33
BAB II PENGERTIAN UMUM HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama artinya dengan perjanjian. Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan. 9 Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut pendapat yang banyak dianut (communis opinion cloctortinz) perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat). 9 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 97 12 Universitas Sumatera Utara

BAB II PENGERTIAN UMUM HUKUM PERJANJIAN A ... - …repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23887/3/Chapter II.pdf · BAB II PENGERTIAN UMUM HUKUM PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

PENGERTIAN UMUM HUKUM PERJANJIAN

A. Pengertian Perjanjian

Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan

overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan

juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut

sama artinya dengan perjanjian.

Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan.9

Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena adanya

sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan

yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut

hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan

sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut pendapat yang banyak dianut

(communis opinion cloctortinz) perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata

Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian

merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai

wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat).

9 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 97

12

Universitas Sumatera Utara

sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan

Sudikno, "perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih

berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum".10

Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana

seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal.

11 R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu

perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling

mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.12 Sri Soedewi Masjchoen

Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana

seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.13

kelemahan-kelemahan. Sehingga di dalam prakteknya menimbulkan berbagai

keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut sangat kurang lengkap, namun di lain

pihak terlalu luas. Rumusan pengertian tentang perjanjian menurut KUH Perdata

tersebut memberikan konskuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu

Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasamya perjanjian adalah proses

interaksi atau hubungan hukum dan dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak

yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan

untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak.

Selanjutnya pengertian perjanjian yang dibahas pada Pasal 1313 KUH

Perdata, ternyata mendapat kritik dan para sarjana hukum karena masih mengandung

10 Ibid., hal. 97-98

11 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 36 12 R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal.

49 13 Sri Sofwan Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia, Op. Cit., hal. 1.

Universitas Sumatera Utara

ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan

pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).

Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian

perjanjian ini mengandung unsur :

a. Perbuatan

Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih

tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena

perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang

memperjanjikan;

b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,

Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling

berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu

sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.

c. Mengikatkan dirinya,

Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu

kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat

hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.

Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para pihak,

penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi yuridis

yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut dibuat.14

14 Salim H.S dkk, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), (Jakarta: Sinar grafika, 2007), Hal. 124.

Universitas Sumatera Utara

Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai

kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai

materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling penting dalam

perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau

ketentuan yang disepakati.15

Masing-masing pihak yang dimaksud adalah pihak-pihak yang langsung terlibat dalam perjanjian tersebut biasanya terbagi atas perorangan dan badan usaha. Badan usaha sendiri juga dibagi yaitu badan usaha yang berbadan hukum dan badan usaha yang tidak berbadan hukum. Perorangan adalah setiap orang yang dalam melakukan perbuatan hukum bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri, sedangkan usaha perorangan dalam melakukan perbuatan hukum ia diwakili oleh pemiliknya yang hanya seorang bertindak baik untuk dan atas namanya sendiri juga untuk dan atas nama usahanya. Pada dasarnya antara perorangan dengan usaha perorangan tidak terdapat perbedaan, karena keduanya tidak ada pemisahan harta kekayaan artinya harta kekayaan pribadi juga merupakan harta kekayaan perusahaannya. Badan usaha adalah suatu badan yang menjalankan usaha/ kegiatan perusahaan, sedangkan perusahaan pengertiannya lebih condong kepada jenis usaha/ kegiatan dan suatu badan usaha. Suatu Badan usaha dianggap sebagai suatu badan hukum diatur sesuai ketentuan Undang-undang.

Bandingkan: Hasanuddin Rahman, Legal Drafting (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000) hal. 59

15 Ibid, hal. 120, Hakekat dan suatu Perjanjian pada saat perancangan suatu perjanjian adalah Perumusan tentang adanya kesepakatan atau kesesuaian kehendak (consensus ad idern); rumusan tentang adanya janji-janji yang dibuat oleh masing-masing pihak sebagai imbalan atas janji-janji atau untuk kepentingan pihak yang lain, walaupun selalu ada kemungkinan dibuatnya kontrak yang berisi perjanjian sepihak. namun dianjurkan untuk selalu memahami perjanjian yang mhal balik sehingga prestasi harus dilakukan oleh salah satu pihak selalu dipahami sebagai imbalan atas prestasi yang akan dilakukan oleh pihak lain; Perumusan tentang pihak-pihak pembuat perjanjian dan informasi tentang kemampuan hukum dan para pihak untuk melakukan tindakan hukum dan mengikatkan di dalam kontrak dan Perumusan tentang objek dan nilai ekonomis perjanjian yang menjadi causa dan transaksi diantara para pihak; Penggunaan bentuk, wujud dan format tertentu (sesuai keinginan para pihak).

Syarat dan ketentuan yang biasanya disepakati oleh para pihak dalarn suatu perjanjian adalah Besarya harga jual beli atau harga sewa menyewa dan besarnya modal dasar yang disepakati; Objek atau barang yang ditentukan; besannya suku bunga kredit bila merupakan sesuatu yang menggunakan pinjaman ataupun pembayarannya menggunakan tenggang waktu; jangka waktu sewa, kredit, leasing atau lain sebagainya bla merupakan perjanjia pemberian modal ventura;

Universitas Sumatera Utara

Dalam Hukum Publik, perjanjian disini menunjuk kepada Perjanjian

Internasional. Saat ini pada masyarakat Internasional, Perjanjian Internasional

memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan

antar negara. Perjanjian Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum

Internasional yang utama untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum

Internasional lainnya.

Sampai tahun 1969, pembuatan Perjanjian-perjanjian Internasional hanya

diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft-draft pasal-pasal yang disiapkan oleh

Komisi Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di

Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April

sampai dengan 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut.

Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention on The Law of Treaties yang

ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27

Januari 1980 dan merupakan Hukum Internasional Positif.

Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mendefinisikan Perjanjian Internasional (treaty)

adalah suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur

oleh Hukum Internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih

instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya. Pengertian

diatas mengandung unsur :

carapembayaran; biaya yang haru dibayar masing-masing pihak; kewajiban menutup asuransi jika diperlukan.

Universitas Sumatera Utara

a. Adanya subjek Hukum Internasional, yaitu Negara, Organisasi Internasional

dan gerakan-gerakan pembebasan. Pengakuan Negara sebagai sebagai subjek

Hukum Internasional yang mempunyai kapasitas penuh untuk membuat

Perjanjian-perjanjian Internasional tercantum dalam Pasal 6 Konvensi Wina.

Organisasi Internasional juga diakui sebagai pihak yang membuat perjanjian

dengan persyaratan kehendak membuat perjanjian berasal dari Negara-negara

anggota dan Perjanjian Internasional yang dibuat merupakan bidang

kewenangan Organisasi Internasional tersebut. Pembatasan tersebut terlihat

pada Pasal 6 Konvensi Wina. Kapasitas gerakan-gerakan pembebasan diakui

namun bersifat selektif dan terbatas. Selektif artinya gerakan-gerakan tersebut

harus diakui terlebih dahulu oleh kawasan dimana gerakan tersebut berada.

Terbatas artinya keikutsertaan SieInfokum-Ditama Binbangkum 4 gerakan

dalam perjanjian adalah untuk melaksanakan keinginan gerakan mendirikan

negaranya yang merdeka.

b. Rezim Hukum Internasional.

Perjanjian internasional harus tunduk pada Hukum Internasional dan tidak

boleh tunduk pada suatu Hukum Nasional tertentu. Walaupun perjanjian itu

dibuat oleh Negara atau Organisasi Internasional namun apabila telah tunduk

pada suatu Hukum Nasional tertentu yang dipilih, perjanjian tersebut

bukanlah Perjanjian Internasional.

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4

syarat, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

a. Adanya kata sepakat;

b. Kecakapan untuk membuat perjanjian;

c. Adanya suatu hal tertentu;

d. Adanya causa yang halal.

Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang hams dipenuhi oleh subyek suat

perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif Syarat ketiga dan keempat

adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian oleh karena itu disebut

syarat obyektif. Adapun penjelasan dari masing-masing adalah sebagai berikut:

a. Kata sepakat

Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan

persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak

dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak

lain dan kehendak tersebut saling bertemu.

Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian

kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga

dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang

sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya

disebutkannya "sepakat" saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun

sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat

disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah

Universitas Sumatera Utara

perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-

undang bagi mereka yang membuatnya.16

J. Satrio, menyatakan, kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara dua

orang di mana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus dinyatakan.

Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya

hubungan hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja belum melahirkan suatu

perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan

harus dimengerti oleh pihak lain.

17

Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di

dalam Pasal 1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat

itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan atau

penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara

masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan,

kekhilafan dan penipuan. Menurut Soebekti,

18

16 Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hal. 4. 17 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti Bandung,

1993, hal. 129

18 Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1996, hal. 23-24.

yang dimaksud paksaan adalah

paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis) jadi bukan paksaan badan (fisik).

Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang

pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang

yang menjadi objek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga

seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut ia tidak akan memberikan

persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja

Universitas Sumatera Utara

memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu

muslihat unuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan

demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan,

penipuan maka perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh

salah satu pihak.

b. Cakap untuk membuat perjanjian (bertindak)

Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap

untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak

ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu

perjanjian.

Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap

membuat perjanjian:

1) Orang yang belum dewasa

2) Mereka yang berada di bawah pengampuan/perwalian dan

3) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-undang dan

semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat

perjanjian-perjanjian tertentu.

Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata,

dinyatakan bahwa "belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap

21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin". Apabila perkawinan itu

dibubarkannya sebelum umur mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka

Universitas Sumatera Utara

tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.19

Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia maka perwalian terhadap

anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang

Namun dalam Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 39 dan 40 dinyatakan untuk

penghadap dan saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah. Dalam hal

ini cakap bertindak untuk keperluan khusus. Selanjutnya dalam Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan cukup umur untuk kawin adalah 18 tahun. Sehingga

apabila seseorang belum berusia genap 21 tahun tetapi telah kawin menimbulkan

konsekuensi menjadi cakap bertindak. Dengan demikian dasar usia cakap untuk

bertindak, jika tidak untuk keperluan khusus (telah diatur dalam undang-undang

tertenu) maka usia yang dipakai adalah dua puluh satu tahun atau telah menikah

mendasarkan Pasal 1330 KUH Perdata.

Mengenai pengampuan/perwalian telah diatur dalam Pasal 433 dan 345,

bunyinya sebagai berikut:

Pasal 433:

Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata

gelap harus ditaruh di bawa pengampuan, walaupun jika ia kadang-kadang cakap

menggunakan pikirnya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan

karena keborosannya.

Pasal 345:

19 Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 78.

Universitas Sumatera Utara

hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang

tuanya.

Selanjutnya untuk penjelasan tentang orang perempuan/isteri dalam hal telah

ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah

melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu, diatur pula dalam Pasal 108

KUH Perdata disebutkan bahwa seorang perempuan yang bersuami, untuk

mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari

suaminya. Namun hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya Undang-Undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang menyatakan: hak dan

kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam

kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

Soebekti menjelaskan bahwa dari sudut keadilan, perlulah bahwa orang yang

membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai

cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang

dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena

seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya,

maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat

dengan harta kekayaannya.

c. Adanya suatu hal tertentu

Yang dimaksud dengan suat hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek

perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang

bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu,

melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.

Universitas Sumatera Utara

Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu

perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang

yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah

asalkan di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2).

d. Adanya suatu sebab/kausa yang halal

Yang dimaksud dengan sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang

mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian

adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak,20

20 Sri Soedewi Masjchon, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum JAminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, (Yogyakarta, 1980), hal. 319

sedangkan

sebagaimana yang telah dikemukakan Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud

tiada lain daripada isi perjanjian.

Pada Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa

yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan

dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab

yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum.

Pembebanan mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif itu penting artinya

berkenaan dengan akibat yang terjadi apabila persyaratan itu tidak terpenuhi. Tidak

terpenuhinya syarat subyektif mengakibatkan perjanjian tersebut merupakan

perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya. Pihak di sini yang dimaksud adalah

pihak yang tidak cakap menurut hukum dan pihak yang memberikan perizinannya

atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Misalkan orang yang belum dewasa

Universitas Sumatera Utara

yang memintakan pembatalan orang tua atau walinya ataupun ia sendiri apabila ia

sudah menjadi cakap dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan yang menurut

hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya diwakili oleh pengampu

atau kuratornya. Dan apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal

demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak

pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut

untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Maka tiada dasar untuk saling

menuntut di depan hakim. Perjanjian seperti itu disebut null and void. Sedangkan

tidak terpenuhinya syarat obyektif mengakibatkan suat perjanjian batal demi hukum.

C. Asas-Asas Perjanjian

Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan

latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang

terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan

hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang

umum dalam peraturan konkrit tersebut.

Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum

dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan

atau putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit

tersebut.

Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Universitas Sumatera Utara

Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam perjanjian, yaitu: asas

kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda. Di

samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian.

a. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting

dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum

biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian

yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata

yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang

untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian,

sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya:21

a. bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;

b. bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;

c. bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;

d. bebas menentukan bentuk perjanjian; dan

e. kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan.

Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan

orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUH

21 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat

menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang

sifatnya memaksa.22

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam

Pasal 1320 KUH Perdata penyebutnya tugas sedangkan dalam Pasal 1320 KUH

Perdata ditemukan dalam istilah "semua". Kata-kata semua menunjukkan bahwa

setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang

dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya

dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.

b. Asas konsensualisme

23

Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau

dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu undang-undang

menetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian karena

adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang

dimaksud Pasal 1320 KUH Perdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta

Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat (consensus)

di antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain lagi sehingga

dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini

dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja

dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan

perjanjian konsensuil.

22 Ibid., hal. 4 23 Mariam Darus Badrulzaman, Perdata Buku III, Op. Cit., hal. 113

Universitas Sumatera Utara

notaris, perjanjian perdamaian harus secara tertulis. Perjanjian yang ditetapkan

dengan suatu formalitas tertentu tersebut dengan perjanjian fonnil.

c. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam kalimat

"berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya" pada akhir Pasal

1338 ayat (1) KUH Perdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak

mengikat para pembuatanya sebagai undang-undang. Dan kalimat ini pula tersimpul

larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya "hakim" untuk mencampuri isi

perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas

ini disebut juga asas kepastian hukum.

Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal:

1) Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang;

2) Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

d. Asas itikad baik

Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan

bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini

berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi

kreditur.

Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda

(pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam

Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).24

24 Subekti, Hukurn Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal. 42.

Universitas Sumatera Utara

Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih. Seorang

pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak mengetahui tentang

adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang dibelinya, dalam arti cacat

mengenai asal-usulnya. Sedangkan pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3)

KUH Perdata adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan

mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.

Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata juga memberikan kekuasaan

pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai

pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.

e. Asas kepribadian

Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat

pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata.

Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat

mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada

untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian hanya

berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa

rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317.

Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak

dapat mengikat pihak lain.Maka asas ini dinamakan asas kepribadian.

D. Jenis-jenis Perjanjian

Mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUH Perdata, peraturan-

peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga dengan

peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapat

Universitas Sumatera Utara

mengadakan perjanjian dengan menyampingkan peraturan-peraturan perjanjian yang

ada. Oleh karena itu di sini dimungkinkan para pihak untuk mengadakan perjanjian-

perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk perjanjian itu:

1. Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam

KUH Perdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya: jual beli,

tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain.

2. Perjanjian-perjanjian yang tidak teratur dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal

ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan-

ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang

bagi masing-masing pihak.25

3. Dalam KUH Perdata Pasal 1234, perikatan dapat dibagi 3 (tiga) macam, yaitu:

a. Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang

h. Perikatan untuk berbuat sesuatu

c. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.

Lebih lanjut penjelasan dari perikatan di atas, adalah sebagai berikut:

a. Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang

Ketentuan ini, diatur dalam KUH Perdata Pasal 1235 sampai dengan Pasal

1238. Sebagai contoh untuk perikatan ini, adalah jual beli, tukar menukar,

penghibahan, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain-lain.

b. Perikatan untuk berbuat sesuatu

25 R. M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1978, hal. 10

Universitas Sumatera Utara

Hal ini diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: tiap

perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apa si

berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam

kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga". Sebagai contoh

perjanjian ini adalah perjanjian hutang.

c. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu

Hal ini diatur dalam Pasal 1240 KUH Perdata, sebagai contoh perjanjian ini

adalah: perjanjian untuk tidak mendirikan rumah bertingkat, perjanjian untuk

tidak mendirikan perusahaan sejenis, dan lain-lain.

Setelah membagi bentuk perjanjian berdasarkan pengaturan dalam KUH Perdata atau

diluar KUH Perdata dan macam Perjanjian dilihat dari lainnya, disini R. Subekti,26

1) Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu

kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.

Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan

lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian yang

demikian itu, mengandung adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang

menunda atau mempertanggung jawabkan (ospchoriende voorwade). Suatu

contoh saya berjanji pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau saya lulus

dari ujian, di sini dapat dikatakan bahwa jual beli itu akan hanya terjadi kalau

saya lulus dari ujian.

membagi lagi macam-macam perjanjian yang dilihat dari bentuknya, yaitu:

2) Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu (tijdshcpaling),

26 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal. 35.

Universitas Sumatera Utara

perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang

pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak

akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan

datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya,

misalnya meninggalnya seseorang.

3) Perikatan yang memperbolehkan memilih (alternatif) adalah suatu perikatan,

dimana terdapat dua atau lebih macam, prestasi, sedangkan kepada si

berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya ia boleh memilih

apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau satu juta rupiah.

4) Perikatan tanggung menanggung (hooldelijk atau solidair) ini adalah suatu

perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang

berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya.

Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang.

Tetapi perikatan semacam belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam

praktek.

5) Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah suatu

perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya

membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau

maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang

dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke permukaan. Jika

salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain.

Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang

menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli

Universitas Sumatera Utara

warisnya.

6) Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk mencegah

jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya,

dalam praktek banyak hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya.

Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang

sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah

ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim

mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila perjanjian telah

sebahagian dipenuhi.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian dapat dibedakan menurut

berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut:27

1. Perjanjian timbal balik.

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban

pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual-beli.

2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban.

Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan

keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya: hibah.28

27 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III,Op. cit, hal. 90-93.

28 Pasal 1314 KUH Perdata, "Suatu persetujuan dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban. Suatu persetujuan dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Suatu persetujuan atas beban, adalah suatu persetujuan yang mewajibkan masingmasing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

Universitas Sumatera Utara

Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi dari

pihak yang satu selalu terdapat kontrak prestasi dari pihak lain, dan

antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

3. Perjanjian khusus (benoend) dan perjanjian umum (onbenoend).

Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.

Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan

diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang

paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam

Bab V s/d XVIII KUH Perdata. Di luar perjanjian khusus tumbuh

perjanjian umum yaitu perjanjian-perjanjian yang tdiak diatur di dalam

KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian

ini tak terbatas. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah

berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij

otonomi yang berlaku di dalam Hukum Perjanjian. Salah satu contoh

dari perjanjian umum adalah perjanjian sewa beli.

4. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang

menyerahkan haknya atas sesuatu, kepada pihak lain. Sedangkan

perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak

mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain

(perjanjian yang menimbulkan perikatan)

5. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil

Universitas Sumatera Utara

Perjanjian konsensuil adalah perjanjian di mana di antara kedua: belah

pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan

perikatan-perikatan.

6. Perjanjian-Perjanjian yang istimewa sifatnya.

a. perjanjian liberatoir: yaitu perjanjian di mana para pihak

membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya

pembebasan hutang (kwijtschelding) pasal 1438 KUH

Perdata;

b. perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst); yaitu perjanjian

dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang

berlaku di antara mereka.

c. perjanjian untung-untungan: misalnya prjanjian asuransi,

pasal 1774 KUH Perdata.

d. Perjanjian publik: yaitu perjanjian yang sebagian atau

seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu

pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya

perjanjian ikatan dinas.

Selanjutnya, berhubung dengan pembedaan perjanjian timbal balik dengan

perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban, maka menurut Mariam Darus

Badrulzaman, perlu dibicarakan perjanjian campuran. Perjanjian campuran ialah

perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang

menyewakan kamar (sewa-menyewa) tapi pula menyajikan makanan (jual beli) dan

Universitas Sumatera Utara

juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu ada berbagai faham,

yaitu:29

• Faham pertama: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai

perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari

perjanjian khusus tetap ada (contractus sui generic).

• Faham kedua: mengatakan ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah

ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori

absorbsi).

• Faham ketiga: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang

yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan

undang-undang yang berlaku untuk itu (teori combinatie).

E. Hapusnya suatu perjanjian

Hapusnya perjanjian tidak sama dengan hapusnya perikatan. Suatu perikatan

dapat hapus dengan pembayaran,tetapi perjanjian yang merupakan sumbernya

mungkin belum hapus. Bila x dan y mengadakan jual beli perikatan dapat hapus

dengan dibayarnya harga oleh y selaku pembeli. Tetapi mungkin perjanjiannya (yaitu

memiliki barang) harus tercapai dulu. Jadi jika perikatan-perikatan yang terdapat.

Bila perjanjian telah hapus seluruhnya barulah perjanjian dinyatakan telah berakhir.

Ada beberapa cara hapusnya perjanjian :

a.Ditentukan dalam perjanjian oelh kedua belah pihak.

29 Ibid., hal. 90-91

Universitas Sumatera Utara

Misalnya : penyewa dan yang menyewakan bersepakat untuk mengadakan

perjanjian sewa menyewa yang akan berakhir setelah 3 tahun.

b.Ditentukan oleh Undang-Undang.

Misalnya : perjanian untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan ditentunkan

paling lama 5 tahun.

c.Ditentukan oleh para pihak dan Undang-undang.

Misalnya : dalam perjanjian kerja ditentukan bahwa jika buruh meninggal dunia

perjanjian menjadi hapus.

d.Pernyataan menghentikan perjanjian.

Hal ini dapat dilakukan baik oleh salah satu atau dua belh pihak. Misalnya : baik

penyewa maupun yang menyewakan dalam sewa menyewa orang menyatakan

untuk mengakhiri perjanjian sewanya.

e.Ditentukan oleh Putusan Hakim.

Dalam hal ini hakimlah yang menentukan barakhirnya perjanjian antara para pihak.

f.Tujuan Perjanjian telah tercapai.

Misalnya : dalam perjanjian jual beli bila salah satu pihak telah mendapat uang dan

pihak lain telah mendapat barang maka perjanjian akan berakhir.

g.Dengan Persetujuan Para Pihak.

Dalam hal ini para pihak masing-masing setuju untuk saling menhentikan

perjanjiannya. Misalnya : perjanjian pinjaman pakai berakhir karena pihak yang

meminjam telah mengembalikan barangnya.

HAPUSNYA PERIKATAN

Universitas Sumatera Utara

Tentang hapusnya perikatan yang mengakibatkan berakhirnya perjanjian diatur dalam

Buku III KUH Perdata. Hapusnya persetujuan berarti menghapuskan semua

pernyataan kehendak yang telah dituangkan dalam persetujuan dengan sendirinya

menghapus seluruh perikatan, tetapi belum tentu dengan hapusnya perjanjian akan

menghapus persetujuan hanya saja persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan

pelaksanaan, sebab ini berarti bahwa pelaksanaan persetujuan telah dipenuhi debitur.

Adapun cara-cara penghapusan perikatan diatur dalam Pasal 1381 KUH

Perdata, yaitu:

a. Pembayaran

Pembayaran disini adalah pembayaran dalam arti luas, tidak saja pembayaran

berupa uang, juga penyerahan barang yang dijual oleh penjual. Pembayaran itu sah

apabila pemilik berkuasa memindahkannya. Pembayaran harus dilakukan kepada si

berpiutang atau kepada seseorang yang dikuasakan untuk menerima.

Tiap-tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa saja yang berkepentingan seperti

seorang yang turut berutang atau seorang penanggung hutang. Suatu perikatan bahkan

dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga, yang tidak mempunyai kepentingan,

asal saja pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si

berhutang atau bertindak atas namanya sendiri asal ia tidak menggantikan hak-hak si

berpiutang.

Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan:

Yang dimaksud dengan "pembayaran" oleh Hukum Perikatan bukanlah sebagaimana

ditafsirkan dalam bahasa pergaulan sehari-hari, yaitu pembayaran sejumlah uang,

tetapi setiap tindakan pemenuhan prestasi, walau bagaimana pun sifat dari prestasi

Universitas Sumatera Utara

itu. Penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu

adalah merupakan pemenuhan prestasi atau tegasnya adalah “pembayaran”.30

30 Ibid., hal. 157.

Pembayaran kepada orang yang tidak berkuasa menerima adalah sah apabila

kreditur telah menyetujuinya atau nyata-nyata telah memperoleh manfaat karenanya

(Pasal 1384, Pasal 1385, Pasal 1386 KUH Perdata).

Pembayaran harus dilakukan di tempat yang telah ditentukan dalam

perjanjian, dan jika tidak ditetapkan dalam perjanjian maka pembayaran dilakukan di

tempat barang itu berada atau di tempat tinggal kreditur atau juga di tempat tinggal

debitur. Jika objek perjanjian adalah sejumlah uang maka perikatan berakhir dengan

pembayaran uang jika objeknya benda maka perikatan berakhir setelah adanya

penyerahan benda.

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan

Dalam pembayaran dapat terjadi konsiyasi apabila debitur telah melakukan

penawaran pembayaran dengan perantaraan Notaris atau Jurusita, kemudian kreditur

menolak penawaran tersebut. Atas penolakan kreditur kemudian debitur menitipkan

pembayaran kepada Panitera Pengadilan Negeri untuk disimpankan. Dengan adanya

tindakan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan, debitur telah

bebas dari pembayaran yang berakibat hukum hapusnya perikatan. Prosedur

konsiyasi ini diatur dalam Pasal 1405 sampai dengan 1407 KUH Perdata.

Universitas Sumatera Utara

Pasal 1004 KUH Perdata menegaskan adanya penitipan untuk membantu

pihak-pihak yang berhutang, apabila si berpiutang menolak menerima pembayaran

dengan melakukan penitipan uang atau barang si Panitera Pengadilan.

Dalam Pasal 1381 KUH Perdata menyatakan bahwa salah suatu cara

menghapuskan perjanjian ialah dengan tindakan penawaran pembayaran tunai yang

diikuti dengan konsiyasi. Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan

hanya mungkin terjadi dalam perjanjian yang berbentuk:

a. Pembayaran sejumlah uang

b. Penyerahan sesuatu benda bergerak.

Marhainis Abdulhay, mengatakan:

Dengan dilakukannya penitipan di Panitera Pengadilan itu maka akan

membebaskan siberutang dari perikatan dan berlakulah baginya sebagai

pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan dengan cara menurut UU dan

uang atau barang yang dititipkan di Panitera Pengadilan tetap akan menjadi

tanggungan si berpiutang.31

31 Marhainis Abdulhay, Hulaim Perdata Material, Jilid II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1984,

Akibat hukum konsiyasi ialah debitur sudah dianggap melakukan

kewajibannya untuk berprestasi. Sesudah tanggal itu ia bebas dan pembayaran bunga.

c. Pembaharuan hutang atau novasi

Pembaharuan hutang lahir atas dasar persetujuan, para pihak untuk membuat

persetujuan dengan jalan menghapuskan perjanjian lama dengan perjanjian baru.

Universitas Sumatera Utara

Dalam Pasal 1381 KUH Perdata yang menegaskan bahwa novasi merupakan salah

satu cara penghapusan perjanjian.

Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 (tiga) macam jalan untuk

melaksanakan suatu pembayaran utang atau novasi, yaitu:

1. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan-utang baru guna

orang menghutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama yang

dihapuskan karenanya disebut novasi objelctif.

2. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang yang

berutang lama, yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatan, dinarnakan

dengan novasi subjektif

3. Apabila sebagai akibat dari suatu perjanjian baru seorang kreditur baru

ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama, terhadap siapa is berutang

dibebaskan dari perikatan, ini disebut dengan novasi subjektif aktif.

Dalam Pasal 1414 KUH Perdata diterangkan bahwa pembaharuan hutang

hanya dapat terlaksana antara orang yang cakap untuk mengadakan perikatan, dan

dalam Pasal 1415 KUH Perdata ditegaskan bahwa pembaharuan hutang yang

dipersangkakan kehendak seseorang untuk mengadakannya harus dengan tegas

ternyata dalam perbuatannya.

d. Perjumpaan hutang atau kompensasi

Perjumpaan hutang sering disebut dengan perhitungan hutang (compensation).

Ini adalah suatu cara penghapusan utang dengan jalan memperhitungkan utang

piutang, secara timbal balik antara kreditur dan debitur (hal ini diatur dalam Pasal

Universitas Sumatera Utara

1424 KUH Perdata). Salah satu fungsi lain dari kompensasi adalah untuk

memberikan kepastian pembayaran dalam keadaan pailit.

Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menentukan oleh Pasal 1427

KUH Perdata, yaitu utang tersebut:

1. Kedua-duanya berpokok sejumlah uang, atau

2. Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan

barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.

3. Kedua-duanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.

Menurut ketentuan Pasal 1462 KUH Perdata, perjumpaan hutang ini terjadi

demi hukum, bahkan tanpa sepengetahuan orang yang berhutang, sehingga dalam hal

ini tidak perlu menuntut dan tidak perlu bantuan pihak ketiga. Setiap hutang ataupun

sebabnya dapat diperjumpakan kecuali dalam 3 (tiga) hal yang disebabkan dalam

Pasal 1429 KUH Perdata, yaitu:

1) Apabila dituntut pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan

hukum dirampas dari pemiliknya.

2) Apabila dituntut pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau

dipinjamkan.

3) Terhadap suatu barang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah

dinyatakan tidak dapat disita.

Seseorang telah membayar suatu utang, yang telah dihapuskan demi hukum

karena perjumpaan, pada waktu menagih suatu piutang yang tidak telah

diperjumpakan, tidak lagi dapat menggunakan hak-hak istimewa dan hipotik-hipotik

yang melekat pada piutang ini untuk kerugian orang pihak ketiga, kecuali jika ada

Universitas Sumatera Utara

suatu alasan yang satu yang menyebabkan is tidak tahu tentang adanya piutang

tersebut yang seharusnya dijurnpakan dengan utangnya (Pasal 1435 KUH Perdata).

Selain ketentuan ini tersebut, yurisprudensi juga menetapkan bahwa

perjumpaan hutang berikut ini tidak dimungkinkan.

1) Hutang-hutang negara berupa pajak.

2) Hutang-hutang yang timbul dari perikatan yang wajar.

e. Percampuran hutang

Menurut Pasal 1436 KUH Perdata, percampuran hutang itu terjadi apabila

kedudukan kreditur dan debitur menjadi satu yang berarti berada di tangan satu orang

yang terjadi demi hukum atau secara otomatis sehingga hutang-piutang akan lenyap.

Dan Pasal 1437 KUH Perdata menentukan bahwa percampuran hutang yang terjadi

pada debitur utama berlaku juga untuk kepentingan penjamin hutang, tetapi

percampuran yang terjadi pada seseorang penjamin hutang tidak sekali-kali

mengakibatkan hapusnya hutang pokok.

Mariam Darus Badrulzaman, menyatakan percampuran hutang adalah

"Percampuran kedudukan (kualitas) dari partai-partai yang mengadakan perjanjian

sehingga kualitas sebagai debitur menjadi satu dengan kualitas dari debitur. Dalam

hal ini demi hukum hapuslah perikatan yang semula ada diantara kedua belah

pihak"32

32 Ibid, hal. 186

Hal-hal yang menyebabkan terjadinya percampuran hutang adalah

perkawinan, dengan percampuran harta antara si berpiutang dengan si berhutang, dan

pencampuran hutang terjadi apabila si berhutang menggantikan hak si berpiutang

karena warisan.

Universitas Sumatera Utara

f. Penghapusan hutang

Penghapusan hutang terjadi bila dengan tegas menyatakan tidak menghendaki

lagi prestasi dan debitur dan melepaskan hak atas pembayaran. Hal yang dibutuhkan

adalah adanya kehendak kreditur disertai "menggugurkan" perjanjian itu sendiri. Dan

yang dapat dikategorikan sebagai penghapusan hutang bila pembebasan itu

merupakan penghapusan atau pelepasan hak kreditur terhadap debitur.

Menurut ketentuan Pasal 1438 KUH Perdata, pembebasan tidak boleh

berdasarkan persangkaan melainkan haru dibuktikan misalnya: pengembalian surat

piutang dari kreditur kepada debitur secara sukarela (Pasal 1439 KUH Perdata).

Dalam Pasal 1441 KUH Perdata, diterangkan bahwa pengembalian barang yang

dijaminkan dalam gadai tidak cukup dijadikan persangkaan tentang pembebasan

hutang. Jadi keinginan atau kehendak kreditur itu terwujud dalam suatu tindakan.

Akibat hukum penghapusan hutang ini tidak ada diatur undang-undang secara khusus,

tetapi dengan pembebasan ini perikatan akan menjadi lenyap atau hapus.

g. Musnahnya barang yang menjadi hutang

Berdasarkan Pasal 1444 KUH Perdata, apabila barang tertentu yang menjadi

objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang diluar

kesalahan debitur ini tersimpul usaha-usaha yang telah dilakukan debitur untuk

mencegah hilang atau musnahnya barang objek perjanjian. Meskipun debitur lalai

menyerahkan barang, ia pun akan bebas dari perikatan itu, apabila ia dapat

membuktikan bahwa hapusnya atau musnahnya barang disebabkan diluar

kekuasaannya dan barang itu akan menemui nasib yang sama walaupun berada

Universitas Sumatera Utara

ditangan kreditur. Untuk mengatasi hal ini, masyarakat biasanya mengasuransikan

perjanjian tersebut.

h. Lampau waktu (daluwarsa)

Menurut Pasal 1946 KUH Perdata yang dinamakan daluarsa (lewat waktu)

adalah suatu upaya untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu

waktu tertentu dan atas syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Daluarsa untuk

memperoleh hak milik dinamakan daluarsa acquisitip, dan daluarsa untuk

membebaskan sesuatu tuntutan disebut daluarsa ekstrinktip.

Dari sudut hukum lampau waktu diartikan sebagai sesuatu anggapan hukum,

dengan lampaunya jangka waktu tertentu, dianggap:

1) Perjanjian telah hapus, sehingga debitur bebas dari kewajiban memenuhi

perjanjian.

2) Dianggap seseorang telah memperoleh hak milik atas sesuatu setelah jangka

waktu tertentu lewat.

Universitas Sumatera Utara