Upload
vudien
View
214
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Rokok
2.1.1 Pengertian
Rokok adalah salah satu zat adiktif yang bila digunakan
mengakibatkan bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat.
Kemudian ada juga yang menyebutkan bahwa rokok adalah hasil
olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bahan lainya yang
dihasilkan dari tanamam Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan
spesies lainnya atau sintesisnya yang mengandung nikotin dan tar
dengan atau tanpa bahan tambahan (Tendra, 2003)
Menurut Harissons (1987) dalam Sitepoe (2000), terdapat dua
komponen pada asap rokok yaitu komponen gas sebesar 85% dan
komponen partikulat sebesar 15% (komponen yang bersama gas dan
mengalami kondensasi). Asap rokok pula dapat dibagi menjadi dua
yaitu asap mainstream dan asap sidestream. Asap mainstream adalah
asap yang diisap melalui mulut (oleh perokok) manakala asap yang
dihembuskan oleh perokok dan asap yang terbentuk pada ujung rokok
yang terbakar disebut asap sidestream. Individu yang berada disekitar
perokok yang terisap asap sidestream disebut sebagai perokok pasif.
7
2..1.2 Penyebab merokok
Conrad dan Miller (1986) dalam Sitepoe (2000) menyatakan
bahwa, terdapat dua penyebab utama seseorang menjadi perokok yaitu
dorongan psikologis dan dorongan fisiologis. Secara psikologis,
perokok merasakan bahwa dengan merokok, ia dapat mengalihkan
kecemasan, menunjukkan kejantanan (bangga diri) dan menunjukkan
kedewasaan. Sedangkan, dorongan fisiologis pula timbul akibat dari
nikotin yang terdapat di dalam rokok yang menyebabkan terjadinya
adiksi sehingga seseorang ingin terus merokok.
Umumnya, individu mulai merokok akibat dari pengaruh
lingkungan seperti melihat teman-teman dan diajari oleh teman-teman.
Selain itu, ada juga yang merokok dengan kemauan sendiri karena
ingin menunjukkan bahwa dirinya telah dewasa (umumnya pada anak-
anak). Bermula dari perokok pasif (mengisap asap rokok orang lain
yang merokok), mereka kemudian menjadi perokok aktif karena
menjadi ketagihan akibat dari nikotin yang terdapat di dalam rokok
(Sitepoe, 2000).
Menurut WHO (2010) perokok dikategorikan kepada tiga
kelompok yaitu perokok ringan, sedang dan berat. Perokok ringan
adalah individu yang merokok sebanyak 1-10 batang rokok sehari,
sedangkan perokok sedang pula menkonsumsi rokok sebanyak 11-20
batang rokok sehari. Individu yang merokok melebihi 20 batang rokok
dalam sehari pula dikategorikan sebagai perokok berat.
8
2.1.3 Bahan Baku Rokok
Komponen utama rokok adalah tembakau. Tembakau yang
digunakan untuk membuat rokok di Indonesia adalah tembakau yang
ditanam dan diproduksi di berbagai daerah di Indonesia, baik sebagai
komoditi dalam negeri maupun komoditas mancanegara. Rokok yang
menggunakan tembakau sebagai komponen utamanya disebut sebagai
rokok putih. Di Indonesia, terdapat sejenis rokok yang dikenal sebagai
rokok kretek, yang mana selain dari tembakau, cengkeh juga
digunakan sebagai komponen utama untuk menghasilkan rokok jenis
ini. Satu-satunya negara di dunia yang menghasilkan rokok dengan
bahan baku tembakau dan cengkeh adalah Indonesia (Sitepoe, 2000).
Istilah tembakau yang digunakan sebagai komponen utama
rokok merujuk kepada daun tembakau kering yang dirajang maupun
tidak dirajang. Terdapat dua jenis tembakau yang ditanam di Indonesia
yaitu tembakau Virginia yang penanamannya banyak dijumpai di
Pulau Jawa dan tembakau Deli, yang banyak ditanam di Tanah Deli,
Sumatera Utara sejak tahun 1864 (Sitepoe, 2000).
Cengkeh yang digunakan untuk memproduksikan rokok kretek
ditanam di Indonesia dan diproduksikan dari bunga cengkeh (Sitepoe,
2000). Menurut Wise dan Guerin (1986) dalam Sitepoe (2000)
cengkeh akan dikeringkan, kemudian digiling serta dicampur ke dalam
tembakau dengan perbandingan tembakau dengan cengkeh 60:40.
9
2.1.4 Jenis Rokok
Menurut Sitepoe, (2000), rokok berdasarkan bahan baku atau
isi di bagi tiga jenis:
1. Rokok Putih : rokok yang bahan baku atau isinya hanya daun
tembakau yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan
aroma tertentu.
2. Rokok Kretek : rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun
tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek
rasa dan aroma tertentu.
3. Rokok Klembak : rokok yang bahan baku atau isinya berupa daun
tembakau, cengkeh, dan kemenyan yang diberi saus untuk
mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu.
Rokok berdasarkan penggunaan filter dibagi dua jenis :
1. Rokok Filter (RF) : rokok yang pada bagian pangkalnya terdapat
gabus.
2. Rokok Non Filter (RNF) : rokok yang pada bagian pangkalnya
tidak terdapat gabus.
10
2.1.5 Bahan Kimia di Dalam Tembakau dan Rokok
Menurut Robert (1988) dalam Sitepoe (2000), terdapat lebih
dari 3040 jenis bahan kimia yang dijumpai di dalam daun tembakau
kering. Bahan-bahan ini berasal dari pertumbuhan daun tembakau itu
sendiri, misalnya bersumber dari tanah, udara dan bahan kimia yang
digunakan semasa penanaman tembakau maupun semasa proses
pembuatan rokok. Hal ini bermaksud, komposisi kimia pada daun
tembakau juga dipengaruhi oleh cara pemprosesan dan kawasan
tempat penanaman tembakau tersebut.
Menurut Robert (1988) dalam Sitepoe (2000), pada waktu
rokok dibakar, maka akan terbentuk pula bahan kimia lain hasil reaksi
dari proses pembakaran yang terjadi. Asap rokok mainstream
dikatakan mengandung 4000 jenis bahan kimia. Bahan kimia ini
dibedakan menjadi fase partikulat dan fase gas. Fase partikulat terdiri
daripada nikotine, nitrosamine, N nitrosonornikotin, polisiklik
hidorkarbon, logam berat dan karsinogenik amine. Sedangkan, fase
yang dapat menguap atau seperti gas adalah karbon monoksida,
karbon dioksida, benzene, amonia, formaldehid, hidrosianida dan lain-
lain.
2.1.5.1 Tar Tar adalah zat berwarna coklat berisi berbagai jenis
hidrokarbon aromatik polisiklik, amin aromatik dan N-nitrosamine.
11
Tar yang dihasilkan asap rokok akan menimbulkan iritasi pada saluran
napas, menyebabkan bronchitis, kanker nasofaring dan kanker paru.
2..1.5.2 Nikotin
Nikotin adalah bahan alkaloid toksik yang merupakan senyawa
amin tersier, bersifat basa lemah dengan pH 8,0. Pada pH fisiologis,
sebanyak 31% nikotin berbentuk bukan ion dan dapat melalui
membran sel. Asap rokok pada umumnya bersifat asam (pH 5,5). pH
nikotin berada dalam bentuk ion dan tidak dapat melewati membran
secara cepat sehingga di mukosa pipih hanya terjadi sedikit absorpsi
nikotin dari asap rokok. Perokok yang menggunakan pipa, cerutu dan
berbagai macam sigaret Eropa, asap rokok bersifat basa dengan pH 8,5
dan nikotin pada umumnya tidak dalam bentuk ion dan dapat
diabsorpsi dengan baik melalui mulut.
2.1.5.3 Karbonmonoksida
Karbon monoksida (CO) adalah gas beracun yang mempunyai
afinitas kuat terhadap hemoglobin pada sel darah merah, ikatan CO
dengan haemoglobin akan membuat haemoglobin tidak bisa
melepaskan ikatan CO dan sebagai akibatnya fungsi haemoglobin
sebagai pengangkut oksigen berkurang, sehingga membentuk karboksi
hemoglobin mencapai tingkat tertentu akan dapat menyebabkan
kematian.
12
2.1.5.4 Timah hitam
Timah hitam (Pb) yang dihasilkan oleh sebatang rokok
sebanyak 0,5 ug. Sebungkus rokok (isi 20 batang) yang habis dihisap
dalam satu hari akan menghasilkan 10 ug. Sementara ambang batas
bahaya timah hitam yang masuk ke dalam tubuh adalah 20 ug per hari.
Bisa dibayangkan, bila seorang perokok berat menghisap rata-rata 2
bungkus rokok per hari, berapa banyak zat berbahaya ini masuk ke
dalam tubuh (Triswanto, 2007).
2.1.5.5 Radikal bebas (NOx, SO2)
Radikal bebas merupakan suatu atom, molekul, senyawa yang
dapat berdiri sendiri mempunyai satu atau lebih elektron tidak
berpasangan di orbital terluarnya. NOx merupakan oksidator yang
cukup kuat yang dapat menyebabkan peroksidasi lipid atau protein
sehingga fungsinya terganggu. Bahaya radikal bebas terhadap eritrosit
diantaranya adalah dengan merusak struktur membran eritrosit
sehingga plastisitas membran terganggu dan mudah pecah. Keadaan
ini dapat menyebabkan turunnya jumlah eritrosit.
13
Tabel 2: Kadar nikotin dan karbon monoksida dari beberapa merk rokok
(Rusiawati, 1990).
Merk Rokok Particulate(mg) Nikotin* (mg) Karbon monoksida(mg)
Djarum 53,7 5,07 19,5
Dji Sam Soe 40,7 5,31 23,0
Gudang Garam 52,0 5,28 18,2
Djarum 76 48,3 5,10 22,7
*nilai rata-rata
2.1.6. Kategori Perokok
2.1.6.1 Perokok Pasif
Perokok pasif adalah asap rokok yang dihirup oleh seseorang
yang tidak merokok (pasif smoker). Asap rokok tersebut bisa menjadi
polutan bagi manusia dan lingkungan sekitar. Asap rokok yang
terhirup oleh orang-orang bukan perokok karena berada disekitar
perokok bisa menimbulkan seconde handsmoke.
2.1.6.2 Perokok aktif
Perokok aktif adalah orang yang suka merokok (Hasan alwi,
2003). Dari perokok aktif ini dapat digolongkan menjadi tiga bagian:
a. Perokok ringan
Perokok ringan yaitu perokok yang merokok kurang dari
sepuluh batang per hari.
14
b. Perokok sedang
Perokok sedang adalah orang yang menghisap rokok sepuluh
sampai dua puluh batang perhari.
c. Perokok berat
Perokok berat adalah orang yang merokok lebih dari dua puluh
batang perhari (M.N.Bustan, 1997).
2.2. Sel Darah Merah
Sel darah merah yang matang sangat mudah dikenali
disebabkan oleh morfologinya yang unik. Keadaan normal, bentuk sel
darah merah adalah bikonkaf dengan diameter 8 µm, dengan ketebalan
pada bagian yang paling tebal 2,5 µm dan pada bagian tengah 1 µm
atau kurang. Volume eritrosit adalah 90 - 95 µm. Jumlah eritrosit
normal pada pria 4,6 - 6,2 juta/µL dan pada wanita 4,2 - 5,4 juta/µL.
Eritrosit ini tidak mempunyai nukleus atau mitokondria, dan 33% dari
pada kandungannya terdiri dari protein tunggal yaitu hemoglobin.
Tanpa nukleus dan jalur metabolik protein, sel ini mempunyai masa
hidup yang singkat yaitu selama 120 hari. Tetapi, struktur sel darah
merah matang yang unik ini memberikan daya lenturan yang
maksimal saat sel ini melewati pembuluh darah yang sempit (Hillman,
Ault dan Rinder, 2005).
Hampir kesemua kebutuhan tenaga intrasellular didapat lewat
metabolisme glukosa, yang bertujuan untuk mengekalkan hemoglobin
15
dalam kondisi larut dan reduksi, menyediakan sejumlah 2,3-
diphosphoglycerat (2,3-DPG) yang mencukupi dan untuk
menghasilkan adenosine triphosphate (ATP) bagi mempertahankan
fungsi membran (Hillman, Ault dan Rinder, 2005).
2.3 Indeks Eritrosit
Indeks eritrosit adalah batasan untuk ukuran dan isi
hemoglobin eritrosit. Istilah lain untuk indeks eritrosit adalah indeks
kospouskuler. Indeks eritrosit terdiri atas : isi/volume atau ukuran
eritrosit (MCV : mean corpuscular volume atau volume eritrosit rata-
rata), berat (MCH : mean corpuscular hemoglobin atau hemoglobin
eritrosit rata-rata), konsentrasi (MCHC : mean corpuscular
hemoglobin concentration atau kadar hemoglobin eritrosit rata-rata),
dan perbedaan ukuran (RDW : RBC distribution width atau luas
distribusi eritrosit). Indeks eritrosit dipergunakan secara luas dalam
mengklasifikasi anemia atau sebagai penunjang dalam membedakan
berbagai macam anemia (Riswanto, 2009).
Indeks eritrosit dapat ditetapkan dengan dua metode, yaitu
manual dan elektronik (automatik) menggunakan hematology
analyzer. Untuk dapat menghitung indeks eritrosit secara manual
diperlukan data kadar hemoglobin, hematokrit/PCV dan hitung
eritrosit.
16
2.3.1 Volume eritrosit rata-rata (VER) atau mean corpuscular volume
(MCV)
MCV mengindikasikan ukuran eritrosit : mikrositik (ukuran
kecil), normositik (ukuran normal), dan makrositik (ukuran besar).
Nilai MCV diperoleh dengan mengalikan hematokrit 10 kali lalu
membaginya dengan hitung eritrosit (Riswanto, 2009)..
MCV = (hematokrit x 10) : hitung eritrosit
Nilai rujukan :
1. Dewasa : 80 - 100 fL (baca femtoliter)
2. Bayi baru lahir : 98 - 122 fL
3. Anak usia 1-3 tahun : 73 - 101 fL
4. Anak usia 4-5 tahun : 72 - 88 fL
5. Anak usia 6-10 tahun : 69 - 93 fL
Masalah klinis :
1. Penurunan nilai : anemia mikrositik, anemia defisiensi besi (ADB),
malignansi, artritis reumatoid, hemoglobinopati (talasemia, anemia
sel sabit, hemoglobin C), keracunan timbal, radiasi.
2. Peningkatan nilai : anemia makrositik, aplastik, hemolitik,
pernisiosa; penyakit hati kronis; hipotiroidisme (miksedema);
pengaruh obat (defisiensi vit B12, antikonvulsan, antimetabolik)
2.3.2 Hemoglobin eritrosit rata-rata (HER) atau mean corpuscular
hemoglobin (MCH)
17
MCH mengindikasikan bobot hemoglobin di dalam eritrosit
tanpa memperhatikan ukurannya. MCH diperoleh dengan mengalikan
kadar Hb 10 kali, lalu membaginya dengan hitung eritrosit.
MCH = (hemoglobinx10) : hitung eritrosit
Nilai rujukan :
1. Dewasa : 26 - 34 pg (baca pikogram)
2. Bayi baru lahir : 33 - 41 pg
3. Anak usia 1-5 tahun : 23 - 31 pg
4. Anak usia 6-10 tahun : 22 - 34 pg
MCH dijumpai meningkat pada anemia makrositik-
normokromik atau sferositosis, dan menurun pada anemia mikrositik-
normokromik atau anemia mikrositik-hipokromik.
2.3.3 Kadar hemoglobin eritrosit rata-rata (KHER) atau mean
corpuscular hemoglobin concentration (MCHC)
MCHC mengindikasikan konsentrasi hemoglobin per unit
volume eritrosit. Penurunan nilai MCHC dijumpai pada anemia
hipokromik, defisiensi zat besi serta talasemia. Nilai MCHC dihitung
dari nilai MCH dan MCV atau dari hemoglobin dan hematokrit.
MCHC = ( MCH : MCV ) x 100 % atau MCHC = ( Hb : Hmt ) x
100%
Nilai rujukan :
1. Dewasa : 32 - 36 %
18
2. Bayi baru lahir : 31 - 35 %
3. Anak usia 1.5 - 3 tahun : 26 - 34 %
4. Anak usia 5 - 10 tahun : 32 - 36 %
2.3.4 Luas distribusi eritrosit (RBCdistribution width)
RDW adalah perbedaan ukuran (luas) dari eritrosit. RDW
adalah pengukuran luas kurva distribusi ukuran pada histogram. Nilai
RDW dapat diketahui dari hasil pemeriksaan darah lengkap (full blood
count, FBC) dengan hematology analyzer. Nilai RDW berguna untuk
memperkirakan terjadinya anemia dini, sebelum nilai MCV berubah
dan sebelum terjadi tanda dan gejala. Peningkatan nilai RDW dapat
dijumpai pada : anemia defisiensi (zat besi, asam folat, vit B12),
anemia hemolitik, anemia sel sabit.
2.4 Hemoglobin
Terdapat sekitar 280 juta molekul hemoglobin di dalam setiap
sel darah merah (Tortora dan Derickson, 2006). Hemoglobin adalah
sejenis protein dengan berat molekul 64.500 dalton, terdiri dari 4
rantai polipeptida. Setiap satunya mengandung satu pigmen non-
protein berbentuk seperti cincin yang disebut sebagai kelompok heme
aktif (Hillman, Ault dan Rinder, 2005). Bagian tengah dari cincin
heme ini terdapat satu ion ferous, Fe2+
yang boleh mengikat satu
molekul oksigen, lalu membolehkan satu molekul hemoglobin
berikatan dengan empat molekul oksigen (Tortora dan Derickson,
2006).
19
Repiratory motion of hemoglobin adalah proses pengikatan dan
pelepasan molekul oksigen dari hemoglobin yang melibatkan
perubahan spesifik pada struktur molekularnya. Apabila hemoglobin
berubah dari bentuk deoxyhemoglobin kepada bentuk oxyhemoglobin,
karbon dioksida, CO2dan 2,3-DPG akan terlepas dari posisi asalnya
yaitu di antara rantai β-globin lalu membuka molekul heme untuk
menerima oksigen. Seterusnya, oksigen yang berikatan dengan salah
satu kelompok heme akan meningkatkan afinitas dari kelompok heme
yang lain kepada oksigen. Interaksi inilah yang menyebabkan
terjadinya bentuk ”sigmoid” pada kurva disosiasi oksigen (Hillman,
Ault dan Rinder, 2005).
Kadar hemoglobin normal yang terdapat di dalam satu sel
darah merah adalah sekitar 32pg. (mean cell hemoglobin, MCH = 32 ±
2pg). Proses sintesis hemoglobin yang normal memerlukan cadangan
zat besi yang mencukupi dan produksi protoporphyrin dan globin
yang normal. Proses sintesis protoporphyrin dimulai di dalam
mitokondria dengan pembentukan delta aminolevulenic acid dari
glycine dan succinyl-CoA yang berasal dari siklus asam sitrat.
Seterusnya, proses dilanjutkan dengan pembentukan porphobilinogen,
uroporphyrin dan coproporphyrin yang terjadi di sitoplasma sel. Dua
molekul delta aminolevulenic acid bergabung membentuk
porphobilinogen yang mengandung satu rantai pyrrole. Melalui proses
deaminasi, empat prophobilinogen digabungkan menjadi
20
hydroxymethyl bilane, yang kemudiannya dihidrolisis menjadi
uroporphyrin. Uroporphyrin kemudiannya mengalami dekarboksilasi
menjadi coporphyrin. Enzim coporphyrin oxidase mengoksidasi
coporphyrin kepada protpoporphyrinogen. Protoporphyrinogen
seterusnya dioksidaksikan membentuk protoporphyrin. Proses terakhir
adalah penggabungan rantai protoporphyrin dengan ion ferous, Fe2+
lalu membentuk molekul Heme. Proses ini berlaku di dalam
mitokondria (Hillman, Ault dan Rinder, 2005).
Rantai globin pula digabungkan oleh ribosom sitoplasmik yang
dikawal oleh dua kluster gene pada kromosom 11 dan 16. Hasil
akhirnya adalah molekul globin yang tetramer yaitu dua rantai α-
globin dan dua rantai non-α-globin. Penggabungan molekul
hemoglobin ini berlaku di sitoplasma sel. Terdapat sebagian kecil zat
besi, protoporphyrin dan rantai globin bebas yang tersisa selepas
proses sitesis hemoglobin selesai. Zat besi tersebut disimpan sebagai
ferritin dan porphyrin pula diubah kepada zinc (Hillman, Ault dan
Rinder, 2005).
Reaksi komplek ini dipicu oleh hormon erythropoietin. Tingkat
sintesis hemoglobin (rate of hemoglobin synthesis) ditentukan oleh
ketersediaan transferrin iron dan kadar heme di intrasellular. Proses
sintesis hemoglobin berlaku secara maksimal di sumsum tulang yang
lebih matang. Penghentian sintesis heme ditandai dengan penurunan
ekspresi dari reseptor transferrin pada membran, diikuti dengan
21
penurunan regulasi (downregulation) sintesis heme dan globin
(Hillman, Ault dan Rinder, 2005).
2.5 Kurva Disosiasi Hemoglobin-Oksigen
Kurva disosiasi hemoglobin-oksigen adalah ilustrasi kepada
hubungan antara kadar saturasi hemoglobin (percent saturation of
hemoglobin) dengan tekanan parsial oksigen. Tekanan parsial oksigen
merupakan faktor penting dalam menentukan kuantitas oksigen yang
berikatan dengan hemoglobin. Semakin tinggi tekanan parsial oksigen
maka semakin banyak oksigen yang berikatan dengan hemoglobin.
Apabila hemoglobin yang tereduksi (reduced hemoglobin) ditukar
sepenuhnya kepada oxyhemoglobin, maka hemoglobin dikatakan
sebagai tersaturasi penuh (Tortora dan Derickson, 2006).
Kadar saturasi hemoglobin adalah saturasi rata-rata
hemoglobin yang berikatan dengan oksigen. Sebagai contoh, jika dua
molekul oksigen yang berikatan dengan satu molekul hemoglobin,
maka disebut kadar saturasi oksigen adalah 50%, karena satu molekul
hemoglobin bisa mengikat 4 molekul oksigen (Tortora dan Derickson,
2006).
Kondisi yang normal, darah arteri memasuki jaringan-jaringan
tubuh dengan tekanan parsial oksigen 95 mmHg dan saturasi
hemoglobin yang melebihi 97%. Aliran balik vena dari pada jaringan
22
pula mempunyai tekanan oksigen sebesar 40 mmHg dengan saturasi
hemoglobin 75-80% (Hillman, Ault dan Rinder, 2005).
Walaupun tekanan parsial oksigen merupakan faktor yang
penting dalam menentukan kadar saturasi hemoglobin, terdapat
beberapa faktor lain yang juga mempengaruhi afinitas hemoglobin
terhadap oksigen. Faktor-faktor ini akan memberikan dampak terhadap
kurva disosiasi hemoglobin-oksigen secara keseluruhan dengan
menyebabkan kurvanya bergeser ke arah kiri (afinitas meningkat) atau
ke arah kanan (afinitas berkurang). Faktor-faktor tersebut adalah
keasaman (pH), tekanan parsial karbon dioksida dan zat 2,3-
diphosphoglycerat (2,3-DPG) (Tortora dan Derickson, 2006).
Saat pH darah menurun, kurva disosiasi hemoglobin-oksigen
akan bergeser ke kanan, menunjukkan bahwa hemoglobin kurang
tersaturasi walaupun berada di tekanan parsial oksigen tinggi.
Perubahan ini dinamakan sebagai Borh effect, dimana hemoglobin
bertindak sebagai buffer. Borh effect berkerja dengan kedua-dua cara
yaitu; peningkatan ion H+
dalam darah akan menyebabkan oksigen
terlepas dari hemoglobin, dan oksigen yang berikatan dengan
hemoglobin akan menyebabkan ion H+
terlepas dari hemoglobin.
Apabila produksi asam metabolit (asam laktat dan asam karbonat) dan
CO2jaringan meningkat, keasaman darah akan meningkat lalu
terjadinya asidosis yang menyebakan kurva disosiasi bergeser ke
kanan. Maka, afinitas hemoglobin terhadap oksigen melemah,
23
menyebabkan oksigen terlepas dari pada hemoglobin dan masuk ke
jaringan (Tortora dan Derickson, 2006).
Karbon dioksida memiliki sifat asam. Maka, apabila ia
berikatan hemoglobin, akan terjadi dampak yang sama pada kurva
disiosiasi (kurva begeser ke kanan). Kondisi dengan tekanan parsial
karbon dioksida meningkat, hemoglobin akan lebih mudah untuk
melepaskan oksigen. Tekanan parsial karbon dioksida dan pH darah
merupakan faktor yang terkait karena pH darah yang rendah
(keasaman) adalah pengaruh dari peningkatan tekanan parsial karbon
dioksida. Peningkatan tekanan parsial karbon dioksida akan
menyebabkan kurva disiosiasi bergeser ke kanan (Tortora dan
Derickson, 2006).
2,3-diphosphoglycerat (2,3-DPG) adalah bahan yang terdapat
di dalam sel darah merah yang berfungsi untuk menurunkan afinitas
hemoglobin terhadap oksigen, lalu membantu pelepasan oksigen
daripada hemoglobin. 2,3-DPG diproduksi di dalam sel darah merah
dan ia merupakan hasil daripada proses glikolisis, yaitu pemecahan
glukosa untuk menghasilkan adenosine triphosphate, ATP (Tortora
dan Derickson, 2006). Produksi 2,3-DPG akan meningkat apabila
terjadinya desaturasi hemoglobin seperti hipoksia, gagal jantung atau
anemia (Hillman, Ault dan Rinder, 2005).
Peningkatan intaselular 2,3-DPG akan menyebabkan kurva
disosiasi bergeser ke kanan dan menyediakan mekanisme kompensasi
24
yang bagus untuk anemia kronis dan hipoksia. Metabolisme 2,3-DPG
juga dipengaruhi oleh asidosis atau alkalosis sistemik.
Perubahan awal berupa pergeseran kurva disosiasi ke kanan
pada pasien asidosis akan diperbaiki dalam batas waktu 12-36 jam
seterusnya berupa pengurangan kadar 2,3-DPG. Maka, Bohr effect
akan dibalikkan oleh kadar 2,3-DPG yang rendah dan menyebabkan
kurva disosiasi kembali menjadi normal (Hillman, Ault dan Rinder,
2005).
Selain itu, terdapat satu lagi kondisi yang bisa mempengaruhi
kurva disosiasi hemoglobin-oksigen yaitu hipoksia. Salah satu
penyebab hipoksia adalah peningkatan kadar saturasi karbon
monoksida,CO darah. Pada kondisi hipoksia yang disebabkan oleh
peningkatan kadar CO, kurva disosiasi akan mengalami pergeseran ke
kiri akibat dari terbentuknya carboxyhemoglobin. Pergeseran kurva
disosiasi ke kiri akan meningkatkan afinitas daripada hemoglobin
terhadap oksigen dan menyebabkan lebih sedikit kadar oksigen yang
dihantar ke jaringan (Braunwald, 2005)
2.6 Hubungan Rokok dengan Jumlah Eritrosit
Orang yang tidak merokok kurang dari 1,5% hemoglobinnya
berupa karboksihemoglobin, tetapi jumlah ini dapat meningkat
menjadi 3% pada penduduk kota yang mengalami populasi yang
parah, bahkan menjadi 10% pada perokok berat. Karbon monoksida
25
cenderung berikatan dengan hemoglobin dalam jangka waktu yang
lama akibat afinitasnya yang kuat terhadap hemoglobin Karbon
monoksida dalam bentuk karboksihemoglobin memiliki half-life
selama 5-6 jam dan dapat tetap berada dalam darah selama lebih dari
24 jam, tergantung pada beberapa factor, misalnya jenis kelamin,
aktifitas fisik dan frekuensi pernafasan (Middleton dan Morice,
2000).
Beberapa penelitian Killinc dkk, menunjukkan bahwa perokok
memiliki hitung eritrosit lebih banyak dari pada non perokok (Killinc,
2004). Peningkatan hitung eritrosit pada perokok berhubungan
dengan lamanya merokok dan jumlah rokok yang dihisap tiap hari
(Van Tiel, 2002). Peningkatan dalam parameter ini merupakan
adaptasi terhadap adanya karbonmonoksida yang terkandung dalam
asap rokok (Underwood, 1996 dan Narayanan, 2003)
Timbulnya karboksihemoglobin pada perokok berat cukup
dapat menimbulkan anoksia sehingga merangsang peningkatan
produksi hormon eritropoitin dan menimbulkan eritropoisis ringan.
Peningkatan produksi eritropoitin dalam hal ini merupakan proses
yang tepat sebagai kompensasi untuk memperkecil hipoksia jaringan
(Moya, 1985).
Sebuah penelitian Zafar dkk di Pakistan justru menunjukkan
bahwa hitung eritrosit pada perokok lebih rendah daripada non
perokok, bahkan ditemukan beberapa responden perokok yang
26
hitung eritrositnya dibawah normal. Hitung eritrosit berkorelasi
negative dengan jumlah rokok yang dihisap tiap harinya dan lamanya
merokok. Hitung eritrosit yang rendah dapat mengakibatkan
kekacauan dalam proses fisiologis dan mempengaruhi berbagai
macam enzim dan metabolisme obat (Zafar, 2003). Perokok
memiliki tendensi penurunan eritrosit karena berdasarkan penelitian
in vitro, cotinine (suatu metabolit nikotin) menekan pembentukan
koloni dari colony forming unit-erythroid (CFU-E) dan burst
forming unit-erythroid (BFU-E), pada konsentrasi yang ekuivalen pada
perokok (Takahashi, 1999).
2.7 Hubungan Rokok dengan Kadar Hemoglobin Darah
Dalam penelitiannya, Nodenberg (1990) menyatakan kadar
hemoglobin darah rata-rata pada perokok adalah 156±0.4 g/L dan pada
bukan perokok adalah 153±0.5 g/L. Maka, dia mengambil kesimpulan
penelitiannya bahwa merokok menyebabkan terjadinya peningkatan
kadar hemoglobin darah. Hasil penelitian ini disokong lagi dengan
maklumat yang dinyatakan oleh Adamson (2005) yang menyatakan
terjadinya peningkatan kadar hemoglobin darah pada perokok berat.
Peningkatan ini terjadi karena reflek dari mekanisme kompensasi
tubuh terhadap rendahnya kadar oksigen yang berikatan dengan
hemoglobin akibat digeser oleh karbon monoksida yang mempunyai
afinitas terhadap hemoglobin yang lebih kuat. Maka, tubuh akan
27
meningkatkan proses hematopoiesis lalu meningkatkan produksi
hemoglobin, akibat dari rendahnya tekanan parsial oksigen, PO2
di
dalam tubuh.
Merokok dengan tinggi nikotin, rendah nikotin atau tanpa
nikotin, menyebabkan ikatan karbon monokida dengan haemoglobin
ini meningkat. Pembakaran tidak sempurna dari bahan organic
didalam rokok meningkatkan CO, yang diinhalasi dalam fase gas
bersama dengan unsur asap lain yang volatil memapar darah paru ke
kapiler paling sedikit 400 ppm CO. Karena afinitas haemoglobin
terhadap CO kira-kira 245 kali lebih besar dari pada afinitasnya untuk
O2, maka CO menggeser O2 dari haemoglobin yang menurunkan
jumlah O2 yang ada bagi myocardium.
Peningkatan O2 yang lebih kuat ke haemoglobin dengan
adanya ikatan karbon monoksida dengan haemoglobin lebih
mengurangi ketersediaan O2 bagi myocardium. Karbon monoksida
juga bergabung dengan mioglobin dan dapat menunggu difusi O2 ke
mitokondria otot jantung. Lebih jauh, CO bergabung langsung dengan
sitokrom oksidase, yang memperlambat oksidasi nikotinamid-adenin-
dinukliotida tereduksi.
Apabila gas karbon dioksida memasuki sirkulasi darah, ia akan
berikatan dengan hemoglobin sama seperti oksigen. Tetapi, ikatan
karbon monoksida terhadap hemoglobin adalah 250 kali lebih kuat
berbanding pengikatan oksigen terhadap hemoglobin (Guyton dan
28
Hall, 2006). Maka, pada konsentrasi sekecil 0.1% saja (P co
=
0.5mmHg), karbon monoksida akan berikatan dengan separuh
daripada total hemolgobin di dalam darah dan mengurangkan
kapasitas membawa oksigen darah sebesar 50% (Tortora dan
Derickson, 2006).
Apabila hal ini berlanjutan, tubuh akan menjalankan
mekanisme kompensasi berupa peningkatan proses erythropoiesis
sebagai usaha untuk meningkatkan kadar penghantaran oksigen ke
jaringan. Maka, kadar hemoglobin akan meningkat dan menjadi lebih
tinggi berbanding pada kondisi normal. Salah satu penyebab terjadinya
hipoksia akibat peningkatan kadar karbon monoksida adalah merokok
(Adamson dan Longo, 2006).
29
2.8 Kerangka teori
2.9 Kerangka Konsep
Perokok Indeks eritrosit