Upload
others
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
16
BAB II
SEJARAH BERDIRINYA DINASTI FATIMIYAH
Dinasti-dinasti yang muncul setelah al-khuafaur Rasyidin tiada yakni
dinasti Umayah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Umayyah di Spanyol, Dinasti
Fatimiyah di Mesir, Dinasti Saffawiyah, Dinasti Ustmani di Turki, Dinasti
Mongol di India, dan masih banyak dinasti yang berkuasa.1 Beberapa dinasti
tersebut telah berhasil membawa Islam ke masa kemajuan. Selama itu pula
perkembangan Islam semakin maju.
Perkembangan dinasti Islam yang mampu merubah peradaban dimulai
ketika Dinasti Umayyah berdiri yang kemudian disusul oleh berdirinya Dinasti
Abbasiyah. Dua dinasti ini mempunyai kontribusi untuk peradaban Islam, dan
kemudian muncul dinasti-dinasti kecil yang bercita-cita ingin seperti kedua dinasti
pendahulu. Ini terbukti ketika banyak dari dinasti-dinasti kecil yang muncul ketika
kekuasaan Dinasti Abbasiyah semakin luas dan salah satu yang mendirikan dinasti
baru adalah Dinasti Fatimiyah yang berdiri akibat sikap diskriminatif dalam hal
pemahaman agama.
Seperti diketahui bahwa Sunni dan Syiah saling bertolak belakang dan
ketika itu Dinasti Abbasiyah sedang dalam masa keemasan dan wilayahnya sangat
luas. Dinasti Fatimiyah kala itu sangat jauh dari jangkauan Dinasti Abbasiyah
sehingga tidak terlalu ketat pengawasannya. Sebenarnya untuk melakukan
dakwah Syiah Ismailiyah sangatlah sulit bahkan harus sambil sembunyi-sembunyi
karena meskipun pengawasan dari Abbasiyah tidak terlalu ketat tapi di setiap
wilayah pasti diutus seorang pemimpin yang nantinya akan mengawasi daerah
kekuasaanya.
Namun, ketika semakin banyak tekanan yang dilakukan oleh Dinasti
Abbasiyah maka semakin kuat pula keinginan orang-orang Syiah untuk membuat
negara baru yang menjadi pertanda bahwa pengaruh kekuasaan Dinasti Abbasiyah
sudah mulai luntur.
1 Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Amzah, 2010) Hlm 253
17
A. Para perintis Dinasti Fatimiyah
Berdirinya sebuah dinasti tidak akan terlepas dari peran para perintis awal
yang telah berjuang demi berdirinya sebuah kerajaan baru. Sama halnya seperti
Dinasti Fatimiyah para perintis ini mampu mewujudkan cita-cita awal Dinasti
Fatimyah.2
1. Abu Sufyan Al-Hasan bin Al-Qasim Abdullah bin Ali bin Ahmad3
Pada awalnya dakwah Ismailiyah melewati dua tahap. Pertama
tahap persiapan konsep ideologis teoritis, maksudnya pada tahapan ini
yang lebih ditekankan adalah penguatan ideologi serta konsep-kosep
ketuhanan, aqidah dan menguatkan keyakinan bahwa kelompok merekalah
yang paling benar. Tahap ini dipimpin oleh dua tokoh yakni Abu Sufyan
Al-Hasan bin Al-Qasim Abdullah bin Ali bin Ahmad dan Abdullah bin Ali
bin Ahmad. Sementara tahap kedua yakni tahap praktis yakni lebih ke
tahap aplikatif dari tahap pertama, Abu Abdullah al-Husain bin Ahmad as-
Syi’i menjadi tokoh dari tahap ke dua.
Abu Sufyan Al-Hasan bin Al-Qasim Abdullah bin Ali bin Ahmad
dan Abdullah bin Ali bin Ahmad diutusa untuk melakukan dakwah
Ismailiyah di Afrika Utara. Pada saat itu, madzhab Syiah Ismailiyah
hanya terfokuskan pada sebuah daerah pemukiman kabilah Barbar yang
bernama Kutami. Ia tinggal di perkampungan kota Murmajannah4 sebuah
tempat yang sangat strategis dengan kondisi banyak masyarakat yang
tinggal di sana dan terdapat pusat perdagangan. Dampak positif dengan
adanya pusat perdagangan ini membuat banyak saudagar yang bergabung
dan mengikuti berbagai kegiatan dakwah. Abu Sufyan Al-Hasan kemudian
menikah dan membangun sebuah masjid, ia dikenal sebagai orang yang
baik, rajin beribadah sehingga mampu menarik perhatian penduduk dan
mereka berkumpul untuk mengaji kepadanya. Semakin hari semakin
banyak penduduk yang mengaji dan mendengarkan ceramah. Dengan
2 Ibid, hlm.97
3 Tahun meninggal tidak diketahui
4 Murmajannah adalah sebuah kota di Ifriqiya yang menjadi tempat tinggal kabilah
Hawarah Berber. . Lihat, Muhammad Suhail Thaqqusy, Bangkit Dan Runtuhnya Daulah
Fatimiyah, (Jakarta : PustakaAl Kautsar, 2015), hlm.99
18
kejadian ini membuat kota Murmajannah bagaikan negeri hijrah bagi para
masyarakat Syiah. Syiah menjadi madzhab yang paling banyak dipilih dan
bahkan mendapat julukan sebagai Kufah kecil.
Sementara itu Abdullah bin Ali bin Ahmad diutus untuk bedakwah
ke negeri Barbar, ia berhasil mensyiahkan pengikutnya dengan cara yang
sama seperti halnya Abu Sufyan Al-Hasan. Gerakan dakwah mereka
berdua terbilang berhasil, keberhasilan ini membuat Abu Abdullah al-
Husain bin Ahmad ad-Dai sebagai penerus dakwah Ismailiyah hanya
tinggal mengaplikasikan semua konsep ideologis yang telah disampaikan
oleh Abu Sufyan Al-Hasan dan Abdullah bin Ali bin Ahmad.
2. Abu Abdullah al-Husain bin Ahmad as-Syi’i5
Ia merupakan penerus dari dakwah Abu Sufyan Al-Hasan bin Al-
Qasim Abdullah bin Ali bin Ahmad. Ia bertugas untuk mengaplikasikan
segala sesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulunya. Ia dikenal
sebagai orang yang cerdas, berilmu, religius, amanah, jujur, dan tidak
bersikap berlebihan. Dengan sikap yang demikian para penguasa Daulah
Aghlabiyah6 terutama gubernur kota Mila yang bernama Musa bin
Ayyasy tidak suka dengan adanya dakwah Ismailiyah. Sehingga terjadi
konflik sampai akhirnya kota Mila berhasil direbut oleh asy-Syi’i dan
menjadikan Abu Yusuf Makinun bin Dhabarah al-Ajani sebagai gubernur
baru.
Kota Mila menjadi kota pertama di bawah kekuasaan Daulah
Aghlabiyah yang sukses diambil alih oleh asy-Syi’i. Dengan demikian
konflik antara asy-Syi’i dengan penguasa Dinasti Aghlabiyah semakin
sengit. Abdullah II bertekad akan merebut kembali kota Mila dari
kekuasaan asy-Syi’i.
5 Tahun meninggal tidak diketahui
6 Daulah Aghlabiyah merupakan dinasti yang didirikan oleh Ibrahim bin Aghlab di kota
Aljaziriya dan Sisilia pada tahun 800 M. Ibrahim bin Aghlab merupakan seorang yang snagat
pandai dalam bidang administrasi, dengan kemampunanya tersebut ia mampu mengatur roda
peeintahan dengan baik. Dinasti Aghlabiyah berdiri selama 109 tahun terhitung dari 800-909 M.
Lihat, Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung : Pustaka Setia, 2008), hml 161
19
Perjuangan yang sangat luar biasa yang dilakukan oleh para
perintis Dinasti Fatimiyah ini berbuah manis dengan berdirinya Dinasti
Fatimiyah di Ifriqiyya. Sehingga pada abad ke 10 juga disebut sebagai
abad Syiah7 karena Syiah berhasil membangun kekuasaan dan sebuah
peradaban baru bagi sejarah umat Islam.
Abu Abdullah al-Husain bin Ahmad as-Syi’i mengirim surat
kepada Ubaidillah al-Mahdi untuk melakukan pertemuan dan membahas
beberapa hal mengenai masa depan Dinasti Fatimiyah dan setelah
pertemuan itu berlangsung Ubaidillah al-Mahdi ditunjuk untuk
meneruskan kepemimpinan Dinasti Fatimiyah dan menjadi khalifah
pertama Dinasti Fatimiyah.
B. Latar Belakang Berdirinya Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah merupakan salah satu dinasti yang pada awalnya
sebagian dari daerah propinsial yang berada di bawah naungan kekuasaan Dinasti
Abbasiyah. Dinasti Abbasiyah mempunyai kekuasaan yang sangat luas, sehingga
membuat banyak dari ibu kota propinsial tersebut mulai menunjukan
eksistensinya dan ingin melepaskan diri dari wilayah kekuasaan Dinasti
Abbasiyah serta memimpikan sebuah kerajaan atau dinasti yang mandiri.
Di antara dinasti–dinasti yang lahir dan melepaskan diri kekuasaan
Baghdad pada masa Dinasti Abbasiyah terdiri dari daerah yang berbangsa Persia
yaitu : Dinasti Thahiriyah di Khurasan, Shafariyah di Fars, Samaniyah di
Transoxania, Sajiyyah di Azerbaijan, dan Buwaihiyah. Kemudian dari yang
berbangsa Turki yaitu : Thuluniyah di Mesir, Ikhsyidiyah di Turkistan,
Ghaznawiyah di Afghanistan, dan Dinasti Saljuk yang kemudian dapat merebut
Baghdad pada tahun 1037 M.8 Dengan banyaknya dinasti-dinasti yang mulai
melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah maka kekuasaan Dinasti
Abbasiyah lambat laun menjadi lemah dan berujung kepada kehancuran.
7 Kerens Amstrong, Islam Sejarah Singkat, (Yogyakarta : Jendela 2002) hlm 111
8 Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011),
Hlm.65.
20
Proses melepaskan diri dari kekuasaan dinasti Abbasiyah melalui cara
yang menurut mereka tepat yakni : Pertama salah seorang pemimpin lokal
memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.
Kedua, seorang yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah dan kedudukannya
semakin bertambah berat.9 Setelah berhasil melepaskan diri dari kekuasaan dinasti
Abbasiyah mereka mulai membangun wilayah kekuasaan yang berdiri sendiri
serta mulai berusaha untuk melakukan ekspansi10
ke wilayah di sekitarnya.
Dinasti Fatimiyah mempunyai misi tersendiri jika mereka berhasil lepas
dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah, mereka ingin membuat negara yang mempu
menjadi saingan bagi Dinasti Abbasiyah dan ingin membuktikan sebagai dinasti
yang disegani oleh dinasti lain.
Dinamakan Dinasti Fatimiyah karena dinasti ini dinisbatkan nasabnya
kepada puteri Rasulullah SAW Fatimah Az-Zahra, istri dari Ali bin Abi Thalib.
Dinasti Fatimiyah didirikan oleh Ubaidillah Al-Mahdi (w. 934 M) yang
merupakan cucu dari Ismail bin Ja’far Shadiq (w. 765 M). Sedangkan Ismail
sendiri merupakan Imam Syiah yang ke-Tujuh. Menurut mereka sesudah Jafar as
Shidiq yakni imam yang ke enam imamah itu tidak diberikan kepada puteranya
yaitu Musa al-Kazim (w. 799 M) akan tetapi berpindah pada puteranya yang lain
yang bernama Ismail.11
Meskipun Ismail telah meninggal, mereka kaum Syiah
Ismailiyah tidak mengakui Musa al-Kazhim (w. 799 M) sebagai imam dan hak atas
Ismail sebagai imam tidak dapat dipindahkan. Pada awalnya Dinasti Fatimiyah
tidak melakukan aktvitasnya secara jelas sampai munculnya sosok Abdullah bin
Maimun (w. 847 M) yang membentuk Syiah Ismailiyah sebagai suatu sistem
politik keagamaan.
Perlu diketahui bahwa sebenarnya silsilah Dinasti Fatimiyah berasal dari
Ismail bin Ja’far (w. 765 M), ia mempunyai putera yang bernama Muhammad bin
Ismail atau Maimun al-Qaddah (w. 813 M) ia ditunjuk untuk melanjutkan
9 Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung : Pustaka Setia, 2008), hlm.156
10 Menurut KBBI Ekspansi dapat diartikan sebagai upaya perluasan wilayah suatu negara
atau kerajaan dengan cara menduduki wilayah negara atau kerajaan yang lain. Lihan di
https://www.kbbi.web.id/ekspansi. Diakses pada 23 Februari 2018 pukul 17:25 WIB
11 A. Syalibi. Sejarah kebudayaan Islam 2. (Jakarta: PT Pustaka Al-Husna Baru 2008),
hlm 186
21
kekuasaan ayahnya. Kemudian dilanjutkan oleh Abdullah bin Maimun (w. 874 M
) dan sebelum meninggal ia menunjuk Husayn bin Abdullah dan pada tahun 909
M muncul Said bin Husyan (Ubaidillah al-Mahdi) (w. 934 M) memproklamirkan
diri sebagai khalifah pertama Dinasti Fatimiyah. Namun, sejak Muhammad bin
Ismail sampai Husyan bin Abdullah keberadaan mereka disembunyikan karena
ditakutkan akan diketahui oleh Dinasti Abbasiyah.12
Setelah imam ke tujuh mereka yakni Ismail bin Ja’far Shadiq (w. 765 M)
meninggal, kaum Syiah Ismailiyah mulai melancarkan propaganda politik di
bawah kepemimpinan Abdullah bin Maimun (w. 874 M) . Dalam melancarkan
propaganda tersebut Abdullah bin Maimun (w. 874 M) mengirimkan utusannya
ke seluruh wilayah muslim yang bertujuan untuk menyebarkan ajaran Syiah
Ismailiyah. 13
Sebelum Abdullah bin Maimun (w. 874 M) meninggal, ia menunjuk Abu
Abdullah al-Husayn al Syi’i14
sebagai pemimpin Syiah Ismailiyah, ia merupakan
penduduk asli Yaman yang sampai ke abad sembilan ia mengaku sebagai wakil
al-Mahdi. Setelah penunjukan tersebut Ia kemudian melakukan perjalanan ke
Afrika Utara dan menyebarkan hasutan di tengah-tengah suku Barbar, khususnya
Suku Kintamah. Pada saat itu keadaan Afrika Utara di bawah penguasaan Dinasti
Aghlabiyah yang sedang dipimpin oleh Ibrahim bin Muhammad, mereka mencoba
menekan Syiah Ismailiyah namun tidak berhasil. Hal serupa dilakukan oleh
putranya yakni Ziyadatullah namun tetap saja tidak berhasil.
Abu Abdullah al-Husayn mengirimkan surat kepada Said bin Husain as-
Salamiyah (w. 934 M) agar segera menemuinya dan untuk menggantikan
posisinya sebagai pemimpin Ismailiyah. Setelah pertemuannya dengan Abu
Abdullah al-Husayn, Said memproklamirkan dirinya sebagai cucu dari imam
Ismail dan akan mulai membangun Dinasti Fatimiyah.15
Abu Abdullah al-Husayn dan Said bin Husain as-salamiyah (Ubaidillah al-
Mahdi) bekerja sama dan akhirnya mampu merebut kekuasaan Ziyadatullah, dan
12
Lihat, Lampiran 2, halaman 66
13 Samsul. Op .Cit. hlm 255
14 Abu Abdullah al-Husayn al Syi’i merupakan salahsatu tokoh Syiah Ismailiyah di
Magrib pada fase kedua.
15 Samsul. Op. Cit, hlm.155
22
Said kemudian menyatakan diri sebagai imam dengan gelar Ubaidillah Al-
Mahdi.16
Dengan demikian berdirilah Dinasti Fatimiyah di Afrika Utara pada
tahun 909 M dan Ubaidillah al-Mahdi sebagai khalifah pertama. Dinasti
Fatimiyah menduduki Ifriqiya (Tunisia) sebagai pusat pemerintahannya karena
wilayah ini merupakan pusat pemerintahan Dinasti Aghlabiyah yang telah mereka
taklukkan. Dinasti Aghlabiyah terpaksa harus mengasingkan diri ke pulau Sicilia
dan bertahan disana dengan memindahkan ibukota ke Palermo. Dengan demikian
wilayah Afrika Utara dan Afrika Barat jatuh dibawah kekuasaan Dinasti
Fatimiyah.17
Dengan kejadian tersebut maka resmilah sebuah dinasti baru yang
bernama Dinasti Fatimiyah yang dipimpin oleh Ubaidillah al-Mahdi. Al-Mahdi
memiliki pendukung yang sangat fanatik yakni dari bangsa Barbar yang telah
menjadi pengikut Syiah Ismailiyah. Mereka membantu melawan Dinasti
Aghlabiyah yang merupakan aliran sunni dan masih berada di bawah penguasaan
Abbasiyah. Seperti diketahui bahwa suku Barbar melakukan pemberontakan
terhadap penguasa di Baghdad. Mereka mempunyai dendam karena masih satu
keturunan dengan penguasa Umayyah yang dikalahkan oleh Dinasti Abbasiyah di
Baghdad.
Kehadiran Dinasti Fatimiyah ini menjadi pesaing bagi Dinasti Abbasiyah
di Baghdad dan Dinasti Umayyah di Spanyol. Dinasti Fatimiyah mampu
menorehkan tinta emas prestasi yang sangat luar biasa terhadap sejarah Islam di
dunia. Bukti dari prestasi Dinasti Fatimiyah ini terlihat dari tempat-tempat yang
menjadi pusat peradaban Islam. Tidak hanya Baghdad, Spanyol, Samarkand akan
16
Pada awalnya gelar yang diberikan adalah Abdullah yang mempunyai arti hamba Allah
yang selanjutnya lebih seringdikenal dengan panggilan Ubaidillah al-Mahdi yang artinya Hamba
timangan dari Allah. Pemberian gelar ini sangatlah beralasan karena Said menyatakan bahwa
dirinya merupakan turunan dari Nabi Muhammad SAW melalui puterinya yang bernama Fatimah
dan menjadi isteri dari Ali bin Abi Thalib, melalui putera bungsu Husayn ibn Ali, yang masih
terhubung dengan silsilah Ismail (w.761 M) yang merupakan putera sulung dari imam ke enam
yakni Jafar al Shadiq (w. 766 M). Alasan lain mengapa said diberi gelar Ubaidillah al-Mahdi
adalah bahwa ia menjanjikan akan membangun kerajaan Allah yang penuh dengan rasa keadilan
dan kesejahteraan. Lihat, H.M Joesoef Sou’yb. Syiah Studi Tentang Aliran-Aliran Dan Tokoh-
Tokohnya. (Jakarta : PT. Al Husna Zikra. 2008) Hlm 172-173.
17 H.M Joesoef Sou’yb. Syiah Studi Tentang Aliran-Aliran Dan Tokoh-Tokohnya.
(Jakarta : PT. Al Husna Zikra. 2008) Hlm 173
23
tetapi dengan lahirnya Dinasti Fatimiyah menjadikan Mesir sebagai pusat
peradaban Islam.18
Pada awalnya proses pembentukan dinasti mencakup penaklukan kota, di
mana dinasti penakluk akan memindahkan segala administrasi keperintahan ke
dinasti yang ditaklukan. Kota yang telah ditaklukan biasanya akan menjadi lebih
makmur dan mengalami peningkatan dalam berbagai sektor.19
Hal serupa
dilakukan oleh Dinasti Fatimiyah ketika mereka ingin mendapatkan beberapa kota
mereka berhasil melakukan propaganda dan mampu menancapkan panji
kekuasaanya di Afrika Utara, sehingga Dinasti Fatimiyah mempunyai kekuasaan
yang sangat luas.
Dinasti Fatimiyah mempunyai kekuasaan yang sangat luas dan terbagi
menjadi dua periode. Yakni periode Afrika Utara (909-974 M) dan periode Mesir
(975-1171 M). Dinasti Fatimiyah berkuasa selama 2 abad yakni di Afrika Utara
selama 65 tahun dan di Mesir selama 196 tahun. Ketika berkuasa di Afrika Utara
Dinasti Fatimiyah membuat gebrakan yang luar biasa yakni melakukan perluasan
wilayah. Agar kekuasaannya semakin luas khalifah al-Mahdi mengambil
kebijakan untuk melakukan perluasan wilayah dan pembangunan wilayah-wilayah
dengan cara menekankan kinerja politik.
Setelah pendeklarasian Ubaidillah al-Mahdi sebagai Khalifah pertama
Dinasti Fatimiyah, al-Mahdi dapat menguasai Dinasti Rustamiyah dan menyerang
Dinasti Idrisiyah yang pada saat itu sedang menguasai Maroko. Pada tahun 914 M
ia berhasil menguasai Iskandariah, tak berselang lama pada tahun 916 M giliran
Delta yang takluk oleh al-Mahdi. Masih ditahun yang sama al-Mahdi
mengirimkan delegasinya yakni seorang gubernur baru dari suku Kitamah ke
Sisilia untuk menjalin hubungan pertemanan dengan seorang pemberontak yang
bernama Ibn Hafshun di Spanyol. Tidak hanya ke Spanyol, akan tetapi ke Malta,
18
Moh. Nurhakim, Jatuhnya Sebuah Tamadddun. (Jakarta : Kementrian Agama
Indonesia, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direkorat Pendidikan Tinggi Islam : Jakarta.
2012), hlm.111
19 Albert Hournain. Sejarah Bangsa Bangsa Muslim. (Bandung : Mizan, 2004) hlm. 271-
272
24
Sardania, Corsica, Balearic, dan wilayah lain yang menjadi daerah bekas
kekuasaan Dinasti Aghlabiyah.20
Setelah berhasil melakukan ekspansi dan berhasil menaklukan beberapa
daerah, pada tahun 920 M Ubaidillah al-Mahdi mendirikan sebuah kota di pesisir
pantai Tunisia yang diberi nama kota al-Mahdi. Upaya al-Mahdi dalam
melakukan perluasan wilayah tak hanya puas sampai di sini saja, ia sangat ingin
menaklukan Mesir namun upayanya mengalami kegagalan.21
Ubaidillah al-Mahdi sangat berambisi untuk bisa menaklukan Spanyol dari
kekuasaan Dinasti Umayyah bahkan sampai melakukan ikatan persahabatan
dengan pemimpin pemberontak di Spanyol. Namun sayang usahanya gagal karena
ia meninggal dunia pada tahun 934 M. Keinginannya untuk memperluas daerah
kekuasaan dan untuk menyebarkan paham pun sirna, namun meskipun demikian
ia telah membawa Dinasti Fatimiyah menjadi dinasti yang mulai diperhitungkan
dan menjadikan Dinasti Fatimiyah sebuah dinasti yang mampu menciptakan
peradaban Islam.
Hal serupa dilakukan oleh khalifah ke dua yakni Abu al-Qasim
Muhammad (w. 946 M) yang diberi gelar al-Qaim. Ia adalah putera dari
Ubaidillah al-Mahdi yang menggantikan ayahnya yang telah meninggal. Al-Qaim
(w. 946 M) melanjutkan misi sang ayah kali ini tepat pada tahun 934 M al-Qaim
(w. 946 M) memutuskan untuk melakukan perluasan wilayah, targetnya yakni
Pantai selatan Prancis. Dalam misinya kali ini al-Qaim (w. 946 M) membawa
pasukan yang sangat banyak, namun usahanya tidak sia-sia dengan pasukan yang
dibawanya al-Qaim (w. 946 M) berhasil menduduki Genoa dan wilayah
sepanjang pantai Calabria. Para pasukan al-Qaim sangatlah kejam mereka tidak
segan-segan melakukan pembunuhan, penyiksaan, kapal-kapal dibakar dan
merampas para budak.22
Pada tahun 945 M Dinasti Fatimiyah sudah mampu
menguasai Tunisia secara keseluruhan bahkan daerah sekelilingnya dan Sisilia
telah mereka kuasai.
20
Philip K Hitti. History Of The Arab, Terj.Cecep Lukman Dan Dedi Slamet Riyadi.
(Jakarta : Serambi Ilmu Pustaka. 2008), hlm.789
21 Abdul Syukur al-Azizi. Sejarah Terlengkap Peradaban Islam. (Depok : PT Huta
Parhapuran 2007), hlm.240
22 Samsul. Op Cit, hlm.257
25
Tidak hanya di pantai selatan Prancis, pada saat yang bersamaan al-Qaim
(w. 946 M) mengirimkan pasukannya untuk menyerang Mesir, akan tetapi mereka
mendapatkan perlawanan dari pasukan Iksindiyah bahkan pasukan al-Qaim (w.
946 M) mengalami kekalahan sehingga mereka terusir dari Alexandria. Al-Qaim
(w. 946 M) sangat sukses dalam melakukan ekspansi meskipun terkadang harus
kalah dari lawannya tapi ia tidak pantang menyerah. Ia dikenal sebagai prajurit
yang pemberani bahkan ketika melakukan misinya. Ia dengan gagah berani
memimpin pasukannya. Dengan keberaniannya tersebut, ia menjadi khalifah
Fatimiyah pertama yang mampu menguasai Laut Tengah.
Meskipun Dinasti Fatimiyah sukses dalam hal ekspansi di bawah
pimpinan al-Qaim (w. 946 M) yang dibuktikan dengan keberhasilannya
menaklukkan beberapa negara tidak membuat Dinasti Fatimiyah aman dari
serangan para pesaingnya. Pemerintahan al-Qaim (w. 946 M) mendapatkan
perlawanan dari kaum Khawarij yang pada saat itu dipimpin oleh Abu Yazid
Makad. Selama tujuh tahun terjadi perlawanan antara Dinasti Fatimiyah dengan
kaum Khawarij, selama itulah Dinsti Fatimiyah mampu melancarkan serangan-
serangan akan tetapi kaum Khawarij sangatlah kuat bahkan sampai mampu
menghalau serangan pasukan al-Qaim.23
Pada tahun 946 M terjadi pemberontakan di Susa’ yang pada saat itu di
pimpin oleh Abu Yazid. Dalam pemberontakan tersebut pemimpin dinasti
Fatimiyah yakni al-Qaim meninggal. Kabar meninggalnya al-Qaim (w. 946 M)
membuat Dinasti Fatimiyah berduka, mereka kehilangan sosok pemimpin yang
pemberani, tidak pantang menyerah. Al-Qaim (w. 946 M) telah membawa
Dinasti Fatimiyah berada dalam wilayah kekuasaan yang luas, bukti bahwa
keberadaan dinasti ini lambat laun mulai menunjukan eksistensinya.
Al-Qaim meninggal pada tahun 946 M dan secara otomatis Abu Thahir
Ismail (w. 953 M) yang diberi gelar sebagai khalifah al-Manshur, ini merupakan
putera dari al-Qaim (w. 946 M), diangkat menjadi khalifah. Ia mendapatkan
julukan Al-Mansur ketika mulai memegang kekuasaan, pada umur tiga puluh
tahun ia diangkat menjadi Khalifah. Al-Mansur (w. 953 M) mempunyai sifat
yang sangat baik, bijak, dan cerdas. Al- Manshur diangkat menjadi putera
23
Ibid, hlm.257
26
mahkota semenjak sang ayah menjadi khalifah. Dalam ajaran Syiah Ismailiyah
mewajibkan orang yang akan memegang kekuasaan setelah imam (khalifah
sebelumnya) wafat agar menentukan hujjah dan merahasiakan sebelum imam
tersebut meninggal dan dimakamkan.
Al-Manshur (w. 953 M) menjadi Khalifah selama tujuh tahun yakin dari
tahun 946-952 M, ia secara resmi diangkat menjadi khalifah pada tanggal 12
April 946 M. Sementara kondisi di Ifriqiya ketika al-Manshur (w. 953 M)
menjadi khalifah sangatlah kacau dan kondisi pemerintahan sangat sulit, hal ini
disebabkan karena Dinasti Fatimiyah sedang mendapatkan serangan dari Abu
Yazid24
dan para pengikutnya, sampai akhirnya al-Mansur (w. 953 M) dan
pasukannya tersudutkan di sebuah sudut ibukotanya. Dengan keadaan yang
demikian al-Manshur (w. 953 M) harus berjuang keras agar bisa melawan
pasukan Abu Yazid. 25
Al-Manshur (w. 953 M) berhasil menghancurkan kekuatan pasukan Abu
Yazid, ia tidak putus asa dan berjuang keras untuk mempertahankan Dinasti
Fatimiyah. Tidak hanya Abu Yazid yang berbuat onar akan tetapi anaknya juga
sering membuat keributan. Namun dengan segala keberaniannya al-Manshur (w.
953 M) mampu mengatasi perlawanan Abu Yazid beserta putera dan pasukannya.
Seluruh wilayah di Afrika Utara masih bisa diamankan dan masih tetap tunduk di
bawah naungan Dinasti Fatimiyah. Al- Manshur (w. 953 M) membangun sebuah
kota yang sangat megah di perbatasan Susa’ yang diberi nama kota al-
Manshuriyah. Pada tahun 953 M khalifah al-Manshur meninggal dan ia
menunjuk puteranya yang bernama al-Muiz.
Al-Muiz (w. 975 M) merupakan putera dari al-Manshur (w. 953 M) dan
menjadi tokoh terkemuka yang mampu bersaing dalam penguasaan ilmu
pengetahuan, strategi dan kebijakan, taktik perang, dan mampu menguasai
beberapa bahasa yakni bahasa Latin, bahasa Sicilia, bahasa Sudan. Dengan latar
belakang yang demikian membuat khalifah al-Muiz (w. 975 M) mampu
24
Abu Yazid Makhalad bin Kidad merupakan seorang pemberontak dari kaum Khawarij.
Ini terjadi akibat dari jatuhnya daulah Khawarij di Taherz. Lihat, Muhammad Suhail Thaqqusy,
Bangkit Dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah, (Jakarta : PustakaAl Kautsar, 2015), hlm. 182
25 Muhammad Suhail Thausiqqusy, Op.Cit, hlm.203
27
membawa rakyatnya merasakan kedamaianan kemakmuran serta memperluas
wilayah kekuasaan Dinasti Fatimiyah.
Al-Muiz (w. 975 M) mampu memperluas wilayah kekuasaanya hingga
Maroko, Sicilia, dan Mesir, Palestina, Suriah, serta mengambil penjagaan
terhadap tempat suci di Hijaz.26
Pada masa al-Muiz (w. 975 M) ini menjadi batu
loncatan bagi Dinasti Fatimiyah di mana ibukotanya dipindah yang tadinya berada
di Ifriqia sekarang dipindah ke Mesir. Al-Muiz (w. 975 M) mengutus seorang
jendral yang bernama Jauhar as-Siqili untuk melakukan ekspansi ke beberapa
wilayah, Jauhar as-Siqili berhasil menguasai Afrika Utara sehingga al-Muiz (w.
975 M) menugaskan Jauhar untuk pergi ke Mesir agar bisa meneruskan cita-cita
para pendahulunya yang selalu gagal jika menaklukan Mesir.
Al-Muiz (w. 975 M) menyiapkan 100.000 prajurit yang terdiri dari prajurit
berkuda dan beberapa kapal laut. Sebuah ekspansi yang sangat besar dan tertata
rapi Jauhar as-Siqili ditunjuk menjadi komandan pasukan dan bergegas menuju
Iskandaria dan dengan tanpa perlawanan dari penduduk setempat Jauhar bisa
menaklukan Iskandaria. Datangnya pasukan Dinasti Fatimiyah ini kemudian
diketahui oleh orang-orang Fustat, tak lama kemudian karena orang-orang Fustat
tak menginginkan pertumpahan darah maka mereka mengutus beberapa orang
untuk bisa bernegoisasi dengan Jauhar as-Siqili secara damai. Jauhar berjanji
setiap orang Fustat bebas dalam melakukan aktivitas beragama, mengamalkan
madzhab-madzhab yang telah mereka percayai dan berjanji untuk memberikan
keadilan27
.
Demi mendapatkan dukungan dari penduduk Mesir Jauhar juga
memberikan jaminan kebijakan pemerintahan Dinasti Fatimiyah yakni kebijakan
dalam negeri, kebijakan luar negeri, keamanan dan administrasi. Hal ini dilakukan
agar masyarakat Mesir tidak merasa takut dengan hadirnya penguasa baru
sehingga banyak masyarakat yang menerima Dinasti Fatimiyah dan berharap
Dinasti Fatimiyah mampu mengatasi segala masalah yang sedang melanda Mesir
saat itu.
26
Khoiriyah, Sejarah Islam Dari Arab Sebelum Islam Hingga Dinasti-Dinasti Islam.
(Yogyakarta : Teras, 2012 ), hlm.173
27 Secara perlahan nama-nama khalifah Abbasiyah mulai dihilangkan pada saat khutbah
Jum’at dan paham-paham Ismailiyah mulai dimasukan dan mendoktrin orang-orang Mesir.
28
Dengan perjanjian tersebut maka resmilah Mesir menjadi daerah baru
Dinasti Fatimiyah, kemudia Jauhar mulai menata dan membangun kota ini dengan
memberi nama al-Qahirah yang mempunyai arti kota kemenangan, dan sekarang
terkenal dengan sebutan kota Kairo. Jauhar kemudian meminta agar al-Muiz
segera datang ke Mesir dan tepat pada tahun 973 M kota Kairo menjadi pusat
pemerintahan Dinasti Fatimiyah.28
Setelah Mesir berada di bawah naungan Jauhar bukan berarti tugasnya
sudah selesai, tugas utamanya yakni, Pertama, mendirikan ibukota baru yaitu
Kairo, tugas ini telah ia selesaikan dengan baik. Kedua, memperluaskan ideologi
Fatimiyah yakni Syiah Ismailiyah ke beberapa negara yakni ke Palestina dan
Hijaz. Ketiga, merencanakan untuk membina sebuah Universitas Islam yang kini
disebut dengan Universitas al-Azhar. Baru kertika masa khalifah al-Aziz tugas ini
terealisasi dan merubah fungsi masjid al-Azhar menjadi Universitas al-Azhar.29
Kegelisahan al-Muiz (w. 975 M) mengenai sosok yang akan menggantikan
dirinya di Ifriqiya semakin bertambah, ia enggan mengangkat sembarang orang
bahkan sekelas Jaudzar30
yang digadang-gadang sangat pantas menggantikan al-
Muiz (w. 975 M) tapi ia tidak memilihkan karena Jaudzar berasal dari kabilah
Ash-Shiqili. Ia malah memilih Ja’far bin Ali Az-Zanati untuk memimpin Ifriqiya,
Ja’far bin Ali tidak langsung menerima tawaran tersebut ia memberikan syarat
jika dirinya diminta menjadi pemimpin Ifriqiya.31
Namun al-Muiz (w. 975 M)
menolak karena Syarat yang diberikan Ja’far sangat tidak masuk akal, al-Muiz tak
ingin kehilangan semua wilayah Ifriqiya dan Maghrib karena kedua wilayah
28
Abdul Syukur al-Azizi, Op.Cit. hlm.204
29 Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta : Kencana, 2003), hlm.144
30 Jauzar merupakan orang kepercayaan al-Muiz yang diberi amanah untuk pergi ke al-
Mahdiyah untuk mengontrol perekonomian dan memperketat pengiriman barang-barang ke Timur.
Lihat. Muhammad Suhail Thaqqusy, Bangkit Dan Runtuhnya Daulah Fatimiyah, (Jakarta :
PustakaAl Kautsar, 2015), hlm 325
31 Syarat yang diberikan Ja’far bin Ali jika al-Muiz tetap menunjuknya sebagai pemimpin
di Ifriqiya yakni meliputi :
a. Al-Muiz meninggalkan salahsatu anaknya atau saudaranya untuk duduk bersama di
istana.
b. Ja’far ingin menjadi penguasa yang merdeka, bebas berbuat apasaja tanpa diperintah.
c. Ja’far berhak memimpin pengadilan sendiri dan tidak mengirim upeti ke Mesir.
29
tersebut sedang dalam proses pembangunan. Al-Muiz (w. 975 M) merasa apa
yang dilakukan Jafar akan merugikan Dinasti Fatimiyah sehingga ia kemudian
memanggil Bulkin bin Zaeri bin Mannad Ash- Shanhaji yakni seorang pemuka
kabilah Shanhaji yang sangat loyal terhadap orang-orang Fatimiyah. Setelah
merasa cocok dengan sosok Bulkin bin Zaeri ia melepas pedangnya dan langsung
diberikan kepada Bulkin bin Zaeri dan mengalungkan tali miliknya serta
memberikan nama Arab yang bernama Yusuf dan memberikan gelar Saif Ad-
Daulah tidak lupa ia memberikan seekor kuda terbaiknya.32
Meskipun demikian al-Muiz (w. 975 M) tetap merasa khawatir jika suatu
saat Afrika Utara akan lepas dari genggaman Dinasti Fatimiyah setelah pindah ke
Mesir. Kekhawatiran al-Muiz (w. 975 M) cukup beralasan. Pertama, ia
menganggap bahwa jarak antara Mesir dan Afrika Utara sangat jauh. Kedua,
luasnya padang gurun yang berada di antara Mesir dan Afrika. Ketiga, ia
mengetahui bahwa orang-orang Shanhaji ingin mendirikan negara sendiri.
Keempat. Ia mengakui bahwa ini merupakan langkahnya yang terakhir sebelum ia
meninggakan Afrika Utara untuk selamanya.33
Sebelum meninggalkan Afrika Utara, al-Muiz (w. 975 M) memberikan
wasiat kepada Bulkin bin Zaeri bin Mannad Ash- Shanhaji sebagai bekal
menjalankan pemerintahan di Ifriqiya dan wilayah Maghrib. Berikut adalah
wasiat yang al-Muiz (w. 975 M) berikan :
1. Jangan hapus pajak dari penduduk pedalaman dan siapkan pedang bagi
orang-orang Barbar.
2. Tidak mengangkat siapapun dari saudara maupun anak pamannya,
karena hal itu akan membuat mereka berpandangan bahwa dia lebih
berhak menduduki jabatan dari pada Bulkin.
3. Perlakukan penduduk perkotaan dengan baik.34
Sebelum al-Muiz (w. 975 M) pindah ke Mesir ia mempersiapkan seluruh
kekayaan yang akan ia bawa selain itu juga terdapat tiga jasad leluhurnya yang
32
Muhammad Suhail Thausiqqusy. Op.Cit, hlm.327
33 Ibid, hlm.329
34 Ibid. hlm.331
30
sebelumnya memegang kekuasaan di Afrika Utara untuk dibawa dan akan
dikuburkan di Mesir. Ini bertanda bahwa al-Muiz akan meninggalkan Afrika
Utara dan akan menetap selamanya di Mesir.
Pada tahun 972 M al-Muiz (w. 975 M) resmi meninggalkan Afrika Utara
dengan didampingi oleh sejumlah tokoh-tokoh negarawan, keluarganya yang
masih terdapat garis keturunan dari ayahnya. Untuk menuju Mesir al-Muiz (w.
975 M) beserta rombongan menggunakan kapal yang sangat besar sehingga
mampu menampung banyak barang yang akan di bawa ke Mesir.
Al-Muiz (w. 975 M) tiba di Kairo dan langsung disambut oleh Jauhar Ash-
Shiqili. Jauhar menemani al-Muiz (w. 975 M) menuju al-Qasrh Asy-Syarqi yang
telah ia bangun khusus untuk al-Muiz (w. 975 M) sebagai tempat tinggalnya. Al-
Muiz (w. 975 M) banyak kedatangan tamu mulai dari masyarakat, para pejabat
pemerintahan, para ilmuan, dan para hakim. Mereka memberikan ucapan selamat
kepada al-Muiz (w. 975 M).
C. Perkembangan Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah berhasil membuat dinasti baru tidak lepas dari peranan
suku Berber, pada awal pembentukannya Dinasti Fatimiyah memilih Tunisia
sebagai ibukota. Pemilihan Tunisia dijadikan pusat pemerintahan cukup beralasan
yakni sebagian penduduk Tunisia merupakan orang-orang Berber yang
mempunyai keinginan untuk bisa membalaskan kekalahan Bani Umayah yang
telah disingkirkan dari Baghdad oleh Dinasti Abbasiyah. Sehingga Dinasti
Fatimiyah mampu dengan mudah mendapatkan dukungan dari suku Berber karena
mempunyai tujuan yang sama yakni menggeser kekuasaaan Dinasti Abbasiyah.35
Setelah berhasil menempatkan Tunisia sebagai ibukota, Dinasti Fatimiyah
mulai melakukan perluasan wilayah. Kekuasaan sebuah wilayah dapat dilihat dari
seberapa berpengaruhnya suatu kerajaan atau Dinasti dalam melakukan perluasan
wilayah yang kemudian akan membuat dinasti tersebut semakin kuat baik dari
segi politik, ekonomi, dan sosial. Banyak cara yang harus ditempuh bagi suatu
dinasti atau kerajaan untuk melakukan perluasan wilayah yakni dengan cara
35
Abrari Syauqi, dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Yogyakarta : Aswaja Pressindo 2016 )
hlm 106
31
peperangan, melakukan negoisasi, dan lain-lain. Hal serupa terjadi pada Dinasti
Fatimiyah, untuk melebarkan sayap kekuasaannya dinasti ini melakukan
peperangan dan negoisasi dalam merebut dan menguasi sebuah negara.
Selama kurun waktu dua abad dinasti ini telah menguasai beberapa
wilayah di antaranya, Afrika Utara, Sisilia, Syiria yang merupakan wilayah
kekuasaan dari Dinasti Abbasiyah, Dinasti Umayyah di Spanyol, dan Dinasti
Aghlabiyah di Maroko.36
Dengan demikian kekuasaan Dinasti Fatimiyah
sangatlah luas yang membentang dari Samudera Atlatik di sebelah Barat, dan
Sungai Euprath di sebelah Timur, Pulau Sisilia di sebelah Utara dan Yaman di
sebelah Selatan. Dengan kekuasaan wilayah yang sangat luas ini maka pantas jika
secara politis Dinasti Fatimiyah akan menjadi ancaman bagi kekuasaan Dinasti
Abbasiyah.
a. Kondisi sosial
Keberhasilan Ubaidillah al-Mahdi menjadikan Ifriqiya sebagai
ibukota negara Dinasti Fatimiyah membuat kondisi sosial Afrika Utara
semakin memanas. Paham Sunni yang menjadi mayoritas masyarakat Afrika
Utara mulai tergoncang. Keberadaan Dinasti fatimiyah yang di dukung oleh
suku Berber mulai menyebarkan paham Syiah Ismailiyah, sehingga secara
tidak langsung membuat kaum Sunni merasa khawatir jika suatu saat mereka
akan di doktrin mengenai Syiah Ismailiyah. Namun tidak demikian, Dinasti
Fatimiyah memberikan kebebasan bagi kaum Sunni. Ini di lakukan agar
mereka dapat di terima oleh masyarakan kaum Sunni dan mereka dapat
mengambil alih pemerintahan tanpa ada hambatan dari rakyat Afrika Utara.
b. Kondisi Ekonomi
Kondisi ekonomi Dinasti Fatimiyah di Afrika Utara sangatlah stabil,
karena mempunyai iklim yang sangat bagus sehingga tahan-tanah sangatlah
subur dan sistem pertanian menjadi salah satu aset negara. Tidak hanya itu
dalam segi perdagangan Afrika Utara menjadi tempat transit bagi para
pedagang dari Eropa Selatan dan para pedagang Trans Sahara yang ikut
36
Moh. Nurhakim, Op. Cit, hlm.113
32
mendorong perkembangan kota dibawah kekuasaan Dinasti Fatimiyah.
Beberapa hasil tambang berupa emas dan kacang kola di tukarkan dengan
beberapa barang yang berasal dari Eropa. Melalui ini perkembangan Dinasti
Fatimiyah di Afrika Utara menjadi sangat pesat.37
c. Kondisi pemerintahan
Pada masa awal berdirinya Dinasti Fatimiyah sudah mampu
melebarkan kekuasaannya dengan menaklukan Alexandria dan kota-kota lain
seperti Malta, Syiria, Sardina, dan Corsica. Keberhasilan ini tak lepas dari
peran Ubaidillah al-Mahdi yang gigih dalam melakukan ekspansi wilayah.
Ekspansi ini terjadi pada tahun 910 M yang menjadi titik awal penyebaran
Syiah Ismailiyah.
Ekspansi selanjutnya dilakukan oleh al-Qaim (w. 946 M), ia
merupakan putra dari Ubaidillah al-Mahdi. Tak lama setelah ia diangkat
menjadi khalifah pada tahun 934 M ia sudah mengirimkan tentara ke Prancis
bagian pantai Selatan. Dengan sangat mudah al-Qaim (w. 946 M) beserta
pasukannya mendapatkan wilayah Prancis sehingga ia berniat untuk menuju
Genoa dan sepanjang pantai Calabria dan berhasil menduduki daerah tersebut
tanpa perlawanan yang berarti. Dalam ekspansi tersebut al-Qaim (w. 946 M)
beserta pasukannya banyak melakukan penyiksaan, pembunuhan, bahkan
sampai membakar kapal-kapal itu semua dilakukan karena kaum pribumi
melakukan perlawanan terhadap pasukan al-Qaim (w. 946 M).
Setelah al-Qaim (w. 946 M) wafat khalifah selanjutnya adalah al-
Muiz yang tidak lain adalah putra al-Qaim. Ketika al-Muiz (w. 975 M)
diangkat menjadi khalifah ia langsung memerintahkan pasukannya untuk
menaklukan Maroko. Tak butuh waktu lama bagi pasukan al-Muiz (w. 975
M) untuk bisa menaklukan Maroko kemudian al-Muiz (w. 975 M)
memerintahkan Hasan ibn Ali untuk merebut Spanyol namun usahanya gagal
37
Sadru K. Hasan, The Socio-Economic Aspects of the Fatimid Caliphate, dalam Ilm,
Volume 8, Nomor 2 dan 3 (Desember 1982 – Februari 1983). Hlm 1-2
33
karena pada masa itu Abdurrrahman III38
menyerbu wilayah Susa’. Terlepas
dari kegagalan tersebut al-Muiz mampu mengambil alih kekuasaan Sicilia
dari tangan kaisar Bizantium. Untuk menambah eksistensinya al-Muiz (w.
975 M) membangun Universitas kedokteran.39
Pada tahun 969 M ekspansi yang dilakukan oleh al-Muiz (w. 975 M)
mulai tertuju ke wilayah Mesir bahkan tahun yang sama kota Fustat jatuh ke
tangan pasukan al-Muiz. Melalui panglima Jauhar ash-Shiqili Dinasti
Fatimiyah berhasil menaklukan Mesir dan membangun sebuah kota yang
diberi nama Qahirah atau sekarang lebih populer dengan nama Kairo.
Penaklukan Mesir menjadi prestasi yang luar biasa bagi Dinasti Fatimiyah
yang kemudian pada tahun 973 M kota Kairo menjadi pusat pemerintahan
Dinasti Fatimiyah.
Keberhasilan al-Muiz (w. 975 M) menguasai Mesir sangat berdampak
bagi keadaan sosial Mesir, kala itu mayoritas penduduk merupakan penganut
Sunni sementara al-Muiz penganut Syiah Ismailiyah. Ketika itu di Mesir
berkembang empat madzhab fikih yakni: Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan
Hambali. Demi mempertahankan kekuasaannya al-Muiz (w. 975 M)
kemudian mengambil kebijakan agar saling mengayomi antara paham Syiah
dan penduduk paham Sunni dengan cara mengangkat hakim dari golongan
Sunni dan hakim dari golongan Syiah.40
Dua tahun setelah Dinasti Fatimiyah menjadikan Kairo sebagai
ibukota, al-Aziz (w. 996 M) diangkat menjadi khalifah menggantikan sang
ayah dan semenjak itu keadaan Mesir semakin membaik. Awal pemerintahan
khalifah Al-Aziz (w. 996 M) masih mengandalkan panglima Jauhar ash-
Shiqili untuk melakukan perluasan kekuasaan hingga pada tahun 976 M
menugaskannya untuk pergi ke Damaskus. Tiga tahun setelah Damaskus
38
Abdurrahman III merupakan salah satu khalifah yang memerintah pada masa Dinasti
Umayyah di Andalusia. Ketika ia menjadi khalifah kondisi Andalusia diliputi dengan
kesejahteraan dan selama ia menjadi khalifah yang terbilang sukses dalam mengurusi
pemerintahan. ia sebelumnya merupakan sorang amir namun pada tahun 929 M ia diangkat
menjadi khalifah. Pada tahun 961 M ia meninggal dunia.
39 Samsul Munir.Op.Cit, hlm.258
40 Jaih Mubaroq, Sejarah Peradaban Islam. (Bandung : Pustaka Bani Quraisy 2004) hlm
105
34
dikuasai al-Aziz (w. 996 M) kemudian menaklukan Palestina dan Hijaz.
Sementara wilayah Syam bagian Utara belum bisa mereka taklukan.
Al-Aziz meninggal pada tahun 996 M dan kemudian digantikan oleh
putranya yakni al-Hakim. Namun, Dinasti Fatimiyah di bawah kekhalifahan
al-Hakim mulai digoncang banyak permasalan hingga beberapa kota yang
pernah ditaklukan al-Aziz mulai melakukan pemberontakan. Pada tahun 997
M terjadi penyerangan penduduk Damaskus terhadap Dinasti Fatimiyah yang
mengakibatkan pasukan Dinasti Fatimiyah harus tunduk dan kembali
menyerahkan Damaskus ke ad-Dahiqin41
. Pada masa al-Hakim tidak banyak
melakukan ekspansi karena mereka lebih memfokuskan untuk membangun
kota Kairo. Pembangunan kota lebih diutamakan karena ingin membuat kota
pesaing bagi Dinasti Abbasiyah di Baghdad, salah satu bangunan yang
dibangun pada masa itu adalah Dar al-Hikmah sebuah perpustakaan yang
sangat besar dan menjadi pusat penyebaran paham Syiah Ismailiyah.
Setelah al-Hakim meninggal pada tahun 1021 M kondisi Dinasti
Fatimiyah sudah mulai banyak goncangan terlebih ketika menjadi khalifah
az-Zahir putra al-Hakim merasakan banyak cobaan di antaranya bencana
banjir yang melanda Mesir, beberapa daerah hingga kekurangan makanan dan
beberapa harga barang melonjak dan membuat penduduk menderita.
Beberapa faktor kemunduran yang terjadi akibat dari konflik intern di
mana perebutan kursi kekuasaan Perdana Menteri menjadi penyebabnya
sehingga ketika al-Muntasir (w. 1094 M) putra dari az-Zahir (w. 1035 M)
menjadi khalifah Dinasti Fatimiyah mengalami kemunduran yang sangat
drastis. Sementara beberapa wilayah yang dulunya tunduk kini mulai
memberontak. Raja di Afrika yang bernama Muiz bin Badis sudah tidak
menyebut nama khalifah Dinasti Fatimiyah ketika sedang berkhutbah bahkan
menyebut nama khalifah Dinasti Abbasiyah.42
Dinasti Fatimiyah benar-benar sudah berada dalam masa kemunduran,
sepeninggal al-Muntasir kerajaan Fatimiyah banyak dilanda konflik dan
41
Ad-Dahiqin merupakan salahsatu pemimpin pemberontakan yang mampu mengalahkan
pasukan Dinasti Fatimiyah, ia berasal dari Damaskus
42 Samsul Munir. Op.Cit, hlm.261
35
peperangan. Konflik tersebut melibatkan beberapa pihak di antaranya orang-
orang Turki, suku Berber, dan pasukan Sudan hingga mengakibatkan
kekuasaan Dinasti Fatimiyah menjadi lumpuh, kemerosotan ekonomi terjadi
selama tujuh tahun dan banyak penduduk kelaparan.
Beberapa khalifah penerusnya yakni al-Musta’li (w. 1101 M), Al-Amr
bin al-Musta’li (1101-1130 M), Al-Hafidz (1130-1149 M), Al-Zhafir (1149-
1154 M),al-Faiz (1154-1160 M) dan Al-Adhid (1160-1171 M). Mereka
diangkat menjadi khalifah ketika masih bayi dan kanak-kanak bahkan mereka
menjadi boneka kekuasaan oleh sanak saudaranya demi mendapatkan
keuntungan kekuasaan dari Dinasti Fatimiyah dan mereka tidak mendapatkan
pendidikan sebagaimana para pendahulu mereka, berfoya-foya menjadi
kebiasaan mereka dengan ditemani wanita-wanita cantik dan minuman-
minumam keras membuat mereka melupakan tugasnya sebagai khalifah
bahkan sudah tidak peduli lagi dengan politik pemerintahan. Selain hal
tersebut persaingan antar wazir juga memperkeruh keadaan Dinasti
Fatimiyah.43
Setelah al-Muntashir meninggal pada tahun 1094 M kekuasaan
Dinasti Fatimiyah diserahkan kepada putranya yakni Al-Musta’li, muncul
perseteruan diantara para wazir yang masing-masing wazir mempunyai
kelompok tentara. Kekacauan semakin menjadi ketika Nizar salah satu putera
al-Musta’li yang merupakan putra pertamanya ditangkap dan mendapatkan
hukuman penjara hingga akhirnya dikabarkan meninggal. Namun, di sisi lain
ada kabar bahwa Nizar belum meninggal sehingga terjadi perseteruan dan
kekacauan dan terbentuklah dua kubu yang saling bersaing yakni kubu
Musta’liyah dan kubu Nizariyah.
Perseteruan tersebut berakhir dengan meninggalnya al-Musta’li yang
kemudian dilanjutkan oleh al-Amir (w. 1130 M). Al-Amir (w. 1130 M)
diangkat menjadi khalifah ketika berusia lima tahun, namun karena konflik
yang melanda Mesir membuat ia terbunuh dan menjadi salahsatu korban
konflik yang tak kunjung selesai pada tahun 1130 M.
43
Ibid,
36
Sepeninggal al-Amir kursi khalifah dilanjutkan oleh putranya yang
bernama al-Hafidz. Di bawah kepemimpinannya kondisi Mesir semakin tidak
bisa dikendalikan lagi, perseteruan dengan masyarakat yang mayoritas
menganut paham Sunni. Beberapa wilayah kekuasaan mulai membuat
kelompok-kelompok kecil dan sudah mengabaikan kekuasaan Dinasti
Fatimiyah.44
Dengan keadaan demikian membuat Dinasti Fatimiyah sudah tidak
mempunyai kekuatan dan ketika pasukan Yarussalem melakukan
penyerangan Dinasti Fatimiyah di bawah kekuasaan khalifah al-Adid bekerja
keras untuk mempertahankan Kairo.
Ketika al-Adhid (w. 1171 M ) menjadi khalifah ia banyak mengalami
masa-masa sulit selain kelaparan dan wabah penyakit yang melanda Mesir,
kedatangan pasukan Perang Salib menjadi semakin kacau sehingga al-Adhid
(w. 1171 M ) terpaksa meminta bantuan ke Nurudin Zanki45
. Nurudin Zanki
menuruti permintaan al-Adhid dan mengutus Salahudin al-Ayubi yang
membawa tentara ke Mesir untuk menahan pasukan Salib. Karena
keberhasilannya menghalau tentara Salib ia pun diangkat menjadi menteri di
Mesir dan masih dibawah kekuasaan Dinasti Fatimiyah.46
Salahudin al-Ayubi mendapatkan dukungan dari penduduk Mesir agar
ia dapat menjadi khalifah. Pada tahun 1171 M Salahuddin al-Ayubi mampu
mengambil alih kekuasaan dari khalifah terakhir Dinasti Fatimiyah sehingga
44
Sulasman, Suparman. Sejarah Islam di Asia dan Eropa dari masa klasik hingga
modern, (Bandung : Pustaka Setia, 2013), hlm.237
45 Nuruddin Zanki memiliki nama lengkap Nuruddin Mahmud bin Imaduddin Zanki
bin Aq-Sunqur. Ia dilahirkan pada bulan Februari 1118 M atau tanggal 17 Syawal 511 H di kota
Aleppo, Syam atau sekarang lebih dikenal dengan Syria atau Suriah. Nuruddin adalah seorang
yang memiliki perawakan tinggi, memiliki kulit agak gelap serta dahinya lebar. Matanya agak
sayu kemudian ia adalah seseorang yang berjenggot dan tidak memelihara kumis. Nuruddin
adalah anak kedua dari empat bersaudara, saudara-saudara Nuruddin adalah Saifuddin Ghazi
yang merupakan anak pertama dari Imaduddin Zanki, lalu adiknya, Qutb al-Din Mawdud serta
seorang adik laki-laki lainnya. Dalam keluarga Zanki ini tidak ada perebutan kekuasaan dalam
kalangan keluarga, sehingga sepeninggal Imaduddin, kepemimpinannya di Aleppo dan Mosul
diteruskan oleh penerusnya tanpa perselisihan. . Lihat, Alwi Alatas, Nuruddin Zanki & Perang
Salib, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2012), hlm. 335
46 Ibid . hlm 238
37
kekuasaan kini berada di tangan Salahuddin al-Ayubi. Kekuasaan Dinasti
Fatimiyah Selama kurun waktu dua abad berakhir dengan sangat tragis.
Setelah Salahuddin al-Ayubi menduduki Mesir sistem paham Syiah
Ismailiyah dihapuskan dan kembali menggunakan paham Sunni. Sementara
para penduduk Mesir menyambut baik Salahuddinal-Ayubi, namun tidak
semua peninggalan Dinasti Fatimiyah dihancurkan. Universitas al-Azhar
yang dulunya menjadi pusat penyebaran Syiah Ismailiyah dirubah menjadi
pusat pendidikan Sunni.47
Selama dua abad Dinasti Fatimiyah telah memberikan banyak
kontribusi bagi peradaban Islam. Keberhasilan tersebut dapat diraih berkat
kerja keras para khalifahnya yang berusaha mempertahankan Dinasti
Fatimiyah dari berbagai rintangan. Dinasti Fatimiyah dipimpin oleh 14
khalifah yang terbagi menjadi dua periode yakni periode Afrika Utara dan
Mesir.
47
Ibid . hlm 238