Upload
trinhquynh
View
241
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
BAB II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN BATIK DI SURAKARTA
A. Pengertian Batik
Batik merupakan sebuah gambaran ragam hias pada kain yang teknik
pengerjaannya menggunakan lilin atau malam batik sebagai perintang warna.
Dilanjutkan dengan proses pencelupan warna menggunakan pewarna sintetis
maupun dengan pewarna alam. Proses pembuatan batik merupakan salah satu cara
untuk bermeditasi yang dilatarbelakangi oleh filsafat tradisi dengan kharisma
yang tinggi.1
Batik merupakan karya seni budaya tradisional bangsa Indonesia yang
adilihung. Pada umumnya istilah batik dan seni lukis batik merupakan suatu
teknik menggambar ornamen hias di atas kain dengan menggunakan proses tutup
celup atau biasa disebut sebagai proses celup rintang (resist dye technique).2
Proses celup rintang sendiri ada dua jenis yaitu: tenun dengan menggunakan
benang sebagai perintangnya, dan batik dengan malam sebagai perintangnya.
1 Panembahan Hardjonagoro, “Batik and its Agricultural Value” dalam
katalog All about Batik: Art of Tradition and Harmony, (Osaka: The Asahi
Shimbun Company Cultural Projects and Busines, 2007), hal 194.
2 Wawancara dengan Asti Suryo Astuti, Asisten Manager Museum dan
Galeri Danar Hadi pada 6 Juni 2012.
18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Pada hakekatnya batik adalah karya seni yang banyak memanfaatkan
unsur menggambar ornamen pada kain dengan proses tutup celup.3 Menurut
Kalinggo Hanggopuro mengenai batik adalah sebagai berikut ,
“Kata bathik dengan batik atau huruf yang seharusnya tha ditulis
dengan ta. Dimana bathik menurut penulis terdahulu diartikan
menururt jarwad hosok (penyatuan dua kata yang berlainan
dengan menjadi kata yang baru) yaitu ngembat titik atau
rambataning titik-titik. Dimana dari jarwadhosok tersebut
dimaksudkan bahwa bathik merupakan suatu rangkaian dari titik-
titik.”4
Batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi
bagian dari budaya Indonesia sejak lama. Perempuan-perempuan Jawa di masa
lampau menjadikan ketrampilan mereka dalam membatik sebagai mata
pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan
eksklusif perempuan sampai ditemukannya “Batik cap” yang memungkinkan
masuknya laki-laki ke dalam bidang ini. Ada beberapa pengecualian bagi
fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa
dilihat pada corak „mega mendung, dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan
membatik adalah lazim bagi kaum lelaki. 5
3 Soedarsono, Retna Astuti, dan I.W. Pantja Sunjata, Aspek Ritual dan
kreativitas Dalam Perkembangan Seni di Jawa, (Yogyakarta: Proyek Penelitian
dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi) Direktoreat Jenderal
Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudyaan, 1985), hlm 45.
4 K.R.T. Kalionggo Honggopuro, Bathik Sebagai Busana Dalam Tatatnan
dan Tuntutan, (Surakarta: Yayasan Peduli Kraton Surakarta Hadiningrat, 2002),
hlm 1.
5 Ari Wulandari, op.cit, hlm 3.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Menurut konsensus Nasional 12 Maret 1996, “batik” adalah karya seni
rupa pada kain, dengan pewarnaan rintang yang menggunakan lilin (malam/wax)
batik sebagai perintang warna.6
Sampai saat ini arti dari kata batik belum pernah dicapai kata sepakat. Ada
yang mengatakan bahwa sebutan batik berasal dari kata “tik” yang terdapat di
dalam kata titik, titik berarti juga tetes. Memang di dalam membuat kain batik
dilakukan pula penetesan lilin di atas kain putih. Ada juga yang mencari asal kata
batik di dalam sumber-sumber tertulis kuno. Menurut pendapat ini, kata batik
dihubungkan dengan kata tulis atau lukis. Dengan demikian, asal mula batik
dihubungkan pula dengan seni lukis dan gambar pada umumnya.7
Batik adalah sehelai wastra yang merupakan sehelai kain yang dibuat
secara tradisional dan juga digunakan dalam matra tradisional serta ragam hias
pola batik tertentu yang pembuatannya menggunakan teknik celup rintang dengan
“malam” sebagai bahan perintang warna. Dengan demikian suatu wastra dapat
disebut batik bila mengandung dua unsur pokok yaitu teknik celup rintang yang
menggunakan lilin sebagai perintang warna dan pola yang beragam hias khas
batik.8
Menurut terminologinya, batik adalah gambar yang dihasilkan dengan
menggunakan alat canting atau sejenisnya dengan bahan lilin sebagai penahan
masuknya warna. Dalam perkembangan bentuk dan fungsinya, batik kemudian
tidak semata-mata untuk kepentingan busana saja tetapi juga dapat digunakan
6 Riyanto, et.al., Katalog Batik Indonesia, 1997, hlm 4.
7 A.N. Suyatno, Sejarah Batik Yogyakarta, (Yogyakarta : Merapi, 2002),
hlm 2
8 Doellah Santosa, op.cit, hal 10.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
untuk elemen interior, produk cinderamata, media ekspresi bahkan barang-barang
mebel.
Sementara itu menurut Hamzuri batik diartikan sebagai lukisan atau
gambar pada mori yang dibuat menggunakan alat bernama canting. Orang yang
melukis atau menulis pada mori memakai canting disebut membatik.9 Banyak
jenis kain tradisional Indonesia yang memiliki cara pemberian warna yang sama
dengan pembuatan batik yaitu dengan pencelupan rintang. Perbedaannya dengan
batik adalah pada penggunaan malam sebagai bahan perintang warna, sedangkan
kain tradisioanal lain biasanya menggunakan bahan lain sebagai perintang warna.
Ada beberapa kain tradisional yang cara pembuatannya mirip dengan pembuatan
batik seperti kain Simbut (suku Baduy Banten), kain Sarita dan kain Maa (Suku
Toraja, Sulawesi Selatan), kain Tritik (Solo, Yogyakarta, Palembang,
Banjarmasin, Bali), kain Jumputan dan kain Pelangi (Jawa, Bali, Lombok,
Palembang, Kalimantan, dan Sulawesi) dan kain Sasaringan (Banjar, Kalimantan
Selatan).10
B. Sejarah dan Perkembangan Batik Surakarta
Sejarah batik di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan
Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan,
perkembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram,
kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta. Jadi batik di Indonesia telah
9 A.N. Suyatno, op.cit, hal 3.
10
Hamzuri, , Batik Klasik, (Jakarta : Penerbit Djambatan, 1981) hlm 1.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan
dan raja-raja berikutnya.
Batik dari Surakarta berkembang setelah wilayah Mataram terpecah
menjadi dua, yaitu Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Ketika terjadi
perpecahan tersebut semua barang-barang kerajaan dibawa ke Yogyakarta. Dari
perabotan keraton sampai batik juga ikut dibawa ke Yogyakarta. Suatu hari ketika
Pakoe Boewana IV memutuskan untuk membuat sendiri busana keraton yang
baru. Busana tersebut diberi nama Gragak Surakarta yang berarti Gaya
Surakarta.11
Gambar 1: Motif Batik Gragak Surakarta
(Dokumentasi Ari Wulandari dalam bukunya Batik Nusantara)
11
Ari Wulandari, op.cit, hlm 117
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Setelah pembuatan Gragak Surakarta, corak batik Surakarta mengalami
banyak perubahan, banyak corak batik yang mulai berkembang. Walaupun batik
Surakarta mengalami berbagai inovasi, namun sebenarnya motifnya tetap
bersumber pada motif batik Yogyakarta. Jika warna putih menjadi ciri khas batik
Kasultanan Yogyakarta, maka warna putih kecoklatan atau krem menjadi ciri khas
batik Keraton Surakarta. Perpaduan ini dimulai sejak adanya hubungan keluarga
yang erat antara Puro Pakualaman dan Keraton Surakarta ketika Sri Paku Alam
VII mempersunting putri Susuhunan Pakubuwana X. 12
1. Batik Keraton Surakarta
Di dalam lingkungan keraton, selain dikenal ragam busana sehari-hari dan
ragam busana untuk upacara kerajaan, terdapat pula ragam busana batik yang
mengandung makna filosofi tertentu. Aturan pemakaian ragam busana batik di
lingkungan keraton dapat ditinjau dari beberapa konteks. Salah satunya adalah
pemakaian ragam busana batik harus dikenakan hingga menutupi mata kaki.
Apabila ada perempuan di lingkungan istana yang mengenakan kain batik jauh
lebih tinggi dari mata kakinya, maka wanita itu bisa dianggap tidak memahami
adat-istiadat istana, bahkan bisa dituding telah berpakaian dengan tidak sopan.
Aturan ini pada dasarnya bertujuan untuk melindungi harkat dan martabat wanita
itu sendiri.13
12
Ibid., hlm 118.
13
Heriyanto Atmojo, Batik Tulis Tradisional Kauman Solo, (Solo: Tiga
Serangkai, 2008), hlm 13.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu peradaban,
pemerintahan, dan budaya Jawa yang masih kuat bertahan hingga saat ini. Sebagai
titik nadi kebudayaan Jawa, Kasunanan Surakarta Hadiningrat tentu saja
mempunyai ragam busana batik yang membuat motif dan corak dengan
kandungan makna dan filosofis yang bernilai seni tinggi. Motif ragam busana
batik di Kasunanan Surakarta Hadiningrat di antaranya adalah sawat atau hase
yang berupa motif sayap yang melambangkan mahkota Raja, yang kedua adalah
meru, yakni motif gunung melambangkan kebesaran atau keagungan, yang ketiga
adalah naga, motif berbentuk ular yang menjadi perlambangan angin atau dunia
atas alias angkasa raya, dan yang keempat adalah geni, yaitu motif berwujud
lidah api yang menjadi pelambang nyala api.14
Beberapa desain tradisional hanya dipakai pada acara-acara tertentu,
misalnya Satria Manah dan Semen Rante yang dikenakan pada saat acara lamaran
pengantin dan batik bondhet yang akan dikenakan oleh pengantin wanita pada
malam pertama. Batik keraton Surakarta penuh dengan isen halus. Warnanya
lembut, dari biru sampai kehitaman, krem, dan coklat kemerahan. Motif keraton
Surakarta yang terkenal adalah parang barong, parang curiga, parang sarpa, ceplok
burba, ceplok lung kestlop, candi luhur, srikaton, dan bondhet.
14
Oetari Siswomihardjo, Pola Batik Klasik: Pesan Tersembunyi yang
Dilupakan,, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm 15.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Gambar 2: Batik Bondhet
(Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)
Gambar 3: Batik Candi Luhur
(Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)
Gambar 4: Batik Ceplok Burba
(Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Gambar 5: Batik Ceplok Lung Kestlop
(Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)
Gambar 6: Batik Parang Barong
(Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)
Gambar 7: Batik Parang Curiga
(Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Gambar 8: Batik Parang Sarpa
(Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)
Gambar 9: Batik Srikaton
(Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
2. Batik Mangkunegaran
Motif Pura Mangkunegaran bergaya serupa dengan batik keraton
Surakarta, tetapi dengan warna soga coklat kekuningan. Meski demikian, batik
dari Pura Mangkunegaran selangkah lebih maju dalam penciptaan motif. Hal ini
tampak dari motif yang beragam, antara lain buketan pakis, sapanti nata, ole-ole,
wahyu tumurun, parang kesit barong, parang sondher, parang klitihik glebag,
seruni, dan liris cemeng.15
Gambar 10: Buketan Pakis
(Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)
Gambar 11: Liris Cemeng
15
Asti Musman, op.cit, hlm 69.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
(Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)
Gambar 12: Ole-Ole
(Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)
Gambar 13: Parang Kesit Barong
(Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)
Gambar 14: Sapanti Nata
(Sumber Ari Wulandari, dalam bukunya Batik Nusantara)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
3. Perkembangan Batik Keluar Kraton
Pada upacara resmi kerajaan keluarga kraton baik pria maupun wanita
memakai pakaian dengan kombinasi batik dan lurik. Pada saat seperti inilah
rakyat melihat anggota kerajaan secara langsung, bagaiamana mereka berias,
bagaimana busananya, dan seperti apa motif-motif kain yang digunakan. Dari sini
rakyat mulai berkeinginan untuk membuat motif kain yang sama. Hal ini lah yang
melatarbelakangi dikeluarkannya konsensus oleh pihak kraton terkait dengan pola
larangan. Konsensus tersebut dikeluarkan dengan maksud untuk mengatur pola-
pola atau motif batik yang boleh dipakai oleh raja dan keluarganya. Menurut
Santosa Doellah pola larangan adalah pola yang hanya boleh dikenakan oleh
keluarga raja.16
Akibat dari peperangan antara keluarga raja-raja dengan penjajahan
Belanda, maka banyak keluarga-keluarga raja yang mengungsi dan menetap di
daerah-daerah baru antara lain ke Banyumas, Pekalongan, dan ke daerah timur
Ponorogo, Tulung Agung dan sebagainya. Meluasnya daerah pembatikan ini
sampai ke daerah-daerah itu menurut perkembangan sejarah perjuangan bangsa
Indonesia dimulai abad ke-18. Keluarga-keluarga kraton yang mengungsi inilah
yang mengembangkan pembatikan ke seluruh pelosok pulau Jawa yang ada
sekarang dan berkembang menurut alam dan daerah baru itu. 17
16
Santosa Doellah, op.cit, halman 54.
17
Nian S Djoemana, Ungkapan Sehalai Batik, (Jakarta:Djamabatn, 1990),
hlm 10.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
a. Batik Laweyan
Mula-mula batik di dalam kraton hanya merupakan kerja sambilan bagi
putri kraton yang nantinya akan dipersembahkan untuk kekasihnya, juga untuk
kepentingan (pakaian) raja dan para kerabat kraton, raja hanya memilih orang-
orang yang pandai membuat batik yang dikhususkan berdiam di kraton untuk
membuat kain batik. Oleh karena raja dan seluruh kerabat kraton memerlukan
kain batik, maka raja mengutus para lurah mencari daerah penghasil batik.
Melalui lurah didapat daerah Laweyan. Laweyan sendiri berasal dari kata Lawe
yang artinya benang, karena pada zaman dahulu tempat ini adalah tempat
pembuatan kain tenun. Pada mulanya penduduk Laweyan membuat batik masih
dengan menggunakan tulis yang dalam pengerjaannya membutuhkan waktu yang
cukup lama. Hasilnya nanti diserahkan pada kraton, dan sebagian kecil saja yang
disalurkan keluar.
Pada sekitar awal abad XVIII ditemukan alat cap yang pada mulanya
terbuat dari ketela pohon. Ketela pohon dipotong bulat, kemudian permukaannya
di gambari motif batik, dikarenakan ketela mudah busuk maka cap dari ketela
diganti dengan kayu agar lebih awet dan tahan lama.
Tahun 1900-an timbul keinginan pengusaha batik Laweyan untuk menjual
batik kepada rakyat biasa dengan harga yang terjangkau oleh mereka. Dahulu
masyarakat masih memakai kain tenun yang disebut kain lurik, sehingga
pengusaha batik Laweyan memproduksi batik tulis dengan batik cap dan juga cara
menyoganya dari bahan-bahan kimia, supaya lebih cepat proses pembuatannya,
disamping itu harganya juga dapat dijangkau oleh rakyat. Maka pada tahun 1905
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Cokro Sumarto, pengusaha batik Laweyan berpendapat kalau dengan kayu kurang
efisien lalu dibuatlah cap yang terbuat dari tembaga yang tahan lama.18
Kedatangan Cina ke Indonesia berdampak buruk kepada perkembangan
batik di Indonesia, begitupula di Surakarta. Cina memonopoli perdagangan bahan-
bahan baku dari pembuatan batik, yaitu kain mori. Untuk mengatasi hal tersebut,
maka didirikan Sarekat Dagang Islam pada tahun 1911 yang dipelopori oleh H.
Samanhudi, Sarekat Dagang Islam merupakan usaha untuk membela pengusaha-
pengusaha batik dari monopoli perdagangan kain mori oleh orang Cina. kurang
lebih 20 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1935 di Solo didirikan PPBS
(Persatuan Perusahaan Batik Soerakarta) dibawah pimpinan Wongsodinomo dan
bantuan Ibu Haji Sofwan. Para pengusaha batik yang besar merupakan tulang
punggung dari adanya gerakan koperasi batik. 19
dengan timbulnya dua organisasi
tersebut, maka pengadaan bahan baku batik dapat kembali berjalan lancar.
Semakin majunya teknologi, pada tahun 1960-an ditemukan alat pembuat
batik dengan “printing” atau “sablon” dengan alat cap yang terbuat dari kain
yang telah dilukis dan bagian tepinya diberi plangkan (kayu) dengan ukuran lebar
80cm dan panjang menurut lebar mori. Batik ini terkenal dengan batik printing.
Proses dari cara ini lebih cepat dengan cara-cara sebelumnya.20
Dari masa ke masa dunia perbatikan banyak mulai mengalami perubahan.
Mulai dari ragam hias hingga peralatan dalam pembatikannya. Ragam hias batik
18
Fajar Kusumawardani, “Sejarah Perkemmbangan Industri Batik
Tradisional di Laweyan Surakarta Tahun 1965-2000”, skripsi, (Semarang: Ilmu
Sejarah Universitas Diponegoro, 2006), hlm 54.
19
Hadi Soesastro, pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia
dalam Setengah Aabad Terakhir, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm 86.
20
Ibid., hlm 55.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Laweyan yang mulanya berupa ragam hias klasik lambat laun berkembang ke
ragam hias yang dinamis atau bergaya kontemporer. Pewarnaanya pun mulai
menggunakan warna yang beraneka ragam. Hal tersebut tidak lepas dari
permintaan pasar dengan kondisi yang berubah-ubah. Seperti adanya pengaruh
dari kenegaraan, motif yang musiman maupun karya dari seseorang yang banyak
digemari.
Pesatnya perkembangan industri batik tradisional di Laweyan tercipta dari
kondisi masyarakatnya itu sendiri. Mereka memiliki etos kerja dan semangat yang
tinggi dibandingkan dengan masyarakat Surakarta pada umumnya, tetapi kejayaan
industri batik Laweyan dari waktu ke waktu semakin memudar. Pergantian
pemerintahan yang mengakibatkan berubah pula kebijakan usaha yang telah
dijalankan berperan besar dalam mematikan industri batik di Laweyan.21
Disamping itu kemunduran industri batik tradisional juga disebabkan oleh
lemahnya dalam bidang permodalan, merosotnya peran koperasi, sulitnya bahan
baku dan tenaga kerja.
b. Batik Kauman
Kauman merupakan nama sebuah kampung yang berada di Surakarta,
Jawa Tengah. Kampung Kauman terletak di tengah-tengah kota dan berdekatan
dengan Masjid Agung (Jami‟) dan Alun-alun. Kampung Kauman di kota
Surakarta terletak di sebelah barat laut Masjid Agung dan memiliki keterkaitan
dengan keberadaan Keraton Kasunanan Surakarta. Kampung Kauman berdiri
21
Fajar Kusumawardani, op.cit, hlm 104.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
bersamaan dengan pembangunan Masjid Agung Surakarta oleh Paku Buwono III
pada tahun 1757. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dipimpin oleh
seorang raja dan dibantu oleh seseorang penghulu yang bertugas sebagai ahli
agama yang ditempatkan di masjid tertentu.
Penghulu tersebut berhak atas sebidang tanah yang terletak di sebelah
utara Masjid Agung. Musyawarah dalam tulisan berjudul “Deskripsi Tata Fisik
Rumah Pengusaha Batik di Kauman Surakarta” menyebutkan bahwa Masjid
Agung dan sekitarnya adalah milik keraton. Sedangkan Kauman disebut bumi
mutihin atau bumi pamethakan yaitu wilayah yang hanya boleh ditinggali oleh
rakyat yang beragama Islam. Tanah yang ditempati penghulu dan para abdi dalem
mutihan tersebut diberi nama Perkauman yang artinya tanah tempat tinggal para
kaum, dan menjadi Kauman.
Perkembangan batik di Kauman tidak lepas dari peran keraton. Pada
mulanya, penduduk kampung Kauman hanya berprofesi sebagai abdi dalem
ulama saja, dan kemudian berkembang menjadi pengusaha batik yang proses
pembuatannya diajarkan oleh pihak kraton. Pelaku usaha batik tersebut adalah
para istri dari abdi dalem yang suaminya bekerja mengajar agama dan mereka
melihat batik adalah alternatif yang paling memungkinkan bagi mereka.
Ketrampilan membatik yang dikuasai ini diperoleh dari sesama kerabat
abdi dalem yang memiliki kekerabatan yang kuat antarsesama. Dengan
mengembangkan ketrampilan ini sebagian besar warga kampung Kauman mampu
memproduksi jumlah besar dan kemudian dikomersilkan. Busana batik yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
merupakan busana adat bagi masyarakat Jawa membuat produksi batik semakin
besar.
Perkembangan batik di Kauman terjadi inovasi teknis dimulai pada tahun
1850-an. Pada masa tersebut metode batik yang baru diperkenalkan dari
Semarang oleh seorang pedagang batik di Kauman. Metode ini menggunakan cap
yang terbuat dari garis-garis tembaga yang ditempelkan pada sebuah alas. Pada
masa ini, pusat industri batik di Surakarta terketak di bagian tengah kota seperti
Kauman, Keprabon, dan Pasar Kliwon. Walaupun metode cap banyak membawa
perubahan, namun cap tersebut tidak bisa dianggap canthing.
Pada tahun 1870-an, produksi dan distribusi batik semakin meningkat
seiring dibukanya jalur kereta api yang menghubungkan wilayah kerajaan dengan
kota-kota lain seperti Semarang, Surabaya, Batavia, dan Bandung. Metode cap
semakin berkembang dan ukurannya semakin besar, yang dari awalnya berukuran
1x2cm menjadi 10x15cm. Produksi batik tidak hanya ditengah kota, melainkan
daerah pinggiran pun juga semakin berkembang pesat terutama daerah pinggir
sungai. hal ini dikarenakan penyediaan air dalam jumlah besar dapat menunjang
bagi industri skala besar seperti daerah Tegalsari dan khususnya Laweyan.
Perkembangan batik yang sangat signifikan membuat masyarakat Kauman
semakin makmur. Hal ini dapat dilihat pada bangunan rumah-rumah kuno yang
bertahan hingga sekarang. Pada rumah-rumah tersebut tercantum tahun
pembuatan rumah tersebut seperti pada beberapa rumah yang mencantumkan
tahun pembuatan rumah tersebut. Namun sekarang ini rumah bekas pengusaha
batik di kauman banykan beralih fungsi , rumah yang dulunya berfungsi untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
produksi batik, kini sudah banyak berubah. Hal ini disebabkan karena tuntutan
kebutuhan ekonomi dari generasi penerus para pengusaha batik yang sudah tidak
lagi membuka usaha dibidang batik. Dan tidak sepenuhnya generasi penerus
pengusaha batik ini mempunyai status ekonomi yang sama dengan para
pendahulunya. Bahkan ada beberapa rumah yang sudah dihancurkan. 22
Batik Kauman memadukan memadukan motif tradisional dengan motif
kontemporer sehingga terciptalah satu kreasi yang sangat mempesona. Seni batik
yang ada di Kampung Kauman dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu batik klasik
motif pakem (batik tulis), batik murni cap dan model kombinasi antara tulis dan
cap. Batik tulis bermotif pakem yang banyak dipengaruhi oleh seni batik kraton
Kasunanan merupakan prodak unggulan kampung batik Kauman. Produk-produk
batik Kauman dibuat menggunakan bahan sutra alam dan sutra tenun, katun jenis
premisima dan prima, serta rayon.
C. Perkembangan Batik Secara Umum
Dalam pembinaan batik Indonesia, pemerintah RI mempunyai peranan
penting. Pembinaan batik ini berupa penyuluhan, pendidikan pembimbingan,
pengaturan, dan penyediaan bahan. Pembinaan pembatikan termasuk ke dalam
wewenang Departemen perindustrian. Untuk melaksanakan tugas pada
departemen tersebut dibentuk badan lembaga pelaksana antara lain didirikan Balai
22
Irwin Noor Styawan, “Sejarah Kampung Batik Kauman, Solo”, skripsi,
(Malang: Jurusan Pariwisata Universitas Brawijaya, 2004), hlm 8.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Penelitian Batik yang khusus untuk membina pembatikan Indonesia, berikut
riwayat singkat dari Balai Penelitian Batik:
1. Pada tahun 1922 Pemerintah mendirikan Textile Instituut en Batik
Proef-station di Bandung
2. Pada tahun 1930 di Yogyakarta didirikan Consultatie Bureau Voor de
Nyverheid tevens Batik Proefstation voor Zuid-Midden Java.
3. Pada tahun 1951 didirikan Balai Penyelidikan Batik, yang pada tahun
1960 berubah nama menjadi Balai Penelitian Batik.
4. Pada tahun 1968 tugas Balai diperluas dengan bidang kerajinan dan
namanya diubah menjadi Balai Penelitian Batik dan Kerajinan.23
Memasuki masa kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintahan Order
Lama mengeluarkan kebijakan program benteng yang bertujuan untuk
menumbuhkan kewiraswastaan pribumi. Dalam bidang perbatikan, pemerintah
mendirikan koperasi sekunder Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) yang
anggotanya terdiri dari koperasi primer di daerah-daerah.
Koperasi batik pertama kali muncul di Surakarta pada tahun 1935 yang
didirikan oleh suatu organisasi persatuan pembatik dengan nama Persatuan
Perusahaan Batik Surakarta (PPBS). Organisasi ini dipimpin oleh
Wongsodinomo yang merupakan kakek dari Santosa Doellah. Di Yogyakarta
muncul persatuan serupa dengan nama Persatuan Perusahaan Batik Bumi Putera
di bawah pimpinan Zarkasi. Sejak saat itu organisasi persatuan para perusahaan
batik juga mulai berdiri di seluruh pusat-pusat pembatikan di Jawa seperti
23
Sewan Susanto, op.cit, hlm 314.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Tasikmalaya, Cirebon, Pekalongan, Kudus, Gresik, Sidoarjo, Tulung Agung,
Ponorogo, Purworejo, dan Banyumas. 24
Melalui organisasi pembatik tersebut kerajinan perusahaan batik
berkembang lebih baik karena pembelian bahan-bahan batik terutama cambric
menjadi lebih teratur dan terjamin. Pada bulan Oktober 1948 atas anjuran dan
dorongan Jawatan Koperasi Pusat di Yogyakarta, seluruh koperasi batik yang
berdiri disatukan ke dalam sebuah organisasi induk yang diberi nama Gabungan
Koperasi Batik Indonesia (GKBI). 25
Sejak tahun 1950 GKBI memiliki lisensi monopoli impor bahan baku.
Oleh sebab itu, GKBI berhasil membantu pengadaan bahan baku mori, obat-
obatan dan pemasaran batik sekitar 10 hingga 15 persen dari hasil produksi para
anggota-anggotanya. Order baru memiliki kebijakan mengejar pertumbuhan
ekonomi yang mengutamakan industri padat modal, teknologi mekanisme impor,
dan produk massal. Pada tahun 1970-an terjadi pertumbuhan industri garmen dan
printing bermotif batik yang dikuasai oleh penguasa Tionghoa dan Arab di
Surakarta. Situasi tersebut menciptakan ketimpangan struktur industri batik antara
mode produksi manufaktur batik printing dengan mode produksi batik tulis. 26
Persaingan ekonomi komersial secara terus menerus mengakibatkan batik
cap kalah bersaing baik dari segi kualitas maupun harga. Hal itu mengakibatkan
sebagian besar industri batik cap di Surakarta terpaksa harus tutup usaha. Akan
24
Hasan Shadily, Ensklipodi Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1977), hlm
342.
25
Sewan Susanto, op.cit, hlm 318.
26
Nurhadiantomo, Konflik-Konflik Sosial Pri-Non Pri dan Hukum
Keadilan sosial, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah, 2004), hal 122-123.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
tetapi industri kerajinan batik tulis di Surakarta tetap bertahan, hal itu disebabkan
oleh kemampuan juragan batik dalam mempertahankan spesifikasi produk kain
batik tulis.27
Proses pemulihan ekonomi terus dilakukan dari hari ke hari, hal itu
ditandai dengan beroperasinya kembali 170 unit usaha batik di kampung
Laweyan dan 25 unit usaha batik di kampung batik Kauman, serta 36 unit usaha
batik yang lokasi usahanya tersebar di dalam kota Surakarta.28
D. Diakuinya Batik Sebagai Warisan Budaya Bangsa Indonesia
Batik adalah bagian dari kebudayaan yang telah menjadi keseharian
masyarakat Indonesia. Dari masa Kerajaan Majapahit hingga masa kini, batik
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Batik dikenal dan digunakan secara meluas setelah mengalami perkembangan dan
jalan sejarah yang tidak singkat. Di masa lalu batik memang hanya identik sebagai
pakaian para penguasa dan trah keraton. Namun dengan perkembangan jaman
batik menjadi pakaian milik rakyat yang digunakan dalam berbagai kesempatan.
Lembaga perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membawa kebudayaan,
UNESCO, telah menyetujui batik sebagai warisan budaya tak benda yang
dihasilkan oleh Indonesia. Keberhasilan itu telah dilaporkan oleh Menko
27
Dwiningrum, Siti Irene, Strategi Kelangsungan Saudagar Batik di
Daerah Istimewa Yogyakarta, (Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada, 1997), hlm 5-6
28
Mahani, Pasang Surut Usaha Industri Batik Keturunan Arab di PASAR
Kliwon, (Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 2003), hlm 87
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pada pertemuan di Istana Bogor, Jawa Barat. Menurut Menko Kesra,
peresmian batik sebagai warisan budaya tak benda dari UNESCO itu
diselenggerakan pada suatu rangkaian acara pada 28 September 2009 di Abu
Dhabi, Uni Emirat Arab.29
Upaya mengusulkan batik dijadikan sebagai warisan budaya melalui
proses panjang dan rumit. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi.
Diantaranya, meyiapkan naskah akademis tentang batik, memiliki masyarakat
pecinta batik, dan pemerintah mendukung usulan tersebut. Jika sudah ditetapkan
sebagai warisan bidaya dunia, pemerintah dan masyarakat Indonesia harus
bertanggung jawab menjaga pelestarian dan keaslian batik.30
Terdapat 9 wilayah di Indonesia yang diakui oleh UNESCO sebagai
provinsi yang memiliki kultur batik sejak lama:
Batik Indonesia, Sentra Batik Besar di Indonesia (Diakui UNESCO sebagai
provinsi yang memiliki kultural batik sejak lama)
Jambi
Sumatera Selatan : Palembang
Banten : Serang
DKI Jakarta
Jawa Barat : Cirebon
Jawa Tengah : Solo, Pekalongan
29
“Hore.. UNESCO Setujui Batik Warisan Budaya Dari Indonesia”,
Kompas, Selasa 8 September 2009, hlm 4
30
“Opini: Batik dan Inkorporasi Pariwisata Kita”, Jawa Pos, 2 Oktober
2009, hlm 6.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Jogjakarta : Bantul
Jawa Timur : Madura, Tuban
Sulawesi Selatan : Pare-Pare31
E. Proses Pembuatan Batik
1. Bahan dan Peralatan
Menurut Hamzuri, dari dahulu sampai sekarang perlengkapan tradisional
membatik tidak banyak mengalami perubahan. Walaupun cara memproduksi batik
telah mengalami perkembangan secara modern, namun sampai sekarang peran
dan fungsi batik dalam masyarakat Jawa tidak pernah mengalami perubahan.
Salah satu bahan baku pembuatan batik tulis tradisional adalah mori yang
terbuat dari katun atau sutra. Kualitas mori sangat menentukan baik buruknya
produk batik tradisional yang dihasilkan. Ukuran panjang dan pendeknya mori
biasanya tidak menurut standar yang pasti, tetapi menggunakan ukuran tradisional
yang dinamakan kacu. Kacu adalah saputangan yang biasanya berbentuk bujur
sangkar, sehingga yang disebut sekacu adalah ukuran perseginya mori diambil
dari ukuran lebar mori tersebut. Cara mengukurnya dengan jalan memegang
kedua sudut mori pada sebuah sisi lebar, kemudian menempalkan salah satu sudut
tadi pada sisi panjang yang bersebrangan. Sebelum dibatik, mori harus diolah
terlebih dahulu. Baik buruknya pengolahan menentukan kualitas kain mori. 32
31
Ibid., hlm 6.
32
Heriyanto Atmojo, op.cit, hlm 93.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Selanjutnya alat yang paling penting dalam proses pembuatan batik adalah
canthing. Canthing merupakan alat yang digunakan untuk melukis motif-motif
batik melalui lilin batik atau malam di atas selembar kain mori. Canthing terbuat
dari bahan tembaga yang mempunyai sifat ringan, mudah dilenturkan, dan kuat
meskipun tipis. Canthing terdiri atas:
1. Canthing terong, yaitu tangkai ekor canthing yang terletak pada bagian
belakang untuk ditancapkan pada tangkai sebenarnya.
2. Nyamplungan, yaitu bagian dari canthing yang berfungsi untuk menciduk
cairan lilin atau malam dari wajan sewaktu membatik.
3. Carat atau cucuk, bagian yang berupa pipa melengkung sebagai tempat
keluarnya cairan malam dari nyamplungan sewaktu canthing tersebut
digunakan untuk membatik. Cucuk berarti paruh burung, sedangkan carat
adalah tempat air minum.33
Bahan utama dari pembuatan batik adalah lilin yang digunakan sebagai
perintang warna. Jenis lilin batik ada tiga macam, yaitu lilin klowong, lilin
tembokan, dan lilin biron. Lilin atau malam terbuat dari campuran bahan parafin,
kote (lilin lebah), gandarukem, damar, microwax, lilin gladhagan, dan minyak
kelapa atau lemak hewan. Ada beberapa jenis malam yang digunakan, antara lain:
1. Malam tawon, ialah malam yang berasal dari sarang lebah. Tolo tawon
dipisahkan dari telur lebah dengan jalan merebusnya.
33
Ibid., hlm 95.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
2. Malam klenceng, yaitu malam dari sarang lebah klenceng dan didapat
dengan cara yang sama, yaitu dipisahkan dari telur lebah dengan cara
merebusnya.
3. Malam putih, terbuat dari minyak latung buatan pabrik.
4. Malam kuning, terbuat dari minyak latung buatan pabrik.
5. Malang songkal, terbuat dari minyak latung buatan pabrik dan berwarna
hitam (untuk campuran).
6. Keplak, adalah salah satu bahan campuran pembuatan malam.
7. Gandarukem, adalah bahan pencampuran pembuatan lilin atau malam
batik tulis tradisional dengan kualiatas baik. 34
2. Proses Pembuatan Batik
Berikut ini adalah proses pembatik yang berurutan dari awal hingga akhir:
1. Ngemplong
Ngemplong merupakan tahap paling awal atau pendahuluan,
diawali dengan mencuci kain mori. Tujuannya adalah untuk
menghilangkan kanji. Kemudian dilanjutkan dengan pengeloyoran, yaitu
memasukkan kain mori ke minyak jarak atau minyak kacang yang sudah
ada di dalam abu merang. Kain mori dimasukkan ke dalam minyak jarak
agar kain menjadi lemas, sehingga daya serap terhadap zat warna lebih
tinggi.
34
Ibid., hlm 97.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
Setelah melalui proses tersebut, kain diberi kanji dan dijemur.
Selanjutnya dilakukan proses pengemplongan, yaitu kain mori di palu
untuk menghaluskan lapisan kain agar mudah dibatik.
2. Nyorek atau memola
Nyorek atau memola adalah proses menjiplak atau membuat pola
di atas kain mori dengan cara meniru pola motif yang sudah ada, atau biasa
disebut dengan ngeblat. Pola biasanya dibuat diatas kertas roti terlebih
dahulu, baru dijiplak sesuai pola diatas kain mori. Tahapan ini dapat
dilakukan secara langsung di atas kain atau menjiplaknya dengan
menggunakan pensil atau canting. Namun agar proses pewarnaan bisa
berhasil dengan baik, tidak pecah dan sempurna maka proses batiknya
perlu di ulang pada sisi kain batiknya. Proses ini disebut ganggang.
3. Mbathik
Mbathik merupakan tahap berikutnya, dengan cara menorehkan
malam batik ke kain mori, dimulai dari nglowon dan isen-isen. Di dalam
proses isen-isen terdapat istilah nyecek, yaitu membuat isian dalam pola
yang sudah dibuat dengan cara memberi titik-titik (nitik). Adapula istilah
nruntum, yang hampir sama dengan isen-isen.
4. Nembok
Nembok adalah proses menutup bagian-bagian yang tidak boleh
terkena warna dasar. Bagian tersebut di tutup dengan lapisan malam yang
tebal seolah-olah merupakan tembok penahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
5. Medel
Medel adalah proses pencelupan kain yang sudah dibatik ke cairan
warna secara berulang-ulang sehingga mendapatkan warna yang
diinginkan.
6. Ngerok dan mbirah
Pada proses ini, malam pada kain dikerok secara hati-hati dengan
menggunakan lempengan logam, kemudian kain dibilas dengan air bersih.
Setelah itu kain diangin-anginkan.
7. Mbironi
Mbironi adalah menutupi warna biru dan isen-isen pola yang
berupa cecek atau titik dengan menggunakan malam. Selain itu ada juga
proses ngrining, yaitu proses mengisi bagian yang belum diwarnai dengan
motif terntentu.
8. Menyoga
Menyoga berasal dari kata soga, yaitu sejenis kayu yang digunakan
untuk mendapatkan warna cokelat. Adapun caranya adalah dengan
mencelupkan kain ke dalam campuran warna cokelat tersebut.
9. Nglorod
Dalam tahap ini pembatik melepaskan seluruh malam dengan cara
memasukkan kain yang sudah cukup tua warnanya ke dalam air mendidih.
Setelah diangkat kain dibilas dengan air bersih dan kemudian di angin-
anginkan hingga kering. 35
35
Ari Wulandari, op.cit, hlm 157.