17
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ascidian Ascidian merupakan nama bagi kelompok hewan yang termasuk ke dalam kelas Ascidiaceae, yang menyusun hampir sebagian besar jenis-jenis dalam Subfilum Urochordata dari Filum Chordata (McClintock dan Baker 2001). Walaupun hewan ini termasuk ke dalam kelompok avertebrata namun pada satu saat dalam daur hidupnya memiliki ciri khas chordata. Ciri khas chordata tersebut adalah memiliki notochord, sebuah benang saraf yang bolong, celah-celah insang dan sebuah ekor post anal (Suwignyo dkk 2005). Ascidian pada umumnya tergolong ke dalam organisme penempel. Ascidian merupakan invertebrata di ekosistem terumbu karang yang banyak menghasilkan senyawa bioaktif untuk farmakologi dimana hewan ini dapat berasosiasi dengan mikroba fotosintetik dan mempunyai potensi molekular yang besar, karena kandungan metabolit sekundernya yang merupakan substansi bioaktif sangat berguna sebagai pertahanan diri organisme yang memproduksinya juga bagi kehidupan manusia, karena dapat dimanfaatkan sebagai antitumor, antikanker, antibakteri dan antimikroba (Aulia 2011). Ascidian umumnya hidup sesil dan merupakan avertebrata air dengan penyebaran yang luas, terdapat hampir di seluruh laut di dunia. Namun. Ascidian umumnya terdapat di perairan litoral pada zona intertidal hingga subtidal, menempel pada karang, cangkang moluska, lambung kapal atau pada dasar pasir dan lumpur (Suwignyo dkk 2005). Ascidian adalah penyaring air alami, tahan terhadap bermacam-macam polutan dan dapat menyaring bakteri, demikian pula logam berat dari air yang berbahaya bagi ekosistem terumbu (Erdmann 2004). Ascidian memiliki bentuk tubuh seperti kantung atau balon kecil (Gambar 1). Ujung yang satu menempel pada substrat dan ujung yang lain menjulur bebas dan mempunyai dua buah bukaan, bucal siphon atau sifon air masuk dan cloacal (atrial) siphon atau sifon air keluar. Tubuh Ascidian tertutup lapisan epitel. Di luar lapisan epitel masih ada lagi pembungkus yang disebut mantel atau tunic.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ascidianmedia.unpad.ac.id/thesis/230210/2009/230210090036_2_1967.pdf · 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ascidian Ascidian merupakan nama bagi kelompok

  • Upload
    trananh

  • View
    223

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ascidian

Ascidian merupakan nama bagi kelompok hewan yang termasuk ke dalam

kelas Ascidiaceae, yang menyusun hampir sebagian besar jenis-jenis dalam

Subfilum Urochordata dari Filum Chordata (McClintock dan Baker 2001).

Walaupun hewan ini termasuk ke dalam kelompok avertebrata namun pada satu

saat dalam daur hidupnya memiliki ciri khas chordata. Ciri khas chordata tersebut

adalah memiliki notochord, sebuah benang saraf yang bolong, celah-celah insang

dan sebuah ekor post anal (Suwignyo dkk 2005).

Ascidian pada umumnya tergolong ke dalam organisme penempel.

Ascidian merupakan invertebrata di ekosistem terumbu karang yang banyak

menghasilkan senyawa bioaktif untuk farmakologi dimana hewan ini dapat

berasosiasi dengan mikroba fotosintetik dan mempunyai potensi molekular yang

besar, karena kandungan metabolit sekundernya yang merupakan substansi

bioaktif sangat berguna sebagai pertahanan diri organisme yang memproduksinya

juga bagi kehidupan manusia, karena dapat dimanfaatkan sebagai antitumor,

antikanker, antibakteri dan antimikroba (Aulia 2011).

Ascidian umumnya hidup sesil dan merupakan avertebrata air dengan

penyebaran yang luas, terdapat hampir di seluruh laut di dunia. Namun. Ascidian

umumnya terdapat di perairan litoral pada zona intertidal hingga subtidal,

menempel pada karang, cangkang moluska, lambung kapal atau pada dasar pasir

dan lumpur (Suwignyo dkk 2005). Ascidian adalah penyaring air alami, tahan

terhadap bermacam-macam polutan dan dapat menyaring bakteri, demikian pula

logam berat dari air yang berbahaya bagi ekosistem terumbu (Erdmann 2004).

Ascidian memiliki bentuk tubuh seperti kantung atau balon kecil (Gambar

1). Ujung yang satu menempel pada substrat dan ujung yang lain menjulur bebas

dan mempunyai dua buah bukaan, bucal siphon atau sifon air masuk dan cloacal

(atrial) siphon atau sifon air keluar. Tubuh Ascidian tertutup lapisan epitel. Di

luar lapisan epitel masih ada lagi pembungkus yang disebut mantel atau tunic.

8

Tunic merupakan ciri khas Ascidian, sehingga dinamakan tunica. Ketebalan

mantel bervariasi, demikian pula kekerasannya, dari lunak sampai keras. Tidak

sedikit yang transparan sehingga organ dalamnya terlihat. Mantel terutama

tersusun dari zat semacam selulosa yang disebut tunik (Suwignyo dkk 2005).

Tubuh Ascidian terdiri dari 3 bagian, yaitu bagian anterior yang mengandung

pharynx, bagian abdomen yang mengandung organ pencernaan dan bagian post

abdomen yaitu bagian terbawah dari abdomen.

Gambar 1. Bentuk Ascidian

Sumber: http://library.thinkquest.org

Kebanyakan Ascidian berukuran kecil dan hidup berkoloni, contohnya

Ascidian bintang dari genus Botryllus (Gambar 2) memiliki ukuran zooid 2 - 4

mm sedangkan ukuran koloninya bisa mencapai ukuran 150 mm (Hiscock 2001).

Pada Ascidian koloni, antara zooid satu dengan yang lain dihubungkan dengan

stolon. Ascidian soliter memiliki ukuran dengan diameter sampai 3 – 15 cm dan

sering disebut Ascidian sederhana (Gambar 3). Ascidian adalah filter feeder dan

penyaring plankton dari air yang mengalir melalui pharynx (Suwignyo et al

2005).

9

Gambar 2. Ascidian yang Hidup Berkoloni dari Genus Botryllus

Sumber : http://www.glaucus.org.uk

Gambar 3. Ascidian yang Hidup Soliter

Sumber : http://www.ird.fr

Ascidian termasuk dalam jenis hemaprodit dengan fertilisasi terjadi di luar

tubuh atau eksternal. Ovari terletak di bawah atau di dekat lambung dan testis

terletak di bawah ovari. Spesies soliter biasanya mempunyai telur dengan sedikit

kuning telur, dikeluarkan melalui sifon air keluar sedangkan jenis koloni biasanya

mempunyai kuning telur lebih banyak dan telur dierami dalam atrium. Telur

menetas menjadi larva appendicularia atau dikenal dengan sebutan tadpole larva

karena bentuknya mirip berudu katak. Setelah beberapa menit hidup sebagai

plankton, larva akan menempel di dasar pada bagian anteriornya dengan papilla

perekat. Selanjutnya terjadi metamorfosa (Gambar 4). Dan pada ujung yang bebas

akan terbentuk sifon air masuk dan sifon air keluar. Kebanyakan Ascidian

berumur 1 – 3 tahun (Suwignyo dkk 2005).

10

Gambar 4. Metamorfosis Larva Ascidian

Sumber : http://t1.gstatic.com

Koloni ascidian terbentuk dengan jalan pertunasan. Tunas tunica disebut

dengan blastozooid, terbentuk pada tempat yang berbeda-beda tergantung

jenisnya. Di alam, puncak dari siklus reproduksi Ascidian adalah pada Bulan

Oktober hingga November. Pada masa hidup sebagai larva, Ascidian bersifat

plantonik. Bentuk larva memili corona, yaitu semacam silia yang berfungsi

sebagai alat renang.

2.2. Ascidian Didemnum molle

Didemnum molle merupakan Ascidian yang umum dijumpai di perairan

Indonesia karena distribusi dari spesies ini tersebar di perairan Indo-Pasifik. Pada

umumnya jenis-jenis dari suku Didemnidae merupakan jenis yang paling

mendominasi di perairan dangkal tropis. Jenis Ascidian dari suku Didemnidae

memiliki adaptasi yang tinggi terhadap kondisi perairan dan mampu bertahan

hidup pada tipe-tipe habitat (Abrar 2008).

Didemnum molle merupakan salah satu jenis Ascidian yang hidup

berkoloni, walaupun sekilas terlihat seperti Ascidian soliter. Hewan ini memiliki

morfologi berwarna hijau dan lunak dengan bentuk dan ukuran yang beragam

(Gambar 5). Warna hijau pada Didemnum molle adalah akibat dari simbiosis

hewan ini dengan alga hijau yaitu prokloron (Hirose 2004).

11

Klasifikasi Didemnum molle menurut Herdmann 1886 :

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Class : Ascidiaceae

Order : Aplousobranchiata

Family : Didemnidae

Genus : Didemnum

Spesies : Didemnum molle

Gambar 5. Ascidian Didemnum molle

Didemnum molle adalah Ascidian yang umumnya hidup pada permukaan

terumbu karang atau batu di perairan dangkal tropis dan subtropics dengan

kedalam 1 hingga 20 meter yang arusnya tidak terlalu kuat (Monniot et al 1991).

Didemnum molle menyukai tipe substrat yang keras seperti karang mati, karang

hidup massive dan submassive, konstruksi bangunan laut dan tali. Didemnum

molle membutuhkan substrat yang stabil untuk bertahan dari gelombang dan arus

yang kuat (Monniot et al 1991). Ukuran Didemnum molle berkisar antara

3 – 20 cm. Ukuran dan bentuk Didemnum molle dipengaruhi oleh substratnya.

Didemnum molle, tersusun atas spikula memiliki pigmen cokelat dan hijau

yang berasal dari alga hijau yaitu prolokron. Kombinasi tersebut menyebabkan

warna Didemnum molle terkadang terlihat putih, cokelat dan hijau. Didemnum

molle dapat mengeluarkan lendir berwarna kehijauan ketika merasa terganggu dan

juga siphonnya akan menyemprotkan air sebagai bentuk pertahanan diri (Monniot

et al 1991).

12

Beberapa senyawa alkaloid telah berhasil diisolasi dari spesies

Didemnum molle contohnya alkaloid spermidin yaitu didemnidines. Donia et al

pada tahun 2008 berhasil mengisolasi dua senyawa siklik hexapeptides baru, yaitu

mollamides B dan C dan juga keenamide peptide A dari spesies Didemnum molle

yang berasal dari Indonesia. Didemnum molle tersebut diketahui memiliki potensi

sebagai antimikroba, antimalaria, antikanker, dan anti-HIV-I. Selain itu,

Keenamide A dan Mollamide B menunjukkan sitotoksisitas terhadap sel kanker.

Didemnum molle memiliki distribusi yang luas di perairan dangkal tropis,

selain itu spesies ini mudah dikenali dan sering ditemui perairan Indonesia.

Ketersediaan biota ini cukup banyak di alam karena memiliki tingkat adaptasi

yang tinggi (Abrar 2008). Karena ketersediaan yang cukup banyak dan didukung

dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa biota ini mengandung

senyawa metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid dan steroid (Aulia 2011),

maka biota ini berpotensi untuk dieksplorasi sebagai salah satu sumber bahan

senyawa aktif.

2.3. Bakteri Vibrio harveyi

Berdasarkan Bergey,s Manual of Determinative Bacteriology dalam Breed

et al. (1948) Vibrio harveyi diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisi : Protophyta

Kelas : Schizomycetes

Ordo : Eubacteriales

Famili : Pseudomonadaceae

Genus : Vibrio

Spesies: Vibrio harveyi

Vibrio harveyi adalah bakteri air laut yang sering dijumpai pada media

hidup ikan budidaya di keramba jaring apung maupun di tambak. Vibrio harveyi

bersifat motil karena pergerakannya dikendalikan oleh flagela polar, tergolong

bakteri gram negatif dan berbentuk batang yang melengkung (seperti tanda koma)

(Gambar 6). Ciri-ciri morfologi dan fisiologi Vibrio harveyi pada medium Nutrien

Agar (NA) dengan NaCl 1,5% dan Seawater Complete-agar (SWC-agar) antara

lain : koloni berbentuk bulat dengan elevasi cembung, berwarna krem dan

13

diameternya 2 - 3 mm setelah diinkubasi pada suhu 28C. Vibrio harveyi jika

diamati dalam ruang gelap dapat berpendar berwarna hijau (Lavilla-Pitogo et al.

1990).

Gambar 6. Koloni Bakteri Vibrio harveyi http://www2.fiu.edu/~makemson/

Vibrio harveyi merupakan bakteri yang bersifat patogen dan oportunis

yang artinya dalam keadaan normal ada dalam lingkungan pemeliharaan dan

berkembang dari sifat saprofitik menjadi patogenik apabila kondisi lingkungan

dan inang memburuk. Bakteri ini dapat tumbuh secara optimum pada salinitas 20-

30 ppt, dan dapat tumbuh dengan baik pada kondisi alkali, yaitu pH optimum

berkisar antara 7,5-8,5. Di sepanjang pantai utara Jawa, mulai dari pantai Tuban

(Bulu, Bancar, Jenu, Palang), Gresik (Sedayu, Manyar), Sidoarjo, Bangil (Raci),

Probolinggo, Karang Tekok (Situbondo), Banyuwangi (Suri Tani Pemuka), setiap

muncul kasus penyakit vibrio, salinitas rata-rata lebih dari 25 ppt (Prajitno 2007).

Vibrio harveyi telah dinyatakan sebagai bakteri patogen utama pada udang

(Moriarty 1999). Pada budidaya udang, bakteri ini menyerang secara akut yaitu

menginfeksi hepatopankreas udang. Gejala klinis pada udang windu yang

terinfeksi bakteri Vibrio harveyi adalah munculnya bercak-bercak merah pada

tubuh udang yang umumnya terlihat pada ekor dan kaki renang, terjadi nekrosis

pada ujung ekor, pergerakan udang tidak normal seperti menyentak-nyentak dan

14

lemah, bentuk tubuh tidak normal yaitu terlalu melengkung, nafsu makan

menurun sehingga usus terlihat kosong, ciri utama adalah tubuh berpendar ketika

berada dalam gelap dalam gambar 7 (Panjaitan 1991).

Serangan bakteri V.harveyi pada larva udang bersifat akut dan ganas

karena dapat mematikan populasi larva dalam waktu 1 hingga 3 hari sejak gejala

klinis mulai terlihat (Rukyani dkk. 1992). Penanganan bakteri ini biasanya

dilakukan dengan memberikan antibiotik seperti kloramfenikol. Namun, semakin

lama bakteri tersebut menjadi resisten terhadap antibiotik sintetik.

Gambar 7. Udang yang Berpendar Terkena Penyakit Kunang-Kunang

Sumber : http://mail-cenaim.espol.edu.ec

2.4. Udang Windu (Penaeus monodon)

Udang windu atau Penaeus monodon digolongkan dalam crustacea, yang

memiliki nama internasional tiger shrimp (Gambar 8). Udang windu termasuk

dalam jenis binatang eurihalin atau binatang air yang dapat hidup dalam kisaran

kadar garam 30/00 – 45

0/00. Untuk pertumbuhan optimum, udang windu

memerlukan salinitas 150/00 – 30

0/00. Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk

kehidupan udang adalah 4 – 8 ppm, derajat keasaman (pH) yang normal untuk

udang adalah 6 – 9, sedangkan suhu air yang baik bagi kehidupan udang adalah

25 – 30C dengan perubahan suhu yang ditoleransi tidak lebih dari 2C (Amri

2003).

15

Berikut ini klasifikasi udang windu menurut Fabricius 1798.

Kingdom : Animalia

Subkingdom : Metazoa

Fillum : Arthropoda

Subfillum : Crustacea

Kelas : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Famili : Penaeidae

Genus : Penaeus

Spesies : Penaeus monodon

Gambar 8. Udang Windu (Penaeus monodon)

Sumber: http://2.bp.blogspot.com/

Udang windu aktif di malam hari untuk mencari makan (nocturnal) seperti

plankton, moluska, dan sisa-sisa bahan organik sedangkan pada siang hari mereka

cenderung membenamkan diri di tempat teduh atau berlumpur. Habitat udang

windu muda adalah air payau seperti muara sungai dan pantai, semakin dewasa

udang windu lebih menyukai hidup di dasar laut (Murtidjo 2003).

Tubuh udang windu terdiri dari dua bagian yaitu kepala (thorax) dan perut

(abdomen) dapat dilihat pada Gambar 9. Bagian kepala terdiri dari antenna,

antenulle, mandibula dan dua pasang maxillae. Kepala dilengkapi dengan 3

pasang maxilliped dan dua pasang kaki jalan (periopoda) atau kaki sepuluh

(decapoda). Bagian perut (abdomen) terdiri dari 6 ruas. Pada bagian abdomen

terdapat 5 pasang kaki renang dan sepasang uropods (mirip ekor) yang

membentuk kipas bersama-sama telson (ujung ekor).

16

Seluruh tubuh tertutup oleh kerangka luar yang disebut eksoskeleton, yang

terbuat dari zat chitin. Bagian kepala ditutupi oleh cangkang kepala (karapaks)

yang ujungnya meruncing disebut rostrum. Kerangka tersebut mengeras, kecuali

pada sambungan-sambungan antara dua ruas tubuh yang berdekatan. Hal ini

memudahkan mereka untuk bergerak (Suyanto dan Mujiman 2003).

Gambar 9. Morfologi Udang Windu (Penaeus monodon) Sumber : http://www.m_e_hassanin.staff.zu.eg

Udang windu bereproduksi di laut dalam. Perkawinan berlangsung setelah

udang betina berganti kulit. Udang jantan akan memasukkan sperma dengan

menggunakan petasma ke dalam telikum udang betina. Sperma akan tetap berada

di dalam telikum sampai tiba saatnya untuk dikeluarkan bersama sel telur ke air

dan saling membuahi. Setelah 15 jam telur akan menetas menjadi larva.

Ada beberapa perkembangan stadia pada udang windu dalam Amri 2001

(Gambar 10) yaitu :

Naupli : Stadia pertama larva udang, yang dijalani selama 46 – 50 jam.

Zoea : Stadia kedua, memerlukan waktu sekitar 96 – 120 jam. Merupakan

stadia kritis dimana pada stadia ini merupakan awal mulai makan

fitoplankton yang berasal dari lingkungan perairan sekelilingnya.

Mysis : Stadia ketiga memerlukan waktu 96 – 120 jam. Stadia ini sudah 3

kali berganti kulit sejak menjadi zoea, telson dan pleopod sudah

mulai tampak.

17

Post Larva : Perkembangan dan organ tubuh pada stadia ini sama dengan udang

dewasa. Pada stadia ini udang banyak menghabiskan waktu didasar

kolam. Menyukai salinitas 25 – 35 0/00.

Juvenil : Udang muda yang menyukai perairan dengan salinitas 20 – 25 0/00.

Gambar 10. Siklus Hidup Udang Windu

Sumber : http://aquaticcommons.org

Udang windu, rentan terkena penyakit pada stadia post larva. Karena pada

stadia tersebut larva udang mudah stres. Penyebab stres tersebut dipicu oleh

kondisi lingkungan yang tidak stabil dan pada saat pemindahan larva ke tambak.

Kondisi udang yang stres menjadi salah satu pemicu mudahnya udang terserang

penyakit (Maryani 2003). Selain itu, jumlah pemberian pakan perlu diperhatikan,

jangan sampai berlebihan karena akan mengakibatkan akumulasi limbah organik

di dasar tambak. Limbah organik tersebut dapat menyebabkan berkembangnya

bakteri patogen seperti Aeromonas dan Vibrio, jamur, parasit dan virus yang

menimbulkan penyakit pada udang (Lightner 1996). Jenis bakteri dari golongan

Vibrio harveyi merupakan bakteri yang paling sering menimbulkan kematian

massal dalam waktu yang relatif singkat.

18

Pada rentang waktu tahun 1980-1990, Indonesia berada dalam puncak

kejayaan sebagai produsen udang windu yaitu pada tahun 1998 mencapai 142.116

ton namun pada tahun 2001 produksi udang windu mulai mengalami penurunan.

Berikut data produksi tambak udang windu dari tahun 2000 - 2010 disajikan

dalam Tabel 1.

Tabel 1. Data Produksi Tambak Udang Windu Indonesia Tahun 2000 - 2010

Tahun Produksi (ton)

2000 93.759

2001 103.603

2002 112.480

2003 133.836

2004 131.399

2005 134.682

2006 147.867

2007 133.113

2008 134.930

2009 124.564

2010 125.519

Sumber : Statistik Perikanan Budidaya Indonesia 2010

Penurunan angka produksi tersebut disebabkan oleh timbulnya berbagai

macam penyakit yang menyerang udang dari stadia larva sampai dewasa.

Serangan penyakit pada udang windu ini, umumnya disebabkan oleh kombinasi

infeksi agen virus, bakteri, jamur dan parasit. Vibriosis merupakan salah satu

penyakit udang yang dilaporkan menyebabkan kerugian besar bagi usaha

pertambakan udang (Maryani 2003).

2.5. Senyawa Metabolit Sekunder

2.5.1 Alkaloid

Senyawa alkaloid merupakan senyawa organik terbanyak ditemukan di

alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuhan dan tersebar luas dalam

berbagai jenis tumbuhan. Alkaloid dewasa kini banyak ditemukan dalam biota

laut dan berpotensi sebagai bahan obat (Blunden 2001).

19

Alkaloid merupakan bagian dari senyawa cincin heterosiklik yang bersifat

basa dan mengandung satu atau lebih atom nitrogen. Berdasarkan literatur,

diketahui bahwa hampir semua alkaloid di alam mempunyai keaktifan biologis

dan memberikan efek fisiologis tertentu pada makhluk hidup. Alkaloid bentuk

bebas tidak larut dalam air tetapi larut dalam pelarut organik (Sumardjo 2009).

Menna tahun 2011 mengkaji beberapa penelitian selama 25 tahun

mengenai alkaloid yang berasal dari Ascidian. Sekitar 300 struktur alkaloid telah

diisolasi dari Ascidian. Senyawa alkaloid berasal dari hasil metabolit sekunder

dan berperan penting bagi Ascidian yaitu sebagai bentuk pertahanan diri mereka.

Bagi manusia, alkaloid dari Acidian berpotensi sebagai antivirus, antikanker dan

antibakteri. Famili Didemnidae, diketahui menghasilkan alkaloid yang bersifat

antibakteri yaitu Shishididemniols A-E yang berasal dari turunan senyawa

serinolipid (Gambar 11). Alkaloid dapat menghambat pertumbuhan mikroba

karena kemampuannya dalam menginterklasi dinding sel dan DNA.

Gambar 11. Struktur Senyawa Alkaloid Shishididemniols A-E Turunan

Senyawa Serinolipid (Sumber : Menna 2012)

2.5.2 Flavonoid

Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang

ditemukan di alam. Harborne tahun 1987 menyatakan senyawa-senyawa flavonoid

merupakan zat warna merah, ungu, dan biru, dan sebagian zat warna kuning yang

ditemukan dalam tumbuh-tumbuhan maupun biota laut. Flavonoid mempunyai

20

kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, di mana 2 cincin benzen

(C6) terikat pada suatu rantai propan (C3) sehingga membentuk suatu susunan

C6-C3-C6. Susunan ini dapat menghasilkan tiga jenis struktur, yaitu 1,3-

diarilpropan atau flavonoid, 1,2-diarilpropan atau isoflavonoid, dan 1,1-

diarilpropan atau neoflavonoid (Gambar 12). Jenis flavonoid yang paling sering

ditemukan di alam adalah flavon, flavonol dan antosianidin sehingga ketiga jenis

tersebut sering dinyatakan sebagai flavonoid utama (Arifin 1985).

Flavonoid dapat ditemukan sebagai mono-, di-, atau triglikosida, dimana

satu, dua atau tiga gugus hidroksil dalam molekul flavonoid terikat oleh gula.

Gugus hidroksil yang terdapat pada struktur senyawa flavonoid menyebabkan

perubahan komponen organik dan transpor nutrisi yang akhirnya akan

mengakibatkan timbulnya efek toksik terhadap bakteri. Poliglikosida larut dalam

air dan hanya sedikit yang dalam pelarut-pelarut organik seperti eter, benzene,

kloroform dan aseton (Arifin 1985). Flavonoid merupakan senyawa semi polar

sehingga flavonoid dapat larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, aseton,

dimetil sulfoksida (DMSO), dimetil fonfamida (DMF), dan air maupun pelarut

semi polar seperti kloroform dan asam asetat.

Gambar 12. Tiga Jenis Struktur Senyawa Flavonoid

Sumber : Arifin 1985

2.5.3 Steroid

Steroid adalah senyawa yang mempunyai kerangka dasar karbon, yang

merupakan turunan dari hidrokarbon 1,2-siklopenteno-perhidrofenantren (Gambar

13). Senyawa steroid berhubungan erat dengan beberapa hormon dan keaktifan

21

biologi. Senyawa ini bersifat semi polar sehingga dapat larut dalam pelarut polar

maupun semi polar (Harborne 1987).

Gambar 13. Struktur 1,2-Siklopenteno-perhidrofenantren

Sumber : Harborne 1987

Steroid terdiri atas beberapa kelompok senyawa yang didasarkan pada efek

fisiologis yang diberikan oleh masing-masing kelompok. Kelompok-kelompok itu

ialah sterol, asam-asam empedu, hormon seks, hormon adrenokortikoid, aglikon

kardiak dan sapogenin yang perbedaanya didasarkan oleh jenis substituen yang

terikat pada kerangka dasar karbon (Arifin 1985). Beberapa hormon steroid alam

dan keaktifannya disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Pengelompokan Senyawa Steroid

Hormon Keaktifan

Estrogen Menstimulasi organ seksual betina

Androgen Menstimulasi organ seksual jantan

Progesteron Menstimulasi uterus

Adreno kortikoid Transpor elektrolit

Mencegah peradangan

Sumber : Arifin 1985

2.5.4 Triterpenoid

Triterpenoid merupakan senyawa golongan terpenoid yang kerangka

karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan

dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik,

22

kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Penamaan senyawa

triterpenoid dilakukan dengan memberikan penomoran pada tiap atom karbon,

sehingga memudahkan dalam penentuan subtituen pada masing-masing atom

karbon (Lenny 2006). Senyawa terpenoid digunakan dalam industry farmasi

terutama dalam pembuatan obat-obat antibiotik, antijamur dan antitumor. Selain

itu, senyawa ini berfungsi sebagai pertahanan diri dari predator (Manuputty 1991).

Triterpenoid dapat larut dalam pelarut polar seperti metanol. Yusuf pada tahun

2010 berhasil mengisolasi dan melihat struktur molekul salah satu senyawa

triterpenoid dari kulit batang Avicennia Marina yaitu Struktur Senyawa 21-

Hidroksi-4(23)-Friedelen-3-Oxo (Gambar 14).

Gambar 14. Struktur Senyawa 21-Hidroksi-4(23)-Friedelen-3-Oxo

Sumber: Yusuf 2010

2.5.5 Saponin

Saponin adalah glikosida, yaitu metabolit sekunder yang banyak terdapat

di alam, terdiri dari gugus gula yang berikatan dengan aglikon atau sapogenin.

Aglikon yang membentuk senyawa saponin ini merupakan senyawa triterpneoida,

sterol dan sapogenin steroida. Saponin bersifat polar.

Saponin dapat dibedakan menjadi 2 berdasarkan jenis sapogenin yang

menempel pada molekulnya yaitu saponin steroid contohnya Asparagosida

(Gambar 15) dan saponin triterpenoid. Senyawa saponin bersifat racun bagi

hewan berdarah dingin. Saponin dapat diidentifikasi dengan mengocoknya dalam

air hingga membentuk busa (Harborne 1987).

23

Gambar 15. Struktur Kimia Saponin Asparagosida

Sumber : Sulistiono 2009