Upload
others
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Nyeri
2.1.1. Definisi Nyeri
The International Association for the Study of Pain (IASP,1979 dikutip
dari Potter & Perry, 2006), mendefinisikan nyeri sebagai suatu pengalaman
sensori dan emosional yang tidak nyaman yang berhubungan dengan kerusakan
jaringan aktual dan potensial yang dirasakan dalam kejadian-kejadian di mana
terjadi kerusakan. Perasaan yang tidak nyaman tersebut sangat bersifat subjektif
dan hanya orang yang mengalaminya yang dapat menjelaskan dan mengevaluasi
perasaan tersebut (Mubarak & Chayatin, 2007).
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Smeltzer dan Bare (2001)
bahwa nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial, menyakitkan tubuh,
serta diungkapkan oleh individu yang mengalaminya. Sedangkan menurut
Barbara dan Joan (1983), nyeri diartikan sebagai suatu fenomena biopsikososial
yang kompleks. Nyeri tidak hanya ditunjukkan sebagai nilai yang negatif yang
terjadi di tubuh, tetapi nyeri sering ditunjukkan sebagai tanda atau peringatan
bahwa ada suatu kerusakan jaringan di tubuh.
Menurut Feurst (1974), mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu
perasaan menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang bisa menimbulkan
ketegangan. Nyeri merupakan pengalaman seseorang dan bersifat subjektif,
berbeda antara satu orang dengan orang lain serta dirasakan bervariasi oleh
seseorang dari waktu yang satu ke waktu yang lain (Reeder-Martin, 1984).
Menurut Kozier & Erb (1983), nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang
dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang
nyata, ancaman, dan fantasi luka. Nyeri diperkenalkan sebagai suatu pengalaman
emosional yang penatalaksanaannya tidak hanya pada pengelolaan fisik semata,
namun penting juga untuk melakukan manipulasi (tindakan) psikologis untuk
mengatasi nyeri (Tamsuri,2012).
Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan
dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial (Corwin, 1997). Nyeri juga dapat
disebabkan stimulus mekanik seperti pembengkakan jaringan yang menekan pada
reseptor nyeri. (Taylor & Priccila, 1997 ). Menurut Shweder & Sullivan, 1993
nyeri adalah pengalaman persepsi yang sangat kompleks yang diakibatkan oleh
faktor situasi dan lingkungan yang dikarenakan adanya proses fisiologi dalam
tubuh seperti, emosi, motivasi (dukungan) dan kesadaran, dan semuanya itu
dipengaruhi oleh suku, budaya dan bahasa.
Mouncastle mendefenisikan nyeri pengalaman sensori yang dibawa oleh
stimulus sebagai akibat adanya ancaman atau kerusakan jaringan, dapat
disimpulkan bahwa nyeri adalah ketika seseorang terluka secara fisik. Sedangkan
menurut Arthur C. Curton (1983) mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu
mekanisme produksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang rusak dan
menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri
(Tamsuri, 2012)
2.1.2 Fisiologi Nyeri
2.1.2.1 Stimulus Nyeri
Nyeri selalu dikaitkan dengan adanya stimulus (rangsang nyeri) dan
reseptor. Reseptor yang dimaksud adalah nosireseptor, yaitu ujung-ujung saraf
bebas pada kulit yang berespon terhadap stimulus yang kuat. Munculnya nyeri
dimulai dengan adanya stimulus nyeri. Stimulus-stimulus tersebut dapat berupa
biologis, zat kimia, panas, listrik serta mekanik (Prasetyo, 2010). Terdapat
beberapa stimulus nyeri, diantaranya:
Tabel.2.1.2.1 Stimulus Nyeri
Faktor Penyebab Contoh
Mikroorganisme (virus, bakteri, jamur,
dll)
Meningitis
Kimia Tersiram air keras
Tumor Ca Mamae
Iskemia jaringan Jaringan miokard yang mengalami
iskemia karena gangguan aliran darah
pada arteri koronaria
Listrik Terkena sengatan listrik
Spasme Spasme otot
Obstruksi Batu ginjal, batu ureter, obstruksi usus
Panas Luka bakar
Fraktur Fraktur femur
Salah urat Keseleo, terpelintir
Radiasi Radiasi untuk pengobatan kanker
Psikologis Berduka, konflik
(dikutip dari Prasetyo, 2010)
Sedangkan stimulus nyeri menurut Alimul (2006), diantaranya adalah :
(1)Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah (operasi) akibat terjadinya
kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada reseptor, (2) Gangguan pada
jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat terjadinya penekananpada reseptor
nyeri, (3) Tumor, dapat juga menekan pada reseptor nyeri, (4) Iskemia pada
jaringan, misalnya terjado blockade pada arteria koronaria yang menstimulasi
reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat, (5) Spasme otot, dapat
menstimulasi mekanik.
2.1.2.2 Reseptor Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berfungsi sebagai reseptor adalah ujung saraf
bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor. Secara anatomis
nosiseptor ini ada yang bermielin dan ada juga yang tidak bermielin dari saraf
aferen. Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalambeberapa
bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus), somatik dalam (deep somatik) dan pada
daerah viseral. Kerna letaknya yang berbeda inilah nyeri yang timbul memiliki
sensasi yang berbeda-beda (Tamsuri,2012).
Nosiseptor kutaneus berasal dari kulit dan subkutan, nyeri yang bersal dari
daerah ini biasanya mudah untuk dilokalisasi dan didefenisikan. Reseptor jaringan
kulit terbagi dua komponen, yaitu: serabut A delta dan serabut C (Tamsuri, 2012).
Serabut A delta adalah serabut yang bermielin, cepat mengirim sensasi yang
tajam, terlokalisasi dan jelas yang melokalisasi sumber nyeri serta mendeteksi
intensitas nyeri. Serabut A delta tersebut menghantar komponen cedera akut
dengan segera. Sedangkan serabut C menghantar impuls yang terlokalisasi buruk,
viseral dan terus menerus. Misalnya, setelah menginjak sebuah paku, seorang
individu mula-mula akan merasakan nyeri yang terlokalisasi dan tajam, yang
bernosiseptorkan serabut A delta. Dalam beberapa detik, nyeri menjdi lebih difus
dan menyebar sampai seluruh kaki terasa sakit karena dinosiseptori oleh serabut C
( Potter dan Perry, 2006).
Tabel 2.1.2.2 Perbedaan Serabut Saraf nyeri tipe delta A dan C
Serabur saraf tipe delta A Serabut saraf tipe C
Daya hantar sinyal relatif cepat
Bermielin halus
Diameter 2-5 mm
Membawa rangsangan nyeri yang
menusuk
Serabut saraf tipe ini berakhir di kornu
dorsalis dan lamina I
Daya hantar sinyal relatif lambat
Tidak bermielin
Diameter 0,4-1,2
Membawa rangsangan nyeri terbakar
dan tumpul
Serabut saraf tipe ini terakhir di lamina
II, III dan IV
(dikutip dari Asmadi, 2008)
Struktur reseptor nyeri somatik dalm meliputi reseptor nyeri yang terdapat
pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot dan jaringan penyangga lainnya, karena
struktur reseptornya kompleks, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul
dan sulit untuk dilokalisasi. Reseptor ketiga yaitu reseptor visceral, yaitu reseptor
yang meliputi organ-organ visceral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan
sebagainya. Nyeri yang timbul biasanya difus (terus-menerus), dan tidak sensitif
terhadap pemotongan organ tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia
dan inflamasi. Nyeri visceral dapat menyebabkab nyeri alih (reffered pain) yaitu
nyeri yang dapat timbul pada daerah yang berbeda/jauh dari organ asal stimulus
nyeri tersebut. Keadaan ini terjadi karena adanya sinaps pada jaringan viseral pada
medula spinalis dengan serabut yang berasal dari jaringan subkutan tubuh
(Tamsuri, 2012).
Menurut Prasetyo (2010), reseptor merupakan sel-sel khusus yang
mendeteksi perubahan-perubahan partikular disekitarnya, kaitannya dengan
proses terjadinya nyeri maka reseptor-reseptor inilah yang menangkap stimulus-
stimulus nyeri. Reseptor ini dapat dibagi menjadi: (1) exteroreseptor, (2)
telereseptor, (3) propioseptor dan (4) interoreseptor. Exteroreseptor yaitu reseptor
yang berpengaruh terhadap perubahan pada lingkungan eksternal, antara lain:
corpusculum miessineri dan corpus merkel untuk merasakan stimulus taktil
(rabaan dan sentuhan), corpusculum krausse untuk merasakan dingin sedang
corpusculum ruffini untuk merasakan rangsangan panas. Telereseptor merupakan
reseptor yang sensitif terhadap stimulus yang jauh. Propioreseptor merupakan
reseptor yang menerima impuls primer dari organ otot, spindle dan tendon golgi.
Dan interoseptor merupakan reseptor yang sensitif terhadap perubahan pada
organ-organ visceral dan pembuluh darah.
2.1.2.3 Neuroregulator Nyeri
Neuroregulator atau substansi yang mempengaruhi transmisi stimulus
saraf memegang peranan yang sangat penting dalam suatu pengalaman nyeri.
Substansi ini ditemukan di lokasi nosiseptor, di terminal saraf dalam kornu
dorsalis pada medula spinalis. Neuroregulator dibagi menjadi dua kelompok,
yakni neurotransmiter dan neuromodulator. Neurotransmiter mengirim impuls
listrik melewati celah sinaps diantara dua serabut saraf sedangkan neuromodulator
memodifikasi aktivitas neuron dan menyesuaikan atau mentransmisi stimulus
nyeri tanpa secara langsung mentransfer tanda saraf melalui sebuah sinaps.
Neuroregulator diyakini tidak bekerja secara langsung, yakni dengan
meningkatkan dan menurunkan efek neurotransmiter tertentu ( Potter dan Perry,
2006).
Neurotransmiter terdiri dari (1) Substansi P ditemukan pada neuron nyeri
di kornu dorsalis (peptida ektisator), diperlukan untuk mentransmisi impuls nyeri
dari perifer ke otak dan menyebabkan vasodilatasi dan edema, (2) Serotonin
dilepaskan oleh batang otak dan kornu dorsalis untuk menghambat transmisi
nyeri, (3) Prostaglandin dibangkitkan dari pemecahan pospolipid di membran sel
dan dipercaya dapat meningkatkan sensitivitas terhadap sel. sedangkan
neuromodular terdiri dari (1) endorfin ( morfin endogen) merupakan substansi
sejenis morfin yang disuplai oleh tubuh, diaktivasi oleh daya stress dan nyeri serta
terdapat di otak, spinal dan traktus gastrointestinal serta dapat memberi efek
analgetik, (2) bradikinin yang dilepaskan dari plasma dan pecah di sekitar
pembuluh darah yang mengalami cedera, bekerja pada reseptor syaraf perifer
yang dapat meningkatkan stimulus nyeri dan bekerja pada sel yang menyebabkan
reaksi berantai sehingga terjadi pelepasan prostaglandin (Tamsuri, 2012).
2.1.3 Klasifikasi Nyeri
Tamsuri (2012) membagi klasifikasi nyeri berdasarkan 3 bagian, yaitu:
2.1.3.1 Klasifikasi Berdasarkan Awitan
Berdasarkan waktu kejadian, nyeri dapat dikelompokkkan menjadi nyeri
akut dan nyeri kronis (Tamsuri, 2012). Nyeri akut adalah nyeri nyeri yang terjadi
pada waktu (durasi) satu detik sampai dengan enam bulan, sedangkan nyeri kronis
adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih dari enam bulan. Nyeri akut
umumnya terjadi pada cedera, penyakit akut atau pada pembedahan dengan
awitan yang cepat dan tingkat keparahan yang bervariasi (sedang sampai berat).
Nyeri akut dapat dipandang sebagai nyeri yang terbatas dan bermanfaat untuk
mengindikasikan adanya cedera atau penyakit pada tubuh. Nyeri jenis ini biasanya
hilang dengan sendirinya dengan atau tanpa tindakan setelah kerusakan jaringan
penyembuh. Nyeri kronis umumnya timbul tidak teratur, intermitten bahkan
persisten. Nyeri kronis dibedakan dalam dua kelompok besar, yaitu nyeri kronis
maligna dan nyeri kronis nonmaligna. Karakteristik nyeri kronis adalah
penyembuhannya tidak dapat diprediksikan meskipun penyebabnya mudah
ditentukan. Nyeri kronis dapat menyebabkan klien merasa putus asa dan frustasi.
Klien yang mengalami nyeri kronis mungkin menarik diri dan mengisolasi diri.
Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik (Brunner&Suddart, 2003).
Menurut Prasetyo (2010), Cronic acut pain dapat dirasakan setiap harinya
dalam suatu periode yang panjang (beberapa bulan atau tahun). Luka bakar yang
parah, kanker yang diderita merupakan keadaan yang dapat menyebabkan nyeri
kronis akut. Nyeri yang diakibatkan luka bakar yang parah dan kanker di atas
akan terus dirasakan oleh klien sepanjang harinya sampai kondisi yang mendasari
timbulnya nyeri tersebut hilang atau terkontrol. Pada kasus tertentu , nyeri
berakhir hanya dengan berakhirnya hidup klien (kematian), seperti contoh pada
kasus klien dengan stadium terminal.
Sedangkan nyeri kronik nonmaligna atau disebut juga nyeri kronik benign,
nyeri ini dirasakan hampir setiap hari selama periode lebih dari 6 bulan dengan
intensitas nyeri ringan sampai berat. Menurut McCaffery dan Pasero tahun 1997
(dalam Prasetyo, 2010), terdapat tiga karakteristik khusus pada nyeri kronis non
malignan, yaitu: nyeri ini berhubungan dengan penyebab-penyebab yang tidak
mengancam kehidupan, tidak begitu responsif terhadap metode-metode
pembebasab nyeri dan dapat berlanjut pada sisa kehidupan. Contoh dari berbagai
patofisiologi yang dapat mengakibatkan nyeri kronis nonmaligna yaitu: berbagai
bentuk dari neuralgia, low back pain, rheumatoid artritis, ankylosing spondilitis,
nyeri phantom dan myofascial pain syndrom.
Tabel.2.1.3.1 Perbandingan Nyeri Akut dan Kronis
Karakteristik Nyeri akut Nyeri Kronis
Tujuan/keuntungan Memperingati adanya
cedera atau masalah
Tidak ada
Awitan Mendadak Terus-menurus atau
intermiten
Intensitas Ringan sampai berat Ringan sampai berat
Durasi Singkat (dari beberapa
detik sampai enam
bulan)
Lama (enam bulan lebih)
Respon otonom Konsisten dengan respon
stress simpatis
Volume sekuncup
meningkat, tekanan
darah meningkat, dilatasi
pupil meningkat,
tegangan otot meningkat,
motilitas gastro intestinal
menurun, aliran saliva
menurun
(mulut kering)
Tidak terdapat respon
otonom
Komponen psikologis Ansietas Depresi, mudah marah,
menarik diri dari dunia
luar, menarik diri dari
persahabatan
Respon jenis lainnya Tidur terganggu, libido
menurun, nafsu makan
menurun
Contoh Nyeri bedah, trauma Nyeri kanker, artritis,
neuralgia trigeminal
Dikutip dari Port CM. Pathophysiologi ; Concepts of Altered health State, ed. Ke-
4, Philadelphia, JB Lippincott, 1995. (Diambil dari Brunner & Suddarth, 2001).
2.1.3.2 Klasifikasi Berdasarkan Lokasi
Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi enam jenis,
yaitu:
a. Nyeri Superfisial
Nyeri Superfisial biasanya timbul akibat stimulasi terhadap kulit seperti
pada laserasi, luka bakar dan sebagainya. Nyeri jenis ini mempunyai waktu
penyembuhan yang pendek, terlokalisir, dan memiliki sensasi yang tajam
(Tamsuri, 2012). Nyeri superfisial dapat dirasakan pada seluruh permukaan tubuh
atau kulit klien (Prasetyo, 2010).
b. Nyeri Somatik Dalam (Deep Somatik Pain)
Nyeri somatik dalam adalah nyeri yang terjadi pada otot dan tulang serta
struktur penyokong lainnya, umumnya nyeri bersifat tumpul dan distimulasi
dengan adanya peregangan dan iskemik (Tamsuri, 2012). Nyeri somatik dalam
biasanya bersifat difus (menyebar) berbeda dengn nyeri superfisial yang mudah
untuk dilokalisir. Bagian yang mempunyai sensitifitas terhadap nyeri antara lain:
tendon, fascia dalam, ligamen, pembuluh darah, tulang periesteum dan nervus-
nervus. Otot skeleton hanya sensitif terhadap iskemia dan peregangan. Tulang dan
kartilago biasanya sensitif terhadap tekanan yang ekstrim atau stimulasi kimia,
misal: rheumatoid artritis, osteomielitis ( Prasetyo,2010)
Tabel.2.1.3.2.1 Perbedaan Antara Nyeri Kutaneus dengan Nyeri Somatik Dalam
Karakteristik Nyeri Kutaneus Nyeri Somatis Dalam
Kualitas Tajam, sensasi terbakar Biasanya bersifat tumpul,
berdenyut
Durasi Berdurasi pendek Biasanya lebih lama
dibandingkan nyeri
kutaneus
Lokasi Cenderung dapat
dilokalisir, nyeri dapat
dirasakan pada suatu titik
area, pada permukaan
Cenderung difus dan
sulit untuk dilokalisir
Tanda gejala yang
menyertai
Rasa terbakar, gatal,
hyperalgesia
Berhubungan dengan
respon otonom: mual,
muntah, berkeringat,
muka pucat, bradikardit,
penurunan tekanan darah,
sinkop
(dikutip dari Prasetyo,2010)
c. Nyeri Viseral
Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh organ interna. Nyeri yang
timbul bersifat difus dan durasinya cukup lama. Sensasi yang timbul biasanya
tumpul (Tamsuri, 2012). Penyebab nyeri visceral adalah semua rangsangan yang
dapat menstimulasi ujung saraf nyeri di daerah visceral. Rangsangan tersebut
dapat berupa iskemia jringan visceral, spasme suatu viscera berongga, rangsang
kimia dan distensi suatu organ viscera. Contoh dari nyeri visceral yaitu :
apendiksitis, cholecystitis, penyakit kardiovaskuler, renal, konik uretra dan lain-
lain.
Tabel.2.1.3.2.2 Perbedaan Nyeri Somatik dan Nyeri Viseral
Karakteristik
Somatik
Viseral
Superfisial
Dalam
Kualitas Tajam, menusuk Tajam atau tumpul,
difus
Tajam,tumpul,
difus, kejang
Lokalisasi Terpusat Menyebar Menyebar
Mengabar Tidak Tidak Ya
Stimulus
penyebab
Cedera, abrasi,
Panas/dingin
Cedara, panas,
Iskemia,
pergeseran
Distensi, iskemia,
Spasme, iritasi,
kimiawi
Reaksi
autonom
Tidak Ya Ya
Refleks
kontraksi otot
Dalam Ya Ya
(dikutip dari Prasetyo, 2010)
d. Nyeri Sebar (Radiasi)
Nyeri sebar adalah sensasi nyeri yang meluas dari daerah asal ke jaringan
sekitar. Nyeri jenis ini biasanya dirasakan oleh klien seperti berjalan atau bergerak
dari daerah asal nyeri ke sepanjang tubuh tertentu. Nyeri dapat bersifat intermitten
atau konstan (Tamsuri, 2012). Nyeri ini terasa pada bagian tubuh yang lain,
umumnya karena terjadinya kerusakan pada organ dalam (Asmadi, 2008).
e. Nyeri Fantom
Nyeri pantom adalah nyeri khusus yang dirasakan oleh klien yang
mengalami amputasi. Nyeri oleh klien dipersepsikan pada organ yang mengalami
amputasi seolah-olah organnya masih ada (Tamsuri, 2012). Nyeri ini umumnya
terjadi sebab adanya ekstremitas diamputasi (Asmadi, 2008).
f. Nyeri Alih
Nyeri alih nyeri yang timbul akibat adanya nyeri viseral yang menjalar ke
orang lain, sehingga dirasakan nyeri pada beberapa tempat atau lokasi. Nyeri jenis
ini dapat timbul. Karena masuknya neuron sensori dari organ yang mengalami
nyeri ke dalam medulla spinalis dan mengalami sinapsis dengan serabut saraf
yang berada pada bagian tubuh lainnya. Nyeri timbul biasanya pada beberapa
tempat yang kadang jauh dari lokasi asal nyeri (Tamsuri, 2012).
2.1.3.3 Berdasarkan Organ
Berdasarkan pada organ tempat timbulnya nyeri, nyeri dapat
dikelompokkan dalam:
a. Nyeri Organik
Nyeri Organik adalah nyeri yang diakibatkan adanya kerusakan (aktual
atau potensial) organ. Penyebab nyeri umumnya mudah dikenali sebagai akibat
adanya cedera, penyakit atau pembedahan terhadap salah satu atau beberapa organ
(Tamsuri, 2012).
b. Nyeri Neurogenik
Nyeri Neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron, misalnya pada
neuralgia. Nyeri ini terjadi secara akut amupun kronis (Tamsuri, 2012). Nyeri
pada system neurologis timbul dalam berbagai bentuk. Neuralgia adalah nyeri
yang tajam, seperti spasmus disepanjang satu atau beberapa jalur saraf. Dua
bentuk neuralgia adalah saraf trigeminus pada muka dan saraf sciatic pada bagian
bawah tubuh. Causalgia sejenis neuralgia adalah rasa nyeri yang terasa sangat
membakar disertai dengan cedera saraf perifer pada eksremitas. Pasien biasanya
akan merasakan jalur yang sangat panjangguna mencegah stimulus yang
mengiritasi (seperti suara kapal terbang diatas kepala) (Barbara, 1996).
c. Nyeri Psikogenik
Nyeri Psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor psikogenik.
Gangguan ini lebih mengarah ke gangguan psikogenik dari pada gangguan organ.
Klien yang menderita “benar-benar” mengalaminya. Nyeri ini umumnya terjadi
ketika efek-efek psikogenik seperti cemas dan takut timbul pada klien (Tamsuri,
2012). Nyeri psikogenik adalah tanpa diketahui adanya temuan pada fisik yaitu
timbul karena psikologis, mental, emosional atau faktor perilaku. Sakit kepala,
back pain atau nyeri perut adalah contoh sebagian dari nyeri psikologik yang
paling umum. Nyeri psikologik terkadang dilihat dengan stigma yang salah, di
mana nyeri ini dianggap sebagai suatu yang tidak nyata. Padahal semua nyeri
yang dikatakan adalah nyata (Prasetyo, 2010).
2.1.4 Respon Tubuh terhadap Nyeri
2.1.4.1 Respon fisik
Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh
medula spinalis menuju batang otak dan talamus, sistem saraf otonom
terstimulasi, sehingga menimbulkan respon yang serupa dengan respon tubuh
terhadap stress. Pada nyeri skala ringan sampai moderat serta pada nyeri
superfisial, tubuh bereaksi membangkitkan “General Adaption Syndrom” (reaksi
Fight or Flight), dengan merangsang sistem saraf simpatis. Sedangkan pada nyeri
yang berat dan tidak dapat ditoleransi serta nyeri yang berasal dari organ viseral,
akan mengakibatkan stimulus terhadap saraf parasimpatis (Tamsuri,2012).
Tabel.2.1.4.1 Respon Fisiologis Tubuh terhadap Nyeri
Reaksi Efek
Simpatis
Dilatasi lumen bronkus,
peningkatan frekuensi napas
Denyut jantung meningkat
Vasokonstriksi perifer
Peningkatan glukosa darah
Diaforesis
Tegangan otot meningkat
Dilatasi pupil
Penurunan motilitas usus
Memungkinkan penyediaan oksigen
yang lebih banyak
Memungkinkan transport oksigen lebih
besar ke dalam jaringan tubuh (sel)
Meningkatkan tekanan darah dengan
memindahkan suplai darah dari perifer
ke organ viseral, otot dan otak
Memungkinkan penyediaan energi
tambahan bagi tubuh
Mengendalikan suhu tubuh selama
stress
Menyiapkan otot untuk mengadakan
aksi
Menghasilkan kemampuan melihat
yang lebih baik
Menyalurkan energi untuk aktivitas
tubuh yang lebih penting
Parasimpatis
Pucat
Kelelahan otot
Tekanan otot dan nadi menurun
Frekuensi napas cepat, tak teratur
Mual dan muntah
Kelemahan
Disebabkan suplai darah yang menjauhi
perifer
Karena kelelahan
Pengaruh nervus vagal
Karena mekanisme pertahanan yang
gagal untuk memperpanjang
perlawanan tubuh terhadap stress
(nyeri)
Kembalinya fungsi gastrointestinal
Akibat pengeluaran energi yang
berlebihan
(dikutip dari Tamsuri, 2012)
2.1.4.2 Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkitan dengan pemahaman klien terhadap
nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Klien yang mengartikan nyeri sebagai
sesuatu yang “negatif” cenderung memiliki suasana hati yang sedih, berduka,
ketidakberdayaan dan dapat berbalik menjadi rasa marah dan frustasi. Sebaliknya
pada pasien yang memiliki persepsi nyeri sebagai pengalaman “positif” akan
menerima mengalami nyeri yang dialaminya. Pemahaman dan pemberian arti bagi
nyeri sangat dipengaruhi tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu
dan juga faktor sosial budaya (Tamsuri, 2012).
2.1.4.3 Respon Perilaku
Dalam Tamsuri (2012), respon perilaku yang timbul pada pasien yang
mengalami nyeri dapat bermacam-macam, Meinhart dan Mc.Caffery pada tahun
1983 menggambarkan tiga fase perilaku terhadap nyeri yaitu : antisipasi, sensasi
dan fasca nyeri.
Fase ntisipasi merupakan fase yang paling penting karena fase ini
merupakanpenentu untuk pase berikutnya. Pada fase ini, merupakan fase yang
memungkinkan individu untuk mrmahami nyeri, untuk belajar dan mendapatkan
gambaran tentang nyeri itu sendiri. Pada fase ini, pasien disiapkan untuk belajar
bagaimana mengendalikan nyeri yang mungkin akan timbul dan juga pasien
diajarkan bagaimana tindakan pasien jika terapi/tindakan yang dilakukan kurang
efektif. Pada fase antisipasi ini, klien juga beljar mengendalikan emosi
(kecemasan) sebelum nyeri itu sendiri muncul, karena kecemasan dapat
menyebabkanpeningkatan sensasi nyeri yang terjadi pada pasien dan/atau
tindakan ulang yang dilakukan oleh pasien untuk mengatasi nyeri menjadi kurang
efektif.
Pada saat terjadi nyeri, banyak perilaku yang diungkapkan oleh seorang
pasien yang mengalami nyeri seperti menangis, meringis, meringkukkan badan,
menjerit dan bahkan mungkin berlari-lari.nperilaku klien dalam merespon nyeri
ini dapat dipengaruhi oleh kemampuan tubuh untuk mentoleransi nyeri dan juga
oleh berat-ringannya sensasi nyeri itu sendiri. Kadangkala pasien tidak mau
mengungkapkan pengalaman nyeri yang dirasakannya karena menganggap
dirinya adalah “orng yang cengeng” atau pasien akan berpandangan bahwa
perawat akan menyebut pasien “cerewet”.
Pada fase pascanyeri, klien mungkin mengalami trauma psikologis, takut,
depresi serta dapat juga menggigil.
2.1.5 Teori-teori Nyeri
2.1.5.1 Teori Spesifik ( Specivicity Theory)
Teori ini dikemukakan oleh Descardespada abad ke 17. Teori ini
didasarkan pada adanya jalur-jalur tertentu yang dapat mentransmisikan rasa
nyeri. Adanya ujung-ujung saraf bebas pada perifer bertindak sebagai reseptor
nyeri, dimana saraf-saraf ini diyakini mampu untuk menerima stimulus nyeri dan
menghantarkan impuls nyeri ke susunan saraf pusat. Impuls kemudian
ditransmisikan melalui dorsal horn (akar belakang) dan substansia gelatinosa ke
thalamus dan berakhir pada area kortek. Nyeri kemudian dapat diinterpretasikan
dan muncul respon terhadap nyeri. Teori ini tidak memunculkan karakteristik
multidimensi dari nyeri, teori ini hanya melihat nyeri secar sederhana yaitu
melihat nyeri dari paparan biologis saja tanpa melihat variasi dari efek psikologis
individu (Prasetyo, 2010)
2.1.5.2 Teori Pola ( Pattren Theory)
Teori ini dikemukakan pada awal tahun 1900. Teori ini mengemukakan
bahwa terdapat dua serabut nyeri utama yaitu serabut yang menghantar nyeri
secara cepat dan serabut yang menghantar nyeri secara lambat ( serabut A delta
dan serabur C). Stimulus dari serabut saraf ini membentuk sebuah “pattern/pola”.
Teori ini juga mengenal konsep “Central Summation” dimana impuls perifer dari
kedua saraf disatukan di spinal cord dan dari sana hasil penyatuan impuls
diteruskan ke otak untuk diinterpretasikan. Sebagaimana halnya dengan teori
spesifik, teori ini juga tidak memperhatikan perbedaana persepsi dan faktor
psikologis dari masing-masing individu (Prasetyo, 2010).
2.1.5.3 Teori Pengontrolan Nyeri
Teori Gate Control menyatakan bahwa nyeri dan persepsi nyeri
dipengaruhi oleh interaksi dari dua sistem (Melzack dan Wall, 1965). Dua sitem
tersebut yaitu : substansia gelatinosa pada dorsal horn di medula spinalis dan
sistem yang berfungsi sebagai inhibitor (penghambat) yang terdapat pada batang
otak.
Serabut A delta yang berdiameter kecil membawa impuls nyeri cepat
sedangkan serabut C membawa impuls nyeri yang lambat. Sebagai tambahan
serabut A beta yang berdiameter lebar membawa impuls yang dihasilkan oleh
stimulus taktil (perabaan/sentuhan). Di dalam substansi gelatinosa impuls ini akan
bertemu dengan suatu “gerbang” yang menbuka dan menutup berdasarkan prinsip
siapa yang lebih mendominas, serabut taktil A beta ataukah serabut nyeri yang
berdiameter kecil.
Apabila impuls yang dibawa serabut nyeri yang berdiameter kecil
melebihi impuls yang dibawa oleh serabut taktil A Beta maka “gerbang akan
terbuka sehingga perjalanan impuls nyeri tidak terhalangi sehingga impuls akan
sampai ke otak. Sebaliknya, apabila impuls yang dibawa oleh serabut lebih
mendominasi, “gerbang” akan menutup sehingga impuls nyeri akan terhalangi.
Alasan inilah yang mendasari mengapa dengan masase dapat mengurangi durasi
dan intensitas nyeri.
Gate control
A delta dan C
A beta
Gambar.1 Mekanisme “Pintu Gerbang” dengan menutup dan membuka dapat
mengatur perjalanan impuls nyeri.
(dikutip dari Prasetyo, 2010)
Sistem kedua yang digambarkan sebagai “pintu gerbang” terletak di
batang otak. Hal ini diyakini bahwa sel-sel di otak tengah dapat diaktifkan oleh
beberapa faktor seperti: opiat, faktor psikologis, bahkan dengan kehadiran nyeri
itu sendiri dapat memberikan sinyal reseptor di medula. Reseptor ini dapat
mengatur serabur saraf di spinal cord untuk mencegah perjalanan transmisi nyeri.
Hipotesa ini dapat sedikit membantu untuk menjelaskan kenapa pada anak-anak
yang dilakukan sirkumsisi, yang sebelumnya diberikan anastesi tidak merasakan
nyeri yang hebat saat tindakan dilakukan (Prasetyo, 2010).
2.1.6 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Kerena nyeri merupakan sesuatu yang kompleks, banyak faktor yang
mempengaruhi pengalaman nyeri individu. Perawat mempertimbangkan semua
faktor yang mempengaruhi pasien yang merasakan nyeri. Hal ini sangat penting
Trans
sel
dalam upaya memastikan bahwa perawat menggunakan pendekatan yang holistik
dalam pengkajian dan perawatan pasien yang mengalami nyeri (Potter dan Perry,
2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri, yaitu: (1) usia, (2) jenis kelamin,
(3) kebudayaan, (4) makna nyeri, (5) lokasi dan tingkat keparahan nyeri, (6)
perhatian, (7) ansietas, (8) keletihan, (9) pengalaman sebelumnya, (10) gaya
koping dan (11) dukungan keluarga dan sosial.
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya
pada anak-anak lansia. Perbedaan perkembangan, yang ditemukan di antara
kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia. Anak
belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri
pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan
mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang
dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani
dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri
diperiksakan (Potter&Perry, 2006).
Jenis kelamin secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara
bermakna dalam merespons terhadap nyeri (Gill, 1990 dikutip dari Potter & Perry,
2005). Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu faktor
dalam pengekspresian nyeri. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis
kelamin misalnya, menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan
tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi
yang sama (Potter & Perry, 2006). Akan tetapi pada penelitian terakhir
memperlihatkan hormon seks pada mamalia berpengaruh terhadap tingkat
toleransi terhadap nyeri. Hormon seks testosteron menaikkan ambang nyeri pada
percobaan binatang sedangkan estrogen meningkatkan pengenalan atau
sensitivitas pada nyeri. Bagaimanapun pada manusia lebih kompleks, dipengaruhi
oleh personal, sosial ,budaya dan lain-lain (Prasetyo,2010)
Budaya dan etnisitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang
berespons terhadap nyeri, bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku
dalam berespons terhadap nyeri. Namun budaya dan etnik tidak mempengaruhi
persepsi nyeri (Zatzick&Dimsdale, 1990 dalam Brunner&Sudart, 2006). Harapan
budaya tentang nyeri yang individu pelajari sepanjang hidupnya jarang
dipengaruhi oleh pemajanan terhadap nilai-nilai yang berlawanan dengan budaya
lainnya. Akibatnya individu yakin bahwa persepsi dan reaksi mereka terhadap
nyeri adalah normal dapat diterima. Nilai-nilai budaya perawat dapat berbeda
dengan nilai-nilai budaya pasien dari budaya lain. Harapan dan nilai-nilai budaya
perawat dapat mencakup menghindari ekspresi nyeri yang berlebihan seperti
meringis, dan menangis berlebihan (Brunner&Sudart, 2003).
Individu akan mempersepsikan dengan cara berbeda-beda, apabila nyeri
tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan.
Derajat dan kualitas nyeri akibat cedera karena hukuman dan tantangan. Makna
nyeri oleh seseorang akan berbeda jika pengalamannya tentang nyeri juga
berbeda. Selain pengalaman, Makna nyeri juga dapat ditentukan dari cara
seseorang beradaptasi terhadap nyeri yang dialami. Misalnya, seseorang wanita
yang sedang bersalin akan mempersepsikan nyeri yang berbeda dengan seorang
wanita yang mengalami nyeri akibat cedera pukulan pasangannya (Potter&Perry,
2005).
Nyeri yang dirasak bervariasi dalam intensitas dan tingkat keparahan pada
masing-masing individu. Nyeri yang dirasakn mungkin terasa ringan, sedang atau
berat. Dalam kaitannya dengan kualitas nyeri, masing-masing individu juga
bervariasi, ada yang melaporkan nyeri seperti tertusuk, nyeri tumpul, berdenyut,
terbakar dal lain-lain, sebagai contoh individu yang tertusukjarum akan
melaporkan nyeri yang berbeda dengan individu yang mengalami luka bakar
(Prasetyo, 2010).
Seseorang yang memfokuskan perhatiannya terhadap nyeri akan
mempengaruhi persepsinya. Konsep ini merupakan salah satu hal yang dapat
dilihat perawat dari beberapa nyeri yang dirasakan pasien sehingga perawat dapat
memberikan intervensi yang tepat seperti relaksasi, massase, dan lain sebagainya.
Namun dengan memfokuskan perhatian terhadap stimulus yang lain, dapat
menurunkan persepsi nyeri (Potter & Perry, 2006).
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas seringkali
meningkatkan persepsi nyeri, tetapi juga seringkali menimbulkan suatu perasaan
ansietas. Pola bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan ansietas (Gil) 1990
dalam Potter&Perry, 2005). Sama hubungan cemas meningkatkan persepsi
terhadap nyeri dan nyeri bisa menyebabkan seseorang cemas. Sulit untuk
memisahkan dua sensasi tersebut , stimulus nyeri mengaktifkan bagian sistem
limbik yang diyakinkani mengendaliakan emosi seseorang.
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa kelelahan menyebabkan
sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan kemampuan koping. Hal ini dapat
menjadi masalah umum pada setiap individu yang menderita penyakit dalam
jangka waktu yang lama. Apabila keletihan disertai masalah tidur, maka persepsi
nyeri dapat terasa lebih berat lagi. Nyeri seringkali lebih berkurang setelah
individu mengalami suatu periode tidur yang lelap dibanding pada akhir hari yang
melelahkan (Potter dan Perry, 2006).
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, akan tetapi pengalaman
nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan mudah
menerima nyeri pada masa yang akan datang. Apabila individu sejak lama
mengalami nyeri yang berat, maka ansietas atau bahkan rasa takut akan muncul.
Sebaliknya, apabila individu mengalami nyeri dengan jenis sama dan berulang
tetapi nyeri tersebut dapat hilang akan lebih mudah bagi individu tersebut
menginterpretasikan sensasi nyeri dan akibatnya pasien akan lebih siap untuk
melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menghilangkan nyeri. Dan
apabila pasien tidak pernah mengalami nyeri maka persepsi pertama nyeri dapat
menganggu koping terhadap nyeri (Potter dan Perry, 2006).
Pengalaman nyeri dapat menjadi suatu pengalaman yang membuat anda
merasa kesepian. Apabila pasien mengalami nyeri di keadaan perawatan
kesehatan, seperti di rumah sakit, pasien merasa tidak berdaya dengan rasa sepi
itu. Hal yang sering terjadi adalah pasien kehilangan kontrol terhadap lingkungan
atau hasil akhir dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dengan demikian, gaya
koping mempengaruhi kemampuan individu tersebut untuk mengatasi nyeri
(Potter dan Perry, 2006).
Faktor lain yang bermakna mempengaruhi respon nyeri ialah kehadiran
orang-orang terdekat pasien dan bagaimana sikap mereka terhadap pasien.
Individu dari kelompok sosial-budaya yang berbeda memiliki harapan yang
berbeda tentang orang menumpahkan keluhan mereka tentang nyeri yang dialami
(Meinhart dan McCaffery, 1983). Individu yang mengalami nyeri sering kali
bergantung pada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan,
bantuan atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien rasakan, kehadiran orang
yang dicintai dapat meminimalkan kesepian dan ketakutan (Potter & Perry, 2006).
2.2 Intensitas Nyeri
2.2.1 Defenisi Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua
orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik
tubuh terhadap nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2012).
2.2.2 Pengukuran Intensitas Nyeri
2.2.2.1 Skala intensitas nyeri menurut Agency for Health Care Policy dan
Research (AHCPR). Acute Pain Management: Operative or medical Prosedures
and Trauma, 1992, dalam Brunner dan Suddart, 2001 terdiri atas tiga bentuk,
yaitu.
(1) Skala Intensitas Nyeri Deskriptif Sederhana
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri nyeri nyeri nyeri
ada ringan sedang terkontrol tidak
nyeri terkontrol
Keterangan : 0= tidak nyeri, 1-3=nyeri ringan, 4-6=nyeri sedang, 7-9=nyeri
terkontrol, 10=nyeri hebat tidak terkontrol
Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau
intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri
sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda
bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk
dipastikan. Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri
yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang
tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking
dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat
menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas
nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri
terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak
menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk
mendeskripsikan nyeri (Tamsuri, 2012).
(2) Skala Intensitas Nyeri Numerik
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri sedang nyeri
Nyeri hebat
Keterangan: 0=tidak nyeri, 1-9=nyeri sedang yang kriterianya dapat ditentukan,
10=nyeri hebat tak tertahankan
Skala penilaian numerik (Numerical Rating Scales, NRS) lebih digunakan
sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri
dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji
intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan
skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992
dalam Tamsuri, 2012).
(3) Skala Analog Visual (VAS)
Tidak nyeri
nyeri sangat
hebat
Keterangan: 0=tidak nyeri, 10=nyeri sangat hebat
Skala analog visual (Visual Analog Scale, VAS) tidak melebel subdivisi.
VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus
dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan
penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan
pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata
atau satu angka. Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah
digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya.
Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan
lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat
keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat
menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai
apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter dan Perry, 2006).
2.2.2.2 Skala nyeri menurut bourbanis
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri nyeri nyeri nyeri
nyeri ringan sedang berat sangat
berat
Keterangan : 0 :Tidak nyeri, 1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif klien dapat
berkomunikasi dengan baik, 4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis,
menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat
mengikuti perintah dengan baik, 7-9 : Nyeri berat : secara obyektif klien
terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan,
dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat
diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi, 10 : Nyeri sangat berat :
Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
2.2.2.3 The Pain Numerical Rating Scale (PNRS)/Skala Numerik
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Tidak nyeri nyeri nyeri
nyeri ringan sedang sangat
berat
PNRS digunakan untuk ukuran intensitas nyeri (segera atau sekarang).
Skala terdiri dari 11 poin yang mana 0 menunjukkan “tidak ada nyeri” dan 10
menunjukkan “nyeri sangat berat”, penilaian dari 1-4 disamakan dengan nyeri
ringan, 5-6 untuk nyeri sedang, dan 7-10 untuk nyeri berat (Serlin dkk, 1995
dalam Harahap, 2007).
2.3 Perilaku Nyeri
2.3.1 Defenisi Perilaku Nyeri
Perilaku nyeri merupakan suatu aspek dari pengalaman nyeri. Ini
merupakan perilaku jelas dan kelihatan seperti lemah atau ekspresi wajah yang
meringis (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007). Nyeri yang muncul sering
ditandai dengan beberapa jenis perilaku dari kelihatan atau kedengaran yang
ditafsirkan sebagai perilaku nyeri (Pilowski, 1994 dalam Harahap, 2007). Perilaku
nyeri mungkin atau juga tidak mungkin dianggap sebagi kesesuaian untuk
tingkatan dari ilmu penyakit tubuh yang diobservasi (Lofvander, 2002 dalam
Harahap, 2007).
Perilaku nyeri dapat didefenisikan sebagai sebahagian atau seluruh out put
individu yang terobservasi. Sebagai suatu karakteristik yang dapat diamati sebagai
kesan tehadap nyeri seperti, gerakan tubuh, ekspresi wajah, ucapan verbal,
berbaring, mencari pengobatan, mencari penasehat medis dan menerima bayaran.
Perilaku nyeri adalah tindakan untuk mengkomunikasikan kemampuan dan
ketidaknyamanan (seperti, meringis, berjalan dan berkurangnya aktivitas) dan
telah menunjukkan sebuah peran yang sangat penting dalam menurunkan tingkat
fungsi masing-masing individu dan memperburuk kondisi nyeri (Fordyce, 1976
diambil dari Harahap, 2007).
Perilaku nyeri merupakan tanda-tanda dari nyeri dan kekuatan dalam
memperoleh perhatian dan respon dari yang lain. Anderson, Keefe, dan Bradkley
dan koleganya telah mengobervasi bahwa pasien dengan penderita nyeri sering
sekali menunjukkan penjagaan (guarding), menggosok pasif (passive rubbing)
dan kekakuan (rigidity) sebagai ekspresi-ekspresi dari rasa nyeri mereka. Perilaku
nyeri ini mungkin dipelihara, paling sedikit sebagian, oleh konsekuensi
kekebelannya mungkin luar biasa, seperti perilaku rasa khawatir dari yang lain,
atau fakta dari pengalaman menentang, seperti situasi pekerjaan yang tertekan
atau konflik dengan kepentingan lainnya.
Mengobservasi langsung perilaku nyeri merupakan cara pengukuran nyeri
yang menghasilkan nilai yang akurat (Fordyce, 1974 dalam Brannon & Feist,
2007). Menurut Turk, Wack, dan Kerns (1985 dalam Dimatteo, 1991) perilaku
nyeri yang dapat diobservasi yaitu: (1) Pernyataan Verbal: mengaduh, menangis,
sesak nafas dan mendengkur, (2) Ekspresi Wajah: meringis, menggeletukkan gigi,
dan menggigit bibir, (3) Gerakan Tubuh: gelisah, imobilisasi, ketegangan otot,
peningkatan gerakan jari dan tangan, (4) Kontak dengan orang lain/interaksi
social: menghindari percakapan, menghindari kontak social, penurunan rentamg
perhatian, dan fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri.
2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku nyeri
Menurut Harahap (2007), yang mempengaruhi perilaku nyeri meliputi
beberapa faktor yaitu :
2.3.2.1 Jenis Kelamin
Jenis kelamin mungkin menyumbang kepada pertunjukkan perilaku nyeri.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa jenis kelamin mempunyai
hubungan yang kuat dengan perilaku nyeri tertentu (Lofvander & Forhoff, 2002:
Asghari & Nicholas, 2001). Wanita khususnya ibu rumah tangga mungkin lebih
sering menunjukkan dan mengeluhkan perilaku daripada laki-laki (Philips &
Jahanshahi, 1986).
2.3.2.2 Intensitas nyeri
Intensitas nyeri adalah jumlah nyeri yang dirasakan oleh pasien. Nyeri
yang dimanifestasikan oleh berbagai jenis penyakit menunjukkan bahwa laporan
nyeri memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku nyeri (Buckelew et al.,
1994; Asghari dan Nicholas, 2001, Harahap, 2007)
2.3.2.3 Suku/budaya
Setiap suku dan budaya mempersepsikan sakit dengan cara yang berbeda
(Waddle & et al, 1998) dan juga berbeda dalam mengekspresikan perilaku mereka
yang berhubungan dengan nyeri (Lofvander & Furhoff, 2002) kepercayaan
budaya barat sungguh perbeda dengan kepercayaan budaya timur yang mana
budaya timur lebih tenang dan tabah serta lebih sedikit bisa menerima sakit dan
kelemahan sedangkan budaya barat lebih liberal, bebas dan pluralistik. Bates,
Edwards, & Anderson (1993) mengatakan bahwa negara dan suku dapat
mempengaruhi sikap, kepercayaan, dan emosional dan psikologi negara (Harahap,
2007).
Beberapa penelitian telah menunjukkan suku dan budaya mempengaruhi
perilaku nyeri. Brena Sanders, and Motoyama (1990) menyelenggarakan sebuah
studi untuk membandingkan psikologi, social dan perilaku umum jumlah pasien
nyeri tulang punggung di Jepang dan Amerika. Mereka menemukan bahwa pasien
berkebangsaan Jepang lebih sedikit lemah secara psikologi, sosial kejujuran dan
ketidak jujuran dalam fungsi mereka dibanding dengan pasien berkebangsaan
Amerika (Harahap, 2007).
2.3.2.4 Percaya diri
Percaya diri menunjukkan pada kepercayaan bahwa percaya diri dapat
mengalihkan situasi secara spesifik (Bandura, 1997 diambil dari Harahap, 2007).
Pasien dengan percaya diri yang tinggi dapat menunjukkan pergaulan yang positip
dengan latihan dan negatipnya dengan menggunakan pengobatan. Menurut Kores,
Murphy, dan Rosenthal dkk, 1990 diambil dari Harahap, 2007). Percaya diri
berhubungan dengan kemampuan untuk melakukan aktivitas dasar seperti, duduk,
berdiri, dan berjalan. Oleh karena itu, percaya diri telah menunjukkan untuk bisa
memprediksikan ketidakmampuan pasien pada nyeri kronik dan pasien percaya
tentang nyeri mereka dapat mempengaruhi fungsi psikologis dan telah banyak
penelitian yang sudah menemukan hubungan yang penting antara percaya diri
dengan perilaku nyeri ( Harahap, 2007).
2.3.2.5 Pasangan/anggota keluarga
Pasangan merupakan sumber yang sangat penting bagi keutuhan
kehidupan social pasien dan boleh juga diisyaratkan sebagai syarat yang berbeda
dan pilihan yang tepat untuk mengekspresikan sebuah perilaku nyeri (Fordyce,
1976). Menurut Flor, Turk, & Rudy (1992) Pasangan dan anggota keluarga yang
lain sering termasuk dalam pengobatan dan megajarkan kepada pasien untuk
berespon positif pada setiap aktivitas yang dilakukan pasien dan indikasi yang
lainya bagi perilaku yang baik. Pasangan mempunyai peran yang kuat bagi
peningkatan nyeri pasien (Harahap, 2007).
2.3. Instrumen Perilaku Nyeri
Pasien yang berada dalam tingkat nyeri tertentu akan menunjukkan
perilaku seperti istirahat di tempat tidur, mencari pengobatan, menjaga area tubuh
yang sakit, atau mengekspresikan raut wajah. Perilaku ini merupakan cara pasien
berkomunikasi bahwa mereka sedang merasakan nyeri (Harahap, 2007).
Pertama kali penelitian tentang perilaku nyeri yang menunjukkan bahwa
perilaku nyeri dapat diukur dengan metode pengawasan diri. Menurut Fordyce
(1976) dalam Harahap (2007), mengembangkan metode pengawasan diri melalui
catatan harian untuk mengukur perilaku nyeri. Di dalam catatan harian nyeri
tersebut, pasien diminta untuk mengidentifikasi berapa lama mereka sibuk
menghabiskan waktu dalam tiga kategori perilaku seperti : duduk, berdiri atau
berjalan. Pasien juga diminta untuk melaporkan setiap kali mereka melakukan
pengobatan dan jumlah dosis obat yang diberikan. Metode pengawasan diri sangat
mudah dan sederhana, dan lebih dari itu, dapat meningkatkan kesadaran pasien
tentang perilaku nyeri mereka sendiri (Keefe at al, 2000 diambil dari Harahap,
2007). Bagaimanapun, keabsahan metode pengawasan diri pada peilaku nyeri
kelihatanya akan berat sebelah atau tidak akurat karena pada umumnya pasien
tidak mungkin selalu akurat dalam melaporkan perilaku mereka sendiri ( Turk &
Flor, 1978 diambil dari Harahap, 2007).
Moores dan Watson (2004 dalam Harahap, 2007) menggunakan metode
yang lain untuk mengukur perilaku nyeri berstandar pada pertanyaan atau
wawancara. Pasien diminta untuk menjawab serial pertanyaan yang berhubungan
dengan perilaku nyeri. Metode ini juga telah dikritik karena pasien akan
cenderung untuk memilih jawaban yang terbaik atau yang paling benar.
Keterbatasan yang paling utama pada metode pertanyaan dan wawancara adalah
bahwa tidak mengamati perilaku itu sendiri secara langsung.
Saat ini metode untuk mengukur perilaku nyeri adalah metode pengamatan
secara langsung atau tidak langsung. Metode ini dikembangkan berdasarkan pada
dasar pemikiran bahwa perilaku nyeri itu adalah tampak dan jelas. Dalam
pengamatan langsung perilaku nyeri biasanya berdasarkan pada keahlian dan
berdasarkan pada sebuah pertimbangan pada hasil pengamatan. Sedangkan pada
pengamatan yang tidak langsung, perilaku nyeri biasanya dinilai dengan
mengandalkan video tape. Kedua metode ini mempunyai kelebihan dan
kekurangan. Bagaimanapun pada prakteknya pengamatan secara tidak langsung
kelihatanya tidak praktis, mahal dan rumit, lebih dari ituu kapan pasien
mengetahui kalau dia sedang diamati, mereka mungkin akan memanipulasi
peilaku mereka, terutama sekali dalam kebudayaan Indonesia. Menurut Simmond
(1999 diambil dari Harahap, 2007), alat ukur yang digunakan untuk mengukur
perilaku nyeri haruslah mudah digunakan, dapat dipercaya, dapat diterima oleh
pasien, hemat biaya, dan memberikan hasil yang cepat. Metode pengamatan
langsung kelihatanya lebih bisa diandalkan, sederhana dan lebih mudah digunakan
(Harahap, 2007).
2.4 Rheumatoid Artritis
2.4.1 Defenisi Rheumatoid Artritis
Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti
sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang
sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana
persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga
terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan
bagian dalam sendi (Gordon, 2002). Engram (1998) mengatakan bahwa,
rheumatoid arthritis adalah penyakit jaringan penyambung sistemik dan kronis
dikarakteristikkan oleh inflamasi dari membran sinovial dari sendi diartroidial.
Rheumatoid artritis (RA) adalah suatu penyakit kronik, biasanya ditandai
dengan inflamasi di lapisan sendi atau disebut juga sinovium.Ia bisa menyebabkan
kerusakan sendi jangka panjang, nyeri kronik, kehilangan fungsi dan kecacatan
(American Rheumatism Association). Sedangkan menurut WHO (World Health
Organization), rheumatoid artritis adalah suatu penyakit sistemik kronik yang
melibatkan persendian, jaringan penghubung, otot, tendon, dan jaringan fibrosa. Ia
biasanya menyerang pada kelompok dewasa produktif, umur antara 20 hingga 40
dan merupakan kondisi kecacatan kronik yang biasanya menyebabkan rasa nyeri
dan deformitas.
Daud (2004) menyatakan bahwa Reumatoid Arthritis (RA) merupakan
penyakit autoimun menyebabkan inflamasi kronik yang ditandai dengan
terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang mengenai jaringan persendian ataupun
organ tubuh lainnya. Sebagian besar penderita menunjukkan gejala penyakit
kronik yang hilang timbul, jika tidak diobati akan menyebabkan terjadinya
kerusakan persendian dan deformitas sendi progresif. Penyakit autoimun terjadi
jika sistem imun menyerang jaringan tubuh sendiri. Brunner & Suddarth (2001)
menyatakan RA penyakit yang disebabkan oleh reaksi autoimun yang terjadi di
jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi
sehingga kolagen terpecah dan terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan
akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan
menimbulkan erosi tulang.
Pada pasien RA yang kronik dapat terjadi tanpa ada gejala klinis tapi sendi
terus mengalami kerusakan hingga sendi tidak berfungsi lagi (Shiel, 1999).
Rematoid Artritis (RA) adalah suatu penyakit sistemik yang bersifat progresif,
mengenai jaringan lunak dan cenderung untuk menjadi kronis yang menyebabkan
terlibatnya sendi pada penderita-penderita penyakit RA ini pada tahap berikutnya
setelah penyakit ini berkembang lebih lanjut sesuai dengan sifat progresivitasnya
(Adnan, 2008).
Waluyo (1993 dalam et Al nasution, 2007) penyakit RA perasaan nyeri
dan kaku dibagian sendi. Pada umumnya RA mempunyai kelainan sendi yakni:
RA yang menyerang sendi dan otot, menyerang sendi, otot dan alat-alat dalam
tubuh lainnya, bersifat sistemik yang menghasilkan nyeri sendi (artralgia) dan
nyeri otot (mialgia), hanya jaringan ikat yang menyebar (difus) yang menyerang
sistem sendi, otot, kulit dan alat-alat dalam.
2.4.2 Etiologi Rheumatoid Artritis
Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti,
namun faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi),
faktor metabolik, dan infeksi virus (Suratun, Heryati, Manurung & Raenah, 2008).
Rheumatoid Artritis adalah penyakit otoimun yang terjadi pada individu yang
rentan setelah respon imun terhadap agen pemicu yang tidak diketahui. Agen
pemicunya adalah bakteri, mikroplasma atau virus yang menginfeksi sendi atau
mirip sendi secara antigenik (Corwin, 2009)
2.4.3 Patofisiologi
Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan sebelumnya)
terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-
enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi
edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus
akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya
adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot
akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif
dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot (Brunner dan
Suddarth, 2002).
Lamanya rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan
adanya masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang
sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada
sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan
sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang difus (Long, 1996).
2.4.4 Klasifikasi Rheumatoid Artritis
Reumatoid Arthritis dapat dikelompokkan berdasarkan diagnostik sebagai
berikut: kaku pagi hari, nyeri pada pergerakan atau nyeri tekan paling sedikit pada
satu sendi, pembengkakan karena penebalan jaringan lunak atau cairan (bukan
pembesaran tulang), pembengkakan paling sedikit satu sendi dan masa bebas
gejala dari kedua sendi yang terkena tidak lebih dari tiga bulan, pembengkakan
sendi yang simetris dan terkenanya sendi yang sama pada kedua sisi yang
timbulnya bersamaan.
Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe,
yaitu:
2.4.4.1 Rheumatoid arthritis klasik
Pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu. Jika ditemukan
salah satu tanda dari daftar yang tidak termasuk RA, maka penderita tidak dapat
digolongkan dalam kelompok ini.
2.4.4.2 Rheumatoid arthritis defisit
Tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
2.4.4.3 Probable rheumatoid arthritis
Tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
2.4.4.4 Possible rheumatoid arthritis
Tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus
berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan. Termasuk
possible Reumatoid Arthritis jika memiliki ciri sebagai berikut kaku pagi hari,
nyeri tekan atau nyeri gerak dengan riwayat rekurensi atau menetap selama 3
minggu, riwayat atau didapati adanya pembengkakan sendi, nodul subkutan
(diamati oleh pemeriksa) peningkatan Laju Endap Darah atau C-Reaktif Protein,
Iritis (Nasution & Isbagio, 2007).
2.4.5 Manifestasi Klinis Rheumatoid Artritis
Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada
tingkat peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif.
Ketika jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi
secara spontan atau dengan pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa
bulan atau tahun. Selama remisi, gejala penyakit hilang dan orang-orang pada
umumnya merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi (kambuh) ataupun gejala
kembali (Reeves, Roux & Lockhart, 2001).
Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan
energi, kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan
kekakuan. Otot dan kekauan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Disamping
itu juga manifestasi klinis rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan biasanya
mencerminkan stadium serta beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan,
panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik
untuk rheumatoid arthritis (Smeltzer & Bare, 2002). Gejala sistemik dari
rheumatoid arthritis adalah mudah capek, lemah, lesu, takikardi, berat badan
menurun, anemia (Long, 1996). Pola karakteristik dari persendian yang terkena
adalah : mulai pada persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara
progresif mengenai persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki,
tulang belakang serviks, dan temporomandibular. Awitan biasanya akut, bilateral
dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari
berlangsung selama lebih dari 30 menit. Deformitas tangan dan kaki adalah hal
yang umum. Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu : (1)
Stadium sinovitis. Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial
yang ditandai hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun
istirahat, bengkak dan kekakuan. (2) Stadium destruksi. Pada stadium ini selain
terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang
ditandai adanya kontraksi tendon. (3) Stadium deformitas. Pada stadium ini terjadi
perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan gangguan fungsi
secara menetap.
Keterbatasan fungsi sendi dapat terjadi sekalipun stadium pada penyakit
yang dini sebelum terjadi perubahan tulang dan ketika terdapat reaksi inflamasi
yang akut pada sendi-sendi tersebut. Persendian yang teraba panas, membengkak,
tidak mudah digerakkan dan pasien cendrung menjaga atau melinddungi sendi
tersebut dengan imobilisasi. Imobilisasi dalam waktu yang lama dapat
menimbulkan kontraktur sehingga terjadi deformitas jaringan lunak. Deformitas
dapat disebabkan oleh ketidaksejajajran sendi yang terjadi ketika sebuah tulang
tergeser terhadap lainnya dan menghilangkan rongga sendi (Smeltzer & Bare,
2002). Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi
pada lanjut usia menurut Buffer (2010), yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari,
bermula sakit dan kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan
kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba
akan terasa hangat, terjadi kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak
tertahan dapat menyebabkan demam, dapat terjadi berulang.
2.4.6 Kriteria Diagnosa Rheumatoid Artritis
Menurut American Rheumatism Association, 1987 diagnosa arthritis
reumatoid dapat dikatakan positif apabila sekurang-kurangnya empat dari kriteria
yang sekurang-kurangnya sudah berlangsung selama 6 minggu. Kriteria tersebut
adalah: (1) Kekakuan dipagi hari lamanya paling tidak 1 jam, (2) Arthritis pada
tiga atau lebih sendi, (3) Arthritis sendi-sendi jari tangan, (4) Arthritis yang
simetris, (5) Nodul rheumatoid, (6) Faktor rheumatoid dalam serum, (7)
Perubahan-perubahan radiologik, seperti: pembengkakan jaringan lunak, erosi dan
steoporosis artikular.
2.4.7 Pemeriksaan Laboratorium
Berikut adalah pemeriksaan laboratorium yang bisa dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosa RA, yaitu (1) Pemeriksaan cairan synovial,
seperti warna kuning sampai putih dengan derajat kekeruhan yang
menggambarkan peningkatan jumlah sel darah putih, leukosit 5.000 –
50.000/mm3 dengan menggambarkan adanya proses inflamasi yang didominasi
oleh sel neutrophil (65%), rheumatoid faktor positif dengan kadarnya lebih tinggi
dari serum dan berbanding terbalik dengan cairan sinovium. (2) Pemeriksaan
kadar sero-imunologi, seperti; tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari
75% pasien artritis rheumatoid terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai
pada pasien lepra, tuberkulosis paru, sirosis hepatis, hepatitis infeksiosa, lues,
endokarditis bakterialis, penyakit kolagen, dan sarkoidosis dan anti CCP antibody
positif telah dapat ditemukan pada arthritis rheumatoid dini. (3) Pemeriksaan
darah tepi, seperti leukosit : normal atau meningkat sedikit, anemia normositik
atau mikrositik (tipe penyakit kronis),Trombosit meningkat, kadar albumin serum
turun dan globulin naik, protein C-reaktif biasanya positif dan LED meningkat.
Pemeriksaan sinar-X dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis dan
memantau perjalanan penyakitnya. Foto rongen akan memperlihatkan erosi tulang
yang khas dan penyempitan rongga sendi yang terjadi dalam perjalanan penyakit
tersebut (Smeltzer & Bare, 2002).
2.4.8 Komplikasi Rheumatoid Artritis
Nodulus rheumatoid artritis ekstrasinovial dapat terbentuk pada katup
jantung atau pada paru, mata atau limpa. Fungsi pernapasan dan jantung dapat
terganggu. Glaukoma dapat terjadi apabila nodulus yang menyumbat aliran cairan
okular terpentuk pada mata. Vaskulitis (inflamasi sistem vaskuler) dapat
menyebabkan trombosis dan infark. Penurunan kemampuan untuk melakukan
aktivitas hidup sehari-hari, depresi dan stress dapat menyertai eksaserbasi
penyakit (Corwin, 2009).
Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan
ulkus peptikum yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti
inflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit (disease
modifying antirheumatoid drugs, DMARD) yang menjadi faktor penyebab
morbiditas utama pada rheumatoid artritis. Komplikasi saraf yang terjadi tidak
memberikan gambaran jelas, sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikuler
dan lesi neuropatik. Umumnya berhubugan dengan mielopati akibat
ketidakstabilan vertebrata servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis
(Harnawatiaji, 2012).
2.4.9 Penatalaksanaan Rheumatoid Artritis
Terapi di mulai dengan pendidikan pasien mengenai penyakitnya dan
penatalaksanaan yang akan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik antara
pasien dan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan yang merawatnya.
Tanpa hubungan yang baik akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan pasien
untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang lama (Mansjoer, dkk. 2001).
Penanganan medik pemberian salsilat atau NSAID (Non Steriodal Anti-
Inflammatory Drug) dalam dosis terapeutik. Kalau diberikan dalam dosis
terapeutik yang penuh, obat-obat ini akan memberikan efek anti inflamasi maupun
analgesik. Namun pasien perlu diberitahukan untuk menggunakan obat menurut
resep dokter agar kadar obat yang konsisten dalam darah bisa dipertahankan
sehingga keefektifan obat anti-inflamasi tersebut dapat mencapai tingkat yang
optimal (Smeltzer & Bare, 2002).
Kecenderungan yang terdapat dalam penatalaksanaan rheumatoid arthritis
menuju pendekatan farmakologi yang lebih agresif pada stadium penyakit yang
lebih dini. Kesempatan bagi pengendalian gejala dan perbaikan penatalaksanaan
penyakit terdapat dalam dua tahun pertama awitan penyakit tersebut (Smeltzer &
Bare, 2002). Menjaga supaya rematik tidak terlalu mengganggu aktivitas sehari-
hari, sebaiknya digunakan air hangat bila mandi pada pagi hari. Dengan air hangat
pergerakan sendi menjadi lebih mudah bergerak. Selain mengobati, kita juga bisa
mencegah datangnya penyakit ini, seperti: tidak melakukan olahraga secara
berlebihan, menjaga berat badan tetap stabil, menjaga asupan makanan selalu
seimbang sesuai dengan kebutuhan tubuh, terutama banyak memakan ikan laut.
Mengkonsumsi suplemen bisa menjadi pilihan, terutama yang mengandung
Omega 3. Didalam omega 3 terdapat zat yang sangat efektif untuk memelihara
persendian agar tetap lentur.
Jika berbagai cara pengobatan telah dilakukan dan tidak berhasil serta
terdapat alasan yang cukup kuat, dapat dilakukan pengobatan pembedahan. Jenis
pengobatan ini pada pasien RA umumnya bersifat ortopedik, misalnya
sinovektoni, artrodesis, total hip replacement, memperbaiki deviasi ulnar, dan
sebagainya. Rehabilitasi merupakan tindakan untuk mengembalikan tingkat
kemampuan pasien RA dengan cara: mengurangi rasa nyeri, mencegah terjadinya
kekakuan dan keterbatasan gerak sendi, mencegah terjadinya atrofi dan
kelemahan otot, mencegah terjadinya deformitas, meningkatkan rasa nyaman dan
kepercayaan diri, mempertahankan kemandirian sehingga tidak bergantung
kepada orang lain. Rehabilitasi dilaksanakan dengan berbagai cara antara lain
dengan mengistirahatkan sendi yang terlibat, latihan serta dengan menggunakan
modalitas terapi fisis seperti pemanasan, pendinginan, peningkatan ambang rasa
nyeri dengan arus listrik. Manfaat terapi fisis dalam pengobatan RA telah ternyata
terbukti dan saat ini merupakan salah satu bagian yang tidak terpisahkan dalam
penatalaksanaan RA (Daud R, 2002).
2.5 Nyeri Reumatoid Arthritis
2.5.1 Ciri Khas Nyeri Reumatoid Artritis
Nyeri pada penyakit reumatik terutama disebabkan oleh adanya inflamasi
yang mengakibatkan dilepaskannya mediator-mediator kimiawi. Kinin dan
mediator kimiawi lainnya dapat merangsang timbulnya rasa nyeri. Prostaglandin
berperan dalam meningkatkan dan memperpanjang rasa nyeri yang disebabkan
oleh suatu rangsangan/stimulus (Isbagio,1995). Menurut Junaidi (2006) gejala
klinis RA pada saat yang bersamaan bisa banyak sendi yang mengalami
peradangan. Biasanya peradangan bersifat simetris. Jika suatu sendi pada sisi kiri
tubuh terkena, sendi yang sama di kanan tubuh juga meradang. Yang pertama kali
meradang adalah sendi-sendi kecil di jari tangan, jari kaki, tangan, kaki,
pergelangan tangan, siku, dan pergelangan kaki. Sendi yang meradang biasanya
menimbulkan nyeri dan menjadi kaku secara simetris, terutama pada saat bangun
tidur atau setelah lama tidak melakukan aktivitas fisik.
Sendi yang terserang akan membengkak, membesar dan segera terjadi
kelainan bentuk. Jari-jari pada kedua tangan cenderung membengkok ke arah
kelingking sehingga tendon pada jari-jari tangan bergeser dari tempatnya.
Pembengkakan pergelangan tangan dapat mengakibatkan terjadinya sindrom
terowongan karpal. Sifat sistemik pada kategori penyakit reu matik yang dikenal
sebagai penyakit jaringan ikat dicerminkan dalam bentuk proses inflamasi yang
tersebar luas. Meskipun berfokus pada persendian inflamasi juga melibatkan
bagian- bagian tubuh lainnya seperti vaskulitis, jantung, paru, ginjal (Brunnert &
Suddarth, 2001). Sekitar 10% AR muncul secara akut sebagai poliartritis, yang
berkembang cepat dalam beberapa hari. Pada sepertiga pasien, gejala mula-mula
monoartritis lalu poliartritis. Terjadi kekakuan paling parah pada pagi hari, yang
berlangsung sekitar 1 jam dan mengenai sendi secara bilateral. Episode-episode
perandangan diselingi oleh remisi. Rentang gerak berkurang, tebentuk benjolan
rematoid ekstra sinovium (Junaidi, 2006).
Nyeri RA kronis sakit adalah melibatkan keduanya antara peripheral dan
sekeliling, prosesnya meliputi: adanya faktor intrinsik ke neuron (unsur P,
serotonin), pelepasan mediator inflamasi ke jaringan sehingga rusak oleh
prostaglandins, TNF, yang mengaktifkan sel yang peka rangsangan ion-channel-
linked pada afferent berhubungan dengan neurons, glutamate menyebabkan
kerusakan dorsal, neurotransmitter nyeri yang utama, N-Methyl-D-Aspartate
(NMDAa)-RECEPTOR yang menghasilkan rangsangan inflamasi (Kelly, 2005).
2.5.2 Mekanisme Terjadinya Nyeri Reumatoid Arthritis
Pada RA nyeri dan inflamasi disebabkan oleh terjadinya proses
imunologik pada sinovial (Harry,2008). Tahap pertama adanya stimulus antigen
kemudian terbentuk antibodi imunoglobin membentuk komplek imun dengan
antigen sehingga menghasilkan reaksi inflamasi. Inflamasi akan terlihat di
persendian sebagai sinovitis. Inflamasi merupakan proses primer dan degenerasi
merupakan proses sekunder.Prostaglandin bertindak sebagai modifier inflamasi
prostaglandin memecah kolagen sehingga dapat merangsang timbulnya nyeri
melalui proses edema, proliferasi membaran sinovial, pembentukan pannus,
penghancuran kartilago dan erosi tulang (Brunner & Suddarth, 2001).
Harry (2008) menyatakan bahwa nyeri pada penyakit RA dapat terjadi
akibat: (1) Rangsangan pada nociceptors di dalam komponen perangkat
biomekanik, misalnya perangsangan nociceptors pada otot, sendi, tendon dan
ligamen. Nyeri jenis ini berhubungan dengan konsep nyeri sistem sensorik,
sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap situasi yang membahayakan atau
terjadinya kerusakan. Oleh karena adanya nyeri ini, maka bagian yang terserang