Upload
others
View
14
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Negosiasi Identitas Dalam Kajian Komunikasi Budaya
1.1.1 Komunikasi Antarbudaya
Konsep penggabungan budaya dan komunikasi adalahdua konsep yang
tidak dapat dipisahkan. Hal ini terletak pada proses atau metode komunikasi antar
manusia atau kelompok yang menggunakan pesan (verbal maupun non verbal),
dengan sendirinya kode ini selalu digunakan di semua lingkungan interaktif
(Liliweri, 2003: 12). Artinya pola dan perilaku dalam budaya merupakan salah
satu bentuk komunikasi yang dilakukan oleh individu dan kelompok, sehingga
suatu interaksi terbentuk melalui tafsir dan pemahaman bersama. Proses yang
terjadi adalah negosiasi dengan latar belakang budaya yang berbeda, namun tidak
ada jaminan bahwa keduanya dapat saling memahami, menerima atau bahkan
menolak.
Menafsirkan komunikasi dalam budaya yang berbeda dapat
menghasilkan sesuatu yang baik bila tidak adanya kesalahpahaman informasi
dapat mengurangi konflik yang mungkin timbul. Munculnya perbedaan budaya
adalah penggunaan adagium, yaitu semakin berbeda budaya peserta dalam
pertukaran, semakin besar kemungkinan orang akan bias terhadap makna lintas
budaya, dan semakin sedikit atau bahkan tidak ada bias terhadap makna. di antara
mereka (Liliweri, 2003: 46).
9
Menurut GuoMing Chen danWilliam Stastada yang dikutip dalam buku
"Prejudice and Conflict", komunikasi lintas budaya adalah proses menceri
pesepakatan atau pertukaran simbol dan sistematis yang memandu kebiasaan
manusia dan membatasi perilakunya sebagai kelompok. Dapat melakukan
kegiatan pertukaran budaya, antara lain
1. bernegosiasi untuk mengikutkan orang dalam pertemuan budaya yang
berbeda membicarakan suatu isu (menyampaikan isu melalui simbol) yang
diperebutkan, simbol tersebut belum tentu berarti tetapi bermakna disuatu
situasi, arti tersebut dinegosiasikan atau dipertahankan.
2. Dengan pergantian simbol sesuai kesepakatan atau subjek yang terlibat
dalam komunikasi, diputuskan agar ikut serta dalam proses pemberian
makna yang sama.
3. Sebagai pedoman tingkah laku budaya yang tidak terprogram tetapi
berguna karena mempengaruhi tingkah laku.
4. memperlihatkan fungsi suatu kelompok agar kita bisa membedakan diri
kita dengan kelompok lain (Liliweri, 2005: 368).
Ketika dua pihak atau lebih mengalami makna komunikasi dan pengertian
yang sama, kesepakatan akan dicapai melalui komunikasi yang efektif. Kondisi
kehidupan masyarakat di Tarakan.Selama proses lamaran, suku Bulungan dan
suku Jawa saling bertukar pesan yang bertujuan untuk mencapai kesepakatan
dalam dua budaya yang berbeda. Kedua suku tersebut terlibat dalam konflik
budaya yaitu perkawinan. Dengan cara demikian, tidak hanya akan mempengaruhi
internal kelompok keluarga, tetapi juga antar kelompok suku yang luas.Oleh
karena itu, dalam konsep ini terjadi proses negosiasi antara kedua budaya yang
10
telah menjadi hubungan simbolik antar suku. dua kelompok. berkomunikasi
dengan.
1.1.2 Negosiasi Identitas Dalam Komunikasi Budaya
Dalam masyarakat, manusia pasti mempunyai identitas sebagai dasar atau
konsep diri, dan komponen membentuk konsep diri ialah local budaya dari budaya
aslinya. Identitas tersebut didapat melalui proses berinteraksi sesama manusia di
lingkungan rumah. Dengan kata lain, setiap orang mempunyai konsep diri yang
tidak sama, yang bergantung pada budaya konsep diri mereka.
Menurut Stella Ting-Toomey konsep negosiasi diterangkan sebagai proses
interaksi perundingan disetiap individu antar budaya yang mencoba mengikat,
menerangkan, mengubah, mempertanyakan atau mempertahankan identitas yang
diinginkan pada diri sendiri atau pada orang lain. Negosiasi identitas adalah
kegiatan komunikatif, dikarena proses negosiasi identitas didalamnya ada proses
interaksi dan transaksi dari para pelakunya. Tentunya setiap orang dalam
lingkungan budaya tertentu secara sadar dan tidak sadar akan melakukan proses
tersebut, sehingga membentuk konsep diri atau identitas diri.
Ada 10 inti anggapan teoritis dalam teori yang dipaparkan oleh Ting
Tomey negosiasi identitas (dalam Littlejohn dan Foss, 2009):
1. Identitas sekelompok orang dan dinamika identitas utama dibentuk
melalui komunikasi simbolik dengan orang lain.
2. Kumpulan individu disebuah kelompok budaya atau suku apapun pada
dasarnya termotivasi untuk memperoleh identitas yang nyaman,
kepercayaan, partisipasi, hubungan, dan kemantapan pada tingkat identitas
individu dan kelompok.
11
3. Setiap individu-individu lebih mengarah kepada adaptasi pada lingkungan
budaya yang akrab, atau sebaliknya, menjadi jati diri yang rapuh di
kondisi yang baru. Saat berinteraksi dengan orang lain yang memiliki
budaya yang sama atau menyerupai, setiap orang cenderung mengalami
kenyamanan Identitas Ketika saya merasa saya setuju dengan keyakinan
saya, dan sebaliknya, identitas saya bergetar ketika mengkomunikasikan
topik yang berbeda dari peraturan budaya.
4. Orang akan mendapatkan stabilitas identitas di bawah keadaan budaya
yang dapat diperkirakan, dan mendapatkan pergantian identitas atau
guncangan di bawah situasi budaya yang tidak diperkirakan sebelumnya.
5. Ruang lingkup budaya, individu dan berbagai keadaan akan memberi
dampak makna, pemahaman dan evaluasi dari subjek atau masalah
identitas.
6. Keputusan yang dihasilkan dari negosiasi identitas meliputi perasaan
dipahami, dihargai, dan disupport.
7. Komunikasi lintas budaya yang serius mementingkan pentingnya
menggabungkan pengetahuan, motivasi dan keterampilan lintas budaya
agar dapat melakukan komunikasi dengan puas, akurat dan efektif.
8. Dimensi budaya, pribadi dan ragam situasi mempengaruhi makna,
pemahaman dan evaluasi tema atau masalah identitas.
9. Keputusan yang dihasilkan dari negosiasi identitas melibatkan perasaan
dipahami, dihargai dan didukung.
12
10. Komunikasi lintas budaya yang sadar menekankan pentingnya
mengintegrasikan pengetahuan, motivasi, dan teknologi antar budaya
untuk komunikasi yang memuaskan, akurat, dan efektif.
Ting Toomey (dalam Littlejohn dan Foss, 2011: 133) Ketika kita mampu
secara sadar dan mudah berbagi dari satu lingkungan budaya ke lingkungan lain,
dan ketika kita menyebutkan keadaan bikulturalisme fungsional atau budayaisme
fungsional, maka kita telah mencapai keadaan transformator budaya. Kunci untuk
memperoleh kondisi tersebut adalah kompetensi antar budaya. Kompetensi antar
budaya meliputi 3 komponen:
1. Pengetahuan (knowledge) adalah pemahaman tentang berartinya
karakteristik ras atau budaya, dan keahlian untuk memahami konten
penting orang lain. Dengan kata lain, memiliki pemahaman tentang
identitas budaya dan bisa membedakan segala perbedaan.
2. Kesadaran(mindfulness). Kesadaran hanya terlihat memperhatikan dan
menjadi sadar sepenuhnya.
3. Ability (keterampilan). Kemampuan merujuk pada kemampuan agar
menegosiasikan identitas dengan cara pengamatan yang cermat,
mendengarkan, empati, peka non-verbal, kesopanan, penataan ulang, dan
kolaborasi.
Sebagian orang memilih tidak keberatan ketika berhadapan dengan negosiasi
identitas, sementara yang lain lebih memperhatikan dinamika proses negosiasi
identitas. Kesadaran adalah proses konsentrasi kognitif yang didapatkan dengan
melatih keterampilan berulang. Ting Toomey (dalam Littlejohn dan Foss, 2009)
13
Menjelaskan komunikasi perhatian lintas budaya. Kesadaran berarti bersedia
mengubah kerangka acuan, bersedia memakai hal baru untuk memahami
pembedaan budaya atau etnis, dan bersedia mencoba peluang inovatif untuk
membuat keputusan dan memecahkan masalah. Di sisi lain, ketidaksadaran sangat
bergantung kepada bagan referensi yang sudah dikenal, kategori dan rutinitas
desain, dan cara-cara biasa dalam mengerjakan sesuatu. Standar komunikasi yang
perlu diperhatikan adalah:
1. Kecocokan : Ukuran agar tingkahlaku dilihat sesuai dan konsisten seperti
apa yang seharusnya dari budaya.
2. Efektivitas mengukur agar komunikator mendapatkan makna bersama dan
3. hasil yang diperoleh dalam keadaan tertentu.
Gambaran umum teori negosiasi identitas yang dikemukakan Ting Toomey di
atas adalah bahwa semua manusia mempunyai konsepsi diri (self-identity) yang
dibentuk oleh hasil berinteraksi sesama orang lain dalam domain budaya yang
sama. para individu akan mengingkari jati dirinya ketika sedang berada di tempat
nilai budaya yang tidak sama bisa juga ketika dihadapkan dengan individu lain
yang mempunyai nilai identitas berbeda.
1.1.3 Struktur Negosiasi
Struktur negosiasi memiliki beberapa tahap yang terjadi, hal tersebut seperti :
1. Persiapan
Dalam persiapan negosiasi mencakup :
a. Mencari tau inforrmasi
b. Tentukan tujuan
c. Mengatur pengutamaan
14
d. Kembangkan cara negosiasi
e. Mencari tahu relevansi atau batas amanah yang dikasih.
f. Pertimbangkan konsekuensinya
2. Diskusi
Bernegosiasi diawali dengan pidato kemudian dibuka dengan
kedua belah pihak. Fase bernegosiasi meliputi komunikasi, presentasi,
analisis sinyal, dan ekspresi argumen.
3. Perundingan
Diskusi atau masalah tidak bisa terjadi terus menerus, dalam satu
tahap, berdiskusi untuk memperoleh jalan untuk meminta dan menawar.
4. Penutup dan Kesepakatan
Ditahap ini semua pihak mencari kesepahaman yang bisa mereka
terima bersama (Heron dan Vandenabeele 11-12 : 1998). Dari pernyataan
di atas terlihat bahwa ada empat tahapan dalam proses negosiasi, yaitu
persiapan, pembahasan atau musyawarah, dan negosiasi untuk
menyelesaikan perbedaan atau masalah dalam negosiasi dan mencapai
kesepakatan.
1.2 Identitas Budaya
Kata identitas berasal dari bahasa Inggris identity yang memiliki ciri khas
yang membedakannya dengan seseorang atau sesuatu, tanda atau makna literal
dari identitas Ting Toomey mengartikan identitas berasal dari keluarga, jenis
kelamin, budaya nasional dan proses sosialisasi. Komunikasi yaitu perangkat agar
menciptakan identitas dan mekanisme perubahan. Identitas terbentuk dalam
15
interaksi dengan orang lain.Menurut Hecht, dikutip Littlejohn dan Foss
(2011:133) Identitas adalah sejenis kode yang mendefinisikan keanggotaan
berbagai kode yang tersusun dari simbol-simbol yang ada dalam masyarakat,
simbol-simbol tersebut antara lain pakaian (seperti bentuk pakaian) dan kata-kata
yang dimiliki (seperti deskripsi diri).
Kebudayaan berhubungan dengan tatanan hidup manusia, manusia belajar
untuk berfikir, merasakan, percaya dan mencari hal-hal yang sesuai dengan
budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, metode komunikasi kegiatan
sosial, kegiatan ekonomi, politik dan teknis, dan berdasarkan pola budaya
(Mulyana dan Rakhmad 2014:18). Mulyana dan Rakhmad percaya bahwa budaya
maerupakan konsep yang merangsang ketertarikan. Kebudayaan secara formal
diartikan sebagai rangkaian pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap,
makna, hierarki, peran agama, waktu, dan hubungan spasial, konsep alam
semesta, dan urutan benda material dan properti yang diperoleh oleh suatu benda.
banyak orang. Melalui upaya individu dan kolektif, dari generasi ke generasi.
Inti dari identitas budaya adalah nilai-nilai, kepercayaan dan tradisi yang
ditanamkan dalam kurun waktu yang cukup lama untuk mengaitkannya dengan
identitas seseorang, namun identitas tersebut akan berubah seiring berjalannya
waktu, yang akan mempengaruhi komunikasi setiap orang.
16
1.2.1 Komponen Identitas Budaya
Menurut Liliweri (2001:114-136), ada beberapa komponen yang
membentuk identitas budaya, yaitu:
1. Pembelajaran dan penenrimaan tradisi:
a. Melihat tentang kehidupan, kosmologi dan ontologi. Ketiga bagian
akan ada hadir di setiap budaya. Pandangan hidup ini dapat terlihat
dengan keyakinan, sikap dan nilai yang telah diajarkan.
b. Norma budaya menunjukan peraturan atau standar tingkah laku yang
diterapkan setiap orang dalam keadaan tertentu atau umumnya.
c. Setiap budaya memiliki konsep tentang masa lalu, sekarang, dan masa
depan. Mereka yang bukan anggota kelompok harus memiliki
pemahaman yang berbeda tentang konsep ruang dan waktu. Konsep
waktu melibatkan membagi nama tanggal menjadi periode waktu dan
membagi waktu menurut kegunaanya.
d. Setiap budaya mengajarkan anggotanya arah ruang dan jarak. Saat
berkomunikasi, ruang lebih terkait dengan kebutuhan sosial, tapi jarak
lebih terkait dengan jarak fisik.
2. Skema kognitif biasanya ditentukan oleh pandangan pribadi, dan
pandangan pribadi bergantung pada pengalaman kognitif seseorang dari
budayanya. Rencana tersebut mempengaruhi berbagai keputusan untuk
memprioritaskan fungsi objek sesuai dengan waktu dan lokasi. Setiap
budaya mengajarkan model kognitif yang berbeda. Misalnya, informasi
tentang pentingnya makanan, sandang, atau tempat tinggal tampaknya
telah menjadi kebutuhan dasar bagi semua budaya, dan informasi
17
semacam itu mungkin belum tentu mendapat prioritas yang sama dalam
skema kognitif komunikator.
3. Bahasa dan sistem simbol. Setiap budaya membuat bahasa menjadi media
untuk mengungkapkan doktrin, nilai dan norma budaya kepada
pendukungnya. Bahasa adalah mediator pemikiran, ucapan dan perilaku.
Bahasa adalah nilai dan norma, yaitu bahasa yang menerjemahkan
program kognitif manusia untuk mengartikan persepsi, sikap, dan
keyakinan manusia akan dunia. membahas bahasa tidak terlepas dari
pertanyaan tentang simbol. membahas tentang simbol berarti kita
berbicara tentang bagaimana memberi makna pada suatu objek. disemua
bangsa memiliki simbol budayanya sendiri untuk mengekspresikan
kepentingan tertentu.
4. Agama, mitologi, dan cara mengkomunikasikannya. Setiap budaya
memiliki tanda dan kejadian yang tidak bisa dijelaskan secara wajar, yang
tidak dapat dijelaskan hanya dengan iman. Setiap budaya mengajarkan
anggota komunitasnya tentang agama, mitologi, dan cara mengekspresikan
keragaman anggota etnis.
5. Hubungan sosial dan jaringan komunikasi. Keluarga selalu dibentuk
dalam komunitas kecil dan menjadi media sosialisasi budaya. Relasi dalam
masyarakat bisa berbentuk kerjasama atau kompetisi dan individualisme,
tergantung budaya lisan atau bacaan. Sebagian besar budaya membaca
dianggap sebagai budaya modern, bersifat personal, eksklusif, dan tidak
melibatkan komunisme.
18
1.2.2 Pembentukan Identitas Budaya
Liliweri 2003: 35-46) memaparkan bahwa identitas kebudayaan
dikembangkan melalui proses yang meliputi beberapa tahap, yaitu:
1. Identitas budaya yang tidak sengaja
Pada titik inilah identitas budaya terbentuk secara tidak sengaja
atau tidak disadari. Dipengaruhi oleh budaya yang dominan, sehingga
orang bergabung dengan mereka membentuk identitas baru.
2. Pencarian identitas budaya
Pencarian identitas budaya mencakup proses memunculkan,
mempertanyakan, dan menguji identitas lain, seperti menemukan dan
memahaminya dengan mengerjakan penelitian mendalam, bertanya
kepada keluarga, teman, bahkan penelusuran ilmiah.
3. Identitas budaya yang diperoleh
Ini adalah salah satu bentuk identitas, identitas kita dibentuk
melalui interaksi budaya, dan kejelasan serta keyakinan kita pada
penerimaan diri sendiri dapat dijelaskan secara detail.
4. Konfirmitas: internalisasi
Proses membentuk identitas juga mampu digapai dengan internalisasi
yang membentuk confornitas. Dengan demikian, proses internalisasi
dan untuk memastikan bahwa standar yang dimiliki menjadi sama
(sesuai) dengan norma yang dominan atau mengasimilasi norma yang
dimiliki dalam budaya dominan.
19
5. Resistensi dan separatism
Membentuk identitas kultur dari sebuah komunitas yang
berperilaku seksklusif untuk menolak norma kultur dominan.
6. Integrasi
Identitas baru yang dibentuk oleh seseorang atau sekelompok
orang merupakan hasil penggabungan berbagai budaya yang
bersumber dari komunitas atau masyarakat asalnya.
1.2.3 Pembentukan Identitas Etnis
Phinney (1990:171), dikutip Suharno, 2007) memaparkan identitas etnis
sebagai struktur yang kompleks, termasuk komitmen terhadap suatu kelompok
dan perasaan bersama (etnis), evaluasi positif terhadap kelompok, adanya minat
dan pengetahuan kelompok, dan partisipasi dalam kegiatan sosial kelompok etnis
tersebut. Identitas rasial sebagai konsep diri merupakan hasil bentukan
remaja.Pemuda dari sebagian besar etnis biasanya tidak menemui kesulitan dalam
proses pembentukannya, karena hanya menganut nilai-nilai suku mayoritas, akan
tetapi bagi remaja hal tersebut mengembangkan rasa identitas etnis Prosesnya
lebih rumit. Lebih spesifik mereka akan memilih pilihan tentang identifikasi diri
mereka sendiri, berdasarkan:
1. Sintesis multikultural; Secara pribadi dan kompeten mengidentifikasi diri
Anda secara efektif dengan lebih dari satu kelompok.
2. Kompeten multikultural dan berorientasi pada kelompoknya sendiri.
3. Kompeten multikultural dan berorientasi pada kelompok dominan
4. Identifikasi etnis yang kuat dari etnis atau etnis sendiri.
5. Afiliasi dan masak nilai, sikap, perasaan, dan perilaku kelompok dominan.
20
1.2.4 Budaya Lamaran Dalam Masyarakat
Budaya tersebut berasal dari bentuk jamak dari bahasa Sansekerta,
buddhayah, buddha atau budi yang artinya penyebab. Kebudayaan adalah produk
dari rasionalitas manusia, yang menuntun manusia untuk bertindak sesuai dengan
naluri manusia, tidak sembarangan, murah hati, berilmu, dan sebagainya. Setelah
mengamalkan kebudayaan, kebudayaan pada akhirnya akan membentuk
peradaban (Kurnia, 2016: 6). Kebudayaan sudah menjadi kebiasaan yang
dilakukan dalam masyarakat, proses ini bisa menjadi sistem yang semakin kuat
atau sistem yang mengubah sifat aslinya.Budaya terbagi menjadi dua jenis:
budaya material dan budaya non material.
Lamaran nikah merupakan salah satu tradisi sebelum menikah. Tradisi ini
dilaksanakan atas dasar kepercayan masyarakat sebagai peninggalan nenek
moyang, sehingga kedepannya tetap menjaga keamanan dalam keluarga. Prosedur
lamaran sebelum menikah. Hidup dalam ikatan pernikahan antara dua tipe orang
yang berbeda. biasanya lamaran ini dilakukan setelah kencan yang cukup lama,
dan rasanya seperti ada kecocokan antara kedua belah pihak. Pada tahap lamaran
ini, keduanya berjanji akan menikah bersama.
Dalam agama Islam, penerapan bahasa Arab disebut khitbah, artinya
dalam istilah al-khitbab dan al-khathb. Al-khitbab artinya berbicara. Dikatakan
bahwa ini adalah takhabhaba, yang artinya dua orang sedang berbicara. Jika
diartikan sebagai khahabahu fi amr, artinya membicarakan masalah pernikahan.
Dan jika ditinjau dari akar kata khitbah arti pembicaraan yang berkaitan dengan
lamaran atau permintaan untuk menikah (Takariawan, 2009 : 28). Lamaran
merupakan bentuk ikatan yang dilakukan dengan cara mempertemukan antar
21
perwalian calon mempelai sebagai pembicaraan awal sebelum terjadinya
pernikahan. Seperti artian lamaran menurut istilah merupakan pinangan, atau
permintaan untuk menikah yang ditujukan kepada seorang yang dianggap calon,
dan adanya penerimaan dari proses awal pernikahan. Ketika kedua calon
mempelai telah merespon (diterima), maka dibuatlah lamaran agar mereka dapat
melanjutkan ke proses selanjutnya. Dengan penerapan seperti itu terdapat hikmah
yang harus diterapkan sebelum menikah, yaitu untuk lebih mempererat hubungan
pernikahan setelahnya, yang dapat diperkuat melalui “Hadits Nabi” Muhammad
bin Subah. Menurut makna yang diposting oleh al Tirmidzi dan al Nasaiy
Bahwa Nabi berkata kepada seorang yang telah meminang seorang
perempuan : “melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menuatkan
ikatan perkawinan” (Syarifuddin, 2006 : 50-51).
Menurut literatur, prosedur aplikasi dapat diklasifikasikan sebagai budaya.
Kultur memiliki tiga bentuk sebagai gejala, yaitu:
1. Bentuk budaya sebagai kompleks ide, gagasan, nilai, norma, aturan, dll.
2. Bentuk budaya sebagai kompleks dari model kegiatan dan tindakan manusia
dalam masyarakat.
3. Bentuk budaya sebagai benda yang diciptakan oleh manusia.
Keragaman budaya Indonesia menjadikan proses penerapan berbagai ras
dalam masyarakat menjadi fenomena umum. Karena pertemuan orang-orang dari
latar belakang budaya yang berbeda tidak mengecualikan perkawinan antar ras.
Penerapan budaya yang berbeda adalah proses pemenuhan dua budaya yang
berbeda, dengan tujuan menyatukan cara berpikir dan tradisi yang berbeda untuk
membentuk sebuah keluarga.
22
1.2.5 Lamaran Bagi Masyarakat Suku Bulungan
Dalam prosesi pernikahan suku Bulungan ada beberapa rangkaian tradisi
yang harus dilaksanakan terlebih dulu. Sebelum melakukan pernikahan
masyarakat suku Bulungan diawali dengan beseruan yaitu pihak laki-laki dan
keluarga melakukan pembicaraan kepada pihak keluarga perempuan untuk
meminang anak gadisnya, dilanjutkan dengan pemberian sangot (jujuran). Sangot
(jujuran) adalah istilah dari suku Bulungan di daerah Tanjung Selor Kalimantan
Utara. jikapinangan dari pengantin laki-laki diterima oleh anak gadis dari pihak
perempuan maka dari pihak laki-laki menyerahkan sangot (jujuran) yaitu
sejumlah uang dan alat-alat seperti kain baju, kain selendang, tilam/kasur, ranjang,
dan lain-lain yang diberikan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Jenis
dan besaran sangot tergantung permintaan orang tua dari pihak perempuan.
Kemudian dilanjutkan dengan penentuan hari baik dalam melaksanakan
pernikahan. Hal itu dipercaya dapat memberi kelancaran pada prosesi acara dan
berharap dapat memberikan peruntungan dalam bahtera rumah tangga. Lalu yang
terakhir menentukan pakaian pengantin berwarna emas yang menggambarkan ciri
khas dari pakaian adat dari suku Bulungan. Tradisi ini masih dilakukan bagi suku
Bulungan ketika seseorang ingin menikahi anak gadis dari suku Tersebut
(Nanang, 2008 14-15).
1.2.6 Lamaran Bagi Masyarakat Suku Jawa
Dalam adat istiadat pada suku Jawa memiliki kerumitan dalam
melaksanakan prosesi pernikahan. Dalam melangsungkan upacara pernikahan
pada adat suku Jawa memiliki makna atau simbol pada setiap prosesinya. Berawal
dari proses lamaran yang mempunyai 3 bagian yaitu:
23
a. Nontoni adalah langkah pertama untuk melakukan perikahan, seseorang
pria dengan orangtuanya pergi kerumah gadis untuk melihat dan
memutuskan untuk keinginannya melamar sang gadis.
b. Ngalamar merupakan penyampaian pesan yang dilakukan pihak laki-laki
kepada perempuan secara lisan atau tertulis.
c. Srah-srahan yaitu ketika sang gadis yang ingin dilamar menyetjui lamarannya
maka upacara srah-srhan akan dilaksanankan. Diawali dengan peningset yaitu
pemberian bermacam-macam hadiah yang diberikan oleh pihak laki-laki
kepada perempuan untuk menentukan tunangan. Hadiah yang diberi biasanya
berbagai pakaian, perhiasan, alat rumah tangga, uang dan lain-lainnya. Besar
dan jenis dari barang yng diberikan kepada pihak perempuan tergantung dari
kemampuan dari pihak laki-laki (Adams, 2001 : 3).
1.2.7 Fokus Penelitian
Dalam penelitian ini, fokus penelitian digunakan Batasi ruang lingkup
penelitian agar tidak memperluas ruang lingkup pembahasan dan lebih terfokus
pada apa yang di maksud peneliti, yaitu negosiasi identitas dalam proses lamaran
pada suku Bulungan dengan suku Jawa.
Adapun yang peneliti maksud dengan negosiasi identitas dalam proses
lamaran pada penelitian ini adalah perundingan yang dilakukan oleh dua pihak
yang berbeda latar belakang yaitu suku Bulungan dengan suku Jawa untuk
mendapatkan kesepakatan dan kesepahaman dalam menentukan prosesi adat di
acara pernikahan. Hal-hal yang dirundingkan dalam lamaran pada suku Bulungan
dengan suku Jawa meliputi, penentuan hari dalam pelaksanaan pernikahan. Dalam
menentukan hari baik untuk melangsungkan pernikahan pada suku Jawa
24
menggunakan Primbon Jawa sebagai acuan menentukan tanggal dan bulan yang
dianggap baik untuk melangsungkan pernikahan. sedangkan pada suku Bulungan
sendiri mempercayai kepada yang di tuakan untuk menentukan hari yang
dianggap baik dalam melangsungkan acara pernikahan. Kemudian pada suku
Bulungan memiliki tradisi yang disebut dengan mengantar jujuran atau sangot
yang dimana jika pihak laki-laki melamar seorang perempuan bersuku Bulungan
maka pihak laki-laki tersebut wajib menyertakan jujuran atau sangot. Pada
lamaran yang terjadi pada suku Bulungan dengan suku Jawa merundingkan besar
dari jumlah yang akan diberi pada saat acara berlangsung.
Kemudian masing-masing pihak merundingkan rangkaian acara yang akan
dilakukan pada saat pernikahan seperti pada suku Bulungan memiliki tradisi pra
nikah yaitu bepupur yang dilakukan calon pengantin dan keluarga. acara ini
bermaksud untuk memeriahkan acara dengan membalurkan bedak basah ke
seluruh tubuh sang calon pengantin. Namun acara ini dapat dirundingkan apabila
keluarga kedua calon mempelai ingin melakukan acara tersebut sesudah
melakukan akad pernikahan. Berbeda dengan suku Jawa memiliki ritual pra
pernikahan yaitu siraman yang bermakna mensucikan atau membersihkan diri
yang dilakukan oleh calon pengantin. Acara ini dipercayai dapat meluruhkan
semua noda masa lalu untuk menyambut hari baru di kehidupan rumah tangga.
Pada proses perundingan juga membahas tentang pakaian pengantin yang
menjadi simbol pernikahan dari suku masing-masing calon mempelai. Pada suku
Bulungan sendiri memiliki pakaian pengantin yang memiliki ciri berwarna kuning
keemasan yang menunjukan strata pada keluarga dari suku tersebut. Kemudian
pada suku Jawa memiliki baju adat yaitu kebaya dengan warna hitam dan
25
bercorak emas. Proses perundingan pakaian adat pengantin ini dilakukan untuk
menentukan adat yang digunakan saat acara akad dan resepsi berlangsung.
Dikarenakan memiliki perbedaan dalam segi adat pada pernikahan, maka
proses perundingan dan mencari kesepahaman dalam lamaran dilakukan untuk
menyatukan dua latar belakang kemudian menentukan kesepakatan dalam
penggunaan rangkaian acara pada pernikahan.