14
7 BAB II TELAAH TEORITIS 2.1 Keuangan Berbasis Perilaku Studi keuangan tradisional berasumsi bahwa investor berperilaku rasional dalam pengambilan keputusan, investor akan berusaha untuk memaksimalkan kekayaan mereka. Namun para psikolog telah menyadari sejak lama bahwa ini adalah asumsi yang keliru dimana individu sering bertindak dengan cara yang tampaknya tidak rasional dan membuat kesalahan dalam prediksi mereka (Nofsinger, 2005). Dalam hal ini keuangan konvensional mengesampingkan perilaku keuangan dari sudut pandang psikologi. Padahal psikologi adalah dasar dari keinginan dan motivasi manusia sekaligus sumber kesalahan (bias) akibat salah presepsi, kepercayaan diri berlebihan dan emosi yang mendorong seseorang menjadi tidak rasional (Sina, 2011). Dua prinsip yang mendasari kehadiran keuangan berbasis perilaku sebagaimana dikutip dari Supramono dkk (2010) adalah (1) Keterbatasan dari aksi arbitrase (limits to arbitrage) yang menghambat terjadinya pasar yang efisien dan (b) Psikologi kognitif (cognitive psychology) yang menyangkut bagaimana investor memproses informasi. 1. Limits to Arbitrage Dalam kondisi pasar efisien harga sekuritas yang terbentuk merupakan cerminan dari seluruh informasi yang ada atau “stock price reflect all available

BAB II TELAAH TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9031/2/T2_912012006_BAB II.pdfdan preferensi terhadap resiko. Menurut psikologi kognitif investor

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TELAAH TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9031/2/T2_912012006_BAB II.pdfdan preferensi terhadap resiko. Menurut psikologi kognitif investor

7

BAB II

TELAAH TEORITIS

2.1 Keuangan Berbasis Perilaku

Studi keuangan tradisional berasumsi bahwa investor

berperilaku rasional dalam pengambilan keputusan, investor

akan berusaha untuk memaksimalkan kekayaan mereka.

Namun para psikolog telah menyadari sejak lama bahwa ini

adalah asumsi yang keliru dimana individu sering bertindak

dengan cara yang tampaknya tidak rasional dan membuat

kesalahan dalam prediksi mereka (Nofsinger, 2005). Dalam

hal ini keuangan konvensional mengesampingkan perilaku

keuangan dari sudut pandang psikologi. Padahal psikologi

adalah dasar dari keinginan dan motivasi manusia sekaligus

sumber kesalahan (bias) akibat salah presepsi, kepercayaan

diri berlebihan dan emosi yang mendorong seseorang menjadi

tidak rasional (Sina, 2011).

Dua prinsip yang mendasari kehadiran keuangan berbasis

perilaku sebagaimana dikutip dari Supramono dkk (2010)

adalah (1) Keterbatasan dari aksi arbitrase (limits to arbitrage)

yang menghambat terjadinya pasar yang efisien dan (b)

Psikologi kognitif (cognitive psychology) yang menyangkut

bagaimana investor memproses informasi.

1. Limits to Arbitrage

Dalam kondisi pasar efisien harga sekuritas yang

terbentuk merupakan cerminan dari seluruh informasi

yang ada atau “stock price reflect all available

Page 2: BAB II TELAAH TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9031/2/T2_912012006_BAB II.pdfdan preferensi terhadap resiko. Menurut psikologi kognitif investor

8

information”. Seluruh investor memiliki akses yang sama

terhadap informasi dan informasi terdistribusi secara

merata sehingga tidak ada imvestor yang mampu

mempengaruhi harga. Penyesuaian harga menuju level

keseimbangan akan terjadi dengan cepat dan hal ini

menyebabkan pelaku pasar tak dapat memperoleh

abnormal return. Dalam kenyataannya pasar tidak

efisien dan menuai banyak kritik penentangnya. Namun

para pendukung hipotesis pasar efisien tetap bertahan

dengan berlindung dibawah jargon “anomali”. Segala

sesuatu yang tidak sesuai atau tidak dapat dijelaskan

oleh hipotesis pasar efisien dikatakan sebagai anomali

seperti anomali efek january, efek perusahaan kecil, dan

lain-lain.

2. Psikologi Kognitif

Setiap pengambilan keputusan tak terlepas dari

kebutuhan akan informasi. Berdasarkan informasi yang

ada investor berharap dapat membuat keputusan yang

optimal. Namun pada kenyataannya informasi yang

dibutuhkan oleh investor sering tidak tersedia dengan

lengkap dan bahkan mungkin tidak akurat. Terlepas

dari kualitas informasi yang tersedia, keputusan

investor seringkali dipengaruhi oleh keyakinan (belief)

dan preferensi terhadap resiko. Menurut psikologi

kognitif investor sering membuat kesalahan sistematis

dalam memproses informasi atau dikenal dengan

Page 3: BAB II TELAAH TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9031/2/T2_912012006_BAB II.pdfdan preferensi terhadap resiko. Menurut psikologi kognitif investor

9

kesalahan kognitif (cognitive bias) ketika membentuk

keyakinan dan preferensi.

2.2 Bias Perilaku (Behavioral Bias)

Self Attribution

Self attribution bias merupakan kecenderungan seseorang

untuk menganggap kesuksesan mereka merupakan bagian

dari aspek diri mereka seperti talenta atau peramalan,

sementara lebih sering menyalahkan kegagalan sebagai

pengaruh dari luar (Pompian, 2012). Penelitian

membuktikan bahwa jika seseorang berniat untuk sukses,

maka hasil yang sesuai dengan tujuan, dalam hal ini

sukses, akan dianggap sebagai hasil dari usaha manusia

untuk mencapai apa yang diinginkan. Seseorang akan

secara alami merasa lebih bangga ketika mengalami

kesuksesan daripada kegagalan, karena mereka lebih

menginginkan kesuksesan daripada kegagalan.

Barber dan Odan (2002) dalam penelitiannya menemukan

bahwa investor yang mempunyai pengalaman investasi

positif cenderung untuk melakukan online trading. Hasil

penelitian ini membuktikan bahwa investor yang sukses

dalam melakukan investasi menjadi overconfidence melalui

self attribution bias dengan mengacu pada fenomena

psikologi yang mengaitkan kesuksesan dengan

kemampuan pribadi, bahkan ketika kenyataannya

kesuksesan tersebut disebabkan oleh faktor external.

Namun dalam penelitian (Uchida,2006) tidak ditemukan

Page 4: BAB II TELAAH TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9031/2/T2_912012006_BAB II.pdfdan preferensi terhadap resiko. Menurut psikologi kognitif investor

10

bahwa online investor di Jepang lebih puas dengan return

masa lalu seperti yang terjadi di Amerika, sehingga online

investor di Jepang tidak mengalami self attribution bias.

Hal ini dikarenakan investor di Jepang lebih konservatif.

Overconfidence

Overconfidence diartikan sebagai penaksiran yang terlalu

tinggi (overestimate) dalam menilai suatu financial asset

(Odean (1998), Gervais and Odean (2001), Uchida (2006),

Pompian (2012), Bhandari & Deaves (2005)). Pompian

(2012) mengatakan bahwa kesalahan-kesalahan yang

biasanya muncul sebagai akibat adanya perilaku

overconfidence dalam kaitannya dengan investasi adalah

sebagai berikut : (1) Overconfidence dapat menyebabkan

investor melakukan excessive trading (transaksi yang

terlalu berlebihan) sebagai efek dari keyakinan bahwa

mereka memiliki pengetahuan khusus yang sebenarnya

tidak mereka miliki.

(2) Overconfidence menyebabkan investor menjadi

overestimate (menaksir terlalu tinggi) kemampuannya

dalam mengevaluasi suatu investasi dan underestimate

(menaksir terlalu rendah) terhadap adanya resiko dan

cenderung mengabaikan resiko. (3) Overconfidence

menyebabkan investor memiliki kecenderungan tidak

mendiversifikasi portofolio investasinya. (4) Memperoleh

return yang lebih rendah dibandingkan dengan pasar.

Hasil studi di Amerika oleh Coi, Libson dan Metrick (2002)

Page 5: BAB II TELAAH TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9031/2/T2_912012006_BAB II.pdfdan preferensi terhadap resiko. Menurut psikologi kognitif investor

11

menyatakan bahwa pengalaman online invetor

meningkatkan turnover dan menurunkan kinerja setelah

beralih ke online trading. Dua ciri ini merupakan ciri dari

bias overconfidence.

2.3 Pola Transaksi Online Trading

Seiring dengan perkembangan teknologi internet, kegiatan

transaksi di pasar modal turut berkembang dengan

adanya mekanisme bertransaksi melalui telepon kepada

sales perusahaan Efek menjadi order yang diinput sendiri

oleh nasabah menggunakan perangkat yang terhubung

dengan internet. Investor pun dapat secara langsung

memonitor perkembangan harga di pasar secara real time.

Mekanisme ini lebih dikenal dengan istilah online trading.

Secara umum, perdagangan online trading terjadi ketika

seorang investor menyampaikan order beli atau jual Efek

melalui media internet pada online broker yang kemudian

mengeksekusi perintah tersebut dengan meneruskan ke

sistem Bursa Efek secara otomatis (Subagyo dkk, 2010)

Definisi online trading menurut situs intradaytips.com

adalah tindakan menempatkan pesanan beli atau jual

suatu surat berharga keuangan atau mata uang dengan

menggunakan platform berbasis internet milik perantara

pedagang Efek (broker atau dealer). Dalam peraturan

BAPEPAM-LK Nomor V.D.3 tentang pengendalian internal

perusahaan Efek yang melakukan kegiatan usaha sebagai

perantara perdagangan Efek istilah yang digunakan adalah

Page 6: BAB II TELAAH TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9031/2/T2_912012006_BAB II.pdfdan preferensi terhadap resiko. Menurut psikologi kognitif investor

12

sistem perdagangan online, yaitu sistem perdagangan yang

disediakan oleh perantara pedagang Efek melalui media

komunikasi elektronik termasuk internet, layanan pesan

singkat (Short Message Service/SMS), layanan protokol

aplikasi nirkabel (wireless application protocol/wap), atau

media elektronik lainnya untuk melakukan transaksi Efek.

Sedangkan dalam peraturan nomor III-A tentang

keanggotaan Bursa PT. Bursa Efek Indonesia (BEI)

mengguakan istilah fasilitas penyampaian pesanan secara

langsung bagi nasabah, yaitu fasilitas yang disediakan

oleh anggota Bursa Efek yang memungkinkan nasabah

menyampaikan sendiri penawaran jual dan atau

permintaan beli Efek melalui Brokerage Office System dan

perangkat Remote Trading anggota Bursa Efek yang

dilengkapi dengan validasi otomatis, untuk selanjutnya di

teruskan ke Jakarta Automated Trading System (JATS) (tim

survey BAPEPAM-LK, 2010)

2.4 Karakteristik Demografi

Proses pengambilan keputusan investasi dipengaruhi oleh

berbagai faktor sehingga investor diharapkan dapat

memutuskan kapan, dimana, seberapa sering dan metode

apa yang akan digunakan. Banyak faktor yang dapat

mempengaruhi pengambilan keputusan investasi, salah

satunya adalah karakteristik demografi di antaranya yang

merupakan personal karakteristik seperti usia, gender,

pendapatan, status pendidikan marital status (Shapiro,

Page 7: BAB II TELAAH TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9031/2/T2_912012006_BAB II.pdfdan preferensi terhadap resiko. Menurut psikologi kognitif investor

13

2001). Selain itu, Warran dkk (1990) dalam Christanti dan

Mahastanti (2011) menyatakan bahwa pilihan investasi

seseorang lebih berdasar pada gaya hidup dan

karakteristik demografinya.

Karakterisitik demografi investor perlu dipertimbangkan

karena dalam pengambilan keputusan investasi, investor

seringkali melibatkan lebih dari satu individu dengan

berbagai pengetahuan, pengalaman dan keahlian yang

dimiliki. Graham et.al (2005) demografi seorang investor

menjelaksan presepsi kompetensinya dipengaruhi oleh

karakteristik dari investor tersebut. Penelitian ini

menyatakan bahwa perbedaan karakteristik demografi dari

investor menyebabkan investor merasa lebih kompeten

dalam memahami informasi keuangan dan peluang yang

ada. Demografi terdiri dari berbagai indikator namun yang

digunakan untuk melihat karakteristik online investor di

Indonesia, yaitu:

Gender

Gender merupakan perbedaan antara laki-laki dan

perempuan secara biologis sejak seseorang dilahirkan.

Barber dan Odean (2001) dalam penelitiannya yang

berjudul “Boys Will Be Boys” mengatakan bahwa pria lebih

berani terhadap resiko yang akan dihadapi dibandingkan

wanita, hal ini dikarenakan pria memiliki tingkat percaya

diri yang tinggi (overconfidence) dibandingkan wanita.

Page 8: BAB II TELAAH TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9031/2/T2_912012006_BAB II.pdfdan preferensi terhadap resiko. Menurut psikologi kognitif investor

14

Selain itu, Uchida (2006) dalam penelitiannya tentang

karakteristik online investor di Jepang menyimpulkan

bahwa pria lebih dominan pada penggunaan online trading

daripada wanita.

Pekerjaan

Faktor pekerjaan merupakan profesi yang disandang

seseorang dalam melakukan aktifitas yang memberikan

hasil baik berupa pengalaman maupun materi yang dapat

menunjang kehidupannya (Cahyadi, 2010). Dalam online

trading, di Jepang dan Amerika terbukti bahwa lingkungan

kerja mempengaruhi keputusan investor untuk

menggunakan online trading, sebaliknya investor yang jauh

dari jaringan informasi di tempat kerja lebih sedikit

menggunakan fasilitas online trading (Choi, Libson, dan

Metrick’s, 2002; Uchida, 2006).

Usia

Usia merupakan batasan atau tingkatan ukuran hidup

yang mempengaruhi kondisi fisik seseorang. Evans (2004)

mengemukakan bahwa investor yang berusia lebih mudah

(di bawah 30 tahun) memiliki toleransi resiko lebih besar

dibandingkan dengan investor yang berusia lebih tua (di

atas 30 tahun). Selain itu, Christanti dan Mahastanti

(2011) menyimpulkan bahwa investor yang berusia tua

(50-54 tahun) lebih mempertimbangkan hampir semua

faktor dalam pengambilan keputusan investasi di pasar

Page 9: BAB II TELAAH TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9031/2/T2_912012006_BAB II.pdfdan preferensi terhadap resiko. Menurut psikologi kognitif investor

15

modal, sebaliknya investor yang berusia muda (25-29)

tahun tidak terlalu mempertimbangkan banyak faktor

dalam investasi. Hal ini sejalan dengan penelitian pada

online investor Barber dan Odean (2002), Choi, Libson dan

Metrick (2002) dan Uchida (2006) menemukan bahwa

investor yang berusia lebih mudah lebih sering melakukan

online trading dan memiliki toleransi resiko lebih tinggi

dibandingkan dengan investor yang lebih tua. Dengan

demikian maka dapat disimpulkan bahwa investor yang

lebih tua cenderung untuk menghindari resiko dalam

berinvestasi.

Status Perkawinan

Barber dan Odean (2001a) dalam penelitiannya

berpendapat bahwa status perkawinan mempengaruhi

keputusan keuangan dengan tingkatan sebagai berikut,

laki-laki yang belum menikah adalah orang dengan tingkat

kepercayaan diri, yang terakhir adalah wanita yang belum

berkeluarga. Selain itu, Ranganthan (2004) dalam

penelitiannya terhadap investor di Mumbai India,

berpendapat bahwa investor yang sudah menikah

cenderung berinvestasi pada jenis investasi yang tidak

beresiko tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa investor

yang sudah menikah cenderung lebih hati-hati dalam

berinvestasi.

Page 10: BAB II TELAAH TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9031/2/T2_912012006_BAB II.pdfdan preferensi terhadap resiko. Menurut psikologi kognitif investor

16

Tingkat Pendidikan

Faktor pendidikan adalah tingkat penguasaan ilmu

pengetahuan yang dimiliki oleh seseorag tentang

bagaimana kemampuannya dalam memahami suatu hal

dengan baik (Cahyadi,2010). Pada umumnya orang yang

menempuh pendidikan lebih tinggi cenderung lebih

banyak menghasilkan uang daripada mereka yang tidak.

Hal ini dikarenakan banyak lapangan pekerjaan dan

jabatan yang lebih tinggi bagi mereka yang berpendidikan

tinggi. Namun hal ini bukanlah jaminan bahwa orang

dengan tingkat pendidikan rendah tidak bisa

mendapatkan pendapatan yang besar. Bhandari dan

Deaves (2006) mejelaskan bahwa toleransi investor

terhadap resiko juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan,

semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi pula

toleransi terhadap resiko. Hal ini dikarenakan tingkat

pendidikan yang tinggi diaggap memiliki pengetahuan yang

sangat baik dalam berinvestasi sehingga mampu

menganalisis dan memperhitungkan resiko yang dihadapi.

Pendapatan

Yoo (1994) dalam Cahyadi (2010) berpendapat bahwa

investor yang masih bekerja akan berinvestasi pada aset

yang cukup beresiko dan cenderung menghindari resiko

pada saat mereka pensiun. Selain itu, Barber dan Odean

(2001a) dalam penelitiannya menemukan bahwa investor

yang memiliki pendapatan lebih tinggi cenderung memiliki

Page 11: BAB II TELAAH TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9031/2/T2_912012006_BAB II.pdfdan preferensi terhadap resiko. Menurut psikologi kognitif investor

17

portofolio saham yang lebih fluktuatif. Hal ini dikarenakan

investor merasa memiliki cadangan modal sehingga

toleransi terhadap resiko juga tinggi.

Pengalaman Investasi

Kinerja seseorang akan semakin baik jika lebih

berpengalaman. Nicolosi, Peng dan Zhu (2008) dari hasil

penelitiannya yang berjudul “Do Individual Investors Learn

From Their Trading Experience?” membuktikan bahwa

investor belajar dari pengalaman masa lalu mereka dilihat

dari kemampuan peramalan, profitabilitas perdagangan

dan intensitas yang semakin meningkat. Hal ini juga

sejalan dengan Barber, Lee, Liu dan Odean (2010);

Koestner, Meyer dan Hacethal (2012) juga membuktikan

bahwa investor belajar dari kesalahan mereka dimana

perdagangan dimulai dengan jumlah yang relatif kecil dan

meningkat saat mereka mendapatkan pengalaman dari

investasi masa lalu.

Christanti dan Mahastanti (2011) mengatakan bahwa

lamanya investor dalam berinvestasi juga berpengaruh

dalam menentukan faktor yang harus dipertimbangkan.

Christanti dan Mahastanti (2011) menambahkan investor

yang sudah cukup lama berinvestasi sudah mulai

mengurangi faktor-faktor yang harus dipertimbangkan

dalam keputusan investasinya, sebaliknya investor yang

masih baru (1-3 tahun) masih mempertimbangkan semua

faktor. Untuk online investor, investor dengan return yang

Page 12: BAB II TELAAH TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9031/2/T2_912012006_BAB II.pdfdan preferensi terhadap resiko. Menurut psikologi kognitif investor

18

sangat baik cenderung mengambil terlalu banyak hutang

untuk kesuksesan mereka (Barber dan Odean, 2002).

Uchida (2006) dalam penelitiannya menemukan bahwa

investor dengan pengalaman investasi lebih lama memiliki

frekuensi yang rendah dalam menggunakan online trading.

2. 5 Preferensi Investor

Preferensi investor dapat dilihat berdasarkan preferensi

hasil antara dividen atau capital gain, preferensi volatilitas

tinggi atau rendah, grafik (chart) analisis untuk informasi

investasi dan cara memilih saham (Uchida, 2006). Dalam

penelitian ini akan melihat preferensi invesrtor berdasarkan

Uchida (2006).

Preferensi Hasil (Capital gain versus Dividen)

Kamus Lengkap Ekonomi (2003) mengartikan dividen

sebagai bagian dari pendapatan perusahaan yang

didistribusikan kepada pemegang saham secara

proposional, sedang capital gain merupakan keuntungan

yang diperoleh dari harga jual yang lebih tinggi daripada

harga pembeliannya. Dalam Bird in The Hand Theory,

Gordon (1963) dan Lintner (1962) menyatakan bahwa

investor lebih suka menerima dividen daripada capital gain

karena dividend yield lebih pasti daripada capital gain

yield. Sudaryanti (2011) dalam disertasinya juga

menyatakan bahwa investor lebih menyukai dividen

dibandingkan dengan capital gain dikarenakan investor

Page 13: BAB II TELAAH TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9031/2/T2_912012006_BAB II.pdfdan preferensi terhadap resiko. Menurut psikologi kognitif investor

19

lebih cenderung menghindari resiko. Disisi lain, online

investor lebih mengharapkan capital gain daripada dividen

yang mengindikasikan online investor lebih aktif dan

spekulatif dalam melakukan transaksi dibandingkan

dengan non online investor (Uchida, 2006). Investor yang

lebih spekulatif cenderung mendapatkan return yang jauh

lebih rendah dibandingkan dengan investor dengan tujuan

lain (Hoffman dan Shefrin, 2011).

Volatilitas

Menurut Firmansyah (2009) dalam tim studi volatilitas

pasar modal Indonesia, volatilitas merupakan pengukuran

statistik untuk fluktuasi harga suatu sekuritas atau

komoditas selama periode waktu tertentu. Volatilitas pasar

terjadi akibat masuknya informasi baru ke dalam pasar,

akibatnya para pelaku pasar melakukan penilaian kembali

terhadap aset yang mereka perdagangkan (Hugida, 2011).

Toleransi resiko investor digambarkan oleh preferensi

volatilitas, semakin tinggi tingkat volatilitas, semakin tinggi

pula tingkat kepastian dari return saham yang dapat

diperoleh (Tim Studi Volatilitas Pasar Modal Indonesia,

2011). Dari hasil penelitian Uchida (2006) terbukti bahwa

online investor cenderung lebih risk-taken jika

dibandingkan dengan non online investor yang

mencerminkan bahwa online investor lebih toleransi

terhadap resiko daripada non online investor.

Page 14: BAB II TELAAH TEORITIS - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9031/2/T2_912012006_BAB II.pdfdan preferensi terhadap resiko. Menurut psikologi kognitif investor

20

Chart Analisis untuk Informasi Investasi

Derajat penggunaan pergerakan harga historis (chart)

untuk memilih saham merupakan karakter investor yang

penting. Dalam penelitian Uchida (2006) online investor di

Jepang cenderung lebih sering menggunakan grafik. Hal

ini mengindikasikan keinginan investor yang

menggunakan online trading untuk mengakses banyak

informasi terbaru pada pergerakan harga sekuritas. Gaya

investasi ini juga konsisten dengan kecenderungan online

investor untuk tidak takut mengambil resiko dan lebih

menyukai capital gain.

Metode dalam Memilih Saham

Egan, Merkle dan Weber (2010) menyatakan bahwa

investor cenderung naif, karena menganggap diri mereka

objektif dalam menilai pasar saham dan meyakinkan orang

lain untuk setuju dengan pandangan mereka atau

menahan ekspektasi yang agak bias. Uchida (2006)

menemukan bahwa online investor cenderug lebih percaya

terhadap pendapat sendiri dalam menilai sebuah saham,

berbeda dengan non online investor yang masih lebih

sering menggunakan konsultan dalam menilai saham.