Upload
buidan
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
14
BAB II
POLA ASUH DAN PERKEMBANGAN KEBERAGAMAAN
A. Pola Asuh
1. Pengertian Pola Asuh
Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berhubungan dengan
anaknya, sikap ini dapat dilihat dari berbagai segi, antara lain dari cara
orang tua memberikan peraturan kepada anak, cara memberikan hadiah
dan hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritas dan cara orang tua
memberikan perhatian atau tanggapan terhadap keinginan anak. Dengan
demikian yang disebut dengan pola asuh orang tua adalah bagaimana cara
mendidik orang tua terhadap anak, baik secara langsung maupun tidak
langsung.1
Sedangkan cara mendidik secara langsung artinya bentuk-bentuk
asuhan orang tua yang berkaitan dengan pembentukan kepribadian,
kecerdasan dan keterampilan yang dilakukan dengan sengaja baik berupa
perintah, larangan, hukuman, penciptaan situasi maupun pemberian
hadiah sebagai alat pendidikan. Dalam situasi seperti ini yang diharapkan
muncul dari anak adalah efek-instruksional yakni respon-respon anak
terhadap aktivitas pendidikan itu.
Pendidikan secara tidak langsung adalah berupa contoh kehidupan
sehari-hari baik tutur kata sampai kepada adat kebiasaan dan pola hidup,
hubungan antara orang tua dengan keluarga, masyarakat, hubungan suami
istri. Semua ini secara tidak sengaja telah membentuk situasi di mana
anak selalu bercermin terhadap kehidupan sehari-hari dari orang tuanya.2
2. Macam-macam Pola Asuh
Untuk mewujudkan kepribadian anak, menjadi manusia dewasa yang
memiliki sikap positif terhadap agama, sehingga perkembangan
1 Chabib Thoha, Kapita Seleksi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,
1996), hlm. 110. 2 Ibid.
15
keagamaannya baik, kepribadian kuat dan mandiri, berperilaku ihsan,
potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang secara
optimal, maka ada berbagai cara dalam pola asuh yang dilakukan oleh
orang tua menurut Hurluck sebagaimana dikutip Chabib Thoha, yaitu:3
a. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh ototriter adalah pola asuh yang ditandai dengan cara
mengasuh anak-anaknya dengan aturan-aturan ketat, seringkali
memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua),
kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak jarang
diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol, bercerita-cerita, bertukar
pikiran dengan orang tua, orang tua malah menganggap bahwa semua
sikapnya yang dilakukan itu dianggap sudah benar sehingga tidak
perlu anak dimintai pertimbangan atas semua keputusan yang
menyangkut permasalahan anak-anaknya. Pola asuh yang bersifat
otoriter ini juga ditandai dengan hukuman-hukuman tersebut sifatnya
hukuman badan dan anak juga diatur yang membatasi perilakunya.
Perbedaan seperti sangat ketat dan bahkan masih tetap diberlakukan
sampai anak tersebut menginjak dewasa.
Kewajiban orang tua adalah menolong anak dalam memenuhi
kebutuhan hidup anak-anaknya, akan tetapi tidak boleh berlebih-
lebihan dalam menolong sehingga anak tidak kehilangan kemampuan
untuk berdiri sendiri di masa yang akan datang.4 Orang tua yang suka
mencampuri urusan anak sampai masalah-masalah kecil misalnya jam
istirahat atau jam tidur, macam atau jenis bahkan jurusan sekolah yang
harus dimasuki, dengan demikian sampai menginjak dewasa
kemungkinan besar nanti mempunyai sifat-sifat yang ragu-ragu dan
lemah kepribadian serta tidak mampu mengambil keputusan tentang
apa pun yang dihadapi dalam kehidupannya, sehingga akan
menggantungkan orang lain.
3Ibid., hlm. 110. 4 Chabib Thoha, op. cit., hlm. 111.
16
b. Pola Asuh Demokratis
Demokrasi merupakan proses dan mekanisme sosial yang dinilai
akan lebih mendatangkan kebaikan bersama bagi orang banyak.5
Sedangkan bila dikaitkan dengan istilah pemimpin, maka pemimpin
demokratis adalah pemimpin yang memberikan penghargaan dan
kritik secara objek dan positif. Dengan tindakan-tindakan demikian,
pemimpin demokratis itu berpartisipasi ikut serta dengan kegiatan-
kegiatan kelompok. Ia bertindak sebagai seorang kawan yang lebih
berpengalaman dan turut serta dalam interaksi kelompok dengan
peranan sebagai kawan.6 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, demokrasi diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup
yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan
yang sama bagi semua warga negara.7 Dengan demikian pola asuh
demokratis paling tidak mencerminkan pola asuh yang mencerminkan
nilai-nilai demokrasi, antara lain kebebasan, maksudnya memberikan
kebebasan kepada anak dalam hal yang bersifat positif.
Sementara itu bentuk pola asuh demokratik berdasarkan teori
convergence yaitu bahwa perkembangan manusia itu bergantung pada
faktor dari dalam dan luar, maksudnya bahwa pendidikan dalam hal
ini mengasuh itu bersifat maha kuasa dan mengasuh juga tidak dapat
bersifat tidak berkuasa.8 Oleh sebab itu mengasuh anak harus
seimbang, yaitu tidak boleh membiarkan dan memberi kebebasan
sebebas-bebasnya dan juga jangan terlalu menguasai anak, tetapi
mengasuh harus bersikap membimbing ke arah perkembangan anak.
Oleh karena itu yang dimaksud dengan pola asuh demokratis
adalah pola asuh orang tua yang ditandai dengan adanya pengakuan
orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk
5 Sa’id Aqiel Siradj, et. al., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan
Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 166. 6 Geurngan W.A., Psikologi Sosial, (Bandung: PT. Eresco, 1996), hlm. 132-133. 7 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 31. 8 Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru, 1982), hlm. 2.
17
tidak selalu tergantung kepada orang tua. Orang tua sedikit memberi
kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya,
anak didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan
terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak
diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya
sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggungjawab kepada
diri sendiri. Anak dilibatkan dan diberi kesempatan untuk
berpartisipasi dalam mengatur hidupnya.9
Oleh karena itu dalam keluarga orang tua dalam hal ini
pengasuh harus merealisasikan peranan atau tanggung jawab dalam
mendidik sekaligus mengasuh anak didik/anak asuhnya.
Pola asuh demokratis ini merupaka kajian penulis dalam rangka
mencari hubungan antara pola asuh demokratis dengan perkembangan
keberagamaan anak.
Adapun indikator-indikator pola asuh demokratis diantaranya
adalah sebagai berikut:
1) Kedisiplinan
Dalam kehidupan sehari-hari, “disiplin” sering dikaitkan
dengan “hukuman”, dalam arti displin diperlukan untuk
menghindari terjadinya hukuman karena adanya pelanggaran
terhadap suatu peraturan tertentu. Dalam pengertian yang lebih
luas, disiplin mengandung arti sebagai suatu sikap menghormati,
menghargai, dan mentaati segala peraturan dan ketentuan yang
berlaku.10
Disiplin adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk
melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-
nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban.11
Disiplin akan membuat seseorang tahu dan dapat membedakan
9 Chabib Thoha, op.cit., hlm. 111. 10 Mohamd Surya, Bina Keluarga, (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003), hlm. 131. 11 D. Soemarno, Pedoman Pelaksanaan Disiplin Nasional dan Teta Tertib Sekolah 1998,
(Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi, 1998), hlm. 20.
18
hal-hal apa yang seharusnya dilakukan, yang wajib dilakukan,
yang boleh dilakukan, yang tak sepatutnya dilakukan (karena
merupakan hal-hal yang dilarang).
Kata disiplin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan latihan batin dan watak dengan maksud supaya segala
perbuatannya selalu mentaati tata tertib (di sekolah atau
kemiliteran), dan dapat pula berarti ketaatan pada aturan dan tata
tertib.12 Dalam praktik sehari-hari dispilin biasanya dijumpai pada
anggota militer, para siswa sekolah, para karyawan Instansi
Pemerintah dan Swasta dan lain sebagainya. Hati merasa senang
dan gembira melihat segala sesuatu yang dilakukan secara disiplin
dan tertib. Keinginan untuk menegakkan disiplin adalah sejalan
dengan fitrah manusia.13
Sedangkan pengertian disipilin menurut J.B. Syke dalam
buku “The Concise Oxford Dictionary of Current English”,
mendefinisikan sebagai berikut:
“Branch of instruction or learning, mental and moral training adversity as effecting this system of rules for conduct, behaviour according to astablished”.14 “Bagian dari pengajaran atau pembelajaran, latihan mental dan moral sebagai akibat sistem pranata untuk mengarahkan perilaku sesuai dengan yang ditetapkan”. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin
adalah upaya mengarahkan dan mengendalikan diri, yang berarti
suatu usaha untuk mengarahkan dan mengendalikan diri kepada
kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan norma-norma atau
aturan-aturan yang ada.
12 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986),
cet. 12, hal. 254. 13 Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir al-Ayat al-Tarbawy), (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 248. 14 JB. Syke, The Consise Oxford Dictionary of Current, (Oxford: Oxford University Press,
tt.), hlm. 293.
19
Disiplin sangat perlu ditanamkan pada anak, sebab disiplin
adalah pendidikan untuk mengajarkan pengendalian diri, dengan
peraturan, contoh dan teladan yang baik.
Dalam proses penanaman kedisiplinan orang tua juga harus
membina hubungan baik dengan anak-anak, agar kedisiplinan
yang diajarkan oleh orang tua benar-benar diterima dan
dilaksanakan oleh anak. Mengingat anak itu butuh dihargai,
diakui keberadaannya dan sebagainya.
Untuk menjadikan kedisiplinan itu efektif, harus memenuhi
tiga kriteria, yaitu:
a. Menghasilkan atau menimbulkan suatu keinginan perubahan
atau pertumbuhan pada anak
b. Memelihara harga diri anak
c. Memelihara hubungan yang rapat (erat) antara orang tua
dengan anak.15
Dalam proses penanaman kedisiplinan ini orang tua juga
harus bersikap dan bertindak dengan tegas dengan maksud agar
ajaran yang diberikan dapat diterima dan difahami oleh anak,
sehingga tujuan disiplin tercapai.
Adapun tujuan disiplin menurut Ellen G. White yang
dikutip oleh Ny. Kholilah Marhijanto mengatakan bahwa tujuan
disiplin adalah mendidik anak untuk mengatur sendiri.16 Dalam
hal ini anak harus diajar percaya pada diri sendiri, mengendalikan
diri dan tidak tergantung pada orang lain.
Di samping itu, disiplin juga bertujuan untuk menolong
anak memperoleh keseimbangan antar kebutuhan untuk berdikari
dan penghargaan terhadap hak-hak orang lain.17
15 Charles Schaefar, Bagaimana Mendidik Anak Dan Mendisplinkan Anak, (Medan: IKIP
Medan, 1979), hlm. 10. 16 Khalilah Marhijanto, Menciptakan Keluarga Sakinah, (Gresik: Bintang Pelajar, tt.), hlm.
144. 17 Kartini Kartono, Bimbingan dan Dasar-dasar Pelaksanaannya, (Jakarta: Rajawali Pers,
1985), hlm. 205.
20
Dengan ditanamkannya disiplin mungkin, diharapkan
menambah kematangan dalam bertindak dan bertingkah laku,
sehingga tidak akan terjadi kekacauan yang diakibatkan oleh
adanya perebutan hak dan kekuasaan. Hal ini penting yang juga
harus diingat dalam menerapkan kedisiplinan adalah adanya
ketegasan dan ketetapan. Artinya kedisiplinan itu diberlakukan
secara kontinu, bukannya hari ini disiplin besok sudah lain lagi.
Tujuan jangka panjang dari disiplin adalah perkembangan
dari pengendalian diri sendiri dan pengarahan diri sendiri, (self-
controle and self-direction), yaitu dalam hal mana anak-anak
dapat mengarahkan diri sendiri tanpa pengaruh atau pengendalian
dari luar. Pengendalian diri berarti menguasai tingkah laku diri
sendiri dengan berpedoman norma-norma yang jelas, standar-
standar dan aturan-aturan yang sudah menjadi milik diri sendiri.
Oleh karena itu orang tua haruslah secara kontinu atau terus
menerus berusaha untuk makin memainkan peranan yang makin
kecil dari pekerjaan pendisiplinan itu, dengan secara bertahap
mengembangkan pengendalian diri sendiri dan pengarahan diri
sendiri itu pada anak.18
Sedangkan cara terbaik untuk membantu anak belajar
disiplin diri adalah dengan membiarkan dia bertanggungjawab di
setiap bidang dalam hidupnya, bahkan ketika dia memilih untuk
tidak melakukannya.19
Jadi, disiplin yang kita tuntut dari anak-anak tidak boleh
hanya dilihat sebagai sarana pemaksaan yang diperlukan, bila
sudah tidak ada jalan lain untuk mencegah perbuatan yang salah.
18 Charles Schaefar, op. cit., hlm. 9. 19 Karin Ireland, 150 Ways to Help Your Child Succeed (terj.) Grace Styadi, 150 Cara
Untuk Membantu Anak Meraih Sukses, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 164.
21
Disiplin pada dirinya sendiri merupakan faktor pendidikan sui
generis.20
Adapun peran kedisiplinan sedini mungkin penting,
mengingat tanpa kedisiplinan tujuan pendidikan atau tujuan dari
segala aktivitas yang dilakukan oleh orang tua sulit terwujud.
Dalam hal ini sebagai orang tua harus menanamkan sikap
disiplin sedini mungkin terhadap anaknya.
2) Kebersamaan
Kebersamaan di sini maksudnya adalah kerjasama.
Kerjasama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya
bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerjasama tidak akan ada
individu, keluarga, organisasi atau masyarakat. Tanpa kerjasama
dan tanpa rasa kebersamaan keseimbangan hidup akan terancam
punah.
Dengan memiliki keahlian bekerjasama kita akan mudah
mengungkapkan apa yang kita inginkan tanpa menyinggung
orang lain.
3) Kegotong-royongan
Islam mengajarkan kita untuk hidup dalam kegotong-
royongan. Apabila sejak dini anak sudah ditanamkan sikap yang
demikian itu, maka kelak akan terlatih dan bersikap hidup dalam
penuh kegotong-royongan.
Beban yang berat bisa terasa ringan jika dilakukan dengan
gotong-royong, dan pada akhirnya kita tidak merasa berat dalam
menjalani hidup ini. Demikianlah yang menjadi salah satu tugas
orang tua, agar menanamkan sikap ini sebaik-baiknya kepada
anak.
c. Pola Asuh Laisses Fire
20Emile Durkheim, Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi
Pendidikan, (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 31.
22
Pola asuh ini adalah pola asuh dengan cara orang tua mendidik
anak secara bebas, anak dianggap orang dewasa atau muda, ia diberi
kelonggaran seluas-luasnya apa saja yang dikehendaki.21 Kontrol
orang tua terhadap anak sangat lemah, juga tidak memberikan
bimbingan pada anaknya. Semua apa yang dilakukan oleh anak adalah
benar dan tidak perlu mendapat teguran. Arahan atau bimbingan.22
Hal itu ternyata dapat diterapkan kepada orang dewasa yang
sudah matang pemikirannya sehingga cara mendidik seperti itu tidak
sesuai dengan jika diberikan kepada anak-anak. Apalagi bila
diterapkan untuk pendidikan agama banyak hal yang harus
disampaikan secara bijaksana. Oleh karena itu dalam keluarga orang
tua dalam hal ini pengasuh harus merealisasikan peranan atau
tanggung jawab dalam mendidik sekaligus mengasuh anak didik/anak
asuhnya.
3. Jenis-jenis Metode Pengasuhan Anak
Adapun kerangka metodologis pengasuhan pasca kelahiran anak
sebagaimana tertuang dalam ajaran Islam adalah sebagai berikut:
a. Pola asuh anak dengan keteladanan orang tua
21 Mansur, Pendidikan Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm.
356. 22 Secara etimologi (asal kata) kata bimbingan merupakan terjemahan dari kata guidence
yang berasal dari kata to guide yang mempunyai arti menunjukkan, membimbing dan menuntun atau membantu. Lihat dalam A. Hallen, Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 3. Secara istilah pengertian bimbingan adalah sebagaimana pendapat Mohammad Surya yakni, suatu proses bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungannya. Mohammad Surya, Dasar-dasar Konseling Pendidikan: Konsep dan Teori, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1988), hlm. 12. Sedangkan menurut Charles dalam bukunya “Essential of Educational Psychology”, mengatakan: “The guidance ponit of view in eduction today is characterized by its aim to assist each individual to make choices and decisions that are congruent with his abilities, interest and opportunities and consistent with accepted social values”. “Bimbingan adalah proses bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang, baik anak-anak, remaja maupun dewasa, agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri, dengan memanfaatkan kekuatan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku”. Lihat Charles E. Skinner, Essentials of Educational Psychology, (Tokyo: Maruzen Company LTD., tt, ), hlm. 469.
23
Dalam psikologi perkembangan anak diungkapkan bahwa
metode teladan akan efektif untuk dipraktikkan dalam pengasuhan
anak. Oleh karena itu pada saat tertentu orang tua harus menerapkan
metode ini yang memberi teladan yang baik. Cara ini akan mudah
diserap dan direkam oleh jiwa anak dan tentu akan dicontohnya kelak
di kemudian hari.
b. Pola asuh anak dengan pembiasaan
Sebagaimana kita ketahui bahwa anak lahir memiliki potensi
dasar (fitrah). Potensi dasar itu tentunya harus dikelola. Selanjutnya,
fitrah tersebut akan berkembang baik di dalam lingkungan keluarga,
manakala dilakukan usaha teratur dan terarah. Oleh karena itu
pengasuhan anak melalui metode teladan harus dibarengi dengan
metode pembiasaan. Sebab, dengan hanya memberi teladan yang baik
saja tanpa diikuti oleh pembiasaan bejumlah cukup untuk menunjang
keberhasilan upaya mengasuh anak. Keteladanan orang tua, dan
dengan hanya meniru oleh anak, tanpa latihan, pembiasaan dan
koreksi, biasanya tidak mencapai target tetap, tepat dan benar.
Orang tua, karena ia dipandang sebagai teladan, maka ia harus
selalu membiasakan berkata benar dalam setiap perkataannya baik
terhadap anggota keluarganya atau siapapun dari anggota masyarakat
lainnya. Dengan demikian Menurut Khairiyah sebagaimana dikutip
oleh Ahmad Tafsir, orang tua harus menjadi gambaran hidup yang
mencerminkan hakikat perilaku yang diserukannya dan membiasakan
anaknya agar berpegang teguh pada akhlak-akhlak mulia.23
23 A. Tafsir, dkk., Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Mimbar Pustaka,
2004), hlm. 152.
24
c. Pola asuh anak dengan cerita
Metode cerita dijadikan salah satu pola pengasuhan anak dalam
ajaran Islam, didasarkan bahwa seni adalah sumber dari rasa
keindahan dan bagian dari pendidikan. Demikian juga sastra, termasuk
cerita juga menjadi bagian dari keduanya. Abdul Majid mengatakan
sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, bahwa cerita merupakan
salah satu bentuk karya sasatra yang memiliki keindahan dan
kenikmatan tersendiri, baik bagi pengarang yang menyusunnya,
pendongeng yang menyampaikannya, maupun penyimak yang
menyimaknya. Seni (dalam hal ini cerita) memberi pengaruh bagi
anak-anak, karena ia dapat mengasah rasa dan akal.24
d. Pola asuh anak dengan pemberian hukuman25
Ajaran Islam menerapkan dan membenarkan pengasuhannya
dengan menggunakan metode hukuman, manakala dengan metode-
metode yang lain tidak berhasil.
Pemberlakuan hukuman itu dapat dipahami, karena di satu sisi
Islam menegaskan bahwa anak adalah amanat yang dititipkan Allah
kepada orang tuanya. Di sisi lain, setiap orang tua yang mendapat
amanah itu wajib bertanggungjawab atas pemeliharaan dan
pengasuhannya. Untuk itu orang tua harus melakukan segala cara
(metode dan teknik), termasuk hukuman.
B. Perkembangan Keberagamaan
1. Pengertian Perkembangan Keberagamaan
Sebelum membahas apa yang dimaksud dengan perkembangan
keagamaan anak terlebih dahulu penulis kemukakan pengertian
perkembangan. Perkembangan dapat diartikan sebagai the progressive and
24 Ibid., hlm. 152-153. 25 Hukuman ialah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh
seseorang (orang tua, guru, dan sebagainya) sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan, atau kesalahan. Lihat dalam Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), cet.XII., hlm. 186.
25
continuous change in the organism from birth to death (suatu perubahan
yang progesif dan kontinu dalam diri individu dari mulai lahir sampai
mati). Perkembangan dapat juga diartikan sebagai perubahan-perubahan
yang dialami oleh individu atau organisme menuju tingkat kedewasaannya
atau kematangannya (maturtion) yang berlangsung secara sistematis
(saling kebergantungan atau saling mempengaruhi antara bagian-bagian
organisme dan merupakan suatu kesatuan yang utuh), progresif (bersifat
maju, meningkat dan mendalam baik secara kuantitatif maupun kualitatif)
dan berkesinambungan (secara beraturan, berurutan, bukan secara
kebetulan) menyangkut fisik maupun psikis.26
Sedangkan keberagamaan yang penulis maksudkan di sini adalah
sifat-sifat yang terdapat dalam agama.27 Atau dengan kata lain
keberagamaan adalah yang menyangkut segala aspek kehidupan yang
berkaitan dengan kehidupan keagamaan seseorang.
Keberagamaan dapat diwujudkan dalam sisi kehidupan manusia.
Aktifitas agama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku
ritual beribadah, tetapi juga melakukan perilaku yang bernuansa ibadah.
Keberagamaan berkaitan dengan aktifitas yang tampak terjadi dalam hati
seseorang.
Dari keterangan tersebut dapat penulis simpulkan bahawa
perkembangan keberagamaan adalah perkembangan yang bersifat
sistematias dan berkesinambungan yang berkaitan dengan kehidupan
keagamaan seseorang.
2. Ruang Lingkup Keberagamaan
Menurut Glock dan Stark sebagaimana dikuitip oleh Taufik
Abdullag, berpendapat bahwa keberagamaan muncul dalam lima dimensi
diantaranya dimensi ideologis, intelektual, eksperiensial, ritualistik, dan
26 Pengertian perkembangan ini bisa dilihat dalam H. Syamsu Yusuf, Psikologi
Perkembangan Anak & Remaja, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002). Lihat juga dalam Netty Hartaty, dkk., Islam dan Psikologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 14.
27W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustka, 1986), hlm. 191.
26
konsekuensial. Dua dimensi yang pertama mencakup aspek kognitif
keberagamaan, dua dimensi yang terakhir aspek behavioral keberagamaan
dan dimensi ketiga aspke afekstif keberagamaan.28
Kelima dimensi tersebut dapat dibedakan dalam setiap dimensinya
meliputi aneka ragam dan unsur-unsur lainnya seperti dalam bentuk
keyakinan, praktik, pengalaman, pengetahuan dan konsekuensi-
konsekuensi.29 Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1) Dimensi ideologis
Berkenaan dengan seperangkat kepercayaan yang memberikan “premis
eksistensial” untuk menjelaskan Tuhan, alam, manusia, dan hubungan
antara mereka. Kepercayaan dapat berupa makna yang menjelaskan
tujuan Tuhan dan peranan manusia dalam mencapai tujuan itu
(puposive belief). Kepercayaan yang terakhir, dapat berupa
pengetahuan tentang seperangkat tingkah laku baik yang dikehendaki
agama.
2) Dimensi intelektual
Dimensi ini mengacu pada pengetahuan agama yang harus diketahui
seseorang tentang ajaran-ajaran agamanya. Peneliitan ini dapat
diarahkan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat pemahaman agama
para pengikut agam atau tingkat ketertarikan mereka untuk
mempelajari agamanya. Hal ini mengacu pada harapan bahwa
seseorang yang beragama minimal memiliki sejumlah pengetahuan
mengenai dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.
Dimensi pengetahuan mengenai suatu keyakinan adalah syarat bagi
penerimanya, walaupun keyakinan tersebut tidak perlu diikuti oleh
syarat keyakinan. Seseorang dapat memiliki keyakinan kuat tanpa
benar memahami agama / kepercayaan atas dasar pengetahuan yang
sedikit.
3) Dimensi eksperiensial
28 Taufik Abdullah, op. cit., hlm. 93. 29 Roland Robertson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologias, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1995), hlm. 295.
27
Dimensi eksperiensial merupakan bagian keagamaan yang bersifat
efektif, yaitu keterlibatan emosional dan sentimentil pada pelaksanaan
ajaran agama yang merupakan perasaan keagamaan (religion feeling)
sehingga dapat bergerak dalam beberapa tingkat yakani; konfirmatif
(merasakan kehadiran Tuhan menjawab kehendaknya atau
keluhannnya), eskatik (merasakan hubungan yang akrab dan penuh
cinta dengan Tuhan), dan partisipasif (merasa menjadi kawan setia
kekasih), atau wali Tuhan-Nya melakukan karya ilmiah.30
4) Dimensi ritualistik
Dimensi ritualistik yaitu merujuk pada ritualistik / ritus-ritus
keagamaan yang dianjurkan oleh agama dan dilaksanakan para
pengikutnya. Dimensi ini terdiri dari dua kelas penting, yaitu:
a. Ritual
Mengacu pada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan
praktik suci yang semua mengharapkan pemeluknya dapat
melaksanakan. Ritual merupakan suatu bentuk drama dan oleh
karena itu merefleksikan kegembiraan dari satu ke yang lainnya.31
b. Ketaatan
Ketaatan dan ritual diibaratkan air, meski ada perbedaan penting,
semua agama yang dikenal mempunyai perangkat tindakan
persembahan dan kontemplasi personel yang relatif.
5) Dimensi konsekuensial
Meliputi segala implikasi sosial dari pelaksanaan ajaran agama.
Konsekuensi komitmen agama berbeda dengan keempat dimensi di
atas. Dimensi ini mengacu kepada identifikasi akibat keyakinan
praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari,
walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya
seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.
30 Taufik Abdullah, loc. cit. 31 Andrew M. Greeley, Agama Suatu Teori Sekuler, (Jakarta: Erlangga, 1988), hlm. 96.
28
3. Indikator-indikator Perkembangan Keberagamaan
1) Bidang akidah
Islam menempatkan pendidikan akidah pada posisi yang paling
mendasar, yakni terposisikan dalam rukun yang pertama dari rukun
Islam yang lima, sekaligus sebagai kunci yang membedakan antara
orang lslam dengan non Islam. Lamanya waktu dakwah Rasul dalam
rangka mengajak umat agar bersedia mentauhuidkan Allah
menunjukkan betapa penting dan mendasarnya pendidikan akidah
islamiah bagi setiap umat muslim pada umumnya. Terlebih pada
kehidupan anak, maka dasar-dasar akidah harus terus-menerus
ditanamkan pada diri anak agar setiap perkembangan dan
pertumbuhannya senatiasa dilandasi oleh akidah yang benar.32
2) Bidang ibadah
Tata peribadatan menyeluruh sebagaimana termaktub dalam fiqih
Islam itu hendaklah diperkenalkan sedini mungkin dan sedikit
dibiasakan dalam diri anak. Hal itu dilakukan agar kelak mereka
tumbuh menjadi insan yang benar-benar takwa, yakni insan yang taat
melaksanakan segala perintah agama dan taat pula menjauhi segala
larangannya.33 Ibadah sebagai realisasi dari akidah islamiah harus tetap
terpancar dan teramalkan denga baik oleh setiap anak.
3) Bidang akhlak
Akhlak merupakan kelakuan yang timbul dari hasil perpaduan antara
hati nurani, pikiran, perasaan, bawaan, dan kebiasaan yang menyatu,
membentuk suatu kesatuan tindak akhlak yang dihayati dalam
kenyataan hidup keseharian.34 Dari kelakuan itu lahirlah perasaan
moral (moralsence), yang terdapat di dalam diri manusia sebagai
fitrah, sehingga ia mampu membedakan mana yang baik dan mana
32 M. Nipan Abdul Halim, Anak Saleh Dambaan Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2001), hlm. 95. 33 Ibid., hlm. 102. 34 Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya Offset, 1995), hlm. 10.
29
yang jahat, mana yang bermanfaat dan mana yang tidak berguna, mana
yang cantik dan mana yang buruk.
Kata “akhlak” berasal dari bahasa Arab, jama’ dari “khuluqun” yang
menurut bahasa diartikan sebagai: budi pekerti, perangai, tabiat, adat
dan sebagainya.35 Menurut Erwati Aziz secara lughawi konotasi kata
ini dapat berarti baik atau buruk.36
Humaidi Tatapangarsa mengutip Ibnu Ashir dalam bukunya “an-
Nihayah” diterangkan hakikat makna khuluk itu adalah “gambaran
batin manusia yang tepat yaitu (jiwa dan sifat-sifat)”. Sedangkan
khalku merupakan bentuk luarnya (raut muka, warna kulit, tinggi
rendahnya tubuh)”.37
Dari keterangan di atas dapat penulis simpulkan bahwa akhlak adalah
adalah perbuatan-perbuatan yang muncul secara spontan sebagai
pencerminan keadaan jiwa. Sedangkan perbuatan-perbuatan tersebut
ada yang baik dan ada yang buruk.
Adapun tujuan akhlak adalah agar setiap orang berbudi pekerti,
bertingkah laku, berperangai yang baik terhadap sesama manusia,
terhadap sesama makhluk dan terhadap Allah SWT. Yang pada
akhirnya agar mendapatkan ridla dari Allah SWT (mardlatillah).
Oleh karena itu dalam rangka menyelamatkan dan memperkokoh
akidah Islamiah anak, pendidikan anak harus dilengkapi dengan
pendidikan akhlak yang memadahi.38
C. Pembinaan Keberagamaan
1. Arah Pembinaan Keberagamaan
Sikap masyarakat, baik kelompok maupun sederhana memiliki nilai
yang melembaga antara yang satu dengan lainnya yang berhubungan erat
sehingga merupakan suatu sistem yaitu pedoman dari konsep ide dalam
35 Erwati Aziz, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, (Solo: PT. Tiga Serangkai Mandiri,
2003), hlm. 100. 36 Ibid. 37 Humaidi Tatapangarsa, Pengantar Kuliah Akhlak, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982), hlm. 7. 38 M. Nipan Abdul Halim, op. cit., hlm. 108.
30
kebudayaan yang mendorong kuat terhadap arah kehidupan bagi
seseorang. Salah satu sistem itu adalah agama.
Agama merupakan refleksi atas iman yang tidak hanya merefleksikan
sejauhmana kepercayaan agama diungkapkan dalam kehidupan agama,
baik berhubungan dengan aspek sosial. Karena kehidupan merupakan
segala sesuatu tindakan, perbuatan, kelakuan, yang telah menjadi
kebiasaan, dan keberagamaan dapat menjadi prilaku keagamaan yang
berlangsung/teks yaitu al-Qur’an dan Hadits.39
Dalam hal ini masalah keberagamaan dapat menjadi masalah yang
selalu hadir dalam sejarah kehidupan umat manusia dan sepanjang masa.
Perilaku hidup beragama yang amat luas dan terbesar ke muka bumi ini,
menjadi bagian dari hidup keberdayaan yang dapat dikembangkan dalam
aneka corak sosial yang berbeda. Sedangkan kehidupan keberagamaan
dapat diwujudkan sebagai tindakan ataupun perilaku mengenai keyakinan
dalam agama.
Kesadaran agama dalam pengalaman seseorang lebih menggambarkan
sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu yang
sakral. Dari kesadaran agama serta pengalaman keagamaan maka akan
muncul sikap keberagamaan yang ditampilkan oleh seseorang. Hal ini
dapat mendorong seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar
ketaatannya terhadap agama.
Masalah keagamaan pada kehidupan kebergamaan dapat dilihat dari
hubungan persepsi seseorang mengenai kepercayaan yang berupa tingkat
pikir manusia dalam proses berfikir, sehingga dapat membebaskan
manusia dari segala unsur yang terdapat dari luar fikirannya. Dalam hal
ini kehidupan keberagamaan mencakup beberapa dimensi. Diantaranya;
dimensi pemaknaan agama, ritual dan ibadah, sosialisasi agama, dan
menyangkut dimensi pengalaman keagamaan.
39 Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1989),
hlm. 93.
31
1) Dimensi Pemaknaan Agama
Makna agama bagi setiap orang berbeda-beda. Hal ini
disebabkan oleh faktor pengetahuan, fisiologis, dan latar belakang
budaya yang mempengarui terhadap pemaknaan agama. Menurut Dr.
Harun Nosution sebagaimana dikutip oleh Muh. Imin, bahwa
“agama” berasal dari bahasa Sankrit yang berarti teks atau kitab suci,
dan mengandung ajaran yang menjadi tuntutan hidup bagi
penganutnya.40
Pemaknaan agama merupakan faktor terpenting dalam
menentukan cara beragama seseorang. Penampilan keberagamaan,
pelaksanaan ritual dan ibadah, sosialisasi dan intelektual agama, serta
pengetahuan agama dapat mempengaruhi seseorang dalam
memberikan makna agama oleh dirinya, misalnya kalau agama diberi
makna suplemen hidup, maka berarti dalam diri seseorang itu banyak
norma yang mengatur hidupnya. Agama bukanlah satu-satunya
hukum tertinggi yang harus ditaati. Karena agama dimaknakan
sebagai komplemen kehidupan, maka agama harus hadir dalam setiap
denyut kehidupan, sehingga semua aktifitas baik yang berkaitan
langsung maupun tidak langsung dengan ibadah, harus dijiwai oleh
semangat keagamaan. Pemaknaan agama bermula dari pengalaman
pribadi karena agama mempunyai sifat yang sangat pribadi, tetapi
pemaknaan agama, telah menjadi kesadaran kolektif, sehingga
pemaknaan agama akan menjadi cerminan budaya masyarakat.
Elizabeth K. Nottingham, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin
berpendapat bahwa agama bukanlah sesuatu yang dapat dipahami
melalui definisi, melainkan melalui deskripsi (penggambaran).41
Agama merupakan gejala yang sering “terdapat di mana-mana” serta
berkaitan dengan usaha manusia untuk mengukur dalamnya makna
dari keberadaan diri sendiri dan keberadaan alam semesta. Agama
40 Muh. Imin, Problematika Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: Kalam Mulia, 1989), hlm. 5.
41Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 225.
32
melibatkan dirinya dalam masalah kehidupan sehari-hari sehingga
dapat dijadikan keyakian manusia terhadap sesuatu yang bersifat
adikodrati (supernatural) yang menyertai manusia dalam ruang
lingkup kehidupan.
2) Dimensi Ritual dan Ibadah
Lingkungan menjadi salah satu kategori masyarakat yang
memiliki ritual yang dibalut dengan agama, makna ritual tersebut
sangat terpelihara. Kuatnya tradisi ritual menyebabkan mereka
beragama Islam non tradisi, misalkan kegiatan keagamaan yang biasa
dilaksanakan pada umumnya yaitu tahlil dan dibarengi dengan
pembacaa Yaasin sebelumnya. Di sini jelas bahwa makna ritual tahlil
merupakan upacara adat orang Jawa untuk memperingati seseorang
yang sedang meninggal, misalnya peringatan kematian 3 hari, 7 hari,
40 hari, 100 hari, 1000 hari dan sebagainya, untuk mendoakan pada
orang yang telah meninggal.
Makna sosial dari acara tersebut adalah terselenggaranya
silaturrahmi di lingkungan sekitar. Dari fenomena tahlil dapat
menggambarkan masyarakat yang ingin mempertahankan nilai-nilai
agamanya. Sedangkan salat akan tampak pada seseorang yang lebih
memahami dan memiliki kepercayaan akan Tuhan.
3) Dimensi Sosialisasi Agama
Dalam perspektif sosialisasi. Lingkungan dapat dijadikan faktor
utama dan penentu dalam pengembangan agama. Sosialisasi ini yang
diartikan sebagai usaha bagaimana seseorang berpartisipasi dalam
lingkungan tempat tinggalnya yang memberikan pengaruh terhadap
pengembangan pribadi dan individu seseorang. Lingkungan dapat
memberikan pandangan secara agamis serta memberikan pengaruh
terhadap seseorang dalam bersosialisasi dengan agamanya.
33
4) Dimensi Pengalaman Keagamaan
Keagamaan merupakan refleksi dari visi pengetahuan, harapan
dan arah keagamaan dari suatu masyarakat. Apa yang dibaca
masyarakat merupakan apa yang berjalan dalam dinamika
masyarakat. Lingkup yang ada di masyarakat adalah buku yang
mampu menggerakkan intelektualitas, maka kita dapat
memprediksikan bahwa masyarakat merupakan masyarakat akademis.
Adapun jenis pengalaman keagamaan yang diungkap adalah kegiatan
salat mereka, dengan pertimbangan bahwa sedikit banyak merupakan
pengalaman keagamaan yang lain seperti puasa / zakat.
2. Metode dan Materi Pembinaan Keberagamaan
Untuk membicarakan materi dari pembinaan agama Islam, perlu
pemahaman mengenai agama Islam. Islam merupakan wahyu agama yang
sebenarnya mengandung konsepsi integralistik dan universal. Kandungan
/ isi ajaran Islam secara vertikal dalam bentuk hubungan manusia dengan
penciptanya, sedangkan secara horisontal mengatur hubungan manusia
dengan sesama lingkungannya, dan secara spesial untuk kebahagiaan
dunia dan akhirat, serta dalam kebutuhan jasmani dan rohani secara
ringkas dapat dikatakan bahwa ajaran Islam mencakup pembinaan
manusia seutuhnya dan seluruhnya yang berkualitas.
Materi pembinaan agama dapat ditekankan pada dasar keyakinan
norma dan nilai-nilai islami, untuk itu perlu adanya aspek yang
ditanamkan dan dimantapkan yaitu aqidah (keimanan), norma-norma
ibadah (hubungan dengan khaliq), sosial keagamaan (hubungan dengan
sesama) dan nilai akhlak (yang berkaitan dengan perilaku) serta
pembinaan menuju ketaqwaan.
Penyampaian pembinaan agama dapt disampaikan dengan
menggunakan metode yang tepat serta ditunjang dengan alat bantu yang
relevan dan kegiatan yang menyentuh, sehingga dapat menentukan
keberhasilan pencapaian tujuan dan pembinaan keberagamaan.
34
D. Relevansi Pola Asuh Demokratis dengan Perkembangan Keberagamaan
Anak Yatim
Sebagaimana penjelasan di atas yang dimaksud dengan pola asuh
demokratis adalah pola asuh orang tua yang ditandai dengan adanya
pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan
untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua. Orang tua sedikit memberi
kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya, anak
didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang
menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak diberi kesempatan
untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit
berlatih untuk bertanggungjawab kepada diri sendiri. Anak dilibatkan dan
diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya.
Sedangkan perkembangan keberagamaan anak di sini masudnya adalah
perkembangan hal-hal atau sifat-sifat yang berkaitan dengan agama bagi anak
yatim di Yayasan Dewi Masithoh Moga.
Oleh karena itu dari keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan
bahwa peran pendidik dalam hal ini pengasuh dalam artian pola asuhnya yang
bersifat demoratis itu sangat diperlukan terhadap perkembangan anak asuh.
Hal ini dilakukan karena bimbingan, arahan, serta teladan yang diberikan
pengasuh kepada anak asuh dalam aktifitas sehari-hari.
Oleh karena itu dengan adanya pemberian pola asuh yang demokratis
terhadap anak asuh ini diharapkan terwujudnya anak asuh yang memiliki
kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam dan berakhlakul karimah.
E. Pola Asuh dalam Perspektif Ajaran Islam
Anak adalah amanat bagi orang tua, hatinya yang suci bagaikan mutiara
yang bagus dan bersih dari setiap kotoran dan goresan.42 Anak merupakan
anugerah dan amanah dari Allah kepada manusia yang menjadi orang tuanya.
Oleh karena itu orang tua dan masyarakat bertanggungjawab penuh agar
42 Imam Ahmad al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din, Juz VII, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), hlm.
130.
35
supaya anak dapat tumbuh dan berkembang manjadi manusia yang berguna
bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya
sesuai dengan tujuan dan kehendak Tuhan.
Pertumbuhan dan perkembangan anak dijiwani dan diisi oleh pendidikan
yang dialami dalam hidupnya, baik dalam keluarga, masyarakat dan
sekolahnya. Karena manusia menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya
ditempuh melalui pendidikan, maka pendidikan anak sejak awal
kehidupannya, menempati posisi kunci dalam mewujudkan cita-cita “menjadi
manusia yang berguna”.
Dalam Islam, eksistensi anak melahirkan adanya hubungan vertikal
dengan Allah Penciptanya, dan hubungan horizontal dengan orang tua dan
masyarakatnya yang bertanggungjawab untuk mendidiknya menjadi manusia
yang taat beragama. Walaupun fitrah kejadian manusia baik melalui
pendidikan yang benar dan pembinaan manusia yang jahat dan buruk, karena
salah asuhan, tidak berpendidikan dan tanpa norma-norma agama Islam.
Anak sebagai amanah dari Allah, membentuk 3 dimensi hubungan,
dengan orang tua sebagai sentralnya. Pertama, hubungan kedua orang tuanya
dengan Allah yang dilatarbelakangi adanya anak. Kedua, hubungan anak
(yang masih memerlukan banyak bimbingan) dengan Allah melalui orang
tuanya. Ketiga, hubungan anak dengan kedua orang tuanya di bawah
bimbingan dan tuntunan dari Allah.43
Dalam mengemban amanat dari Allah yang mulia ini, berupa anak yang
fitrah beragama tauhidnya harus dibina dan dikembangkan, maka orang tua
harus menjadikan agama Islam, sebagai dasar untuk pembinaan dan
pendidikan anak, agar menjadi manusia yang bertaqwa dan selalu hidup di
jalan yang diridhoi oleh Allah SWT., dimanapun, kapanpun dan
bagaimanapun juga keadaannya, pribadinya sebagai manusia yang taat
beragama tidak berubah dan tidak mudah goyah.
43 Bakir Yusuf Barmawi, Pembinaan Kehidupan Beragama Islam Pada Anak, (Semarang:
Dina Utama, 1993), hlm. 5.
36
Mendidik anak-anak menjadi manusia yang taat beragama Islam ini,
pada hakekatnya adalah untuk melestarikan fitrah yang ada dalam setiap diri
pribadi manusia, yaitu beragama tauhid, agama Islam.
Seorang anak itu mempunyai “dwi potensi”yaitu bisa menjadi baik dan
buruk. Oleh karena itu orang tua wajib membimbing, membina dan mendidik
anaknya berdasarkan petunjuk-petunjuk dari Allah dalam agama-Nya, agama
Islam agar anak-anaknya dapat berhubungan dan beribadah kepada Allah
dengan baik dan benar. Oleh karena itu anak harus mendapat asuhan,
bimbingan dan pendidikan yang baik, dan benar agar dapat menjadi remaja,
manusia dewasa dan orang tua yang beragama dan selalu hidup agamis.
Sehingga dengan demikian, anak sebagai penerus generasi dan cita-cita orang
tuanya, dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang dapat
memenuhi harapan orang tuanya dan sesuai dengan kehendak Allah.44
Kehidupan keluarga yang tenteram, bahagia, dan harmonis baik bagi
orang yang beriman, maupun orang kafir, merupakan suatu kebutuhan mutlak.
Setiap orang yang menginjakkan kakinya dalam berumah tangga pasti dituntut
untuk dapat menjalankan bahtera keluarga itu dengan baik. Kehidupan
keluarga sebagaimana diungkap di atas, merupakan masalah besar yang tidak
bisa dianggap sepele dalam mewujudkannya. Apabila orang tua gagal dalam
memerankan dan memfungsikan peran dan fungsi keduanya dengan baik
dalam membina hubungan masing-masing pihak maupun dalam memelihara,
mengasuh dan mendidik anak yang semula jadi dambaan keluarga, perhiasan
dunia, akan terbalik menjadi bumerang dalam keluarga, fitnah dan siksaan dari
Allah.
Oleh karena itu dalam kaitannya dengan pemeliharaan dan pengasuhan
anak ini, ajaran Islam yang tertulis dalam al-Qur’an, Hadits, maupun hasil
ijtihad para ulama (intelektual Islam) telah menjelaskannya secara rinci, baik
mengenai pola pengasuhan anak pra kelahiran anak, maupun pasca
kelahirannya. Allah SWT memandang bahwa anak merupakan perhiasaan
dunia. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 46;
44 Ibid. hlm. 5.
37
والبقيت الصلحت خير عند ربك ثوابا وخير ج حيوة الدنيا المال والبنون زينة ال }46: الكهف{. امال
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”.45 (QS. al-Khafi: 46)
Dalam ayat lain Allah berfirman;
يآيذا الهينام نا قوآ اوفنكسما ولهكيمن حرمي { … اار6: الت{ .
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ….46 (QS. at-Tahrim: 6)
Dengan demikian mendidik dan membina anak beragam Islam adalah
merupakan suatu cara yang dikehendaki oleh Allah agar anak-anak kita dapat
terjaga dari siksa neraka. Cara menjaga diri dari apa neraka adalah dengan
jalan taat mengerjakan perintah-perintah Allah.
Sehubungan dengan itu maka pola pengasuhan anak yang tertuang dalam
Islam itu dimulai dari:47
1. Pembinaan pribadi calon suami-istri, melalui penghormatannya kepada
kedua orang tuanya
2. Memilih dan menentukan pasangan hidup yang sederajat (kafa’ah).48
3. Melaksanakan pernikahan sebagaimana diajarkan oleh ajaran Islam
4. Berwudlu dan berdo’a pada saat akan melakukan hubungan sebadan antara
suami dan istri
5. Menjaga, memelihara dan mendidik bayi (janin) yang ada dalam
kandungan ibunya.
6. Membacakan dan memperdengarkan adzan di telinga kanan, dan iqamat
ditelinga kiri bayi
45 Muhammad Noor, dkk., Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya , (Semarang: CV. Toha
Putra, 1996), hlm. 238. 46 Ibid., hlm. 448. 47 A. Tafsir, dkk., op. cit., hlm. 132-148. 48 Maksud kafa’ah disini adalah calon suami, sebanding dengan calon istrinya, sama dalam
kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Lihat dalam Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, (terj.) Moh. Thalib, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987), hlm. 36.
38
7. Mentahnik anak yang baru dilahirkan. Tahnik artinya meletakkan bagian
dari kurma dan menggosok rongga mulut anak yang baru dilahirkan
dengannya, yaitu dengan cara meletakkan sebagian dari kurma yang telah
dipapah hingga lumat pada jari-jari lalu memasukkannya ke mulut anak
yang baru dilahirkan itu. Selanjutnya digerak-gerakkan ke arah kiri dan
kanan secara lembut. Adapun hikmah dilakukannya tahnik antara lain;
pertama, untuk memperkuat otot-otot rongga mulut dengan gerakan-
gerakan lidah dan langit-langit serta kedua rahangnya agar siap menyusui
dan menghisap ASI dengan kuat dan alamiah, kedua, mengikuti sunnah
Rasul. 49
8. Menyusui anak dengan air susu ibu dari usia 0 bulan sampai usia 24 bulan
9. Pemberian nama yang baik.
Oleh karena itu pada setiap muslim, pemberian jaminan bahwa setiap
anak dalam keluarga akan mendapatkan asuhan yang baik, adil, merata dan
bijaksana, merupakan suatu kewajiban bagi kedua orang tua. Lantaran jika
asuhan terhadap anak-anak tersebut sekali saja kita abaikan, maka niscaya
mereka akan menjadi rusak. Minimal tidak akan tumbuh dan berkembang
secara sempurna.50
49 Abdullah Nasikh Ulwan, Tarbiyatul al-Aulad fi al-Islam, (Beirut: Dar al-Salam, 1981),
hlm. 75. 50Abdur Razak Husain, Hak dan Pendidikan Anak Dalam Islam, (Semarang: Fikahati
Aneska, t.t.), hlm. 62.