Handayaningrat itu diberikan tau
disematkan setelah menikah dengan Putri Retno
Pembayun.
Latar tempat selanjutnya adalah di sanggar pemujaan milik
Kyai Ageng Pengging. Sanggar ini digunakan untuk berdoa
dan mengajar agama Hindu kepada murid-muridnya, sekarang
dikenal sebagai vihara. Di dalam sanggar ini juga, Kyai Ageng
Pengging berbincang-bincang dan bertukar ilmu kepada Syekh
Siti Jenar tentang agama Islam. Ketertarikan Kyai Ageng
Pengging terhadap Agama Islam inilah yang membuat beliau
akhirnya berpindah keyakinan dari Hindu menjadi Islam
kejawen. Disusul oleh murid-muridnya yang akhirnya
berpindah keyakinan juga menjadi Islam kejawen, namun tanpa
paksaan atau perintah dari Kyai Ageng Pengging.
Kutipan:
Niku tukar ilmu, tukar pengalaman, tukar kawruh
kejawen ning mboten wonten dalemipun ning
wonten sanggar pamujan. Sanggar pamujan
rumiyin niku nek cara sakniki vihara ngoten niku
hle nek rumiyin sanggar pamujan. (Karsino, 14
Juli 2016)
Terjemahan:
Mereka melakukan tukar ilmu, tukar pengalaman,
tukar pengetahuan tentang kejawen akan tetapi
tidak di rumah tetapi di dalam tempat pemujaan.
Tempat pemujaan itu dulu apabila dikaitkan
sekarang adalah sebuah vihara seperti itu dulu
sanggar pemujaan.
Bagian latar suasana cerita rakyat ini terdapat suasana
senang, tegang, dan sedih. Suasana senang ditunjukkan ketika
berganti agama Islam dan mendirikan padepokan sekaligus
memiliki santri-santri. Suasana tegang terjadi ketika Sunan
Kudus akan membunuh Kyai Ageng Pengging.
Kutipan:
Wong pati niku men istilahe Sunan Kudus kalawau
badhe mateni Eyang mriki niku wau. Nek jenengan
badhe mejahi kula mangga. Pati uripe menungsa
niku enten kersane Gusti Alah. Yakin saestu lajeng
pusakane Sunan Kudus niku mboten kuwawi.
(Karsino, 14 Juli 2016)
Terjemahan:
Karena mati itu istilahnya Sunan Kudus akan
membunuh Eyang itupun. Kalau kamu ingin
membunuh saya itu silahkan. Karena mati dan
hidup manusia itu ada di tangan Tuhan. Yakin
benar kemudian pusaka atau senjata Sunan Kudus
itu tidak mempan untuk membunuh Eyang (Kyai
Ageng Pengging).
85
86
Sunan Kudus hanya utusan Kerajaan Demak. Jika Kyai
Ageng Pengging tidak mau ikut ke Demak maka dibunuhlah
Kyai Ageng Pengging oleh Sunan Kudus. Sementara itu,
penggambaran suasana sedih ditunjukkan ketika istri Kyai
Ageng Pengging dibawa oleh Sunan Kudus ke Demak sebagai
jaminan. Meskipun sebenarnya Kyai Ageng Pengging merasa
sedih istrinya hendak dibawa ke Demak, namun beliau tetap
ikhlas menghadapi bahwa istrinya dibawa ke Demak.
e. Amanat
Berdasarkan cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini
ditemukan beberapa amanat. Amanat dapat diambil dari
perilaku para tokoh cerita maupun peristiwa-peristiwa yang ada
dalam cerita Kyai Ageng Pengging ini. Amanat bagi generasi
muda antara lain: sifat Kyai Ageng Pengging yang bijaksana,
ikhlas, sabar, dan jangan sombong. Meskipun terhimpit oleh
masalah-masalah yang sebenarnya bukan kesalahannya atau
yang tidak dilakukannya, Kyai Ageng Pengging tetap sabar dan
ikhlas.
Kebijaksanaannya ditunjukkan ketika memimpin
padepokan. Kyai Ageng Pengging ini tidak mau disebut
pemimpin atau tidak mau menduduki tahta. Kyai hanya
mengajarkan agama saja kepada masyarakat sekitar dan orang
yang mau belajar agama Islam tanpa ada paksaan dari pihak
manapun.
B. Bentuk Hegemoni Kekuasaan dalam Cerita Kyai Ageng
Pengging
Titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni, bahwa suatu kelas
dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya
dengan dua cara, yaitu kekerasan dan persuasi. Cara kekerasan (represif/
dominasi) yang dilakukan kelas atas terhadap kelas bawah disebut dengan
tindakan dominasi, sedangkan cara persuasinya dilaksanakan dengan cara-
cara halus, dengan maksud untuk menguasai guna melanggengkan
dominasi. Perantara tindak dominasi ini dilakukan oleh para aparatur
negara seperti polisi, tentara, dan hakim.
Menurut Gramsci hegemoni faktor terpenting sebagai pendorong
terjadinya hegemoni adalah faktor ideologi dan politik yang diciptakan
penguasa dalam mempengaruhi, mengarahkan, dan membentuk pola pikir
masyarakat. Faktor lainnya adalah pertama paksaan yang dialami
masyarakat, sanksi yang diterapkan penguasa, hukuman yang menakutkan,
kedua kebiasaan masyarakat dalam mengikuti suatu hal yang baru dan
ketiga kesadaran dan persetujuan dengan unsur-unsur dalam masyarakat.
Cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini menceritakan
Kebijaksanaan seorang Kyai semasa hidupnya dalam memimpin suatu
87
88
padepokan. Pengajaran agama Islam mengalami berbagai rintangan,
sehingga dianggap memberontak oleh Kerajaan Demak dan diprasangka
buruk bahwa agama atau ajarannya itu menyesatkan.
Cerita Kyai Ageng Pengging ini terjadi bentuk hegemoni
kepemimpinan. Hegemoni di dalam cerita ini terjadi pada tahap pertikaian
awal dimana pihak Kerajaan Demak dengan alih-alih meminta pajak
kepada Kyai Ageng Pengging dengan mengutus Sunan Kudus. Apabila
Kyai Ageng Pengging tidak mau ikut ke Demak maka dibunuhlah Kyai
oleh Sunan Kudus. Akan tetapi, yang terjadi adalah istri Kyai Ageng
Pengging yang dibawa ke Demak sebagai Jaminan. Berikut Kutipannya
dari Juru Kunci:
Sunan Kudus damel kareben Eyang niku nesu, muring. Bojone lak
disuwun, utusan saking mrika nyuwun bojone utawi garwane
Eyang mriki, padahal niku mpun enten dalam kandutan 4 bulan.
Disuwun supados dingge gantine asok glondhong pengarong-
arong, pajek niku hle istilahe. (Karsino, 14 Juli 2016)
Terjemahan:
Sunan Kudus membuat agar Eyang itu marah, mengamuk. Istrinya
diambil, utusan dari sana minta istrinya Eyang sini, padahal itu
sudah mengandung sekitar 4 bulan. Dibawa supaya untuk
menggantikan Eyang sebagai “asok glondhong pengarong-arong”,
atau istilahnya pajak.
Berdasarkan kutipan dialog di atas, terbukti bahwa terjadi
hegemoni yang bersifat kepemimpinan. Suatu kepemimpinan atau
kekuasaan yang memaksa akan kehendak dengan masyarakat dengan alih-
alih harus membayar pajak kerajaan. Akibat apabila tidak mengikuti
perintah dan aturan kerajaan maka dianggap memberontak dan akan
dibunuh.
Kyai Ageng Pengging dalam memimpin padepokan yang
didirikannya tidak memaksa masyarakat untuk mengikuti ajaran yang
dianutnya sekarang ini yatu agama islam kejawen. Agama yang dianutnya
setelah beliau berbincang-bincang dengan Syekh Siti Jenar selama
beberapa hari.
Hal tersebut sesuai dengan kutipan Juru Kunci:
Niku rikala rumiyin Pengging niku lak riwayatipun eyang
mriki niku rumiyin tasih hindu. Hindu lajeng dirawuhipun
eyang syekh siti jenar. Niku tukar ilmu, tukar pengalaman,
tukar kawruh kejawen ning mboten wonten dalemipun ning
wonten sanggar pamujan. Sanggar pamujan rumiyin niku nek
cara sakniki vihara ngoten niku hle nek rumiyin sanggar
pamujan. Lajeng eyang mriki dipun rujuk niku supados
ngrasuk islam, hla lajeng eyang kersa ngrasuk islam.
(Karsino, 14 Juli 2016)
Terjemahan:
Itu dahulunya di Pengging itu Eyang (Kebo Kenongo) dulu
masih beragama Hindu. Hindu kemudian datanglah Syekh Siti
Jenar. Mereka melakukan tukar ilmu, tukar pengalaman, tukar
pengetahuan tentang kejawen akan tetapi tidak di rumah tetapi
di dalam tempat pemujaan. Tempat pemujaan itu dulu apabila
dikaitkan sekarang adalah sebuah vihara seperti itu dulu
sanggar pemujaan. Kemudian Eyang dibujuk supaya berpindah
agama menjadi islam, hla kemudian Eyang bersedia masuk
islam.
Berasal dari kutipan di atas dapat kita lihat bahwa Kebo Kenongo
atau Kyai Ageng Pengging masuk Islam tanpa adanya paksaan dari Syekh
89
90
Siti Jenar. Beliau mau belajar dan menganut agama islam karena tertarik
setelah berbincang-bincang dan tukar ilmu selama beberapa hari dengan
Syekh Siti Jenar. Selain itu pula, Kyai Ageng Pengging tidak melakukan
paksaan terhadap murid-muridnya untuk mengikuti jejaknya menganut
agama islam, seperti pada kutipan di bawah ini:
Eyang mriki mboten nate meksa murid-murid e kangge tumut
agama islam. (Karsino, 15 Juli 2016)
Terjemahan:
Eyang tidak pernah memaksa murid-muridnya untuk berpindah
agama menjadi islam.
Cerita rakyat tentang Kyai Ageng Pengging menyebutkan bahwa
Kyai tidak tergiur oleh kekuasaan duniawi. Kyai tidak menginginkan
kekuasaan, akan tetapi hanya mengajarkan agama saja. Kyai Ageng
Pengging tetaplah rendah hati, tidak sombong, tidak pernah marah dan
tidak menginginkan kehidupan duniawi (hedonisme).
Hal tersebut sesuai dengan kutipan wawancara oleh Juru Kunci :
Nek kesaktiane Eyang mriki niku piyantun ingkang sabar, mboten
nate duka, ngeten niku. Mboten kepengin bandha donya lah
istilahe niku. (Karsino, 14 Juli 2016)
Terjemahan:
Kalau kesaktian Eyang itu pribadi yang sabar, tidak pernah
marah, seperti itu. Tidak menginginkan harta duniawi lah
istilahnya itu.
Berdasarkan kutipan di atas bahwa Kyai Ageng Pengging pribadi
yang mempunyai ilmu tinggi dibandingkan dengan Kyai atau Sunan-sunan
yang lainnya. Meskipun mempunya ilmu yang tinggi, namun Kyai Ageng
Pengging tidak sombong maupun tinggi hati. Beliau tidak menginginkan
hal-hal yang bersifat duniawi ataupun menduduki tahta yang ada di dunia
ini.
C. Persepsi masyarakat terhadap bentuk hegemoni dalam
cerita Kyai Ageng Pengging bagi masyarakat Desa
Pengging, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali,
Jawa Tengah
Cerita Rakyat dan narasumber merupakan suatu hubungan yang
tidak dapat dilepaskan. Bukan saja hubungan yang menyebabkan
timbulnya cerita rakyat, namun merupakan sebuah hubungan yang
mencerminkan segi pandangan sosial, ataupun kepribadian narasumber
yang dapat tercermin di dalam cerita rakyat yang dihasilkannya. Aspek-
aspek yang berhubungan dengan diri narasumber perlu diungkapkan,
karena kedudukannya mampu memegang peran yang sangat penting dalam
sebuah penelitian sastra.
Narasumber dalam menceritakan sebuah cerita sastra tidak terlepas
dari imajinasi serta pengaruh dari kehidupan sosialnya. Narasumber
menceritakan kehidupan masyarakatnya sekitar dengan pikiran dan
perasaan sehingga menjadikan sebuah karya sastra yang memiliki nilai
sosial yang dapat dijadikan contoh dan dapat diterapkan dalam kehidupan
sosial, karena narasumber merupakan bagian dari masyarakat.
91
92
Bapak Karsino lahir di Boyolali pada tanggal 21 Oktober 1966.
Bapak Karsino berawal menjadi asisten juru kunci sebelumnya yang sudah
tua dan mulai menjadi Juru Kunci selama tiga tahun. Kemudian digantikan
oleh Bapak Coyo selama tiga tahun. Setelah masa jabatannya habis, Bapak
Karsino menjadi juru kunci lagi sampai sekarang dan sudah sekitar hampir
dua tahun beliau menjabat. Juru kunci makam Kebo Kenongo berganti
setelah masa jabatan habis dan diadakan pemilihan umum oleh masyarakat
sekitar agar adil.
Bapak Karsino sejak kecil sudah akrab dengan cerita rakyat
Makam Kyai Ageng Pengging karena rumahnya tepat berada di sebalah
makam. Sejak zaman dahulu sudah mengetahui ritual-ritual dan kejadian-
kejadian mistis yang ada di makam Kebo Kenongo tersebut.
Narasumber dalam penelitian ini lebih berfokus pada sang juru
kunci karena masyarakat sekitar baik dari kalangan remaja maupun
dewasa tidak terlalu mengerti dan paham dengan adanya hegemoni
kekuasaan dalam cerita rakyat Kyai Ageng Pengging. Masyarakat
kebanyakan hanya mengetahui cerita rakyat Kyai Ageng Pengging ini juga
hanya sebatas pengetahuannya. Bahkan ada pula dari kalangan remaja
yang tidak mengerti sama sekali cerita ini dan asal mula adanya makam
Kyai Ageng Pengging, yang mereka ketahui hanya ada peninggalan
bersejarah di daerah mereka yaitu makam Kyai Ageng Pengging. Seperti
pada kutipan di bawah ini:
Aku ora ngerti saktenane crita Kyai Ageng Pengging kuwi
opo mbak. Sak ngertiku kuwi wong pinter sing duwe
kesaktian terus mara menyang Pengging. Terus pejah e yo
nyang kene, Pengging kene mbak. (Agus, 15 Juli 2016)
Terjemahan:
Saya tidak tahu sejatinya cerita Kyai Ageng Pengging itu
apa mbak. Yang saya tahu itu orang pinter yang mempunyai
kesaktian lalu datang ke Pengging. Kemudian meninggal
juga di sini, Pengging sini mbak.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa tidak semua masyarakat
sekitar yang mengetahui detail pasti cerita rakyat Kyai Ageng Pengging,
namun cerita tersebut masih eksis di kalangan para dewasa dan peziarah
lainnya.
Kutipan:
Kula dugi ziarah wonten mriki niku sering, meh saben sasi
mesthi tindhak wonten makom mriki. Tujuan kula namung
donga lan dongakake Kyai Ageng Pengging wonten mriki.
(Mujiyanto, 16 Juli 2016)
Terjemahan:
Saya datang untuk berziarah disini sudah sering, hampir
setiap bulan pasti datang ke makam ini. tujuan saya hanya
untuk berdoa dan mendoakan Kyai Ageng Pengging disini.
Narasumber (juru kunci) melalui cerita rakyat mengungkapkan
bahwa masih ada orang yang tidak menginginkan kekuasaan, padahal
sebenarnya jiwa kekuasaan terdapat dalam diri orang tersebut. Tergambar
dari tokoh Kyai Ageng Pengging yang memimpin dalam mengajarkan
agama tetapi Kyai tidak ingin disebut pemimpin atau menduduki tahta.
Kekuasaan merupakan suatu hal yang sangat diinginkan semua orang.
93
94
Kekuasaan identik dengan kepemimpinan yang sangat diinginkan oleh
semua manusia. Berbagai cara selalu dilakukan manusia untuk
mendapatkan kekuasaan yang diinginkannya. Namun pengarang ingin
menyampaikan bahwa tidak semua manusia menginginkan kekuasaan.
Cerita rakyat menampilkan sosok Kyai Ageng Pengging yang tidak
menginginkan sebuah kekuasaan terbukti dengan Kyai tidak mau
menduduki tahta yang ada di padepokannya. Padahal para masyarakat
banyak yang menginginkan Kyai Ageng Pengging menjadi pemimpin
karena Kyai Ageng Pengging memiliki hati yang sabar, rendah hati,
bijaksana dan seseorang yang pantas menjadi seorang pemimpin.
Narasumber juga ingin menyampaikan pesan moral kepada
masyarakat bahwa dalam memperoleh sesuatu hendaknya diperoleh
dengan usaha maupun cara yang semestinya. Generasi muda seharusnya
memiliki hati yang baik, bijaksana, ikhlas, selalu rendah hati, dan tidak
terpengaruh hal-hal duniawi.