Upload
nguyennhan
View
257
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Apel (Malus sylvestris Mill)
Deskripsi umum tanaman apel
Apel (Mallus sylvestris Mill) merupakan tanaman buah tahunan yang berasal
dari daerah Asia barat dengan iklim subtropics. Awal tanaman Apel introduksi ke
Indonesia oleh Belanda masih banyak yang meragukan kemungkinan keberhasilan
pertumbuhan buah tanaman apel secara maksimal.
Perkenalan wilayah Malang Raya dengan tanaman Apel dimulai pada tahun
1956 saat seorang peneliti Bapak Widodo membawa bibit apel ke Jawa Timur dari
Cipanas. Setelah melalui beberapa penelitian di daerah Malang Raya akhirnya
tanaman Apel menghasilkan buah pada tahun 1962 (Baskara, 2010).
Menurut Warintek 2011, klasifikasi tanaman Apel adalah.
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Klas : Dicotyledonae
Ordo : Rosales
Famili : Rosaceae
Genus : Malus
Spesies : Malus sylvestris Mill
Tanaman Apel dapat tumbuh dikondisi sub tropis yang memiliki iklim 4
musim, tetapi juga bisa tumbuh di Negara Indonesia. Menurut Baskara (2010)
Tanaman Apel dapat tumbuh dan berbuah baik pada ketinggian 800-1200 mdpl
yang telah dilakukan penelitian di daerah Malang Raya menunjukkan hasil buah
yang tinggi. Curah hujan yang ideal adalah 1000-2600 mm/tahun yang memiliki
6
bulan basah 6-7 bulan dan bulan kering 3-4 bulan. Beberapa varietas apel yang akan
digunakan sebagai bahan eksplan yaitu apel fuji, Gala, Red Delicicous, dan
Manalagi. Buah apel fuji memiliki berat buah ±300 gram, kurang seragam. Bentuk
buah bulat sampai lonjong, berwarna dasar kuning sampai merah hingga berwarna
kemerahan gelap (Yomusa, 2015). Apel fuji merupakan jenis apel yang pertama
kali dikembangkan di Jepang pada era tahun 1930-an. Negara penghasil Apel fuji
terbesar di dunia adalah China. Daging buah bewarna putih kekuningan, keras dan
agak kasar. Kandungan gula sekitar 15%, keasaman 0,4-0,5%. Kekerasan dagung
buah sekitar 15 pounds (Santoso, 2006). Apel fuji memiliki manfaat lain, yaitu
sebagai penurun kolesterol, meningkatkan kekebalan tubuh, mencegah penyakit
kanker dan menurunkan berat badan (Sunpride, 2015). Adapun jenis varietas
tanaman apel yang paling banyak ditemukan dipasaran baik impor maupun lokal
oleh masyarakat yaitu sebagai berikut:
Varietas Red Delicious merupakan jenis apel yang berasal dari Amerika
serikat. Jenis ini berbentuk kerucut, berwarna merah gelap, memiliki rasa yang
manis sedang dan kurang tepat apabila dijadikan pilihan untuk memasak. (Rahayu,
2015). Kelebihan dari kultivar ini adalah tanaman lebih pendek dan dapat tumbuh
dan berbuah dengan cepat. Varietas ini merupakan varietas unggul yang
dikembangkan di Amerika. Hal tersebut terbukti dari data Apple (2008), yang
menyatakan bahwa data produksi nomor satu adalah varietas Red Delicious dengan
nilai rata-rata 61,820 (100 42-lb units).
Varietas Gala merupakan hasil silangan dari varietas Kidds Orange dengan
Golden Delicious. Mulyanti (2011) menyatakan bahwa angka konsumsi apel Gala
menempati peringkat ke 4 pada data buah yang memiliki penjualan tinggi, yaitu
7
1394 kg/tahun. Apel ini disukai masyarakat karena rasanya yang manis, renyah,
beraroma manis tajam dan berpenampilan menarik. Apel ini pernah menjuarai
perlombaan RHS AGM pada tahun 1993 (Orangepippin, 2016). Selain itu, apel
Gala memiliki kelebihan tahan penyakit kanker, embun tepung, bercak, karat dan
sangat tahan terhadap keropeng. Apel ini juga tahan terhadap kutu putih
(Orangepippin, 2016).
Apel Manalagi adalah salah satu dari 2 jenis apel andalan kota Malang. Apel
ini memiliki warna buah tetap hijau kekuningan, berbentuk jorong, pangkal dan
pucuk berlekuk dalam. Rasa apel ini segar dan mempunyai aroma yang kuat.
Daging buahnya berwarna putih halus dan berair. Apel hijau, terutama jenis yang
asam banyak diolah lagi dalam industri besar untuk dibuat menjadi produk awetan
seperti selai (Hanafruits, 2013).
Apel manalagi mempunyai rasa manis walaupun masih muda dan aromanya
harum. Bentuk buahnya bulat dan kulit buahnya berpori putih. Jika dibungkus kulit
buahnya berwarna hijau muda kekuningan, sedangkan jika dibiarkan warnanya
akan tetap hijau. Diameter buah berkisar antara 5-7 cm dan berat 75-100 gram/buah
(Hapsari, 2015).
Apel Romebeauty memiliki kulit tebal, berawarna merah pudar bila terkena
sinar matahari dan tetap hijau bila terlindungi. Lakukan pada pangkal buah agak
dalam, sedangkan lekukan di ujung buah melebar dan dangkal. Bentuk bekas
kelopak bunga yang menempel di ujung buah mendatar dengan ujung terarah
kelima arah. Dalam 100 gram apel Romebeauty terkandung pektin dalam bentuk
kalsium pektat sebesar 0,56 gram (Hapsari, 2015).
8
Perbanyakan tanaman berkayu terdapat beberapa cara perbanyakan secara
vegetative, generative, dan kultur in vitro. Perbanyakan secara vegetative seperti
okulasi, grafting, dan top working. Okulasi adalah cara penyambungan satu mata
tunas sebagai entres (batang atas) dengan batang bawah pada tanaman sejenis
(sefamili), bibit okulasi dapat berbuah mulai umur 3 tahun (Nalia, 2009). Grafting
(sambung pucuk) adalah suatu seni menyambung bagian dari satu tanaman entres
(batang atas) ke bagian tanaman lain batang bawah sedemikian rupa sehingga
tercapai persenyawaan dan kombinasi ini terus tumbuh membentuk tanaman baru.
Top working adalah sistem perbanyakan dengan cara penyambungan
pucuk/temple pada bibit muda yang biasa dilakukan, yang membedakan adalah
pada kondisi bawahnya sudah berwujud pohon yang besar dengan diameter 25 – 30
cm. Sedangkan pada penyambungan bibit muda atasnya berdiameter 0,5-1 cm
(Rebin dkk, 2013).
Kultur in vitro tanaman merupakan teknik menumbuh-kembangkan bagian
tanaman, baik berupa sel, jaringan atau organ dalam kondisi aseptik secara in vitro.
Teknik ini dicirikan oleh kondisi aseptik, penggunaan media kultur buatan dengan
kandungan nutrisi lengkap dan ZPT (Zat Pengatur Tumbuh), serta kondisi ruang
kultur yang suhu dan pencahayannya terkontrol (Yusnita, 2003).
Kelebihan dari perbanyakan vegetative adalah membuat bibit dalam jumlah
yang banyak dan dalam waktu yang relatif singkat, pertumbuhan tanaman yang
seragam, menghasilkan gabungan tanaman baru yang mempunyai keunggulan dari
segi perakaran dan produksinya, memanfaatkan pohon yang minim produksi diubah
menjadi pohon yang lebih produksi (Junior dkk, 2013). Kekurangan dari
perbanyakan secara vegetative menggunakan tenaga ahli, memerlukan entres yang
9
lebih banyak, memerlukan perawatan yang intensif, membutuhkan lahan yang luas
untuk perbanyakannya (Barnes, 1973).
Kelebihan dari kultur in vitro adalah rata-rata multplikasi tinggi, lingkungan
dapat dikontrol atau diubah untuk memenuhi kebutuhan spesifik dari tanaman,
produksi metabolit skunder, terhindar dari jamur, bakteri, dan virus, karena
ditumbuhkan di media yang steril, konservasi spesies tanaman yang terancam, dan
membutuhkan lahan yang tidak terlalu luas (Sidhu, 2010). Kekurangannya adalah
membutuhkan biaya yang mahal karena menggunakan teknologi, peralatan dan
bahan yang mahal, membutuhkan tenaga ahli, pekerjaan yang sangat banyak, dan
membutuhkan listrik tanpa henti.
2.2 Kultur in vitro
Teknik kultur jaringan memiliki dua keutamaan utama yaitu untuk
perbanyakan cepat dalam jumlah yang banyak dan seragam sesuai induknya, dan
untuk menghasilkan bibit yang baru unggul dalam perbaikan tanaman (Matjik,
2005).
Keberhasilan dalam penggunaan metode in vitro terutama disebabkan
pengetahuan yang lebih baik tentang kebutuhan hara sel dan jaringan yang
dikulturkan. Hara terdiri dari komponen utama dan komponen tambahan.
Komponen utama meliputi garam mineral, sumber karbon (gula), vitamin dan
pengatur tumbuh. Komponen lain seperti senyawa nitrogen organik, berbagai asam
organik, metabolit dan ekstrak tambahan tidak mutlak, tetapi dapat menguntungkan
ketahanan sel dan perbanyakannya (Wetter dan Constabel, 1991).
Kultur jaringan akan lebih besar presntase keberhasilannya bila menggunakan
jaringan meristem. Jaringan meristem adalah jaringan muda, yaitu jaringan yang
10
terdiri dari sel-sel yang selalu membelah (Hendrayono dan Wijayanti, 1994). Salah
satu bagian jaringan meristem pada tanaman terdapat pada bagian tunas. Eksplan
berupa tunas pucuk merupakan eksplan yang paling tinggi presentasenya
menghasilkan planlet, terutama jika ditumbuhkan pada media tanpa auksin (Irawati,
2000).
Perbanyakan tanaman menurut Widyastuti (2001) dengan teknik in vitro
memiliki banyak kelebihan yaitu tanaman dapat diperbanyak setiap saat tanpa
tergantung musim karean dilakukan diruang tertutup, daya multiplikasi tinggi dari
bahan tanaman yang kecil, tanaman yang dihasilkan seragam dan bebas penyakit
terutama bakteri dan cendawan.
Kelemahan dari teknik kultur jaringan seperti membutuhkan biaya awal yang
relative tinggi untuk laboratorium dan bahan kimia dan dibutuhkan keahlian khusus
untuk melaksanakannya (Yusnita, 2003). Menurut Rahardja dan Wahyu (2003)
kendala kultur in vitro dalam bahan tanam (eksplan), karena masih adanya
cendawan dan bakteri yang masih ada pada jaringan tanaman.
Kultur jaringan Apel dilakukan melalui multiplikasi tunas, organogenesis dan
embriogenesis somatik. Prosedur multiplikasi tunas lebih sederhana dan
kemungkinan terjadinya keragaman somaklonal lebih rendah dibandingkan dengan
organogeneisis dan embriogenesis somatik karena digunakan eksplan yang
terdeferensiasi. Sebagai bahan eksplan bagi multiplikasi tunas adalah tunas pucuk
dan tunas samping (Sumaryono dkk, 2011).
Laju multiplikasi tunas apel dapat ditingkatkan menggunakan zat pengatur
tumbuh sitokinin atau kombinasi sitokinin dan auksin sebagai hormon eksogen
dalam memacu pembentukan tunas, daun dan ruas tanaman (Samudin, 2009).
11
Multiplikasi tunas atau penggandaan tunas adalah perbanyakan eksplan yang
berasal dari inisiasi kultur mata tunas dimana eksplan dapat ditanam pada media
yang sama tanpa melalui pemindahan media yang baru. Tahap multiplikasi tunas
ini juga merupakan tahap pembentukan tunas adventif dan tunas aksilar yang
tumbuh dari mata tunas adventif secara bersama-sama (Armini et al, 1992). Tunas
adventif adalah tunas yang tumbuh tidak hanya di ujung batang dan ketiak daun.
Tunas ini tumbuh pada bagian yang biasanya tidak yaitu pada akar dan daun
(Cafependidikan, 2016).
Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organic bukan nutrisi yang dalam
konsentrasi rendah mampu mendorong, menghambat atau secara kualitatif
mengubah pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Santoso dan Fatimah, 2003).
Hal serupa dikemukakan oleh Hendaryono dan Wijayanti (1994) zat pengatur
tumbuh pada tanaman adalah senyawa organik bukan hara, yang dalam jumlah
sedikit dapat mendukung, menghambat dan dapat merubah proses fisiologis
tumbuhan. Pengaruh auksin terhadap perkembangan sel menunjukkan adanya
indikasi bahwa auksin dapat menaikkan tekanan osmotik, meningkatkan sintesa
protein, meningkatkan permeabilitas sel terhadap air dan melunakkan dinding sel
yang diikuti menurunnya tekanan dinding sel sehingga air dapat masuk ke dalam
sel yang disertai kenaikan volume sel (Hendaryono dan Wijayanti, 1994)
Zat pengatur tumbuh auksin menurut Kusumo (1984) zat yang memiliki sifat
khas, yaitu mendorong perpanjangan sel pucuk. Meskipun dapat mempengaruhi
proses lain namun pengaruh utamanya adalah memperpanjang sel pucuk. Menurut
Hartman dan Kester (1983) auksin berperan dalam mendorong pemanjangan
kuncup yang sedang berkemabang. Selain itu auksin juga berperan dalam
12
pemanjangan batang, pertumbuhan, diferensiasi, dan percabangan akar. Jenis
auksin yang sering digunakan adalah IAA (Indolacetic acid) yang dihasilkan secara
alami oleh tanaman.
Beberapa peranan ZPT dalam kultur in vitro menurut Widyastuti dan
Donowati (2001) sebagai berikut :
1. Senyawa sintetik yang disintesa diluar jaringan tanaman dan mempunyai
sifat fisiologis dan biokimia yang serupa dengan hormon tanaman adalah
ZPT. Hormon tanaman dan ZPT pada umumnya mendorong terjadi sesuatu
pertumbuhan dan perkembangan.
2. Peranan auksin dalam kultur in vitro terutama untuk pertumbuhan kalus,
suspensi sel, dan pertumbuhan akar. Bersama-sama sitokinin dapat
mengatur tipe morfogenesis yang dikehendaki.
3. Pengaruh sitokinin di dalam kultur in vitro antara lain berhubungan dengan
proses pembelahan sel, proliferasi tunas ketiak, penghambatan
pertumbuhan akar tanaman.
Sitokinin dan auksin memberikan pengaruh interaksi terhadap diferensiasi
jaringan (Hendaryono dan Wijayanti, 1994). Metode Mohr banyak digunakan pada
penelitian terhadap berbagai macam jenis tanaman baik tanaman hias, tanaman
buah-buahan, tanaman sayuran maupun tanaman perkebunan. Metode ini bertujuan
untuk mengetahui berapa dosis kombinasi terbaik antara zat pengatur tumbuh
sitokini dan auksin. Berikut ini disajikan kombinasi kedua macam golongan zat
pengatur tumbuh tersebut di dalam metode Mohr.
13
Tabel 1. Kombinasi Zat Pengatur Tumbuh Golongan Auksin dan Sitokinin dalam
Metode Mohr
No Zat Pengatur Dosis/ppm Kombinasi Perbandingan
Hasil Pertumbuhan Akar saja Akar dan Tunas Tunas Saja
1 Sitokinin 0 1 2 3 4 5
2 Auksin 5 4 3 2 1 0
Sumber : Mohr dan Schopfer (1987)
Menurut Harahap dan Nusyirwan (2014) hasil penelitian tentang induksi
tunas nanas in vitro dengan pemberian dosis auksin dan sitokinin yang berbeda,
perlakuan yang memperlihatkan kombinasi sitokinin BAP 4 ppm dan auksin IAA
0,5 ppm, menghasilkan jumlah tunas tertinggi 11,2 tunas pada pengamatan 14 MST.
BAP merupakan sitokinin sintetik turunan adenine yang distribusi pada posisi
6 yang strukturnya serupa dengan kinetin (Wattimena, 1998). Sitokinin ini sangat
aktif dalam mendorong pertumbuhan kalus. Menurut Pierik (1987) ZPT golongan
sitokinin dan auksin dalam keseimbangannya merupakan kunci keberhasilan
penggunaan teknik kultur jaringan. Berikut rumus bangun BAP dapat dilihat pada
gambar 1.
(a) (b)
Gambar 1. (a) Rumus bangun Benzyl amino purine (Wattimena, 1998) dan
(b) Rumus bangun Indole acetic acid (Subba Rao, 1994).
IAA merupakan salah satu hormon yang berperan untuk memacu
pertumbuhan sepanjang sumbu longitudinal Hal spesifik yang terlihat berupa
peningkatan pembesaran sel yang berlangsung ke segala arah secara isodiametrik.
Auksin juga berperan dalam pembelahan dan pembentangan sel (Wattimena, 1991).
14
Kajian dengan menggunakan hormon tumbuh IAA untuk memacu pertumbuhan
dan perkembangan sel sekretori pada kunyit belum dilakukan. Penelitian serupa
pernah dilakukan oleh Azhar (1991) pada tanaman tembakau. Perlakuan pemberian
IAA akan berpengaruh terhadap fisiologi sel daun meliputi perubahan jumlah
trakea, jumlah stomata, kadar air, kadar nikotin, dan tinggi tanaman.
Menurut Harahap dan Nusyirwan (2014) semakin tinggi konsentrasi sitokinin
BAP yang diberikan, namun jika tidak diberi penambahan auksin (IAA), tidak akan
memberikan respon peningkatan jumlah tunas. Penggunaan kombinasi sitokinin
BAP 4 ppm dan auksin IAA 0,5 ppm menghasilkan jumlah tunas yang tertinggi
11,2 tunas pada umur 14 MST, sedangkan perlakuan BAP 0 ppm dan IAA 0,5 ppm
dengan jumlah tunas rata-rata 6 tunas, nilai rerata tunas dapat dilihat pada gambar
2 (Harahap dan Nusyirwan, 2014).
Gambar 2. Rata-rata jumlah tunas pada umur 14 MST hasil perlakuan Auksin
dan Sitokinin
Eksplan adalah potongan/bagian jaringan yang diisolasi dari tanaman yang
digunakan untuk inisiasi suatu kultur in vitro (Gitonga dkk, 2010). Eksplan yang
digunakan pada teknik mikropropagasi harus bebas dari kontaminan, seperti fungi
dan bakteri. Teknik sterilisasi permukaan banyak yang digunakan untuk
15
menghilangkan kontaminan yang terdapat pada permukaan eksplan (Ardiansyah
dkk, 2014).
Pengaruh subultur berulang kali pada multiplikasi tunas dan pertumbuhan
kurang mendapat perhatian. Menurut Naik dkk (2013) Melakukan subkultur pada
eksplan Bacopa monnieri hingga 10 kali subkultur dapat menurunkan pertumbuhan
tunas, berat segar, dan berat kering. Subkultur yang optimal dilakukan sebanyak 6
kali, dapat meningkatkan pertumbuhan tunas yaitu sebanyak 79 tunas per eksplan,
berat segar yang optimal 2.800 g dan berat kering 0.190 (Naik dkk, 2013).
Macam-macam dari kultur in vitro seperti kultur tunas, kultur kalus, kultur
suspensi, kultur protoplas, dan kultur embrio. Kultur tunas adalah kultur jaringan
yang menggunakan eksplan yang berasal dari organ tumbuhan yang berupa pucuk
bagian mata tunas. Penggunaan mata tunas karena bagian ini termasuk bagian
juvenile dan sel-selnya masih aktif membelah sehingga diharpakan eksplan lebih
mudah diinduksi (Gunawan, 1987).
Kultur tunas ini merupakan salah satu teknik in vitro yang digunakan untuk
perbanyakan tanaman dengan merangsang muncunlnya tunas-tunas aksilar dari
mata tunas yang dikulturkan. Eksplan yang digunakan dalam kultur tunas dapat
berasal dari tunas lateral, tunas samping atau bagian dari batang yang mengandung
satu atau lebih mata tunas (Herawan, 2015).
Kultur kalus adalah jaringan yang muncul pada eksplan dalam beberapa
minggu pemindahan ke media pertumbuhan dengan hormone yang cocok.
Pembentukan kalus terjadi dari proses diferensiasi sel, yang dikenal sebagai
dediferensasi dan redeferensiasi sel. Hormon pertumbuhan yang berbeda
digunakan untuk mreangsang induksi dan perkembangan. Dalam Cephaelis
16
ipecacuanha 2,4-D dan NAA bersama dengan kinetin merangsang induksi kalus
dan pertumbuhan. Tanaman baru berhasil diregenerasikan dari kalus melalui
organogenesis (Sidhu, 2010).
Kultur suspensi terbentuk secara in vitro ketika kalus gembur ditanam pada
media cair dalam wadah yang sesuai dan terus-menerus diinduksi untuk
memberikan suspensi sel gratis. Kultur suspense terdiri dari dua jenis batch dan
continue. Dalam kultur batch sebagian dari suspense sel awal diambil dan di
subkultur pada media segar secara berkala. Dalam kultur continue media segar
ditambahkan kedalam kultur dan sel yang berlebihan suspense yang ada
dikeluarkan pada interval regular. Kultur suspensi secara luas digunakan dalam
produksi skala besar dari metabolit sekunder (Sidhu, 2010).
Kultur protoplas adalah sel-sel tanaman di mana dinding sel telah dihampus
oleh enzim pencernaan atau proses mekanis. Protoplas diisolasi dengan
mencelupkan jaringan tanaman ke dalam larutan hipertonik, menyebabkan
membrane plasma menyusut dari dinding sel. Regenerasi tanaman berhasil dicapai
oleh kultur protoplas di A. Judaica dan E spinosissimus (Sidhu, 2010).
Kultur embrio adalah memisahkan embrio yang belum dewasa dan
menumbuhkanya secara kultur jaringan untuk mendapatkan tanaman yang viable
(Daisy dan Ari, 1994). Memilih embrio sebagai eksplan dikarenakan tersedianya
buah, memiliki keseragaman fisiologis tinggi dan dapat dibawa dalam waktu, jarak
yang cukup panjang (Teixira Sondahl dan Kirby, 1993).
2.3 Kultur Tunas
Kultur tunas ini merupakan salah satu teknik in vitro yang digunakan untuk
perbanyakan tanaman dengan merangsang munculnya tunas aksilar dari mata tunas
17
aksilar dari mata tunas yang dikulturkan. Eksplan yang digunakan dalam kultur
mata tunas yang digunakan dalam kultur tunas berasal dari tunas lateral, tunas
samping atau bagian batang yang mengandung satu atau lebih mata tunas
(Herawan, 2015).
Eksplan mata tunas yang telah tumbuh dengan kisaran panjang 2,5 cm-3,5 cm
dalam kultur tunas tanaman Cendana (Herawan, 2015). Bahan tanam yang
digunakan pada pengaruh komposisi media terhadap inisiasi tanaman Apel Malus
sylvestris Mill) yaitu, tunas tanaman apel steril yang berasal dari kecambah apel
varietas Fuji (Samudin, 2009). Menurut Ghanbari (2014) Eksplan yang digunakan
adalah stek tunggal dipilih sebagai eksplan dari 3 apel batang bawah termasuk
Azayesh-Esfahan and Morabbaeei-Mashhad (Iranian native cultivars) dan M9
sebagai batang bawah kecil. Menurut Medza dkk (2013) Eksplan nodul diambil dari
setidaknya bibit berusia dua bulan yang telah membentuk jumlah minimal empat
node. Semua eksplan khusus dikumpulkan dari luas mulai dari 10 cm dari pangkal
batang dan berakhir pada 5 cm dibawah kuncup apikal.
Metode yang digunakan dalam multiplikasi tunas dari hasil penelitian
Herawan (2015) dengan menggunakan mata tunas yang telah tumbuh dan
berkembang didalam media induksi. Mata tunas ditumbuhkan selama 4 minggu
kemudian disubkultur ke media yang baru. Samudin (2009) dalam inisiasi tanaman
apel menggunakan tunas apel yang berasal dari kecambah apel varietas Fuji.
Ghanbari (2014) pertumbuhan tanaman pada propagasi batang bawah 3 varietas
apel secara in vitro, dengan menggunakan eksplan yang tumbuh selama 3 kali sub
kultur dan memindahkan seluruh eksplan kultur ke dalam media baru. Selanjutnya
18
tahap pengakaran, menggunakan 2 media yang berbeda yaitu media MS dan ½ MS
untuk menumbuhkan akar dari multplikasi tunas.
Zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam kultur tunas pada tanaman
Cendana dari hasil penelitian Herawan (2015) pada tahap perakaran menggunakan
media MS + 20 mg/l IBA + 1 mg/l IAA dan 0,01 mg/l NAA menunjukkan bahwa
rerata tingkat keberhasilan tertinggi mencapai 40% terhadap klon WS6.
Penggunaan larutan garam makro dengan konsentrasi rendah lebih baik dari larutan
dengan konsentrasi tinggi dalam menginduksi perakaran. Fatmawati dkk (2016)
peningkatan multiplikasi jumlah tunas tembakau memiliki hasil yang baik dengan
memberikan kombinasi hormon 0,5 ppm IAA dan 2 ppm BAP dengan
menghasilkan jumlah 34 tunas. Sitokinin sangat penting dalam menginduksi tunas
tembakau, tetapi keseimbangan antara BAP dan IAA sangat penting dalam
menginduksi tunas. Melalui subkultur tunas apel, dengan memperbanyak dan
merangsang pertumbuhan tunas yang berasal dari organ berupa pucuk bagian mata
tunas.
Penggunaan BAP pada tanaman cengkeh dapat meningkatkan inisiasi tunas
cengkeh secara in vitro. Menurut Haris (2013) penggunaan konsentrasi BAP yang
tepat untuk inisiasi tunas adalah 6 ppm, karena dapat mempercepat pembentukan
tunas selama 12 hari. Yatim (2016) dengan menggunakan perbedaan konsentrasi
BAP pada tanaman pisang raja bulu untuk meningkatkan multiplikasi tunas,
menunjukkan konsentrasi 3 ppm BAP memiliki rata-rata jumlah tunas tertinggi
yaitu 6,33 tunas dibandingkan konsentrasi yang lain. IAA sebanyak 0,2 ppm pada
tanaman tembakau berpengaruh terhadap panjang akar dengan rata-rata 36,02
(Ningsih, 2015).
19
Ghanbari (2014) menunjukkan bahwa jenis media dan batang bawah yang
sesuai 1,5 mg L-1 BA menunjukkan tingkat multiplikasi tunas yang maksimum
dengan rata 5,45 tunas per eksplan. Keresa dkk (2012) pengaruh jenis dan
konsentrasi zat pengatur tumbuh yang berpengaruh dalam proliferasi tunas apel
yaitu pada perlakuan B2 (BPM+1mg/L TDZ). Penggunaan perlakuan B2
menunjukkan hasil yang paling baik dengan jumlah tunas per eksplan sebesar 3,6
tunas.
2.4 Kontaminasi dan Browning
Kontaminasi merupakan faktor pembatas dalam keberhasilan kultur
jaringan yang dapat berasal dari bahan tanam/eksplan, organisme kecil yang masuk
ke dalam media, botol kultur dan peralatan yang kurang steril, lingkungan kerja dan
ruang kultur, dan kecerobohan dalam pelaksanaan (Gunawan, 1987). Menurut
Nurwadani (2008) eksplan yang terkontaminasi akan menunjukkan gejala seperti
berwarna putih atau biru (disebabkan jamur) atau busuk berlendir (disebabkan
bakteri). Browning merupakan fenomena pencoklatan yang umum terjadi pada
spesies tanaman berkayu. Tang dan Newton (2004) menyatakan bahwa
pencoklatan jaringan sangat menurunkan regenerasi secara in vitro. George dan
Sherington (1984) menjelaskan bahwa pencoklatan terjadi karena eksplan memiliki
kandungan fenol yang tinggi dan teroksidasi ketika sel dilukai atau terjadi senesens.
20