Upload
dinhthuan
View
236
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
PENGERTIAN UMUM HUKUM PERJANJIAN
A. Pengertian Perjanjian
Definisi perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang lain atau lebih. Kata persetujuan tersebut merupakan terjemahan dari perkataan
overeekomst dalam bahasa Belanda. Kata overeekomst tersebut lazim diterjemahkan
juga dengan kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut
sama artinya dengan perjanjian.
Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan persetujuan.9
Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena adanya
sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan
yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan pihak yang lain meninjau dari sudut
hubungan hukum. Hal itu menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan
sendiri mengenai istilah perjanjian tersebut. Menurut pendapat yang banyak dianut
(communis opinion cloctortinz) perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata
Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan perjanjian
merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai
wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat).
9 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 97
12
Universitas Sumatera Utara
sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan
Sudikno, "perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasar kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum".10
Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana
seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.
11 R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu
perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.12 Sri Soedewi Masjchoen
Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum dimana
seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau lebih.13
kelemahan-kelemahan. Sehingga di dalam prakteknya menimbulkan berbagai
keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut sangat kurang lengkap, namun di lain
pihak terlalu luas. Rumusan pengertian tentang perjanjian menurut KUH Perdata
tersebut memberikan konskuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu
Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasamya perjanjian adalah proses
interaksi atau hubungan hukum dan dua perbuatan hukum yaitu penawaran oleh pihak
yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai kesepakatan
untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah pihak.
Selanjutnya pengertian perjanjian yang dibahas pada Pasal 1313 KUH
Perdata, ternyata mendapat kritik dan para sarjana hukum karena masih mengandung
10 Ibid., hal. 97-98
11 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 36 12 R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal.
49 13 Sri Sofwan Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia, Op. Cit., hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi (debitor) dan
pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut (kreditor).
Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 BW). Pengertian
perjanjian ini mengandung unsur :
a. Perbuatan
Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih
tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena
perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang
memperjanjikan;
b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih,
Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling
berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu
sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
c. Mengikatkan dirinya,
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu
kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat
hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi para pihak,
penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan konsekuensi yuridis
yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut dibuat.14
14 Salim H.S dkk, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), (Jakarta: Sinar grafika, 2007), Hal. 124.
Universitas Sumatera Utara
Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk mengenai
kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat perjanjian harus menguasai
materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak. Dua hal paling penting dalam
perjanjian adalah objek dan hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau
ketentuan yang disepakati.15
Masing-masing pihak yang dimaksud adalah pihak-pihak yang langsung terlibat dalam perjanjian tersebut biasanya terbagi atas perorangan dan badan usaha. Badan usaha sendiri juga dibagi yaitu badan usaha yang berbadan hukum dan badan usaha yang tidak berbadan hukum. Perorangan adalah setiap orang yang dalam melakukan perbuatan hukum bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri, sedangkan usaha perorangan dalam melakukan perbuatan hukum ia diwakili oleh pemiliknya yang hanya seorang bertindak baik untuk dan atas namanya sendiri juga untuk dan atas nama usahanya. Pada dasarnya antara perorangan dengan usaha perorangan tidak terdapat perbedaan, karena keduanya tidak ada pemisahan harta kekayaan artinya harta kekayaan pribadi juga merupakan harta kekayaan perusahaannya. Badan usaha adalah suatu badan yang menjalankan usaha/ kegiatan perusahaan, sedangkan perusahaan pengertiannya lebih condong kepada jenis usaha/ kegiatan dan suatu badan usaha. Suatu Badan usaha dianggap sebagai suatu badan hukum diatur sesuai ketentuan Undang-undang.
Bandingkan: Hasanuddin Rahman, Legal Drafting (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000) hal. 59
15 Ibid, hal. 120, Hakekat dan suatu Perjanjian pada saat perancangan suatu perjanjian adalah Perumusan tentang adanya kesepakatan atau kesesuaian kehendak (consensus ad idern); rumusan tentang adanya janji-janji yang dibuat oleh masing-masing pihak sebagai imbalan atas janji-janji atau untuk kepentingan pihak yang lain, walaupun selalu ada kemungkinan dibuatnya kontrak yang berisi perjanjian sepihak. namun dianjurkan untuk selalu memahami perjanjian yang mhal balik sehingga prestasi harus dilakukan oleh salah satu pihak selalu dipahami sebagai imbalan atas prestasi yang akan dilakukan oleh pihak lain; Perumusan tentang pihak-pihak pembuat perjanjian dan informasi tentang kemampuan hukum dan para pihak untuk melakukan tindakan hukum dan mengikatkan di dalam kontrak dan Perumusan tentang objek dan nilai ekonomis perjanjian yang menjadi causa dan transaksi diantara para pihak; Penggunaan bentuk, wujud dan format tertentu (sesuai keinginan para pihak).
Syarat dan ketentuan yang biasanya disepakati oleh para pihak dalarn suatu perjanjian adalah Besarya harga jual beli atau harga sewa menyewa dan besarnya modal dasar yang disepakati; Objek atau barang yang ditentukan; besannya suku bunga kredit bila merupakan sesuatu yang menggunakan pinjaman ataupun pembayarannya menggunakan tenggang waktu; jangka waktu sewa, kredit, leasing atau lain sebagainya bla merupakan perjanjia pemberian modal ventura;
Universitas Sumatera Utara
Dalam Hukum Publik, perjanjian disini menunjuk kepada Perjanjian
Internasional. Saat ini pada masyarakat Internasional, Perjanjian Internasional
memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan
antar negara. Perjanjian Internasional pada hakekatnya merupakan sumber hukum
Internasional yang utama untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum
Internasional lainnya.
Sampai tahun 1969, pembuatan Perjanjian-perjanjian Internasional hanya
diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft-draft pasal-pasal yang disiapkan oleh
Komisi Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di
Wina dari tanggal 26 Maret sampai dengan 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April
sampai dengan 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut.
Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention on The Law of Treaties yang
ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27
Januari 1980 dan merupakan Hukum Internasional Positif.
Pasal 2 Konvensi Wina 1969 mendefinisikan Perjanjian Internasional (treaty)
adalah suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis, dan diatur
oleh Hukum Internasional, apakah dalam instrumen tunggal atau dua atau lebih
instrumen yang berkaitan dan apapun nama yang diberikan kepadanya. Pengertian
diatas mengandung unsur :
carapembayaran; biaya yang haru dibayar masing-masing pihak; kewajiban menutup asuransi jika diperlukan.
Universitas Sumatera Utara
a. Adanya subjek Hukum Internasional, yaitu Negara, Organisasi Internasional
dan gerakan-gerakan pembebasan. Pengakuan Negara sebagai sebagai subjek
Hukum Internasional yang mempunyai kapasitas penuh untuk membuat
Perjanjian-perjanjian Internasional tercantum dalam Pasal 6 Konvensi Wina.
Organisasi Internasional juga diakui sebagai pihak yang membuat perjanjian
dengan persyaratan kehendak membuat perjanjian berasal dari Negara-negara
anggota dan Perjanjian Internasional yang dibuat merupakan bidang
kewenangan Organisasi Internasional tersebut. Pembatasan tersebut terlihat
pada Pasal 6 Konvensi Wina. Kapasitas gerakan-gerakan pembebasan diakui
namun bersifat selektif dan terbatas. Selektif artinya gerakan-gerakan tersebut
harus diakui terlebih dahulu oleh kawasan dimana gerakan tersebut berada.
Terbatas artinya keikutsertaan SieInfokum-Ditama Binbangkum 4 gerakan
dalam perjanjian adalah untuk melaksanakan keinginan gerakan mendirikan
negaranya yang merdeka.
b. Rezim Hukum Internasional.
Perjanjian internasional harus tunduk pada Hukum Internasional dan tidak
boleh tunduk pada suatu Hukum Nasional tertentu. Walaupun perjanjian itu
dibuat oleh Negara atau Organisasi Internasional namun apabila telah tunduk
pada suatu Hukum Nasional tertentu yang dipilih, perjanjian tersebut
bukanlah Perjanjian Internasional.
B. Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi 4
syarat, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Adanya kata sepakat;
b. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
c. Adanya suatu hal tertentu;
d. Adanya causa yang halal.
Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang hams dipenuhi oleh subyek suat
perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif Syarat ketiga dan keempat
adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian oleh karena itu disebut
syarat obyektif. Adapun penjelasan dari masing-masing adalah sebagai berikut:
a. Kata sepakat
Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan
persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak
dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak
lain dan kehendak tersebut saling bertemu.
Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian
kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga
dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu yang
sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya
disebutkannya "sepakat" saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas) apapun
sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat
disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah
Universitas Sumatera Utara
perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai Undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.16
J. Satrio, menyatakan, kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara dua
orang di mana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus dinyatakan.
Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia menghendaki timbulnya
hubungan hukum. Dengan demikian adanya kehendak saja belum melahirkan suatu
perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan
harus dimengerti oleh pihak lain.
17
Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi di
dalam Pasal 1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila sepakat
itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan atau
penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat antara
masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada paksaan,
kekhilafan dan penipuan. Menurut Soebekti,
18
16 Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992, hal. 4. 17 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT. Citra Aditya Bakti Bandung,
1993, hal. 129
18 Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1996, hal. 23-24.
yang dimaksud paksaan adalah
paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis) jadi bukan paksaan badan (fisik).
Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang
pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang
yang menjadi objek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa sehingga
seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut ia tidak akan memberikan
persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja
Universitas Sumatera Utara
memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu
muslihat unuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Dengan
demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan,
penipuan maka perjanjian itu di kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh
salah satu pihak.
b. Cakap untuk membuat perjanjian (bertindak)
Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap
untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang tidak
ditentukan lain yaitu ditentukan sebagai orang yang tidak cakap untuk membuat suatu
perjanjian.
Selanjutnya Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap
membuat perjanjian:
1) Orang yang belum dewasa
2) Mereka yang berada di bawah pengampuan/perwalian dan
3) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-undang dan
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Mengenai orang yang belum dewasa diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata,
dinyatakan bahwa "belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap
21 (dua puluh satu) tahun dan sebelumnya belum kawin". Apabila perkawinan itu
dibubarkannya sebelum umur mereka genap 21 (dua puluh satu) tahun, maka mereka
Universitas Sumatera Utara
tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.19
Apabila salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia maka perwalian terhadap
anak-anak kawin yang belum dewasa, demi hukum dipangku oleh orang tua yang
Namun dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 39 dan 40 dinyatakan untuk
penghadap dan saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah. Dalam hal
ini cakap bertindak untuk keperluan khusus. Selanjutnya dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan cukup umur untuk kawin adalah 18 tahun. Sehingga
apabila seseorang belum berusia genap 21 tahun tetapi telah kawin menimbulkan
konsekuensi menjadi cakap bertindak. Dengan demikian dasar usia cakap untuk
bertindak, jika tidak untuk keperluan khusus (telah diatur dalam undang-undang
tertenu) maka usia yang dipakai adalah dua puluh satu tahun atau telah menikah
mendasarkan Pasal 1330 KUH Perdata.
Mengenai pengampuan/perwalian telah diatur dalam Pasal 433 dan 345,
bunyinya sebagai berikut:
Pasal 433:
Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata
gelap harus ditaruh di bawa pengampuan, walaupun jika ia kadang-kadang cakap
menggunakan pikirnya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan
karena keborosannya.
Pasal 345:
19 Mariam Darus Badrulzaman, dkk., Kompilasi Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 78.
Universitas Sumatera Utara
hidup terlama, sekadar ini tidak telah dibebaskan atau dipecat dari kekuasaan orang
tuanya.
Selanjutnya untuk penjelasan tentang orang perempuan/isteri dalam hal telah
ditetapkan oleh undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang membuat persetujuan-persetujuan tertentu, diatur pula dalam Pasal 108
KUH Perdata disebutkan bahwa seorang perempuan yang bersuami, untuk
mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari
suaminya. Namun hal ini sudah tidak berlaku dengan adanya Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yakni Pasal 31 yang menyatakan: hak dan
kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
Soebekti menjelaskan bahwa dari sudut keadilan, perlulah bahwa orang yang
membuat suatu perjanjian dan nantinya akan terikat oleh perjanjian itu, mempunyai
cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang
dipikulnya dengan perbuatannya itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena
seorang yang membuat suatu perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya,
maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat
dengan harta kekayaannya.
c. Adanya suatu hal tertentu
Yang dimaksud dengan suat hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah objek
perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang
bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan suatu,
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Universitas Sumatera Utara
Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 ayat (1) menyebutkan bahwa suatu
perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu barang
yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak menjadi masalah
asalkan di kemudian hari ditentukan (Pasal 1333 ayat 2).
d. Adanya suatu sebab/kausa yang halal
Yang dimaksud dengan sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang
mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian
adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para pihak,20
20 Sri Soedewi Masjchon, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum JAminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, (Yogyakarta, 1980), hal. 319
sedangkan
sebagaimana yang telah dikemukakan Soebekti, adanya suatu sebab yang dimaksud
tiada lain daripada isi perjanjian.
Pada Pasal 1337 KUH Perdata menentukan bahwa suatu sebab atau kausa
yang halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan
dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Perjanjian yang tidak mempunyai sebab
yang tidak halal akan berakibat perjanjian itu batal demi hukum.
Pembebanan mengenai syarat subyektif dan syarat obyektif itu penting artinya
berkenaan dengan akibat yang terjadi apabila persyaratan itu tidak terpenuhi. Tidak
terpenuhinya syarat subyektif mengakibatkan perjanjian tersebut merupakan
perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya. Pihak di sini yang dimaksud adalah
pihak yang tidak cakap menurut hukum dan pihak yang memberikan perizinannya
atau menyetujui perjanjian itu secara tidak bebas. Misalkan orang yang belum dewasa
Universitas Sumatera Utara
yang memintakan pembatalan orang tua atau walinya ataupun ia sendiri apabila ia
sudah menjadi cakap dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan yang menurut
hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya diwakili oleh pengampu
atau kuratornya. Dan apabila syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal
demi hukum, artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak
pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut
untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Maka tiada dasar untuk saling
menuntut di depan hakim. Perjanjian seperti itu disebut null and void. Sedangkan
tidak terpenuhinya syarat obyektif mengakibatkan suat perjanjian batal demi hukum.
C. Asas-Asas Perjanjian
Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan
latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang
terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan
hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang
umum dalam peraturan konkrit tersebut.
Dengan demikian, asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum
dan terdapat dalam hukum positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan
atau putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit
tersebut.
Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Universitas Sumatera Utara
Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam perjanjian, yaitu: asas
kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda. Di
samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian.
a. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting
dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum
biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata
yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang
untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian,
sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya:21
a. bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
b. bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
c. bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;
d. bebas menentukan bentuk perjanjian; dan
e. kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan
orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III KUH
21 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat
menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap pasal-pasal tertentu yang
sifatnya memaksa.22
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata. Dalam
Pasal 1320 KUH Perdata penyebutnya tugas sedangkan dalam Pasal 1320 KUH
Perdata ditemukan dalam istilah "semua". Kata-kata semua menunjukkan bahwa
setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang
dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya
dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.
b. Asas konsensualisme
23
Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau
dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu undang-undang
menetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian karena
adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat-syarat yang
dimaksud Pasal 1320 KUH Perdata, seperti perjanjian hibah harus dengan akta
Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat (consensus)
di antara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas lain lagi sehingga
dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini
dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja
dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan
perjanjian konsensuil.
22 Ibid., hal. 4 23 Mariam Darus Badrulzaman, Perdata Buku III, Op. Cit., hal. 113
Universitas Sumatera Utara
notaris, perjanjian perdamaian harus secara tertulis. Perjanjian yang ditetapkan
dengan suatu formalitas tertentu tersebut dengan perjanjian fonnil.
c. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam kalimat
"berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya" pada akhir Pasal
1338 ayat (1) KUH Perdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak
mengikat para pembuatanya sebagai undang-undang. Dan kalimat ini pula tersimpul
larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya "hakim" untuk mencampuri isi
perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas
ini disebut juga asas kepastian hukum.
Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal:
1) Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang;
2) Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
d. Asas itikad baik
Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Asas ini
berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun bagi
kreditur.
Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda
(pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam
Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).24
24 Subekti, Hukurn Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih. Seorang
pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak mengetahui tentang
adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang dibelinya, dalam arti cacat
mengenai asal-usulnya. Sedangkan pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUH Perdata adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan
mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata juga memberikan kekuasaan
pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai
pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.
e. Asas kepribadian
Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang terikat
pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata.
Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat
mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada
untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian hanya
berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa
rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317.
Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan tidak
dapat mengikat pihak lain.Maka asas ini dinamakan asas kepribadian.
D. Jenis-jenis Perjanjian
Mengenai perjanjian ini diatur dalam Buku III KUH Perdata, peraturan-
peraturan yang tercantum dalam KUH Perdata ini sering disebut juga dengan
peraturan pelengkap, bukan peraturan memaksa, yang berarti bahwa para pihak dapat
Universitas Sumatera Utara
mengadakan perjanjian dengan menyampingkan peraturan-peraturan perjanjian yang
ada. Oleh karena itu di sini dimungkinkan para pihak untuk mengadakan perjanjian-
perjanjian yang sama sekali tidak diatur dalam bentuk perjanjian itu:
1. Perjanjian bernama, yaitu merupakan perjanjian-perjanjian yang diatur dalam
KUH Perdata. Yang termasuk ke dalam perjanjian ini, misalnya: jual beli,
tukar menukar, sewa menyewa, dan lain-lain.
2. Perjanjian-perjanjian yang tidak teratur dalam KUH Perdata. Jadi dalam hal
ini para pihak yang menentukan sendiri perjanjian itu. Dan ketentuan-
ketentuan yang ditetapkan oleh para pihak, berlaku sebagai undang-undang
bagi masing-masing pihak.25
3. Dalam KUH Perdata Pasal 1234, perikatan dapat dibagi 3 (tiga) macam, yaitu:
a. Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang
h. Perikatan untuk berbuat sesuatu
c. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.
Lebih lanjut penjelasan dari perikatan di atas, adalah sebagai berikut:
a. Perikatan untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang
Ketentuan ini, diatur dalam KUH Perdata Pasal 1235 sampai dengan Pasal
1238. Sebagai contoh untuk perikatan ini, adalah jual beli, tukar menukar,
penghibahan, sewa menyewa, pinjam meminjam, dan lain-lain.
b. Perikatan untuk berbuat sesuatu
25 R. M. Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1978, hal. 10
Universitas Sumatera Utara
Hal ini diatur dalam Pasal 1239 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: tiap
perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apa si
berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam
kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga". Sebagai contoh
perjanjian ini adalah perjanjian hutang.
c. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu
Hal ini diatur dalam Pasal 1240 KUH Perdata, sebagai contoh perjanjian ini
adalah: perjanjian untuk tidak mendirikan rumah bertingkat, perjanjian untuk
tidak mendirikan perusahaan sejenis, dan lain-lain.
Setelah membagi bentuk perjanjian berdasarkan pengaturan dalam KUH Perdata atau
diluar KUH Perdata dan macam Perjanjian dilihat dari lainnya, disini R. Subekti,26
1) Perikatan bersyarat, adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu
kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.
Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan
lahir, apabila kejadian yang belum tentu timbul. Suatu perjanjian yang
demikian itu, mengandung adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang
menunda atau mempertanggung jawabkan (ospchoriende voorwade). Suatu
contoh saya berjanji pada seseorang untuk membeli mobilnya kalau saya lulus
dari ujian, di sini dapat dikatakan bahwa jual beli itu akan hanya terjadi kalau
saya lulus dari ujian.
membagi lagi macam-macam perjanjian yang dilihat dari bentuknya, yaitu:
2) Perikatan yang digantungkan pada suatu ketepatan waktu (tijdshcpaling),
26 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1982, hal. 35.
Universitas Sumatera Utara
perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang
pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak
akan terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan
datang, meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya,
misalnya meninggalnya seseorang.
3) Perikatan yang memperbolehkan memilih (alternatif) adalah suatu perikatan,
dimana terdapat dua atau lebih macam, prestasi, sedangkan kepada si
berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya ia boleh memilih
apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau satu juta rupiah.
4) Perikatan tanggung menanggung (hooldelijk atau solidair) ini adalah suatu
perikatan dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang
berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya.
Beberapa orang bersama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang.
Tetapi perikatan semacam belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam
praktek.
5) Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi, apakah suatu
perikatan dapat dibagi atau tidak tergantung pada kemungkinan tidaknya
membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau
maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang
dapat atau tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke permukaan. Jika
salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain.
Hal mana biasanya terjadi karena meninggalnya satu pihak yang
menyebabkan ia digantikan dalam segala hak-haknya oleh sekalian ahli
Universitas Sumatera Utara
warisnya.
6) Perikatan dengan penetapan hukum (strafbeding), adalah untuk mencegah
jangan sampai ia berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya,
dalam praktek banyak hukuman, apabila ia tidak menepati kewajibannya.
Hukuman ini, biasanya ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang
sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah
ditetapkan sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu. Hakim
mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman apabila perjanjian telah
sebahagian dipenuhi.
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian dapat dibedakan menurut
berbagai cara. Pembedaan tersebut adalah sebagai berikut:27
1. Perjanjian timbal balik.
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban
pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual-beli.
2. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban.
Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan
keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya: hibah.28
27 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III,Op. cit, hal. 90-93.
28 Pasal 1314 KUH Perdata, "Suatu persetujuan dibuat dengan cuma-cuma atau atas beban. Suatu persetujuan dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain, tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. Suatu persetujuan atas beban, adalah suatu persetujuan yang mewajibkan masingmasing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian atas beban adalah perjanjian di mana terhadap prestasi dari
pihak yang satu selalu terdapat kontrak prestasi dari pihak lain, dan
antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
3. Perjanjian khusus (benoend) dan perjanjian umum (onbenoend).
Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri.
Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut diatur dan
diberi nama oleh pembentuk undang-undang, berdasarkan tipe yang
paling banyak terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus terdapat dalam
Bab V s/d XVIII KUH Perdata. Di luar perjanjian khusus tumbuh
perjanjian umum yaitu perjanjian-perjanjian yang tdiak diatur di dalam
KUH Perdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Jumlah perjanjian
ini tak terbatas. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktek adalah
berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian atau partij
otonomi yang berlaku di dalam Hukum Perjanjian. Salah satu contoh
dari perjanjian umum adalah perjanjian sewa beli.
4. Perjanjian kebendaan (zakelijk) dan perjanjian obligatoir
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang
menyerahkan haknya atas sesuatu, kepada pihak lain. Sedangkan
perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain
(perjanjian yang menimbulkan perikatan)
5. Perjanjian konsensuil dan perjanjian riil
Universitas Sumatera Utara
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian di mana di antara kedua: belah
pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan
perikatan-perikatan.
6. Perjanjian-Perjanjian yang istimewa sifatnya.
a. perjanjian liberatoir: yaitu perjanjian di mana para pihak
membebaskan diri dari kewajiban yang ada, misalnya
pembebasan hutang (kwijtschelding) pasal 1438 KUH
Perdata;
b. perjanjian pembuktian (bewijsovereenkomst); yaitu perjanjian
dimana para pihak menentukan pembuktian apakah yang
berlaku di antara mereka.
c. perjanjian untung-untungan: misalnya prjanjian asuransi,
pasal 1774 KUH Perdata.
d. Perjanjian publik: yaitu perjanjian yang sebagian atau
seluruhnya dikuasai oleh hukum publik, karena salah satu
pihak bertindak sebagai penguasa (pemerintah), misalnya
perjanjian ikatan dinas.
Selanjutnya, berhubung dengan pembedaan perjanjian timbal balik dengan
perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban, maka menurut Mariam Darus
Badrulzaman, perlu dibicarakan perjanjian campuran. Perjanjian campuran ialah
perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang
menyewakan kamar (sewa-menyewa) tapi pula menyajikan makanan (jual beli) dan
Universitas Sumatera Utara
juga memberikan pelayanan. Terhadap perjanjian campuran itu ada berbagai faham,
yaitu:29
• Faham pertama: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai
perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur dari
perjanjian khusus tetap ada (contractus sui generic).
• Faham kedua: mengatakan ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah
ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang paling menentukan (teori
absorbsi).
• Faham ketiga: mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan undang-undang
yang diterapkan terhadap perjanjian campuran itu adalah ketentuan
undang-undang yang berlaku untuk itu (teori combinatie).
E. Hapusnya suatu perjanjian
Hapusnya perjanjian tidak sama dengan hapusnya perikatan. Suatu perikatan
dapat hapus dengan pembayaran,tetapi perjanjian yang merupakan sumbernya
mungkin belum hapus. Bila x dan y mengadakan jual beli perikatan dapat hapus
dengan dibayarnya harga oleh y selaku pembeli. Tetapi mungkin perjanjiannya (yaitu
memiliki barang) harus tercapai dulu. Jadi jika perikatan-perikatan yang terdapat.
Bila perjanjian telah hapus seluruhnya barulah perjanjian dinyatakan telah berakhir.
Ada beberapa cara hapusnya perjanjian :
a.Ditentukan dalam perjanjian oelh kedua belah pihak.
29 Ibid., hal. 90-91
Universitas Sumatera Utara
Misalnya : penyewa dan yang menyewakan bersepakat untuk mengadakan
perjanjian sewa menyewa yang akan berakhir setelah 3 tahun.
b.Ditentukan oleh Undang-Undang.
Misalnya : perjanian untuk tidak melakukan pemecahan harta warisan ditentunkan
paling lama 5 tahun.
c.Ditentukan oleh para pihak dan Undang-undang.
Misalnya : dalam perjanjian kerja ditentukan bahwa jika buruh meninggal dunia
perjanjian menjadi hapus.
d.Pernyataan menghentikan perjanjian.
Hal ini dapat dilakukan baik oleh salah satu atau dua belh pihak. Misalnya : baik
penyewa maupun yang menyewakan dalam sewa menyewa orang menyatakan
untuk mengakhiri perjanjian sewanya.
e.Ditentukan oleh Putusan Hakim.
Dalam hal ini hakimlah yang menentukan barakhirnya perjanjian antara para pihak.
f.Tujuan Perjanjian telah tercapai.
Misalnya : dalam perjanjian jual beli bila salah satu pihak telah mendapat uang dan
pihak lain telah mendapat barang maka perjanjian akan berakhir.
g.Dengan Persetujuan Para Pihak.
Dalam hal ini para pihak masing-masing setuju untuk saling menhentikan
perjanjiannya. Misalnya : perjanjian pinjaman pakai berakhir karena pihak yang
meminjam telah mengembalikan barangnya.
HAPUSNYA PERIKATAN
Universitas Sumatera Utara
Tentang hapusnya perikatan yang mengakibatkan berakhirnya perjanjian diatur dalam
Buku III KUH Perdata. Hapusnya persetujuan berarti menghapuskan semua
pernyataan kehendak yang telah dituangkan dalam persetujuan dengan sendirinya
menghapus seluruh perikatan, tetapi belum tentu dengan hapusnya perjanjian akan
menghapus persetujuan hanya saja persetujuan itu tidak mempunyai kekuatan
pelaksanaan, sebab ini berarti bahwa pelaksanaan persetujuan telah dipenuhi debitur.
Adapun cara-cara penghapusan perikatan diatur dalam Pasal 1381 KUH
Perdata, yaitu:
a. Pembayaran
Pembayaran disini adalah pembayaran dalam arti luas, tidak saja pembayaran
berupa uang, juga penyerahan barang yang dijual oleh penjual. Pembayaran itu sah
apabila pemilik berkuasa memindahkannya. Pembayaran harus dilakukan kepada si
berpiutang atau kepada seseorang yang dikuasakan untuk menerima.
Tiap-tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa saja yang berkepentingan seperti
seorang yang turut berutang atau seorang penanggung hutang. Suatu perikatan bahkan
dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga, yang tidak mempunyai kepentingan,
asal saja pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utangnya si
berhutang atau bertindak atas namanya sendiri asal ia tidak menggantikan hak-hak si
berpiutang.
Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan:
Yang dimaksud dengan "pembayaran" oleh Hukum Perikatan bukanlah sebagaimana
ditafsirkan dalam bahasa pergaulan sehari-hari, yaitu pembayaran sejumlah uang,
tetapi setiap tindakan pemenuhan prestasi, walau bagaimana pun sifat dari prestasi
Universitas Sumatera Utara
itu. Penyerahan barang oleh penjual, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
adalah merupakan pemenuhan prestasi atau tegasnya adalah “pembayaran”.30
30 Ibid., hal. 157.
Pembayaran kepada orang yang tidak berkuasa menerima adalah sah apabila
kreditur telah menyetujuinya atau nyata-nyata telah memperoleh manfaat karenanya
(Pasal 1384, Pasal 1385, Pasal 1386 KUH Perdata).
Pembayaran harus dilakukan di tempat yang telah ditentukan dalam
perjanjian, dan jika tidak ditetapkan dalam perjanjian maka pembayaran dilakukan di
tempat barang itu berada atau di tempat tinggal kreditur atau juga di tempat tinggal
debitur. Jika objek perjanjian adalah sejumlah uang maka perikatan berakhir dengan
pembayaran uang jika objeknya benda maka perikatan berakhir setelah adanya
penyerahan benda.
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan
Dalam pembayaran dapat terjadi konsiyasi apabila debitur telah melakukan
penawaran pembayaran dengan perantaraan Notaris atau Jurusita, kemudian kreditur
menolak penawaran tersebut. Atas penolakan kreditur kemudian debitur menitipkan
pembayaran kepada Panitera Pengadilan Negeri untuk disimpankan. Dengan adanya
tindakan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan, debitur telah
bebas dari pembayaran yang berakibat hukum hapusnya perikatan. Prosedur
konsiyasi ini diatur dalam Pasal 1405 sampai dengan 1407 KUH Perdata.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1004 KUH Perdata menegaskan adanya penitipan untuk membantu
pihak-pihak yang berhutang, apabila si berpiutang menolak menerima pembayaran
dengan melakukan penitipan uang atau barang si Panitera Pengadilan.
Dalam Pasal 1381 KUH Perdata menyatakan bahwa salah suatu cara
menghapuskan perjanjian ialah dengan tindakan penawaran pembayaran tunai yang
diikuti dengan konsiyasi. Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan
hanya mungkin terjadi dalam perjanjian yang berbentuk:
a. Pembayaran sejumlah uang
b. Penyerahan sesuatu benda bergerak.
Marhainis Abdulhay, mengatakan:
Dengan dilakukannya penitipan di Panitera Pengadilan itu maka akan
membebaskan siberutang dari perikatan dan berlakulah baginya sebagai
pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan dengan cara menurut UU dan
uang atau barang yang dititipkan di Panitera Pengadilan tetap akan menjadi
tanggungan si berpiutang.31
31 Marhainis Abdulhay, Hulaim Perdata Material, Jilid II, Pradnya Paramita, Jakarta, 1984,
Akibat hukum konsiyasi ialah debitur sudah dianggap melakukan
kewajibannya untuk berprestasi. Sesudah tanggal itu ia bebas dan pembayaran bunga.
c. Pembaharuan hutang atau novasi
Pembaharuan hutang lahir atas dasar persetujuan, para pihak untuk membuat
persetujuan dengan jalan menghapuskan perjanjian lama dengan perjanjian baru.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 1381 KUH Perdata yang menegaskan bahwa novasi merupakan salah
satu cara penghapusan perjanjian.
Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 (tiga) macam jalan untuk
melaksanakan suatu pembayaran utang atau novasi, yaitu:
1. Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan-utang baru guna
orang menghutangkan kepadanya, yang menggantikan utang yang lama yang
dihapuskan karenanya disebut novasi objelctif.
2. Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang yang
berutang lama, yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatan, dinarnakan
dengan novasi subjektif
3. Apabila sebagai akibat dari suatu perjanjian baru seorang kreditur baru
ditunjuk untuk menggantikan kreditur yang lama, terhadap siapa is berutang
dibebaskan dari perikatan, ini disebut dengan novasi subjektif aktif.
Dalam Pasal 1414 KUH Perdata diterangkan bahwa pembaharuan hutang
hanya dapat terlaksana antara orang yang cakap untuk mengadakan perikatan, dan
dalam Pasal 1415 KUH Perdata ditegaskan bahwa pembaharuan hutang yang
dipersangkakan kehendak seseorang untuk mengadakannya harus dengan tegas
ternyata dalam perbuatannya.
d. Perjumpaan hutang atau kompensasi
Perjumpaan hutang sering disebut dengan perhitungan hutang (compensation).
Ini adalah suatu cara penghapusan utang dengan jalan memperhitungkan utang
piutang, secara timbal balik antara kreditur dan debitur (hal ini diatur dalam Pasal
Universitas Sumatera Utara
1424 KUH Perdata). Salah satu fungsi lain dari kompensasi adalah untuk
memberikan kepastian pembayaran dalam keadaan pailit.
Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menentukan oleh Pasal 1427
KUH Perdata, yaitu utang tersebut:
1. Kedua-duanya berpokok sejumlah uang, atau
2. Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan
barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
3. Kedua-duanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
Menurut ketentuan Pasal 1462 KUH Perdata, perjumpaan hutang ini terjadi
demi hukum, bahkan tanpa sepengetahuan orang yang berhutang, sehingga dalam hal
ini tidak perlu menuntut dan tidak perlu bantuan pihak ketiga. Setiap hutang ataupun
sebabnya dapat diperjumpakan kecuali dalam 3 (tiga) hal yang disebabkan dalam
Pasal 1429 KUH Perdata, yaitu:
1) Apabila dituntut pengembalian suatu barang yang secara berlawanan dengan
hukum dirampas dari pemiliknya.
2) Apabila dituntut pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau
dipinjamkan.
3) Terhadap suatu barang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah
dinyatakan tidak dapat disita.
Seseorang telah membayar suatu utang, yang telah dihapuskan demi hukum
karena perjumpaan, pada waktu menagih suatu piutang yang tidak telah
diperjumpakan, tidak lagi dapat menggunakan hak-hak istimewa dan hipotik-hipotik
yang melekat pada piutang ini untuk kerugian orang pihak ketiga, kecuali jika ada
Universitas Sumatera Utara
suatu alasan yang satu yang menyebabkan is tidak tahu tentang adanya piutang
tersebut yang seharusnya dijurnpakan dengan utangnya (Pasal 1435 KUH Perdata).
Selain ketentuan ini tersebut, yurisprudensi juga menetapkan bahwa
perjumpaan hutang berikut ini tidak dimungkinkan.
1) Hutang-hutang negara berupa pajak.
2) Hutang-hutang yang timbul dari perikatan yang wajar.
e. Percampuran hutang
Menurut Pasal 1436 KUH Perdata, percampuran hutang itu terjadi apabila
kedudukan kreditur dan debitur menjadi satu yang berarti berada di tangan satu orang
yang terjadi demi hukum atau secara otomatis sehingga hutang-piutang akan lenyap.
Dan Pasal 1437 KUH Perdata menentukan bahwa percampuran hutang yang terjadi
pada debitur utama berlaku juga untuk kepentingan penjamin hutang, tetapi
percampuran yang terjadi pada seseorang penjamin hutang tidak sekali-kali
mengakibatkan hapusnya hutang pokok.
Mariam Darus Badrulzaman, menyatakan percampuran hutang adalah
"Percampuran kedudukan (kualitas) dari partai-partai yang mengadakan perjanjian
sehingga kualitas sebagai debitur menjadi satu dengan kualitas dari debitur. Dalam
hal ini demi hukum hapuslah perikatan yang semula ada diantara kedua belah
pihak"32
32 Ibid, hal. 186
Hal-hal yang menyebabkan terjadinya percampuran hutang adalah
perkawinan, dengan percampuran harta antara si berpiutang dengan si berhutang, dan
pencampuran hutang terjadi apabila si berhutang menggantikan hak si berpiutang
karena warisan.
Universitas Sumatera Utara
f. Penghapusan hutang
Penghapusan hutang terjadi bila dengan tegas menyatakan tidak menghendaki
lagi prestasi dan debitur dan melepaskan hak atas pembayaran. Hal yang dibutuhkan
adalah adanya kehendak kreditur disertai "menggugurkan" perjanjian itu sendiri. Dan
yang dapat dikategorikan sebagai penghapusan hutang bila pembebasan itu
merupakan penghapusan atau pelepasan hak kreditur terhadap debitur.
Menurut ketentuan Pasal 1438 KUH Perdata, pembebasan tidak boleh
berdasarkan persangkaan melainkan haru dibuktikan misalnya: pengembalian surat
piutang dari kreditur kepada debitur secara sukarela (Pasal 1439 KUH Perdata).
Dalam Pasal 1441 KUH Perdata, diterangkan bahwa pengembalian barang yang
dijaminkan dalam gadai tidak cukup dijadikan persangkaan tentang pembebasan
hutang. Jadi keinginan atau kehendak kreditur itu terwujud dalam suatu tindakan.
Akibat hukum penghapusan hutang ini tidak ada diatur undang-undang secara khusus,
tetapi dengan pembebasan ini perikatan akan menjadi lenyap atau hapus.
g. Musnahnya barang yang menjadi hutang
Berdasarkan Pasal 1444 KUH Perdata, apabila barang tertentu yang menjadi
objek perikatan itu musnah, tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang diluar
kesalahan debitur ini tersimpul usaha-usaha yang telah dilakukan debitur untuk
mencegah hilang atau musnahnya barang objek perjanjian. Meskipun debitur lalai
menyerahkan barang, ia pun akan bebas dari perikatan itu, apabila ia dapat
membuktikan bahwa hapusnya atau musnahnya barang disebabkan diluar
kekuasaannya dan barang itu akan menemui nasib yang sama walaupun berada
Universitas Sumatera Utara
ditangan kreditur. Untuk mengatasi hal ini, masyarakat biasanya mengasuransikan
perjanjian tersebut.
h. Lampau waktu (daluwarsa)
Menurut Pasal 1946 KUH Perdata yang dinamakan daluarsa (lewat waktu)
adalah suatu upaya untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu
waktu tertentu dan atas syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Daluarsa untuk
memperoleh hak milik dinamakan daluarsa acquisitip, dan daluarsa untuk
membebaskan sesuatu tuntutan disebut daluarsa ekstrinktip.
Dari sudut hukum lampau waktu diartikan sebagai sesuatu anggapan hukum,
dengan lampaunya jangka waktu tertentu, dianggap:
1) Perjanjian telah hapus, sehingga debitur bebas dari kewajiban memenuhi
perjanjian.
2) Dianggap seseorang telah memperoleh hak milik atas sesuatu setelah jangka
waktu tertentu lewat.
Universitas Sumatera Utara