Upload
donga
View
235
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
15
BAB II
PERKEMBANGAN SINDEN DI YOGYAKARTA
A. Kesenian Tradisional di Yogyakarta
1. Pengertian Kesenian
Kesenian adalah salah satu unsur kebudayaan yang bersifat universal.1
Kesenian yang merupakan salah satu unsur kebudayaan keberadaannya sangat
diperlukan manusia dalam pemenuhan kebutuhan. Pada umumnya kesenian yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat bersifat sosio-religius, yang
bermaksud bahwa kesenian tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sosial dan
memiliki kepentingan yang erat kaintannya dengan kepercayaan masyarakat yang
bersangkutan. Kesenian juga merupakan sesuatu yang hidup senapas dengan
mekarnya rasa keindahan yang tumbuh dalam sanubari manusia dari masa ke
masa, dan hanya dapat dinilai dengan ukuran rasa.2
Bakker berpendapat bahwa kesenian merupakan suatu keindahan/estetika
yang mewujudkan nilai rasa dalam arti luas. Kesatuan manusia yang terdiri atas
budi dan badan tidak dapat mengungkapkan pengalamannya secara memadai
dengan akal murni saja. Rasa mempunyai kepekaan terhadap kenyataan yang
tidak ditemukan oleh akal. Adanya kecenderungan bahwa manusia itu dapat
menerima suatu keindahan yang salah satunya adalah kesenian.3
1 Koentjaraningrat., Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta,
1990), hlm. 204. 2 Timbul Haryono., “Sekilas Tentang Seni Pertunjukan Masa Jawa Kuna:
Refleksi dari Sumber-Sumber Arkeologis”, dalam JAWA: Majalah Ilmiah
Kebudayaan volume 1, tahun 1999, (Yogyakarta: Yayasan Studi Jawa), hlm. 92. 3 Bakker SJ, J.W.M., Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar, (Jakarta
dan Yogyakarta: BPK Gunung Mulia dan Kanisius, 1994), hlm. 47.
16
Munculnya kesenian biasanya secara spontanitas menurut situasi dan
kondisi dalam masyarakat tersebut. Sebagai contoh, apabila mata pencaharian
masyarakat itu di sektor pertanian atau bertani maka isi kesenian itu ditujukan
untuk kepentingan pertanian, dan apabila masyarakat hidup sebagai nelayan, maka
kesenian itu juga disesuaikan dengan kehidupan nelayan. Begitu juga di
Yogyakarta yang merupakan pusat kebudayaan Jawa, maka kesenian-kesenian
atau seni pertunjukan yang ada dan berkembang pesat, bersifat serimonial.
Kesenian Jawa yang merupakan refleksi estetis orang Jawa dalam
berinteraksi dengan lingkunganya, tidak terpisah dari pola kulturnya yang
makrokosmis. Karena itu seni adalah simbol kosmis, dan bentuk karyanya
dikategorikan fundamental eksistensi manusia, yang menyajikan struktur
pengetahuan tentang yang ada (being), kepercayaan agraris dan nilai. Dengan
demikian seni tidak bersifat otonom, melainkan berakar dari filosofi kehidupan
kolektif masyarakatnya.
Kesenian tradisional terbagi menjadi dua, yakni kesenian tradisional
keraton/istana dan kesenian kerakyatan. Kesenian istana berciri formal, halus,
terikat, aturan ketat, runtut dan mendetail, serta sering disebut dengan kesenian
adiluhung (adi “bagus, utama, indah”, luhung “agung, hebat”). Karena kesenian
istana adalah simbol kosmis, tidak otonom, dan berakar dari filosofi kehidupan
masyarakatnya. Sedangkan kesenian rakyat pedesaan bersifat sederhana dan
spontan, tidak resmi, serta punya hubungan erat dengan “konsep-konsep religius
kuna”.
Pada hakekatnya, kesenian Jawa yang asli dan indah selalu terdapat di
dalam lingkungan istana raja dan di daerah-daerah Jawa sekitarnya. Pulau Jawa
17
khususnya kota Yogyakarta memiliki kesenian khas dan kebudayaan yang tinggi,
bahkan merupakan pusat serta sumber kesenian di Indonesia. Yogyakarta
merupakan satu daerah di Jawa Tengah yang apabila dilihat dari segi kesenian
sangatlah unik dan menarik, ini dikarenakan daerah ini masih dipimpin oleh
seorang Sultan yang masih memegang teguh adat istiadat khususnya kesenian.
2. Seni Pertunjukan
a. Sejarah Seni Pertunjukan
Seni pertunjukan tradisional Jawa sudah dikenal sejak lama. Di dalam
beberapa relief maupun prasasti disebutkan beberapa bentuk pahatan ataupun
ukiran yang menggambarkan bagaimana masyarakat Jawa telah berkesenian.
Bahkan di dalam relief-relief di candi-candi tertentu ditemukan pula beberapa
penggambaran bentuk-bentuk instrumen musik yang berupa kecapi dan
celempung pada candi Jago, reyong di candi Ngrimbi, kendhang di candi
Tegawangi, gong pada candi Kedato dan candi Panataran, bendhe dan terompet
pada candi Sukuh, dan sebagainya. Bila dilihat berdasarkan data yang
dikumpulkan dan diperoleh gambaran sekilas tentang bagaimana seni pertunjukan
masa Jawa Kuna sekitar abad V-XVI yang meliputi seni musik gamelan, seni tari
dan lawak topeng, serta wayang.4
Seni pertunjukan yang dikenal dalam masyarakat adalah bentuk seni yang
ingin dipertunjukkan kepada masyarakat. Seni pertunjukan itu lahir dari
4 Timbul Haryono., “Wayang Dan Jati Diri Bangsa, Sebuah Renungan”,
dalam Makalah Seminar Balai Kajian Jarahnitra, (Yogyakarta: P2NB, 1999),
hlm. 100.
18
masyarakat, dan ditonton oleh masyarakat.5 Itu berarti bahwa seni pertunjukan
lahir dan dikembangkan oleh masyarakat, apabila ini benar dalam masyarakat
hadir berbagai sistem sosial yang menggerakkan dinamika masyarakat (sistem
kepercayaan, sistem sosial, sistem kekuasaan dan sebagainya), maka seni
pertunjukan yang tumbuh dan berkembang itu tidak bisa dan tidak pasti
dipengaruhi oleh sistem yang berkembang dalam masyarakat, intinya masyarakat
mempunyai pengaruh dalam perkembangan seni pertunjukan.
Tradisi diartikan sebagai adat kebiasaan yang dilakukan dalam masyarakat
dan setiap tempat atau daerah yang berbeda. Keseluruhan gagasan yang berasal
dari masa lalu yang masih ada pada masa kini benar-benar belum dilupakan,
gagasan tersebut disalurkan atau diwariskan dari masa lalu ke masa kini serta
kebiasaan yang diwariskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Kebiasaan
yang diwariskan mencakup berbagai nilai budaya yang meliputi adat istiadat dan
kepercayaan.
Masyarakat pedesaan cenderung lebih erat hubungannya dengan berbagai
macam tradisi yang harus dipertahankan keberadaanya sesuai warisan nenek
moyang. Apabila masyarakat diidentifikasi sebagai masyarakat agraris maka
masyarakat agraris cenderung tidak berani berspekulasi dengan alternative yang
baru. Kata tradisi banyak mengarah pada hal-hal yang berkaitan dengan kesenian.
Hasil kesenian tradisi merupakan pewarisan yang dilimpahkan oleh masyarakat
berasal dari angkatan tua kepada angkatan muda. Kriteria yang menentukan bagi
5 Umar Kayam., Pertunjukan Rakyat Tradisional Jawa Dan Perubahan,
Ketika Orang Jawa Nyeni. Syafri Sairin Dan Heddy Shri Ahimsa Putra (ed.),
(Yogyakarta: Galang Press, 2000), hlm. 1.
19
konsep tradisi diciptakan melalui tindakan dan kelakuan manusia melalui pikiran
dan imajinasi manusia diteruskan dari suatu generasi ke generasi berikutnya.6
Seni tradisional khususnya pertunjukan rakyat tradisional yang dimiliki,
hidup dan berkembang dalam masyarakat sesungguhnya mempunyai fungsi
penting, hal itu terlihat terutama dalam dua segi, yaitu daya jangkau
penyebaranya, dan fungsi sosialnya. Dari penyebaran seni pertunjukan rakyat
memliki wilayah jangkauan yang meliputi seluruh lapisan masyarakat, dari segi
fungsionalnya, daya tarik seni pertunjukan rakyat terletak pada kemampuan
sebagai pembangunan dan pemeliharaan solidaritas kelompok.7
Dalam perkembangan kebudayaan termasuk di dalamnya perkembangan
kesenian (seni pertunjukan) juga tidak lepas dengan derasnya pertumbuhan
industrialisasi. Industrialisasi akan mengakibatkan pula berkembangnya
kebudayaan massa seperti acara-acara TV, musik populer, bioskop, kaset dan
video. Hasil kebudayaan seperti itu adalah budaya komersial, selalu bercorak
hiburan, tidak rumit, serta berciri baru (modern) dan pada umumnya mengundang
penonton yang banyak. Jadi kebudayaan massa adalah kebudayaan yang telah
dikemas oleh pembuatnya, diproduksi sesuai dengan kebutuhan pasar dan
besarnya penikmat. Oleh karena itu, pada zaman “modern” seperti sekarang ini
seni pertunjukan tradisional mendapat dua pesaing yaitu (1) seni pertunjukan
modern dan (2) seni pertunjukan massa.
Keberadaan seni pertunjukan tradisional, khususnya seni pertunjukan
tradisional Jawa sekarangpun mulai mengalami perkembangan serta pergeseran
6 Jaecken Maspermana Putra., Dinamika Social Budaya Seniman
Dongkrek Kecamatan Mejayan Kabupaten Madiun Tahun 1982-2009, (Surakarta:
Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Dan Seni Rupa UNS, 2014). 7 Umar Kayam., op.cit., hlm. 340.
20
sesuai dengan kondisi zamannya. Apabila hal ini tidak dilakukannya sudah tentu
seni pertunjukan tradisional akan tersingkir sendiri dari penontonnya dan lama-
kelamaan akan hilang dengan sendirinya. Namun demikian yang penting dalam
mempertontonkan seni pertunjukan adalah bagaimana kesenian tersebut dapat
memberikan suatu pesan nilai tertentu kepada para penontonnya.
Djelantik berpendapat, munculnya seni pertunjukan asal mulanya dari
kegiatan ritual yang dibutuhkan oleh manusia setelah ia mampu memikirkan
tentang keberadaannya di dunia. Oleh karena mampu memberi jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan masalah keduniawian, ia beralih
kepada kepercayaan akan perlindungan oleh leluhur dan kekuatan-kekuatan yang
ada di alam semesta, yang mengatur alam dan kehidupan manusia.
Kekuatan-kekuatan itu dibayangkan sebagai dewa atau roh, dimana
manusia dapat meminta pertolongan sewaktu diperlukan, misalnya pada waktu
terjadi wabah penyakit, bencana alam, kekeringan, dan sebagainya. Untuk
menjalin hubungan dengan kekuatan-kekuatan tersebut dilakukan pemujaan atau
persembahyangan dan tindakan-tindakan yang bersifat ritual, yang dimaksudkan
untuk lebih meyakinkan dirinya dan masyarakat sekitarnya akan terjadinya
hubungan spiritual itu. Untuk itu, ucapan-ucapan diperkuat dan diperindah
menjadi nyanyian yang kemudian dibantu dengan iringan suara benda-benda
seadanya seperti: kayu atau bambu. Namun dalam perkembangan selanjutnya
benda-benda tersebut ada yang dibuat dari logam. Dengan bernyanyi lebih lama
maka terciptalah ritma (irama), demikian pula dengan perubahan-perubahan nada,
maka terciptalah lagu. Lagu dan ritme mengundang gerakan badan pada waktu
melakukan upacara, dengan demikian maka terciptalah seni tari dan seni
21
karawitan bersamaan dengan ritual yang dilaksanakan. Semua hal yang dilakukan
itu sempat ditonton oleh masyarakat, sehingga tanpa sengaja terciptalah seni
pertunjukan.8
Bentuk seni pertunjukan ritual yang juga mengandung peran sebagai
media pendidikan budi pekerti adalah seni pertunjukan wayang ritual. Hal ini
dikarenakan seni pertunjukan untuk adegan ritual atau ruwatan untuk sesuatu,
sedangkan cerita wayangnya tetap sebagai bentuk cerita untuk media pendidikan
budi pekerti. Oleh karena itu, masyarakat Jawa sering dianggap masyarakat yang
penuh filosofi karena selalu menampilkan simbolisme dan makna yang tersirat
sebagai media pendidikan dalam setiap pementasan seni pertunjukan wayang kulit
maupun seni pertunjukan lain.
b. Tantangan Seni Pertunjukan
Keberadaan seni tradisi dan seniman semakin memprihatinkan. Panggung-
panggung hiburan tempat seni tradisi pentaspun juga semakin banyak yang tutup,
gulung tikar dan tidak beroperasi lagi. Di sisi lain, para senimannya pun sudah
semakin kehilangan akan jati dirinya sebagai seniman, karena paling tidak para
seniman dituntut untuk lebih berkreasi maupun bermotivasi dalam upaya
menyiasati era global sekarang ini, agar kesenian tradisional dapat tetap bertahan
hidup. Keberadaan seni pertunjukan tradisional ternyata sangat ditentukan oleh
dua hal yang penting, yaitu:
8 Djelantik, A.A.M., “Seni Pertunjukan Ritual dan Politik”, dalam
GELAR: Jurnal Ilmu dan Seni STSI Surakarta. Volume 2 No. 1 Oktober 1999,
hlm. 9.
22
(1). Faktor senimannya (Pekerja seni/ pelaku seni)
(2). Kepedulian masyarakat pendukungnya.9
(1). Faktor seniman (pelaku seni)
Seniman adalah seseorang yang sepenuh kehidupannya dicurahkan kepada
salah satu bentuk kesenian. Profesi seniman diperoleh seseorang dapat melalui
bakat, dalam hal ini karena faktor keturunan dan dapat pula karena belajar atau
melalui sosialisasi. Keberadaan seniman seni tradisional pada saat ini sungguh
memprihatinkan. Mereka kurang dihargai atau kurang memperoleh perhatian di
masyarakat maupun pemerintah. Pekerja seni dianggap sebagai pekerjaan yang
diremehkan, dan kurang dapat menjanjikan untuk kelangsungan hidup seseorang.
Tantangan keberadaan seniman seni tradisi dalam menatap masa depan
sebenarnya cukup berat. Sebab mereka harus benar-benar dapat bersaing dengan
jenis kesenian modern maupun kontemporer yang telah banyak tampil bahkan
merajai layar kaca (TV). Para seniman seni tradisi hendaknya akan selalu tanggap
terhadap perubahan lingkungannya, sehingga dapat membuat terobosan-terobosan
baru tanpa meninggalkan pakem. Hal demikian kiranya perlu dilakukan agar seni
tradisi tetap dicintai oleh masyarakat pendukungnya.
(2). Faktor masyarakat pendukungnya
Dilihat dari animo penonton seni tradisi yang semakin lama semakin
sedikit, para pelaku seni tradisi hendaknya harus berani mengambil gebrakan atau
inisiatif atau terobosan baru agar seni tradisi ini tetap diminati oleh
9 Sujarno, Christriyati Ariani, Siti Munawaroh, Suyami., Seni Pertunjukan
Tradisional, Nilai, Fungsi, Dan Tantangannya, (Yogyakarta: Kementerian
kebudayaan dan pariwisata, 2003), hlm. 57.
23
masyarakatnya. Tentu saja terobosan atau usaha ini tidak berhasil apabila tanpa
ada dukungan dari masyarakat sebagai pemangku kebudayaan tersebut.
Secara umum keinginan masyarakat untuk tetap menonton seni
pertunjukan tradisional tetap tinggi. Di samping bermanfaat sebagai hiburan juga
mengandung nilai-nilai moral yang dapat dijadikan cermin bagi kehidupan di
dalam masyarakat. Oleh karena itu kepedulian masyarakat untuk selalu mencintai
seni pertunjukan tradisional perlu ditumbuhkan.
3. Seni Karawitan
a. Karawitan
Pengertian karawitan bermula dari kata “rawit” yang artinya halus, lembut,
indah, rumit. Karawitan bermakna suatu hasil karya yang halus, lembut, rumit dan
indah untuk dirasa dan dilihat. Karawitan adalah kesenian yang halus indah,
mengait pada seni bunyi-bunyian, seni suara, seni pedalangan, seni tatah sungging
ukir, tari dan sastra. Pengertian karawitan kemudian menjurus kepada seni bunyi-
bunyian tradisional kedaerahan.10
Karawitan adalah bentuk orchestra dari perangkat musik gamelan atau
karawitan sering diartikan sebagai seni musik tradisional yang dimainkan dengan
menggunakan gamelan. Biasanya, seni musik ini dipentaskan dalam pagelaran
seni untuk mengiringi tarian, upacara adat, dan tembang-tembang bernuansa
kedaerahan.11
Untuk selanjutnya bahasan tentang karawitan Jawa yaitu seni musik
tradisional kedaerahan Jawa.
10
Amir Rochkyatmo., Seni Karawitan, Rekaman Sekilas Kondisi
Karawitan Dewasa Ini, (GATRA: 1988), hlm. 50. 11
Noor Sulistyobudi., “Seni Karawitan, Pendidikan Budi Pekerti”, dalam
Jantra Vol. 8, No. 1, Juni 2013, (BPNB: Yogyakarta), hlm. 40.
24
Gamelan sebagai sarana penampilan karawitan telah hadir di tengah-
tengah lingkungan masyarakat Jawa dan telah melampaui kurun waktu yang
cukup lama. Kata gamelan berasal dari bahasa Jawa “gamel” yang berarti
memukul/menabuh, diikuti akhiran –an yang menjadikannya sebagai kata benda.
Istilah gamelan mempunyai arti sebagai satu kesatuan alat musik yang dimainkan
secara bersama-sama yang sering disebut dengan istilah karawitan. Gamelan
adalah seperangkat alat musik yang berasal dari Jawa, sedangkan karawitan
adalah seni bermain/memainkan/menabuh/membunyikan seperangkat gamelan
yang menghasilkan alunan irama yang enak yang merupakan perpaduan antara
alat musik yang satu dengan lantunan syair-syair bernuansa kedaerahan dalam
tembang-tembang sehingga akan menjadikan irama yang enak/indah didengar.
Pada peninggalan bangunan-bangunan kuno di Jawa Tengah terdapat relief
yang menggambarkan waditra gamelan sebagai pertanda bahwa pada saat itu
gamelan telah dikenal, bahkan pada masa prasejarah salah satu peninggalan
kebudayaan jaman perunggu adalah nekara perunggu yang berfungsi sebagai
genderang perang dan alat upacara mengundang hujan. Nekara perunggu
merupakan prototip kendang. Di candi Borobudur didapati relief kendang dalam
berbagai jenis dan bentuk, saron, calung-gambang, simbal yang sekarang dikenal
dengan nama kecer. Di candi Prambanan juga terdapat relief yang
menggambarkan kendang silindris, kendang simetris, kecer dan genta. Di Jawa
Timur, Candi Singasari, Candi Jago, Candi Jawi Dan Candi Kedaton, Candi
Panataran Dan Candi Penanggungan memberikan informasi akan adanya relief
waditra gamelan, di antaranya: gong, gong kecil, dhog-dhog, reyog, dan simbal.
Kitab-kitab sastra berbahasa Jawa Kuna Bharatayuddha misalnya menyebutkan
25
adanya beri, curing, gubar, gong, kalasangka, kemanak, salunding. Demikian
pula kitab Nagarakertagama, Arjunawijaya, Sutasoma dan kidung Ranggalawe
menyebutkan beberapa waditra gamelan.12
b. Perkembangan Seni Karawitan
Keberadaan gamelan sudah ada sejak lama. Hal ini dapat dibuktikan dari
tulisan-tulisan, maupun prasasti-prasasti di dinding candi yang ditemukan.
Perkembangan selanjutnya mengalami perubahan dari bentuk, jenis, maupun
fungsinya. Bukti tertua mengenai keberadaan alat-alat musik tradisional Jawa dan
berbagai macam bentuk permainanya dapat ditemukan pada piagam “Tuk Mas”
yang bertuliskan Pallawa. Kesederhanaan bentuk, jenis dan fungsinya tentu
berkaitan erat dengan pola hisup masyarakat pada waktu itu. Pada piagam tersebut
terdapat gambar sangka-kala, yaitu semacam terompet kuno yang digunakan
untuk perlengkapan upacara keagamaan.13
Kehidupan seni karawitan sampai sekarang ini mengalami perjalanan
sejarah yang panjang bersamaan dengan munculnya kerajaan-kerajaan besar,
seperti Majapahit, dan Mataram. Di bawah kekuasaan kerajaan-kerajaan tersebut,
gamelan (seni karawitan) mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Perkembangan yang terjadi pada dunia seni karawitan merupakan suatu produk
kebudayaaan yang selalu ingin berkembang, menyesuaikan kondisi jaman. Hal ini
sesuai dengan kodratnya, bahwa seni karawitan sebagaimana cabang seni
pertunjukan tradisi lainnya dikategorikan dalam jenis seni komunal, yaitu seni
yang lahir dari, oleh dan untuk masyarakat.
12
Amir Rochkyatmo., loc.cit. 13
Purwadi dan Afendy Widayat., Seni Karawitan Jawa Ungkapan
Keindahan dalam Musik Gamelan, (Yogyakarta: Hanan Pustaka, 2006), hlm. 7.
26
Keberadaan dan perkembangan seni karawitan tergantung pada kondisi
masyarakat. Dalam konteks yang lain dapat dikategorikan dalam bentuk seni yang
patronage, yaitu seni jenis yang mengabdi kepada sesuatu atau seseorang yang
dianggap sebagai payungnya, sehingga keberadaan dan perkembangnya
tergantung pada penguasa.
Perkembangan seni karawitan pada jaman kerajaan berjalan pesat. Peran
raja sebagai penguasa tunggal sangat menentukan hidup dan matinya suatu bentuk
seni. Seperti yang diutarakan dalam puisi abad ke-14 Kakawin Negarakertagama,
kerajaan Majapahit mempunyai lembaga khusus yang bertanggung jawab
mengawasi program seni pertunjukan. Begitu pentingnya seni pertunjukan
(karawitan) sebagai suatu pertanda kekuasaan raja adalah keterlibatan gamelan
dan teater pada upacara-upacara atau “pesta-ria” keraton.14
Perkembangan seni karawitan berlanjut dengan munculnya Kerajaan
Mataram. Pada jaman tersebut dianggap sebagai tonggak seni karawitan, terutama
gaya Yogyakarta dan Surakarta. Tidak hanya penambahan jenis-jenis gamelan
saja melainkan fungsi seni karawitan pun mengalami perkembangan. Di samping
sebagai sarana upacara, seni karawitan juga berfungsi sebagai hiburan. Dahulu
seni karawitan produk keraton hanya dinikmati di lingkungan keraton.
Selanjutnya, karena keterbukaan keraton dan palilah dalem, seni karawitan
produk kraton sudah berbaur dengan masyarakat pendukungnya.
Karawitan Jawa dapat tampil dalam dua fungsi: fungsi mandiri dan fungsi
pengiring, baik sebagai pengiring tari maupun pengiring pakeliran15
:
14
Sumarsam., Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikan Di
Jawa, (Surakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 11-19. 15
Amir Rochkyatmo., loc.cit.
27
(1). Karawitan Mandiri
Gendhing-gendhing pakurmatan pada hakekatnya merupakan karawitan
mandiri. Gendhing-gendhing tersebut mempergunakan 2 nada, 3 nada atau 4 nada.
Gendhing pakurmatan dalam 2 nada misalnya kodhok ngorek, gendhing 3 nada
adalah monggang, sedangkan yang menjelajahi 4 nada adalah carabalen dengan
gendhing Klumpuk dan Glagah kanginan. Disebut carabalen karena menabuh
gamelan menggunakan gaya Bali. Gamelan sekaten yang dipukul setiap tahun
sekali di halaman masjid agung di Yogyakata, Surakarta dan juga di Cirebon
untuk merayakan Maulud Nabi Besar Muhammad SAW, termasuk dalam
golongan karawitan mandiri, dengan rancakan gamelan tersendiri dan
gendhingnya pun khusus, di antaranya: Rambu, Rangkung, Barangmiring. Jenis-
jenis karawitan mandiri yang lain adalah: Bonangan, Siteran, Cokekan, Gadhon,
Sniswaran, Larasmadya dan Klenengan.
(2). Karawitan Pengiring
a). Karawitan Sebagai Iringan Tari
Sesuai dengan fungsinya karawitan untuk iringan tari masih lebih banyak
bersifat mantradisi, namun bukan berarti tertutup kemungkinan adanya garap
baru. Sejalan dengan kepentingan penampilan tari yang senantiasa terbatas akan
tersedianya waktu, maka gendhing-gendhing iringan mengalami peningkatan pula.
Iringan untuk sendratari menggunakan rangkaian gendhing-gendhing yang
bermacam-macam jenis, dengan tempo yang bermacam-macam pula. Di dalam
penampilan sendratari ini muncul beberapa tambahan waditra baru seperti bedug,
gendering, kadang-kadang terompet untuk memberikan kejelasan tekanan gerak
yang ditampilkan sesuai kehendak penata tari. Pada tari bedaya dan srimpi
28
iringanya sederhana, yaitu rampak vokal, disertai beberapa waditra: kemanak,
kenong dan gong sebagai penuntun nada.
b). Karawitan Sebagai Iringan Pergelaran Wayang Kulit Purwa
Karawitan yang berfungsi sebagai iringan dalam pakeliran wayang kulit
purwa gendhing-gendhingnya meliputi 3 tahap pathet: pathet nem, pathet sanga
dan pathet manyuro. Gamelan yang dipergunakan adalah gamelan slendro. Serat
Sastramiruda menyebutkan bahwa karawitan yang mengiringi pakeliran wayang
kulit purwa mempergunakan gamelan slendro. Di dalam pakeliran wayang kulit
purwa, fungsi gamelan sangat berarti oleh karena memberikan kejiwaan terhadap
boneka wayang yang digerakkan. Akhir-akhir ini penggunaan karawitan sebagai
iringan pakeliran menyesuaikan kemampuan dan ketrampilan penabuh gamelan.
Dalang menyesuaikan kekuatan karawitannya.
B. Pengertian Sinden
1. Sinden
Pesindhèn atau sindhèn adalah sebutan bagi wanita yang bernyanyi
mengiringi orchestra gamelan, yang umumnya sebagai penyanyi satu-satunya.
Dalam kamus Bahasa Jawa, sinden/sin·den/ /sindén/ n penyanyi wanita pada seni
gamelan atau dalam pertunjukan wayang (golek, kulit), sedangkan menyinden/
me-nyin-den/ v menyanyikan lagu pada seni karawitan atau pada pertunjukan
wayang (golek, kulit): meskipun sejak umur tujuh belas tahun sudah belajar -,
sekarang ia lebih menekuni rias pengantin. Pesindhèn yang baik harus
mempunyai kemampuan komunikasi yang luas dan keahlian vokal yang baik serta
kemampuan untuk menyanyikan tembang.
29
Sinden adalah nembang mbarengi gamelan. Penjelasannya adalah vokal
putri yang menyertai karawitan dilakukan oleh seorang pesinden, dahulu
istilahnya taledhek, bahkan sekarang ada yang menyebut nama lain yang manis
yang swarawati atau waranggana. Dalam sumber yang akan dikaji sinden dapat
juga disebut waranggana “wara” yang berarti wanita, dan “anggana” yang
berarti sendiri, dalam hal ini berarti wanita yang sendiri dalam seni karawitan
maupun seni pertunjukan wayang, dan dalam Kamus Bahasa Kawi
“waranggana” berarti bidadari.16
Urutan menurut bahasa sinonimnya yaitu
taledhek-sinden-waranggana-widowati-swarawati. Semua mempunyai arti yang
sama dengan sinden yang dimaksud dalam keterangan diatas. Waranggana dibagi
menjadi 2, yakni Waranggana Tayub dan Waranggana Pesinden. Waranggana
Tayub adalah penari wanita kesenian tayub yang juga memiliki keahlian
menembang, sedangkan Waranggana Pesinden hanya memiliki keahlian menari
saja dan khusus untuk pertunjukan wayang kulit.17
Sinden mempunyai keindahan dalam seni swara yang dapat dinikmati bagi
semua masyarakat umum yang mendengarkan dan melihat seni pertunjukan itu
baik dalam seni karawitan maupun dalam pertunjukan wayang kulit. Misalnya
seorang dalang sedang suluk, maka secara bersamaan menyanyikan tembang
adalah pesinden dan wiraswara atau penggerong, yaitu koor yang dinyanyikan
oleh beberapa orang pria.
16
Wojowaskito., “Kamus Bahasa Kawi Indonesia”, (Jakarta: CV.
Pengarang, 1983). 17
Bahrul Huda., Kesenian Tayub di Nganjuk sebagai Sarana Agitasi
Politik, (Surakarta: Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa
UNS, 2005), hlm. 64.
30
Beberapa sumber yang dapat menjelaskan kemunculan sinden di telusuri
pada kebudayaan jawa berupa peninggalan candi Borobudur. Pada relief candi
Borobudur sekitar 1800-an dan candi-candi prambanan hindu sekitar tahun 915
terdapat banyak adegan-adegan gadis-gadis menari, para musisi bermain seruling,
sitar, silofon, kuningan dan bambu, tanduk, kerang, dan simbal serta beberapa
orang penyanyi perempuan serta penonton yang menyaksikan.18
Pada abad XIX oleh R.ng. Djagakusuma dalam memainkan gamelan yaitu
dalam wadah karawitan dengan memakai penyanyi laki-laki yang mempunyai
peran sebagai penggiring tari bedaya dan upacara ritual di istana, kemudian mulai
menyebar di luar istana bersama pertunjukan wayang kulit dan pertunjukan tari. 19
Sinden pada saat itu berfungsi sebagai perjamaan atau pagelaran tari
bedaya ketawang dan tari bedaya Srimpi. Bertugas nyindeni bedhayan-bedhayan
untuk laki-laki (penggerong) dan untuk perempuan sinden, keduanya bertugas
membawa gamelan pusaka dalam gerebek besar. Sedangkan sinden yang ada di
dalam keraton di bagi menjadi dua fungsi. Pertama, bertugas sebagai penggiring
tari bedhaya dan kedua sinden yang bertugas menyindeni gendhing-gendhing
yang bukan bedhayan seperti niyaga, taledhek, badut, wiraswara. 20
Sinden adalah istilah yang digunakan untuk menyebut seni suara vokal
atau koor (yang juga dapat dilakukan oleh sekelompok) pesinden wanita atau
pesinden pria (seperti contoh sindenan bedaya srimpi) maupun vokal putri (yang
18
James R. Brandon., Seni Pertunjukan Di Asia Tenggara, (Yogyakarta:
Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 1989), hlm. 26. 19
Sutrisno., Sejarah Karawitan, (Surakarta: Akademi Seni Karawitan
Indonesia, 1976), hlm. 130. 20
Isnin Sholihin., Kehidupan Pesinden Di Kecamatan Gondang
Kabupaten Sragen: Suatu Kajian Sejarah Kebudayaaan/Kesenian, (Surakarta:
Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, 2005), hlm. 80.
31
sekarang lazim dilakukan oleh pesinden waranggana atau swarawati) dengan
lagu yang berirama ritmis yaitu tidak ketat mengikuti gendhing.21
Sinden sangat berhubungan erat dengan kajian masalah yang diterima dan
umum dalam masyarakat Jawa yaitu dalam kisah sejarah karawitan, sejarah
wayang kulit, sejarah tari bedhaya Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta
serta dalam sejarah kesenian tayub. Disini perlu dijelaskan dan ditegaskan bahwa
sinden yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sinden yang berkecimpung
dalam pertunjukan wayang kulit dan tidaklah sama baik status dan perannya
dengan taledhek didalam kesenian tayub.22
2. Perkembangan Sinden
Fenomena tergusurnya wanita dalam jagat “musik tradisi” sudah lama
diberlangsungkan dan bukan merupakan satu hal yang aneh. Kuasa laki-laki masih
sangat dominan. Musik-musik tradisi Nusantara dan khususnya Jawa
menempatkan supremasinya sebagai satu dari sekian banyak kebudayaan yang
memiliki wajah dan jiwa kekerasan yakni kelelakian. Wanita hanya menjadi
simbol yang mengguratkan aura feminisitas sehingga kehadirannya kadang
dianggap kurang layak jika menghuni ruang-ruang dengan imaji yang maskulin.
Wanita mengalami kebangkrutan eksistensi dalam jagat musik tradisi di Jawa.
Adanya sinden seolah memberi oasis yang menyegarkan bagi denyut hidup wanita
dalam musik tradisi terutama karawitan Jawa.
Sinden sendiri berarti vokal tunggal yang (kebanyakan) dibawakan oleh
wanita. Namun, agak berbeda pengertian sinden dengan vokalis dalam musik pada
21
Supanggah., Dibuang Sayang, (Surakarta: Sekolah Tinggi Seni
Indonesia Surakarta, 1988), hlm. 30. 22
Isnin Sholihin., op.cit., hlm. 79.
32
umumnya. Sinden bukanlah vokalis. Vokalis adalah orang yang bernyanyi dan
diiringi dengan instrumen musik. Vokalis menjadi pusat perhatian karena tema
dan pesan utama tertampung dalam balutan lirik-liriknya. Dengan demikian,
vokalis menjadi acuan dalam sebuah pertunjukan musik. Sementara pengertian
sinden tidak demikian. Kedudukan sinden setara dengan instrumen gamelan lain.
Tidak mencoba diiringi maupun mengiringi. Singkatnya, sinden juga dianggap
sebagai satu kesatuan instrumen gamelan. Agar terwujudnya capaian rasa
gendhing yang ideal, maka semua instrumen harus saling bersinergi antara satu
dengan yang lain, tak terkecuali sinden.
Pada pergelaran wayang zaman dahulu, sinden duduk di belakang dalang,
tepatnya di belakang tukang gender dan di depan tukang kendhang. Posisi duduk
sinden yaitu bersimpuh dalam balutan kain jarik dengan posisi punggung tegak
tanpa sandaran. Tidak dengan hanya hitungan menit namun hitungan jam, bahkan
semalam suntuk sinden harus duduk dengan posisi demikian. Sinden hanya
seorang diri saja dan biasanya istri dari dalang atau salah satu pengrawit dalam
pergelaran tersebut. Seiring perkembangan zaman, mulai tahun 1975 Ki Narto
Sabda melakukan beberapa pengembangan. Sinden tempatnya diubah menghadap
penonton, tepatnya di sebelah kanan dalang, membelakangi simpingan wayang,
dan sekarang sinden berjumlah lebih dari dua orang. Ki Narta Sabda, kemudian
memberi kesempatan kepada pengunjung wayang kulit untuk meminta lagu-lagu
ke pesinden pada adegan gara-gara atau punakawan. Adegan ini sering disebut
adegan “saweran”, penonton yang meminta lagu ada yang memberi uang ke
sinden atau melempar rokok ke ki dalang. Situasi tersebut terus berkembang, dan
akhirnya pada pakeliran masa sekarang, peran sinden dilengkapi dengan adegan
33
musik campur sari atau musik ndhang-ndhut. Di lingkungan para dalang muncul
sikap pro dan kontra, sebab kehadiran musik campur sari atau musik ndhang-
ndhut telah menyimpang dari pakem pakeliran wayang. 23
Sinden yang secara langsung menjadi etalase bagi mata penonton. Dengan
arah hadap yang berbalik dengan dalang, mengharuskan para pesinden untuk
tampil cantik dan menawan. Kedua, seorang sinden harus memiliki penguasaan
bekal musikal yang mumpuni. Pesinden berada dalam pusaran tafsir dan imajinasi
musikal tinggi. Karenanya, tak semua vokalis wanita mampu menjadi pesinden. Ia
harus sadar betul cara mengornamentasi sebuah gendhing dengan tafsir teks
(cakepan), irama, rasa, tempo dan tentu saja garap. Sinden yang handal berarti
telah qatam akan semua itu. Seorang sinden diuji bukan dari kualitas suara
semata, namun kesatuan yang terjalin dengan gendhing yang dibawakan. Oleh
karena itu, pesinden berbeda dengan penembang. Disebut sinden karena
kehadirannya yang menyertai sebuah gendhing walaupun teks vokal yang
disajikan adakalanya berupa tembang. Sementara penembang bisa melagukan
vokal secara mandiri tanpa adanya (iringan) gendhing gamelan. Singkatnya,
pesinden sudah pasti penembang, namun penembang bukan berarti seorang
pesinden. Hal ini wajib diketahui agar keduanya tidak saling silang pengertian.
Susan Pratt Walton dalam disertasinya yang berjudul “Heavenly Nymphs
and Earthy Delights: Javanese Female Singers, Their Music and Their Lives”
(1996) dengan lugas menyatakan, walaupun suara sinden lebih terdengar nyaring
daripada instrumen gamelan lainnya tapi bukan berarti ia menjadi panutan dan
23
Henricus Supriyanto., “Kedudukan Dan Fungsi Pesinden Wayang
Malangan Di Keluarga, Komunitas Seni Pertunjukan Dan Masyarakatnya: Kajian
Budaya, Analisis Gender”, dalam Studia Philosophia et Theologica Volume 6
Nomer 2, (Surabaya: Universitas Negeri, 2006), hlm. 175-176.
34
dasar acuan. Karena dalam hampir keutuhan sajian, sinden tidak berperan sebagai
pemimpin bagi keseluruhan ansambel layaknya vokalis dalam orchestra musik
Barat. Namun, sinden menjadi begitu istimewa karena boleh dikata ialah satu-
satunya yang memberi “warna lain” dalam pertunjukan karawitan. Bukan karena
apa yang disajikan, namun oleh siapa yang melagukannya. Sinden adalah wanita
yang kadang memberi guratan nuansa lain dalam ingar-bingar kuasa laki-laki atas
gamelan.24
Dewasa ini, suatu pertunjukan wayang purwa tidak dianggap lengkap jika
tidak ada pesindennya, meskipun dalam konteks sejarah munculnya pesinden
dalam pagelaran wayang purwa belum dikenal pada awal abad ini.25
Paling sedikit
harus ada seorang pesinden, biasanya dua orang. Fungsi pesinden untuk
menciptakan suasana indah untuk mengimbangi pertunjukan dalang yang klasik,
sehingga sindenan atau nyanyian pesinden, baik dalam solo maupun dalam koor
seyogyanya tidak sampai mengganggu keseluruhan jalan cerita.
Pesinden atau penyanyi wanita sudah lama dikenal di kalangan seni di
pulau Jawa. Namun sebagai seniwati yang menggiringi pagelaran wayang purwa,
mereka baru dikenal sekitar dasawarsa tiga puluhan dalam abad ini, sehingga
mulai masa itu setiap pagelaran wayang purwa ada pesindennya, dan dianggap
tidak wajar apabila pesinden tidak ada. Jika para niyaga dinamakan juga
pradangga, maka para pesinden pun mendapat nama-nama baru, yaitu
waranggana, widuwati atau suarawati.26
24
Aris Setiawan., “Sinden di Ambang Zaman”, Suara Merdeka, 3
November 2012. 25
Pandam guritno., Wayang Kebudayaan Indonesia Dan Pancasila,
(Jakarta: university Indonesia press. 1988), hlm. 75. 26
Ibid., hlm. 39.
35
3. Fungsi Sinden
a. Fungsi Pesinden di Keluarga
Sinden wayang atau sinden yang merangkap sebagai penari tayub
menyadari sepenuhnya bahwa fungsi mereka di keluarga adalah sebagai ibu
rumah tangga dan ibu dari anak-anak yang dilahirkannya. Sinden dalam fungsinya
sebagai ibu rumah tangga mempunyai tanggung jawab mendidik anak-anaknya
dan mengatur ekonomi rumah tangga. Bila terjadi perceraian mereka melakukan
tuntutan sebagai berikut.27
(1) Harta kekayaan dibagi berdasarkan tradisi “gana-gini” yakni harta hak
suami dan hak isteri. Mereka lebih memahami tradisi “pondhong pikul” daripada
pembagian harta kekayaan berdasarkan hukum agama Islam.
(2) Hak mengasuh anak-anak berdasarkan perjanjian atau kesepakatan
sewaktu perceraian dilangsungkan.
(3) Sinden yang diceraikan oleh suaminya selalu menuntut dana
pendidikan untuk anak yang diasuhnya. Mereka pun mengakui bahwa kaum laki-
laki yang menceraikan dirinya sering tidak bertanggung jawab terhadap
pendanaan pendidikan anak yang diasuhnya. Hal ini sering dilakukan oleh mantan
suami yang telah menikah lagi dengan wanita lain. Sinden yang menjanda pada
umumnya tetap bertanggung jawab terhadap anak-anak yang diasuhnya. Bila
mereka menikah lagi mereka tetap bertanggung jawab terhadap anak yang
diasuhnya.
27
Henricus Supriyanto., op.cit., hlm. 182.
36
b. Fungsi Pesinden di Komunitas Seni Pertunjukan
Fungsi pesinden yang dimaksudkan dirangkum dalam dua macam fungsi
seni pertunjukan wayang yakni:
(1) fungsi tuntunan dan
(2) fungsi tontonan.
Fungsi tuntunan yang dimaksudkan pada awalnya adalah fungsi dalang
yang memberi pendidikan ke masyarakatnya. Fungsi ini disebut sebagai fungsi
wedaran ilmu atau wejangan ilmu pengetahuan hidup. Citra yang diharapkan
ialah sinden sebagai tuntunan masyarakatnya atau contoh untuk masyarakatnya.
Secara rinci fungsi yang dimaksudkan meliputi fungsi ibu rumah tangga, fungsi
mengasuh anak-anak dan fungsi mendukung kesenian wayang di masyarakatnya.
Fungsi tontonan yakni fungsi sinden yang berkewajiban menyajikan pertunjukan
yang berkualitas bersama ki dalang dan para penabuh gamelan/niyaga. Mereka
berupaya untuk mengikuti kepelatihan gendhing dan kidung secara periodik di
daerahnya masing-masing. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa masyarakat
penonton selalu menilai kualitas para sinden. Pepatah yang populer di lingkungan
mereka ialah “sinden sing payu, sinden sing mutu”.28
c. Fungsi Pesinden di Masyarakat
Peranan yang dimaksudkan ialah kegiatan untuk menghibur tetangga yang
mempunyai hajatan maupun acara-acara lain yang menggunakan sinden.
28
Ibid., hlm. 183.
37
C. Sinden Di Yogyakarta Dari Masa Ke Masa
1. Masa Kerajaan
Pada masa Mataram kedua (Mataram-Islam) seni pertunjukan tradisional
Jawa tumbuh dan berkembang dengan baik.29
Di antara tempat-tempat yang
melahirkan karya seni ini yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Hal ini dapat
dimaklumi bahwa keduanya adalah pewaris Mataram penerus ke-Jawa-an, baik
adat-istiadat, budaya dan termasuk juga keseniannya.
Kesenian Jawa di dalamnya terdapat istilah tentang sinden (bahasa Jawa:
sindhèn), pesinden (bahasa Jawa: pesindhèn), tledek (bahasa Jawa: tlèdhèk) atau
waranggana. Keberadaan seniman dan seniwati demikian sudah lama ada,
disebutkan dalam prasasti dengan kata, “widu mangidung” atau biduan menyanyi.
Di samping itu juga ada kegiatan seni tari, dapat dilihat dalam relief-relief candi di
Jawa yang memperlihatkan gerakan tari (mangigel), sehingga besar kemungkinan
bahwa keberadaan sinden dalam karawitan Jawa merupakan kelestarian seni
pertunjukan itu sendiri yang sebelumnya sudah ada.30
Sejarah kuna mencatat adanya widu mangidung, yang kemudian dalam
bahasa Jawa baru ada kata kidung, kidungan mengandung maksud nyanyian.
Dalam bahasa Indonesia ada kata biduan, penyanyi. Tidak diketahui secara pasti
kapan sejarah sinden, waranggana, tledek ini ada. Pada masa lalu sinden sangat
dibutuhkan dalam masyarakat Jawa, baik perorangan maupun masyarakat
pedesaan secara umum.
29
Edi Sedyawati., Pertumbuhan Seni Pertunjukan, (Jakarta: Sinar Harapan
1981), hlm. 1. 30
Samrotul ilmi albiladiyah., “Sinden”, dalam Jantra Vol. II, No. 4,
Desember 2007. BPNB Yogyakarta, hlm. 226.
38
Dahulu profesi sebagai seorang sinden sangat berarti, karena jumlahnya
yang sedikit, tetapi masyarakat yang membutuhkan banyak, terutama bersamaan
dengan bulan baik. Artinya pada saat bulan yang dimaksud, banyak desa yang
mengadakan sesaji umum (merti desa, bersih desa, bersih tlaga, dan sebagainya),
adapula musim hajatan, yang menggunakan jasa sinden. Sinden dianggap
mempunyai nilai lebih karena dapat menari dengan baik, luwes, mempunyai suara
merdu dan sudah menguasai tentang irama gendhing Jawa, ditambah pula dengan
usia yang muda dan cantik rupawan.
2. Masa Sekarang
Pada masa sebelum tahun 1900-an, profesi sinden atau pesinden pada
umumnya merangkap sebagai tledek. Pada tahun 1900-an, seorang sinden
mendapat kesempatan bertugas nembang (nyinden) saja, dan tidak menari.
Adapun yang mempelopori hal tersebut adalah Gusti Pangeran Harya Suryoputro,
putra Sri Sultan Hamengku Buwono VI. Pangeran Suryoputro ini mempunyai
pesinden yang bukan tledek, jadi tugasnya hanya sebagai swarawati saja tidak
dengan menari, ia bernama Sopimanis. Pesinden Sopimanis mempunyai suara
merdu walaupun wajahnya kurang cantik.
Pada masa Hamengku Buwono VIII seni budaya tradisional Jawa
mengalami perkembangan pesat. Sudah sejak lama di Keraton Yogyakarta
mempunyai abdi dalem pesinden atau sinden laki-laki dan perempuan.31
Pertunjukan wayang kulit yang pada masa kini lazim menampilkan sinden,
bahkan dalam jumlah banyak, dahulu di Yogyakarta tampilan sinden dalam
wayang kulit baru paru pada sekitar tahun 1928-an. Disebutkan bahwa adanya
31
Ibid., hlm. 228.
39
sinden dalam pewayangan asal mulanya karena keinginan kuat para penggemar
klenengan (karawitan) gamelan, yang ingin menikmatinya. Oleh karena itu
dimasukilah pewayangan dengan sindenan, kemudian muncul teknik-teknik
penyajian sindenan, disesuaikan dengan pergelaran wayang itu sendiri.
Baju dalam tulisannya yang dimuat dalam Majalah Padalangan
“Pandjangmas” tahun 1954 dengan judul Pasinden di Pawajangan menuturkan
tampilnya sinden atau pesinden dalam wayang ada keuntungan dan kerugiannya,
keuntungannya yaitu :
a. Penggemar Klenengan berpesinden, mendapat kepuasan.
b. Pesinden yang cakap dan dapat menempatkan diri, bisa memberi
tambahan kemeriahan dan bantuan kepada dalang.
c. Dalang yang sedang bercerita, kerap kali kehilangan larikan jalannya
gendhing, dan raras (toon/ngeng) gamelan, dengan adanya pesinden itu
dapat menjadi penolong terhadap ketepatan hal tersebut.
d. Jikalau perlu istirahat, dalang dapat membebaskan pesinden untuk
menyanyi.
e. Dalam Gangsa Srepegan, suara pesinden tidak menganggu jalannya
cerita, asalkan pesinden tersebut sudah mengerti betul-betul dimana ia
bebas atau menahan suaranya. Misalnya di dalam memerangkan
wayang, pesinden bebas bersinden, tetapi saat dalang sudah mulai
bercerita, sinden harus bisa menahan suaranya.
f. Di dalam parepat dan bersenda gurau, menari dan beryanyi, pesinden
dapat menunaikan semua sindenan menurut gendhing-gendhing yang
40
dikehendaki ki dalang, dan dalang hanya tinggal memainkan
wayangnya, dan dapat juga memainkan lelucon.
Pesinden dalam pewayangan ada pula keuntungannya, asalkan pesinden
atau pengerong selalu bijaksana, hati-hati dan momong kepada pokok
keperluannya, ialah wayangan yang peranan terpenting ada pada ki dalang, artinya
pekerjaan dalang itu jangan sampai mendapat gangguan.
Adapun wayangan yang disertai pesinden di dalamnya, dapat
mengakibatkan :
a. Menggurangi perhatian terhadap kepentingan yang pokok yakni
wayangan, karena dalam praktik, wayangan yang memakai pesinden itu
lalu timbul keinginan untuk berkelenengan mat-matan.
b. Telah menjadi kenyataan, bahwa dalang kehilangan waktu selama
pesinden menyanyi, sedang waktu itu sangat penting untuk dalang.
c. Dalang juga belum mahir terhadap gendhing-gendhing, dan merasa
kurang mendalangnya.
d. Yang kerap kali terjadi, ialah timbul sikap yang lacur, sehingga sering
timbul pula hal-hal yang melanggar kesusilaan.
e. Dalang yang biasa disertai pesinden akan mempunyai penyakit segan,
yakni kalau tanpa pesinden merasa sepi, tenaga menjadi lemah,
semangatnya melempem.
f. Pesinden yang belum kenal teknik-teknik di dalam pewayangan, bila
disertakan akan menjadi perintang besar terhadap ki dalang.
Terdapat ruang yang seharusnya pesinden memberikan bantuan berupa
suara yaitu yang pertama saat gamelan dibunyikan dan gendhingnya sudah
41
minggah (selesai sirepan), kedua bila gendhing dibunyikan Ladrang-karawitan,
disanalah penuh dengan suluknya dalang, maka jika dalang memberikan
kesempatan kepada pesinden, barulah pesinden itu memperdengarkan suaranya.
Sebaliknya jika tidak dipersilahkan, maka pesinden tidak boleh mengambil waktu
suluknya dalang. Terakhir, cakepan sindenan dalam wayangan juga harus dijaga,
agar kelihatan kesungguhan dalam pewayangan dan tidak ada suasana rusuh.32
Pada masa sekarang pementasan wayang kulit bila tidak disertai
penampilan sinden, terutama yang serba bisa maka akan ditinggalkan
penontonnya. Seperti pendapat para dalang masa sekarang, tontonan wayang
mulai berkurang penggemarnya, jika tidak menampilkan pesinden yang cantik dan
pandai menyanyi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penampilan sinden
merupakan daya tarik tersendiri yang dapat menyedot penonton. Pertunjukan
wayang tidak merugi jika banyak penggemarnya, dan kesenian tradisional akan
berlanjut.
Klenengan atau uyon-uyon, gendhing-gendhing dalam sebuah karawitan
mengedepankan suara alunan dari sinden yang merdu di dalam irama gendhing
yang dapat menggetarkan hati (nganyut-anyut). Begitu merdunya maka bagi
penikmat uyon-uyon dengan sindennya berkata bahwa suaranya diibaratkan
seperti gelombang panjang tak terputus sampai akhir nada (swarane turut
ngusuk). Ada yang menggambarkan seperti, “si suara emas”. Logam mulia yakni
emas mempunyai kilauan sinar yang bagus (Jawa: kinclong), maka ada sinden
yang merdu suaranya mendapat julukan kinclong. Pada intinya dahulu dalam
pertunjukan wayang kehadiran seorang sinden atau lebih banyak lagi, harus selalu
32
Baju., “Pasinden Di Pawajangan”, dalam Pandjangmas, No. 1 Th. II. 26
Januari, hlm. 11.
42
ingat akan maksud tujuan utamanya yaitu: pertunjukan wayang yang
membawakan cerita dengan sungguh-sungguh. Tampilnya sinden dalam wayang
diharapkan dapat membantu tugas dalam dalam mewayang, tidak menganggunya.
Artinya suara sindenan jangan sampai mendesak-desak suara dalang saat
melakukan kewajibannya misalnya ketika suluk, ada-ada, dan sebagainya.
Keraton Yogyakarta mempunyai abdi dalem pesinden perempuan, namun
tidak seperti pesinden pada umumnya. Ia mempunyai tugas khusus yaitu hanya
menyanyi atau nyindeni untuk mengiringi Tari Bedhaya dan Srimpi di dalam
keraton. Di samping itu ia juga bertugas merias (maesi) pengantin putri. Dahulu
yang menjadi abdi dalem sinden perempuan di keraton ini rata-rata sampai lama
menjalankan tugasnya hingga usianya tua, sehingga kebanyakan sinden di keraton
sudah tua. Sinden keraton yang demikian jika mendapatkan tugas nyinden, ia akan
menjalaninya dengan aturan baku menurut tata cara yang ada sehingga tidak bisa
sembarangan misalnya tertawa, atau bersikap sembrono. Para sinden yang
merupakan abdi dalem tersebut mempunyai sebutan Nyai Lurah.
Pada awal abad ke 20 pesinden-tledek dianggap seperti abdi dalem
layaknya, di bawah lurah tledek yang jumlahnya ada dua, mempunyai pangkat
Lurah Penajungan, di bawah Kanayakan (Kawedanan) Gedhong Kiwa. Anggapan
seperti abdi dalem, karena ketika keraton mempunyai hajat, atau mengadakan
pisowanan yang menggunakan gamelan, maka para tledek ini juga mempunyai
tugas nyindeni di karawitan keraton.
Pesinden dalam era sekarang dituntut bukan sekedar nembang.
Keberadaan waranggana atau sinden dalam pagelaran wayang kulit mengikuti
tuntutan masyarakat, khususnya penonton. Sinden juga dituntut tampil atraktif di
43
panggung. Tidak hanya menguasai tembang-tembang klasik tetapi juga harus
menguasai tembang-tembang kreasi baru.33
33
Kedaulatan Rakyat. 9 Desember 1995, Bukan Sekedar Nembang.