Upload
others
View
16
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kecemasan
2.1.1. Pengertian Kecemasan
Kecemasan menurut Freud (1964) seperti yang
dikutip oleh Feist (2010) yaitu, merupakan situasi afektif
yang dirasa tidak menyenangkan yang diikuti oleh
sensasi fisik yang memperingatkan seseorang akan
bahaya yang mengancam. Sedangkan Sullivan, 1953
mengatakan kecemasan adalah ketegangan yang
bertentangan dengan ketegangan akan kebutuhan dan
bertentangan dengan tindakan yang membuat mereka
merasa nyaman. Kaplan (1997) berpendapat bahwa
kecemasan merupakan suatu sinyal yang
memperingatkan adanya bahaya yang mengancam dan
adanya tindakan untuk mengatasi ancaman.
Videbeck (2008) menjelaskan bahwa kecemasan
merupakan perasaan takut yang tidak jelas dan tidak
didukung oleh situasi. Pada saat merasa cemas, individu
merasa tidak nyaman atau takut atau mungkin memiliki
firasat akan ditimpa malapetaka akan tetapi orang
tersebut tidak mengerti mengapa emosi emosi yang
8
mengancam tersebut terjadi. Fausiah & Widuri (2005)
mengutip pendapat dari Davison & Neale, 2001 bahwa,
kecemasan memiliki karakteristik berupa munculnya
perasaan takut dan kehati-hatian atau kewaspadaan
yang tidak jelas dan tidak menyenangkan.
Kecemasan adalah suatu perasaan tidak senang
yang khas yang disebabkan oleh dugaan akan bahaya
atau frustasi yang mengancam, membahayakan rasa
aman, keseimbangan atau kehidupan individu atau
kelompok sosialnya Groen (dalam Sumedi, 1990).
Manusia dalam menjalani hidup terkadang tidak dapat
terlepas menghadapi masalah. Dampak dari
ketidakberdayaan menghadapi masalah ini disebabkan
dirinya mempunyai perasaan akan adanya tekanan,
seolah-olah ada ketakutan akan bahaya. Ketakutan yang
berlarut menyebabkan kecemasan yang bisa
mengganggu pengaturan diri dalam kehidupan. Dari
beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
kecemasan adalah respon perasaan yang tidak
menyenangkan dan tidak nyaman yang dialami oleh
seseorang akan bahaya yang mengancam.
9
2.1.2. Tanda dan Gejala
Dalam kehidupan sehari-hari banyak peristiwa yang
mungkin membuat kita merasakan kecemasan.
Kecemasan sering kali disertai gejala fisik seperti sakit
kepala, jantung berdebar cepat, dada terasa sesak, sakit
perut, tidak dapat duduk diam atau tidak tenang (Fausiah
& Widuri, 2005). Kecemasan menyebabkan respon
kognitif, psikomotor, dan fisiologis yang tidak nyaman.
Menurut Peplau dalam Videbeck (2008) ada empat
tingkat kecemasan.
a. Tingkat kecemasan ringan
Respon fisik: ketegangan otot ringan, sadar akan
lingkungan, rileks atau sedikit gelisah, perhatian
penuh.
Respon kognitif: lapang persepsi luas, terlihat
tenang, percaya diri, perasaan gagal sedikit,
waspada dan memperhatikan banyak hal,
mempertimbangkan informasi, dan tingkat
pembelajaran optimal.
Respon emosional: perilaku otomatis, sedikit tidak
sabar, aktivitas menyendiri, terstimulasi, tenang.
10
b. Tingkat kecemasan sedang
Respon fisik: ketegangan otot sedang, tanda-
tanda vital meningkat, pupil dilatasi, mulai
berkeringat, sering mondar-mandir, memukul
tangan, suara berubah: bergetar, nada suara
tinggi, kewaspadaan dan ketegangan meningkat,
sering berkemih, sakit kepala, pola tidur berubah.
Respon kognitif: lapang persepsi menurun, tidak
perhatian secara selektif, fokus terhadap stimulus
meningkat, rentang perhatian menurun,
penyelesaian masalah menurun, pembelajaran
terjadi dengan memfokuskan.
Respon emosional: tidak nyaman, mudah
tersinggung, kepercayaan diri goyah, tidak sabar.
c. Tingkat kecemasan berat
Respon fisik: ketegangan otot berat, hiperventilasi,
kontak mata buruk, pengeluaran keringat, bicara
cepat, nada suara tinggi, tindakan tanpa tujuan
dan serampangan, rahang menegang,
menggertakan gigi, kebutuhan ruang gerak
meningkat, mondar-mandir, berteriak, meremas
tangan, gemetar.
11
Respon kognitif: lapang persepsi terbatas, proses
berpikir terpecah-pecah, sulit berpikir,
penyelesaian masalah buruk, tidak mampu
mempertimbangkan informasi, hanya
memperhatikan ancaman.
Respon emosional: sangat cemas, agitasi, takut,
bingung, merasa tidak adekuat, menarik diri,
penyangkalan, ingin bebas.
d. Panik
Respon fisik: flight, fight, atau freeze, ketegangan
otot sangat berat, agitasi motorik kasar, pupil
dilatasi, tanda-tanda vital meningkat kemudian
menurun, tidak dapat tidur, hormon stres dan
neurotransmiter berkurang, wajah menyeringai,
mulut ternganga.
Respon kognitif: persepsi sangat sempit, pikiran
tidak logis dan terganggu, kepribadian kacau,
tidak dapat menyelesaikan masalah, fokus pada
pikiran sendiri, tidak rasional, sulit memahami
stimulus eksternal, halusinasi, waham,ilusi,
mungkin terjadi.
Respon emosional: merasa terbebani, merasa
tidak mampu dan tidak berdaya, lepas kendali,
12
mengamuk, putus asa, marah, sangat takut,
mengharapkan hasil yang buruk, kaget, takut,
lelah.
Tingkat kecemasan menurut Stuart (2006) dalam
Sujono (2009), di bagi menjadi 4 yaitu:
1. Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan
dalam kehidupan sehari-hari, kecemasan pada tingkat
ini menyebabkan seseorang menjadi waspada dan
meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ini
dapat memotivasi belajar dan menghasilkan
pertumbuhan dan kreativitas.
2. Kecemasan sedang memungkinkan seseorang untuk
memusatkan pada hal yang penting dan
mengesampingkan yang lain. Seseorang mengalami
tidak perhatian yang selektif, namun dapat melakukan
sesuatu yang lebih banyak jika diberi arahan.
3. Kecemasan berat sangat mengurangi lahan persepsi
seseorang. Individu cenderung untuk berfokus pada
sesuatu yang terinci dan spesifik serta tidak dapat
berpikir tentang yang lain. Semua perilaku ditujukan
untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut
13
memerlukan banyak pengarahan untuk dapat berfokus
pada suatu area lain.
4. Tingkat panik dari kecemasan berhubungan dengan
terperangah, ketakutan dan teror. Karena mengalami
kehilangan kendali, individu yang mengalami panik
tidak mampu mengalami sesuatu walaupun dengan
diberi pengarahan. Panik melibatkan disorganisasi
kepribadian dan terjadi peningkatan aktivitas motorik,
menurunnya kemampuan berhubungan dengan orang
lain, persepsi yang menyimpang dan kehilangan
pemikiran yang rasional.
Menurut Hawari (2001) pada individu yang mengalami
kecemasan, gejala yang dikeluhkan penderita di dominasi
oleh keluhan-keluhan psikis (ketakutan dan
kekhawatiran), tetapi dapat pula disertai keluhan-keluhan
somatis (fisik). Adapun gejala-gejala pada individu yang
mengalami kecemasan adalah sebagai berikut:
a. Gejala psikis
Cemas, khawatir, bimbang, firasat buruk, takut akan
pikirannya sendiri, mudah tersinggung, merasa
tegang, tidak tenang, gelisah, gerakan sering serba
salah, gangguan pola tidur, mimpi-mimpi yang
menegangkan, gangguan konsentrasi dan daya ingat.
14
b. Gejala somatik
Rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran
berdenging, berdebar-debar, sesak nafas, gangguan
pencernaan, sakit kepala dan sebagainya.
Selanjutnya, Baihaqin (2005) juga menjelaskan
bermacam-macam gejala kecemasan yang timbul, antara
lain:
a. Gejala psikis
Berupa perasaan gundah, khawatir, gugup, tegang,
cemas, tak aman, lekas terkejut, emosi labil
(perubahan rasa hati berganti-ganti), mudah
tersinggung, dan perasaan salah tidak pada
tempatnya.
b. Gejala somatik
Berupa keluar keringat dingin, sulit bernafas,
gangguan lambung, berdebar-debar, tekanan darah
meningkat dan sebagainya.
2.1.3. Faktor Yang Mempengaruhi Kecemasan
Menurut Stuart dan Sundeen (2000), faktor-faktor
yang mempengaruhi kecemasan antara lain:
a. Usia
Usia mempengaruhi psikologi seseorang, semakin
tinggi usia semakin baik kematangan emosi seseorang
15
serta kemampuan dalam menghadapi berbagai
persoalan.
b. Status kesehatan jiwa dan fisik
Kelelahan fisik dan penyakit dapat menurunkan
mekanisme pertahanan alami seseorang.
c. Nilai-nilai budaya dan spiritual
Budaya dan spiritual mempengaruhi cara pemikiran
seseorang. Religiusitas yang tinggi menjadikan
seseorang berpandangan positif atas masalah yang
dihadapi.
d. Pendidikan
Tingkat pendidikan rendah pada seseorang akan
menyebabkan orang tersebut mudah mengalami
kecemasan, semakin tingkat pendidikannya tinggi
akan berpengaruh terhadap kemampuan berfikir.
e. Dukungan social
Dukungan sosial dan lingkungan sebagai sumber
koping, dimana kehadiran orang lain dapat membantu
seseorang mengurangi kecemasan dan lingkungan
mempengaruhi area berfikir seseorang.
f. Tahap perkembangan
Pada tingkat perkembangan tertentu terdapat jumlah
dan intensitas stresor yang berbeda sehingga resiko
16
terjadinya stress pada tiap perkembangan berbeda.
Pada tingkat perkembangan individu membentuk
kemampuan adaptasi yang semakin baik terhadap
stresor.
g. Pengalaman masa lalu
Pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi
kemampuan seseorang dalam menghadapi stressor
yang sama.
h. Pengetahuan
Ketidaktahuan dapat menyebabkan kecemasan dan
pengetahuan dapat digunakan untuk mengatasi
masalah.
i. Metode koping
Mekanisme koping digunakan seseorang saat
mengalami kecemasan. Ketidakmampuan mengatasi
kecemasan secara konstruktif sebagai penyebab
tersedianya perilaku patologis.
Berikut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
kecemasan menurut Priest (dalam Eva dan Kuncoro,
2006):
17
a. Keadaan pribadi individu
Priest mengungkapkan bahwa dalam hal yang
mempengaruhi kecemasan adalah situasi pada diri
individu yang dirasakan belum siap untuk dihadapi.
b. Tingkat pendidikan
Kondisi kecemasan dialami individu juga dipengaruhi
oleh perbedaan tingkat pendidikan. Semakin tinggi
tingkat pendidikannya akan semakin baik
pemecahannya terhadap masalah yang dihadapi.
Tingkat pendidikan seseorang akan menentukan
seberapa jauh wawasan dan pengetahuan oarang
tersebut. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka
akan membuat seseorang memiliki pengetahuan yang
semakin luas karena dengan pendidikan yang semakin
tinggi maka wawasan yang diperoleh akan semakin
banyak. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pengetahuan merupakan bagian dari tingkat
kecemasan.
c. Pengalaman tidak menyenangkan
Freud dalam (Hall, 1995) mengatakan bahwa suatu
pengalaman yang menyulitkan ditimbulkan oleh
ketegangan-ketegangan dalam alat-alat intern dari
tubuh dapat menyebabkan kecemasan. Ketegangan-
18
ketegangan tersebut akibat dari dorongan-dorongan
dalam dan luar tubuh.
d. Dukungan sosial
Dukungan sosial dari orang-orang disekitar individu
yaitu orang tua, kakak, adik, kekasih, teman dekat,
saudara dan masyarakat. Dukungan yang positif
berhubungan dengan kurangnya kecemasan
(Garmenzy dan Rutter, 1983).
2.1.4. Penyebab Kecemasan
Kecemasan adalah reaksi yang dapat dialami oleh
siapapun. Kecemasan terjadi saat seseorang mengalami
suatu masalah dalam kehidupannya. Berikut ada
beberapa teori yang mendukung terjadinya kecemasan:
a. Teori Biologis
Menurut Sullivan & Coplan (2000) dalam Videbeck
(2008), kecemasan ditunjukkan melalui adanya
abnormalitas elektroesenfalografik pada lobus
temporal yang biasanya berespon terhadap
karbamazepin (suatu antikonvulsan/anti kejang) atau
obat-obatan lain dalam kategori ini.
19
1. Teori Genetik
Howath & Weissman (2000) mengatakan bahwa
kecemasan ini mempunyai komponen yang
diwariskan, karena kerabat tingkat pertama individu
yang mengalami peningkatan kecemasan memiliki
kemungkinan lebih tinggi mengalami kecemasan.
Adanya kemungkinan “sindrom kromosom 13.”
Kromosom ini dikatakan terlibat dalam hubungan
genetik yang mungkin pada gangguan panik, sakit
kepala hebat, dan masalah ginjal, kandung kemih,
tiroid (Videbeck, 2008).
2. Teori Neurokimia
Sullivan & Coplan (2000) mengatakan penyebab
kecemasan dikarenakan adanya norepinefrin yang
berlebihan sehingga menimbulkan gangguan panik,
gangguan kecemasan umum, dan gangguan stres
pascatrauma (Videbeck, 2008).
b. Teori Psikodinamik
1. Psikoanalisis
Menurut Freud (1936) dalam Videbeck (2008),
kecemasan dipandang alamiah pada seseorang
sebagai stimulus untuk perilaku.
20
Mekanisme pertahanan dibutuhkan untuk
mengendalikan kesadaran terhadap kecemasan.
Individu yang mengalami kecemasan ini
menggunakan salah satu dari beberapa mekanisme
pertahanan secara berlebihan.
2. Teori Interpersonal
Menurut Harry Stack Sullivan (1952) dalam
Videbeck (2008) berpendapat bahwa kecemasan
timbul dari masalah-masalah hubungan
interpersonal. Pada individu dewasa, kecemasan
muncul saat individu menyesuaikan diri dengan
norma dan nilai kelompok budayanya. Semakin
tinggi tingkat kecemasan, semakin rendah pula
kemampuan untuk mengkomunikasikan dan
menyelesaikan masalahnya dan semakin besar
pula terjadinya gangguan kecemasan.
3. Teori Perilaku
Menurut ahli teori perilaku, kecemasan dipadang
sebagai sesuatu yang dipelajari melalui
pengalaman individu, sebaliknya perilaku dapat
diubah melalui pengalaman baru. Ahli teori perilaku
percaya bahwa individu dapat merubah perilaku
21
maladaptif tanpa memahami penyebab perilaku
tersebut (Videbeck, 2008).
2.2. Tuberkulosis Paru
2.2.1. Pengertian Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (Price &
Standridge, 2006). Tuberkulosis merupakan penyakit
infeksius yang terutama menyerang parenkim paru.
Tuberkulosis juga bisa menular ke bagian tubuh lain,
seperti otak, ginjal, tulang, saluran pencernaan dan
kelenjar getah bening. M. tuberculosis adalah agen
utama penyebab tuberkulosis (Brunner & Suddarth,
2001). Tuberkulosis (TB Paru) adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh M. tuberculosis dengan gejala awal
yang bervariasi (De jong & Sjamsuhidayat, 2005).
2.2.2. Morfologi dan Fisiologi M. tuberculosis
Bakteri penyebab tuberkulosis adalah M.
tuberculosis. Ada dua macam mikobakterium penyebab
tuberkulosis, yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil bovin
ini berada di dalam susu sapi yang menderita mastitis
tuberkulosis, bila susu ini diminum akan menyebabkan
22
tuberkulosis usus. Sedangkan basil human bisa berada di
dalam bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari
penderita TB paru (De jong & Sjamsuhidayat, 2005).
M. tuberculosis ini mempunyai ukuran panjang 0,5-4 mm
× lebar 0,3-0,6 mm, berbentuk batang tipis, lurus atau
agak bengkok, berglanular atau tidak mempunyai
selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri
dari lipoid (terutama asam mikolat). Bakteri ini
mempunyai sifat istimewa, yaitu tahan terhadap
pencucian warna dengan asam dan alkohol, sehingga
sering disebut BTA (Basil Tahan Asam). Bakteri
tuberkulosis ini juga tahan dalam keadaan kering dan
dingin, bersifat dorman dan aerob. Bakteri ini mati pada
pemanasan 100°C selama 5-10 menit atau pada
pemanasan 60°C selama 30 menit, dan dengan alkohol
70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2
jam di udara terutama di tempat yang lembab dan gelap,
tetapi tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara
(Widoyono, 2008).
2.2.3. Tanda, Gejala, Diagnosis Awal Terkena TB Paru
Gejala utama yang akan muncul pada penderita TB
Paru, diantaranya batuk berdahak lebih dari tiga minggu,
23
batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak napas, nafsu
makan menurun, dan malaise (Depkes RI, 2006). Gejala
lainnya adalah berkeringat pada malam hari, demam
tidak tinggi/meriang, dan penurunan berat badan
(Widoyono, 2008).
Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan
dengan ditemukannya TB (BTA) pada pemeriksaan
dahak secara mikrospkopis. Hasil pemeriksaan dahak
dinyatakan positif bila ditemukan BTA dalam minimal 2
dari 3 pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu).
Hasil pemeriksaan dinyatakan positif 2 dari 3 spesimen
Sewaktu Pagi Sewaktu (SPS) BTA hasilnya positif. Pada
program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis
utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan
uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang
diagnosis sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan
mendiagnosa TB Paru hanya berdasarkan pemeriksaan
foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan
gambaran yang khas pada TB Paru, sehingga sering
terjadi overdiagnosis (Depkes RI, 2006).
24
2.2.4. Penularan Tuberkulosis Paru
Penyakit Tuberkulosis ini yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui udara
(droplet nuclei) saat seorang pasien TB paru dan
percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut
terhirup oleh orang lain saat bernapas. Sumber penularan
adalah pasien TB Paru Basil Tahan Asam (TB Paru BTA)
positif. Bila penderita batuk, bersin, atau berbicara saat
berhadapan dengan orang lain, basil tuberkulosis
tersembur dan terhisap ke dalam paru orang yang sehat.
Dalam sekali batuk dapat menghasilkan 3000 percikan
dahak (Depkes RI, 2006). Masa inkubasinya selama 3-6
bulan. Penderita TB Paru yang terinfeksi, saat berbicara,
batuk, bersin, melepaskan droplet besar (lebih besar dari
100 µ) dan kecil (1-5 µ). Droplet yang besar akan
menetap, sedangkan droplet yang kecil tertahan di udara
dan terhirup oleh individu yang rentan (Brunner &
Suddarth, 2001).
2.2.5. Klasifikasi Tuberkulosis Paru
I. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak
mikroskopis, yaitu pada TB Paru:
25
a. Tuberkulosis Paru BTA positif
1. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak
SPS hasilnya BTA positif.
2. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif
dan foto toraks dada menunjukkan gambaran
tuberkulosis.
3. 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif
dan biakan kuman TB positif.
4. 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif
setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT.
b. Tuberkulosis Paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB Paru
BTA positif. Kriteria diagnostik TB Paru BTA
negatif harus meliputi:
1. Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA negatif.
2. Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran
tuberkulosis.
3. Tidak ada perbaikan setelah pemberian
antibiotika non OAT.
26
4. Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk
diberi pengobatan.
II. Klasifikasi tipe pasien
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan
OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari
satu bulan (4 minggu).
b. Kasus kambuh
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya
pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, didagnosis kembali dengan BTA positif.
c. Kasus setelah putus berobat
Adalah pasien yang telah berobat dan putus
berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
d. Kasus setelah gagal
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya
tetap positif atau kembali menjadi positif pada
bulan kelima atau selama pengobatan.
e. Kasus pindahan
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang
memiliki register TB lain untuk melanjutkan
pengobatanya.
27
2.2.6. Pengobatan TB Paru
Pengobatan TB Paru diberikan dalam 2 tahap, yaitu
tahap intensif dan lanjutan (Depkes RI, 2006).
a. Tahap awal (Intensif)
Pada tahap intensif pasien mendapat obat setiap hari
dan perlu pengawasan dalam minum obat untuk
mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan
tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, pasien
menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif
menjadi BTA negatif dalam waktu 2 bulan.
b. Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat yang
lebih sedikit, namun dalam waktu yang lebih lama.
Tahap lanjutan ini penting untuk membunuh kuman
persister sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.