Upload
others
View
33
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
28
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Kesejahteraan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa
bahwa tugas dari pemerintah Negara Indonesia adalah memajukan kesejahteraan
umum. Istilah “kesejahteraan umum” yang tercantum dalam pembukaan UUD
1945 mempunyai arti yang sama dengan istilah “kesejahteraan sosial” yang
tercantum dalam Bab XIV UUD 1945 (Fahrudin, 2012). Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial, pasal 1
ayat 1 menyatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya
kebutuhan material, spritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan
mampu mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.
Pengertian kesejahteraan yang dimaksud dalam UUD 1945, baik dalam
bagian pembukaan dan Bab XIV serta dalam UU No. 11/2009 mempunyai
padanan secara internasional dengan konsep kesejahteraan menurut Jones (1990),
yaitu “the achievement of social welfare means, first and foremost, the alleviation
of poverty in its manifestations”. Social walfare yang dimaksud dapat diartikan
sebagai kesejahteraan, kesejahteraan umum ataupun kesejahteraan sosial. Ismail
dkk. (2015) mengatakan bahwa kesejahteraan merupakan konsep yang abstrak
karena keberadaannya terkait langsung dengan nilai-nilai hidup dan ideologi yang
dianut oleh seseorang. Kesejahteraan tidak hanya diartikan sebagai ukuran
ketersediaan material, tetapi perlu dikaitkan dengan pandangan hidup
29
bangsa yang dianut. Kesejahteraan bukan hanya menjadi cita-cita individu secara
perorangan, namun juga menjadi tujuan sekumpulan individu yang terhimpun
dalam suatu negara sehingga muncul dua macam kesejahteraan, yaitu
kesejahteraan individu dan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan individu
merupakan kesejahteraan yang dirasakan oleh setiap orang sebagai individu,
sedangkan kesejahteraan masyarakat merupakan kesejahteraan yang dirasakan
oleh semua orang dalam satu kesatuan.
Berdasarkan asal kata, kesejahteraan berasal dari kata “sejahtera” yang
mengandung pengertian dari bahasa Sansekreta “cetera” yang artinya “payung”.
Asal kata ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kesejahteraan yang
terkandung dalam “cetera” adalah orang yang sejahtera, yaitu orang yang dalam
hidupnya bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketakutan, atau kekhawatiran
sehingga hidupnya aman tentram, baik lahir maupun batin (Fahrudin, 2012).
Friedlander (1980) mengatakan bahwa kesejahteraan merupakan sistem yang
terorganisasi yang dilakukan melalui pelayanan-pelayanan dan lembaga-lembaga
sosial dengan tujuan untuk membantu individu dan kelompok agar mencapai
tingkat hidup dan kesehatan yang memuaskan serta hubungan-hubungan personal
dan sosial yang memberi kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan
seluruh kemampuannya dan untuk meningkatkan kesejahteraannya sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakat.
Adi (2013) menyebutkan beberapa paradigma kesejahteraan sosial, salah
satunya adalah paradigma developmental atau model kesejahteraan
developmental. Paradigma ini merupakan konsepsi tentang sistem kesejahteraan
30
sosial yang berdasarkan pada nilai-nilai keadilan sosial (social justice) yang
menekankan pada aspek kesetaraan, kerja sama, dan kemauan untuk saling
berbagi dari anggota masyarakat. Selain itu, Adi menyebutkan bahwa bidang
kesejahteraan sosial dapat dikelompokkan berdasarkan besaran (size) kelompok
yang dituju, yaitu: (1) kesejahteraan individu, (2) kesejahteraan keluarga, (3)
kesejahteraan kelompok, (4) pengembangan kesejahteraan masyarakat lokal, dan
(5) pengembangan kesejahteraan publik secara luas. Menurut Mayo (1998),
masyarakat dapat diartikan dalam 2 (dua) konsep, yaitu masyarakat sebagai
sebuah wilayah geografi yang sama atau tempat bersama dan masyarakat sebagai
kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas atau kepentingan
bersama.
Fahrudin (2012) mengatakan bahwa kesejahteraan berkaitan dengan konsep
kualitas hidup (quality of life). Sementara itu, Midgley (1997), mendefinisikan
bahwa kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi dalam masyarakat, yaitu:
“a state or condition of human well-being that exists when social problems
are managed, when human needs are met, and when social opportunities are
maximized”.
Adi (2013), menyatakan bahwa beberapa parameter umum yang sesuai dengan
kondisi Indonesia yang dapat dipertimbangkan dalam mengukur kesejahteraan
masyarakat, antara lain adalah parameter ekonomi, perumahan, pendidikan,
kesehatan, lingkungan hidup, spritualitas, rekreasional, dan jaminan sosial.
Menurut Lokshin dan Ravallion (2000), kesejahteraan dapat dilihat dari dua
pendekatan, yaitu kesejahteraan objektif dan kesejahteraan subjektif.
Kesejahteraan subjektif dapat menggambarkan berbagai aspek dalam kehidupan,
31
antara lain: lapangan pekerjaan, aktivitas ekonomi, tingkat independensi,
semangat hidup, dan leisure. Milligan, et al (2006) menjelaskan bahwa
kesejahteraan objektif adalah tingkat kesejahteraan individu atau kelompok
masyarakat yang diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu, baik ukuran
ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya. Sementara itu, Suandi (2006)
mengatakan bahwa kesejahteraan subjektif merupakan tingkat kesejahteraan
seorang individu yang dilihat secara personal yang diukur dalam bentuk kepuasan
dan kebahagiaan.
Sen (2000) mengatakan bahwa tingkat kepuasan (satisfication) dapat
menggambarkan tingkat kemampuan seseorang dalam mengevaluasi suatu aksi
dan dapat menjangkau berbagai kelompok kesejahteraan, sedangkan kebahagian
(happiness) hanya dapat dirasakan terhadap berbagai peristiwa pada kelompok
tertentu dalam aksesnya dengan masyarakat dan institusi. Sementara itu, Peck dan
Goodwin (2003) mengatakan bahwa kepuasan individu, keluarga ataupun
masyarakat dapat menggambarkan tingkat kemampuan mengkonsumsi barang dan
jasa serta harapan masa depan. Penelitian yang dilakukan oleh Suandi (2007),
mengukur kesejahteraan subjektif berdasarkan indikator pemenuhan pangan,
pemenuhan nonpangan, dan pemenuhan investasi.
Ransome (2010), dalam Australian Journal of Social Issues, mengatakan
bahwa Amartya Sen mengusulkan pendekatan ‘kapabilitas’ untuk kesejahteraan
pribadi berdasarkan kebebasan dalam memilih. Penciptaan potensi atau
kemampuan manusia dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan keluarga.
Kapabilitas merupakan elemen penting dan paling mendasar dari seorang
32
manusia. Melalui peningkatan kapabilitas atau kemampuan yang dimilikinya,
manusia mampu merespon peluang-peluang yang ada sehingga dapat
mempengaruhi perubahan sosial dan ekonominya. Menurut Sen (2006), barang
primer dan pendapatan, serta kebebasan dan basis sosial harga diri merupakan
informasi penting dalam membandingkan kesejahteraan antarindividu. Meskipun
demikian, kepemilikan barang primer tidak cukup membuat perbandingan
interpersonal atas kesejahteraan. Apabila kesuksesan ekonomi hanya ditentukan
oleh pendapatan dan indikator-indikator kemewahan tradisional serta kesehatan
finansial maka tujuan utama bagi tercapainya kesejahteraan telah gagal.
Kesejahteraan harus bertumpu pada basis informasi yang lebih luas dari preferensi
individu, yaitu perbandingan interpersonal kesejahteraan.
Inti kesejahteraan menurut Sen (2006) adalah kapabilitas. Setiap masyarakat
mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan program bagi setiap
warganya, khususnya anak-anak dan gender sehingga mereka dapat mencapai
pemenuhan kebutuhan maksimal dan berkembang menjadi manusia yang capable.
Semakin besar kapabilitas maka semakin besar pula kebebasan dalam merespon
peluan-peluang yang ada. Pengembangan kemampuan (kapabilitas) manusia
berkaitan dengan peningkatan harapan hidup, bebas dari buta huruf, kesehatan,
dan pendidikan dalam masyarakat. Kapabilitas memungkinkan manusia untuk
dapat menjalani hidup yang lebih bermakna (sejahtera).
Teori kesejahteraan dengan pendekatan kapabilitas sejalan dengan konsep
keberdayaan. Menurut Mardikanto dan Soebianto (2015), dalam pemberdayaan
terdapat proses peningkatan kemampuan (kapabilitas) dan sikap kemandirian
33
masyarakat dalam memperbaiki mutu hidup atau kesejahteraan setiap individu
dan masyarakat. Kapabilitas dapat pula dimaknai sebagai keberdayaan individu
atau organisasi dalam mewujudkan kesejahteraan bagi kehidupannya.
Kartasasmita (1996) menyatakan bahwa keberdayaan merupakan unsur-unsur
yang memungkinkan individu, organisasi atau masyarakat bertahan (survive) dan
dinamis serta dapat mengembangkan diri mencapai tujuan atau kesejahteraan
hidupnya.
Tingkatan keberdayaan menurut Huraerah (2007), diantaranya adalah
terpenuhinya kebutuhan dasar dan adanya penguasaan serta akses terhadap
berbagai sistem dan sumber yang diperlukan, serta kesadaran akan berbagai
potensi, kekuatan, dan kelemahan diri serta lingkungan. Hal ini dapat terjadi jika
setiap individu, organisasi atau masyarakat memiliki kemampuan mengolah dan
memanfaatkan modal yang dimilikinya, seperti modal keuangan (financial
capital), modal sosial (social capital), dan modal intelektual (intellectual capital).
Dowling dan Fang (2007) mengutip pendapat Putnam bahwa modal sosial (social
capital) dapat meningkatkan sikap dan memberikan kontribusi dalam
memperbesar kebahagiaan dan kesejahteraan. Sementara itu, Stewart (1997),
mengatakan bahwa modal intelektual (intellectual capital) merupakan material
intelektual pengetahuan, informasi, kekayaan intelektual, dan pengalaman yang
dapat diambil untuk digunakan dalam menciptakan kesejahteraan.
Berbagai literatur ekonomi menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan
istilah yang kompleks karena tidak hanya terkait dengan konsep material yang
bersifat kuantitatif, namun terkait pula dengan konsep nonmaterial yang bersifat
34
kualitatif yang melibatkan nilai-nilai pandangan hidup suatu masyarakat. Oleh
karena itu, dalam pengukuran kesejahteraan harus memperhatikan keseimbangan
antara unsur material dan nonmaterial. Secara ringkas, kedua unsur tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut (Ismail dkk, 2015).
1) Unsur material
Unsur material terdiri dari kebutuhan fisik dan sosial. Kebutuhan fisik
(badan) berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia dalam
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kebutuhan tersebut adalah sandang
(pakaian), pangan (makanan), dan papan (perumahan/tempat tinggal).
Adapun kebutuhan sosial merupakan kebutuhan dasar manusia dalam
berinteraksi dengan manusia lainnya. Kebutuhan tersebut adalah pendidikan,
kesehatan, komunikasi, dan transportasi.
2) Unsur nonmaterial
Unsur nonmaterial terkait dengan kesejahteraan batiniah. Unsur kesejahteraan
ini adalah kebutuhan spritual, keamanan jiwa/kehidupan, serta kemurnian dan
kesempurnaan akal.
Pengukuran tingkat kesejahteraan, baik kesejahteraan individu, masyarakat
ataupun kesejahteraan rakyat dapat menggunakan berbagai pendekatan beserta
indikator-indikatornya. Beberapa pendekatan yang digunakan untuk mengukur
kesejahteraan secara makro dapat diuraikan sebagai berikut.
1) Pendekatan pengukuran kesejahteraan rakyat/masyarakat menurut Badan
Pusat Statistik (BPS).
Komponen-komponen yang menjadi indikator kesejahteraan menurut BPS
adalah kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf
35
dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, kemiskinan, serta indikator
sosial lainnya.
2) Pendekatan pengukuran kesejahteraan dengan menggunakan Indeks
Kesejahteraan Rakyat (IKraR)
Pengukuran tingkat kesejahteraan rakyat dengan menggunakan Indeks
Kesejahteraan Rakyat (IKraR) dikembangkan oleh Kementerian Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia yang diluncurkan pada
tanggal 21 Maret 2012. Indeks ini digunakan untuk mengukur tingkat
kesejahteraan rakyat di Indonesia. Selain itu, IKraR digunakan juga untuk
mengukur keberhasilan pembangunan inklusif dan ketersediaan akses
terhadap pemenuhan hak-hak dasar rakyat di Indonesia. IKraR dibentuk oleh
3 (tiga) dimensi dengan 22 indikator, yaitu.
(1) Dimensi keadilan sosial
Dimensi ini mengukur keadilan dalam pemenuhan kebutuhan dasar,
perbaikan aksesibilitas, serta pengurangan kesenjangan sosial di
masyarakat. Indikatornya meliputi akses listrik, akses berobat, rekreasi,
lama sekolah bagi penduduk lebih dari usia 15 tahun, pemanfaatan
jaminan sosial, angka harapan hidup, akses air bersih, akses pada sanitasi,
pengeluaran per kapita lebih besar dari garis kemiskinan, dan tingkat
pemerataan pendapatan.
(2) Dimensi keadilan ekonomi
Dimensi ini mengukur keadilan kepemilikan dan aksesibilitas rakyat
terhadap sumber daya ekonomi untuk mencapai kesejahteraanya.
36
Indikatornya meliputi kepemilikan rumah sendiri, usia penduduk lebih
dari 15 tahun yang bekerja, rasio pengeluaran terhadap garis kemiskinan,
rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, akses kepada sumber daya ekonomi, rasio biaya
pendidikan terhadap total pengeluaran, dan rasio biaya kesehatan terhadap
total pengeluaran.
(3) Dimensi demokrasi
Dimensi ini mengukur kemajuan pembangunan demokrasi yang
menjamin hak rakyat berpartisipasi dalam keseluruhan proses
pembangunan secara mandiri tanpa diskriminasi. Indikatornya meliputi
akses informasi, rasa aman, kebebasan sipil, hak politik, dan lembaga
demokrasi.
3) Pendekatan pengukuran kesejahteraan menurut United Nation Development
Programe (UNDP)
Pengukuran tingkat kesejahteraan rakyat/masyarakat menurut UNDP
dilakukan berdasarkan perhitungan Human Development Index (HDI) atau
Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks ini dibentuk oleh 3 (tiga)
dimensi dasar, yaitu.
(1) Dimensi kesehatan (indeks kesehatan)
Dimensi kesehatan diukur melalui Angka Harapan Hidup Saat Lahir
(AHH) yang didefiniskan sebagai rata-rata perkiraan banyak tahun yang
dapat ditempuh oleh seseorang sejak lahir. Angka Harapan Hidup
mencerminkan derajat kesehatan suatu masyarakat.
37
(2) Dimensi pengetahuan (indeks pengetahuan)
Dimensi pengetahuan diukur melalui Harapan Lama Sekolah (HLS) dan
Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Angka Harapan Lama Sekolah
didefinisikan sebagai lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharapkan
akan dirasakan oleh anak pada umur tertentu di masa yang akan datang
(dihitung untuk penduduk 7 tahun ke atas). Adapun, RLS didefinisikan
sebagai jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk dalam menjalani
pendidikan formal (dihitung untuk penduduk berusia 25 tahun ke atas).
(3) Dimensi standar hidup layak (indeks pengeluaran)
Dimensi standar hidup layak diukur melalui pengeluaran per kapita
disesuaikan yang ditentukan dari nilai pengeluaran per kapita dan paritas
daya beli.
2.2 Teori Kinerja
2.2.1 Pengertian Kinerja
Mangkunegara (2010) menyatakan bahwa kinerja merupakan kemampuan
atau prestasi yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan dan sesuai dengan standar yang
ditetapkan. Gibson (1997) menyatakan bahwa kinerja organisasi atau perusahaan
merupakan indikator tingkatan prestasi yang dapat dicapai serta mencerminkan
keberhasilan manajer/pengusaha. Menurut Brahmasari (2004), kinerja merupakan
pencapaian atas tujuan organisasi yang dapat berbentuk output kuantitatif maupun
38
kualitatif, kreatifitas, fleksibilitas, dapat diandalkan atau hal-hal lain yang
diinginkan oleh organisasi.
Pengukuran kinerja dapat bersifat jangka pendek maupun jangka panjang,
juga dapat dilakukan pada tingkatan individu, kelompok ataupun organisasi.
Menurut Handoko (2003), kinerja merupakan perilaku/tindakan yang sesuai dan
sejalan dengan tujuan organisasi, dimana penilaian kinerja dapat dilakukan oleh
ahlinya. Chasanah (2008) mengatakan bahwa kinerja dapat pula disebut sebagai
prestasi kerja yang merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perusahaan.
Secara keseluruhan kinerja merupakan hasil yang diperoleh dari perilaku anggota
suatu organisasi.
Penilaian dan pengukuran kinerja dapat bermanfaat bagi organisasi atau
perusahaan untuk mengetahui kinerja organisasi sehingga dapat membentuk suatu
organisasi/perusahaan yang lebih berkualitas. Sehubungan dengan kinerja
koperasi, Ropke (1989) mengatakan bahwa tujuan koperasi adalah sukses yang
meliput: sukses usaha, sukses keanggotaan, dan sukses pengembangan. Metode
pengukuran dan penilaian kinerja koperasi bermacam-macam, diantaranya yang
dikemukan oleh Paitandi (2014) dalam Indian Journal Of Applied Research, yaitu
teknik analisis kinerja sosial-ekonomi koperasi dengan menggunakan metode
antara lain: analisis tabulasi, analisis laju pertumbuhan, analisis rasio, analisis
kecukupan modal, dan analisis Strenghts, Weaknesses, Opportunities, Thereats
(SWOT).
Banyak faktor yang menentukan kinerja koperasi, antara lain yang tercantum
dalam PERMEN Koperasi dan UKM No. 21/Per/M.KUKM/IX/2015 yang terdiri
39
dari aspek kelembagaan, usaha, keuangan, dan manfaat, serta faktor-faktor lainnya
yang berhubungan dengan lingkungan internal dan eksternal koperasi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Republik Indonesia (PERMEN Nomor 14/Per/M.KUKM/XII/2009), khusus untuk
penilaian kesehatan (kinerja) Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan
Pinjam (USP) koperasi ditentukan oleh 7 (tujuh) aspek, yaitu: permodalan,
kualitas aktiva produktif, manajemen, efisiensi, likuiditas, kemandirian, dan
pertumbuhan serta jati diri koperasi. Penilaian aspek-aspek yang menentukan
kinerja tersebut menggunakan nilai yang dinyatakan dalam angka 0 sampai
dengan 100, dimana masing-masing aspek dan komponennya memiliki bobot
yang telah ditetapkan.
2.2.2 Pengukuran kinerja
Analisis kinerja koperasi dapat menggunakan berbagai cara, antara lain
analisis statistik deskriptif, analisis statistik induktif, analisis Balanced Scorecard
(BSC) atau melalui pengukuran Cooperative Performance Index (CPI).
Pengukuran kinerja koperasi dengan menggunakan metode Balanced Scorecard
(BSC), mengabungkan aspek-aspek finansial dan nonfinansial. Menurut Hansen
dan Mowen (2009), BSC merupakan sistem manajemen kinerja terintegrasi yang
menghubungkan berbagai tujuan dan ukuran kinerja serta strategi organisasi.
Aspek-aspek yang menjadi tolak ukur kinerja diidentifikasi sebagai faktor-faktor
yang turut menentukan kinerja organisasi, dalam hal ini adalah koperasi. Kaplan
40
dan Norton (1996) menyatakan 4 (empat) perspektif atau aspek pengukuran
kinerja dengan menggunakan BSC, yaitu.
1) Aspek keuangan (financial)
Gekonge (2005) menyatakan bahwa ukuran kinerja berdasarkan aspek
keuangan mencakup peningkatan struktur biaya, peningkatan pemanfaat aset
melalui strategi peningkatan produktivitas, pertumbuhan pendapatan, dan
efisiensi biaya. Pengukuran kinerja koperasi dari aspek keuangan dapat
dilihat dari Sisa Hasil Usaha (SHU) dan rasio keuangan diantaranya adalah
Return On Equity (Surya, 2014). Dalam Undang-Undang RI Nomor 25 tahun
1992, Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi dinyatakan sebagai pendapatan
koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurangi dengan biaya,
penyusutan, dan kewajiban lainnya termasuk pajak dalam tahun buku yang
bersangkutan. Sementara itu, Return On Equity (ROE) merupakan rasio
keuangan yang mengukur jumlah keuntungan yang dihasilkan oleh koperasi
dibandingkan dengan modal yang ada.
2) Aspek Pelanggan (customer)
Pelanggan (custumer) dalam koperasi adalah anggota yang juga sebagai
pemilik koperasi. Pengukuran kinerja berdasarkan aspek pelanggan
menggambarkan kemampuan organisasi dalam menyediakan barang dan jasa
yang berkualitas, efektif dalam pengirimannya, keseluruhan pelayanan
kepada pelanggan, dan kepuasan pelanggan (Gekonge, 2005). Perhatian
pelanggan biasanya terpusat pada empat kategori, yaitu: waktu, kualitas,
pelayanan, serta biaya (Kotler dan Armstrong, 2004). Faktor yang
41
mempengaruhi kinerja dari perspektif pelanggan dapat diukur melalui
pertumbuhan anggota sebagai pelanggan dan tingkat kepuasan pelanggan
terhadap produk dan layanan koperasi.
3) Aspek proses bisnis internal (internal business process)
Proses bisnis internal merupakan pengukuran kinerja yang berfokus pada
kegiatan organisasi dalam memberikan kepuasan pelayanan kepada
pelanggan baik dalam bentuk produk atau jasa sesuai bisnis yang dikelola
oleh organisasi (Giannopoulos, et al, 2013). Sementara itu, Surya (2014)
mengatakan bahwa pengukuran kinerja berdasarkan proses bisnis internal
dilakukan untuk mengetahui apakah koperasi mampu mengembangkan
produk atau jasa sesuai dengan kebutuhan pelanggan.
4) Aspek pembelajaran dan pertumbuhan (learning and growth)
Pengukuran kinerja dengan metode BSC melalui perspektif pembelajaran dan
pertumbuhan difokuskan pada kemampuan dan keterampilan perusahaan
dalam menciptakan keunggulan proses bisnis internal yang memberikan nilai
bagi pelanggan dan shareholders. Beberapa faktor yang dijadikan ukuran
dalam menilai kinerja dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, antara
lain: pendidikan dan tingkat keterampilan karyawan serta tingkat kepuasan
dan retensi karyawan (Giannopoulos, et al, 2013). Sehubungan dengan
koperasi, Surya (2014) menyatakan bahwa aspek pembelajaran dan
pertumbuhan dapat diukur berdasarkan produktivitas karyawan dan tingkat
kepuasan karyawan.
42
Berdasarkan kajian empiris dari berbagai literatur ilmiah, diidentifikasi
berbagai faktor yang menentukan kinerja koperasi, yaitu.
1) Prinsip-prinsip koperasi
Prinsip koperasi merupakan pedoman bagi koperasi dalam melaksanakan
nilai-nilai koperasi dalam praktek. Menurut penelitian yang dilakukan oleh
Chrispinus (2014), prinsip-prinsip koperasi menentukan kinerja.
2) Sumber daya (resources)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Soetjipto (2015), sumber
daya merupakan segala sesuatu, baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud yang digunakan untuk mencapai hasil. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Sumiati (2014) pada koperasi simpan pinjam di Jawa Timur,
diketahui bahwa sumber daya turut mempengaruhi kinerja koperasi secara
signifikan dan positif.
3) Partisipasi anggota
Partisipasi anggota merupakan pelaksanaan kewajiban dan hak sebagai
anggota (Limbong, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Wicaksongko
(2000) menunjukkan bahwa partisipasi anggota berpengaruh signifikan
terhadap kinerja koperasi.
4) Komitmen anggota
Samson (2010) mengatakan bahwa salah satu aspek penting dari anggota
koperasi adalah komitmen atau loyalitas. Tanpa hal tersebut koperasi tidak
dapat berfungsi dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Chrispinus
43
(2014) menunjukkan bahwa komitmen anggota mempengaruhi kinerja
koperasi.
5) Struktur organisasi
Undang-Undang RI Nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian menyatakan
bahwa struktur organisasi koperasi di Indonesia terdiri dari: (1) unsur-unsur
alat perlengkapan organisasi koperasi, yaitu: rapat anggota koperasi, pengurus
koperasi, dan pengawas koperasi, (2) unsur-unsur pelaksana teknis, yaitu:
manajer dan karyawan koperasi, dan (3) unsur penasihat (dewan penasihat)
jika diperlukan oleh koperasi. Penelitian yang dilakukan oleh Sumiati (2014)
menyatakan bahwa struktur organisasi merupakan bagian dari variabel
lingkungan internal koperasi, berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja koperasi.
6) Budaya
Budaya organisasi mencerminkan nilai-nilai dari pendiri perusahaan dan misi
dari perusahaan. Budaya organisasi dalam koperasi merupakan kumpulan
nilai-nilai, keyakinan-keyakinan atau harapan-harapan yang dimiliki oleh
anggota koperasi yang turun temurun diwariskan kepada para anggota
ataupun karyawan koperasi. Unsur-unsur budaya organisasi antara lain
kepercayaan, harapan (expectation), dan nilai-nilai. Budaya organisasi yang
merupakan bagian lingkungan internal koperasi memiliki pengaruh signifikan
dan positif terhadap kinerja koperasi (Sumiati (2014).
44
7) Lingkungan masyarakat
Lingkungan masyarakat (societal environment) merupakan kekuatan di luar
organisasi atau perusahaan yang secara umum tidak langsung menyentuh
kegiatan-kegiatan organisasi dalam jangka pendek, namun berpotensi
mempengaruhi organisasi dalam jangka panjang. Lingkungan masyarakat,
antara lain dipengaruhi oleh: (1) kekuatan-kekuatan ekonomi, (2) kekuatan-
kekuatan teknologi, (3) kekuatan-kekuatan politik-hukum, dan (4) kekuatan-
kekuatan sosial budaya. Lingkungan masyarakat berpengaruh terhadap
kinerja koperasi (Sumiati, 2014).
8) Kompetitor
Kompetitor diidentifikasi sebagai salah satu faktor yang menentukan kinerja
koperasi. Berdasarkan penelitian Subari (2012) diketahui bahwa kompetitor
dapat diatasi jika koperasi konsisten dalam membangun sistem pasar
bersaing.
9) Dukungan pemerintah daerah
Dukungan pemerintah daerah terhadap koperasi berhubungan dengan
kebijakan-kebijakan pemerintah yang dapat mendorong pertumbuhan dan
perkembangan koperasi serta pemberdayaan koperasi bagi kepentingan
anggota (Sumiati, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Subari (2012),
menyatakan bahwa dukungan pemerintah daerah turut menentukan kinerja
koperasi, namun bersifat tidak mutlak.
45
10) Frekuensi pembinaan
Pembinaan koperasi tercantum dalam Undung-Undang RI nomor 25 tahun
1992 tentang perkoperasian. Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan
bahwa pemerintah menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang
mendorong pertumbuhan serta pemasyarakatan koperasi. Selain itu,
pemerintah memberikan bimbingan, kemudahan, dan perlindungan terhadap
koperasi. Penelitian yang dilakukan oleh Wicaksongko (2000) menunjukkan
bahwa peran pemerintah dalam hal pembinaan sangat penting bagi
peningkatan kinerja koperasi.
2.3 Teori Keberdayaan
Keberdayaan merupakan suatu kondisi ataupun hasil dari suatu proses atau
aktivitas pemberdayaan. Oleh karena itu, konsep tentang keberdayaan selalu
berhubungan dengan pemberdayaan (empowerment). Suharto (2014), menyatakan
bahwa pemberdayaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau
keberdayaan) sehingga secara konseptual pemberdayaan terkait dengan konsep
kekuasaan. Daya merupakan kata dasar dari keberdayaan memiliki arti kekuatan
yang berasal dari dalam, tetapi dapat pula diperkuat melalui unsur-unsur dari luar
(Theresia dkk, 2014).
Keberdayaan merupakan suatu kondisi dimana individu memiliki kekuasaan
atau kemampuan (daya/power) untuk memaksimalkan potensi-potensi yang
dimilikinya untuk mencapai kesejahteraan. Menurut Kartasasmita (1996),
keberdayaan merupakan unsur-unsur yang memungkinkan, individu, organisasi
46
atau masyarakat bertahan (survive) dan dinamis, serta dapat mengembangkan diri
mencapai tujuan atau kesejahteraan hidupnya. Menurut Tjandraningsih (1996),
pemberdayaan mengutamakan usaha sendiri dari orang yang diberdayakan untuk
meraih keberdayaannya.
Luttrell, et al (2009) mengatakan bahwa banyak pendapat yang menyatakan
bahwa pemberdayaan sebagai proses dan hasil. Pemberdayaan sebagai proses
difokuskan pada peningkatan kapasitas organisasi atau peningkatan partisipasi
kelompok, sedangkan pemberdayaan sebagai hasil, difokuskan pada peningkatan
ekonomi dan akses terhadap sumberdaya ekonomi. Menurut Suharto (2014),
pemberdayaan merujuk pada kemampuan individu, khususnya kelompok lemah
sehingga memiliki kekuatan atau kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar,
menjangkau sumber-sumber produktif, dan berpartisipasi dalam proses
pembangunan. Ife (1995) menyatakan bahwa pemberdayaan (empowerment)
adalah:
“a process of helping disadvantaged groups and individual to compete more
effectively with other interests, by helping them to learn and use in lobbying,
using the media, engaging in political action, understanding how to ‘work
the system,’ and so on”.
Mardikanto dan Soebianto (2015) menyatakan bahwa pemberdayaan
merupakan upaya peningkatan kemampuan masyarakat (miskin, marjinal, dan
terpinggirkan) untuk menyampaikan pendapat atau kebutuhannya, pilihan-
pilihannya, berpartisipasi, bernegosiasi, mempengaruhi dan mengelola
kelembagaan masyarakatnya secara bertanggung jawab demi perbaikan
kehidupannya. Mengacu pada berbagai pengertian tentang pemberdayaan maka
keberdayaan dapat dikatakan sebagai kemampuan untuk memperbaiki mutu hidup
47
atau kesejahteraan setiap individu dan masyarakat yang antara lain dapat dilihat
melalui perbaikan ekonomi (ketercukupan pangan), perbaikan kesejahteraan sosial
(pendidikan dan kesehatan), kebebasan dari segala bentuk penindasan, kehidupan
yang aman, serta terjaminya hak asasi manusia. Inti dari keberdayaan adalah
kemampuan dan kemandirian individu, kelompok atau organisasi dalam
memaksimalkan potensi-potensi yang dimilikinya untuk mencapai kesejahteraan.
Keberdayaan/kekuasaan (power) merupakan asal kata dari pemberdayaan/
pemberkuasaan (empowerment). Pemberdayaan dapat meningkatkan kemampuan
setiap individu, terutama kelompok rentan dan lemah sehingga memiliki
kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki
kebebasan (freedom), dapat mengakses sumber produktif untuk peningkatan
pendapatan, memperoleh barang dan jasa yang dibutuhkan, serta dapat
berpartisipasi dalam proses pembangunan yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Pemberdayaan merupakan proses dan tujuan. Pemberdayaan sebagai tujuan
mengacu pada hasil yang dicapai oleh perubahan sosial, antara lain: masyarakat
yang berdaya, mempunyai kekuasaan, memiliki pengetahuan, dapat memenuhi
kebutuhan hidup yang bersifat fisik, ekonomi dan sosial, mampu menyampaikan
aspirasi, memiliki mata pencaharian, berpartisipasi dalam kehidupan sosial, serta
memiliki kemandirian dalam aktivitas kehidupannya (Suharto, 2014). Sementara
itu, merujuk pada Mardikanto dan Soebianto (2015), pemberdayaan sebagai
proses, merupakan kemampuan individu, kelompok, atau masyarakat untuk
berpartisipasi dalam memperoleh kesempatan atau mengakses sumber daya yang
diperlukan untuk memperbaiki kualitas hidup. Pemberdayaan merupakan proses
penguatan kapasitas dan proses pengembangan partisipasi. Penguatan kapasitas
48
merupakan peningkatan kemampuan individu, kelompok atau organisasi dalam
berperan sesuai dengan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan.
Dalam organisasi, penguatan kapasitas ditekankan pada pengembangan kualitas
organisasi. Adapun, pengembangan partisipasi merupakan keikutsertaan atau
peran serta individu, kelompok ataupun organisasi dalam suatu kegiatan, proses
atau tujuan tertentu. Pemberdayaan harus menciptakan kreativitas dan
kemandirian demi terciptanya kesejahteraan dan peningkatan harkat hidup
manusia.
Berbagai konsep dan definisi tentang pemberdayaan yang dikutip dari
Ibrahim dan Alkire (2007) dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Konsep dan Definisi Pemberdayaan
Study Definition or Concept of Empowerment
Alsop (2006) Empowerment is defined as a group’s or individual’s capacity to make
effective choice, that is, to make choices and then to transform those
choices into desire actions and outcome
Brown (2003) Providing empowerment opportunities as necessary prerequisites to
altering a person’s potential reallity and giving people the means to
better themselves
Gootaert (2005) Expanding assets and capabilities of poor people to participate in,
negotiatie with, influence, control, and hold accountable institutions that
effect their lives
Lokshin and
Ravallion (2003)
Taking actions that selectively empower those with little power to
redress power inequality
Malena (2003) Enabling or giving power to (whom) to do (what)
Narayan (2005) The expansion of assets and capabilities of poor people to participate in,
negotiate with, influence, control, and hold accountable institutions that
effect their lives
Rowlands (1997) Empowerment is more than participation in decision-making; it must
also include the processes that lead people to percieve themselves as
able and entitled to make decisions
Sumber: Ibrahim dan Alkire (2007)
49
Sementara itu, Mardikanto (2003) menyatakan bahwa pemberdayaan merupakan:
“proses perubahan sosial, ekonomi, dan politik untuk memberdayakan dan
memperkuat kemampuan masyarakat melalui kerja sama yang partisipatif
agar terjadi perubahan perilaku pada diri semua stakeholders (individu,
kelompok, dan kelembagaan) yang terlibat dalam proses pembangunan demi
terwujudnya kehidupan yang semakin berdaya, mandiri, dan partisipatif yang
semakin sejahtera secara berkelanjutan”
Menurut Rappaport (1984), pemberdayaan merupakan suatu cara yang dilakukan
untuk mengarahkan rakyat, komunitas, dan organisasi agar memiliki kemampuan
untuk menguasai atau berkuasa atas kehidupannya.
Csaszar (2004) mengungkapkan bahwa konsep tentang keberdayaan (power)
sangat kompleks, terkait dengan kapasitas, fenomena rasional, dan struktural.
Keberdayaan merupakan kekuatan individu atau kelompok yang dapat
melemahkan atau memberdayakan warga negara ataupun organisasi. Theresia
dkk. (2014) mengatakan bahwa pengertian power dalam dunia bisnis berhubungan
dengan kemampuan dan produktivitas. Rowland (1997) menyatakan bahwa:
“true power cannot be bestowed: it comes from within. Any notion of
empowerment being ‘given’ by one group to another hides an attempt to keep
control”.
Pemahaman tentang keberdayaan (power) berhubungan dengan pendekatan
Amartya Sen tentang kapabilitas. Sen (1995), menegaskan bahwa orang tidak
bebas ketika mereka tidak memiliki kekuatan atau keberdayaan (power) dalam
menentukan pilihan tentang kehidupan mereka. Penelitian yang dilakukan oleh
Widjajanti (2011), menyatakan bahwa keberdayaan masyarakat, antara lain dapat
diukur melalui: (1) kemampuan dalam pengambilan keputusan, (2) kemandirian,
dan (3) kemampuan memanfaatkan usaha untuk masa depan.
50
Rowland (1997), mengkategorikan hubungan kekuasaan atau keberdayaan
(power) menjadi 4 (empat) jenis, yaitu.
1) Power to (organise and change existing hierarchies)
Csaszar (2004), mengemukakan bahwa power to mengacu pada potensi/
kemampuan dari setiap individu dalam membentuk kehidupan dan
lingkungannya. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan setiap individu dalam
mengenali kepentingannya dan menyadari bahwa mereka memiliki kekuatan
atau kemampuan dalam membentuk suatu keadaan untuk mencapai suatu
situasi yang lebih baik dan lebih menguntungkan bagi kepentingan dan
kehidupan mereka.
2) Power within (increased individual consciousness)
Power within menyangkut self-worth dan self-knowledge. Csaszar (2004)
mengatakan bahwa power within sebagai kemampuan untuk membangun dan
memiliki harapan serta percaya bahwa seseorang cukup kuat dan memiliki
kesempatan untuk merubah kehidupannya. Power within merupakan kekuatan
spritual yang dimiliki oleh setiap manusia. Penerimaan diri dan harga diri
merupakan dasar dari keberdayaan ini.
3) Power over (ability to influence and coerce)
Luttrell, et al (2007) mendefinisikan power over sebagai “the ability to
coerce and influence the actions and thoughts of the powerless”. Gambaran
power over dalam kemampuan ekonomi, antara lain etnis minoritas
meningkatkan kemampuan mereka dalam menentang diskriminasi dalam
akses sumber daya dan pasar.
51
4) Power with (increased power from collective action)
Power with merupakan kemampuan kolaborasi dan bekerja sama diantara
individu sehingga lebih memiliki rasa kebersamaan dalam membangun
kekuatan kolektif. Power with didasarkan pada kerja sama, solidaritas, saling
mendukung, dan kemampuan yang terbentuk dari berbagai bakat dan
pengetahuan individu (Csaszar, 2004)
Longwe (1991), menjelaskan perbedaan tingkatan pemberdayaan yang
diurutkan dari tingkatan paling atas sampai dengan paling rendah, yaitu.
1) The welfare ‘degree’: where basic needs are satisfied. This does not
necessarily require structural causes to be addressed and tends to view
those involved as passive recipients.
2) The access ‘degree’: where equal access to education, land and credit is
assured.
3) The onscientisation and awareness-raising ‘degree’: where structural and
institutional discrimination is addressed.
4) The participation and mobilisation ‘degree’: where the equal taking of
decisions is enabled.
5) The control ‘degree’: where individuals can make decisions and these are
fully recognised.
Suharto (2014), mengungkapkan bahwa keberhasilan pemberdayaan dapat
dilihat dari keberdayaan individu atau masyarakat tentang kemampuan ekonomi,
kemampuan mengakses kesejahteraan, dan kemampuan kultural dan politis.
Ketiga aspek kemampuan tersebut dikaitkan dengan 4 (empat) dimensi
keberdayaan menurut Rowland (1997), yaitu: power to, power with, power over
dan power within. Indikator keberdayaan menurut Suharto (2014), disajikan pada
Tabel 2.2.
52
Tabel 2.2
Indikator Keberdayaan
Jenis Hubungan
Kekuasaan Kemampuan Ekonomi
Kemampuan
Mengakses Manfaat
Kesejahteraan
Kemampuan Kultural
dan Politis
Power Within:
Meningkatkan kesadaran dan
keinginan untuk berubah
1) Evaluasi positif terhadap
kontribusi ekonomi dirinya
2) Keinginan memiliki
kesempatan ekonomi yang
setara
3) Keinginan memiliki
kesamaan hak terhadap
sumber yang ada pada
rumah tangga dan
masyarakat
1) Kepercayaan diri dan
kebahagian
2) Keinginan memiliki
kesejahteraan yang setara
3) Keinginan membuat
keputusan mengenai diri dan
orang lain
4) Keinginan untuk mengontrol
jumlah anak
1) Assertiveness dan otonomi
2) Keinginan untuk
menghadapi subordinasi
gender termasuk tradisi
budaya, diskriminasi
hukum, dan pengucilan
politik
3) Keinginan terlibat dalam
proses-proses budaya,
hukum, dan politik
Power To: Meningkatkan kemampuan
individu untuk berubah dan
meningkatkan kesempatan
memperoleh akses
1) Akses terhadap pelayanan
keuangan mikro
2) Akses terhadap pendapatan
3) Akses terhadap aset-aset
produktif dan kepemilikan
rumah tangga
4) Akses terhadap pasar
5) Penurunan beban dalam
pekerjaan domestik
1) Keterampilan, termasuk
kemelekan huruf
2) Status sehat dan gizi
3) Kesadaran mengenai dan
akses terhadap pelayanan
kesehatan reproduksi
4) Ketersediaan pelayanan
kesejahteraan publik
1) Mobilitas dan akses
terhadap dunia di luar
rumah
2) Pengetahuan mengenai
proses hukum, politik, dan
kebudayaan
3) Kemampuan
menghilangkan hambatan
formal yang merintangi
akses terhadap proses
hukum, politik, dan
kebudayaan
Power Over: Perubahan pada hambatan-
hambatan sumber dan
kekuasaan pada tingkat rumah
tangga, masyarakat dan makro
serta kekuasaan untuk
menghadapi hambatan-
hambatan tersebut
1) Kontrol atas penggunaan
pinjaman dan tabungan
serta keuntungan yang
dihasilkan
2) Kontrol atas pendapatan
aktivitas produktif keluarga
yang lainnya
3) Kontrol atas aset produktif
dan kepemilikan keluarga
4) Kontrol atas alokasi tenaga
kerja keluarga
5) Tindakan individu
menghadapi diskriminasi
atas akses terhadap sumber
dan pasar
1) Kontrol atas ukuran
konsumsi keluarga dan aspek
bernilai lainnya dari
pembuatan keputusan
keluarga termasuk keputusan
keluarga berencana
2) Aksi individu untuk
mempertahankan diri dari
kekerasan keluarga dan
masyarakat
1) Aksi individu dalam
menghadapi dan mengubah
persepsi budaya kapasitas
dan hak wanita pada
tingkat keluarga dan
masyarakat
2) Keterlibatan individu dan
pengambilan peran dalam
proses budaya dan politik
Power With: Meningkatnya solidaritas atau
tindakan bersama dengan orang
lain untuk menghadapi
hambatan-hambatan sumber dan
kekuasaan pada tingkat rumah
tangga, masyarakat, dan makro
1) Bertindak sebagai model
peranan bagi orang lain
terutama dalam pekerjaaan
publik dan modern
2) Mampu memberi gaji
terhadap orang lain
3) Tindakan bersama
menghadapi diskriminasi
pada akses sumber
(termasuk hak atas tanah),
pasar dan diskriminasi
gender pada konteks
ekonomi makro
1) Penghargaan tinggi terhadap
dan peningkatan pengeluaran
untuk anggota keluarga
2) Tindakan bersama untuk
meningkatkan kesejahteraan
publik
1) Peningkatan jaringan untuk
memperoleh dukungan
pada saat krisis
2) Tindakan bersama untuk
membela orang lain
menghadapi perlakuan
salah dalam keluarga dan
masyarakat
3) Partisispasi dalam gerakan-
gerakan menghadapi
subordinasi gender yang
bersifat kultural, politis,
hukum pada tingkat, dan
masyarakat makro
Sumber: Suharto (2014)
Sehubungan dengan koperasi dan keberdayaan, Swasono (2003) menegaskan
bahwa koperasi merupakan lembaga sosial-ekonomi untuk menolong diri sendiri
secara bersama-sama melalui kesadaran pemberdayaan diri (self empowering).
53
Koperasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat
pada umumnya. Salah satu prinsip koperasi adalah kemandirian, yaitu organisasi
otonom dengan menolong atau memberdayakan diri sendiri dengan pengawasan
secara demokratis oleh anggotanya. Sementara itu, Hatta (2015) mengatakan
bahwa untuk dapat menciptakan kesejahteraan, koperasi harus memiliki sifat-sifat,
diantaranya adalah kesadaran akan kemampuan diri sendiri (individualita) serta
kemauan dan kepercayaan pada diri sendiri dalam organisasi untuk
menolong/memberdayakan diri sendiri agar memperoleh penghasilan sendiri.
Oleh karena itu, koperasi dapat dikatakan sebagai lembaga sosial ekonomi yang
mandiri, dibentuk oleh anggota, dikelola oleh anggota, dan dimanfaatkan untuk
kepentingan anggota.
2.4 Teori Modal Sosial
2.4.1 Pengertian modal sosial
Bidang ilmu sosial selama ini populer dengan dua bentuk modal, yaitu modal
ekonomi (economic/financial capital) dan modal manusia (human capital).
Perkembangan selanjutnya muncul modal sosial (social capital) yang
menjembatani atau mendekatkan antara ilmu sosiologi dan ilmu ekonomi. Modal
sosial berbeda dengan modal ekonomi dan modal manusia karena modal sosial
baru akan berperan jika berinteraksi dengan struktur sosial, sedangkan modal
ekonomi dan modal manusia yang dimiliki oleh seseorang atau perusahaan dapat
berperan dalam kegiatan ekonomi tanpa berinteraksi dengan struktur sosial
(Yustika, 2013).
54
Menurut Vipriyanti (2011), modal sosial merupakan pelengkap penting dari
modal-modal lainnya, seperti modal fisik, modal alamiah, dan modal manusia.
Modal sosial memiliki perbedaan dengan modal lainnya karena modal sosial
memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh modal lainnya, yaitu: modal sosial
tidak akan habis karena digunakan, pengukuran dan pengamatan modal sosial
tidak mudah, modal sosial tumbuh dari dalam dan sulit dibangun melulai
intervensi dari luar, serta tingkatan dan bentuk modal sosial yang dimiliki oleh
individu dipengaruhi oleh lingkungan, pemerintahan nasional, maupun
pemerintahan daerah. Field (2016) menyatakan bahwa modal sosial dapat disebut
sebagai modal jika menghasilkan sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk
memberdayakan individu dan kelompok sehingga mereka dapat mencapai
tujuannya secara lebih efektif daripada tanpa keberadaan modal tersebut.
Modal sosial merupakan kumpulan sumber daya yang dibutuhkan oleh
individu atau kelompok sehingga dapat memiliki jaringan hubungan institusional
yang lebih tahan lama agar saling mengakui dan menghargai. Kekuatan dan
konflik adalah elemen-elemen penting tentang hubungan sosial dan volume modal
sosial yang dimiliki oleh agen tergantung kepada ukuran jaringan hubungan yang
dapat dimobilisasi secara efektif. Modal sosial merupakan agregat sumber daya
aktual ataupun potensial yang diikat untuk mewujudkan jaringan yang awet
sehingga menginstitusionalkan hubungan persahabatan yang saling
menguntungkan. Jaringan sosial (social network) tidak alami, melainkan
dikontruksi melalui strategi investasi yang berorientasi kepada pelembagaan
55
hubungan-hubungan kelompok yang dapat dipakai sebagai sumber terpercaya
untuk meraih keuntungan (Bourdieu, 1986).
Bowles dan Gintis (2001) menyatakan bahwa modal sosial secara umum
mengacu pada kepercayaan, kepedulian kepada sesama, serta kemauan untuk
hidup dengan berpedoman pada norma-norma yang berlaku dalam suatu
komunitas dan memperoleh sanksi jika tidak mematuhinya. Robinson, et al (2000)
menyatakan bahwa modal sosial adalah simpati seseorang atau kelompok
terhadap orang atau kelompok lain yang dapat menghasilkan manfaat potensial,
keuntungan, dan perlakuan istimewa kepada seseorang atau sekelompok orang di
luar yang diharapkan dalam suatu hubungan.
Sementara itu, Coleman (1990) menghubungkan modal sosial dalam
menciptakan hasil pendidikan dan modal manusia. Coleman mendefinisikan
modal sosial berdasarkan fungsinya, dimana modal sosial bukan merupakan
entitas tunggal namun merupakan entitas majemuk yang mengandung dua elemen,
yaitu: modal sosial mencakup beberapa aspek dari struktur sosial dan modal sosial
memfasilitasi tindakan tertentu dari pelaku, baik individu atau perusahaan di
dalam struktur sosial. Modal sosial bersifat produktif, dimana membuat
pencapaian tujuan individu atau perusahaan tidak akan terwujud tanpa keberadaan
modal sosial tersebut.
Putnam (1993) mendefinisikan bahwa modal sosial merupakan penampilan
organisasi sosial, seperti kepercayaan (trust), resiprositas (reciprocity), dan
jaringan (networking) yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan
memfasilitasi adanya koordinasi dan kerja sama bagi keuntungan bersama.
56
Berdasarkan berbagai deskripsi, baik yang dinyatakan oleh Bourdieu, Coleman
maupun Putnam, modal sosial dapat dibagi dalam tiga konsep besar, yaitu: (1)
Coleman (1988), fokus melihat modal sosial sebagai struktur hubungan sosial
khususnya peran modal sosial dalam mengakuisisi modal manusia, (2) Bourdieu
(1993), fokus pada kemampuan modal sosial dalam menghasilkan sumber daya
ekonomi, dan (3) Putnam (1993; 1995), fokus kepada hubungan kerja sama yang
memapankan demokrasi melalui keanggotaan kelompok sipil (Yustika, 2013).
Selain definisi dan deskripsi modal sosial yang dikemukakan oleh tiga
pengusung utamanya, masih banyak pengertian dan deskripsi mengenai modal
sosial, antara lain oleh Fukuyama (1995) mengatakan bahwa modal sosial
merupakan kemampuan akibat dari adanya kepercayaan (trust) dalam sebuah
komunitas masyarakat. Fukuyama menjelaskan bahwa modal sosial merupakan
sekumpulan nilai informal atau norma yang menyebar di antara anggota kelompok
yang memungkinkan terjadinya kerja sama di antara mereka. Kerja sama akan
terjadi apabila antara kelompok masyarakat memenuhi apa yang mereka harapkan
dan berkeyakinan bahwa yang lainnya akan bertingkah laku dan dapat diandalkan
serta memiliki kejujuran. World Bank (1998) menyatakan bahwa:
“social capital refers to the institutions, relationships and norms that shape
the quality and quantity of a society’s social interactions”.
Sementara itu, Uphoff (1999) menyatakan bahwa:
“social capital can be considered as an accumulation of various types of
intangible social, psychological, cultural, institusional, and related assets
that influence cooperative behavior”.
Berdasarkan berbagai konsep dan definisi mengenai modal sosial, Woolcook
(2001) membedakan modal sosial menjadi 3 (tiga) tipe, yaitu: bonding social
57
capital, bridging social capital, dan linking social capital. Bonding social capital
merupakan modal sosial yang mengikat yang merepresentasikan ikatan
antarindividu dalam situasi yang sama, seperti keluarga dekat, teman akrab dan
tetangga. Bridging social capital merupakan modal sosial yang bersifat
menjembatani. Modal sosial ini mencakup ikatan antara beberapa orang yang
bersifat lebih longgar, misalnya teman jauh dan rekan kerja. Adapun, linking
social capital merupakan modal sosial yang menghubungkan antara beberapa
orang yang berada dalam situasi yang berbeda atau berada di luar komunitas
tetentu. Adapun, Lin (2001) membedakan modal sosial berdasarkan ‘ikatan kuat’
(strong ties) dan ‘ikatan lemah’ (weak ties). Menurut Lin, ikatan kuat menyatukan
atau mengikat orang yang memiliki kemiripan dengan dirinya sendiri, sedangkan
ikatan lemah menyatukan orang-orang yang memiliki berbagai latar belakang
yang berbeda, baik sosial maupun budaya.
Penelitian yang dilakukan oleh Camps dan Marquès (2011) tentang “social
capital and innovation: exploring intra–organisational differences”,
mengeksplorasi mengenai perbedaan antarkelompok mengenai modal sosial serta
bagaimana dan mengapa hal tersebut dapat menjelaskan perbedaan kondisi dalam
organisasi mengenai kemampuan inovasi dan kesiapan inovasi. Hal penting yang
dikemukakan bahwa tingkat modal sosial yang lebih tinggi terkait dengan
peningkatan kemampuan inovatif, dimana hubungan ini dapat digunakan untuk
pengembangan kemampuan inovasi. Adapun, Tsai dan Ghosal (1998)
mengemukakan bahwa interaksi sosial yang merupakan dimensi struktural dari
modal sosial dan kepercayaan yang merupakan manifestasi dari dimensi
58
relasional, secara signifikan terkait dengan tingkat pertukaran sumber daya dalam
unit bisnis sehingga memiliki dampak yang signifikan terhadap inovasi produk.
Menurut Leana dan Van Burne (1999), modal sosial memiliki sumbangan
positif dalam kaitannya dengan komitmen pekerja, fleksibilitas organisasi,
pengelolaan tindakan bersama yang lebih baik, dan pengembangan modal
pengetahuan (intellectual/conceptual capital). Chegini, et al (2012) mengatakan
bahwa modal sosial merupakan aset bagi organisasi dalam penciptaan nilai
maupun aset bagi anggota organisasi dalam peningkatan keterampilan kerja. Hal
tersebut, diantaranya akan mempengaruhi sukses pekerjaan/profesionalitas,
memotivasi pembaruan/kebaruan (novelty), penciptaan modal intelektual
(intellectual capital), dan efisiensi multifungsi tim/kelompok, serta memperkuat
hubungan dengan pemasok, jaringan produksi regional, dan pembelajaran
organisasi.
Knack dan Keefer (2008), melalui penelitian yang dimuat dalam The
Quarterly Journal of Economics, mengatakan bahwa:
“trust and civic norms are stronger in nations with higher and more equal
incomes, with institutions that restrain predatory actions of chief executives,
and with better-educated and ethnically homogeneous population”.
Penelitian tersebut memberikan kontribusi, antara lain: (1) pembuktian bahwa
dimensi modal sosial, yakni kepercayaan dan kerja sama dalam masyarakat
memberikan dampak yang signifikan terhadap agregat aktivitas ekonomi; (2)
jaringan horisontal yang diukur melalui keanggotaan dalam kelompok tidak
berhubungan dengan kepercayaan dan norma-norma serta kinerja ekonomi,
dimana hal ini bertentangan dengan pendapat Putnam (1993) yang mengatakan
59
bahwa jaringan horisontal yang padat dapat memperkuat kepercayaan dan norma
masyarakat; (3) menunjukkan pentingnya kepercayaan dan norma-norma
kemasyarakatan. Polarisasi sosial yang rendah dan aturan kelembagaan formal,
membatasi pemerintah bertindak sewenang-wenang dalam pengembangan norma
kerja sama dan kepercayaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Sabatini (2007), di Italia, menggunakan 3
(tiga) dimensi social capital, yakni bonding, bridging, dan linking social capital
menemukan hasil yang berbeda. Penelitian tersebut menyatakan bahwa ikatan
kekeluargaan yang kuat yang membentuk modal sosial tidak memberikan
pengaruh positif pada pembangunan ekonomi. Sebaliknya, analisis dalam
penelitian tersebut menyatakan bahwa hubungan yang lemah, baik untuk
pembangunan ekonomi karena hubungan yang lemah dapat menjadi jembatan
dalam komunitas yang berbeda, mendorong berbagi pengetahuan, dan difusi
kepercayaan sehingga menguntungkan proses pembangunan.
Sehubungan dengan modal sosial dalam pemberdayaan koperasi, Deng dan
Hendrikse (2014) mengatakan bahwa penting bagi koperasi untuk
mempertahankan strategi dan mengembangkan modal sosial dari waktu ke waktu,
jika tidak maka keunggulan bersaing koperasi kemungkinan akan hilang.
Sementara itu, Majee (2015) menyatakan bahwa koperasi memperluas aset modal
sosial dari masyarakat miskin yang dapat dikombinasikan dengan modal
keuangan, manusia, dan modal fisik untuk membantu mereka berpartisipasi dalam
keputusan pengembangan yang mempengaruhi kesejahteraan mereka.
60
Nilsson, et al (2012) menyatakan bahwa dalam 20 tahun terakhir, banyak
koperasi pertanian tradisional yang terpaksa meninggalkan bisnisnya. Hal tersebut
disebabkan karena berkurangnya kepercayaan di antara anggota koperasi dan
kepercayaan anggota terhadap koperasi. Strategi pengembangan koperasi yang
dilakukan melalui integrasi vertikal dan integrasi horizontal merupakan salah satu
penyebab yang menciptakan jurang antara anggota dan koperasinya sehingga
menyebabkan saling kurang percaya antaranggota koperasi, kurang interaksi
langsung antaranggota dan antara anggota dengan pengurus, kurangnya
keterlibatan anggota, berkurangnya kebanggaan terhadap koperasi, melemahnya
kepemimpinan yang demokratis, dan terjadinya kesulitan dalam memecahkan
tindakan kolektif. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran dalam pengambilan
keputusan serta integrasi vertikal dan horizontal, dimana hal tersebut berpotensi
mengurangi ataupun meningkatkan modal sosial koperasi.
Menurut Coleman (1988), bentuk modal sosial (social capital), terdiri dari:
obligations (struktur kewajiban), expectations (ekspektasi), dan trustworthiness
(kepercayaan), sedangkan menurut Putnam (1993), bentuk modal sosial adalah
trust (kepercayaan), reciprocity (hubungan timbal balik/resiprositas), dan
networking (jaringan). Ridell (1997) menyatakan bahwa parameter modal sosial
adalah trust (rasa percaya), norms (norma-norma), dan networking (jaringan).
Yustika (2013), menjelaskan bahwa terdapat tiga bentuk modal sosial, yaitu: (1)
struktur kewajiban (obligations), ekspektasi (expectations), serta kepercayaan
(trustworthiness), (2) jaringan informasi (information channels), dan (3) norma
serta sanksi yang efektif (norms affective sanctions). Islam (2013), dalam
61
International Journal of Social Science, menyatakan bahwa indigenous
knowledge (kearifan lokal) adalah modal sosial.
Subejo (2008) mengatakan bahwa modal sosial bukan merupakan hal baru di
Indonesia walaupun secara eksplisit belum menggunakan terminologi modal
sosial. Berdasarkan elemen-elemen modal sosial yang disampaikan oleh para ahli,
seperti norms, reciprocity, trust, dan network maka hal tersebut secara historis
bukan merupakan fenomena baru di Indonesia karena elemen-elemen tersebut
sudah berakar dan terlembagakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Indonesia, terutama di pedesaan. Semangat dan kepentingan individu telah
termanivestasikan dalam berbagai bentuk aktivitas bersama yang secara umum
dikenal dengan kegiatan “saling tolong menolong” atau secara luas dikenal
dengan tradisi “gotong royong”. Tradisi gotong royong memiliki aturan main
yang disepakati bersama (norms), adanya saling menghargai prinsip timbal balik
(reciprocity), kepercayaan antarpelaku bahwa masing-masing akan mematuhi
semua bentuk aturan main yang telah disepakati (trust), serta kegiatan kerja sama
yang diikat oleh hubungan-hubungan spesifik antara lain mencakup kekerabatan,
pertetanggaan atau pertemanan sehingga menguatkan jaringan antarpelaku
(network). Sistem ekonomi Indonesia, mengenal koperasi yang merupakan badan
usaha yang diamanatkan oleh UUD 1945 yang memiliki nilai-nilai gotong royong
sebagai perwujudan dari modal sosial.
Berdasarkan berbagai pengertian modal sosial yang disampaikan oleh para
ahli maka modal sosial dapat dipahami sebagai nilai-nilai kebersamaan yang ada
di masyarakat yang dapat membantu anggota masyarakat, kelompok atau
62
organisasi dalam memperbaiki kualitas dan kesinambungan siklus hidup suatu
organisasi atau kelompok dengan terus melakukan perubahan dan penyesuaian
secara terus menerus dan berkesinambungan. Sehubungan dengan perubahan-
perubahan yang terjadi, masyarakat terikat dengan norma-norma serta nilai-nilai
yang berlaku.
2.4.2 Parameter modal sosial
Yustika (2013) menjelaskan bahwa modal sosial berbeda dengan modal
ekonomi dan modal manusia karena modal sosial hanya akan berperan jika
berinteraksi dengan struktur sosial, sedangkan modal ekonomi dan modal manusia
yang dimiliki oleh seseorang atau perusahaan dapat berperan dalam kegiatan
ekonomi tanpa berinteraksi dengan struktur sosial. Menurut Putnam (1993),
modal sosial bersifat kumulatif dan bertambah dengan sendirinya. Oleh karena itu,
modal sosial tidak akan habis jika dipergunakan, namun kemungkinan akan terus
meningkat. Ruang lingkup modal sosial sangat luas sehingga cakupan
parameternya pun menjadi sangat luas. Parameter-paramater modal sosial banyak
dikemukan oleh para ahli, antara lain oleh Putnam (1993), yakni jaringan
(networking), kepercayaan (trust), dan hubungan timbal balik (reciprocity).
Adapun, Ridell (1997) mengemukakan bahwa parameter modal sosial adalah trust
(rasa percaya), norms (norma-norma), dan networking (jaringan). Sementara itu,
Islam (2013) menyatakan bahwa indigenous knowledge (kearifan lokal)
merupakan komponen modal sosial. Parameter-parameter tersebut dapat
dijelaskan, sebagai berikut.
63
1) Jaringan (networking)
Putnam (1993) menyatakan bahwa jaringan adalah infrastruktur dinamis dari
modal sosial yang berwujud jaringan-jaringan kerja sama antarmanusia atau
individu. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial
yang kuat dan kokoh. Jaringan memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi
yang memungkinkan tumbuhnya kepercayaan yang memperkuat kerja sama.
Sementara itu, Putnam (1995) berpendapat bahwa jaringan-jaringan sosial yang
erat akan memperkuat perasaan kerja sama para anggotanya serta manfaat-
manfaat dari partisipasinya itu. Coleman (1988) mengungkapkan bahwa kerapatan
jaringan dapat meningkatkan efisensi kerja sama dalam suatu organisasi.
Woolcook (1998) menyatakan bahwa jaringan memiliki peran penting dalam
suatu komunitas untuk mengakses sumber daya lokal.
Menurut Bourdieu (1986), jaringan bukan sesuatu yang alami, melainkan
dikonstruksi melalui strategi investasi yang berorientasi pada pelembagaan
hubungan-hubungan kelompok yang dapat dipakai sumber terpercaya untuk
meraih keuntungan. Menurut Bebbington (1999), jaringan kerja yang kuat dalam
suatu organisasi dapat membentuk hubungan yang baik antara suatu organisasi
dengan pelaku pasar yang lain sehingga membuka peluang pasar yang lebih baik.
Putnam (1993) membedakan dua bentuk jaringan, yaitu jaringan horisontal dan
jaringan vertikal. Jaringan horisontal merupakan jaringan yang menghubungkan
antara masing-masing agen yang memiliki status atau kekuasaan yang setara,
sedangkan jaringan vertikal menghubungkan agen tidak setara dalam suatu
hubungan asimetris hierarki dan ketergantungan.
64
2) Kepercayaan (trust)
Menurut Fukuyama (1995), kepercayaan dalam modal sosial adalah harapan
yang tumbuh di dalam masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku yang
jujur, teratur, dan kerja sama berdasarkan norma-norma yang dianut. Sementara
itu, menurut Hasbullah (2006), rasa percaya (trust) adalah suatu bentuk keinginan
individu atau kelompok untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan
sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan
seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam satu pola tindakan
yang saling mendukung. Casson dan Godley (2000) menyatakan bahwa rasa
percaya (trust) merupakan penerimaan dengan mengabaikan kemungkinan bahwa
sesuatu akan tidak benar.
Tindakan bersama yang didasari oleh rasa saling percaya akan meningkatkan
partisipasi masyarakat atau kelompok dalam berbagai bentuk dimensi terutama
untuk kemajuan bersama. Menurut Putnam (1995), rasa percaya adalah suatu
bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosial yang
didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti
yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tidakan yang
saling mendukung dan yang lain tidak akan bertindak dalam suatu pola tindakan
yang merugikan diri dan kelompoknya.
Fukuyama (2000) mengungkapkan konsep tentang radius kepercayaan
(radius of trust). Menurut Fukuyama semua kelompok mewujudkan modal sosial
memiliki radius kepercayaan tertentu, yaitu lingkaran di antara orang yang
65
memiliki norma kerja sama yang berlaku. Masyarakat modern dapat dianggap
sebagai suatu rangkaian kepercayaan yang konsentris dan tumpang tidih. Hal
tersebut dapat divisualisasikan seperti pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1
Network of Trust
Sumber: Fukuyama (2000)
Ketika modal sosial kelompok menghasilkan eksternalitas positif, radius
kepercayaan dapat lebih besar dari kelompok itu sendiri. Kemungkinan pula akan
terjadi radius kepercayaan menjadi lebih kecil daripada keanggotaan suatu
kelompok, seperti dalam suatu organisasi-organisasi besar yang hanya
mengembangkan norma kerja sama diantara para pemimpin kelompok atau staf
yang permanen sehingga memungkinkan terjadinya ekesternalitas negatif.
3) Norma (norms)
Norma merupakan seperangkat aturan yang diharapkan dipatuhi dan ikuti
oleh anggota masyarakat pada suatu kelompok atau organisasi tertentu. Norma-
norma dalam suatu masyarakat biasanya dalam bentuk aturan-aturan yang tidak
tertulis, namun sangat dipahami oleh setiap anggota masyarakat dan menentukan
66
pola tingkah laku yang diharapkan dalam tata hubungan antaranggota masyarakat.
Norma dalam sebuah komunitas mendukung individu untuk memperoleh prestasi.
Norma yang berlaku secara kuat dan efektif dalam sebuah komunitas dapat
mempengaruhi orang-orang untuk memanfaatkan potensi yang dimilikinya.
Menurut Hasbullah (2006), norma (norm) adalah sekumpulan aturan yang
diharapkan dipatuhi dan ikuti oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam suatu
entitas sosial tertentu.
North (2005) mengungkapkan bahwa norma merupakan sebuah ‘institusi’
yang mengatur interaksi sosial antarmanusia. Norma terbentuk oleh interaksi
nilai-nilai yang dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat dan sifatnya harus
memberikan manfaat positif bagi setiap anggota masyarakat tersebut. Norma
menentukan apa yang baik dan apa yang buruk. Coleman (1990), mengungkapkan
bahwa norma adalah:
“specify what actions are regarded by a set of person as proper or correct, or
improper or incorrect”.
Ostrom (2005), membedakan norma dari peraturan dengan melihat sintaksis
kalimatnya. Norma atau peraturan sama-sama merupakan pernyataan tentang apa
yang boleh dilakukan, tetapi peraturan mengandung penegakan, dimana jika suatu
peraturan dilanggar maka akan diberikan sanksi. Sementara itu, norma memiliki
kesan yang lebih lunak dibandingkan dengan peraturan. Norma diekspresikan
dalam bentuk bahasa formal maupun informal sebagai kebijakan sehingga semua
orang yang memiliki norma harus menyadari keberadaan dan isi kebijakan
67
tersebut. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun
standar-standar sekuler seperti kode etik profesional.
4) Kearifan lokal (indigenous knowledge)
Fajarini (2014) mengungkapkan berbagai macam istilah (terminologi) yang
digunakan dalam manunjukkan kearifan lokal, antara lain: kebijakan setempat
(local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan
setempat (local genius). Dalam Prosiding The 5th
International Cenference on
Indonesian Studies: ”Etnicity and Globalization”, Murdiati (2015) menyatakan
bermacam-macam istilah yang menunjuk pada kearifan lokal, antara lain:
pengetahuan asli/pribumi (indigenous knowledge), kearifan lokal (local wisdom),
pengetahuan tradisional (traditional knowledge), dan pengetahuan ekologi
tradisional (traditional ecological knowledge).
Menurut Rahyono (2009), kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia
yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman
masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa kearifan lokal adalah hasil dari
masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh
masyarakat lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat
tertentu dan sudah melalui perjalanan waktu yang sangat panjang, sepanjang
keberadaan masyarakat tersebut. Sumintarsih (1994) menyatakan bahwa kearifan
lokal merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi
kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat
dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.
68
Menurut Haba (2007), kearifan lokal merupakan bagian dari kontruksi
budaya. Kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh
dan berkembang dalam masyarakat dan merupakan elemen penting untuk
memperkuat kohesi sosial di antara warga masyarakat. Juniarta dkk. (2013)
mengemukakan bahwa dasar kearifan lokal sebenarnya bersumber dari hukum
adat dalam masyarakat. Menurut beberapa ahli, tidak semua hukum adat dapat
dikategorikan dalam kearifan lokal. Suatu hukum adat dapat dikategorikan dalam
kearifan lokal jika dapat dijadikan pedoman dan salah satu alat dalam usaha
pemberdayaan masyarakat serta bertujuan terhadap kondisi yang berkelanjutan
dan berpihak kepada lingkungan sosial tanpa meninggalkan aspek ekonominya.
Rahmawati dkk. (2013) mengungkapkan bahwa secara umum kearifan lokal
memiliki ciri dan fungsi sebagai berikut.
1) Sebagai penanda identitas sebuah komunitas
2) Sebagai elemen perekat kohesi sosial
3) Sebagai unsur budaya yang tumbuh dari bawah, ada, dan berkembang
dalam masyarakat, bukan unsur budaya yang dipaksakan dari atas.
4) Berfungsi memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas
5) Dapat mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan
kelompok dengan meletakkannya di atas common ground.
6) Mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi, dan
mekanisme bersama untuk mempertahankan diri dari kemungkinan
terjadinya gangguan atau pengrusakan solidaritas kelompok sebagai
komunitas yang utuh dan terintegrasi.
Menurut penelitian Islam (2013) yang dimuat dalam International Journal of
Social Science, dinyatakan bahwa indigenous knowledge (kearifan lokal) adalah
komponen modal sosial. Penelitian tersebut menemukan bahwa kearifan lokal
merupakan pilar dari nilai-nilai sosial, produksi masyarakat, jaringan sosial,
interaksi sosial, identitas kewarganegaraan, asosiasi dan integrasi sosial, serta
69
pembentukan dan penyebaran pengetahuan. Putnam (1994) dalam Islam (2013),
menyatakan bahwa kearifan lokal sebagai ‘public good’ (barang umum) sehingga
dapat dipertukarkan dan dipindahtangankan dari satu keadaan sosial kepada
keadaan sosial yang lain. Kearifan lokal bersifat dinamis dan mempunyai nilai
pasar yang baik jika ditegakkan oleh anggota-anggota komunitas tertentu melalui
kepercayaan sosial dan hubungan antarkepercayaan individu dan kelompok.
Penelitian Islam (2013), menyimpulkan bahwa kearifan lokal memiliki
keunggulan yang mencakup banyak manfaat yang dianggap sebagai modal sosial
dan juga memiliki karaktersitik sebagai modal sosial.
Fajarini (2014) mengungkapkan bahwa dalam Ensiklopedi Suku Bangsa di
Indonesia dicantumkan beberapa kearifan lokal yang berkembang dalam
kehidupan bangsa Indonesia, diantaranya kearifan lokal yang berkembang di
Provinsi Bali, yaitu menyama braya (semua bersaudara), tat twam asi (senasib
sepenanggungan) dan tri hita karana (tiga penyebab kebahagiaan), yakni
parhyangan (harmoni dengan Tuhan), palemahan (harmoni dengan lingkungan
alam), dan pawongan (harmoni dengan sesama manusia). Selain itu, ada pula
kearifan lokal dalam masyarakat Bali yang bersumber dari ajaran dan budaya
Hindu, salah satunya adalah catur guru.
Guru dalam budaya Hindu memiliki posisi penting dan terhormat. Ajaran dan
budaya Hindu mengajarkan untuk selalu menghormati dan mematuhi catur guru
(empat guru), yang terdiri dari guru swadiaya, guru rupaka, guru pengajian dan
guru wisesa. Guru swadiaya merupakan Tuhan yang Maha Tahu. Guru rupaka
adalah orang tua, sedangkan guru pengajian adalah guru profesional yang
70
mengajar anak-anak (murid/mahasiswa) di sekolah ataupun di perguruan tinggi.
Sementara itu, guru wisesa adalah pemimpin masyarakat pada segala tingkatan.
Guru wisesa dalam ajaran dan budaya Hindu merupakan setiap orang yang
memiliki kualifikasi sebagai pimpinan, baik dalam masyarakat maupun dalam
suatu lembaga atau organisasi formal. Keberadaan guru wisesa memberikan
teladan yang baik dalam bersikap dan berprilaku dalam bermasyarakat dan
berorganisasi (Samba, 2016).
2.5 Teori Modal Intelektual
2.5.1 Pengertian modal intelektual
Edvinson dan Malone (1997) mengatakan bahwa modal intelektual adalah
kepemilikan dari pengetahuan, pengalaman, teknologi organisasi, hubungan
pelanggan, serta keterampilan profesional yang menciptakan keunggulan
kompetitif di pasar. Evaggelia (2015) mengemukakan bahwa setiap perusahaan
memiliki modal intelektual yang harus dikelola dengan baik dan dimanfaatkan
untuk mencapai kesuksesan dan keberhasilan perusahaan. Sementara itu, Adrian
(2008) menggambarkan bahwa modal intelektual sebagai informasi dan
pengetahuan dalam suatu perusahaan yang apabila dikelola dengan baik akan
meningkatkan nilai tambah serta kekayaan bersih perusahaan.
Menurut Stewart (1997), modal intelektual (intellectual capital) adalah
material intelektual pengetahuan, informasi, kekayaan intelektual, dan
pengalaman yang dapat diambil untuk digunakan dalam menciptakan
71
kesejahteraan. Modal intelektual merupakan kekuatan otak kolektif. Stewart
mengungkapkan bahwa:
“intellectual capital as group of knowledge and information found in
companies, that adds value to the product and/or services, by applying
intelligence and not monetary capital to the enterprise”.
Komponen-komponnen modal intelektual menurut Stewart, terdiri dari: (1)
pengetahuan, (2) informasi, (3) kekayaan intelektual, dan (4) pengalaman.
Gambaran komponen modal intelektual menurut Stewart dapat dilihat pada
Gambar 2.2.
Gambar: 2.2
Model Modal Intelektual Menurut Stewart
Sumber: Stewart (1997)
Nahapiet dan Ghoshal (1998) mengatakan bahwa modal intelektual adalah
kapasitas disiplin intelektual organisasi sebagai hasil internalisasi/transformasi
secara sinergik dari seluruh kompetensi dan kognitif (kompetensi berpikir dan
menyelesaikan masalah) yang dimiliki seluruh anggota organisasi yang terjadi
melalui proses transformasi pengetahuan sehingga dapat menciptakan kekayaan
perusahaan, nilai tambah bagi konsumen, dan meningkatkan kesejahteraan bagi
karyawan dan masyarakat. Menurut Harrison dan Sulivan (2000), modal
Intellectual Capital
Knowledge
Intellectual Property Eksperience
Information
Wealth
72
intelektual adalah “knowledge that can be converted into profit”. Sementara itu,
Hung, et al (2007) mendefiniskan modal intelektual adalah:
“a composite of the wisdom, intelligence, flexibility, creativity, and
entrepreneurship core competencies necessary to succeed in an increasingly
competitive global economy where technology and knowledge dominate”.
Modal intelektual adalah seluruh aset pengetahuan yang dibedakan kedalam
stakeholder resources (hubungan stakeholder dan sumber daya manusia) dan
structural resources (infrastruktur fisik dan infrastruktur virtual) yang
berkontribusi signifikan dalam meningkatkan posisi persaingan dengan
menambahkan nilai bagi pihak-pihak yang berkepentingan (Marr dan Schiuma,
2001). Sementara itu, Bontis (1998) mengambarkan konsep modal intelektual
seperti pada Gambar 2.3.
Essence Human intellect Organizational
routines Market relationships
Scope Internal within
employee node
Internal
organizational links
External
organizational links
Parameters Volume
appropriateness
Efficiency
accessibility Longevity volume
Condification
Difficulty High Medium Highest
Gambar 2.3
Conceptualization of Intellectual Capital
Sumber: Bontis (1998)
Intellectual Capital
Human
Capital
Customer
Capital
Structural
Capital 1st order
2st order
73
Nahapiet dan Ghoshal (1998) menyatakan bahwa modal sosial memfasilitasi
penciptaan modal intelektual. Hal tersebut jika divisualisasikan dalam bagan maka
akan tampak seperti pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4
Social Capital in the Creation of Intellectual Capital
Sumber: Nahapiet dan Ghoshal (1998)
Menurut Koçoğlu, et al (2009), integrasi dari dimensi-dimensi modal
intelektual memiliki pengaruh terhadap keunggulan kompetitif suatu perusahaan.
Kannan dan Aulbur (2004) menyatakan bahwa modal intelektual merupakan aset
tak berwujud yang berperan penting dalam menentukan nilai suatu organisasi.
Pengukuran modal intelektual memiliki keuntungan, antara lain mempercepat
pola pembelajaran dalam organisasi, meningkatkan pemahaman bagaimana
(A) Structural Dimension
Network ties
Network configuration
Appropriable organization
(B) Cognitive Dimension
Share codes and languange
Share narrative
(C) Relational Dimension
Trust
Norms
Obligations
Identificaton
Access to parties for combining/exchange
intellectual capital
Anticipation of value
through combining/exchanging
intellectual capital
Motivation to combining/exchange
intellectual capital
Combaning capability
New
intellectual
capital
created
through
combination
and exchange
Social capital Combination and
exchange of
intellectual capital
Creating of new
intellectual
capital
74
pengetahuan menciptakan hubungan timbal balik dan kerja sama, meningkatan
inovasi, serta meningkatkan kinerja organisasi.
Eyng, et al (2006) mengemukakan bahwa modal intelektual merupakan
jumlah dari pengetahuan manusia dalam suatu organisasi dan merupakan aset
yang tak berwujud. Modal intelektual dihasilkan dari hubungan antara modal
manusia, modal struktural, dan modal pelanggan yang menjadi sumber strategis
bagi suatu organisasi dalam bertahan, memasok kebutuhan pasar, dan menjaga
daya saing dalam ekonomi global. Rangkuman mengenai dimensi dan parameter
modal intelektual menurut para ahli dapat dilihat pada tabel 2.3.
Tabel 2.3
Rangkuman Dimensi dan Parameter Modal Intelektual
Dimension/Components Of Intellectual Capital Authors
1) Human Capital
2) Structural Capital Edvinsson & Malone (1998)
1) Human Capital
2) Organisational Capital
3) Relation and Customer Capital
Roos et al. (1997)
1) Human Capital
2) Structural Capital
3) Customer Capital
Saint-Onge (1996)
Botis (2001)
Stewart (1998)
1) Human Capital
2) Structural Capital
3) Relational Capital
Bontis (1999)
1) Employees Competence
2) Internal Structure
3) External Structure
Sveiby (1997)
1) Human Capital
2) Structural Capital
3) Customer Capital
3) Innovation Capital
Chen, Zhu & Xie (2004)
1) Human Capital
2) Structural Capital
3) Organisational Capital and Technological Capital
4) Relational Capital (Business and Social Capital)
Bueno et al. (2011)
Sumber: Proceedings of the 2013 EU-SPRI Forum Annual Conferencee
75
2.5.2 Parameter modal intelektual
Berdasarkan kepentingan penelitian, komponen atau dimensi modal
intelektual yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah modal manusia
(human capital), modal struktural (structural capital), dan modal relasional
(relational capital).
1) Modal manusia (human capital)
Mushref (2014) mengatakan bahwa modal manusia (human capital) adalah
salah satu variabel penting dalam mempelajari modal intelektual. Human capital
merupakan dimensi dari modal intelektual berdasarkan pengetahuan manusia dan
pengalamannya yang akan mempengaruhi nilai perusahaan serta mempengaruhi
elemen yang lain. Wang dan Chang (2005) menyatakan bahwa pengetahuan dan
kemampuan karyawan adalah sumber dari inovasi.
Brinker (2000) memberikan beberapa karakteristik dasar yang dapat diukur
dari human capital, antara lain: program pelatihan, pengalaman, kompetensi,
rekruitmen, mentoring, program pembelajaran, dan potensi individu. Menurut
Mayo (2011), modal manusia dapat dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu
kemampuan dan potensi, motivasi dan komitmen, serta inovasi dan pembelajaran.
Brennan dan Connell (2000) mengatakan bahwa yang hal paling penting dalam
human capital adalah tentang apa yang dapat dilakukan oleh manusia baik secara
individu maupun kolektif.
2) Modal struktural (structural capital)
Menurut Stewart (2002), structural capital mengacu pada mengolah,
menyimpan, dan mempertahankan pengetahuan sehingga pengetahuan tersebut
76
menjadi suatu aset bagi perusahaan. Cohen dan Keimenakis (2007) mengatakan
bahwa modal struktural merupakan perwujudan, pemberdayaan, dan infrastruktur
pendukung dari modal manusia (human capital). Sementara itu, Edvinsson dan
Malone (1997) menyatakan bahwa:
“structural capital is described as “the embodiment, empowerment, and
supportive infrastructure of human capital. It is also the organisational
capability, including the physical systems used to transmit and store
intellectual material”.
Deskripsi yang diberikan oleh Edvinsson dan Malone (1997) mengenai
structural capital menekankan pentingnya sebuah struktur yang dikelola secara
efisien dan efektif untuk kelanjutan operasi dan kelangsungan hidup suatu
organisasi. Menurut Bontis (1998), modal struktural terdiri dari sistem, struktur,
budaya perusahaan, efisiensi proses organisasi, basis data, serta informasi dan
teknologi. Modal struktural yang baik akan memberikan lingkungan yang baik
untuk berbagi pengetahuan dengan cepat, perkembangan pengetahuan kolektif,
mempersingkat waktu tunggu, dan membuat individu atau organisasi menjadi
lebih produktif.
3) Modal relasional (relational capital)
Abhayawansa (2011) mengatakan bahwa relational capital merupakan semua
sumber daya yang terkait dengan hubungan perusahaan dengan pemangku
kepentingan eksternal, seperti: pemasok, pelanggan, mitra usaha, pemerintah, dan
masyarakat, serta persepsi yang dimiliki oleh pemangku kepentingan tentang
perusahaan yang dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. Keskin (2006)
menyatakan bahwa secara khusus modal relasional membantu perkembangan
77
pengetahuan, membentuk perilaku dan menjadi sumber dari berbagai ide untuk
perubahan serta kemajuan melalui proses informasi pasar dan pemasaran strategis.
Lyn (2000); Bueno, et al (2011), dalam dalam Dias, et al (2013)
mengidentifikasikan modal relasional (relational capital) sebagai entitas yang
terpisah dan menganggap berbagai hubungan dengan orang-orang di luar
perusahaan dapat dimiliki dengan modal tersebut, bersama dengan loyalitas
konsumen, pangsa pasar, dan tingkat permintaan. Hubungan suatu perusahaan
atau organisasi dengan para pelanggan dan pemasok akan membentuk nilai
melalui loyalitas, meningkatkan pangsa pasar, menciptakan kemajuan, serta
meningkatkan kualitas.
2.6 Teori Koperasi
2.6.1 Pengertian koperasi
Koperasi merupakan perkumpulan orang-orang yang secara sukarela bersatu
dan bersama-sama untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka melalui
pembentukan suatu organisasi yang dikelola secara demokrasi, gotong royong,
dan berasaskan kekeluargaan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
nomor 25 Tahun 1992, koperasi adalah:
“badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi
dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus
sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan”.
Hatta (2015), mengatakan bahwa koperasi berasal dari kata-kata ‘ko’ yang artinya
“bersama” dan “operasi” yang artinya “bekerja”. Dengan demikian, koperasi
78
artinya adalah sama-sama bekerja. Oleh karena itu, perkumpulan yang diberi
nama koperasi merupakan perkumpulan kerja sama dalam mencapai suatu tujuan.
Istilah koperasi di Indonesia dipopulerkan sejak jaman kemerdekaan, bahkan
sempat tercantum dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 sebelum UUD 1945
diamandemen. Menurut Joesron (2005), koperasi adalah “suatu lembaga yang
dirancang untuk memberikan pelayanan bagi anggotanya yang sekaligus
merupakan pemilik”. Schaars (1980), mengatakan bahwa:
“a cooperative is business voluntary owned and controled by its member
patrons, and operated for them and by them on a non profit or cost basic”.
Adapun, menurut Hatta (1954), koperasi didirikan sebagai persekutuan kaum
yang lemah untuk membela keperluan hidupnya, dimana pada koperasi yang
didahulukan adalah keperluan bersama, bukan keuntungan. Enriquez (1986)
memberikan pengertian koperasi yaitu menolong satu sama lain (to help one
another) atau saling bergandengan tangan. Sementara itu, Organisasi Buruh
Internasional (Internasional Labour Organization-ILO) dalam Baswir (2013)
menyatakan bahwa:
“koperasi adalah suatu perkumpulan orang, biasanya yang memiliki
kemampuan ekonomi terbatas yang melalui suatu bentuk organisasi
perusahaan yang diawasi secara demokratis, masing-masing memberikan
sumbangan yang setara terhadap modal yang diperlukan dan bersedia
menanggung resiko serta imbalan yang sesuai dengan usaha yang mereka
lakukan”.
International Cooperative Alliance (ICA) dalam Parkash (2003),
menyatakan bahwa koperasi memiliki nilai-nilai dasar dan nilai etis, yaitu:
“cooperatives are based on the values of self-help, self-responsibility,
democracy, equality, equity and solidarity. In the tradition of their founders,
cooperative members believe in the ethical values of honesty, openness,
social responsibility and caring for others”.
79
Nilai-nilai dasar dan etis koperasi, sebagaimana yang disampaikan oleh ICA dapat
digambarkan seperti pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5
Nilai-Nilai Koperasi
Sumber: Parkash (2003)
Ariffin (1997) menggunakan 3 (tiga) pendekatan dalam memahami istilah
koperasi, yaitu.
1) Definisi legal, merupakan rumusan pengertian koperasi yang tercantum
dalam dalam undang-undang. Dalam hal ini, hanya negara-negara yang
mempunyai Undang-Undang Perkoperasian saja yang memakai definisi
legal. Karena itu, undang-undang dirumuskan sesuai dengan kondisi
masing-masing negara maka definisi legal ini cenderung berbeda-beda.
2) Definisi esensial, merupakan rumusan pengertian tentang koperasi
menurut esensinya sebagai wadah kerja sama. Mengenai pengertian
esensinya ini pada umumnya tidak terdapat perbedaan karena lebih
menekankan pada esensi kerjasamanya, sedangkan dalam pembahasan
ini kerja sama adalah koperasi sebagai ekonomi antarindividu.
3) Definsi nominal, merupakan rumusan pengertian koperasi yang
dirumuskan untuk kepentingan analisis dan untuk membedakan dari
badan usaha lain non-koperasi.
Organisasi koperasi dikenal dalam lingkungan ekonomi dan sosiologi.
Muenkner (1989) membedakan pengertian organisasi koperasi dalam arti ekonomi
dan sosiologi. Dalam arti ekonomi, koperasi adalah organisasi ekonomi yang
Basic
Cooperative
Values
Ethical
Values
Honesty
Openness
Social responsibility
Caring for others
Self-help
Self-respnsibility
Democracy
Equality
Equity
Solidarity
80
anggotanya memiliki sekurang-kurangnya satu kepentingan ekonomi yang sama,
bermotivasi swadaya dalam perusahaan yang dibiayai, dan diawasi bersama
dengan sasaran meningkatkan kemajuan perusahaan rumah tangga anggota
(promosi anggota). Adapun, dalam arti sosiologi, organisasi koperasi merupakan
perkumpulan orang yang sepakat bekerja sama selama satu periode tertentu atas
dasar persamaan dan di bawah suatu kepemimpinan yang diawasi secara
demokratis untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi bersama.
Berdasarkan berbagai definisi yang ada maka dapat disimpulkan bahwa
koperasi adalah suatu organisasi yang terdiri dari kumpulan orang-orang atau
badan hukum yang berkumpul secara sukarela dengan tujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan ekonomi mereka secara bersama-sama berdasarkan asas
kekeluargaan dan kebersamaan.
2.6.2 Landasan, asas, dan prinsip koperasi di Indonesia
Koperasi di Indonesia memiliki landasan, asas, dan prinsip dalam
pelaksanaannya. Landasan koperasi merupakan pedoman dalam menentukan arah,
tujuan, dan peran koperasi di Indonesia, sedangkan asas koperasi merupakan nilai
dasar yang menjadi jati diri koperasi. Sebagaimana yang dinyatakan dalam UU RI
No. 25/1992, tentang pokok-pokok perkoperasian, koperasi Indonesia memiliki 2
(dua) landasan, yaitu landasan ideal dan landasan struktural. Landasan ideal
koperasi Indonesia adalah Pancasila, sedangkan landasan struktural koperasi
adalah UUD 1945.
81
Landasan ideal koperasi adalah dasar atau landasan yang digunakan dalam
usaha untuk mencapai cita-cita koperasi, dimana koperasi merupakan kumpulan
kelompok orang yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya,
sedangkan gerakan koperasi merupakan organisasi ekonomi rakyat yang hak
hidupnya dijamin oleh UUD 1945, bertujuan untuk mencapai masyarakat yang
adil dan makmur (Anoraga dan Widiyanti, 2007). Pancasila menjadi landasan
ideal koperasi didasarkan atas pertimbangan bahwa Pancasila adalah pandangan
hidup dan ideologi bangsa Indonesia. Pancasila merupakan jiwa dan semangat
bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta merupakan
nilai-nilai luhur yang ingin diwujudkan bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-
hari.
Landasan struktural koperasi adalah tempat berpijak koperasi dalam susunan
hidup bermasyarakat. Tatanan kehidupan suatu negara diatur dalam Undang-
Undang Dasar. Indonesia memiliki UUD 1945 yang merupakan tata tertib dasar
atau ketentuan yang mengatur terselenggaranya falsafah hidup dan moral cita-cita
suatu bangsa (Anoraga dan Widiyanti, 2007). UUD 1945 menjadi landasan
struktural koperasi Indonesia karena UUD 1945 merupakan aturan pokok
organisasi negara Republik Indonesia. Dalam UUD 1945 terdapat berbagai
ketentuan yang mengatur berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia dalam
bernegara. Salah satu pasal dalam UUD 1945 yang menjadi dasar pelaksanaan
koperasi adalah pasal 33 ayat 1 yang berbunyi “perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan”. Hal ini menunjukkan dengan jelas
82
bahwa kebersamaan dan kekeluargaan menjadi semangat dalam perekonomian
Indonesia.
Sementara itu, asas koperasi di Indonesia adalah kekeluargaan. Hal tersebut
tercantum dalam UU RI No. 25/1992 tentang perkoperasian, pasal 2. Semangat
kekeluargaan merupakan pembeda koperasi dengan bentuk perusahaan lainnya.
Berdasarkan semangat kekeluargaan sebagai asas koperasi maka diharapkan
masing-masing orang yang terlibat dalam organisasi koperasi senantiasa bekerja
sama dengan anggota-anggota koperasi lainnya dengan rasa setia kawan yang
tinggi. Anoraga dan Widiyanti (2007) mengemukakan bahwa setia kawan dan
kesadaran berpribadi merupakan landasan mental dari koperasi Indonesia. Rasa
setia kawan telah ada dalam masyarakat Indonesia sejak dulu dan merupakan sifat
asli bangsa Indonesia, dimana sifat ini tercermin dalam bentuk perbuatan dan
tingkah laku yang nyata sebagai kegiatan gotong royong.
Selain memiliki landasan dan asas, koperasi di Indonesia memiliki prinsip
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang RI No. 25/1992 pasal 5, ayat 1.
Prinsip-prinsip tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
1) Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka
Setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk masuk menjadi anggota
koperasi. Sifat kesukarelaan dalam keanggotaan koperasi mengandung makna
bahwa menjadi anggota koperasi tidak boleh dipaksakan oleh siapapun.
2) Pengelolaan dilakukan secara demokratis
Pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para anggota.
Anggota dalam koperasi memiliki dan memegang kekuasaan tertinggi.
83
Sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 25/1992 pasal 19 ayat 4: “setiap
anggota mempunyai kewajiban dan hak yang sama terhadap koperasi
sebagaimana diatur dalam anggaran dasar”
3) Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil dan sebanding dengan
besarnya jasa usaha masing-masing anggota
Pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada para anggotanya didasarkan atas
perimbangan jasa masing-masing anggota dalam usaha koperasi, yaitu
dihitung berdasarkan besarnya volume transaksi anggota dalam keseluruhan
volume usaha koperasi.
4) Pemberian balas jasa yang terbatas pada modal
Pembatasan bunga atas modal merupakan cerminan bahwa koperasi selain
menaruh perhatian terhadap pemberian imbalan yang wajar terhadap
partisipasi anggotanya, juga mendorong tumbuhnya rasa kesetiakawanan
antarsesama anggota koperasi.
5) Kemandirian
Salah satu sasaran utama pembangunan koperasi di Indonesia adalah
peningkatan kemandirianya. Koperasi menjadi mandiri jika organisasi dan
usahanya berakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Untuk mengakar kuat
dalam kehidupan masyarakat maka koperasi harus dapat diterima oleh
masyarakat. Oleh karena itu, koperasi harus mampu memperjuangkan
kepentingan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
84
2.6.3 Tujuan, fungsi, dan peran koperasi
Koperasi memiliki tujuan, fungsi, dan peran dalam perekonomian,
pembangunan, serta masyarakat. Tujuan koperasi adalah mewujudkan
kesejahteraan anggota dan masyarakat. Hal tersebut secara eksplisit tercantum
dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 1992, pasal 3 yang
menyatakan bahwa:
“koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian
nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.
Halid (2014) menyampaikan bahwa peran strategis koperasi untuk
mensejahterakan anggota dan masyarakat perlu didukung oleh ideologi ekonomi
atau politik ekonomi sebagai dasar dan arah kebijakan pemerintah yang
mengembangkan peran koperasi dalam mensejahterakan rakyat. Menurut Presiden
Republik Indonesia yang keenam, Susilo Bambang Yudhoyono dalam Halid
(2014), koperasi memiliki 5 (lima) nilai strategis untuk mensejahterakan rakyat,
yaitu.
1) Koperasi menerapkan prinsip demokrasi ekonomi
2) Koperasi menerapkan prinsip kemandirian untuk kesejahteraan anggota
dan masyarakatnya
3) Koperasi dapat menghasilkan keadilan dan pemerataan kesejahteraan
4) Koperasi mudah bersinergi dengan komponen strategis lain, seperti
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta dalam mensejahterakan
rakyat
5) Program koperasi bersinergi dengan program lain untuk pengentasan
kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan perawatan lingkungan
Sementara itu, Hanel (2005) mengemukakan bahwa koperasi tidak hanya
bertujuan untuk kepentingan masyarakat secara luas, namun koperasi memiliki
85
tujuan-tujuan yang sangat penting untuk perusahaan atau organisasi koperasi itu
sendiri, yakni.
1) Mempertahankan atau meningkatkan pangsa pasar dari satu atau
beberapa barang dan jasa dan menekan serendah-rendahnya biaya
produksi yang harus lebih rendah atau sama dengan biaya produksi para
pesaingnya (mempertahankan atau meningkatkan pangsa pasar pada
tingkat biaya yang bersaing dan pada tingkat efisiensi ekonomis secara
relatif)
2) Melindungi potensi ekonomi (secara kualitatif mempertahankan nilai
aktiva ril), menjaga dan mempertahankan likuiditas serta menciptakan
inovasi.
Undang-Undang RI No. 25 tahun 1992, pasal 4, menyatakan bahwa fungsi
dan peran koperasi adalah.
1) Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi
anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta untuk
meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya
2) Berperan serta aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan
manusia dan masyarakat
3) Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan
ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya
4) Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian
nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan
dan demokrasi ekonomi
Koperasi merupakan organisasi usaha yang tidak hanya mementingkan motif
ekonomi, namun juga memiliki motif sosial. Berdasarkan kedua motif tersebut
maka koperasi memiliki dua fungsi penting yang tidak bisa dipisahkan satu sama
lain, yaitu fungsi dalam bidang ekonomi dan fungsi dalam bidang sosial. Sebagai
organisasi ekonomi, koperasi memiliki fungsi dalam bidang ekonomi. Meskipun
demikian, koperasi berbeda dengan bentuk-bentuk organisasi ekonomi lainnya
sehingga fungsi koperasi dalam bidang ekonomi pun menjadi berbeda dengan
fungsi organisasi-organisasi ekonomi lainnya.
86
Fungsi koperasi dalam bidang ekonomi, antara lain menumbuhkan motif
berusaha yang lebih berprikemanusian, menumbuhkan sikap jujur dan
keterbukaan dalam pengelolaan usaha, meningkatkan penghasilan dan
kesejahteraan anggotanya, serta menawarkan barang dan jasa yang relatif murah,
mengefisienkan sistem tata niaga, dan mengembangkan metode pembagian sisa
hasil usaha yang lebih adil. Sementara itu, fungsi koperasi dalam bidang sosial,
berkaitan dengan asas dan prinsip-prinsip yang dianut oleh koperasi (Baswir,
2013).
Tugas utama koperasi adalah menunjang kegiatan usaha atau rumah tangga
anggotanya dalam rangka meningkatkan kekuatan ekonominya melalui
penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan, dimana barang dan jasa tersebut
sama sekali tidak tersedia di pasar atau tidak disediakan oleh badan-badan
pemerintah. Selain itu, koperasi dapat menawarkan barang dan jasa dengan harga,
mutu, dan syarat-syarat yang lebih menguntungkan dibandingkan yang
ditawarkan di pasar (Hanel, 2005).
Pemerintah Republik Indonesia mengakui bahwa koperasi memiliki peran
yang strategis dalam meraih cita-cita kesejahteraan rakyat. Hal ini dapat dilihat
dari 9 (sembilan) kali sambutan yang dilakukan pada Hari Koperasi Nasional,
sejak tahun 2005 – 2014, kecuali tahun 2008 dan tahun 2012, Presiden RI
keenam, Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan sekitar 23 kali isu arah
kebijakan koperasi untuk kesejahteraan rakyat. Sementara itu, Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui peran dan kontribusi penting koperasi di
berbagai negara dalam upaya mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan
87
kerja, dan persatuan-persatuan masyarakat. Sekretaris Jendral PBB, Ban Ki-Moon
dalam ICA Factsheet-UN International Year of Co-operatives di Geneva, Swiss,
pada tahun 2012 mengatakan bahwa:
“cooperative are reminder to the international community that it is possible
to purpose both economic viability and social responsibility”.
Menurut Ban Ki-Moon, melalui koperasi dapat dicapai kemajuan ekonomi dan
tanggung jawab sosial secara bersamaan (Halid, 2014).
2.6.4 Jenis-jenis koperasi
Jenis-jenis koperasi dikelompokan berdasarkan kriteria dan karakteristik
tertentu. Keberadaan keperasi pada awalnya hanya terdiri dari beberapa jenis.
Seiring dengan perkembangannya, jenis-jenis koperasi makin bervariasi. Menurut
Baswir (2013), jenis-jenis koperasi digolongkan berdasarkan jenis komoditi,
bidang usaha, jenis anggota, dan berdasarkan daerah kerja. Menurut jenis
komoditi, koperasi dikelompokkan berdasarkan jenis barang dan jasa yang
menjadi obyek usahanya, misalnya koperasi pertambangan, koperasi pertanian,
koperasi peternakan, koperasi industri, dan kerajinan, serta koperasi jasa.
Sementara itu, berdasarkan bidang usaha, koperasi dikelompokkan sebagai
berikut.
1) Koperasi konsumsi
Koperasi konsumsi merupakan koperasi yang menjalankan usaha dalam
bidang penyediaan barang-barang yang dibutuhkan oleh anggota dan
masyarakat sekitar. Jenis barang yang disediakan oleh koperasi disesuaikan
88
dengan latar belakang kebutuhan anggota yang merupakan pendorong
terbentuknya koperasi konsumsi.
2) Koperasi produksi
Koperasi produksi merupakan koperasi yang menjalankan usaha dalam
bidang produksi bahan baku menjadi barang jadi atau setengah jadi. Selain
itu, koperasi produksi melakukan kegiatan pemasaran atas barang-barang
yang dihasilkannya.
3) Koperasi pemasaran
Koperasi pemasaran merupakan koperasi yang didirikan dengan tujuan untuk
membantu para anggotanya dalam memasarkan barang/jasa dihasilkan oleh
para anggota koperasi. Keberadaan koperasi pemasaran membantu anggota
menyederhanakan rantai tata niaga dan mengurangi keterlibatan pedagang
perantara sehingga memungkinkan anggota memperoleh margin usaha yang
lebih besar dan menjual barang dengan harga yang lebih murah.
4) Koperasi kredit
Koperasi kredit merupakan koperasi yang menjalankan usaha khusus simpan
pinjam. Koperasi kredit mengumpulkan simpanan dari anggota dan kemudian
meminjamkannya kembali kepada anggota yang memerlukan bantuan.
Baswir (2013) mengatakan bahwa di Indonesia terjadi pengelompokkan
koperasi berdasarkan jenis anggota, dimana hal ini jarang terjadi di negara-negara
lain. Contoh jenis-jenis koperasi yang dikelompokkan berdasarkan jenis anggota,
misalnya: Koperasi Karyawan (Kopkar), Koperasi Pedagang Pasar (Koppas),
Koperasi Angkatan Darat (Primkopad), Koperasi Mahasiswa (Kopma), Koperasi
89
Pondok Pesantren (Koppotren), dan Koperasi Peranserta Wanita (Koperwan).
Sementara itu, berdasarkan daerah kerja, koperasi dibagi berdasarkan luas-
sempitnya wilayah yang dijangkau oleh badan usaha koperasi dalam melayani
kepentingan anggotanya atau dalam melayani masyarakat. Dalam hal ini, koperasi
dibagi dalam tiga jenis, yaitu koperasi primer (koperasi yang beranggotakan
orang-orang dalam lingkup wilayah terkecil tertentu), koperasi sekunder/pusat
koperasi (koperasi yang beranggotakan koperasi-koperasi primer dalam satu
lingkup wilayah tertentu), dan koperasi tersier/induk koperasi (koperasi yang
beranggotakan koperasi-koperasi sekunder).
2.6.5 Manajemen koperasi
Manajemen koperasi dapat dibagi dua, yaitu manajemen organisasi koperasi
dan manajemen usaha koperasi (Baswir, 2013). Untuk melaksanakan fungsi-
fungsi manajemennya, koperasi dikelola oleh perangkat-perangkat organisasi
yang tertuang dalam struktur organisasi koperasi. Berpedoman pada Undang-
Undang RI Nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian maka struktur organisasi
koperasi dapat diuraikan sebagai berikut.
1) Unsur-unsur alat perlengkapan organisasi koperasi, yaitu.
(1) Rapat anggota koperasi
Menurut UU RI No. 25/1992, pasal 22, rapat anggota merupakan
pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi. Ketentuan-ketentuan lain
terkait dengan rapat anggota berpedoman pada UU RI No. 25/1992 pasal
23 sampai dengan pasal 28.
90
(2) Pengurus koperasi
Menurut UU RI No. 25/1992, ketentuan-ketentuan tentang pengurus
koperasi diatur dalam pasal 29 sampai dengan pasal 37. Ketentuan
pengurus koperasi berdasarkan UU No. 25/1992, pasal 29, yaitu: (a)
pengurus dipilih dari dan oleh anggota koperasi dalam rapat anggota, (b)
pengurus merupakan pemegang kuasa rapat anggota, (c) untuk pertama
kali susunan dan nama anggota pengurus dicantumkan dalam akta
pendirian, (d) masa jabatan pengurus paling lama 5 (lima) tahun, (e)
persyaratan untuk dapat dipilih dan diangkat menjadi anggota pengurus
ditetapkan dalam anggaran dasar. Selanjutnya, ketentuan-ketentuan
lainnya mengenai pengurus koperasi berpedoman pada UU RI
No.25/1992, pasal 30 sampai dengan pasal 37.
(3) Pengawas koperasi
Berdasarkan pasal 38 UU No. 25/1992, pengawas dipilih dari dan oleh
anggota koperasi dalam rapat anggota, pengawas bertanggung jawab
dalam rapat anggota dan persyaratan untuk dipilih serta diangkat sebagai
anggota pengawas ditetapkan dalam anggaran dasar. Selanjutnya,
ketentuan-ketentuan lain mengenai pengawas koperasi berpedoman pada
UU RI No. 25 pasal 39 sampai dengan pasal 40.
2) Unsur-unsur pelaksana teknis, yaitu manajer dan karyawan koperasi
Manajer dan karyawan koperasi bertugas membantu pengurus dalam
pengelolaan koperasi.
91
3) Unsur penasihat (dewan penasihat) jika diperlukan oleh koperasi
Dewan penasihat diadakan bila usaha koperasi telah berkembang semakin
besar sehingga permasalaham-permasalahan yang dihadapi juga semakin
kompleks.
Unsur-unsur organisasi koperasi dapat digambarkan dalam struktur
organisasi, seperti pada Gambar 2.6.
Gambar 2.6
Struktur Organisasi Koperasi
Sumber: Soetjipto (2015)
2.7 Hubungan Antarvariabel dan Tinjauan Penelitian Terdahulu
Leana dan Van Burne (1999), mengungkapkan bahwa modal sosial memiliki
sumbangan positif dalam kaitannya dengan komitmen pekerja, fleksibilitas
organisasi, pengelolaan tindakan bersama yang lebih baik, dan pengembangan
modal pengetahuan (intellectual/conceptual capital). Sementara itu, Chegini, et al
(2012) menyatakan bahwa modal sosial merupakan aset bagi organisasi dalam
Rapat Anggota
Penasihat
Calon Anggota Anggota
Karyawan
Manajer
Pengurus Pengawas
92
penciptaan nilai atau aset bagi anggota organisasi dalam peningkatan keterampilan
kerja, mempengaruhi sukses pekerjaan, meningkatkan profesionalisme,
memotivasi pembaruan/kebaruan (novelty), penciptaan modal intelektual
(intellectual capital), dan efisiensi multifungsi tim/kelompok, serta memperkuat
hubungan dengan pemasok, jaringan produksi, dan pembelajaran organisasi.
Babaei, et al (2012) menyatakan bahwa dimensi dari modal sosial yang terdiri
dari bonding, bridging, dan linking social capital memiliki pengaruh terhadap
pemberdayaan masyarakat miskin di Taheran, Iran. Sementara itu, Yuliarmi
(2015) mengungkapkan bahwa modal sosial berperan terhadap pemberdayaan
industri kerajinan di Provinsi Bali namun secara tidak langsung melalui peran
lembaga adat. Adapun, penelitian yang dilakukan oleh Rafiy dan Rostin (2014),
menyatakan bahwa modal sosial memiliki dampak positif yang signifikan
terhadap pemberdayaan industri kecil, modal sosial memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap peran pemerintah, dan modal sosial secara tidak langsung
mempengaruhi pemberdayaan industri kecil melalui peran pemerintah.
Daud dan Yusoff (2010) menyatakan bahwa modal sosial berpengaruh
terhadap kinerja perusahaan dan dapat memediasi proses manajemen pengetahuan
serta kinerja perusahaan. Oleh karena itu, manajemen pengetahuan dan modal
sosial dapat diintegrasikan untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Sementara
itu, penelitian yang dilakukan oleh Jianbin, et al (2014) menyatakan bahwa
integrasi modal intelektual dan modal sosial memiliki nilai tambah dalam kinerja
dan efisiensi kerja sama. Liang, et al (2015) menyatakan bahwa dimensi modal
sosial memiliki dampak yang signifikan dan positif terhadap kinerja koperasi.
93
Penelitian yang dilakukan oleh Agahi dan Karami (2012), menunjukkan bahwa
komponen-komponen modal sosial berpengaruh terhadap kesuksesan koperasi
produksi di Iran. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa tingkat kesuksesan
koperasi, antara lain dipengaruhi oleh semangat kerja sama antaranggota koperasi,
goodwill antaranggota koperasi, hubungan dengan koperasi lainnya, kepedulian
terhadap masyarakat dan interaksi dengan masyarakat, serta saling percaya di
antara anggota koperasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Rapusingha, et al (2000), menyatakan bahwa
modal sosial berpengaruh terhadap pembangunan ekonomi melalui pertumbuhan
pendapatan per kapita. Putnam (1993) menyatakan bahwa jaringan horisontal
yang padat dapat memperkuat kepercayaan dan norma masyarakat sehingga dapat
memberikan kontribusi dalam memperbesar kesejahteraan. Majee (2015)
mengungkapkan bahwa koperasi memperluas aset modal sosial dari masyarakat
miskin dan dapat dikombinasikan dengan modal keuangan, modal manusia, dan
modal fisik untuk membantu mereka berpartisipasi dalam keputusan
pengembangan yang mempengaruhi kesejahteraan mereka. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Suandi (2007), menyatakan bahwa modal sosial secara langsung
maupun secara tidak langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga.
Christoforou (2003), melalui penelitian yang dilakukan di Yunani, menyatakan
bahwa modal sosial berperan dalam menguatkan pertumbuhan ekonomi. Narayan
dan Princhett (1999), secara empiris menunjukkan bahwa keeratan jaringan kerja
horisontal yang merupakan elemen dari modal sosial mempengaruhi penghasilan
individu. Sementara itu, Grootaert (1999) melakukan penelitian mengenai peran
94
modal sosial terhadap kesejahteraan rumah tangga di Indonesia. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa modal sosial memiliki korelasi positif dengan
kesejahteraan rumah tangga.
Habibi, et al (2015), mengungkapkan bahwa modal intelektual merupakan
penentu utama keberhasilan organisasi yang berperan dalam pemberdayaan
karyawan. Bagheri (2015) menyatakan bahwa modal intelektual yang terdiri dari
modal manusia, modal struktural, dan modal relasional memiliki hubungan yang
positif dan signifikan dengan pemberdayaan. Ghazizade, et al (2014)
mengemukakan bahwa pemberdayaan karyawan dalam organisasi memiliki
hubungan yang positif dan signifikan dengan modal intelektual. Pemberdayaan
karyawan akan meningkat jika modal intelektual meningkat. Ghafuri, et al (2014)
mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara human
capital, structural capital, dan relational capital, serta antara komponen-
komponen modal intelektual tersebut dengan kemampuan suatu organisasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Feraru, et al (2014), menunjukkan bahwa investasi
dalam pengetahuan serta pengelolaan modal intelektual yang baik dapat
meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam organisasi serta dapat
meningkatkan daya saing UKM.
Khalique, et al (2011), mengungkapkan bahwa indikator-indikator modal
intelektual, yakni human capital, structural capital, dan relational capital
memiliki hubungan yang positif dengan kinerja organisasi. Ngah dan Ibrahim
(2011) menyatakan bahwa modal intelektual dapat menentukan keberhasilan suatu
organisasi jika dikelola dengan baik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
95
bahwa semua dimensi modal intelektual, baik human capital, relational capital,
ataupun structural capital memberikan dampak yang signifikan terhadap berbagi
pengetahuan yang merupakan hal penting bagi usaha kecil dan menengah dalam
menciptakan sebuah bentuk atau program untuk inovasi sehingga dapat
meningkatkan kinerja.
Mushref (2014) melakukan penelitian tentang hubungan modal intelektual
dan kinerja organisasi pada industri di Irak dengan menggunakan variabel budaya
organisasi sebagai moderasi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa unsur-
unsur modal intelektual yang terdiri dari modal manusia, modal struktural, modal
relasional, dan modal pelanggan memiliki pengaruh yang kuat terhadap kinerja
industri di Irak. Budaya organisasi yang digunakan sebagai variabel moderasi
memberikan efek moderasi yang kuat antara variabel modal intelektual dan
kinerja organisasi. Chen, et al (2004) mengungkapkan bahwa pengetahuan
merupakan modal penting bagi kelangsungan suatu perusahaan serta dalam proses
pembelajaran dan persaingan antarperusahaan. Penelitian Chen menyatakan
bahwa 4 (empat) dimensi modal intelektual, yaitu: modal manusia, modal
struktural, modal inovasi, dan modal pelanggan memiliki hubungan yang
signifikan dengan kinerja perusahaan. Oleh karena itu, seluruh dimensi dari modal
intelektual dapat diintegrasikan untuk menghasilkan kinerja perusahaan yang
baik.
Bontis, et al (2000) menganalisis keterkaitan antara elemen-elemen modal
intelektual yang terdiri dari human capital, structural capital, dan custumer
capital dengan kinerja usaha pada sektor industri di Malaysia. Hasil penelitian
96
tersebut menunjukkan bahwa modal manusia (human capital) sangat penting
keberadaannya dalam suatu industri, baik dalam industri jasa maupun bukan jasa.
Modal manusia memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap proses
berlangsungnya suatu bisnis pada industri bukan jasa dibandingkan pada industri
jasa. Modal pelanggan (customer capital) memiliki pengaruh yang signifikan pada
industri dibandingkan modal struktural (structural capital). Pengembangan modal
struktural memiliki hubungan yang positif dengan kinerja bisnis pada industri.
Kamukama, et al (2010) melakukan penelitian tentang modal intelektual dan
kinerja keuangan pada lembaga keuangan mikro di Uganda. Hasil penelitian
tersebut menegaskan bahwa 3 (tiga) unsur modal intelektual, yakni modal
relasional, modal struktural, dan modal manusia menjadi prediktor yang kuat dari
kinerja keuangan. Adapun, penelitian yang dilakukan oleh Sofian, et al (2015)
menunjukkan bahwa modal intelektual berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.
Wei Yang, et al (2010), menyatakan bahwa modal intelektual diperlukan oleh
koperasi dalam membangun strategi kerja sama dengan pesaing serta dalam
meningkatkan kinerja.
Nahapiet dan Goshal (1998), mengatakan bahwa modal intelektual adalah
kapasitas disiplin intelektual organisasi sebagai hasil internalisasi/transformasi
secara sinergik dari seluruh kerja kompetensi dan kognitif yang dimiliki seluruh
anggota organisasi yang terjadi melalui proses transformasi pengetahuan sehingga
dapat menciptakan kekayaan perusahaan, nilai tambah bagi konsumen, dan
meningkatkan kesejahteraan bagi karyawan dan masyarakat. Sementara itu,
Kannan dan Aulbur (2004), menyatakan bahwa modal intelektual merupakan aset
97
tidak berwujud yang berperan penting dalam menentukan nilai suatu organisasi.
Pengukuran modal intelektual memiliki keuntungan antara lain mempercepat pola
pembelajaran dalam organisasi, meningkatkan pemahaman bagaimana
pengetahuan menciptakan hubungan timbal balik dan kerja sama, meningkatan
inovasi, serta meningkatkan kinerja organisasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Batran dan Casimir (2007) mengungkapkan
bahwa pemberdayaan memiliki korelasi positif dan signifikan dengan kinerja dan
kepuasan kerja. Sementara itu, Kok Pooi Chen (2011) menyatakan bahwa
pemberdayaan sangat berpengaruh terhadap kinerja karyawan pada industri
otomotif di Malaysia. Heriyawan dan Setyowati (2016) mengungkapkan bahwa
pemberdayaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai
Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang. Penelitian yang dilakukan oleh Kambey dan
Suharnomo (2013) menyatakan bahwa pemberdayaan berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kinerja karyawan. Adapun, Rahayu dan Sudibia (2016),
menyatakan bahwa variabel pemberdayaan berpengaruh terhadap kinerja
karyawan.
Sementara itu, Putra dan Kembar Sri Budhi (2015) melakukan penelitian di
Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung mengenai program pemerintah
tentang pemberdayaan masyarakat. Hasil penelitian menyatakan bahwa
pemberdayaan masyarakat melalui pelaksanaan PNPM-MP memiliki pengaruh
positif dan signifikan terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga, yang
merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Selain itu, penelitian
yang dilakukan oleh Jasuli dan Karman (2016) menyatakan bahwa pemberdayaan
98
masyarakat melalui PNPM-MP dapat menunjang peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Hal ini dapat dimaknai, bahwa pemberdayaan dapat menciptakan
keberdayaan bagi masyarakat sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan.
Suharto (2014), mengemukakan bahwa keberhasilan pemberdayaan dapat dilihat
dari keberdayaan individu atau masyarakat tentang kemampuan ekonomi,
kemampuan mengakses kesejahteraan, serta kemampuan kultural dan politis.