Upload
fatimah-shellya-shahab
View
243
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
lala
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. DEFINISI
Diabetes yang diinduksi steroid didefinisikan sebagai peningkatan gula
darah yang tidak normal yang berkaitan dengan penggunaan terapi steroid pada
pasien dengan atau tanpa riwayat diabetes melitus.13 Kelebihan penggunaan
steroid dapat menyebabkan gangguan pada metabolisme glukosa, sehingga dapat
menginduksi terjadinya diabetes melitus atau memperburuk keadaan diabetes
yang sudah ada.14
2. DIAGNOSIS
Penegakkan diagnosis diabetes yang diinduksi steroid sama dengan
penegakkan diagnosis diabetes pada umumnya. Diagnosis DM ditegakkan atas
dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas
dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa
darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan
bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (wholeblood), vena,
ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO.
Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan
menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer.15
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah
ini:15
- Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
- Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM15
1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L)Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaatpada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir
Atau2. Gejala klasik DM
+Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jamAtau
3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L)TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa
yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
* Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah terstandardisasi dengan baik. Pemeriksaan HbA1c untuk diabetes yang diinduksi steroid, dilakukan >2/3 bulan setelah terapi steroid dimulai.15-16
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):
Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-
hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani
seperti biasa.
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum
air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.
Diperiksa kadar glukosa darah puasa.
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/ kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam
setelah minum larutan glukosa selesai.
Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.
Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.
Pada diabetes yang diinduksi steroid, pemeriksaan TTGO sebaiknya
dilakukan pada waktu 2 jam setelah makan siang. Pada pemberian dosis satu kali
sehari, glukokortikoid diberikan pada pagi hari untuk mencegah efek supresi
adrenal. Level glukosa mulai meningkat pada pertengahan pagi hari dan berlanjut
meningkat hingga waktu tidur. Dengan melakukan pemeriksaan level glukosa pada
satu hingga dua jam setelah makan siang, maka kita dapat menilai puncak aksi
glukokortikoid dan absorpsi karbohidrat. Jika pada saat ini terjadi hiperglikemi,
maka akan segera terdeteksi. Level glukosa ≥ 200 mg/dL dapat menunjukkan
adanya kemungkinan diabetes melitus.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM,
bergantung pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam
kelompok toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDPT).15
1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan
glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7,8-11,0
mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma
puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/Dl (5,6 – 6,9 mmol/L) dan
pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dL.
Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko
DM namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring
bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga
dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga
disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM.
Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan
penyakit kardiovaskular dikemudian hari. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan
melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah
puasa. Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening)
tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal, yang pada umumnya tidak diikuti
dengan rencana tindak lanjut bagi merekayang diketemukan adanya kelainan.
Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk
penyakit lain atau general check-up. Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa
darah puasa sebagai patokan penyaring dapat dilihat pada tabel 2.15
Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dL)\
Sampel Bukan DM TGT DM
Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dL)
Plasma vena < 100 100-199 ≥ 200
Darah kapiler < 90 90-199 ≥ 200
Kadar glukosa darah puasa (mg/dL)
Plasma vena < 100 100-125 ≥ 126
Darah kapiler < 90 90-99 ≥ 100
Catatan : Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil,
dilakukan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor
risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Langkah Diagnosa DM dan Gangguan Toleransi Glukosa
3. FAKTOR RESIKO
Resiko untuk terkena diabetes melitus akan lebih tinggi jika dalam terapi
steroid orang tersebut memiliki kriteria sebagai berikut:12,17-18
1. Usia ≥ 45 tahun
2. Indeks massa tubuh (IMT) ≥ 25 kg/m2
3. Waist-hip ratio (WHR) ≥ 0,8
4. HbA1c 42-47 mmol/L (6,0-6,4 %)
5. Riwayat Toleransi Gula Terganggu (TGT) atau Gula Darah Puasa Terganggu
(GDPT)
6. Dislipidemia (HDL ≤ 35 mg/dl atau trigliserid > 210 mg/dl)
7. Hipertensi ≥ 140/90 mmHg
8. Riwayat penyakit kardiovaskular
9. Acanthosis nigricans
10. Riwayat diabetes melitus tipe 1 atau tipe 2
11. Riwayat diabetes pada keluarga tingkat pertama
12. Memiliki riwayat diabetes gestasional
13. Riwayt melahirkan anak dengan berat badan lahir ≥ 4 kg
14. Merupakan kelompok etnis tertentu
15. Menderita polycystic ovarian syndrome
16. Pernah mengalami diabetes saat mendapat terapi steroid
Untuk penyakit yang sering menggunakan steroid dalam pengobatannya,
para klinisi dapat menyesuaikan berapa lama waktu pemberian steroid tersebut.
Sesuai kondisinya penggunaan steroid dapat diklasifikasikan menjadi pemakaian
jangka pendek (3-4 minggu atau kurang, seperti 6 hari penggunaan
metilprednisolon untuk kondisi alergi) atau jangka panjang (lebih dari 3-4
minggu, seperti pada penerima transplantasi organ untuk mencegah mekanisme
penolakan tubuh melalui kerja imun yang berlebihan). Hiperglikemi adalah
keadaan yang dapat terjadi baik pada penggunaan steroid jangka pendek maupun
jangka panjang, namun biasanya kondisi ini terjadi pada penggunaan steroid
dalam jangka waktu yang panjang, yaitu lebih dari 3 bulan.16-17
Jika terapi dengan glukokortikoid dilanjutkan lebih dari 3 - 4 minggu,
maka populasi yang dikhawatirkan akan mengidap diabetes dan harus dilakukan
pengelolaan adalah para penerima transplantasi organ. Menurut guideline dari
konsensus internasional yang dipublikasikan tahun 2003 menyarankan agar pada
penerima transplantasi organ dilakukan pemeriksaan gula darah puasa satu kali
seminggu untuk 4 minggu pertama setelah transplantasi, kemudian 3 bulan sekali,
6 bulan sekali, dan satu tahun sekali. Pemeriksaan gula darah puasa sensitif pada
pasien yang menerima dosis prednison 40 mg atau lebih pada pagi hari, atau
dengan dosis dua kali lipat, namun kurang sensitif pada pasien yang mendapatkan
dosis glukokortikoid yang rendah, seperti 30 mg prednison satu kali sehari.
Pemeriksaan TTGO merupakan yang paling sensitif.16
4. EPIDEMIOLOGI
Glukokortikoid adalah obat yang banyak diresepkan, dan merupakan obat
yang paling sering menginduksi diabetes16. Hampir separuh dari pasien yang
diterapi dengan glukokortikoid dalam jangka waktu lama dapat mengalami
gangguan metabolisme glukosa. Sekitar 50% gangguan metabolisme glukosa
akibat pemakaian steroid ini menetap walaupun terapi telah dihentikan.19 Lebih
dari 40% pasien dengan gangguan ginjal dan 14,7% pasien dengan gangguan
respirasi menderita diabetes melitus selama pengobatan dengan kortikosteroid.7-8
Pada pasien reumatoid arthritis dengan rata-rata usia 62 tahun, sebanyak 9%
menderita diabetes pada 2 tahun setelah pengobatan dengan steroid. Pada pasien
non diabetik dengan penyakit ginjal primer yang diberikan prednisolon 0,75
mg/kg/day, sebanyak 42% ditemukan memiliki kadar glukosa plasma 2 jam
setelah makan siang > 200 mg/dL, namun kadar gula darah puasanya normal. Pada
pasien yang telah mengidap diabetes tipe 1, prednisone 60 mg/hari dapat
meningkatkan kadar glukosa darah setelah 6 jam pemberian prednison. Dilaporkan
juga ketoasidosis diabetik dan status hiperosmolar hiperglikemik dapat terjadi
akibat terapi glukokortikoid.16
5. PATOFISIOLOGI
Glukokortikoid memiliki efek metabolik yang dapat menginduksi
terjadinya diabetes melalui berbagai mekanisme yang berkaitan dengan terjadinya
resistensi insulin, dislipidemia, obesitas, dan hiperglikemi. Glukokortikoid
eksogen menyamai efek glukokortikoid endogen, yaitu hormon nuklear yang
melewati membran sel untuk berikatan ke reseptor spesifik glukokortikoid di
sitoplasma sel target untuk membentuk kompleks glucocorticoid-receptor (GR).
Aktivasi dari kompleks GR adalah translokasi ke nukleus sel dan modulasi
transkripsi DNA. Hasilnya yaitu transaktivasi dari protein anti inflamasi dan
transrepresi dari protein pro inflamasi. Steroid juga memodulasi metabolisme
karbohidrat melalui mekanisme yang kompleks, termasuk efek pada fungsi sel
beta, menginduksi resistensi insulin melalui efek pada reseptor insulin di hati,
otot, dan jaringan adiposa. Efek ini menyebabkan terjadinya hiperglikemi pada
individu yang memiliki resiko.
Steroid dapat digunakan dalam jenis dan dosis yang bervariasi. Steroid
dengan dosis tunggal atau kerja pendek (prednisolon) pada pagi hari mungkin
adalah jenis pemberian yang paling sering. Pada pasien tertentu, hal ini sering
menyebabkan peningkatan glukosa darah pada akhir pagi hingga ke malam. Pada
tengah malam gula darah biasanya turun kembali, sering hingga level basal pada
pagi berikutnya. Pemberian terapi harus dikhususkan untuk memperbaiki
hiperglikemi, namun menghindari hipoglikemi pada tengah malam dan subuh.
Pada kondisi hamil atau kondisi lain, diberikan steroid dosis tunggal atau kerja
pendek. Banyak pasien yang mendapatkan dosis harian ganda steroid. Level
glukosa pada kebanyakan individu dapat diprediksi akan meningkat pada 4-8 jam
sesuai pemberian steroid oral dan selanjutnya dapat diprediksi sesuai pemberian
steroid intravena. Monitoring glukosa darah kapiler sangat penting untuk
menyesuaikan intervensinya. Sebaliknya, level glukosa akan menjadi level
glukosa pre-steroid 24 jam setelah pemberian steroid intravena dihentikan. Jika
steroid oral diturunkan dalam beberapa minggu, level glukosa mungkin menurun
sesuai dosis. Hal ini tidak selalu terjadi, terutama pada individu yang sudah
beresiko terkena diabetes.12
Mekanisme terjadinya diabetes yang diinduksi steroid akan dijabarkan sebagai
berikut: 10,16,18-19
1. Glukokortikoid dapat menyebabkan kerusakan dan menurunkan produksi
insulin oleh sel beta pankreas.
2. Glukokortikoid mensupresi adiponektin (faktor yang dikeluarkan oleh
jaringan adiposa) yang berperan dalam meningkatkan sensitivitas insulin di
jaringan.
3. Efek lipogenik dari glukokortikoid ditandai dengan adanya akumulasi
trigliserida pada hati (steatosis atau fatty liver) yang dapat menurunkan
sensitivitas insulin.
4. Glukokortikoid menginduksi pembentukan pre-adiposit menjadi adiposit,
meningkatkan ukuran dan jumlah sel lemak yang dapat meningkatkan indeks
massa tubuh, yang juga berkaitan dengan timbulnya resistensi insulin melalui
penurunan ambilan glukosa oleh sel. Glukokortikoid meredistribusi adiposit
dari perifer meuju sentral sehingga dapat menyebabkan penumpukan lemak
sentral seperti di intra-abdominal.
5. Peningkatan lipolisis dan oksidasi lipid menyebabkan peningkatan asam
lemak bebas di darah yang dapat menginduksi terjadinya resistensi insulin.
6. Glukokortikoid menginduksi glukoneogenesis oleh hati, sehingga
meningkatkan produksi glukosa oleh hati dan menyebabkan hiperglikemi.
7. Menurunkan transport glukosa ke sel lemak dan sel otot.
8. Menurunkan buangan glukosa.
9. Menurunkan afinitas ikatan dari reseptor insulin.
10. Proteolisis dari otot menyebabkan pelepasan asam amino yang dapat
meningkatkan resistensi insulin. increasing aminoacid concentration which
impairs different steps of insulin signalling,
11. Glukokortikoid juga menghambat kerja osteokalsin yang berperan dalam
mensupresi pembentukan adiposit dan steatosis.
12. Glukokortikoid menghambat beberapa proses dalam jalur pensinyalan insulin
melalui berbagai mekanisme yang berbeda.
13. Adanya defek pensinyalan insulin postreseptor seperti penurunan aksi insulin
receptor substrate-1, phosphatidylinositol-3 kinase, dan protein kinase B di
perifer, yang menyebabkan gangguan translokasi transporter glukosa pada
permukaan sel sehingga menurunkan ambilan glukosa.
14. Glukokortikoid juga mengganggu ambilan dan metabolisme dari glukosa pada
sel beta melalui aksi genomik (seperti modulasi ekspresi gen oleh reseptor
glukokortikoid nuklear) yang mana dapat menyebabkan penurunan efektivitas
dari kalsium sitoplasma padaa proses eksositosis dari pengsekresi insulin.
15. Penggunaan glukokortikoid jangka pendek menurunkan efek insulinotropik
dari GLP-1.
Melalui pemeriksaan dengan metode insulin clamp, didapatkan
penurunan sensitivitas insulin sebesar 50% pada relawan sehat yang diberikan
terapi prednison selama 7 hari. Glukokortikoid dapat mempengaruhi metabolisme
glukosa melalui berbagai mekanisme yang saling berhubungan satu sama lain,
sehingga semua efek samping metabolik tersebut dapat menginduksi terjadinya
diabetes melitus pada penderita yang mendapatkan terapi glukokortikoid.
6. MANIFESTASI KLINIS
Diabetes yang diinduksi steroid memiliki manifestasi klinis yang sama
dengan diabetes tipe 1 dan tipe 2. Manifestasi klinisnya yaitu sebagai berikut:21-22
1. Polidipsia
2. Poliuria
3. Polifagia
4. Penurunan berat badan
5. Penglihatan kabur
6. Mual dan muntah
7. Lelah dan lemas
8. Mood mudah berubah dan tidak stabil
9. Infeksi yang tidak mudah sembuh
10. Gula darah yang tinggi
11. Gula di urine yang tinggi
12. Kulit yang gatal dan kering
13. Sensasi yang menggelitik atau hilang rasa pada tangan dan kaki
7. KOMPLIKASI
Untuk komplikasi jangka panjang diabetes yang diinduksi steroid ini
tidak berbeda dengan komplikasi diabetes pada umumnya. Namun, biasanya
kondisi diabetes ini akan menghilang setelah terapi steroid dihentikan, kecuali
pada beberapa individu yang beresiko tinggi menderita diabetes di kemudian hari,
biasanya diabetes akan tetap ada walaupun terapi dihentikan.11
8. PENATALAKSANAAN
1. Monitoring Glukosa
Pada pasien yang memiliki resiko mengalami diabetes yang diinduksi
steroid atau pada pasien dengan diabetes harus dilakukan monitoring glukosa.
Pada individu yang mendapatkan terapi kortikosteroid dan memiliki resiko
mengalami diabetes yang diinduksi steroid harus dilakukan capillary blood
clucose (CBG) testing satu kali sehari.
a. Tanpa diagnosis diabetes sebelumnya
Paling sedikit dilakukan monitoring satu kali sehari, saat makan siang
atau makan malam atau 1-2 jam sesudah makan siang atau makan malam. Jika
gula darah tidak tinggi maka pemeriksaan dilakukan ulang pada hari
selanjutnya. Namun, jika gula darah tinggi maka frekuensi pemeriksaan
dinaikkan jadi 4 kali sehari, yaitu ditambahkan sebelum makan dan sebelum
tidur. Jika pemeriksaan darah kapiler 2 kali menunjukkan nilai gula darah yang
tinggi dalam kurun waktu 24 jam, maka individu tersebut akan kita lakukan
monitoring sesuai algoritma 1.
ALGORITMA 1
b. Dengan diagnosis diabetes sebelumnya
Dilakukan pemeriksaan gula darah 4 kali sehari, yaitu sebelum dan
sesudah makan, serta sebelum tidur. Jika pemeriksaan darah kapiler 2 kali
menunjukkan nilai gula darah yang tinggi dalam kurun waktu 24 jam, maka
individu tersebut akan kita lakukan monitoring sesuai algoritma 2.
ALGORITMA 2
2. Pilihan tatalaksana untuk diabetes
Semua individu yang mengalami hiperglikemi harus mendapatkan
edukasi yang tepat dan baik mengenai:
a. Pengobatan diabetes
b. Pilihan gaya hidup yang sehat
c. Resiko terjadinya hipoglikemi pada terapi insulin dan non insulin
Pilihan pengobatan untuk individu yang menggunakan terapi steroid satu
kali sehari
1. Terapi non insulin
a. Sulfonilurea, contohnya gliclazide tepat digunakan pada individu yang
mendapatkan terapi steroid satu kali sehari. Kemudian utnuk mencegah
terjadinya hipoglikemi, gliclazide dititrasi hingga dosis maksimum 240
mg pada pagi hari. Dosis glicazide pada malam hari juga harus
disesuaikan agar tercapai dosis maksimum harian yaitu 320 mg.
b. Pioglitazone dianggap merupakan agen yang juga tepat sebagai terapi
diabetes yang diinduksi steroid. Pioglitazone membutuhkan waktu
beberapa minggu untuk mendapatkan efek maksimal, dengan penggunaan
satu kali sehari.
Walaupun masih banyak pengobatan lain, namun tidak ada penelitian
yang mendukung bahwa penggunaan golongan lain seperti DPP-IV inhibitor,
GLP-1, dan SGLT-2 inhibitor memberikan hasil yang baik pada terapi
diabetes yang diinduksi steroid ini.
2. Terapi insulin
Penggunaan insulin basal pada pagi hari. 10 unit insulin basal dengan
dosis harian yang meningkat antara 10% dan 20%, dititrasi sesuai level
glukosa, dan pada beberapa individu diperlukan dosis hingga 40%.
Pilihan pengobatan untuk individu yang menggunakan terapi steroid dengan
dosis harian ganda
Penggunaan dosis harian ganda seperti hidrokortison intravena atau
deksametason oral dapat menyebabkan efek hiperglikemi selama 24 jam.
1. Terapi non insulin
Gliclazide 40 mg 2 kali per hari, kemudian dosis dititrasi setiap hari
hingga mencapai dosis maksimum 160 mg 2 kali per hari. Penggunaan
pioglitazone dan metformin tidak begitu bermanfaat dan tidak ada penelitian
yang mendukung bahwa penggunaan golongan lain seperti DPP-IV inhibitor,
GLP-1, dan SGLT-2 inhibitor baik digunakan pada kondisi ini.
2. Terapi insulin
Terapi insulin subkutan menggunakan insulin basal atau injeksi harian
ganda merupakan terapi yang paling tepat. Terapi dapat 2 kali per hari premixed,
basal bolus, atau penggunaan insulin yang lebih kompleks akan dibutuhkan jika
pengobatan oral , atau insulin 1 kali sehari terbukti tidak mampu mengontrol
hiperglikemi. Monitoring gula darah sangat penting untuk menyesuaikan terapi.
Pada pasien yang gawat, terapi oral non insulin tidak mampu mengontrol
gula darah, sehingga diperlukan infuse insulin intravena (VRIII) dengan
pemantauan ketat.12
9. PENCEGAHAN
Pencegahan dilakukan dengan memperhatikan penggunaan steroid
dengan dosis dan jangka waktu tertentu, serta memastikan adanya faktor resiko
diabetes pada setiap individu. Sedangkan pada individu yang telah terdiagnosis
menderita diabetes melitus, penggunaan terapi steroid harus dilakukan dengan
tepat dan monitoring terhadap kadar gula darah harus selalu diperhatikan.