Upload
lamthu
View
234
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ayam Broiler
Broiler merupakan jenis ternak yang banyak dikembangkan sebagai sumber
pemenuhan kebutuhan protein hewani dan merupakan ternak yang paling cepat
pertumbuhannya, karena merupakan hasil budidaya yang menggunakan teknologi
sehingga memiliki sifat ekonomi yang menguntungkan, diantaranya dapat dipanen
umur 5-6 minggu (Rasyaf, 2007). Daging ayam merupakan sumber protein
hewani yang harganya relatif murah, dapat dikonsumsi oleh segala lapisan
masyarakat menengah ke bawah, serta cukup tersedia di pasaran (Murtidjo, 2003).
Produktivitas ayam broiler dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsumsi
ransum, kualitas ransum, jenis kelamin, lama pemeliharaan dan aktivitas. Selain
itu pertambahan bobot badan, konversi ransum, genetik, iklim dan faktor penyakit
(North dan Bell, 1990).
Konsumsi ransum merupakan jumlah ransum yang dimakan dalam jangka
waktu tertentu dan ransum yang dikonsumsi oleh ternak akan digunakan untuk
memenuhi kebutuhan energi dan zat nutrien yang lain (Wahju, 2004). Menurut
Rasyaf (2007) konsumsi merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada
pertumbuhan ayam broiler dan konsumsi itu dipengaruhi oleh suhu, sistem
pemberian ransum, kesehatan ayam, besar tubuh ayam, jenis kelamin, aktivitas,
kualitas ransum serta sifat genetik dari ayam broiler. Konsumsi sangat
berpengaruh pada produksi yang dicapai karena bila nafsu makan rendah akan
menyebabkan laju pertumbuhan dari ayam tersebut menjadi terhambat dan
akhirnya produksi akan menjadi menurun (Rasyaf, 2007). Konsumsi ransum
setiap minggu bertambah sesuai dengan pertambahan bobot badan dan setiap
6
minggunya ayam mengkonsumsi ransum lebih banyak dibandingkan dengan
minggu sebelumnya (Fadilah et al., 2007). Menurut Wahju (2004) konsumsi
ransum ayam jantan lebih banyak dari pada ayam betina dan lebih efisien dalam
mengubah ransum menjadi daging dari pada ayam betina (North dan Bell, 1990).
Salah satu hal penting dalam menentukan produksi ternak adalah dengan
mengetahui pengukuran pertambahan bobot badan ternak. Pertambahan bobot
badan merupakan kenaikan bobot badan yang dicapai oleh seekor ternak selama
periode tertentu dan diperoleh melalui penimbangan berulang dalam waktu
tertentu misalnya tiap hari, tiap minggu, tiap bulan, atau tiap waktu lainya
(Tillman et al., 1991). Menurut Rose (1997) pertambahan bobot badan
berlangsung sesuai dengan kondisi fisiologis ayam, yaitu bobot badan akan
berubah kearah bobot badan dewasa. Kartasudjana dan Suprijatna (2006)
menambahkan bahwa pertumbuhan pada ayam broiler dimulai dengan perlahan
kemudian berlangsung cepat sampai dicapai pertumbuhan maksimum setelah itu
menurun kembali hingga akhirnya terhenti. Pertumbuhan yang paling cepat terjadi
sejak menetas sampai umur 4-5 minggu, kemudian mengalami penurunan
(Kartasudjana dan Suprijatna, 2006). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
adalah galur ayam, jenis kelamin, faktor lingkungan, energi metabolis dan
kandungan protein ransum (Wahju, 2004). Menurut Ensminger (1992)
abnormalitas kondisi tubuh dicerminkan oleh menurunnya konsumsi, terjadi
penurunan bobot badan dan meningkatnya nilai konversi ransum.
Lacy dan Vest (2000) menyatakan konversi ransum berguna untuk
mengukur produktivitas ternak dan didefinisikan sebagai rasio antara konsumsi
ransum dengan pertambahan bobot badan yang diperoleh selama kurun waktu
7
tertentu. Kartasudjana dan Suprijatna (2006) menyatakan semakin tinggi konversi
ransum menunjukan semakin banyak ransum yang dibutuhkan untuk
meningkatkan bobot badan. Konversi ransum merupakan parameter penting
sebagai tinjauan ekonomis biaya ransum. Semakin rendah nilai konversi ransum
semakin menguntungkan, hal ini disebabkan semakin sedikit ransum diberikan
untuk menghasilkan berat badan tertentu (Kartasudjana dan Suprijatna, 2006).
Mengetahui efisiensi penggunaan ransum secara ekonomis, selain
memperhitungkan bobot badan yang dihasilkan dan efisiensi ransum, faktor biaya
juga perlu diperhitungkan. Selisih harga penjualan dengan biaya DOC dan
pakan merupakan parameter yang digunakan dalam menentukan nilai ekonomis
pemeliharaan (Prawirokusumo, 1990). Income Over Feed and Chick Cost
(IOFCC) merupakan brometer untuk melihat seberapa besar biaya yang
dikeluarkan untuk pakan dalam usaha peternakan. IOFCC dihitung dengan selisih
dari total pendapatan dengan total biaya pakan dan DOC digunakan selama usaha
penggemukan ternak (Prawirokusumo, 1990).
Badan Standardisasi Nasional (1995) menjelaskan karkas ayam pedaging
adalah bagian tubuh ayam pedaging setelah dikurangi bulu, dikeluarkan jeroan
dan lemak abdominalnya, dipotong kepala dan leher serta kedua kakinya (ceker).
Soeparno (1994) menyatakan faktor yang mempengaruhi karkas adalah bangsa,
jenis kelamin, umur, bobot badan, dan ransum. Umur berpengaruh terhadap berat
karkas yang disebabkan oleh adanya perubahan alat-alat tubuh terutama
penambahan dari lemak karkas (Soeparno, 1994).
Menurut Suprijatna et al. (2008) organ ayam broiler terdiri dari organ
pencernaan dimulai dari mulut, kerongkongan, tembolok, proventrikulus, rempela,
8
usus halus, usus buntu (sekum), usus besar, kloaka dan anus. Organ dalam lainya
adalah hati, jantung, dan lemak abdominal (Suprijatna et al., 2008). Putnam
(1991) menyatakan persentase hati 1,70-2,80%, jantung 0,27%-0,42%, rempela
1,6-2,3%, dan lemak abdomen 2,64-3,3%. Usus halus pada ternak merupakan
organ penting dalam pencernaan yang berfungsi untuk mengabsorbsi nutrien
bahan ransum (Gillespie, 2004). Menurut Nickle et al. (1977) panjang usus halus
sekitar 1,5 meter pada ayam dewasa, terdiri dari tiga bagian yaitu duodenum,
jejunum dan ileum. Panjang usus halus bervariasi sesuai dengan ukuran tubuh,
tipe makanan dan faktor lainnya. Menurut Rose (1997) dalam sekum terdapat
bakteri yang membantu proses pendegradasian bahan makanan melalui proses
fermentasi yang selanjutnya produk yang dihasilkan digunakan untuk membantu
memenuhi kebutuhan zat makanan. Nickle et al. (1977) menyatakan bahwa
panjang sekum unggas normal berkisar antara 12 sampai 25 cm.
Mortalitas adalah kematian pada ayam broiler yang senantiasa terjadi dan
sulit dihindari. Menurut Wiharto (1999) angka mortalitas untuk ayam broiler
adalah kurang dari 5% dan ada banyak hal yang berpengaruh terhadap mortalitas
dalam pemeliharaan unggas, seperti terserang penyakit, kekurangan ransum,
kekurangan minum, temperatur, sanitasi, dan lain sebagainya (Wiharto, 1999).
Hal yang perlu diperhatikan dalam menekan angka kematian adalah mengontrol
kesehatan ayam, mengontrol kebersihan tempat ransum dan minum serta kandang,
melakukan vaksinasi secara teratur, memisahkan ayam yang terkena penyakit
dengan ayam yang sehat, dan memberikan ransum dan minum pada waktunya
(Lacy dan Vest, 2000).
9
2.2 Potensi Kulit Buah Naga
Pohon atau tanaman buah naga (Hylocereus sp) berasal dari Meksiko,
Amerika Tengah, dan Amerika Selatan (Winarsih, 2007). Seiring dengan
perkembangannya, buah naga banyak dibudidayakan di Asia. Negara di Asia yang
sudah melakukan pembudidayaan secara besar-besaran adalah Vietnam, Thailand,
Taiwan, Filipina, Malaysia dan Indonesia mulai meningkatkan budidaya tanaman
ini (Cahyono, 2009). Indonesia memiliki potensi yang besar untuk
membudidayakan tanaman buah naga yang hasilnya dapat diekspor, hal ini
disebabkan Indonesia memiliki iklim tropis, sesuai dengan iklim yang dibutuhkan
tanaman ini untuk tumbuh dengan baik (Cahyono, 2009).
Nama buah “naga” berasal dari masyarakat Vietnam dan orang Cina yang
menganggap buahnya membawa berkah bagi mereka. Oleh karena itu, buah ini
selalu diletakan diantara dua ekor patung naga di atas meja altar pemujaan dan
warna merah pada buah menjadi sangat mencolok dan kontras diantara dua patung
naga yang memiliki warna hijau, dari kebiasaan inilah dikalangan orang Vietnam
yang sangat terpengaruh budaya Cina buah naga dikenal sebagai thang loy
(Muaris, 2012). Nama thang loy oleh orang Vietnam kemudian diterjemahkan di
Eropa dan negara lain yang berbahasa Inggris sebagai dragon fruit (Indah dan
Supriyanto, 2013). Selain itu, penampilan batangnya yang menjulur berwarna hijau
mirip tubuh naga. Buahnya bersisik dan memiliki sayap seperti seekor naga karena
itu menambah pencitraan bahwa buah ini dinamakan buah naga (Muaris, 2012).
Buah naga sebenarnya adalah buah dari beberapa jenis kaktus dari marga
hylocereus dan selenicereus. Adapun klasifikasinya menurut Kristanto (2008)
sebagai berikut :
10
Divisi : Magnoliophyta
Subdivisi : Spermatophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Hamamelidae
Ordo : Caryophyllales
Family : Cactaceae
Genus : Hylocereus
Subfamily : Hylocereanea
Spesies : Hylocereus
Pohon buah naga dibudidayakan mulai tahun 2000 oleh Joko Rainu Sigit di
Delangu, Klaten Jawa Tengah. Tanaman ini memiliki potensi yang baik dilihat
dari permintaan yang terus meningkat diikuti dengan teknik budidaya yang mudah
dilakukan (Jaya, 2010). Buah naga memiliki berbagai sebutan dibeberapa daerah,
seperti di Cina disebut dengan Feny Long Kwa dan Thang Loy, di Thailand
disebut Kaew Mangkorn, di Taiwan disebut Shien Mie Kou dan di Israel disebut
Pitahaya (Departemen Pertanian, 2009). Menurut Winarsih (2007) tanaman buah
naga sering dibuat menjadi tanaman hias, dalam setahun bisa berbuah tiga kali
dan produksinya bisa terus meningkat dengan perawatan yang baik. Setiap tahun,
tanaman ini meningkat begitu juga dengan impor buah ke Indonesia. Berdasarkan
catatan dari eksportir buah di Indonesia, buah naga impor ini masuk ke tanah air
mencapai antara 200-400 ton/tahun asal Thailand dan Vietnam (Winarsih, 2007).
Hingga saat ini pengembangan dan penanaman sentra produksi buah naga di
Indonesia masih terpusat dibeberapa daerah seperti Jawa Timur (Jember,
Pasuruan, Malang, Lumajang, Banyuwangi), Jawa Barat (Kabupaten Bogor, Kota
Bogor, Bekasi, Sumedang, Indramayu), Jawa Tengah (Boyolali, Karanganyar,
Kendal, Semarang, Pati, Wonosobo, Purbalingga, Pemalang, Banjarnegara,
11
Sragen, Sukoharjo), D.I.Yogyakarta (Sleman, Bantul, Kulonprogo), Sumatera
Utara (Deli Serdang), Sumatera Barat (Padang Pariaman), Lampung (Lampung
Timur, Tulang Bawang, Lampung Selatan), Riau (Kota Pekanbaru, Siak),
Kepulauan Riau (Kota Batam, Bintan, Karimun, Tanjung Pinang) dan Kalimantan
(Wibawa, 2008). Provinsi Kalimantan Timur dan Kabupaten Banyuwangi, Jawa
Timur menjadi salah satu pusat produksi buah naga di Indonesia (Direktorat
Hortikultura Kementrian Pertanian, 2014).
Kulit buah naga merupakan bagian terluar yang biasanya dibuang sekitar
30-35% dari buah (Citramukti, 2008). Sedangkan bijinya menyatu dengan buah
(Mustika et al., 2014). Produksi pada tahun 2014 adalah 28.819 ton dari jumlah
sebanyak itu dapat diperoleh total kulit 8.645-10.086 ton (BPS Kabupaten
Banyuwangi, 2014). Pada beberapa penelitian kulit buah naga memiliki
kandungan antioksidan dan zat warna alami yaitu antosianin cukup tinggi yang
berperan memberikan warna merah (Daniel et al., 2014). Antosianin adalah
kelompok pigmen yang berwarna merah sampai biru yang tersebar dalam tanaman
(Abbas, 2003). Warna merah pada daging dan kulit mengindikasikan tingginya
kandungan phenol (Nurliyana et al., 2010). Senyawa phenol dilaporkan banyak
berperan dalam aktivitas biologis seperti antimutagenik, antikarsinogenik,
antiaging, dan antioksidan (Kosem et al., 2007).
2.3 Proses Mendapatkan Kulit Buah Naga
Tanaman buah naga (Hylocereus sp) pada awalnya dipergunakan sebagai
tanaman hias karena sosoknya yang unik, eksotik, serta tampilan bunga dan buah
yang menarik (Winarsih, 2007). Buah naga berkembang menjadi buah dengan
tampilan berkulit merah serta bersisik dan semakin naik daun lantaran dipicu oleh
12
impor dari Thailand yang semakin membludak di pasar buah-buahan Indonesia
(Winarsih, 2007). Semakin banyaknya permintaan, menjadi peluang para pekebun
mulai mengembangkan budidaya buah naga di Indonesia. Buah naga sudah masuk
pasaran, sehingga gampang dijumpai di swalayan diseluruh nusantara. Selain
rasanya yang manis, buah naga mengandung manfaat bagi kesehatan. Maka tidak
heran jika permintaan konsumen buah naga semakin hari semakin meningkat
(Winarsih, 2007). Tanaman ini selain disukai buahnya untuk dikonsumsi, limbah
kulitnya dapat diolah untuk diberikan pada ternak (Sadarman, 2013).
Semakin meningkatnya produksi buah naga diikuti dengan semakin
banyaknya produksi makanan olahan berbahan baku buah naga maka akan
meningkatkan jumlah limbah yang dihasilkan (Wahyuni, 2011). Cara
mendapatkan kulit buah bisa langsung mencarinya ke tempat pembuatan makanan
dari buah naga seperti keripik, mie, dodol, stik, bolu dan selai atau industri
minuman seperti jus, sari buah, dan sirup.
Sari buah adalah cairan yang dihasilkan dari pemerasan atau penghancuran
buah segar yang telah masak. Pada prinsipnya dikenal dua macam sari buah,
pertama sari buah encer (dapat langsung diminum), yaitu cairan buah yang
diperoleh dari pengepresan daging buah, dilanjutkan dengan penambahan air dan
gula pasir. Kedua sari buah pekat atau sirup, yaitu cairan yang dihasilkan dari
pengepresan daging buah dan dilanjutkan dengan proses pemekatan, baik dengan
cara pendidihan biasa maupun dengan cara lain seperti penguapan dengan hampa
udara, dan lain-lain. Sirup ini tidak dapat langsung diminum, tetapi harus
diencerkan dulu dengan air (Margono et al., 1993). Adapun diagram alir
pengolahan pembuatan sari atau sirup buah dapat dilihat pada Gambar 2.1.
13
Gambar 2.1 Bagan Proses Pengolahan Buah Menjadi Sari Buah
dan Sirup (Margono et al., 1993)
2.4 Kandungan Gizi Kulit Buah Naga
Kulit buah naga berpotensi sebagai bahan obat karena memiliki kandungan
sianidin 3-ramnosil glukosida 5-glukosida (Saati, 2009). Menurut Wahyuni (2011)
kulit buah naga berkhasiat untuk mencegah kanker usus, kencing manis dan
berbagai penyakit. Jaafar (2009) dan Woo et al. (2011) menyatakan bahwa kulit
buah naga mengandung berbagai macam senyawa seperti golongan flavonoid,
thiamin, niacin, pyridoxine, kobalamin, fenolik, polyphenol, karoten,
phytoalbumin, dan betalain. Serta terdapat zat lain yang berkhasiat sebagai
buah segar
dipotong-potong
disaring
kulit sebagai
limbah ditambah air, gula, natrium benzoat,
asam sitrat, dan garam
diperas atau dipres buah
hingga jadi bubur
dimasukan dalam botol
dan tutup rapat
sari buah yang sudah
dimasukan dalam botol
direbus dalam air
mendidih (± 30 menit)
diangkat
sari buah
endapan
sebagai bahan
pembuatan
dodol dan selai
sirup
dibotolkan
disaring
didihkan hingga agak
pekat
endapan bisa
dan langsung
dipake sebagai
selai
14
antioksidan yaitu betacyanins dan betaxanthins (Tang dan Norziah, 2007).
Menurut Nurliyana et al. (2010) kandungan phenolic yang terdapat pada kulit
sebesar 28,16 mg/100 g, sedangkan pada daging buah hanya sebesar 19,72
mg/100 g, dari hasil penelitian tersebut menunjukan kulit buah naga mengandung
antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan daging buahnya. Selain itu, kulit buah
naga juga memiliki kandungan vitamin C yang dapat diberikan sebagai vitamin
alami (Sadarman, 2013).
Wu et al. (2005) menjelaskan kulit buah naga kaya polyphenol dan sumber
antioksidan yang baik. Menurut studi yang dilakukannya terhadap total phenolic
konten, aktivitas antioksidan dan kegiatan antiproliferative, kulit buah lebih kuat
inhibitor pertumbuhan sel-sel kanker dari pada dagingnya dan tidak mengandung
toksik. Antioksidan merupakan zat yang mampu memperlambat atau menghambat
dan mencegah terjadinya proses oksidasi (Amrun et al., 2007). Selain itu
antioksidan juga diartikan sebagai senyawa yang dapat melawan radikal yang
dihasilkan dari proses metabolisme oksidatif. Senyawa antioksidan juga dapat
mengurangi resiko terhadap penyakit kronis seperti kanker dan penyakit jantung
koroner (Amrun et al., 2007).
Manfaat dari kulit buah naga adalah menghambat sel-sel kanker atau tumor
ganas yang bersarang pada tubuh, membantu menjaga kesehatan kulit, bahkan
buah sebagai sumber pewarna alami makanan, mencegah diabetes dan penyakit
jantung, sebagai alat pendektesi makanan yang mengandung borak dan formalin
(Julio et al., 2014). Hasil analisis proksimat yang dilakukan di Balai Penelitian
Ternak (BALITNAK) bahwa komposisi nutrien kulit buah naga didapatkan protein
15
8,79%, serat kasar 24,83%, abu 20,06%, lemak 1,32%, energi 2887 Kkal/kg,
kalsium 2,35% dan posfor 0,30%.
2.5 Kulit Umbi Ungu Sebagai Pembanding Kandungan Antioksidan
Sama halnya, pada kulit umbi jalar ungu (Ipomea Batatas L) memiliki
warna ungu yang cukup pekat pada daging umbinya, warna ungu pada umbi jalar
disebabkan oleh adanya pigmen ungu antosianin yang menyebar dari bagian kulit
sampai dengan daging umbinya (Pakorny et al., 2001). Antosianin pada kulit
umbi jalar ungu mempunyai aktivitas sebagai antioksidan (Pakorny et al., 2001).
Menurut Sagain (2015) selain antosianin dan betakaroten, warna jingga pada umbi
jalar mengindikasikan akan tingginya kandungan senyawa Lutein dan Zeaxantin,
pasangan antioksidan karotenoid. Keduanya termasuk pigmen warna sejenis
klorofil dan merupakan pembentuk vitamin A serta merupakan senyawa aktif
yang memiliki peran penting dalam menghalangi proses perusakan sel (Sagain,
2015). Umbi jalar ungu juga kaya vitamin E untuk memenuhi kebutuhan sehari
bagi manusia (Sagain, 2015). Umbi jalar ungu (Ipomoea Batatas L) mengandung
pigmen antosianin yang lebih tinggi dari pada umbi jalar jenis lain. Beberapa
penelitian menunjukan bahwa kandungan antosianin pada kulit umbi ungu lebih
tinggi dibandingkan daging umbinya (Cevallos-Cassals and Cisneros-Zevallos,
2002; Steed and Truong, 2008; Montilla et al., 2011).
Secara nutrien, umbi jalar pada umumnya didominasi oleh karbohidrat
(Depkes, 1981). Menurut Susilawati dan Medikasari (2008) tepung umbi jalar
ungu mengandung protein 2,79% dan serat 4,72%. Selain itu mempunyai kadar
abu 2,62%, lemak 2,32% (Hardoko et al., 2010). Pada kulit umbi jalar ungu
ditemukan antosianin dan peonidin glikosida yang mempunyai aktivitas
16
antioksidan lebih kuat, dengan demikian kulit umbi jalar ungu mempunyai potensi
besar sebagai sumber antioksidan alami dan sekaligus sebagai pewarna alami
(Hardoko et al., 2010). Senyawa antosianin berfungsi sebagai antioksidan dan
penangkap radikal bebas, sehingga berperan untuk mencegah terjadi penuaan,
kanker, dan penyakit degeneratif. Selain itu, antosianin memiliki kemampuan
sebagai antimutagenik dan antikarsinogenik, mencegah gangguan fungsi hati,
antihipertensi, dan menurunkan kadar gula darah (Jusuf et al., 2008).
Menurut hasil penelitian Laiku (2012) bahwa penggunaan 10% ubi jalar
ungu (Ipomoea Batatas L.) terfermentasi dengan inokulan berbeda ke dalam
ransum itik Bali betina umur 23 minggu menunjukan hasil bobot potong, bobot
karkas, persentase karkas, persentase daging, persentase tulang, persentase lemak
itik Bali betina umur 23 minggu tidak berbeda nyata dengan pemberian ransum
perlakuan kontrol. Hal ini disebabkan oleh kandungan nutrien ransum yang
mendekati sama pada setiap perlakuan sehingga tingkat konsumsi ransum juga
mendekati sama.
2.6 Upaya Peningkatan Nilai Nutrien Kulit Buah Naga
Pemanfaatan kulit buah naga sebagai pakan ternak terutama unggas
memiliki keterbatasan, hal tersebut karena kulit buah naga memiliki kandungan
serat kasar tinggi dan protein yang rendah. Salah satu proses yang banyak
dilakukan untuk meningkatkan nilai nutrien suatu bahan berserat tinggi adalah
melalui fermentasi (Ghanem et al., 1991). Fermentasi adalah segala macam proses
metabolisme dengan bantuan enzim dari mikroba untuk melakukan oksidasi,
reduksi, hidrolisis dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia
pada suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu atau proses
17
fermentasi sering didefinisikan sebagai proses pemecahan karbohidrat dan asam
amino secara anaerob, yaitu tanpa memerlukan oksigen (Fardiaz, 1998).
Proses fermentasi bahan pakan oleh mikroorganisme menyebabkan
perubahan yang menguntungkan seperti memperbaiki mutu pakan baik dari aspek
nutrien maupun daya cerna serta meningkatkan daya simpannya (Supriatna,
2005). Produk fermentasi biasanya mempunyai nilai nutrien yang lebih tinggi dari
bahan aslinya, hal ini disebabkan mikroba bersifat katabolik yang mempunyai
kemampuan merubah komponen kompleks yang terkandung dalam bahan pakan
asal menjadi zat yang lebih sederhana sehingga mudah dicerna (Winarno dan
Fardiaz, 1979). Melalui fermentasi terjadi pemecahan substrat oleh enzim tertentu
terhadap bahan yang tidak dapat dicerna, misalnya seluosa dan hemiselulsa
menjadi gula sederhana. Selama proses fermentasi terjadi pertumbuhan kapang,
selain dihasilkan enzim juga dihasilkan protein ekstraseluler dan protein hasil
metabolisme kapang sehingga terjadi peningkatan kadar protein (Winarno, 1983).
Salah satu mikroba yang dapat digunakan adalah Aspergillus niger yang
termasuk dalam kelompok jamur (kapang), kapang ini sangat baik dikembangkan
karena tumbuh cepat (Winarno, 1983). Klasifikasi Aspergillus niger menurut
Hardjo et al. (1989) sebagai berikut: genus Aspergillus, famili Euritaceae, ordo
Eutiales, kelas Asomycotina, divisi Asmatgmycota. Hidayat (2007) Aspergillus
niger memiliki bulu dasar berwarna putih atau kuning dengan lapisan
konidiospora tebal berwarna coklat gelap sampai hitam. Kepala konidia berwarna
hitam, bulat, cenderung memisah menjadi bagian yang lebih longgar dengan
bertambahnya umur. Konidiospora memiliki dinding yang halus dan berwarna
18
coklat (Hidayat, 2007). Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu 35ºC - 37ºC
(optimum), 6ºC - 8ºC (minimum), 45ºC - 47ºC (maksimum) (Hidayat, 2007).
Penggunaan Aspergillus niger sudah banyak dilakukan karena
pertumbuhannya relatif mudah, cepat, menghasilkan enzim selulolitik, dan juga
enzim amilolitik seperti amylase dan glukoamilase (Ratanaphadit et al., 2010).
Kapang Aspergillus niger merupakan salah satu jenis Aspergillus yang tidak
menghasilkan mikotoksin sehingga tidak membahayakan (Supriatna, 2005).
Selain itu, penggunaannya mudah karena banyak digunakan secara komersial
sehingga banyak digunakan untuk memproduksi asam sitrat, asam glukonat, dan
beberapa enzim seperti amilase, pektinase, amilo-glukosidase, dan selulase
(Hardjo et al., 1989). Enzim selulase yang dihasilkan Aspergillus niger mampu
merombak struktur serat kasar yang sulit dicerna menjadi lebih sederhana
sehingga mudah dicerna (Lunar, 2012). Hasil analisis proksimat yang dilakukan di
Balai Penelitian Ternak (BALITNAK) dan Balai Pemeriksaan Mutu Pakan Ternak
(BPMPT) bahwa komposisi nutrien kulit buah naga difermentasi Aspergillus niger
didapatkan protein 10,71%, serat kasar 21,78%, abu 17,95%, lemak 1,23%, energi
2975 Kkal/kg, kalsium 1,75%, dan posfor 0,35%.
Beberapa peneliti telah melakukan penelitian dan diketahui bahwa terdapat
perubahan kandungan nilai nutrien pada substrat melalui proses fermentasi
dengan menggunakan Aspergillus niger. Fermentasi bungkil kelapa dengan
Aspergillus niger dapat meningkatkan kandungan protein kasar dan asam amino
serta menurunkan kandungan serat kasar (Sinurat et al., 1998). Fermentasi kulit
umbi ketela pohon oleh Aspergillus niger selama 96 jam menurunkan serat kasar
dari 32,07% menjadi 23,66% (Gushairiyanto, 2004). Fermentasi limbah sawit
19
dengan kandungan serat kasar 48,88% oleh Aspergillus niger menghasilkan
kandungan serat kasar 27,31% (Mirwandhono et al., 2004). Fermentasi kulit buah
markisa dengan Aspergillus niger meningkatkan protein dari 13,12% menjadi
18,13% dan menurunkan serat kasar dari 29,9% menjadi 22,1% (Supriatna, 2005)
2.7 Kulit Buah Naga untuk Pakan Ternak
Sadarman (2013) melaporkan mengenai pemberian ekstrak kulit buah naga
dalam air minum sebagai antioksidan terhadap status kesehatan ayam pedaging
memberikan peningkatan eritrosit (sel darah) dengan perlakuan tertinggi
ditunjukan oleh T4 (penambahan ekstrak kulit buah naga 53,25 g/5 ml/ekor)
2,22±0,26; T1 (kontrol) 2,21±0,09; T2 (penambahan ekstrak kulit buah naga
17,75 g/5 ml/ekor) dan T3 (penambahan ekstrak kulit buah naga 35,50 g/5
ml/ekor) menghasilkan nilai yang sama yaitu 2,11±0,14 dan 2,11±0,11. Hasil
analisis menunjukan tidak ada perbedaan yang nyata. Hal ini diduga bahwa zat
yang terkandung dalam kulit buah naga belum mampu menyebabkan perubahan
jumlah eritrosit pada ayam pedaging, karena eritrosit pada semua perlakuan tidak
mampu bertahan lebih lama dalam sistem transportasi.
Nilai hematokrit pada penelitian ini dari tertinggi hingga terendah yaitu
perlakuan T4 (27,66±2,90%); T1 (26,94±0,76%); T2 (25,84±2,04%) dan T3
(25,74±1,86%). Nilai hematokrit masih berada dalam kisaran normal sekitar 22,0-
35,0%. Hemoglobin penting untuk kelangsungan hidup karena membawa dan
mengantarkan oksigen ke jaringan tubuh. Hemoglobin perlakuan T1 (7,28 g/dl)
cenderung lebih tinggi dari T2 (6,76 g/dl), T3 (6,92 g/dl) dan cenderung lebih
rendah dari T4 (7,50 g/dl). Pada penelitian ini menunjukan kadar hemoglobin
masih berada dalam kisaran normal yaitu 7,0-13,0 g/ml.
20
Nilai leukosit perlakuan T1 (703,64) cenderung lebih tinggi dari perlakuan
T3 (692,04) dan cenderung lebih rendah dari perlakuan T4 (721,16) dan T3
(751,64). Namun demikian, tidak menunjukan perbedaan yang nyata dengan
kontrol. Peningkatan jumlah leukosit ayam pedaging dalam penelitian ini diduga
karena kondisi terinfeksi atau terjadinya radang selama pemeliharaan berlangsung
atau karena kondisi stress pada saat pengambilan darah. Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa pemberian ekstrak kulit buah naga dalam air minum
menunjukan peningkatan eritrosit, hemoglobin dan nilai hematokrit ayam
pedaging dan peningkatan tersebut masih berada dalam batas normal, sedangkan
leukositnya meningkat tajam. Namun demikian, pemberian ekstrak kulit buah
naga dalam air minum sebagai antioksidan tersebut dapat meningkatkan status
kesehatan ayam pedaging.
Wulandari (2011) menyatakan mengenai efektifitas penggunaan limbah
kulit buah naga dalam ransum sebagai alternatif suplemen alami hingga 6% dapat
meningkatkan warna kuning telur yang lebih pekat, terlihat pada perlakuan P4
(penambahan kulit buah naga 6% dalam ransum) sebesar 10; P3 (penambahan
kulit buah naga 3% dalam ransum); P2 (penambahan kontrol+ekstrak air minum
buah naga 10%) dan P1 (kontrol) sebesar 9. Berdasarkan analisis, tidak berbeda
nyata. Rataan produksi perlakuan P4 lebih tinggi dibandingkan perlakuan P1, P2,
dan P3. Produksi telur mengalami puncak produksi pada minggu ke-3 dengan
produksi telur terbanyak pada perlakuan P4 (75,80); P2 (63,52); P1 (57,01) dan
P3 (42,04). Indeks telur pada P4 menunjukan hasil tertinggi sebesar (63,01), P1
(62,27), P3 (61,15); dan P2 (61,10).
21
Haugh Unit (HU) tertinggi penelitian ini ditunjukan pada perlakuan P2
(78,27); P3 (76,57); P4 (76,00); dan P1 (67,75). Menurut USDA (1964) HU lebih
dari 72 termasuk dalam kualitas AA, bila HU 60-72 termasuk kualitas A, dan HU
31-60 termasuk kualitas B, serta HU kurang dari 31 termasuk kualitas C. Kualitas
telur hasil penelitian pada penambahan buah naga pada air minum atau
penambahan kulit buah naga pada ransum dapat dikelompokkan pada telur
berkualitas AA, sedangkan kontrol termasuk dalam telur kualitas A. Dari data
penelitian ini, konversi ransum yang baik terlihat pada P1 (2,26); P3 (2,3); P2
(2,45) dan P4 (2,54). Penggunaan kulit buah naga cenderung meningkatkan
konversi ransum. Disimpulkan bahwa pemberian tepung kulit buah naga dapat
diberikan pada ayam petelur dan tidak mempengaruhi kualitas telur ayam.
Mustika et al. (2014) menunjukan bahwa penambahan tepung kulit buah
naga merah pada ransum puyuh dapat diberikan 1% tanpa berpengaruh buruk.
Selanjutnya pemberian 1% menyebabkan penurunan terhadap konsumsi ransum,
secara numerik konsumsi ransum tertinggi yaitu P2 (penambahan 0,50% tepung
kulit buah naga merah) 27,12±0,10 g/ekor/hari; P1 (penambahan 0,25% tepung
kulit buah naga merah) 26,85±0,77 g/ekor/hari; P3 (penambahan 0,75% tepung
kulit buah naga merah) 26,68±0,98 g/ekor/hari); P0 (kontrol) sebesar 26,46±1,09
g/ekor/hari dan P4 (penambahan 1% tepung kulit buah naga merah) 26,29±1,22
g/ekor/hari dan menunjukan perlakuan berpengaruh tidak nyata.
Nilai Hen Day Production (HDP) tertinggi hingga terendah berturut P2
(87,77±5,30%); P0 (87,57±9,53%); P1 (85,99±5,28%); P4 (85,57±7,86%) dan P3
(81,75±7,36%). Selanjutnya data FCR (Feed Convertion Ratio) berturut P1
(2,41±0,07); P2 (2,39±0,03); P0 (2,38±0,17); P3 (2,35±0,08); dan P4 (2,35±0,13).
22
Secara numerik nilai FCR terendah diperoleh perlakuan P4, hal ini menunjukan
penambahan tepung kulit buah naga merah dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan pakan dan menurunkan nilai FCR. Dijelaskan pula bahwa nilai
Income Over Feed Cost (IOFC) tertinggi hingga terendah antara lain perlakuan P2
(120,84±20,66); P0 (119,96±26,42); P1 (119,41±26,42); P4 (115,69±16,94); dan
P3 (103,08±18,52). secara numerik nilai IOFC tertinggi didapatkan pada
perlakuan P2. Disimpulkan bahwa pemberian 1% kulit buah naga merah tidak
memberikan efek negatif pada tubuh ternak dan tidak mempengaruhi
produktivitas ternak puyuh.
Penelitian lain oleh Rosa et al. (2013) menyatakan pemberian tepung kulit
buah naga sebagai suplemen dalam ransum guna menghasilkan telur puyuh yang
kaya vitamin A dan rendah kolesterol sampai level 4% dapat memberikan
peningkatan terhadap persentase produksi telur dan mengalami puncak produksi
pada minggu ke-4 dengan produksi telur terbanyak pada P3 (penambahan 4%
tepung kulit buah naga) 16,30, P1 (penambahan 1% tepung kulit buah naga)
15,60, P0 (kontrol) 14,35 dan P2 (penambahan 2% tepung kulit buah naga) 11,90.
Warna kuning telur pada penelitian ini berkisar 6,44-7,67. Warna kuning
telur tertinggi sampai terendah berturut P3 (7,67±0,50); P2 (7,44±0,53), P1
(6,67±0,71) dan P0 (6,44±0,73). Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan
karotenoid pada tepung kulit buah naga yang tinggi sehingga meningkatkan skor
warna pada kuning telur. Sedangkan konsumsi tertinggi terjadi pada perlakuan P2
(17,465 g/ekor/hari), P3 (17,055 g/ekor/hari), P0 (16,730 g/ekor/hari) dan P1
(16,680 g/ekor/hari). Dijelaskan pula bahwa bobot telur selama penelitian berkisar
9,25-9,60 g/butir. Bobot telur tersebut masih dalam batas normal yaitu 7-11
23
g/butir dan hasil analisis menunjukan tidak berbeda nyata dengan kontrol.
Perlakuan tertinggi ditunjukan pada P1 (9,60±0,40 g/butir); P2 (9,40±0,51
g/butir); P0 (9,32±0,46 g/butir); dan P3 (9,25±0,47 g/butir).
Haugh Unit (HU) pada penelitian ini berkisar 62,02-63,84%. HU tertinggi
terdapat pada P0 (63,84±1,76); P1 (63,29±0,77); P2 (62,02±1,15); dan P3 (62,19).
Hal ini menunjukan bahwa pemberian tepung kulit buah naga dapat menurunkan
HU pada telur puyuh. Tebal kerabang berkisar 0,14-0,16 mm dan perlakuan
tertinggi terjadi pada P0 (0,16±0,01 mm); P1 (0,16±0,01 mm); P2 (0,15±0,01
mm) dan P3 (0,14±0,01 mm). Dijelaskan, penurunan tebal kerabang
dimungkinkan karena rasio Ca:P dalam ransum yang ditambahkan tepung kulit
buah naga menjadi berubah sehingga mempengaruhi imbangan tersebut.
Kandungan Vitamin A pada telur puyuh dengan perlakuan P2 merupakan
kandungan tertinggi (2090,90 IU/100g) cenderung lebih tinggi dari perlakuan P3
(1668,32 IU/100g), P0 (1667,55 IU/100g) dan P1 (1613,52 IU/100g). Kondisi ini
dapat dipengaruhi oleh proses pembuatan suplemen yang menggunakan panas.
Vitamin A sangat rentan terhadap panas dan menyebabkan vitamin A rusak
sehingga kandungan vitamin A pada telur puyuh tidak meningkat. Hasil analisis
kandungan kolesterol pada penelitian ini diketahui kolesterol pada telur puyuh
mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini tidak sesuai
dengan yang diharapkan. Perlakuan tertinggi pada P1 (27,68 mg/g); P2 (27,05
mg/g); P3 (26,83 mg/g) dan P0 (26,63 mg/g). Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa pemakaian atau pemberian kulit buah naga masih sangat
terbatas dan secara umum memberikan dampak positif.
24
2.8 Bahan atau Limbah lain yang Difermentasi
Bahan pakan konvensional dari limbah pertanian telah banyak diteliti
dan umumnya mempunyai nilai nutrien rendah, sehingga membutuhkan teknologi
pengolahan (Stephanie dan Purwadaria, 2013). Kemajuan teknologi diberbagai
sektor seperti bidang pertanian dan peternakan merupakan suatu terobosan yang
dapat memecahkan atau menghasilkan jawaban terhadap perubahan kebutuhan
(Atdmadilaga, 1991). Upaya untuk memperbaiki kualitas nilai nutrien,
mengurangi atau menghilangkan pengaruh negatif dari bahan pakan tertentu dapat
dilakukan dengan penggunaan mikroorganisme melalui proses fermentasi
(Widjastuti et al., 2007).
Beberapa penelitian melaporkan adanya perubahan komposisi nilai nutrien
bahan pakan dalam substrat melalui fermentasi. Menurut Supriatna (2005)
fermentasi kulit buah markisa dengan Aspergillus niger dapat meningkatkan
kandungan protein kasar dari 13,12% menjadi 18,13%, energi dari 4495 Kkal/kg
menjadi 4972 Kkal/kg serta kandungan nutrien lainya yang essensial bagi ternak
dan menurunkan serat kasar dari 29,9% menjadi 22,1%. Hasil penelitian
Sembiring dan Wahyuni (2005) menunjukan bahwa pemanfaatan kulit buah
markisa hingga level 16% tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot
potong, bobot karkas, persentase karkas dan lemak abdominal ayam broiler.
Hasil fermentasi kulit pisang oleh probiotik meningkatkan protein 127%.
Sebelum fermentasi protein 6,65% dan setelah difermentasi meningkat sebesar
14,88% (Udjianto et al., 2005). Sedangkan menurut Koni et al. (2013) kulit
pisang yang difermentasi Rhyzopus oligosporus mengalami peningkatan dari
3,63% menjadi 22,15%. Dijelaskan pula bahwa penggunaan kulit pisang
25
fermentasi Rhyzopus oligosporus hingga 15% tidak mempengaruhi konsumsi
ransum tetapi nyata menurunkan pertambahan bobot badan dan meningkatkan
konversi ransum, dari hasil penelitan tersebut penggunaan 10% kulit pisang
fermentasi dalam ransum ayam pedaging memberikan hasil terbaik.
Ibrahim et al. (2015) menjelaskan penggunaan kulit nanas mengandung
gulma yang difermentasi dengan youghurt hingga level 22,5% dalam ransum
memberikan pengaruh yang baik terhadap lemak dan kolesterol ayam broiler.
Selanjutnya, Aro (2008) melaporkan bahwa protein kulit singkong tanpa
fermentasi sebesar 8,2% dan setelah fermentasi menjadi 14%. Hasil penelitian
Stephanie dan Purwadaria (2013) menunjukan fermentasi kulit singkong
menggunakan fungi merupakan salah satu metode pengolahan yang baik, karena
dapat meningkatkan kandungan protein atau asam amino esensial, menurunkan
serat kasar dan senyawa sianogenik yang berbahaya. Selain itu, nilai kecernaan
karbohidrat maupun protein pada kulit singkong fermentasi juga lebih tinggi
dibandingkan tanpa fermentasi. Kulit singkong terfermentasi berpotensi
mensubstitusi jagung pada ransum unggas sampai 10%.
Penelitian lain oleh Abun (2005) menunjukan bahwa fermentasi ampas
umbi garut menggunakan Aspergillus niger pada tingkat 15% dalam ransum nyata
menurunkan nilai kecernaan ransum yaitu bahan kering dan protein. Menurut
Yadyana et al. (2012) pemberian 10% ransum ubi jalar ungu terfermentasi
Aspergillus niger dapat meningkatkan kecernaan bahan kering, bahan organik,
lemak, protein, retensi protein dan pertambahan bobot badan pada itik Bali.
Hasil penelitian Nurhayati et al. (2006) menunjukan pengaruh yang sangat
nyata dari perlakuan berbagai campuran bungkil inti sawit dan onggok yang
26
difermentasi oleh Aspergillus niger terhadap kandungan nutrien. Kandungan abu,
protein, kalsium dan posfor mengalami peningkatan setelah dilakukan fermentasi.
Sebaliknya kandungan lemak pati, gula dan energi metabolis mengalami
penurunan. Selanjutnya, hasil fermentasi kulit buah kakao oleh jamur Marasmius
sp dapat menurunkan serat kasar dari 38,45% menjadi 23,29%, selulosa dari
22,90% menjadi 17,72%, dan lignin dari 15 ,54% menjadi 2,97% (Suhermiyati,
2003). Menurut Guntoro et al. (2002) kandungan gizi kulit buah kakao yang
difermentasi menggunakan Aspergillus niger menghasilkan protein 15-17% dan
serat kasar turun dari 21-23% menjadi 10-11%.
Noferdiman (2012) menjelaskan penggunaan Azolla microphylla
difermentasi menggunakan jamur Trichoderma Harzianum meningkatkan protein
kasar dari 26,67% menjadi 34,06% dan dapat dimanfaatkan hingga 50% sebagai
pengganti bungkil kedelai dalam ransum tanpa mengganggu organ pencernaan
ayam broiler.
Mulyani et al. (2013) ampas tahu yang difermentasi dengan Bacillus
amyloliquefaciens dan Trichoderma harzianum meningkatkan protein dari 3,61%
menjadi 13,65% dan serat kasar 4,74% menjadi 24,14%. Menurut hasil
penelitiannya bahwa pemberian ransum fermentasi ampas tahu berpengaruh nyata
untuk meningkatkan pertambahan bobot badan ternak itik alabio. Saputra et al.
(2013) menyatakan pemberian ampas tahu terfermentasi Bacillus
amyloliquefaciens dan Trichoderma harzianum tidak menunjukan pengaruh nyata
terhadap bobot potong, bobot karkas, bobot jeroan (hati, jantung dan usus).
Namun berpengaruh nyata terhadap bobot jantung itik alabio betina umur 6
minggu. Sedangkan penelitian Putri et al. (2013) penggunaan ampas tahu yang
27
difermentasi menggunakan Bacillus amyloliquefaciens dan Trichoderma
harzianum tidak mempengaruhi analisis pH, keempukan, air bebas dan warna
pada daging itik alabio betina.
Hasil penelitian lain oleh Fransistika et al. (2012) menunjukan pengaruh
waktu fermentasi campuran Trichoderma reesei dan Aspergillus niger
meningkatkan kandungan protein ampas sagu, dan hasil terbaik diperoleh dengan
waktu 6 hari dengan kadar protein sebesar 16,27%, sedangkan kandungan serat
kasar dari ampas sagu cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya waktu
fermentasi. Selanjutnya, hasil penelitian Sandi et al. (2012) mengenai pengaruh
penambahan ampas tahu dan dedak fermentasi oleh EM-4 terhadap karkas, usus
dan lemak abdomen ayam broiler menunjukan hasil semakin tinggi level ampas
tahu dan dedak fermentasi dalam ransum memberi hasil yang relatif sama dengan
kontrol. Sukaryana (2010) menyatakan bahwa peningkatan energi metabolis
produk fermentasi campuran bungkil inti sawit (80%) dan dedak padi (20%) oleh
Trichoderma viridie menghasilkan nilai sebesar 2149,33±4,90 lebih tinggi dari
pada campuran bungkil inti sawit (80%) dan dedak padi (20%) tanpa fermentasi
sebesar 1836,04a±19,28 atau terjadi peningkatan sebesar 17,06%.