Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Osteoporosis
2.1.1. Pengertian Osteoporosis
Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya tulang, dan
porous berarti berlubang atau keropos. Jadi, osteoporosis adalah tulang yang
keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas berupa massa tulangnya
rendah atau berkurang, disertai gangguan mikro arsitektur tulang dan penurunan
kualitas jaringan tulang, yang dapat menimbulkan kerapuhan tulang (Tandra,
2009). Osteoporosis adalah penyakit dengan sifat khas berupa massa tulang yang
rendah, disertai perubahan mikro arsitektur tulang, dan penurunan kualitas
jaringan tulang, yang pada akhirnya berakibat meningkatnya kerapuhan tulang
dengan resiko terjadinya patah tulang (Suryati, 2006).
2.1.2. Etiologi
Menurut Junaedi (2007), beberapa penyebab osteoporosis yaitu:
1. Osteoporosis pasca menopause, terjadi karena kurangnya hormon estrogen
(hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke
dalam tulang. Biasanya gejala timbul pada perempuan yang berusia antara 51-75
tahun, tetapi dapat muncul lebih cepat atau lebih lambat. Hormon estrogen
produksinya mulai menurun 2-3 tahun sebelum menopause dan terus berlangsung
3-4 tahun setelah menopause. Hal ini berakibat menurunnya massa tulang
sebanyak 1-3% dalam waktu 5-7 tahun pertama setelah menopause.
6
2. Osteoporosis senilis, kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan kalsium
yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan antara kecepatan
hancurnya tulang (osteoklas) dan pembentukan tulang baru (osteoblas). Senilis
berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut. Penyakit ini biasanya
terjadi pada orang-orang berusia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering
menyerang wanita. Wanita sering kali menderita osteoporosis senilis dan pasca
menopause.
3. Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis sekunder
yang disebabkan oleh keadaan medis lain atau obat-obatan. Penyakit ini bisa
disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid,
paratiroid, dan adrenal) serta obat-obatan (misalnya kortikosteroid, barbiturat,
antikejang, dan hormon tiroid yang berlebihan).
4. Osteoporosis juvenil idiopatik, merupakan jenis osteoporosis yang
penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan dewasa muda
yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal, kadar vitamin yang normal,
dan tidak memiliki penyebab yang jelas dari rapuhnya tulang.
2.1.3. Patogenesis
Menurut Manolagas (2000) terjadinya osteoporosis secara seluler
disebabkan karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas melebihi dari jumlah dan
aktivitas sel osteoblas (sel pembentuk tulang). Keadaan ini mengakibatkan
penurunan massa tulang. Ada beberapa teori yang menyebabkan deferensiasi sel
osteoklas meningkat dan meningkatkan aktivitasnya, yaitu:
7
1. Defisiensi estrogen
Keadaan normal estrogen dalam sirkulasi mencapai sel osteoblas dan
beraktivitas melalui reseptor yang terdapat di dalam sitosol sel tersebut
mengakibatkan menurunnya sekresi sitokin seperti Interleukin-1 (IL-1),
Interleukin-6 (IL-6) dan Tumor Necrosis Factor-Alpha (TNF-a) yang merupakan
sitokin yang berfungsi dalam penyerapan tulang. Estrogen meningkatkan sekresi
Transforming Growth Factor-beta (TGF-b), yang merupakan satu-satunya faktor
pertumbuhan (growth factor) yang merupakan mediator untuk menarik sel
osteoblas ke tempat lubang tulang yang telah diserap oleh sel osteoklas. Sel
osteoblas merupakan sel target utama dari estrogen, untuk melepaskan beberapa
faktor pertumbuhan dan sitokin (Waters, et al. 1999).
Menurut Monroe, et al (2003) defisiensi hormon estrogen akan mempengaruhi
aktivitas esteoblas pada tulang. Estrogen merupakan hormon seks steroid
memegang peran yang sangat penting dalam metabolisme tulang, mempengaruhi
aktivitas sel osteoblas maupun osteoklas, termasuk menjaga keseimbangan kerja
dari kedua sel tersebut melalui pengaturan produksi faktor parakrin-parakrin
utamanya oleh sel osteoblas. Seperti dikemukakan di atas bahwa sel osteoblas
di dalam sitosol.
Sel osteoblas dalam diferensiasinya
kali lipat dari reseptor estrogen alpha (ER . Di dalam percobaan hewan defisiensi
estrogen menyebabkan terjadinya osteoklastogenesis dan terjadi kehilangan
tulang. Akan tetapi dengan pemberian estrogen terjadi pembentukan tulang
kembali, dan didapatkan penurunan produksi dari IL-1, IL-6, dan TNF-a, begitu
8
juga selanjutnya akan terjadi penurunan produksi M-CSF dan RANK-Ligand
(RANK-L). Di sisi lain, estrogen akan merangsang ekspresi dari osteoprotegerin
(OPG) dan TGF- (Transforming Growth Factor-beta) pada sel osteoblas dan sel
stroma yang lebih lanjut akan menghambat penyerapan tulang dan meningkatkan
apoptosis dari sel osteoklas (Bell, 2003).
2. Faktor sitokin
Stadium awal dari proses hematopoisis dan osteoklastogenesis, melalui suatu
jalur yang memerlukan suatu mediator berupa sitokin dan faktor koloni-
stimulator. Grup sitokin yang menstimulasi osteoklastogenesis antara lain adalah:
IL-1, IL-3, IL-6, Leukemia Inhibitory Factor (LIF), Oncostatin M (OSM), Ciliary
Neurotropic Factor (CNTF), Tumor Necrosis Factor (TNF), Granulocyte
Macrophage-Colony Stimulating Factor (GM-CSF), dan Macrophage-Colony
Stimulating Factor (M-CSF), sedangkan IL-4, IL-10, IL-18, dan interferon-g,
merupakan sitokin yang menghambat osteoklastogenesis. Interleukin-6
merupakan salah satu yang perlu mendapatkan perhatian, oleh karena
meningkatnya IL-6 terbukti memegang peranan akan terjadinya beberapa
penyakit, antaranya berpengaruh pada remodeling tulang dan terjadinya
penyerapan tulang berlebihan baik lokal maupun sistemik (Pfeilschifter, 2002).
3. Pembebanan
Pembebanan mekanik pada tulang (skletal load) menimbulkan stres mekanik
dan strain atau resultant tissue deformation yang menimbulkan efek pada jaringan
tulang yaitu membentukan tulang pada permukaan periosteal sehingga
memperkuat tulang dan menurunkan bone turnover yang mengurangi penyerapan
9
tulang. Pembebanan mekanik dapat memperbaiki ukuran, bentuk, dan kekuatan
jaringan tulang dengan memperbaiki densitas jaringan tulang dan arsitektur
tulang. Tulang melakukan adaptasi mekanik yaitu proses seluler yang
memerlukan sistem biologis yang dapat mengindera pembebanan mekanik.
Informasi pembebanan ini harus dikomunikasikan ke sel efektor yang akan
membuat tulang baru dan merusak tulang yang tua (Liswati, 2007).
2.1.4. Diagnosa
Diagnosa osteoporosis ditegakkan bedasarkan gejala, pemeriksaan fisik, dan
rontgen tulang. Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan untuk
menyingkirkan keadaan lain yang dapat menyebabkan osteoporosis. Pemeriksaan
yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan radiologi radioisotop, MRI (Magnetic
Resonance Imaging), serta pemeriksaan dengan densitometer (untuk mengetahui
kepadatan tulang). Mendiagnosa osteoporosis sebelum terjadinya patah tulang
dilakukan pemeriksaan untuk menilai kepadatan tulang. Pemeriksaan yang paling
akurat adalah DEXA (dual-energy x-ray absorptiometry). Pemeriksaan ini aman
dan tidak menimbulkan nyeri, serta dapat dilakukan dalam waktu 5 - 15 menit
(Syam, 2014).
Menurut Kusumawidjaya (2006) pemeriksaan yang paling penting adalah
pengukuran masa tulang. Saat ini baku standar pengukuran masa tulang adalah
dengan Dual Energy X-ray Absorptiometry (DEXA). Alat ini menggunakan
radiasi sinar-X yang sangat rendah. Pengukuran dapat dilakukan pada seluruh
tulang, namun biasanya dilakukan pada tulang belakang, leher femur dan radius
distal.
10
2.1.5. Pencegahan dan Pengobatan
Pencegahan dan pengobatan osteoporosis dapat dilakukan dengan:
1. Estrogen
Liswati (2007) menyatakan bahwa pengobatan wanita postmenopause dengan
estrogen akan menghentikan kehilangan tulang (perlindungan terhadap terjadinya
osteoporosis) pada wanita usia 50, 60 atau 70 tahun. Terapi estrogen dihentikan
bila tidak ada peningkatan massa tulang. Pengobatan dengan estrogen
memberikan gambaran efek terapi pada kasus osteoporosis. Estrogen dianggap
dapat menghambat resorpsi tulang, terapi pemberian estrogen sebagai pencegahan
terhadap osteoporosis berdasarkan observasi sebagai berikut :
1. Kejadian osteoporosis meningkat post menopause.
2. Wanita yang mengalami ovariektomi bilateral memperlihatkan gejala
osteoporosis lebih dini.
3. Penderita yang mengalami osteoporosis umumnya berkurang dengan
pemberian estrogen.
Menurut Suherman (2006) pemberian estrogen merupakan dasar pencegahan
dan pengobatan kehilangan tulang post menopause. Korelasi yang bermakna
terdapat di antara kadar estradiol dengan persentasi kenaikan densitas tulang
belakang 1 tahun setelah pemberian implan 75 mg estradiol dan 100 mg
testosteron. Pemberian estrogen oral, transdermal atau implan semuanya dapat
meningkatkan densitas tulang secara bermakna dan secara epidemiologik
dibuktikan bahwa terapi ini menurunkan angka kejadian patah tulang oleh karena
osteoporosis pada panggul dan tulang punggung. Belum ada kesepakatan,
11
bagaimana estrogen dapat mencegah kehilangan tulang dan masih merupakan
teori. Estrogen mencegah osteoporosis dengan cara sebagai berikut :
1. Estrogen menempati reseptor osteoklas yang akan mempengaruhi fungsi
osteoklas dalam menurunkan kehilangan tulang.
2. Estrogen menurunkan kecepatan perubahan tulang normal yang menyebabkan
efek positif terhadap keseimbangan kalsium.
3. Estrogen akan memperbaiki absorpsi kalsium.
4. bone
resorbing -bahan yang merangsang pembentukan
tulang seperti Insulin like growth factor I dan II, serta Growth factor beta.
5. Estrogen merangsang sintesa kalsitonin yang dapat menghambat resorpsi
tulang.
Golongan preparat yang mempunyai efek seperti estrogen yaitu golongan
Raloksifen yang disebut juga Selective Estrogen Receptor Modulators (SERM).
Golongan ini bekerja pada reseptor estrogen- an
perdarahan. Mekanisme kerja raloksifen pada tulang diduga melibatkan TGF-
yang dihasilkan oleh osteoblas yang berfungsi menghambat diferensiasi sel
osteoklas (Setiyohadi, 2006).
2. Kalsium
Menurut Tandra (2009), mineral yang paling banyak terdapat dalam tubuh
yaitu kalsium. Kebutuhan kalsium ini akan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Karena pada usia lebih dari 30 tahun, massa tulang akan mulai
berkurang. Asupan kalsium yang normal berkisar 1000 1500 mg / hari, dan akan
12
diekskresikan juga tidak jauh berbeda dengan asupan tersebut, melalui feces (800
mg) dan urine (200 mg). Kalsium akan mempunyai peran penting dalam
remodelling tulang, yaitu sebanyak 300 500 mg yang berasal dari kalsium ekstra
seluler sebanyak 900 mg. Artinya dalam proses remodelling tulang, kalsium
diperlukan kadar antara 300 - 500 mg. Jumlah inilah yang akan ditambahkan
dalam asupan kalsium dari luar, jadi berkisar 1000 1500 mg, sehingga kalsium
serum berada dalam keadaan homeostatis.
3. Bisfosfonat
Bisfosfonat merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan osteoporosis.
Bisfosfonat merupakan analog pirofosfat yang terdiri dari dua asam fosfonat yang
diikat satu sama lain oleh atom karbon. Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi
tulang oleh sel osteoklas dengan cara berikatan dengan permukaan tulang dan
menghambat kerja osteoklas dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim
lisosomal di bawah osteoklas (Setiyohadi, 2006).
4. Vitamin D
Vitamin D mempunyai peranan penting dalam pemeliharaan dan pertumbuhan
tulang. Asupan vitamin D kurang karena kurang terpaparnya sinar matahari. Sinar
matahari yang masuk kekulit akan mengaktifkan vitamin D untuk bekerja sama
dengan kalsium dalam memelihara tulang, sehingga dapat memperlambat
terjadinya osteoporosis. Akan tetapi semakin bertambahnya usia, kemampuan
vitamin D untuk aktif dalam penyerapan dalam kulit semakin berkurang. Jika
asupan vitamin tidak akan kehilangan massa tulang dan dapat meningkatkan
13
resiko fraktur. Oleh sebab itu, diperlukan asupan vitamin D dari makanan, seperti
susu dan olahannya, ikan salmon, minyak ikan, sarden, telur (Hartiningsih, 2012).
Vitamin D dapat meningkatkan absorpsi kalsium dalam usus. Dalam hal ini
vitamin D yang digunakan adalah dalam bentuk aktif yaitu 1,25
dihidroksikolekalsiferol. 1,25 dihidroksikolekalsiferol berfungsi untuk
meningkatkan absorpsi kalsium oleh usus dengan cara meningkatkan
pembentukan protein pengikat kalsium di sel epitel usus. Protein pengikat kalsium
ini berfungsi di brush border untuk mengangkut kalsium ke dalam sitoplasma sel
dan selanjutnya kalsium bergerak melalui membran basolateral sel dengan cara
difusi terfasilitasi (Setyorini, 2009).
5. Monoklonal antibodi RANK-Ligand
Osteoporosis terjadi akibat dari jumlah dan aktivitas sel osteoklas menyerap
tulang. Dalam hal ini secara biomolekuler RANK-L sangat berperan. RANK-L
akan bereaksi dengan reseptor RANK pada osteoklas dan membentuk RANK-
RANK-L kompleks, yang lebih lanjut akan mengakibatkan meningkatnya
diferensiasi dan aktivitas osteoklas. Untuk mencegah terjadinya reaksi tersebut
digunakanlah monoklonal antibodi (Mabs) dari RANK-L (Stolina, 2007).
2.2. Udang Vannamei
2.2.1. Klasifikasi
Menurut Wyban, et al (2000), klasifikasi udang vannamei (Litopenaeus
vannamei) sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Anthropoda
14
Kelas : Crustacea
Ordo : Decapoda
Famili : Penaidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei
2.2.2. Morfologi
Menurut Daryono (2013), bagian tubuh udang vannamei terdiri dari kepala
yang bergabung dengan dada (cephalothorax) dan perut (abdomen). Kepala udang
vannamei terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan sepasang maxillae. Kepala
udang vannamei juga dilengkapi dengan 5 pasang kaki jalan (periopod) yang
terdiri dari 2 pasang maxillae dan 3 pasang maxiliped. Bagian abdomen terdiri
dari 6 ruas dan terdapat 6 pasang kaki renang (pleopod) serta sepasang uropod
(mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson.
Gambar 2.1. Udang vannamei (Litopenaeus vannamei) (Daryono, 2013)
15
2.2.3. Habitat
Udang vannamei adalah udang asli dari perairan Amerika Latin yang
kondisi iklimnya subtropis. Di habitat alaminya suka hidup pada kedalaman
kurang lebih 70 meter. Udang vannamei bersifat nokturnal, yaitu aktif mencari
makan pada malam hari. Proses perkawinan pada udang vannamei ditandai
dengan loncatan betina secara tiba-tiba. Pada saat meloncat tersebut, betina
mengeluarkan sel-sel telur. Pada saat yang bersamaan, udang jantan mengeluarkan
sperma, sehingga sel telur dan sperma bertemu. Proses perkawinan berlangsung
kira-kira satu menit. Sepasang udang vannamei berukuran 30-45 gram dapat
menghasilkan telur sebanyak 100.000-250.000 butir (Tamadu, 2014).
2.2.4. Siklus Hidup
Siklus hidup udang vannamei sebelum ditebar di tambak yaitu stadia
naupli, stadia zoea, stadia mysis, dan stadia post larva. Pada stadia naupli larva
berukuran 0,32-0,59 mm, sistim pencernaanya belum sempurna dan masih
memiliki cadangan makanan berupa kuning telur. Stadia zoea terjadi setelah larva
ditebar pada bak pemeliharaan sekitar 15-24 jam. Larva sudah berukuran 1,05-
3,30 mm dan pada stadia ini benur mengalami 3 kali moulting. Pada stadia ini
pula benur sudah bisa diberi makan yang berupa artemia (Tamadu, 2014).
16
Gambar 2.2. Siklus hidup udang vannamei (Warsito, 2012)
Stadia mysis, benur udang sudah menyerupai bentuk udang yang
dicirikan dengan sudah terluhatnya ekor kipas (uropoda) dan ekor (telson).
Selanjutnya udang mencapai stadia post larva, dimana udang sudah menyerupai
udang dewasa. Hitungan stadianya sudah menggunakan hitungan hari (Tamadu,
2014).
2.2.5. Komponen dalam Udang Vannamei
Kulit udang vannamei mengandung protein 25- 40%, kalsium karbonat 45
50%, dan khitin 15 20%. Kandungan kalsium karbonat pada cangkang udang
vannamei akan berubah menjadi kalsium setelah melalui proses reaksi sebagai
berikut (Andre, 2015) :
CaCO3 + H2O + CO2 -------------------- Ca2+ + 2 HCO3-
17
Tabel 2.1. Komposisi cangkang udang vannamei (Suptijah, 2012)
Parameter Nilai (%) Kadar air 12,35 Kadar abu 17,13 Kadar protein 47,18 Kadar lemak 1,25 Kadar karbohidrat 22,09 Kadar abu TLA 0,44
2.2.6. Pembuatan Tepung Cangkang Udang Vannamei
Pembuatan tepung cangkang udang vannamei menggunakan bahan baku
dari limbah sisa pengolahan udang yang telah diambil bagian dagingnya sehingga
hanya tersisa cangkangnya, yaitu bagian kepala, kulit, dan ekor. Cangkang udang
dicuci dengan air mengalir sampai bersih dan daging yang masih menempel sudah
terlepas. Selanjutnya dilakukan proses pengeringan menggunakan oven pada suhu
60ºC selama ±24 jam sampai beratnya konstan. Cangkang udang yang sudah
kering dihaluskan menggunakan blender. Cangkang udang yang sudah halus
merupakan tepung cangkang udang. Tepung cangkang udang diayak dengan
ayakan ukuran 100 mesh sehingga didapatkan tepung cangkang udang yang
homogen (Cahyani, 2013).
2.3. Tulang
2.3.1. Sel - Sel Tulang
Sel osteoblas, osteosit, dan osteoklas merupakan komponen biologi yang
berperan penting pada metabolisme tulang yang berlangsung pada unit
metabolisme tulang (Chaesaria, 2015).
18
Gambar 2.3. Histologi normal tulang mandibula pada tikus putih (Slomianka, 2009)
a. Osteoblas
Osteoblas adalah sel pembentuk tulang yang berasal dari sel progenitor dan
ditemukan di permukaan tulang. Sel ini bertanggung jawab pada pembentukan
dan proses mineralisasi tulang. Fungsi osteoblas adalah mensintesis dan
mensekresi matriks organik tulang serta mengatur perubahan elektrolit cairan
ekstrasel pada proses mineralisasi (Manolagas, 1995).
Bentuk sel osteoblas secara histologi berupa kuboid hingga piramidal atau
seringkali berupa lembaran utuh menyerupai epitel, memiliki satu nukleous besar
yang terdapat pada bagian puncak sel dengan kompleks golgi di bagian basal.
Sitoplasma tampak basofil karena banyak mengandung ribonukleoprotein yang
menandakan aktif mensintesis protein. Osteoblas yang menetap pada permukaan
tulang akan menurun kemampuan sintetisnya dan bentuknya menjadi pipih
kemudian akan menjadi bone lining cells. Osteoblas yang berada di tengah
matriks akan menjadi osteosit dan sebagian besar akan menghilang. Osteoblas
memproduksi protein struktural seperti kolagen, osteokalsin, sialoprotein tulang
dan protein regulator berupa growth factor dan sitokin lain. Osteoblas memulai
19
mineralisasi melalui pengaturan aliran elektrolit antara cairan ekstrasel dan
intraselular. Osteoblas saling berhubungan melalui gap junction yang
memungkinkan komunikasi antar sel melalui elektrik dan kimia. Sel osteoblas
berpoliferasi dan berdiferensiasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor transkripsi,
growth factor dan hormonal (Manolagas, 1995).
Osteoblas dilepas dan dibuat melalui prekursor osteoblas dalam bentuk yang
aktif sebagai hasil resorpsi osteoklasik dari matriks tulang menghasilkan protein
matriks tulang. Kolagen tipe 1 merupakan protein mayor dalam matriks tulang,
sekitar 90 % dari matriks organik. Osteoblas juga mensekresi protein non kolagen
termasuk proteoglikan, glikoprotein dan protein karboksilat. Osteoblas
mensintesis kolagen dan glycosaminoglycans (GAGs) dari matriks tulang dan
berperan dalam proses mineralisasi tulang. Osteoblas yang matang akan
mengekspresikan beberapa senyawa kimia yang bisa digunakan sebagai
identifikasi aktivitas osteoblas dalam serum yang biasa diberi istilah biochemichal
bone marker yaitu kolagen tipe I, alkalin fosfatase, osteopontin dan osteocalsin.
(Nugroho, 2015).
b. Osteosit
Osteosit merupakan komponen sel utama dalam jaringan tulang. Osteosit
mempunyai peranan penting dalam pembentukan matriks tulang dengan cara
membantu pemberian nutrisi pada tulang. Osteosit merupakan osteoblas yang
terpendam dalam matriks tulang. Osteosit memiliki dua fungsi utama, yaitu
memelihara dan memantau isi mineral dan protein dari matriks dan berperan pada
perbaikan tulang yang rusak (Nugroho, 2015).
20
c. Osteoklas
Osteoklas berasal dari jalur hemopoetik yang juga membuat makrofag dan
monosit. Sel ini berpindah dari sumsum tulang lewat sirkulasi atau migrasi
langsung. Sel prekusor osteoklas terdapat pada sumsum tulang dan sirkulasi
darah. Sel ini ditemukan pada permukaan tulang yang mengalami resorpsi dan
kemudian membentuk cekungan yang dikenal sebagai lakuna howship. Osteoklas
dalam sitoplasmanya akan terisi oleh mitokondria guna menyediakan energi untuk
proses resorpsi tulang. Osteoklas merusak matriks tulang, melekat pada
permukaan tulang, memisahkan sel dengan matriks, menurunkan pH7 menjadi
pH4. Keasaman ini akan melarutkan mineral dan merusak matriks sel sehingga
protease keluar. Osteoklas memiliki reseptor yaitu RANK (RANK) untuk maturasi
sel dan mengalami apoptosis (Compston, 2001).
2.3.2. Matriks Tulang
Matriks tulang yang merupakan substansi interseluler terdiri dari ± 70%
garam anorganik dan 30% matriks organik. 95% komponen organik dibentuk dari
kolagen, sisanya terdiri dari substansi dasar proteoglikan dan molekul-molekul
non kolagen yang tampaknya terlibat dalam pengaturan mineralisasi tulang.
Kolagen yang dimiliki oleh tulang adalah kurang lebih setengah dari total kolagen
tubuh, strukturnya pun sama dengan kolagen pada jaringan ikat lainnya. Hampir
seluruhnya adalah kolagen tipe I. Ruang pada struktur tiga dimensinya yang
disebut sebagai hole zones, merupakan tempat bagi deposit mineral. Kontribusi
substansi dasar proteoglikan pada tulang memiliki proporsi yang jauh lebih kecil
dibandingkan pada kartilago, terutama terdiri atas chondroitin sulphate dan asam
21
hialuronat. Substansi dasar mengontrol kandungan air dalam tulang, dan
kemungkinan terlibat dalam pengaturan pembentukan fiber kolagen. Materi
organik non kolagen terdiri dari osteokalsin (osla protein) yang terlibat dalam
pengikatan kalsium selama proses mineralisasi, osteonektin yang berfungsi
sebagai jembatan antara kolagen dan komponen mineral, sialoprotein (kaya akan
asam salisilat) dan beberapa protein. Matriks anorganik merupakan bahan mineral
yang sebagian besar terdiri dari kalsium dan fosfat dalam bentuk kristal-kristal
hydroxyapatite. Kristal kristal tersebut tersusun sepanjang serabut kolagen.
Bahan mineral lain yaitu ion sitrat, karbonat, magnesium, natrium, dan potassium.
Kekerasan tulang tergantung dari kadar bahan anorganik dalam matriks,
sedangkan dalam kekuatannya tergantung dari bahan-bahan organik khususnya
serabut kolagen (Junaedi, 2007).
Keseluruhan struktur konsentris tulang disebut osteon. Di dalam osteon
terdapat sistem havers yang tersusun dari lamella, lacuna, kanalikuli, dan saluran
Havers. Lamela adalah lapisan konsentrik dengan ketebalan 3- yang di
dalamnya terdapat ruang - ruang kecil yang disebut lakuna. Dalam setiap lakuna
mengandung osteosit dan diantara lakuna satu dengan yang lainnya terdapat
matriks yang terdiri dari garam mineral dan serat kolagen. Kekerasan dan
kekuatan tulang dipengaruhi oleh ketebalan matriks yang dapat diukur melalui
jarak antar osteosit dalam lakuna yang saling berdekatan (Sabine, 2008).
2.3.3. Remodelling Tulang
Tulang secara konstan mengalami remodelling, yaitu proses kompleks yang
mengikutsertakan resorpsi tulang pada beberapa permukaan lalu diikuti oleh fase
22
pembentukan tulang. Urutan dari remodelling tulang pada keadaan normal selalu
sama, yaitu resorpsi tulang oleh osteoklas, fase reversal, lalu diikuti pembentukan
tulang oleh osteoblas untuk memperbaiki defek. Selama resorpsi tulang, osteoklas
melepaskan faktor lokal dari tulang, yang memiliki dua efek yaitu menghambat
fungsi osteoklas dan menstimulasi aktivitas osteoblas. Osteoklas memproduksi
dan melepaskan faktor yang memiliki efek pengaturan yang negatif pada
aktivitasnya dan mendorong fungsi osteoklas. Saat osteoklas menyelesaikan siklus
resorptif, osteoklas akan mensekresikan protein yang nantinya akan menjadi
substrat untuk perlekatan osteoblas. Resorpsi tulang mengikutsertakan beberapa
tahap yang langsung mengarah pada pembuangan baik mineral dan konstituen
organik dari matriks tulang oleh osteoklas, dibantu oleh osteoblas. Tahap pertama
adalah pengerahan dan penyebaran progenitor osteoklas ke tulang. Sel sel
progenitor ditarik dari jaringan haemophoeitik seperti sumsum tulang dan jaringan
slenic ke tulang melalui sirkulasi aliran darah. Sel sel tersebut akan
berploriferasi dan berdiferensiasi menjadi osteoklas melalui mekanisme yang
menyertakan interkasi sel terhadap sel dengan sel stroma osteoblas. Tahap
selanjutnya melibatkan persiapan permukaan tulang dengan pembuangan lapisan
osteoid yang tidak termineralisasi oleh osteoblas, yang memproduksi beragam
enzim proteolitik, dalam beberapa matriks metallo protein, kolagenase dan
gelatinase (Chaesaria, 2015).
Osteoklas yang telah meresorpsi maksimum diikuti dengan terjadinya
transisi dari aktivitas osteoklastik menjadi aktivitas osteoblastik. Peristiwa transisi
ini dikenal dengan fase reversal. Pembentukan tulang muncul dari kompleks
23
peristiwa yang melibatkan poliferasi sel mesenkim primitif, diferensiasi menjadi
sel prekursor osteoblas (osteoprogenitor, preosteoblas), pematangan osteoblas,
pembentukan matriks dan akhirnya mineralisasi. Osteoblas berkumpul pada dasar
kavitas resorpsi dan membentuk osteoid. Osteoblas terus membentuk dan
melakukan mineralisasi osteoid hingga kavitas terisi (Chaesaria, 2015).
2.4. Hewan Coba
Hewan laboratorium atau hewan percobaan adalah hewan yang sengaja
dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari
dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau
pangamatan laboratorium. Tikus termasuk hewan mamalia, oleh sebab itu
dampaknya terhadap suatu perlakuan mungkin tidak jauh berbeda dibanding
dengan mamalia lainnya. Selain itu, penggunaan tikus sebagai hewan percobaan
juga didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan kemampuan hidup tikus hanya
2-3 tahun dengan lama reproduksi 1 tahun (Maula, 2014).
Kelompok tikus laboratorium pertama-tama dikembangkan di Amerika
Serikat antara tahun 1877 dan 1893. Keunggulan tikus putih dibandingkan tikus
liar antara lain lebih cepat dewasa, tidak memperlihatkan perkawinan musiman,
dan umumnya lebih cepat berkembang biak. Kelebihan lainnya sebagai hewan
laboratorium adalah sangat mudah ditangani, dapat ditinggal sendirian dalam
kandang asal dapat mendengar suara tikus lain dan berukuran cukup besar
sehingga memudahkan pengamatan. Rattus norvegicus memiliki ciri antara lain
rambut tubuh berwarna putih dan mata yang merah, panjang tubuh total 440 mm,
24
dan panjang ekor 205 mm. Berat dewasa rata-rata 200-250 gram, tetapi bervariasi
tergantung pada galur (Mangkoewidjojo, 1988).
Menurut Krinke (2000) klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Mammalia
Order : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Rattus
Species : norvegicus
Gambar 2.4. Rattus norvegicus (Krinke, 2000)