Upload
muhammad-hakiki
View
144
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
POLITIK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
1. Pengertian Politik Hukum dan Hukum Perlindungan
Konsumen
Seperti hukum, definisi politik hukum pun sampai saat
ini belum ada yang memenuhi semua aspek. Para ahli hukum
sudah sejak dahulu tidak pernah sepakat untuk mengakui
sebuah definisi hukum yang berlaku secara umum yang dapat
diterima di seluruh dunia. Immanuel Kant sejak lebih dari satu
abad yang lalu melalui perkataannya yang terkenal, noch
suchen die juristen eine definition zu ihrem begriffe von
Recht.
Beberapa istilah hukum yang kini dipakai dalam
literatur-literatur hukum di Indonesia diadopsi dari ragam
istilah hukum yang terdapat dalam tradisi ilmu hukum
Belanda, seperti hukum tata negara (staatrecht), hukum
perdata (privaaterecht), hukum pidana (staatrecht), dan
hukum administrasi (administratifrecht).
Namun sebagai gambaran, akan diuraikan beberapa
pandangan mengenai politik hukum di bawah ini baik dalam
perspektif etimologis maupun dalam perspektif terminologis.
1) Perspektif Etimologis
Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan
terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda
rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata
recht dan politiek. Istilah ini seyogianya tidak dirancukan
dengan istilah yang muncul belakangan, politiekrecht atau
hukum politik, yang dikemukakan Hence van Maarseveen
68
mengganti istilah hukum tata negara. Karena pendapat
tersebut keduanya memiliki konotasi yang berbeda. Dalam
bahasa Indonesia kata recht berarti hukum yang berasal
dari bahasa arab hukm (kata jamaknya ahkam), yang
berarti putusan, ketetapan, perintah, pemerintahan,
kekuasaan, hukuman dan lain-lain.111)
Para pakar hukum telah menyampaikan berbagai
pendapatnya mengenai hukum. Seperti Achmad Ali dalam
bukunya Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis telah berhasil mengumpulkan lebih dari lima
puluh definisi dan pengertian tentang hukum. Dari lima
puluh pengertian dan definisi hukum itu masing-masing
ahli berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut bisa
terjadi karena sifatnya yang abstrak dan cakupannya yang
luas serta perbedaan sudut pandang para ahli dalam
memandang dan memahami apa yang disebut hukum itu.
Dengan kata lain, sejak dahulu hingga sekarang para ahli
hukum tidak pernah sepakat untuk mengakui sebuah
definisi hukum yang berlaku secara umum yang dapat
diterima di seluruh dunia.
Dalam kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh van
der Tas, kata politiek mengandung arti beleid yang berarti
kebijakan (policy). Politik hukum secara singkat berarti
kebijakan hukum. Adapun kebijakan sendiri dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia berarti rangkaian konsep dan asas
yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara
bertindak. Dengan kata lain, politik hukum adalah
rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan
111) Imam Syaukani/A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 19.
69
dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan, dan cara bertindak dalam bidang hukum.
Istilah kebijakan sendiri mempunyai keanekaragaman arti,
hal ini dapat kita lihat dari pandangan beberapa tokoh
yang mencoba untuk menjelaskan apa sebenarnya
kebijakan (policy) itu. Dari beberapa pandangan tokoh
mengenai pengertian kebijakan, maka kita dapat
mengemukakan beberapa hal sebagai berikut :
a. Terdapat perbedaaan pendapat di kalangan para
ahli tentang pengertian kebijakan. Jelasnya, konsep
kebijakan itu sulit untuk dirumuskan dan diberi makna
yang tunggal. Atau dengan kata lain, sulit bagi kita
untuk memperlakukan konsep kebijakan tersebut
sebagai sebuah gejala yang khas dan kongkret,
terutama bila kebijakan itu kita lihat sebagai suatu
proses yang terus berkembang dan berkelanjutan mulai
dari proses pembuatan sampai implementasinya.
b. Terdapat perbedaan ‘penekanan’ tentang
kebijaksanaan di antara para ahli. Sebagian dari mereka
melihat kebijakan sebagai suatu perbuatan, sedangkan
kebijaksanaan adalah sebagai suatu sikap yang
direncanakan (suatu rencana), atau bahkan suatu
rencana dan juga suatu tindakan.
c. Para ahli juga berbeda pendapat berkaitan dengan
tujuan dan sarana. Ada yang berpendapat, bahwa
kebijakan meliputi tujuan dan sarana, bahkan ada yang
tidak lagi menyebut baik tujuan maupun sarana.112)
Berkaitan dengan uraian di atas, terdapat satu
istilah dalam bahasa Indonesia yang kerap kali dipakai 112) Penjelasan lebih jauh, lihat Bambang Sunggono, Hukum dan Kebijakan Publik, Cet. I, Sinar
Grafika, Jakarta, 1994, hlm.14-15 dalam Imam Syaukani/A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 24.
70
secara bergantian dalam pengertian yang hampir serupa
dengan istilah kebijaksanaan, yaitu kebijakan. Pembedaan
pengertian kedua istilah di atas pada tataran konseptual
dengan sendirinya akan berimbas pada aktualisasi konsep
itu pada tataran praktis. Walaupun terdapat perbedaan
antara kedua istilah tersebut, namun kerap kali dipakai
dalam pengertian yang sama, yaitu rangkaian konsep dan
asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara
bertindak. Dengan demikian, secara etimologis, Politik
Hukum secara singkat berarti kebijaksanaan hukum.
2) Perspektif Terminologis
Apa sesungguhnya pengertian dari politik hukum
itu ? Pertanyaan tersebut telah memunculkan banyak
definisi yang berbeda-beda. Untuk melengkapi pengertian
politik hukum dari perspektif etimologis, di bawah ini akan
dikemukakan perspektif terminologis politik hukum yaitu
dengan menyampaikan beberapa pandangan mengenai
politik hukum yang dikemukakan oleh para ahli hukum di
antaranya adalah :
a). Andi Hamzah
Menurut Andi Hamzah : “Dalam pengertian formal
politik hukum hanya mencakup satu tahap saja yaitu
menuangkan kebijakan pemerintah dalam bentuk
produk hukum atau disebut “Legislative drafting”,
sedangkan dalam pengertian materiil politik hukum
mencakup legislative drafting, legal eksecuting, dan
legal riview.”
b). Abdul Hakim Garuda Nusantara.
71
Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara politik
hukum secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan
hukum (Legal Policy) yang hendak diterapkan atau
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintahan negara
tertentu. Politik hukum nasional dapat meliputi:
1. Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara
konsisten
2. Pembangunan hukum yang intinya adalah
pembaharuan tehadap ketentuan hukum yang telah
lama.
3. Penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana
hukum dan pembinaan anggotanya.
4. Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat
menurut persepsi kalangan elit pengambil
kebijakan.113)
Definisi dari Abdul Hakim Garuda Nusantara ini
mencakup : Teritorial berlakunya politik hukum; Proses
pembaharuan dan pembuatan hukum; dan Terdapat
penekanan pada pentingnya fungsi lembaga dan
pembinaan para penegak hukum.
c). Bagir Manan
Menurut Bagir Manan : “Politik Hukum di masa
depan diarahkan pada beberapa hal utama. Pertama,
hukum sebagai instrumen membentuk dan mengatur
penyelenggaraan negara dan pemerintahan serta
masyarakat demokratis. Dengan perkataan lain, hukum
sebagai instrumen demokrasi. Kedua, sebagai
instrumen penyelenggaraan negara, dan pemerintahan
serta masyarakat berdasarkan atas hukum. Hukum
tidak boleh menjadi alat kekuasaan semata. Ketiga, 113) Imam Syaukani/A. Ahsin Thohari, Op.cit, hlm. 30-31.
72
sebagai instrumen pemberdayaan masyarakat dibidang
politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Keempat,
sebagai instrumen mewujudkan kesejahteraan umum
menurut dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.”
Dalam arti sempit Bagir Manan menyebutkan
Politik Hukum merupakan perancangan suatu kebijakan
pemerintah yang dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan, baik yang inovatif maupun yang
bersifat revisi, menyesuaikan dengan kebutuhan
kekinian, serta pelaksanaan dari ketentuan hukum
tersebut dalam institusi dan oleh aparatur penegak
hukum.
d). Barda Nawawi Arief
Barda Nawawi Arief menyatakan : “Pada
hakekatnya masalah kebijakan hukum pidana bukanlah
semata-mata pekerjaan teknik perundang-undangan
yang dapat dilakukan secara yuridis normatif dan
sistematik-dogmatik. Di samping pendekatan yuridis-
faktual yang dapat berupa pendekatan sosiologis,
historis dan komparatif, bahkan memerlukan pula
pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan
pembangunan nasional pada umumnya. Berlandaskan
pada beberapa pernyataan di atas, maka melaksanakan
politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang
lebih baik dalam arti memenuhi syarat keadilan,
kepastian hukum dan berdaya guna.”
Politik hukum dalam perspektif pidana
mengandung suatu pengertian yang sangat luas dan
73
menyeluruh, dalam hal ini mencakup kebijakan-
kebijakan penal maupun kebijakan non penal. Kebijakan
non penal meliputi berbagai aspek, antara lain aspek
pengawasan, aspek pembinaan aparatur, aspek
pembinaan dan ketertiban sistem keadministrasian,
aspek disiplin nasional, aspek kejujuran, dan lain
sebagainya. Sedangkan kebijakan penal dituangkan
dalam beberapa tahapan, yaitu tahap formulasi, tahap
aplikasi, dan tahap eksekusi serta perubahan-perubahan
menuju pada kesempurnaan.
Politik hukum pidana tidak boleh tidak selalu
terkait dengan pembaharuan hukum pidana.
Pembaharuan hukum pidana mencakup beberapa
tahapan, yakni tahap perumusan (formulasi), tahap
aplikasi dan tahap eksekusi.114)
e). Bintan Regen Saragih
Politik hukum adalah “kebijakan” yang diambil
(ditempuh) oleh negara (melalui lembaganya atau
pejabatnya) untuk menetapkan hukum yang mana yang
perlu diganti, atau yang perlu dirubah, atau hukum yang
mana yang perlu dipertahankan, atau hukum mengenai
apa yang perlu diatur atau dikeluarkan agar dengan
kebijakan itu penyelenggaraan negara dan
pemerintahan dapat berlangsung dengan baik dan tertib
sehingga tujuan negara (seperti mensejahterakan
rakyat) secara bertahap dan terencana dapat
terwujud.115)
f). C.F.G. Sunaryati Hartono
114) Barda Nawawi, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Penerbit Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 11.
115) Bintan Regen Saragih, Politik Hukum, Penerbit CV Utomo, Bandung, 2006, hlm. 17.
74
Di dalam bukunya yang berjudul Politik Hukum
Menuju Satu Sistem Hukum Nasional tidak pernah
menjelaskan secara eksplisit pengertian politik hukum.
Ia melihat politik hukum sebagai suatu alat (tool) atau
sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh
pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional
yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional
itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia.
Menurut C.F.G. Sunaryati Hartono : “Politik Hukum
Indonesia di satu pihak tidak terlepas dari realita sosial
dan tradisional yang terdapat di Indonesia sendiri. Dan
di lain pihak, sebagai salah satu anggota masyarakat
dunia, politik hukum Indonesia tidak terlepas pula dari
realita dan politik hukum internasional. Dengan
demikian faktor-faktor yang akan menentukan politik
hukum tidak semata-mata ditentukan oleh apa yang
kita cita-citakan atau tergantung pada kehendak
pembentuk hukum, praktisi atau para teoritisi belaka,
akan tetapi ikut ditentukan pula oleh kenyataan serta
perkembangan hukum di lain-lain negara serta
perkembangan hukum Internasional.”116)
g). E. Utrecht
Menurut E. Utrecht : “Politik hukum adalah suatu
bidang ilmu yang mempunyai ciri tertentu yaitu
kegiatan untuk menentukan atau memilih hukum mana
yang sesuai untuk mencapai tujuan yang dikehendaki
oleh masyarakat.”117)
116) Sunarjati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm.1.
117) J.B Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Kerjasama APTIK dengan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hlm. 142-143.
75
Selanjutnya menurut E. Utrecht, politik hukum
berusaha membuat kaidah-kaidah yang akan
menentukan bagaimana seharusnya manusia bertindak.
Politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan apa
yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang
berlaku supaya sesuai dengan kenyataan sosial. Boleh
dikatakan, politik hukum meneruskan perkembangan
hukum dengan berusaha melenyapkan sebanyak-
banyaknya ketegangan antara positivitas dan realitas
sosial. Politik hukum membuat suatu ius constituendum
(hukum yang akan berlaku), dan berusaha agar ius
constituendum itu pada hari kemudian berlaku sebagai
ius constitutum (hukum yang berlaku yang baru). Tetapi
kadang-kadang juga, justru supaya menjauhkan tata
hukum dari kenyataan sosial itu, yaitu dalam hal ini
politik hukum itu menjadi alat dalam tangan suatu
“rulling class” yang berhak menjajah bagian besar
anggota masyarakat tanpa memperhatikan kenyataan
sosial itu. Hasilnya adalah ketegangan antara positivitas
dan realita sosial justru lebih besar, karena “rulling
class” kurang atau tidak mau memperhatikan
kenyataan sosial.118)
h). Imam Syafei
Imam Syafei menyimpulkan bahwa politik hukum
adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam
bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku,
yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-
citakan.
118) Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1983, hlm.45, dalam Bintan Regen Saragih, Politik Hukum, Penerbit CV Utomo, Bandung, 2006, hlm. 18.
76
i). Imam Syaukani/A. Ahsin Thohari
Menurut Imam Syaukani/A. Ahsin Thohari : “Ruang
lingkup atau wilayah kajian (domain) disiplin politik
hukum adalah meliputi aspek lembaga kenegaraan
pembuat politik hukum, letak politik hukum dan faktor
(internal dan eksternal) yang mempengaruhi
pembentukan politik hukum suatu negara. Tiga
permasalah itu baru sebatas membahas proses
pembentukan politik hukum, belum berbicara pada
tataran aplikasi dalam bentuk pelaksanaan produk
hukum yang merupakan konsekuensi politis dari sebuah
politik hukum. Dengan demikian, politik hukum
menganut prinsip double movement, yaitu selain
sebagai kerangka pikir merumuskan kebijakan119) dalam
bidang hukum (legal policy) oleh lembaga-lembaga
negara yang berwenang, ia juga dipakai untuk
mengkritisi produk-produk hukum yang telah
diundangkan berdasarkan legal policy di atas.”120)
j). J.B Daliyo
Menurut J.B Daliyo, politik hukum adalah suatu
bidang ilmu yang mempunyai ciri tertentu yaitu
kegiatan untuk menentukan atau memilih hukum mana
yang sesuai untuk mencapai tujuan yang dikehendaki
oleh masyarakat. Hukum dalam konteks ini jelas tidak
berdiri sendiri di dalam masyarakat, tetapi ia kait
119) Penggunaan instrumen hukum dalam pembangunan tidak dapat dilepaskan dengan apa yang disebut sebagai kebijakan. Menurut Robert R Mayer dan Ernest Greenwood “kebijakan” (policy) dapat dirumuskan sebagai suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan secara kolektif. Barda Nawawi Arief, dalam sebuah tulisannya menjelaskan, kebijakan setidak-tidaknya dapat dibagi ke dalam tiga tahapan yaitu Kebijakan Formulatif, Kebijakan Aplikatif/Yudikatif dan Kebijakan Eksekutif/Administratif. Ketiga tahapan kebijakan tersebut selalu melekat di dalam makna kebijakan, dengan kata lain tahapan di atas selalu ada pada setiap kegiatan pembangunan dengan menggunakan instrumen hukum.
120) Imam Syaukani/A. Ahsin Thohari, Loc.cit, hlm. 13.
77
mengkait dengan sektor-sektor kehidupan lain dalam
masyarakat, oleh karena itu hukum menyesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat untuk mencapai tujuan
masyarakat itu. Dengan kata lain hukum mempunyai
dinamika. Politik hukum dalam hal ini adalah merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan dinamika demikian
itu, karena ia diarahkan kepada ius constituendum atau
hukum yang seharusnya berlaku.121)
k). Logeman
“Politik hukum menentukan apa yang berlaku
sebagai hukum positif itu sendiri. Rupanya kesimpulan
tak dapat lain dari pada menentukan, bahwa norma
hukum tertentu berlaku di sini dan kini mengandung
keperluan banyak memihak pada norma itu, dan mau
tak mau merupakan suatu perbuatan politik hukum.
Suatu perbuatan yang umumnya secara praktis tidak
sedikit artinya apabila dipikirkan bagaimana hukum,
yang secara ilmiah disajikan sebagai yang berlaku,
sebagian besar pula menentukan isi pendapat hukum
para petugas hukum yang terdidik”.122)
l). M. Hamdan
Menurut M. Hamdan : “Politik hukum adalah suatu
ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai
tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum
positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi
pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang-
undang, tetapi juga kepada pengadilan yang
121) J.B Daliyo, dkk, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Kerjasama APTIK dengan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hlm. 142.
122) Bintan Regen Saragih, Politik Hukum, Penerbit CV Utomo, Bandung, 2006, hlm. 21.
78
menetapkan undang-undang dan juga kepada para
penyelenggara atas pelaksana putusan pengadilan. 123)
m). Mochtar Kusumaatmadja
Politik hukum (rechts politiek) menurut Mochtar
Kusumaatmadja adalah kebijakan hukum dan
perundang-undangan, dalam rangka pembaharuan
hukum. Menurut Mochtar : “Di Indonesia di mana
undang-undang merupakan cara pengaturan hukum
yang utama pembaharuan hukum terutama melalui
perundang-undangan. Proses pembentukan undang-
undang harus dapat menampung semua hal yang erat
hubungannya (relevant) dengan bidang atau masalah
yang hendak diatur dengan undang-undang itu, apabila
perundang-undangan itu hendak merupakan suatu
pengaturan hukum yang efektif. Efektifnya produk
perundang-undangan dalam penerapannya memerlukan
perhatian akan lembaga dan prosedur-prosedur yang
diperlukan dalam pelaksanaannya”.124)
n). Moh. Mahfud MD
Bagi Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy
atau arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara
untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat
berupa pembuatan hukum baru dan penggantian
hukum lama. Dalam arti yang seperti ini politik hukum
harus berpijak pada tujuan negara dan sistem hukum
yang berlaku di negara yang bersangkutan yang dalam
konteks Indonesia tujuan dan sistem itu terkandung di
123) M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 13 dalam Imam Syaukani/A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, penerbit PT RajaGrafindo, Jakarta, 2004, hlm. 50.
124) Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1986, hlm.8-9, dalam Bintan Regen Saragih, Politik Hukum, Penerbit CV Utomo, Bandung, 2006, hlm. 22.
79
dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya Pancasila,
yang melahirkan kaidah-kaidah penuntun hukum.
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dapat disebut
sebagai contoh tentang politik hukum, tetapi ia hanya
bagian dari ilmu politik hukum.125)
o). Muladi
Menurut Muladi : “Politik Hukum (legal policy)
dalam arti kebijakan negara (publik policy) di bidang
hukum126), harus dipahami sebagai bagian kebijakan
sosial yaitu usaha setiap masyarakat/pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan warganya di segala aspek
kehidupan. Hal ini bisa mengandung dua dimensi yang
terkait satu sama lain, yaitu kebijakan kesejahteraan
sosial (social welfare policy) dan kebijakan perlindungan
sosial (social defence policy)” “Politik Hukum atau
kebijakan negara di bidang hukum, merupakan usaha
pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan
warganya di segala aspek kehidupan.”
p). Padmo Wahjono
Padmo Wahjono dalam bukunya Indonesia Negara
Berdasarkan atas Hukum mendefinisikan politik hukum
sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk
maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Definisi ini
masih bersifat abstrak dan kemudian dilengkapi dengan
sebuah artikelnya di majalah Forum Keadilan yang
berjudul Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-
undangan. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa
politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara
125) Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Penerbit Pustaka LP3ES, Jakarta, 2006, hlm. 5.
126) Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, hlm. 269.
80
tentang apa yang dijadikan kriteria untuk
menghukumkan sesuatu.
Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa menurut Padmo Wahjono politik hukum adalah
kebijakan penyelenggara negara yang bersifat
mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi
dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang
dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu.
Dengan demikian menurut Padmo Wahjono, politik
hukum berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa
datang (ius constituendum)
q). R. Otje Salman
R. Otje Salman menyatakan : Politik hukum yaitu
kegiatan memilih dan menerapkan nilai-nilai.127)
r). Riduan Syahrani
Politik Hukum menurut Riduan Syahrani : “Setiap
masyarakat yang teratur, yang menggunakan pola-pola
hubungan yang bersifat tetap antara para anggotanya,
adalah masyarakat yang mempunyai tujuan yang jelas.
Politik adalah bidang yang berhubungan dengan tujuan
masyarakat tersebut. Struktur politik menaruh perhatian
pada pengorganisasian kegiatan kolektif untuk
mencapai tujuan-tujuan bersama itu. Oleh karena itu
politik juga (merupakan) aktivitas memilih tujuan sosial
tertentu.”128)
s). Satjipto Rahardjo
127 ) Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999, hlm. 83.128 ) Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Penerbit Pustaka Kartini, Banjarmasin,
1991, hlm. 191.
81
Politik hukum adalah aktivitas memilih dan cara
yang hendak dicapai untuk mencapai suatu tujuan
sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Satjipto
Rahardjo lebih menitikberatkan definisi politik hukum
dengan menggunakan pendekatan sosiologis.129)
t). Solly Lubis
Solly Lubis memberikan pengertian dari politik
hukum itu sebagai kebijakan politik yang menentukan
aturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur
berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.130)
u). St. Harum Pudjiarto RS
Menurut St. Harum Pudjiarto RS : “Politik hukum
harus dipandang sebagai politik hukum dalam arti yang
luas/materiil, yakni tidak hanya berakhir pada
dikeluarkannya suatu undang-undang, tetapi dimulai
saat dibuatnya suatu undang-undang, pelaksanaannya
sampai pada penyesuaian atau perubahan seperlunya,
yang pada akhirnya akan dicapai tujuan dari politik itu,
yang tidak lain juga merupakan tujuan daripada hukum
itu sendiri.”
v). Soediman Kartohadiprodjo
Menurut Soediman Kartohadiprodjo : “Politik
Hukum adalah pemikiran yang menjadi dasar campur
tangan negara dengan alat-alat perlengkapannya
(pemerintah, badan perundang-undangan, dsb.) pada
hukum. Campur tangan negara dengan alat-alat
perlengkapannya pada hukum, dalam hal pelaksanaan
hukum, pengaruh pada perkembangan hukum, dan 129 ) Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1982, hlm. 316-318.130 ) M. Solly Lubis, Serba-serbi Politik dan Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1992, dalam Bintan
Regen Saragih, Politik Hukum, Penerbit CV Utomo, Bandung, 2006, hlm. 23-24.
82
penciptaan hukum. Dalam pelaksanaan hukum negara
berkewajiban mengadakan alat-alat perlengkapan
negara yang bertugas melaksanakan atau menegakkan
hukum menurut cara tertentu yang ditentukan oleh
negara, misalnya kepolisian, kejaksaan, pengadilan.
Pengaruh pada perkembangan hukum, hukum disusun
berdasarkan kesadaran hukum masyarakat. Apabila
kesadaran hukum masyarakat berkembang, maka
hukum akan berkembang pula. Negara berusaha
mempengaruhi perkembangan kesadaran hukum
masyarakat, sehingga pada gilirannya negara
mempengaruhi perkembangan hukum. Dan kemudian
dalam penciptaan hukum negara berkewajiban
memelihara keadilan dan ketertiban. Untuk memelihara
keadilan dan ketertiban tersebut negara menciptakan
hukum.”131)
w).Soedjono Dirdjosisworo
Soedjono Dirdjosisworo menyebut : “Politik hukum
sebagai disiplin hukum yang mengkhususkan dirinya
pada usaha memerankan hukum dalam mencapai
tujuan-tujuan yang dicita-citakan oleh masyarakat
tertentu.” 132)
x). Soehardjo Sastrosoehardjo
Menurut Soehardjo Sastrosoehardjo : “Politik
hukum bertugas meneliti perubahan mana yang perlu
diadakan terhadap hukum yang ada agar supaya
memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam
kehidupan masyarakat. Politik hukum tersebut
meneruskan arah perkembangan tertib hukum dari “Jus 131 ) Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Indonesia, PT Pembangunan Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 210-211.132 ) Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali, Jakarta 1983, hlm. 54.
83
Constitutum” menuju pada “Jus Constituendum”. “Politik
hukum tidak berhenti setelah dikeluarkan undang-
undang, tetapi justru disinilah baru mulai timbul
persoalan-persoalan. Baik yang sudah diperkirakan atau
diperhitungkan sejak semula, maupun masalah-masalah
lain yang timbul dengan tidak diduga-duga. Tiap
undang-undang memerlukan jangka waktu yang lama
untuk dapat memberikan kesimpulan seberapa jauh
tujuan politik hukum undang-undang tersebut telah
dicapai. Jika hasilnya diperkirakan sulit untuk dicapai,
apakah perlu diadakan perubahan atau penyesuaian
seperlunya.”133)
y). Sudarto
Politik hukum ialah kebijaksanaan dari negara
dengan perantaraan badan-badan yang berwenang
untuk menetapkan peraturan-peraturan yang
dikehendaki, yang diperkirakan bisa digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-
citakan.
Selanjutnya Sudarto menyatakan bahwa :
“Melaksanakan politik hukum pidana berarti
mewujudkan peraturan-peraturan perundang-undangan
pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada
suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.134)
Dengan demikian menurut Sudarto yang
dimaksud dengan politik hukum adalah:
133 ) St. Harum Pudjiarto RS., Memahami Politik Hukum Di Indonesia, Penerbitan Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1996, hlm. 18.
134 ) Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm. 93.
84
1) Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang
berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan
yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan
untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-
citakan.
2) Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang
baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu
waktu.
z). Teuku Mohammad Radhie
Teuku Mohammad Radhie dalam sebuah
tulisannya berjudul Pembaharuan dan Politik Hukum
Dalam Rangka Pembangunan Nasional mendefinisikan
politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak
penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di
wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum
yang dibangun.
Dengan kata lain Teuku Mohammad Radhie,
mengartikan : “Politik hukum sebagai pernyataan
kehendak penguasa negara mengenai hukum yang
berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah ke mana
hukum hendak dikembangkan. Selanjutnya
dikatakannya, kata “politik” dalam perkataan “politik
hukum” dapat berarti kebijaksanaan atau disebut
dengan “policy” dari penguasa. Jadi dengan demikian,
keikutsertaan negara dengan alat-alat
perlengkapannya, sebagai penguasa pergaulan hidup
negara di dalam politik hukum.”135)
135 ) Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Pustaka Kartini, Banjarmasin, 1991, hlm. 191.
85
Dalam definisi-definisi yang jumlahnya cukup banyak
itu, setelah dielaborasi muncul unsur-unsur yang sama, yaitu :
1. Kebijakan dasar penyelenggara
Negara;
2. Alat-alat perlengkapan Negara;
3. Dalam bidang hukum;
4. Yang akan, sedang dan telah berlaku;
5. Yang bersumber dari nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat;
6. Untuk mencapai tujuan negara yang
dicita-citakan.
Dari unsur-unsur tersebut, kita dapat menelaahnya
sebagai berikut :
1. Kebijakan dasar penyelenggara negara;
Setiap politik hukum akan berkaitan dengan kebijakan
negara. Dalam rangka menjalankan konstitusi, negara
berkeinginan/mempunyai kehendak mewujudkan
cita-cita/tujuan bangsa.
2. Alat-alat perlengkapan negara. Dalam prespektif trias
politika, negara di sini diartikan terdiri dari eksekutif,
legislatif dan yudikatif.
3. Dalam bidang hukum. Karena hukum itu sifatnya tidak
statis, ia harus sesuai dengan perkembangan dan aspirasi
masyarakat.
4. Yang akan, sedang dan telah berlaku. Hukum harus dibuat
secara sistematis dan terprogram (berkesinambungan)
5. Yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.
Falsafah dan pandangan bangsa merupakan wujud dari
nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat.
86
6. Untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Tujuan
negara yang dicita-citakan tertuang dalam konstitusi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa politik
hukum memiliki ciri adanya kebijakan negara melalui alat-alat
perlengkapannya dalam membuat, melaksanakan, dan
merubah hukum. Dengan kata lain, kata kebijakan di sini
berkaitan dengan adanya strategi yang sistematis, terinci dan
mendasarkan dalam merumuskan dan menetapkan hukum
yang telah dan akan dilakukan, dengan menyerahkan otoritas
legislasi kepada penyelenggara negara, tetapi dengan tetap
memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat dan
kesemuanya itu diarahkan dalam rangka mencapai tujuan
negara yang dicita-citakan.
Politik hukum suatu negara berbeda dengan negara
lainnya. Perbedaan ini disebabkan karena adanya perbedaan
latar belakang kesejarahan, pandangan dunia (world view),
sosial-kultural, dan polical will dari masing-masing
pemerintah. Dengan kata lain politik hukum bersifat lokal dan
partikular (hanya berlaku dari dan untuk negara tertentu
saja), bukan universal (berlaku seluruh dunia). Namun bukan
berarti bahwa politik hukum suatu negara mengabaikan
realitas dan politik hukum internasional. Perbedaan politik
hukum suatu negara tertentu dengan negara lain inilah yang
kemudian menimbulkan apa yang disebut dengan politik
hukum nasional.136)
Sedangkan bagian dari substansi politik hukum ini
akan terletak di bidang studi mengenai teknik perundang-
undangan (termasuk penemuan hukum oleh hakim-pen). Dari
kenyataan di atas tampak dibutuhkan studi interdisipliner.
136 ) Imam Syaukani/A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, penerbit PT RajaGrafindo, Jakarta, 2004, hlm. 13.
87
Kecuali interdisiplinaritas dalam arti pendekatan yang dipakai,
studi tentang politik hukum ini membutuhkan sedikit banyak
penguasaan bidang-bidang di dalam sistem hukum itu sendiri
misalnya hukum pidana, perdata, dagang dan seterusnya.
Penguasaan ini terutama menyangkut asas-asas yang
terdapat pada masing-masing bidang hukum tersebut.137)
Politik hukum mencakup kegiatan-kegiatan memilih
dan menterapkan nilai-nilai, merupakan disiplin hukum yang
mengkhususkan dirinya pada usaha memerankan hukum
dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh masyarakat
tertentu. Politik hukum yang menyelidiki perubahan-
perubahan apa yang seharusnya diadakan terhadap hukum
yang berlaku pada masa kini, sehingga lebih selaras dengan
perasaan hukum yang ada pada masyarakat, dan berusaha
sedapat mungkin meredakan ketegangan yang terjadi antara
peraturan perundang-undangan dengan perasaan hukum
masyarakat.138) Politik Hukum adalah pernyataan kehendak
dari pemerintah negara mengenai hukum yang berlaku di
wilayahnya dan ke arah mana hukum akan dikembangkan.
(Dalam masalah ini (orde baru-pen) di Indonesia dapat dilihat
pada GBHN).139)
Politik hukum dalam hal ini adalah merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan dinamika demikian itu, karena
ia diarahkan kepada ius constituendum atau hukum yang
seharusnya berlaku. Sering pula pelajaran hukum umum,
sebagai ilmu hukum positif, membuat penilaian
137 ) J.B Daliyo, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Kerjasama APTIK dengan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, hlm. 142.
138) Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum, CV Pustaka Setia, Bandung, 1999, hlm. 82-83.139 ) Muntoha, Urgensi Nilai-nilai Agama Dalam Pembangunan Hukum Nasional, dalam
Tantangan Pembangunan Di Indonesia : Beberapa Pandangan Kontemporer Dari Dunia Kampus; Bahan-bahan Rujukan dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Untuk Sidang Umum MPR 1998 Tentang GBHN; Penerbit UII Press; 1997, hlm. 144.
88
(waardeoordelen) tentang kaidah-kaidah hukum dan sistem
hukum yang telah diselidikinya dan selanjutnya menentukan
hukum yang seharusnya berlaku (ius constituendum).
Menentukan ius constituendum ini pada pokoknya suatu
perbuatan politik hukum. Itulah sebabnya beberapa
pengarang menganggap pelajaran hukum umum bukan ilmu
(science) tetapi art (atau politik). Hukum menjadi juga objek
politik, yaitu objek dari politik hukum. Politik hukum berusaha
membuat kaidah-kaidah yang akan menentukan bagaimana
seharusnya manusia bertindak.140)
Menurut Frans Magnis-Suseno, tujuan negara adalah
memajukan kepentingan masyarakat dalam kerangka
keadilan, kebebasan, dan solidaritas bangsa. Apabila kita
bertolak dari tugas negara untuk mendukung dan
melengkapkan usaha masyarakat untuk membangun
kehidupan yang sejahtera, di mana masyarakat dapat hidup
dengan sebaik dan seadil mungkin, maka tujuan negara
adalah penyelenggara kesejahteraan umum. 141)
Hukum sebagai kaidah atau norma sosial tidak
terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat,
bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan
pencerminan dan konkretisasi dari nilai-nilai yang pada suatu
saat berlaku dalam masyarakat. 142) Artinya, hukum sedikit
banyak akan selalu mengikuti tata nilai yang menjadi
kesadaran bersama masyarakat tertentu dan berlaku secara
efektif dalam mengatur kehidupan mereka. Hal yang sama
terjadi juga dalam politik hukum.
140 ) Ibid.141 ) Lihat...Frans Magnis-Suseno, Etika Politik : Prinsip-prinsip Dasar Kenegaraan Modern,
Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1994, hlm. 310-314.142 ) Lihat...Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Edisi I, Cet. IX, Jakarta,
RajaGrafindo Persada, 1999, hlm. 14.
89
Melihat uarian di atas dan berdasarkan unsur-unsur
yang sama yang ditemukan dari pendapat para pakar tentang
politik hukum di atas, pendapat yang paling mendekati
kecocokan dalam penelitian ini adalah pendapat dari
Soediman Kartohadiprodjo, dan untuk itulah pendapat ini
dijadikan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini.
Setelah dibahas tentang politik hukum, maka sekarang
perlu diulas tentang pengertian dari Hukum Perlindungan
Konsumen dan Hukum Konsumen. Namun, sebelum mengulas
tentang pengertian dari Hukum Perlindungan Konsumen dan
Hukum Konsumen, perlu dikemukakan terlebih dahulu
pengertian tentang konsumen, pelaku usaha dan
perlindungan konsumen, kemudian bagaimana hubungan
antara Hukum Perlindungan Konsumen atau Hukum
Konsumen dengan Hukum Ekonomi.
Dalam UUPK disebutkan bahwa, “Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak
untuk diperdagangkan.”143) Pengertian konsumen yang
dimaksud dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.
Sedangkan, “Pelaku usaha adalah setiap orang
perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.”144) Menurut penjelasannya, pelaku usaha
yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan,
143 ) Pasal 1 angka 2 UUPK.144 ) Pasal 1 angka 3 UUPK.
90
korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan
lain-lain.
Jika kegiatan usaha dalam pelbagai bidang ekonomi
dipadankan dengan istilah bisnis (business), maka di dalam
Black’s Law Dictionary dinyatakan bahwa ‘Business’ adalah
Employment, occupation, profession, or commercial activity
engaged in for gain or livelihood (Pekerjaan, profesi, atau
kegiatan komersial terkait dengan keuntungan atau mata
pencaharian)
Jadi, menurut Johannes Gunawan, aktivitas bisnis atau
kegiatan usaha dalam pelbagai bidang ekonomi tidak selalu
mencari laba, tetapi dapat juga nirlaba, yaitu untuk mata
pencaharian.145)
Sedangkan istilah ekonomi adalah istilah yang
digunakan untuk menunjukkan setiap tindakan atau proses
yang bersangkut paut dengan penciptaan benda-benda atau
jasa-jasa yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan manusia.146)
Definisi ini juga tidak memberikan indikasi bahwa istilah
‘ekonomi’ senantiasa terkait dengan laba, melainkan hanya
menyatakan untuk memenuhi kebutuhan manusia, tentu
termasuk yang nirlaba.
Sementara itu pengertian perlindungan konsumen
menurut UUPK, adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada
konsumen. 147)
Perlindungan konsumen merupakan masalah
kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi
145 )Johannes Gunawan, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 8, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1999, hlm. 45.
146) Ibid.147 ) Pasal 1 angka 1 UUPK.
91
semua bangsa di dunia untuk dapat mewujudkannya.
Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan
hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai
keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen,
pengusaha, dan pemerintah148).
Faktor utama bagi hukum untuk dapat berperan dalam
pembangunan ekonomi adalah apakah hukum mampu
menciptakan stability, predictability dan fairness. Dua hal
yang pertama adalah prasyarat bagi sistem ekonomi apa saja
untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stability adalah
potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi
kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan fungsi hukum
untuk dapat meramalkan (predictability) akibat dari suatu
langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri
yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki
hubungan-hubungan ekonomi yang tradisional. Aspek
keadilan (fairness), seperti perlakuan yang sama dan standar
pola tingkah laku pemerintah adalah perlu untuk menjaga
mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.149)
Dari adanya peranan hukum dalam pembangunan
ekonomi, maka munculah hukum ekonomi. Istilah hukum
ekonomi sebagai nama untuk sekelompok peraturan hukum di
bidang ekonomi belum begitu lama. Meskipun istilah ini belum
diterima dengan sikap yang sama oleh seluruh perguruan
tinggi (hukum) di Indonesia, tetapi kenyataannya istilah
hukum ekonomi ini makin meluas dikenal. Kalau hukum
ekonomi diartikan sebagai keseluruhan peraturan hukum
148 )Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadid Media, Jakarta, 2002, hlm. 19.
149 ) Erman Rajagukguk, Peranan Hukum di Indonesia, Menjaga Persatuan, Memulihkan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Pidato yang disampaikan pada Dies Natalis dan Peringatan Tahun Emas Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, 2000, hlm.13.
92
yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi dan hubungan
ekonomi, hukum perlindungan konsumen, menurut wilayah
materinya, termasuk ke dalam hukum ekonomi itu. Dengan
kata lain, hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari
hukum ekonomi.
Sedangkan ruang lingkup materi hukum ekonomi
menurut Schrans, seorang ahli hukum ekonomi Belanda,
adalah sebagai berikut150) :
1. Dasar-dasar hukum ekonomi (de juridishe
grondslagen van het economisch recht) yang menyangkut
asas-asas pasar bebas, kaidah-kaidah mengenai hak milik
dan kontrak, serta kaidah-kaidah mengenai
pertanggungjawaban;
2. Kedudukan hukum pelaku-pelaku di
bidang ekonomi (het statuut van de economische
agenten), seperti kaidah-kaidah mengenai perusahaan
swasta maupun perusahaan negara, perusahaan nasional
maupun asing, dan sebagainya;
3. Kaidah-kaidah hukum ekonomi yang
secara khusus memperhatikan kepentingan umum (het
economisch ordenings-recht), seperti kaidah-kaidah yang
mencegah persaingan yang tidak wajar, kaidah-kaidah
anti-trust, perlindungan terhadap konsumen, dan lain-lain;
4. Kaidah-kaidah yang menyangkut struktur
organisasi yang mendukung kebijaksanaan ekonomi
pemerintah;
5. Kaidah-kaidah yang mengarahkan
kehidupan perekonomian (het economisch ordenings-
recht), seperti :150 ) Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Binacipta, Bandung, 1988,
hlm.54. Lihat…Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 63-64.
93
a. Kebijaksanaan konjungtur (harga-
harga, peredaran uang, pengawasan terhadap kredit,
perdagangan internasional, penjualan barang-barang
dan jasa-jasa kepada negara, fiskal)
b. Kebijaksanaan mengenai struktur
ekonomi, seperti keputusan-keputusan Dewan Stabilitas
Ekonomi mengenai perlindungan golongan lemah,
asuransi tenaga kerja, dan lain-lain.
c. Penegakan hukum ekonomi
(sanksi-sanksi, incentives, dan lain-lain)
Mengikuti uraian tentang ruang lingkup hukum
ekonomi di atas tampak bahwa hukum tentang perlindungan
konsumen termasuk di dalamnya yaitu bidang hukum
ekonomi yang mempersoalkan tentang kaidah-kaidah hukum
yang khusus memperhatikan kepentingan umum.151)
Mengikuti pembagian cakupan hukum ekonomi yang
dibuat oleh ELIPS Project, maka mata kuliah hukum
perlindungan konsumen adalah salah satu mata kuliah yang
termasuk dalam bidang hukum ekonomi. Dari segi materi
yang dipersoalkan pada hukum perlindungan konsumen, yaitu
perlindungan hukum terhadap seseorang dalam
kedudukannya sebagai konsumen barang atau jasa, di mana
produk ini adalah hasil dari kegiatan ekonomi dan diperoleh
melalui hubungan ekonomi maka tepatlah kalau hukum
perlindungan konsumen dikelompokkan ke dalam hukum
ekonomi.152)
Pada umumnya konsumen berada pada posisi yang
lebih lemah dalam hubungannya dengan pelaku usaha, baik
secara ekonomis, tingkat pendidikan maupun kemampuan 151) Lihat…Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006, hlm. 64.152) Ibid.
94
daya tawarnya. Untuk menyeimbangkannya kedudukan
tersebut, maka dibutuhkan perlindungan pada konsumen
yang pokoknya pedomannya telah dimuat dalam alinea 4
Pembukaan UUD 1945.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja berdasarkan
rumusan Hukum Internasional, maka Hukum Konsumen
adalah : “Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum
yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak
satu sama lain berkaitan dengan barang atau jasa konsumen,
di dalam pergaulan hidup.153)
Berdasarkan rumusan yang diberikan oleh Mochtar
Kusumaatmadja, maka yang dimaksud dengan Hukum
Perlindungan Konsumen adalah : “Keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi
konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para
penyedia barang atau jasa konsumen. 154)
Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan
dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para
pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya
saing maupun tingkat pendidikan. Hal ini didasarkan pada
pemikiran bahwa bagi mereka yang berkedudukan seimbang,
maka mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan
dan menegakkan hak-hak mereka yang sah.
Hukum Perlindungan Konsumen yang merupakan
bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau
kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan melindungi
kepentingan konsumen. Dengan demikian, hukum
perlindungan konsumen dibutuhkan apabila kondisi para
153) Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, Bina Cipta, 1997, hlm. 3.
154) Az. Nasution, Loc. Cit, hlm. 66.
95
pihak yang mengadakan hubungan hukum atau bermasalah
dalam masyarakat itu tidak seimbang.
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen (Pasal 1 butir (1) UUPK),
pengertian yang disampaikan UUPK tersebut tampaknya
merupakan pengertian dalam arti yang sangat luas sehingga
masih terbuka peluang untuk melahirkan berbagai macam
penafsiran.
Batasan yang jelas dan tegas mengenai apa yang
dimaksud dengan hukum perlindungan konsumen, sampai
saat ini belum bisa disusun dan disepakati oleh para teorisi
hukum maupun praktisi hukum Indonesia. Namun
pembatasan masih tetap diperlukan, sekalipun sangat
disadari dan dimengerti bahwa akan ada saja kelebihan
ataupun kekurangannya.
Az Nasution mengakui, asas-asas dan kaidah-kaidah
hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu
tersebar dalam berbagai bidang hukum, baik tertulis maupun
tidak tertulis. Ia menyebutkan seperti hukum perdata, hukum
dagang, hukum pidana, hukum administrasi negara dan
hukum internasional, terutama konvensi-konvensi yang
berkaitan dengan kepentingan konsumen. Pernyataan Az
Nasution tersebut kemudian mendapatkan tanggapan dari
Shidarta.155)
“…masih belum jelas dari pernyataan Az Nasution adalah berkaitan dengan kaidah-kaidah hukum perlindungan konsumen yang senantiasa bersifat mengatur. Apakah kaidah yang bersifat memaksa tetap memberikan perlindungan kepada konsumen tidak
155 ) Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, PT Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 12.
96
termasuk dalam hukum perlindungan konsumen ?…”
Hukum konsumen dengan hukum perlindungan
konsumen merupakan istilah yang sering disamaartikan. Ada
yang mengatakan hukum konsumen adalah juga hukum
perlindungan konsumen. Namun ada juga yang
membedakannya.
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
mempergunakan hukum perlindungan konsumen, tetapi
Hondius, ahli hukum konsumen dari Belanda menyebutnya
dengan hukum konsumen (konsumentenrecht).156)
Bagaimanapun batasan tersebut tetap diperlukan, sekalipun
terdapat banyak kelebihan dan kekurangannya.
Az Nasution membedakan hukum konsumen dengan
hukum perlindungan konsumen. Seperti dikatakan dalam
bukunya “Hukum Perlindungan Konsumen”, sebagai berikut:
“ Hukum Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.”157)
Sedangkan beliau juga memberikan batasan
pengertian tentang Hukum Perlindungan Konsumen, yaitu:
“ Keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan bermasyarakat.”158)
156 ) NHT. Siahaan, Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggungjawab Produk), Panta Rei, Jakarta, 2005, hlm. 30.
157) Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Diadit Media, Jakarta, 2002, hlm. 22.158) Ibid.
97
Sementara N.H.T Siahaan dalam bukunya “Hukum
Konsumen” beranggapan tidak perlu membedakan kedua
istilah hukum konsumen dengan hukum perlindungan
konsumen. Menurut pendapatnya bahwa Hukum Konsumen
dan Hukum Perlindungan Konsumen adalah satu kesatuan,
sebagaimana dikatakan : “Serangkaian norma-norma yang
bertujuan melindungi kepentingan konsumen atas
pemenuhan barang dan atau jasa yang didasarkan kepada
manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan
keselamatan konsumen serta kepastian hukum”159)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum
perlindungan konsumen adalah yang senantiasa bersifat
mengatur dan juga melindungi kepentingan konsumen.
Sedangkan hukum konsumen adalah hukum yang mengatur
hubungan dan masalah antara para pihak satu sama lain yang
berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam
pergaulan hidup bermasyarakat.
Maka dapat dikatakan bahwa hukum konsumen adalah
berskala lebih luas meliputi berbagai aspek hukum yang
terdapat kepentingan para pihak konsumen di dalamnya. Jadi
sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan
konsumen dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan
ditarik batasannya.160)
Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan
dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi para
pihaknya berimbang dalam kedudukan sosial ekonomi, daya
saing maupun tingkat pendidikan. Hal ini didasarkan pada
159 ) NHT. Siahaan, Hukum Konsumen (Perlindungan Konsumen dan Tanggungjawab Produk), Panta Rei, Jakarta, 2005, hlm. 33.
160 ) Az. Nasution, Loc. Cit, hlm. 66. (Az. Nasution, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen Tinjauan Singkat UU Nomor 8 Tahun 1999-L.N. 1999 No. 42, Jakarta, 17 Maret 2003, - pemantauperadilan.com)
98
pemikiran bahwa bagi mereka yang berkedudukan seimbang,
maka mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan
dan menegakkan hak-hak mereka yang sah.
Hukum Perlindungan Konsumen (merupakan bagian
dari hukum konsumen), memuat asas-asas atau kaidah-
kaidah yang bersifat mengatur dan melindungi kepentingan
konsumen. Dengan demikian, hukum perlindungan konsumen
dibutuhkan apabila kondisi para pihak yang mengadakan
hubungan hukum atau bermasalah dalam masyarakat itu
tidak seimbang.
Terdapat pendapat lain bahwa, lahirnya hukum
perlindungan konsumen sebagai salah satu cabang baru ilmu
hukum, atau yang kadangkala dikenal juga dengan hukum
konsumen (consumers law)161), timbul akibat adanya
kesadaran konsumen dunia.
Dengan kata lain, Hukum (perlindungan) konsumen
merupakan cabang hukum yang baru, namun bercorak
universal. Sebagian besar perangkatnya diwarnai hukum
asing, namun kalau kita teliti dari hukum positip yang sudah
ada di Indonesia ternyata dasar-dasar yang menopang sudah
ada sejak dulu termasuk dalam hukum adat.162)
Perkembangan hukum konsumen di dunia bermula dari
adanya gerakan perlindungan konsumen (consumers
movement).163)
161) Lihat... Gunawan Wijaya/Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm.12.
162) Ibid.163 ) Era ketiga dari pergolakan konsumen terjadi dalam tahun 1960-an yang melahirkan era hukum
perlindungan konsumen dengan lahirnya satu cabang hukum baru, yaitu hukum konsumen (consumers law). Lihat …Gunawan Widjaja/Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001, hlm.12, 14.
99
------fte-----
100