Upload
buicong
View
250
Download
12
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stratigrafi Regional
Komplek akresi – kolisi Kapur dalam paparan Sunda merupakan kumpulan batuan yang
disrupted secara tektonik dimana pembentukannya dihasilkan oleh berbagai macam
proses geologi yang kompleks. Salah satunya tersebar di kompleks Lok Ulo, Jawa
Tengah (Hamilton, 1989; Parkinson, dkk., 1998; Wakita, 2000).
Penelitian kompleks melange Lok Ulo, daerah ini telah dilakukan oleh Asikin (1974)
membahas evolusi Lok Ulo dengan konsep tektonik baru (plate tektonik); Suparka (1987)
membahas petrologi dan geokimia ofiolit Lok Ulo; Handoyo, dkk (1995) mendalami
karakteristik melange dan olisostrom; Miyazaki, dkk (1998) membahas batuan glaukofan
– kuarsa – jadeit dari Karangsambung Jawa Tengah; Parkinson, dkk., (1998) membahas
tentang tektonik batuan metamorfik derajat tinggi berumur Pra Tersier dan asosiasi
batuan Jawa, Kalimantan dan Sulawesi; Wakita (2000) tentang kompleks akresi dan
kolisi Kapur di Indonesia Tengah; Permana, dkk (2005 & 2006) tentang penelitian batuan
metamorf derajat tinggi di Jawa, Sulawesi dan Kalimantan.
Komplek ofiolit Karangsambung Utara menurut Suparka (1987) disusun oleh batuan
ultramafik (harsburgit terserpentinisasi, serpentinit, lersolit hornblende) dan batuan mafik
(gabro, basalt, serta diabas). Mineral penyusun batuan mafik terdiri dari plagioklas, dan
piroksen sebagai komponen utama. Gabro, basalt dan diabas umumnya aphyric, dapat
digolongkan ke dalam toleit. Batuan ultramafik bertekstur kumulat, dimana
pembentukannya dipengaruhi oleh pengendapan gravitasi dari magma primer (gambar
2.1).
Umur kompleks melange Lok Ulo adalah Kapur Bawah sampai Paleosen (Asikin,1974).
Sementara berdasarkan pentarikhan umur dari salah satu bongkah porfir kuarsa di dalam
melange (Kenter,dkk;1976, dalam disertasi Suparka, 1987) menunjukkan umur 65 juta
tahun atau batas antara Kapur Akhir dan Paleosen; pentarikhan umur dilakukan dengan
menggunakan metode jejak belah (fission track) terhadap mineral zirkon dari batuan
porfir kuarsa. Selain itu, pentarikhan umur dilakukan pada sekis dari komplek yang sama,
berdasarkan metode K-Ar didapatkan umur 117 ± 1,1 juta tahun dan filit dengan metode
Tinjauan Pustaka 5
6
Rb-Sr berumur 85 juta tahun. Suparka (1987) melakukan pentarikhan umur kelompok
ofiolit menggunakan penarikan radiometri K-Ar, yaitu pada basalt dan diabas yang
mewakili kelompok ofiolit serta sekis mika (batuan metamorf) didapatkan umur batuan
berturut-turut adalah 81 ± 4,06 juta tahun dan 85,03 ± 4,25 juta tahun; batuan sekis mika
diperoleh umur 101,71 ± 5,15 juta tahun. Peneliti lainnya, yaitu Wakita, dkk (1994b,
dikutip dari Parkinson dkk., 1998) mengatakan bahwa komplek Lok Ulo berumur Kapur
Awal – Kapur Akhir berdasarkan analisa pada batuan sedimen (kumpulan radiolaria) dari
shale sampai chert.
Pola umum struktur kompleks melange Lok Ulo berarah Timur – Barat dimana blok
tektonik tersusun atas sekis kristalin, filit, marmer, riolit, dasit, batuan mafik dan ultra
mafik, gamping, rijang, serpih silikaan, serpih, batupasir dan konglomerat, terdapat
sebagai keratan tektonik dan sebagai blok fault-bounded. Kompleks ini ditutupi secara
tidak selaras oleh Formasi Karangsambung yang berumur Eosen (gambar 2.2).
2.2 Kerangka Tektonik Jawa
Perkembangan tektonik pulau Jawa telah diuraikan oleh para peneliti terdahulu seperti
Asikin (1974), Hamilton (1989), Parkinson dkk., (1998), Wakita (2000) dan Sribudiyani,
dkk (2003).
Perkembangan tektonik pulau Jawa dimulai pada waktu Kapur Awal sejak terpisahnya
lempeng Hindia – Australia dari lempeng Antartika, yaitu pada saat kerak samudera
Hindia bergerak ke utara mendekati kerak benua Eurasia (Asikin, 1974; Hamilton, 1989;
Wakita, 2000; dan Sribudiyani, dkk., 2003) (gambar 2.3).
Subduksi antara kerak samudera Hindia dengan kerak tepian benua Eurasia terjadi pada
kala Kapur Akhir - Tersier Awal dengan lajur tunjaman berbentuk melengkung. Di
Sumatera, Jawa dan Kalimantan arah lajur tunjaman membentuk sudut yang miring
terhadap gaya utama (Hamilton, 1979). Kecepatan penunjaman kerak samudera Hindia
terhadap kerak benua Eurasia 5 – 10 cm/tahun (Hamilton,1979). Selama proses
penunjaman, terjadi aktivitas volkanomagmatik yang berumur Kapur Akhir – Tersier
Awal. Bersamaan dengan berjalannya proses penunjaman, terbentuk satuan batuan
komplek akresi berupa komplek melange yang merupakan kumpulan batuan asal kerak
samudera dan kerak benua. Proses akresi menurut Wakita (2000) berkembang sepanjang
Tinjauan Pustaka
7
tepian paparan Sunda dimana bagian kompleks Lok Ulo merupakan tipikal accretionary
wedge yang terbentuk dari proses akresi kerak samudera pada umur Kapur. Sementara
itu, Sribudiyani, dkk (2003) mengatakan bahwa terdapat keterlibatan mikrokontinen
Gondwana selain terjadi subduksi. Proses subduksi pada Tersier Awal berpengaruh pada
bagian bawah Formasi Karangsambung, yakni pada kala Eosen (Asikin, 1974). Pada kala
Eosen Awal sampai Oligosen Awal kecepatan penunjaman kerak samudera Hindia
terhadap kerak tepian benua Eurasia berkurang menjadi 2,16 cm/tahun (Hamilton, 1979)
sehingga akibat pengurangan kecepatan ini, terjadi gaya kompresi pada bagian cekungan
belakang busur, cekungan muka busur dan komplek akresi yang disertai dengan gerakan
vertikal mengakibatkan sebagian dari komplek akresi mengalami pengangkatan.
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Batuan Metamorf
Bates dan Jackson (1980) mendefinisikan metamorfisme sebagai perubahan mineralogi,
struktur kristal batuan dalam kondisi padat yang terjadi pada kedalaman dibawah zona
pelapukan dan sementasi. Batuan metamorfik berbeda secara mineralogi dari kondisi
batuan asalnya.
Proses metamorfisme bersifat tidak statis (Spear, 1993), dikarakteristikkan oleh
perubahan kondisi tekanan, temperatur, dan strain. Temperatur merupakan faktor penting
dalam proses metamorfik karena banyak reaksi metamorfik ditentukan oleh perubahan
dalam temperatur. Terjadinya perubahan temperatur pada batuan memerlukan adanya
penambahan panas. Sumber panas bisa dari intrusi (metamorfisme kontak) atau
bersumber dari zona subduksi (metamorfisme regional). Tekanan dalam metamorfisme
regional bergantung pada kedalaman. Semakin dalam, semakin meningkat perubahan
tekanannya. Sedangkan dalam metamorfisme kontak hanya temperatur yang memegang
peranan.
Menurut Barker (1990), proses metamorfisme dikontrol oleh antara lain: perubahan
temperatur dan tekanan, kimia fluida, perubahan fluida, rata-rata tekanan dan lain-lain.
Tekanan merupakan fungsi penentuan kedalaman dalam kerak, sementara temperatur
berfungsi untuk mengetahui gradien geothermal dan geothermal suatu wilayah.
Pemahaman tentang proses metamorfisme penting karena batuan ini dapat memberikan
informasi tentang evolusi geologi suatu daerah.
Tinjauan Pustaka
8
2.3.2 Konsep Fasies metamorf
Konsep fasies pertama kali diusulkan oleh Eskola (1920, 1939), Korzhinskii (1959),
Coombs, dkk (1960, 1961), Winkler (1974) dan Miyashiro (1973, 1974). Menurut
Miyashiro, fasies metamorf yaitu batuan yang terekristalisasi pada temperatur, tekanan
dan potensial kimia H2O tertentu. Tiap individu zona dibatasi oleh perubahan mineral
mayor. Miyashiro menghindari kesukaran dalam mengadopsi luasnya data P – T individu
fasies metamorfik dan konsentrasi deskripsi urutan metamorfik progresif dalam batuan
metamorf. Oleh karena itu, Miyashiro membagi fasies metamorf terbagi ke dalam 10
fasies, yaitu ;
1. Fasies sekis hijau terdiri atas kumpulan mineral aktinolit + klorit + epidot + albit.
2. Fasies amfibolit epidot dikarakteristikkan oleh kumpulan mineral albit + epidot +
hornblende. Amfibolit epidot dibedakan dari sekis hijau yaitu oleh adanya hornblende
selain aktinolit.
3. Fasies amfibolit ditandai oleh asosiasi mineral plagioklas intermedier (Na – Ca plag) –
plagioklas basa (Ca – plag) dan hornblende.
4. Fasies granulit terdiri atas kumpulan mineral orto & klinopiroksen + garnet almandin
– pirop.
5. Fasies sekis glaukofan dikarakteristikkan oleh kumpulan mineral glaukofan + lawsonit
+ kuarsa.
6. Fasies eklogit terdiri atas kumpulan mineral klinopiroksen (omphacite) + Mg garnet +
kuarsa (atau kianit).
7. Fasies piroksen – hornfels dikarakteristikkan oleh kumpulan mineral orto &
klinopiroksen dan tidak adanya garnet almandin dan pirop.
8. Fasies sanidinit mewakili temperatur paling tinggi kombinasi dengan batuan tekanan
rendah. Fasies ini terdiri atas kumpulan mineral klinopiroksen + labradorit + kuarsa.
9. Fasies prehnit – pumpelit dikarakteristikkan oleh hadirnya mineral prehnit dan
pumpelit.
10. Fasies zeolit ditandai oleh hadirnya mineral stilbit + heulandit + laumontit + wairakit
dengan meningkatnya temperatur.
Namun, dalam hal ini penulis memakai klasifikasi Barker (1990) karena merupakan hasil
gabungan dari para peneliti sebelumnya serta mengambil perhitungan empiris observasi
dan pertimbangan teori yang diperlukan.
Tinjauan Pustaka
9
Konsep fasies metamorfik menurut Barker (1990) didasarkan pada proses metamorfisme
dan pemahaman sejarah P dan T dari fasies metamorfik serta analisis paragenesa batuan
protolithnya.
Barker (1990) membuat klasifikasi fasies metamorfik yang berasal dari batuan beku
mafik (gambar 2.4);
1. Mineral kelompok zeolit (zeo) merupakan indikator yang baik untuk temperatur
metamorfisme tingkat paling rendah. Zona analsim-heulandit pada fasies zeolit
terbentuk pada temperatur 100oC – 200oC. Kemudian zona ini diganti oleh zona
laumontit yang terbentuk pada temperatur 200oC – 275oC.
2. Metamorfisme metabasit zona laumontit secara langsung masuk kedalam fasies
prehnit – pumpelit (PP) atau fasies prehnit – aktinolit (PrA). Antara suhu 300oC –
400oC, prehnit merupakan fase kunci dalam metabasit tingkat rendah dan berguna
dalam indikator kondisi P dan T. Umumnya ubahannya langsung dari Ca-plagioklas
atau sebagai pengganti zeolit yang terbentuk lebih awal.
3. Dalam fasies prehnit – pumpelit (PP) dan fasies prehnit – aktinolit (PrA), piroksen
terubah menghasilkan klorit, aktinolit, dan pumpelit (PA). Dengan meningkatnya
temperatur, prehnit dan pumpelit menjadi tidak stabil dan diganti oleh mineral
kelompok epidot.
4. Karakteristik fasies sekishijau (greenschist/GS) yaitu aktinolit (act) + klorit (chl) +
kuarsa (qtz) + albit (ab) + epidot (ep)+ sfen (spn).
5. Transisi dari sekishijau ke fasies amfibolit adalah fasies epidot amfibolit ditandai
dengan perubahan aktinolit ke hornblende dan albit ke oligoklas. Perubahan
temperatur dan mineralogi dipengaruhi oleh tekanan dan kimia batuan, juga adanya
miscibility gap dalam Ca-amfibol dan plagioklas (peristerit gap). Peristerit gap
dalam batuan metabasit terbentuk pada tekanan rendah (2 kbar) (Maruyama, et al
(1982). Mereka menemukan bahwa zona transisi terdiri atas ‘peristerit pairs’ +
Epidot (ep) + klorit (chl) + Ca-amfibol (biasanya aktinolit + hornblende) + kuarsa
(qtz) + sfen (spn) terbentuk pada temperatur 370oC – 420oC.
6. Pada temperatur yang lebih tinggi dari sekishijau, kumpulan mineral ini diganti oleh
zona amfibolit (AM) terdiri atas plagioklas (An20-An50) + hornblende (hrb) + klorit
(chl) + sfen (spn)+ ilmenit (ilm). Di bawah kondisi tekanan lebih tinggi, amfibolit
dikarakteristikkan oleh oligoklas (olg) + hornblende (hrb) + epidot (ep) + rutil (±
kuarsa ± garnet).
Tinjauan Pustaka
10
7. Jika metabasit termetamorfisme di bawah fasies granulit atau piroksen hornsfel,
dicirikan oleh kehadiran struktur granoblastik, dengan mineralogi terdiri atas : Opx
(hipersten) + anortit (an) + plagioklas (plg) + Cpx + spinel (spl) + garnet (gnt). Dalam
beberapa granulit, Piroksen hornblende hadir pada temperatur 700oC – 750oC.
8. Di bawah kondisi fasies granulit tekanan tinggi, anortit plagioklas menjadi meningkat
tidak stabil dan akhirnya mineral tersebut keluar. Garnet umumnya jarang teramati
pada fasies piroksen hornfels sementara pada fasies granulit (GR) umumnya dapat
teramati. Perubahan dari piroksenit pembawa spinel – garnet dan lerzolit terjadi
dalam fasies granulit sampai fasies eklogit (EC).
9. Dalam fasies eklogit, kumpulan mineralnya adalah Cpx (omfasit) + garnet dalam
jumlah yang sama. Fase asesorisnya adalah kuarsa, rutil dan kianit. Metabasit dari
lingkungan sekisbiru didominasi oleh mineral Na-amfibol seperti glaukofan dan
krosit.
10. Kumpulan mineral dari sekisbiru (BS) mengindikasikan kondisi metamorfisme pada
temperatur rendah dengan tekanan tinggi. Pada tekanan lebih rendah dari fasies
eklogit, fasies sekisbiru terbentuk pada tekanan 5 - 8 kbar dan pada temperatur 200oC
– 350oC. Mineralogi metabasitnya adalah galena + epidot (lawsonit) + sfen + albit +
kuarsa + klorit + mika putih + Stp + kalsit). Sekis biru pada tekanan lebih tinggi
mengandung sedikit jadeit piroksen ke glaukofan. Banyak fasies sekisbiru merupakan
transisi ke fasies sekishijau dan fasies epidot amfibolit. Dalam penambahan ke Na –
amfibol (glaukofan – krosit), fasies sekisbiru bertemperatur lebih tinggi umumnya
mengandung garnet dan amfibol sekunder seperti aktinolit atau Na-ca amfibol
diketahui sebagai baroisit fasies metamorf.
Untuk fasies metamorfik pelit dan psammit berdasarkan pada klasifikasi Barker (1990)
(gambar 2.5). Ilit merupakan fase silikat berlembar yang dominan dalam pelit, terbentuk
pada temperatur 215oC – 280oC. Ilit digantikan oleh muskovit pada temperatur 270oC –
280oC. Selama low grade metamorphism , klorit berubah strukturnya dari tipe 1b menjadi
II b. ini terjadi pada temperatur 150oC – 200oC. Di atas 300oC batuan tersebut masuk ke
dalam bagian bawah fasies sekis hijau. Pelit mempunyai komposisi Chl + Ms + Qtz + Ab
(±cal). Kumpuan mineral tersebut terbentuk pada temperatur 300oC – 425oC. Peningkatan
temperatur dari low sekis hijau – upper sekis hijau ditandai dengan hadirnya biotit, yaitu
pada temperatur 425oC – 450oC. Pada beberapa tempat garnet spesartin memungkinkan
terdapat dalam batuan tersebut, tetapi porfiroblast garnet spesartin hanya terbentuk pada
Tinjauan Pustaka
11
temperatur 450oC – 500oC. Meskipun garnet spesartin mungkin terjadi pada sekis hijau,
adanya garnet almandin merupakan indikasi kondisi fasies epidot amfibolit atau lebih
tinggi. Karakteristik mineral lain pada kondisi fasies sekis hijau – epidot amfibolit adalah
kloritoid. Pemunculan kloritoid mulai terbentuk pada temperatur 525oC – 560oC. pada
temperatur lebih dari 525oC – 560oC, kloritoid keluar membentuk staurolit. Pemunculan
staurolit dan kyanit dalam pelit (mid – amphibolite facies) menunjukkan kondisi P dan T
minimum, yaitu pada temperatur > 550oC dengan tekanan P > 5 kbar. Pada kondisi mid –
amphibolite facies (P = 6 – 8 kbar; T = 600oC – 670oC) kianit merupakan polimorf
dominan, tipikal kumpulan pelit menjadi Ky + Grt + Bt + Olg + Qtz (±Ms). Lebih atas
dari amphibolite facies, masuk ke dalam fasies granulit (P = 7 – 9 kbar; T = 670oC –
800oC), muskovit keluar membentuk k – felspar). Pada temperatur di atas 640oC terjadi
partial melting atau anateksis biasanya terjadi pada pelit dan memberikan pemunculan
granitoid. Masuknya metamorfik kontak, yaitu hadirnya biotit mengindikasikan
temperatur 425oC atau lebih besar. Pada temperatur ini, porfiroblast andalusit umum
dalam litologi pelitik. Andalusit merupakan indikator sangat baik pada kondisi tekanan
rendah. Andalusit tidak stabil di atas P = 4,5 kbar dan merupakan tipikal P < 4 kbar. Di
atas 515oC – 550oC, porfiroblast kordierit terbentuk dan kumpulannya adalah And + Crd
+ Bt. Dalam kasus lain, staurolit berkembang memberikan asosiasi And + St + Bt. Pada P
= 3 kbar, reaksi andalusit – silimanit terbentuk pada temperatur 590oC. Silimanit
prismatik terbentuk pada temperatur lebih tinggi, muskovit pecah dan membentuk k –
felspar. Dalam wilayah fasies sekis biru (tekanan tinggi temperatur rendah) pelit
menunjukkan sedikit reaksi. Pada tekanan menengah mereka dikarakteristikkan oleh
kumpulan fase yang sama dengan fasies sekis hijau. Kumpulan fase pelit fasies sekis biru
adalah Chl + mika putih + Ab + Qtz (±Stp, Cal, Ep + opak (Ilm atau Py).
Tinjauan Pustaka
12
Kog Gabro
KTl
KTs
Tomt
Km
Kose
Tmwt
Teol
KTm Batuan Terbreksikan
Grewake
Komplek Lok Ulo
Batugamping Terumbu
Formasi Totogan
Anggota Tuf Formasi Waturanda
Sekis dan Filit
Serpentinit
Keterangan :
Skala 1 : 1.000.000
(Mod. Asikin,dkk 1992 & Condon, dkk 1996)
Gambar 2.1 Geologi Regional Daerah penelitian yang terletak di kawasan Karangsambung dan Banjarnegara, kabupaten Kebumen, provinsi Jawa Tengah.
Tinjauan Pustaka
13
Gambar 2.2 Stratigrafi regional daerah kompleks melange Lok Ulo, Jawa Tengah (Asikin; 1974
dan Prasetyadi; 2006).
Tinjauan Pustaka
14
Gambar 2.3 komponen utama pada komplek akresi – kolisi Kapur (Wakita, 2000). Kompleks ini
terdistribusi antara sebuah kontinen (Sundaland) dan mikrokontinen (Paternoster, Buton, dll).
Komplek akresi Kapur Akhir terdistribusi di (1) Ciletuh, (2) Karangsambung, (3) Jiwo Hill, (4)
Bantimala, (5) Barru, (6) Latimojong, (7) Pompangea, (8) Meratus, (9) Pulau Laut.
Tinjauan Pustaka
15
Gambar 2.4 Klasifikasi fasies metamorfik menurut Barker (1990). Zeo (fasies zeolit), PP (fasies
prehnit-pumpelit), PrA (fasies prehnit-aktinolit), PA (fasies pumpelit-aktinolit), GS
(fasies sekishijau), EA (fasies epidot amfibolit), AM (fasies amfibolit), BS (fasies
sekis biru), GR (fasies granulit), EC (fasies eklogit).
Tinjauan Pustaka
16
Gambar 2.5 Klasifikasi fasies metamorfik pelitik dan psammitik menurut Barker (1990)
Tinjauan Pustaka
Sekis dan Filit
Serpentinit
Formasi Waturanda
Formasi Totogan
Komplek Lok Ulo
Grewake
Batuan Terbreksikan Teol
Tomt
Gabro
Kose
Km
Kog
Skala 1 : 1.000.000
Keterangan :
Tmwt
Batugamping Terumbu KTm
KTs
KTl
Skala 1 : 10.000.000
(Mod. Asikin,dkk 1992 & Condon, dkk 1996)
Gambar 2.1 Geologi Regional Daerah penelitian yang terletak di kawasan Karangsambung dan Banjarnegara, kabupaten Kebumen, i i h