71
28 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Kesejahteraan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa bahwa tugas dari pemerintah Negara Indonesia adalah memajukan kesejahteraan umum. Istilah “kesejahteraan umum” yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 mempunyai arti yang sama dengan istilah “kesejahteraan sosial” yang tercantum dalam Bab XIV UUD 1945 (Fahrudin, 2012). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial, pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya. Pengertian kesejahteraan yang dimaksud dalam UUD 1945, baik dalam bagian pembukaan dan Bab XIV serta dalam UU No. 11/2009 mempunyai padanan secara internasional dengan konsep kesejahteraan menurut Jones (1990), yaitu the achievement of social welfare means, first and foremost, the alleviation of poverty in its manifestations”. Social walfare yang dimaksud dapat diartikan sebagai kesejahteraan, kesejahteraan umum ataupun kesejahteraan sosial. Ismail dkk. (2015) mengatakan bahwa kesejahteraan merupakan konsep yang abstrak karena keberadaannya terkait langsung dengan nilai-nilai hidup dan ideologi yang dianut oleh seseorang. Kesejahteraan tidak hanya diartikan sebagai ukuran ketersediaan material, tetapi perlu dikaitkan dengan pandangan hidup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Kesejahteraan · 2.1 Teori Kesejahteraan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa bahwa tugas dari pemerintah Negara Indonesia

  • Upload
    others

  • View
    33

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Kesejahteraan

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa

bahwa tugas dari pemerintah Negara Indonesia adalah memajukan kesejahteraan

umum. Istilah “kesejahteraan umum” yang tercantum dalam pembukaan UUD

1945 mempunyai arti yang sama dengan istilah “kesejahteraan sosial” yang

tercantum dalam Bab XIV UUD 1945 (Fahrudin, 2012). Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial, pasal 1

ayat 1 menyatakan bahwa kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya

kebutuhan material, spritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan

mampu mengembangkan diri sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Pengertian kesejahteraan yang dimaksud dalam UUD 1945, baik dalam

bagian pembukaan dan Bab XIV serta dalam UU No. 11/2009 mempunyai

padanan secara internasional dengan konsep kesejahteraan menurut Jones (1990),

yaitu “the achievement of social welfare means, first and foremost, the alleviation

of poverty in its manifestations”. Social walfare yang dimaksud dapat diartikan

sebagai kesejahteraan, kesejahteraan umum ataupun kesejahteraan sosial. Ismail

dkk. (2015) mengatakan bahwa kesejahteraan merupakan konsep yang abstrak

karena keberadaannya terkait langsung dengan nilai-nilai hidup dan ideologi yang

dianut oleh seseorang. Kesejahteraan tidak hanya diartikan sebagai ukuran

ketersediaan material, tetapi perlu dikaitkan dengan pandangan hidup

29

bangsa yang dianut. Kesejahteraan bukan hanya menjadi cita-cita individu secara

perorangan, namun juga menjadi tujuan sekumpulan individu yang terhimpun

dalam suatu negara sehingga muncul dua macam kesejahteraan, yaitu

kesejahteraan individu dan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan individu

merupakan kesejahteraan yang dirasakan oleh setiap orang sebagai individu,

sedangkan kesejahteraan masyarakat merupakan kesejahteraan yang dirasakan

oleh semua orang dalam satu kesatuan.

Berdasarkan asal kata, kesejahteraan berasal dari kata “sejahtera” yang

mengandung pengertian dari bahasa Sansekreta “cetera” yang artinya “payung”.

Asal kata ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan kesejahteraan yang

terkandung dalam “cetera” adalah orang yang sejahtera, yaitu orang yang dalam

hidupnya bebas dari kemiskinan, kebodohan, ketakutan, atau kekhawatiran

sehingga hidupnya aman tentram, baik lahir maupun batin (Fahrudin, 2012).

Friedlander (1980) mengatakan bahwa kesejahteraan merupakan sistem yang

terorganisasi yang dilakukan melalui pelayanan-pelayanan dan lembaga-lembaga

sosial dengan tujuan untuk membantu individu dan kelompok agar mencapai

tingkat hidup dan kesehatan yang memuaskan serta hubungan-hubungan personal

dan sosial yang memberi kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan

seluruh kemampuannya dan untuk meningkatkan kesejahteraannya sesuai dengan

kebutuhan-kebutuhan keluarga dan masyarakat.

Adi (2013) menyebutkan beberapa paradigma kesejahteraan sosial, salah

satunya adalah paradigma developmental atau model kesejahteraan

developmental. Paradigma ini merupakan konsepsi tentang sistem kesejahteraan

30

sosial yang berdasarkan pada nilai-nilai keadilan sosial (social justice) yang

menekankan pada aspek kesetaraan, kerja sama, dan kemauan untuk saling

berbagi dari anggota masyarakat. Selain itu, Adi menyebutkan bahwa bidang

kesejahteraan sosial dapat dikelompokkan berdasarkan besaran (size) kelompok

yang dituju, yaitu: (1) kesejahteraan individu, (2) kesejahteraan keluarga, (3)

kesejahteraan kelompok, (4) pengembangan kesejahteraan masyarakat lokal, dan

(5) pengembangan kesejahteraan publik secara luas. Menurut Mayo (1998),

masyarakat dapat diartikan dalam 2 (dua) konsep, yaitu masyarakat sebagai

sebuah wilayah geografi yang sama atau tempat bersama dan masyarakat sebagai

kesamaan kepentingan berdasarkan kebudayaan dan identitas atau kepentingan

bersama.

Fahrudin (2012) mengatakan bahwa kesejahteraan berkaitan dengan konsep

kualitas hidup (quality of life). Sementara itu, Midgley (1997), mendefinisikan

bahwa kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi dalam masyarakat, yaitu:

“a state or condition of human well-being that exists when social problems

are managed, when human needs are met, and when social opportunities are

maximized”.

Adi (2013), menyatakan bahwa beberapa parameter umum yang sesuai dengan

kondisi Indonesia yang dapat dipertimbangkan dalam mengukur kesejahteraan

masyarakat, antara lain adalah parameter ekonomi, perumahan, pendidikan,

kesehatan, lingkungan hidup, spritualitas, rekreasional, dan jaminan sosial.

Menurut Lokshin dan Ravallion (2000), kesejahteraan dapat dilihat dari dua

pendekatan, yaitu kesejahteraan objektif dan kesejahteraan subjektif.

Kesejahteraan subjektif dapat menggambarkan berbagai aspek dalam kehidupan,

31

antara lain: lapangan pekerjaan, aktivitas ekonomi, tingkat independensi,

semangat hidup, dan leisure. Milligan, et al (2006) menjelaskan bahwa

kesejahteraan objektif adalah tingkat kesejahteraan individu atau kelompok

masyarakat yang diukur secara rata-rata dengan patokan tertentu, baik ukuran

ekonomi, sosial maupun ukuran lainnya. Sementara itu, Suandi (2006)

mengatakan bahwa kesejahteraan subjektif merupakan tingkat kesejahteraan

seorang individu yang dilihat secara personal yang diukur dalam bentuk kepuasan

dan kebahagiaan.

Sen (2000) mengatakan bahwa tingkat kepuasan (satisfication) dapat

menggambarkan tingkat kemampuan seseorang dalam mengevaluasi suatu aksi

dan dapat menjangkau berbagai kelompok kesejahteraan, sedangkan kebahagian

(happiness) hanya dapat dirasakan terhadap berbagai peristiwa pada kelompok

tertentu dalam aksesnya dengan masyarakat dan institusi. Sementara itu, Peck dan

Goodwin (2003) mengatakan bahwa kepuasan individu, keluarga ataupun

masyarakat dapat menggambarkan tingkat kemampuan mengkonsumsi barang dan

jasa serta harapan masa depan. Penelitian yang dilakukan oleh Suandi (2007),

mengukur kesejahteraan subjektif berdasarkan indikator pemenuhan pangan,

pemenuhan nonpangan, dan pemenuhan investasi.

Ransome (2010), dalam Australian Journal of Social Issues, mengatakan

bahwa Amartya Sen mengusulkan pendekatan ‘kapabilitas’ untuk kesejahteraan

pribadi berdasarkan kebebasan dalam memilih. Penciptaan potensi atau

kemampuan manusia dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan keluarga.

Kapabilitas merupakan elemen penting dan paling mendasar dari seorang

32

manusia. Melalui peningkatan kapabilitas atau kemampuan yang dimilikinya,

manusia mampu merespon peluang-peluang yang ada sehingga dapat

mempengaruhi perubahan sosial dan ekonominya. Menurut Sen (2006), barang

primer dan pendapatan, serta kebebasan dan basis sosial harga diri merupakan

informasi penting dalam membandingkan kesejahteraan antarindividu. Meskipun

demikian, kepemilikan barang primer tidak cukup membuat perbandingan

interpersonal atas kesejahteraan. Apabila kesuksesan ekonomi hanya ditentukan

oleh pendapatan dan indikator-indikator kemewahan tradisional serta kesehatan

finansial maka tujuan utama bagi tercapainya kesejahteraan telah gagal.

Kesejahteraan harus bertumpu pada basis informasi yang lebih luas dari preferensi

individu, yaitu perbandingan interpersonal kesejahteraan.

Inti kesejahteraan menurut Sen (2006) adalah kapabilitas. Setiap masyarakat

mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan program bagi setiap

warganya, khususnya anak-anak dan gender sehingga mereka dapat mencapai

pemenuhan kebutuhan maksimal dan berkembang menjadi manusia yang capable.

Semakin besar kapabilitas maka semakin besar pula kebebasan dalam merespon

peluan-peluang yang ada. Pengembangan kemampuan (kapabilitas) manusia

berkaitan dengan peningkatan harapan hidup, bebas dari buta huruf, kesehatan,

dan pendidikan dalam masyarakat. Kapabilitas memungkinkan manusia untuk

dapat menjalani hidup yang lebih bermakna (sejahtera).

Teori kesejahteraan dengan pendekatan kapabilitas sejalan dengan konsep

keberdayaan. Menurut Mardikanto dan Soebianto (2015), dalam pemberdayaan

terdapat proses peningkatan kemampuan (kapabilitas) dan sikap kemandirian

33

masyarakat dalam memperbaiki mutu hidup atau kesejahteraan setiap individu

dan masyarakat. Kapabilitas dapat pula dimaknai sebagai keberdayaan individu

atau organisasi dalam mewujudkan kesejahteraan bagi kehidupannya.

Kartasasmita (1996) menyatakan bahwa keberdayaan merupakan unsur-unsur

yang memungkinkan individu, organisasi atau masyarakat bertahan (survive) dan

dinamis serta dapat mengembangkan diri mencapai tujuan atau kesejahteraan

hidupnya.

Tingkatan keberdayaan menurut Huraerah (2007), diantaranya adalah

terpenuhinya kebutuhan dasar dan adanya penguasaan serta akses terhadap

berbagai sistem dan sumber yang diperlukan, serta kesadaran akan berbagai

potensi, kekuatan, dan kelemahan diri serta lingkungan. Hal ini dapat terjadi jika

setiap individu, organisasi atau masyarakat memiliki kemampuan mengolah dan

memanfaatkan modal yang dimilikinya, seperti modal keuangan (financial

capital), modal sosial (social capital), dan modal intelektual (intellectual capital).

Dowling dan Fang (2007) mengutip pendapat Putnam bahwa modal sosial (social

capital) dapat meningkatkan sikap dan memberikan kontribusi dalam

memperbesar kebahagiaan dan kesejahteraan. Sementara itu, Stewart (1997),

mengatakan bahwa modal intelektual (intellectual capital) merupakan material

intelektual pengetahuan, informasi, kekayaan intelektual, dan pengalaman yang

dapat diambil untuk digunakan dalam menciptakan kesejahteraan.

Berbagai literatur ekonomi menyatakan bahwa kesejahteraan merupakan

istilah yang kompleks karena tidak hanya terkait dengan konsep material yang

bersifat kuantitatif, namun terkait pula dengan konsep nonmaterial yang bersifat

34

kualitatif yang melibatkan nilai-nilai pandangan hidup suatu masyarakat. Oleh

karena itu, dalam pengukuran kesejahteraan harus memperhatikan keseimbangan

antara unsur material dan nonmaterial. Secara ringkas, kedua unsur tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut (Ismail dkk, 2015).

1) Unsur material

Unsur material terdiri dari kebutuhan fisik dan sosial. Kebutuhan fisik

(badan) berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia dalam

mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kebutuhan tersebut adalah sandang

(pakaian), pangan (makanan), dan papan (perumahan/tempat tinggal).

Adapun kebutuhan sosial merupakan kebutuhan dasar manusia dalam

berinteraksi dengan manusia lainnya. Kebutuhan tersebut adalah pendidikan,

kesehatan, komunikasi, dan transportasi.

2) Unsur nonmaterial

Unsur nonmaterial terkait dengan kesejahteraan batiniah. Unsur kesejahteraan

ini adalah kebutuhan spritual, keamanan jiwa/kehidupan, serta kemurnian dan

kesempurnaan akal.

Pengukuran tingkat kesejahteraan, baik kesejahteraan individu, masyarakat

ataupun kesejahteraan rakyat dapat menggunakan berbagai pendekatan beserta

indikator-indikatornya. Beberapa pendekatan yang digunakan untuk mengukur

kesejahteraan secara makro dapat diuraikan sebagai berikut.

1) Pendekatan pengukuran kesejahteraan rakyat/masyarakat menurut Badan

Pusat Statistik (BPS).

Komponen-komponen yang menjadi indikator kesejahteraan menurut BPS

adalah kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan, ketenagakerjaan, taraf

35

dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, kemiskinan, serta indikator

sosial lainnya.

2) Pendekatan pengukuran kesejahteraan dengan menggunakan Indeks

Kesejahteraan Rakyat (IKraR)

Pengukuran tingkat kesejahteraan rakyat dengan menggunakan Indeks

Kesejahteraan Rakyat (IKraR) dikembangkan oleh Kementerian Koordinator

Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia yang diluncurkan pada

tanggal 21 Maret 2012. Indeks ini digunakan untuk mengukur tingkat

kesejahteraan rakyat di Indonesia. Selain itu, IKraR digunakan juga untuk

mengukur keberhasilan pembangunan inklusif dan ketersediaan akses

terhadap pemenuhan hak-hak dasar rakyat di Indonesia. IKraR dibentuk oleh

3 (tiga) dimensi dengan 22 indikator, yaitu.

(1) Dimensi keadilan sosial

Dimensi ini mengukur keadilan dalam pemenuhan kebutuhan dasar,

perbaikan aksesibilitas, serta pengurangan kesenjangan sosial di

masyarakat. Indikatornya meliputi akses listrik, akses berobat, rekreasi,

lama sekolah bagi penduduk lebih dari usia 15 tahun, pemanfaatan

jaminan sosial, angka harapan hidup, akses air bersih, akses pada sanitasi,

pengeluaran per kapita lebih besar dari garis kemiskinan, dan tingkat

pemerataan pendapatan.

(2) Dimensi keadilan ekonomi

Dimensi ini mengukur keadilan kepemilikan dan aksesibilitas rakyat

terhadap sumber daya ekonomi untuk mencapai kesejahteraanya.

36

Indikatornya meliputi kepemilikan rumah sendiri, usia penduduk lebih

dari 15 tahun yang bekerja, rasio pengeluaran terhadap garis kemiskinan,

rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah, akses kepada sumber daya ekonomi, rasio biaya

pendidikan terhadap total pengeluaran, dan rasio biaya kesehatan terhadap

total pengeluaran.

(3) Dimensi demokrasi

Dimensi ini mengukur kemajuan pembangunan demokrasi yang

menjamin hak rakyat berpartisipasi dalam keseluruhan proses

pembangunan secara mandiri tanpa diskriminasi. Indikatornya meliputi

akses informasi, rasa aman, kebebasan sipil, hak politik, dan lembaga

demokrasi.

3) Pendekatan pengukuran kesejahteraan menurut United Nation Development

Programe (UNDP)

Pengukuran tingkat kesejahteraan rakyat/masyarakat menurut UNDP

dilakukan berdasarkan perhitungan Human Development Index (HDI) atau

Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks ini dibentuk oleh 3 (tiga)

dimensi dasar, yaitu.

(1) Dimensi kesehatan (indeks kesehatan)

Dimensi kesehatan diukur melalui Angka Harapan Hidup Saat Lahir

(AHH) yang didefiniskan sebagai rata-rata perkiraan banyak tahun yang

dapat ditempuh oleh seseorang sejak lahir. Angka Harapan Hidup

mencerminkan derajat kesehatan suatu masyarakat.

37

(2) Dimensi pengetahuan (indeks pengetahuan)

Dimensi pengetahuan diukur melalui Harapan Lama Sekolah (HLS) dan

Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Angka Harapan Lama Sekolah

didefinisikan sebagai lamanya sekolah (dalam tahun) yang diharapkan

akan dirasakan oleh anak pada umur tertentu di masa yang akan datang

(dihitung untuk penduduk 7 tahun ke atas). Adapun, RLS didefinisikan

sebagai jumlah tahun yang digunakan oleh penduduk dalam menjalani

pendidikan formal (dihitung untuk penduduk berusia 25 tahun ke atas).

(3) Dimensi standar hidup layak (indeks pengeluaran)

Dimensi standar hidup layak diukur melalui pengeluaran per kapita

disesuaikan yang ditentukan dari nilai pengeluaran per kapita dan paritas

daya beli.

2.2 Teori Kinerja

2.2.1 Pengertian Kinerja

Mangkunegara (2010) menyatakan bahwa kinerja merupakan kemampuan

atau prestasi yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai

dengan tanggung jawab yang diberikan dan sesuai dengan standar yang

ditetapkan. Gibson (1997) menyatakan bahwa kinerja organisasi atau perusahaan

merupakan indikator tingkatan prestasi yang dapat dicapai serta mencerminkan

keberhasilan manajer/pengusaha. Menurut Brahmasari (2004), kinerja merupakan

pencapaian atas tujuan organisasi yang dapat berbentuk output kuantitatif maupun

38

kualitatif, kreatifitas, fleksibilitas, dapat diandalkan atau hal-hal lain yang

diinginkan oleh organisasi.

Pengukuran kinerja dapat bersifat jangka pendek maupun jangka panjang,

juga dapat dilakukan pada tingkatan individu, kelompok ataupun organisasi.

Menurut Handoko (2003), kinerja merupakan perilaku/tindakan yang sesuai dan

sejalan dengan tujuan organisasi, dimana penilaian kinerja dapat dilakukan oleh

ahlinya. Chasanah (2008) mengatakan bahwa kinerja dapat pula disebut sebagai

prestasi kerja yang merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan perusahaan.

Secara keseluruhan kinerja merupakan hasil yang diperoleh dari perilaku anggota

suatu organisasi.

Penilaian dan pengukuran kinerja dapat bermanfaat bagi organisasi atau

perusahaan untuk mengetahui kinerja organisasi sehingga dapat membentuk suatu

organisasi/perusahaan yang lebih berkualitas. Sehubungan dengan kinerja

koperasi, Ropke (1989) mengatakan bahwa tujuan koperasi adalah sukses yang

meliput: sukses usaha, sukses keanggotaan, dan sukses pengembangan. Metode

pengukuran dan penilaian kinerja koperasi bermacam-macam, diantaranya yang

dikemukan oleh Paitandi (2014) dalam Indian Journal Of Applied Research, yaitu

teknik analisis kinerja sosial-ekonomi koperasi dengan menggunakan metode

antara lain: analisis tabulasi, analisis laju pertumbuhan, analisis rasio, analisis

kecukupan modal, dan analisis Strenghts, Weaknesses, Opportunities, Thereats

(SWOT).

Banyak faktor yang menentukan kinerja koperasi, antara lain yang tercantum

dalam PERMEN Koperasi dan UKM No. 21/Per/M.KUKM/IX/2015 yang terdiri

39

dari aspek kelembagaan, usaha, keuangan, dan manfaat, serta faktor-faktor lainnya

yang berhubungan dengan lingkungan internal dan eksternal koperasi.

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

Republik Indonesia (PERMEN Nomor 14/Per/M.KUKM/XII/2009), khusus untuk

penilaian kesehatan (kinerja) Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan Unit Simpan

Pinjam (USP) koperasi ditentukan oleh 7 (tujuh) aspek, yaitu: permodalan,

kualitas aktiva produktif, manajemen, efisiensi, likuiditas, kemandirian, dan

pertumbuhan serta jati diri koperasi. Penilaian aspek-aspek yang menentukan

kinerja tersebut menggunakan nilai yang dinyatakan dalam angka 0 sampai

dengan 100, dimana masing-masing aspek dan komponennya memiliki bobot

yang telah ditetapkan.

2.2.2 Pengukuran kinerja

Analisis kinerja koperasi dapat menggunakan berbagai cara, antara lain

analisis statistik deskriptif, analisis statistik induktif, analisis Balanced Scorecard

(BSC) atau melalui pengukuran Cooperative Performance Index (CPI).

Pengukuran kinerja koperasi dengan menggunakan metode Balanced Scorecard

(BSC), mengabungkan aspek-aspek finansial dan nonfinansial. Menurut Hansen

dan Mowen (2009), BSC merupakan sistem manajemen kinerja terintegrasi yang

menghubungkan berbagai tujuan dan ukuran kinerja serta strategi organisasi.

Aspek-aspek yang menjadi tolak ukur kinerja diidentifikasi sebagai faktor-faktor

yang turut menentukan kinerja organisasi, dalam hal ini adalah koperasi. Kaplan

40

dan Norton (1996) menyatakan 4 (empat) perspektif atau aspek pengukuran

kinerja dengan menggunakan BSC, yaitu.

1) Aspek keuangan (financial)

Gekonge (2005) menyatakan bahwa ukuran kinerja berdasarkan aspek

keuangan mencakup peningkatan struktur biaya, peningkatan pemanfaat aset

melalui strategi peningkatan produktivitas, pertumbuhan pendapatan, dan

efisiensi biaya. Pengukuran kinerja koperasi dari aspek keuangan dapat

dilihat dari Sisa Hasil Usaha (SHU) dan rasio keuangan diantaranya adalah

Return On Equity (Surya, 2014). Dalam Undang-Undang RI Nomor 25 tahun

1992, Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi dinyatakan sebagai pendapatan

koperasi yang diperoleh dalam satu tahun buku dikurangi dengan biaya,

penyusutan, dan kewajiban lainnya termasuk pajak dalam tahun buku yang

bersangkutan. Sementara itu, Return On Equity (ROE) merupakan rasio

keuangan yang mengukur jumlah keuntungan yang dihasilkan oleh koperasi

dibandingkan dengan modal yang ada.

2) Aspek Pelanggan (customer)

Pelanggan (custumer) dalam koperasi adalah anggota yang juga sebagai

pemilik koperasi. Pengukuran kinerja berdasarkan aspek pelanggan

menggambarkan kemampuan organisasi dalam menyediakan barang dan jasa

yang berkualitas, efektif dalam pengirimannya, keseluruhan pelayanan

kepada pelanggan, dan kepuasan pelanggan (Gekonge, 2005). Perhatian

pelanggan biasanya terpusat pada empat kategori, yaitu: waktu, kualitas,

pelayanan, serta biaya (Kotler dan Armstrong, 2004). Faktor yang

41

mempengaruhi kinerja dari perspektif pelanggan dapat diukur melalui

pertumbuhan anggota sebagai pelanggan dan tingkat kepuasan pelanggan

terhadap produk dan layanan koperasi.

3) Aspek proses bisnis internal (internal business process)

Proses bisnis internal merupakan pengukuran kinerja yang berfokus pada

kegiatan organisasi dalam memberikan kepuasan pelayanan kepada

pelanggan baik dalam bentuk produk atau jasa sesuai bisnis yang dikelola

oleh organisasi (Giannopoulos, et al, 2013). Sementara itu, Surya (2014)

mengatakan bahwa pengukuran kinerja berdasarkan proses bisnis internal

dilakukan untuk mengetahui apakah koperasi mampu mengembangkan

produk atau jasa sesuai dengan kebutuhan pelanggan.

4) Aspek pembelajaran dan pertumbuhan (learning and growth)

Pengukuran kinerja dengan metode BSC melalui perspektif pembelajaran dan

pertumbuhan difokuskan pada kemampuan dan keterampilan perusahaan

dalam menciptakan keunggulan proses bisnis internal yang memberikan nilai

bagi pelanggan dan shareholders. Beberapa faktor yang dijadikan ukuran

dalam menilai kinerja dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan, antara

lain: pendidikan dan tingkat keterampilan karyawan serta tingkat kepuasan

dan retensi karyawan (Giannopoulos, et al, 2013). Sehubungan dengan

koperasi, Surya (2014) menyatakan bahwa aspek pembelajaran dan

pertumbuhan dapat diukur berdasarkan produktivitas karyawan dan tingkat

kepuasan karyawan.

42

Berdasarkan kajian empiris dari berbagai literatur ilmiah, diidentifikasi

berbagai faktor yang menentukan kinerja koperasi, yaitu.

1) Prinsip-prinsip koperasi

Prinsip koperasi merupakan pedoman bagi koperasi dalam melaksanakan

nilai-nilai koperasi dalam praktek. Menurut penelitian yang dilakukan oleh

Chrispinus (2014), prinsip-prinsip koperasi menentukan kinerja.

2) Sumber daya (resources)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Soetjipto (2015), sumber

daya merupakan segala sesuatu, baik yang berwujud maupun yang tidak

berwujud yang digunakan untuk mencapai hasil. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Sumiati (2014) pada koperasi simpan pinjam di Jawa Timur,

diketahui bahwa sumber daya turut mempengaruhi kinerja koperasi secara

signifikan dan positif.

3) Partisipasi anggota

Partisipasi anggota merupakan pelaksanaan kewajiban dan hak sebagai

anggota (Limbong, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Wicaksongko

(2000) menunjukkan bahwa partisipasi anggota berpengaruh signifikan

terhadap kinerja koperasi.

4) Komitmen anggota

Samson (2010) mengatakan bahwa salah satu aspek penting dari anggota

koperasi adalah komitmen atau loyalitas. Tanpa hal tersebut koperasi tidak

dapat berfungsi dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Chrispinus

43

(2014) menunjukkan bahwa komitmen anggota mempengaruhi kinerja

koperasi.

5) Struktur organisasi

Undang-Undang RI Nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian menyatakan

bahwa struktur organisasi koperasi di Indonesia terdiri dari: (1) unsur-unsur

alat perlengkapan organisasi koperasi, yaitu: rapat anggota koperasi, pengurus

koperasi, dan pengawas koperasi, (2) unsur-unsur pelaksana teknis, yaitu:

manajer dan karyawan koperasi, dan (3) unsur penasihat (dewan penasihat)

jika diperlukan oleh koperasi. Penelitian yang dilakukan oleh Sumiati (2014)

menyatakan bahwa struktur organisasi merupakan bagian dari variabel

lingkungan internal koperasi, berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kinerja koperasi.

6) Budaya

Budaya organisasi mencerminkan nilai-nilai dari pendiri perusahaan dan misi

dari perusahaan. Budaya organisasi dalam koperasi merupakan kumpulan

nilai-nilai, keyakinan-keyakinan atau harapan-harapan yang dimiliki oleh

anggota koperasi yang turun temurun diwariskan kepada para anggota

ataupun karyawan koperasi. Unsur-unsur budaya organisasi antara lain

kepercayaan, harapan (expectation), dan nilai-nilai. Budaya organisasi yang

merupakan bagian lingkungan internal koperasi memiliki pengaruh signifikan

dan positif terhadap kinerja koperasi (Sumiati (2014).

44

7) Lingkungan masyarakat

Lingkungan masyarakat (societal environment) merupakan kekuatan di luar

organisasi atau perusahaan yang secara umum tidak langsung menyentuh

kegiatan-kegiatan organisasi dalam jangka pendek, namun berpotensi

mempengaruhi organisasi dalam jangka panjang. Lingkungan masyarakat,

antara lain dipengaruhi oleh: (1) kekuatan-kekuatan ekonomi, (2) kekuatan-

kekuatan teknologi, (3) kekuatan-kekuatan politik-hukum, dan (4) kekuatan-

kekuatan sosial budaya. Lingkungan masyarakat berpengaruh terhadap

kinerja koperasi (Sumiati, 2014).

8) Kompetitor

Kompetitor diidentifikasi sebagai salah satu faktor yang menentukan kinerja

koperasi. Berdasarkan penelitian Subari (2012) diketahui bahwa kompetitor

dapat diatasi jika koperasi konsisten dalam membangun sistem pasar

bersaing.

9) Dukungan pemerintah daerah

Dukungan pemerintah daerah terhadap koperasi berhubungan dengan

kebijakan-kebijakan pemerintah yang dapat mendorong pertumbuhan dan

perkembangan koperasi serta pemberdayaan koperasi bagi kepentingan

anggota (Sumiati, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Subari (2012),

menyatakan bahwa dukungan pemerintah daerah turut menentukan kinerja

koperasi, namun bersifat tidak mutlak.

45

10) Frekuensi pembinaan

Pembinaan koperasi tercantum dalam Undung-Undang RI nomor 25 tahun

1992 tentang perkoperasian. Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan

bahwa pemerintah menciptakan dan mengembangkan iklim dan kondisi yang

mendorong pertumbuhan serta pemasyarakatan koperasi. Selain itu,

pemerintah memberikan bimbingan, kemudahan, dan perlindungan terhadap

koperasi. Penelitian yang dilakukan oleh Wicaksongko (2000) menunjukkan

bahwa peran pemerintah dalam hal pembinaan sangat penting bagi

peningkatan kinerja koperasi.

2.3 Teori Keberdayaan

Keberdayaan merupakan suatu kondisi ataupun hasil dari suatu proses atau

aktivitas pemberdayaan. Oleh karena itu, konsep tentang keberdayaan selalu

berhubungan dengan pemberdayaan (empowerment). Suharto (2014), menyatakan

bahwa pemberdayaan (empowerment), berasal dari kata ‘power’ (kekuasaan atau

keberdayaan) sehingga secara konseptual pemberdayaan terkait dengan konsep

kekuasaan. Daya merupakan kata dasar dari keberdayaan memiliki arti kekuatan

yang berasal dari dalam, tetapi dapat pula diperkuat melalui unsur-unsur dari luar

(Theresia dkk, 2014).

Keberdayaan merupakan suatu kondisi dimana individu memiliki kekuasaan

atau kemampuan (daya/power) untuk memaksimalkan potensi-potensi yang

dimilikinya untuk mencapai kesejahteraan. Menurut Kartasasmita (1996),

keberdayaan merupakan unsur-unsur yang memungkinkan, individu, organisasi

46

atau masyarakat bertahan (survive) dan dinamis, serta dapat mengembangkan diri

mencapai tujuan atau kesejahteraan hidupnya. Menurut Tjandraningsih (1996),

pemberdayaan mengutamakan usaha sendiri dari orang yang diberdayakan untuk

meraih keberdayaannya.

Luttrell, et al (2009) mengatakan bahwa banyak pendapat yang menyatakan

bahwa pemberdayaan sebagai proses dan hasil. Pemberdayaan sebagai proses

difokuskan pada peningkatan kapasitas organisasi atau peningkatan partisipasi

kelompok, sedangkan pemberdayaan sebagai hasil, difokuskan pada peningkatan

ekonomi dan akses terhadap sumberdaya ekonomi. Menurut Suharto (2014),

pemberdayaan merujuk pada kemampuan individu, khususnya kelompok lemah

sehingga memiliki kekuatan atau kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar,

menjangkau sumber-sumber produktif, dan berpartisipasi dalam proses

pembangunan. Ife (1995) menyatakan bahwa pemberdayaan (empowerment)

adalah:

“a process of helping disadvantaged groups and individual to compete more

effectively with other interests, by helping them to learn and use in lobbying,

using the media, engaging in political action, understanding how to ‘work

the system,’ and so on”.

Mardikanto dan Soebianto (2015) menyatakan bahwa pemberdayaan

merupakan upaya peningkatan kemampuan masyarakat (miskin, marjinal, dan

terpinggirkan) untuk menyampaikan pendapat atau kebutuhannya, pilihan-

pilihannya, berpartisipasi, bernegosiasi, mempengaruhi dan mengelola

kelembagaan masyarakatnya secara bertanggung jawab demi perbaikan

kehidupannya. Mengacu pada berbagai pengertian tentang pemberdayaan maka

keberdayaan dapat dikatakan sebagai kemampuan untuk memperbaiki mutu hidup

47

atau kesejahteraan setiap individu dan masyarakat yang antara lain dapat dilihat

melalui perbaikan ekonomi (ketercukupan pangan), perbaikan kesejahteraan sosial

(pendidikan dan kesehatan), kebebasan dari segala bentuk penindasan, kehidupan

yang aman, serta terjaminya hak asasi manusia. Inti dari keberdayaan adalah

kemampuan dan kemandirian individu, kelompok atau organisasi dalam

memaksimalkan potensi-potensi yang dimilikinya untuk mencapai kesejahteraan.

Keberdayaan/kekuasaan (power) merupakan asal kata dari pemberdayaan/

pemberkuasaan (empowerment). Pemberdayaan dapat meningkatkan kemampuan

setiap individu, terutama kelompok rentan dan lemah sehingga memiliki

kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki

kebebasan (freedom), dapat mengakses sumber produktif untuk peningkatan

pendapatan, memperoleh barang dan jasa yang dibutuhkan, serta dapat

berpartisipasi dalam proses pembangunan yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Pemberdayaan merupakan proses dan tujuan. Pemberdayaan sebagai tujuan

mengacu pada hasil yang dicapai oleh perubahan sosial, antara lain: masyarakat

yang berdaya, mempunyai kekuasaan, memiliki pengetahuan, dapat memenuhi

kebutuhan hidup yang bersifat fisik, ekonomi dan sosial, mampu menyampaikan

aspirasi, memiliki mata pencaharian, berpartisipasi dalam kehidupan sosial, serta

memiliki kemandirian dalam aktivitas kehidupannya (Suharto, 2014). Sementara

itu, merujuk pada Mardikanto dan Soebianto (2015), pemberdayaan sebagai

proses, merupakan kemampuan individu, kelompok, atau masyarakat untuk

berpartisipasi dalam memperoleh kesempatan atau mengakses sumber daya yang

diperlukan untuk memperbaiki kualitas hidup. Pemberdayaan merupakan proses

penguatan kapasitas dan proses pengembangan partisipasi. Penguatan kapasitas

48

merupakan peningkatan kemampuan individu, kelompok atau organisasi dalam

berperan sesuai dengan fungsinya secara efektif, efisien, dan berkelanjutan.

Dalam organisasi, penguatan kapasitas ditekankan pada pengembangan kualitas

organisasi. Adapun, pengembangan partisipasi merupakan keikutsertaan atau

peran serta individu, kelompok ataupun organisasi dalam suatu kegiatan, proses

atau tujuan tertentu. Pemberdayaan harus menciptakan kreativitas dan

kemandirian demi terciptanya kesejahteraan dan peningkatan harkat hidup

manusia.

Berbagai konsep dan definisi tentang pemberdayaan yang dikutip dari

Ibrahim dan Alkire (2007) dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1

Konsep dan Definisi Pemberdayaan

Study Definition or Concept of Empowerment

Alsop (2006) Empowerment is defined as a group’s or individual’s capacity to make

effective choice, that is, to make choices and then to transform those

choices into desire actions and outcome

Brown (2003) Providing empowerment opportunities as necessary prerequisites to

altering a person’s potential reallity and giving people the means to

better themselves

Gootaert (2005) Expanding assets and capabilities of poor people to participate in,

negotiatie with, influence, control, and hold accountable institutions that

effect their lives

Lokshin and

Ravallion (2003)

Taking actions that selectively empower those with little power to

redress power inequality

Malena (2003) Enabling or giving power to (whom) to do (what)

Narayan (2005) The expansion of assets and capabilities of poor people to participate in,

negotiate with, influence, control, and hold accountable institutions that

effect their lives

Rowlands (1997) Empowerment is more than participation in decision-making; it must

also include the processes that lead people to percieve themselves as

able and entitled to make decisions

Sumber: Ibrahim dan Alkire (2007)

49

Sementara itu, Mardikanto (2003) menyatakan bahwa pemberdayaan merupakan:

“proses perubahan sosial, ekonomi, dan politik untuk memberdayakan dan

memperkuat kemampuan masyarakat melalui kerja sama yang partisipatif

agar terjadi perubahan perilaku pada diri semua stakeholders (individu,

kelompok, dan kelembagaan) yang terlibat dalam proses pembangunan demi

terwujudnya kehidupan yang semakin berdaya, mandiri, dan partisipatif yang

semakin sejahtera secara berkelanjutan”

Menurut Rappaport (1984), pemberdayaan merupakan suatu cara yang dilakukan

untuk mengarahkan rakyat, komunitas, dan organisasi agar memiliki kemampuan

untuk menguasai atau berkuasa atas kehidupannya.

Csaszar (2004) mengungkapkan bahwa konsep tentang keberdayaan (power)

sangat kompleks, terkait dengan kapasitas, fenomena rasional, dan struktural.

Keberdayaan merupakan kekuatan individu atau kelompok yang dapat

melemahkan atau memberdayakan warga negara ataupun organisasi. Theresia

dkk. (2014) mengatakan bahwa pengertian power dalam dunia bisnis berhubungan

dengan kemampuan dan produktivitas. Rowland (1997) menyatakan bahwa:

“true power cannot be bestowed: it comes from within. Any notion of

empowerment being ‘given’ by one group to another hides an attempt to keep

control”.

Pemahaman tentang keberdayaan (power) berhubungan dengan pendekatan

Amartya Sen tentang kapabilitas. Sen (1995), menegaskan bahwa orang tidak

bebas ketika mereka tidak memiliki kekuatan atau keberdayaan (power) dalam

menentukan pilihan tentang kehidupan mereka. Penelitian yang dilakukan oleh

Widjajanti (2011), menyatakan bahwa keberdayaan masyarakat, antara lain dapat

diukur melalui: (1) kemampuan dalam pengambilan keputusan, (2) kemandirian,

dan (3) kemampuan memanfaatkan usaha untuk masa depan.

50

Rowland (1997), mengkategorikan hubungan kekuasaan atau keberdayaan

(power) menjadi 4 (empat) jenis, yaitu.

1) Power to (organise and change existing hierarchies)

Csaszar (2004), mengemukakan bahwa power to mengacu pada potensi/

kemampuan dari setiap individu dalam membentuk kehidupan dan

lingkungannya. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan setiap individu dalam

mengenali kepentingannya dan menyadari bahwa mereka memiliki kekuatan

atau kemampuan dalam membentuk suatu keadaan untuk mencapai suatu

situasi yang lebih baik dan lebih menguntungkan bagi kepentingan dan

kehidupan mereka.

2) Power within (increased individual consciousness)

Power within menyangkut self-worth dan self-knowledge. Csaszar (2004)

mengatakan bahwa power within sebagai kemampuan untuk membangun dan

memiliki harapan serta percaya bahwa seseorang cukup kuat dan memiliki

kesempatan untuk merubah kehidupannya. Power within merupakan kekuatan

spritual yang dimiliki oleh setiap manusia. Penerimaan diri dan harga diri

merupakan dasar dari keberdayaan ini.

3) Power over (ability to influence and coerce)

Luttrell, et al (2007) mendefinisikan power over sebagai “the ability to

coerce and influence the actions and thoughts of the powerless”. Gambaran

power over dalam kemampuan ekonomi, antara lain etnis minoritas

meningkatkan kemampuan mereka dalam menentang diskriminasi dalam

akses sumber daya dan pasar.

51

4) Power with (increased power from collective action)

Power with merupakan kemampuan kolaborasi dan bekerja sama diantara

individu sehingga lebih memiliki rasa kebersamaan dalam membangun

kekuatan kolektif. Power with didasarkan pada kerja sama, solidaritas, saling

mendukung, dan kemampuan yang terbentuk dari berbagai bakat dan

pengetahuan individu (Csaszar, 2004)

Longwe (1991), menjelaskan perbedaan tingkatan pemberdayaan yang

diurutkan dari tingkatan paling atas sampai dengan paling rendah, yaitu.

1) The welfare ‘degree’: where basic needs are satisfied. This does not

necessarily require structural causes to be addressed and tends to view

those involved as passive recipients.

2) The access ‘degree’: where equal access to education, land and credit is

assured.

3) The onscientisation and awareness-raising ‘degree’: where structural and

institutional discrimination is addressed.

4) The participation and mobilisation ‘degree’: where the equal taking of

decisions is enabled.

5) The control ‘degree’: where individuals can make decisions and these are

fully recognised.

Suharto (2014), mengungkapkan bahwa keberhasilan pemberdayaan dapat

dilihat dari keberdayaan individu atau masyarakat tentang kemampuan ekonomi,

kemampuan mengakses kesejahteraan, dan kemampuan kultural dan politis.

Ketiga aspek kemampuan tersebut dikaitkan dengan 4 (empat) dimensi

keberdayaan menurut Rowland (1997), yaitu: power to, power with, power over

dan power within. Indikator keberdayaan menurut Suharto (2014), disajikan pada

Tabel 2.2.

52

Tabel 2.2

Indikator Keberdayaan

Jenis Hubungan

Kekuasaan Kemampuan Ekonomi

Kemampuan

Mengakses Manfaat

Kesejahteraan

Kemampuan Kultural

dan Politis

Power Within:

Meningkatkan kesadaran dan

keinginan untuk berubah

1) Evaluasi positif terhadap

kontribusi ekonomi dirinya

2) Keinginan memiliki

kesempatan ekonomi yang

setara

3) Keinginan memiliki

kesamaan hak terhadap

sumber yang ada pada

rumah tangga dan

masyarakat

1) Kepercayaan diri dan

kebahagian

2) Keinginan memiliki

kesejahteraan yang setara

3) Keinginan membuat

keputusan mengenai diri dan

orang lain

4) Keinginan untuk mengontrol

jumlah anak

1) Assertiveness dan otonomi

2) Keinginan untuk

menghadapi subordinasi

gender termasuk tradisi

budaya, diskriminasi

hukum, dan pengucilan

politik

3) Keinginan terlibat dalam

proses-proses budaya,

hukum, dan politik

Power To: Meningkatkan kemampuan

individu untuk berubah dan

meningkatkan kesempatan

memperoleh akses

1) Akses terhadap pelayanan

keuangan mikro

2) Akses terhadap pendapatan

3) Akses terhadap aset-aset

produktif dan kepemilikan

rumah tangga

4) Akses terhadap pasar

5) Penurunan beban dalam

pekerjaan domestik

1) Keterampilan, termasuk

kemelekan huruf

2) Status sehat dan gizi

3) Kesadaran mengenai dan

akses terhadap pelayanan

kesehatan reproduksi

4) Ketersediaan pelayanan

kesejahteraan publik

1) Mobilitas dan akses

terhadap dunia di luar

rumah

2) Pengetahuan mengenai

proses hukum, politik, dan

kebudayaan

3) Kemampuan

menghilangkan hambatan

formal yang merintangi

akses terhadap proses

hukum, politik, dan

kebudayaan

Power Over: Perubahan pada hambatan-

hambatan sumber dan

kekuasaan pada tingkat rumah

tangga, masyarakat dan makro

serta kekuasaan untuk

menghadapi hambatan-

hambatan tersebut

1) Kontrol atas penggunaan

pinjaman dan tabungan

serta keuntungan yang

dihasilkan

2) Kontrol atas pendapatan

aktivitas produktif keluarga

yang lainnya

3) Kontrol atas aset produktif

dan kepemilikan keluarga

4) Kontrol atas alokasi tenaga

kerja keluarga

5) Tindakan individu

menghadapi diskriminasi

atas akses terhadap sumber

dan pasar

1) Kontrol atas ukuran

konsumsi keluarga dan aspek

bernilai lainnya dari

pembuatan keputusan

keluarga termasuk keputusan

keluarga berencana

2) Aksi individu untuk

mempertahankan diri dari

kekerasan keluarga dan

masyarakat

1) Aksi individu dalam

menghadapi dan mengubah

persepsi budaya kapasitas

dan hak wanita pada

tingkat keluarga dan

masyarakat

2) Keterlibatan individu dan

pengambilan peran dalam

proses budaya dan politik

Power With: Meningkatnya solidaritas atau

tindakan bersama dengan orang

lain untuk menghadapi

hambatan-hambatan sumber dan

kekuasaan pada tingkat rumah

tangga, masyarakat, dan makro

1) Bertindak sebagai model

peranan bagi orang lain

terutama dalam pekerjaaan

publik dan modern

2) Mampu memberi gaji

terhadap orang lain

3) Tindakan bersama

menghadapi diskriminasi

pada akses sumber

(termasuk hak atas tanah),

pasar dan diskriminasi

gender pada konteks

ekonomi makro

1) Penghargaan tinggi terhadap

dan peningkatan pengeluaran

untuk anggota keluarga

2) Tindakan bersama untuk

meningkatkan kesejahteraan

publik

1) Peningkatan jaringan untuk

memperoleh dukungan

pada saat krisis

2) Tindakan bersama untuk

membela orang lain

menghadapi perlakuan

salah dalam keluarga dan

masyarakat

3) Partisispasi dalam gerakan-

gerakan menghadapi

subordinasi gender yang

bersifat kultural, politis,

hukum pada tingkat, dan

masyarakat makro

Sumber: Suharto (2014)

Sehubungan dengan koperasi dan keberdayaan, Swasono (2003) menegaskan

bahwa koperasi merupakan lembaga sosial-ekonomi untuk menolong diri sendiri

secara bersama-sama melalui kesadaran pemberdayaan diri (self empowering).

53

Koperasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat

pada umumnya. Salah satu prinsip koperasi adalah kemandirian, yaitu organisasi

otonom dengan menolong atau memberdayakan diri sendiri dengan pengawasan

secara demokratis oleh anggotanya. Sementara itu, Hatta (2015) mengatakan

bahwa untuk dapat menciptakan kesejahteraan, koperasi harus memiliki sifat-sifat,

diantaranya adalah kesadaran akan kemampuan diri sendiri (individualita) serta

kemauan dan kepercayaan pada diri sendiri dalam organisasi untuk

menolong/memberdayakan diri sendiri agar memperoleh penghasilan sendiri.

Oleh karena itu, koperasi dapat dikatakan sebagai lembaga sosial ekonomi yang

mandiri, dibentuk oleh anggota, dikelola oleh anggota, dan dimanfaatkan untuk

kepentingan anggota.

2.4 Teori Modal Sosial

2.4.1 Pengertian modal sosial

Bidang ilmu sosial selama ini populer dengan dua bentuk modal, yaitu modal

ekonomi (economic/financial capital) dan modal manusia (human capital).

Perkembangan selanjutnya muncul modal sosial (social capital) yang

menjembatani atau mendekatkan antara ilmu sosiologi dan ilmu ekonomi. Modal

sosial berbeda dengan modal ekonomi dan modal manusia karena modal sosial

baru akan berperan jika berinteraksi dengan struktur sosial, sedangkan modal

ekonomi dan modal manusia yang dimiliki oleh seseorang atau perusahaan dapat

berperan dalam kegiatan ekonomi tanpa berinteraksi dengan struktur sosial

(Yustika, 2013).

54

Menurut Vipriyanti (2011), modal sosial merupakan pelengkap penting dari

modal-modal lainnya, seperti modal fisik, modal alamiah, dan modal manusia.

Modal sosial memiliki perbedaan dengan modal lainnya karena modal sosial

memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh modal lainnya, yaitu: modal sosial

tidak akan habis karena digunakan, pengukuran dan pengamatan modal sosial

tidak mudah, modal sosial tumbuh dari dalam dan sulit dibangun melulai

intervensi dari luar, serta tingkatan dan bentuk modal sosial yang dimiliki oleh

individu dipengaruhi oleh lingkungan, pemerintahan nasional, maupun

pemerintahan daerah. Field (2016) menyatakan bahwa modal sosial dapat disebut

sebagai modal jika menghasilkan sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk

memberdayakan individu dan kelompok sehingga mereka dapat mencapai

tujuannya secara lebih efektif daripada tanpa keberadaan modal tersebut.

Modal sosial merupakan kumpulan sumber daya yang dibutuhkan oleh

individu atau kelompok sehingga dapat memiliki jaringan hubungan institusional

yang lebih tahan lama agar saling mengakui dan menghargai. Kekuatan dan

konflik adalah elemen-elemen penting tentang hubungan sosial dan volume modal

sosial yang dimiliki oleh agen tergantung kepada ukuran jaringan hubungan yang

dapat dimobilisasi secara efektif. Modal sosial merupakan agregat sumber daya

aktual ataupun potensial yang diikat untuk mewujudkan jaringan yang awet

sehingga menginstitusionalkan hubungan persahabatan yang saling

menguntungkan. Jaringan sosial (social network) tidak alami, melainkan

dikontruksi melalui strategi investasi yang berorientasi kepada pelembagaan

55

hubungan-hubungan kelompok yang dapat dipakai sebagai sumber terpercaya

untuk meraih keuntungan (Bourdieu, 1986).

Bowles dan Gintis (2001) menyatakan bahwa modal sosial secara umum

mengacu pada kepercayaan, kepedulian kepada sesama, serta kemauan untuk

hidup dengan berpedoman pada norma-norma yang berlaku dalam suatu

komunitas dan memperoleh sanksi jika tidak mematuhinya. Robinson, et al (2000)

menyatakan bahwa modal sosial adalah simpati seseorang atau kelompok

terhadap orang atau kelompok lain yang dapat menghasilkan manfaat potensial,

keuntungan, dan perlakuan istimewa kepada seseorang atau sekelompok orang di

luar yang diharapkan dalam suatu hubungan.

Sementara itu, Coleman (1990) menghubungkan modal sosial dalam

menciptakan hasil pendidikan dan modal manusia. Coleman mendefinisikan

modal sosial berdasarkan fungsinya, dimana modal sosial bukan merupakan

entitas tunggal namun merupakan entitas majemuk yang mengandung dua elemen,

yaitu: modal sosial mencakup beberapa aspek dari struktur sosial dan modal sosial

memfasilitasi tindakan tertentu dari pelaku, baik individu atau perusahaan di

dalam struktur sosial. Modal sosial bersifat produktif, dimana membuat

pencapaian tujuan individu atau perusahaan tidak akan terwujud tanpa keberadaan

modal sosial tersebut.

Putnam (1993) mendefinisikan bahwa modal sosial merupakan penampilan

organisasi sosial, seperti kepercayaan (trust), resiprositas (reciprocity), dan

jaringan (networking) yang dapat memperbaiki efisiensi masyarakat dengan

memfasilitasi adanya koordinasi dan kerja sama bagi keuntungan bersama.

56

Berdasarkan berbagai deskripsi, baik yang dinyatakan oleh Bourdieu, Coleman

maupun Putnam, modal sosial dapat dibagi dalam tiga konsep besar, yaitu: (1)

Coleman (1988), fokus melihat modal sosial sebagai struktur hubungan sosial

khususnya peran modal sosial dalam mengakuisisi modal manusia, (2) Bourdieu

(1993), fokus pada kemampuan modal sosial dalam menghasilkan sumber daya

ekonomi, dan (3) Putnam (1993; 1995), fokus kepada hubungan kerja sama yang

memapankan demokrasi melalui keanggotaan kelompok sipil (Yustika, 2013).

Selain definisi dan deskripsi modal sosial yang dikemukakan oleh tiga

pengusung utamanya, masih banyak pengertian dan deskripsi mengenai modal

sosial, antara lain oleh Fukuyama (1995) mengatakan bahwa modal sosial

merupakan kemampuan akibat dari adanya kepercayaan (trust) dalam sebuah

komunitas masyarakat. Fukuyama menjelaskan bahwa modal sosial merupakan

sekumpulan nilai informal atau norma yang menyebar di antara anggota kelompok

yang memungkinkan terjadinya kerja sama di antara mereka. Kerja sama akan

terjadi apabila antara kelompok masyarakat memenuhi apa yang mereka harapkan

dan berkeyakinan bahwa yang lainnya akan bertingkah laku dan dapat diandalkan

serta memiliki kejujuran. World Bank (1998) menyatakan bahwa:

“social capital refers to the institutions, relationships and norms that shape

the quality and quantity of a society’s social interactions”.

Sementara itu, Uphoff (1999) menyatakan bahwa:

“social capital can be considered as an accumulation of various types of

intangible social, psychological, cultural, institusional, and related assets

that influence cooperative behavior”.

Berdasarkan berbagai konsep dan definisi mengenai modal sosial, Woolcook

(2001) membedakan modal sosial menjadi 3 (tiga) tipe, yaitu: bonding social

57

capital, bridging social capital, dan linking social capital. Bonding social capital

merupakan modal sosial yang mengikat yang merepresentasikan ikatan

antarindividu dalam situasi yang sama, seperti keluarga dekat, teman akrab dan

tetangga. Bridging social capital merupakan modal sosial yang bersifat

menjembatani. Modal sosial ini mencakup ikatan antara beberapa orang yang

bersifat lebih longgar, misalnya teman jauh dan rekan kerja. Adapun, linking

social capital merupakan modal sosial yang menghubungkan antara beberapa

orang yang berada dalam situasi yang berbeda atau berada di luar komunitas

tetentu. Adapun, Lin (2001) membedakan modal sosial berdasarkan ‘ikatan kuat’

(strong ties) dan ‘ikatan lemah’ (weak ties). Menurut Lin, ikatan kuat menyatukan

atau mengikat orang yang memiliki kemiripan dengan dirinya sendiri, sedangkan

ikatan lemah menyatukan orang-orang yang memiliki berbagai latar belakang

yang berbeda, baik sosial maupun budaya.

Penelitian yang dilakukan oleh Camps dan Marquès (2011) tentang “social

capital and innovation: exploring intra–organisational differences”,

mengeksplorasi mengenai perbedaan antarkelompok mengenai modal sosial serta

bagaimana dan mengapa hal tersebut dapat menjelaskan perbedaan kondisi dalam

organisasi mengenai kemampuan inovasi dan kesiapan inovasi. Hal penting yang

dikemukakan bahwa tingkat modal sosial yang lebih tinggi terkait dengan

peningkatan kemampuan inovatif, dimana hubungan ini dapat digunakan untuk

pengembangan kemampuan inovasi. Adapun, Tsai dan Ghosal (1998)

mengemukakan bahwa interaksi sosial yang merupakan dimensi struktural dari

modal sosial dan kepercayaan yang merupakan manifestasi dari dimensi

58

relasional, secara signifikan terkait dengan tingkat pertukaran sumber daya dalam

unit bisnis sehingga memiliki dampak yang signifikan terhadap inovasi produk.

Menurut Leana dan Van Burne (1999), modal sosial memiliki sumbangan

positif dalam kaitannya dengan komitmen pekerja, fleksibilitas organisasi,

pengelolaan tindakan bersama yang lebih baik, dan pengembangan modal

pengetahuan (intellectual/conceptual capital). Chegini, et al (2012) mengatakan

bahwa modal sosial merupakan aset bagi organisasi dalam penciptaan nilai

maupun aset bagi anggota organisasi dalam peningkatan keterampilan kerja. Hal

tersebut, diantaranya akan mempengaruhi sukses pekerjaan/profesionalitas,

memotivasi pembaruan/kebaruan (novelty), penciptaan modal intelektual

(intellectual capital), dan efisiensi multifungsi tim/kelompok, serta memperkuat

hubungan dengan pemasok, jaringan produksi regional, dan pembelajaran

organisasi.

Knack dan Keefer (2008), melalui penelitian yang dimuat dalam The

Quarterly Journal of Economics, mengatakan bahwa:

“trust and civic norms are stronger in nations with higher and more equal

incomes, with institutions that restrain predatory actions of chief executives,

and with better-educated and ethnically homogeneous population”.

Penelitian tersebut memberikan kontribusi, antara lain: (1) pembuktian bahwa

dimensi modal sosial, yakni kepercayaan dan kerja sama dalam masyarakat

memberikan dampak yang signifikan terhadap agregat aktivitas ekonomi; (2)

jaringan horisontal yang diukur melalui keanggotaan dalam kelompok tidak

berhubungan dengan kepercayaan dan norma-norma serta kinerja ekonomi,

dimana hal ini bertentangan dengan pendapat Putnam (1993) yang mengatakan

59

bahwa jaringan horisontal yang padat dapat memperkuat kepercayaan dan norma

masyarakat; (3) menunjukkan pentingnya kepercayaan dan norma-norma

kemasyarakatan. Polarisasi sosial yang rendah dan aturan kelembagaan formal,

membatasi pemerintah bertindak sewenang-wenang dalam pengembangan norma

kerja sama dan kepercayaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Sabatini (2007), di Italia, menggunakan 3

(tiga) dimensi social capital, yakni bonding, bridging, dan linking social capital

menemukan hasil yang berbeda. Penelitian tersebut menyatakan bahwa ikatan

kekeluargaan yang kuat yang membentuk modal sosial tidak memberikan

pengaruh positif pada pembangunan ekonomi. Sebaliknya, analisis dalam

penelitian tersebut menyatakan bahwa hubungan yang lemah, baik untuk

pembangunan ekonomi karena hubungan yang lemah dapat menjadi jembatan

dalam komunitas yang berbeda, mendorong berbagi pengetahuan, dan difusi

kepercayaan sehingga menguntungkan proses pembangunan.

Sehubungan dengan modal sosial dalam pemberdayaan koperasi, Deng dan

Hendrikse (2014) mengatakan bahwa penting bagi koperasi untuk

mempertahankan strategi dan mengembangkan modal sosial dari waktu ke waktu,

jika tidak maka keunggulan bersaing koperasi kemungkinan akan hilang.

Sementara itu, Majee (2015) menyatakan bahwa koperasi memperluas aset modal

sosial dari masyarakat miskin yang dapat dikombinasikan dengan modal

keuangan, manusia, dan modal fisik untuk membantu mereka berpartisipasi dalam

keputusan pengembangan yang mempengaruhi kesejahteraan mereka.

60

Nilsson, et al (2012) menyatakan bahwa dalam 20 tahun terakhir, banyak

koperasi pertanian tradisional yang terpaksa meninggalkan bisnisnya. Hal tersebut

disebabkan karena berkurangnya kepercayaan di antara anggota koperasi dan

kepercayaan anggota terhadap koperasi. Strategi pengembangan koperasi yang

dilakukan melalui integrasi vertikal dan integrasi horizontal merupakan salah satu

penyebab yang menciptakan jurang antara anggota dan koperasinya sehingga

menyebabkan saling kurang percaya antaranggota koperasi, kurang interaksi

langsung antaranggota dan antara anggota dengan pengurus, kurangnya

keterlibatan anggota, berkurangnya kebanggaan terhadap koperasi, melemahnya

kepemimpinan yang demokratis, dan terjadinya kesulitan dalam memecahkan

tindakan kolektif. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran dalam pengambilan

keputusan serta integrasi vertikal dan horizontal, dimana hal tersebut berpotensi

mengurangi ataupun meningkatkan modal sosial koperasi.

Menurut Coleman (1988), bentuk modal sosial (social capital), terdiri dari:

obligations (struktur kewajiban), expectations (ekspektasi), dan trustworthiness

(kepercayaan), sedangkan menurut Putnam (1993), bentuk modal sosial adalah

trust (kepercayaan), reciprocity (hubungan timbal balik/resiprositas), dan

networking (jaringan). Ridell (1997) menyatakan bahwa parameter modal sosial

adalah trust (rasa percaya), norms (norma-norma), dan networking (jaringan).

Yustika (2013), menjelaskan bahwa terdapat tiga bentuk modal sosial, yaitu: (1)

struktur kewajiban (obligations), ekspektasi (expectations), serta kepercayaan

(trustworthiness), (2) jaringan informasi (information channels), dan (3) norma

serta sanksi yang efektif (norms affective sanctions). Islam (2013), dalam

61

International Journal of Social Science, menyatakan bahwa indigenous

knowledge (kearifan lokal) adalah modal sosial.

Subejo (2008) mengatakan bahwa modal sosial bukan merupakan hal baru di

Indonesia walaupun secara eksplisit belum menggunakan terminologi modal

sosial. Berdasarkan elemen-elemen modal sosial yang disampaikan oleh para ahli,

seperti norms, reciprocity, trust, dan network maka hal tersebut secara historis

bukan merupakan fenomena baru di Indonesia karena elemen-elemen tersebut

sudah berakar dan terlembagakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat

Indonesia, terutama di pedesaan. Semangat dan kepentingan individu telah

termanivestasikan dalam berbagai bentuk aktivitas bersama yang secara umum

dikenal dengan kegiatan “saling tolong menolong” atau secara luas dikenal

dengan tradisi “gotong royong”. Tradisi gotong royong memiliki aturan main

yang disepakati bersama (norms), adanya saling menghargai prinsip timbal balik

(reciprocity), kepercayaan antarpelaku bahwa masing-masing akan mematuhi

semua bentuk aturan main yang telah disepakati (trust), serta kegiatan kerja sama

yang diikat oleh hubungan-hubungan spesifik antara lain mencakup kekerabatan,

pertetanggaan atau pertemanan sehingga menguatkan jaringan antarpelaku

(network). Sistem ekonomi Indonesia, mengenal koperasi yang merupakan badan

usaha yang diamanatkan oleh UUD 1945 yang memiliki nilai-nilai gotong royong

sebagai perwujudan dari modal sosial.

Berdasarkan berbagai pengertian modal sosial yang disampaikan oleh para

ahli maka modal sosial dapat dipahami sebagai nilai-nilai kebersamaan yang ada

di masyarakat yang dapat membantu anggota masyarakat, kelompok atau

62

organisasi dalam memperbaiki kualitas dan kesinambungan siklus hidup suatu

organisasi atau kelompok dengan terus melakukan perubahan dan penyesuaian

secara terus menerus dan berkesinambungan. Sehubungan dengan perubahan-

perubahan yang terjadi, masyarakat terikat dengan norma-norma serta nilai-nilai

yang berlaku.

2.4.2 Parameter modal sosial

Yustika (2013) menjelaskan bahwa modal sosial berbeda dengan modal

ekonomi dan modal manusia karena modal sosial hanya akan berperan jika

berinteraksi dengan struktur sosial, sedangkan modal ekonomi dan modal manusia

yang dimiliki oleh seseorang atau perusahaan dapat berperan dalam kegiatan

ekonomi tanpa berinteraksi dengan struktur sosial. Menurut Putnam (1993),

modal sosial bersifat kumulatif dan bertambah dengan sendirinya. Oleh karena itu,

modal sosial tidak akan habis jika dipergunakan, namun kemungkinan akan terus

meningkat. Ruang lingkup modal sosial sangat luas sehingga cakupan

parameternya pun menjadi sangat luas. Parameter-paramater modal sosial banyak

dikemukan oleh para ahli, antara lain oleh Putnam (1993), yakni jaringan

(networking), kepercayaan (trust), dan hubungan timbal balik (reciprocity).

Adapun, Ridell (1997) mengemukakan bahwa parameter modal sosial adalah trust

(rasa percaya), norms (norma-norma), dan networking (jaringan). Sementara itu,

Islam (2013) menyatakan bahwa indigenous knowledge (kearifan lokal)

merupakan komponen modal sosial. Parameter-parameter tersebut dapat

dijelaskan, sebagai berikut.

63

1) Jaringan (networking)

Putnam (1993) menyatakan bahwa jaringan adalah infrastruktur dinamis dari

modal sosial yang berwujud jaringan-jaringan kerja sama antarmanusia atau

individu. Masyarakat yang sehat cenderung memiliki jaringan-jaringan sosial

yang kuat dan kokoh. Jaringan memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi

yang memungkinkan tumbuhnya kepercayaan yang memperkuat kerja sama.

Sementara itu, Putnam (1995) berpendapat bahwa jaringan-jaringan sosial yang

erat akan memperkuat perasaan kerja sama para anggotanya serta manfaat-

manfaat dari partisipasinya itu. Coleman (1988) mengungkapkan bahwa kerapatan

jaringan dapat meningkatkan efisensi kerja sama dalam suatu organisasi.

Woolcook (1998) menyatakan bahwa jaringan memiliki peran penting dalam

suatu komunitas untuk mengakses sumber daya lokal.

Menurut Bourdieu (1986), jaringan bukan sesuatu yang alami, melainkan

dikonstruksi melalui strategi investasi yang berorientasi pada pelembagaan

hubungan-hubungan kelompok yang dapat dipakai sumber terpercaya untuk

meraih keuntungan. Menurut Bebbington (1999), jaringan kerja yang kuat dalam

suatu organisasi dapat membentuk hubungan yang baik antara suatu organisasi

dengan pelaku pasar yang lain sehingga membuka peluang pasar yang lebih baik.

Putnam (1993) membedakan dua bentuk jaringan, yaitu jaringan horisontal dan

jaringan vertikal. Jaringan horisontal merupakan jaringan yang menghubungkan

antara masing-masing agen yang memiliki status atau kekuasaan yang setara,

sedangkan jaringan vertikal menghubungkan agen tidak setara dalam suatu

hubungan asimetris hierarki dan ketergantungan.

64

2) Kepercayaan (trust)

Menurut Fukuyama (1995), kepercayaan dalam modal sosial adalah harapan

yang tumbuh di dalam masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku yang

jujur, teratur, dan kerja sama berdasarkan norma-norma yang dianut. Sementara

itu, menurut Hasbullah (2006), rasa percaya (trust) adalah suatu bentuk keinginan

individu atau kelompok untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan

sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan

seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam satu pola tindakan

yang saling mendukung. Casson dan Godley (2000) menyatakan bahwa rasa

percaya (trust) merupakan penerimaan dengan mengabaikan kemungkinan bahwa

sesuatu akan tidak benar.

Tindakan bersama yang didasari oleh rasa saling percaya akan meningkatkan

partisipasi masyarakat atau kelompok dalam berbagai bentuk dimensi terutama

untuk kemajuan bersama. Menurut Putnam (1995), rasa percaya adalah suatu

bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosial yang

didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti

yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tidakan yang

saling mendukung dan yang lain tidak akan bertindak dalam suatu pola tindakan

yang merugikan diri dan kelompoknya.

Fukuyama (2000) mengungkapkan konsep tentang radius kepercayaan

(radius of trust). Menurut Fukuyama semua kelompok mewujudkan modal sosial

memiliki radius kepercayaan tertentu, yaitu lingkaran di antara orang yang

65

memiliki norma kerja sama yang berlaku. Masyarakat modern dapat dianggap

sebagai suatu rangkaian kepercayaan yang konsentris dan tumpang tidih. Hal

tersebut dapat divisualisasikan seperti pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1

Network of Trust

Sumber: Fukuyama (2000)

Ketika modal sosial kelompok menghasilkan eksternalitas positif, radius

kepercayaan dapat lebih besar dari kelompok itu sendiri. Kemungkinan pula akan

terjadi radius kepercayaan menjadi lebih kecil daripada keanggotaan suatu

kelompok, seperti dalam suatu organisasi-organisasi besar yang hanya

mengembangkan norma kerja sama diantara para pemimpin kelompok atau staf

yang permanen sehingga memungkinkan terjadinya ekesternalitas negatif.

3) Norma (norms)

Norma merupakan seperangkat aturan yang diharapkan dipatuhi dan ikuti

oleh anggota masyarakat pada suatu kelompok atau organisasi tertentu. Norma-

norma dalam suatu masyarakat biasanya dalam bentuk aturan-aturan yang tidak

tertulis, namun sangat dipahami oleh setiap anggota masyarakat dan menentukan

66

pola tingkah laku yang diharapkan dalam tata hubungan antaranggota masyarakat.

Norma dalam sebuah komunitas mendukung individu untuk memperoleh prestasi.

Norma yang berlaku secara kuat dan efektif dalam sebuah komunitas dapat

mempengaruhi orang-orang untuk memanfaatkan potensi yang dimilikinya.

Menurut Hasbullah (2006), norma (norm) adalah sekumpulan aturan yang

diharapkan dipatuhi dan ikuti oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam suatu

entitas sosial tertentu.

North (2005) mengungkapkan bahwa norma merupakan sebuah ‘institusi’

yang mengatur interaksi sosial antarmanusia. Norma terbentuk oleh interaksi

nilai-nilai yang dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat dan sifatnya harus

memberikan manfaat positif bagi setiap anggota masyarakat tersebut. Norma

menentukan apa yang baik dan apa yang buruk. Coleman (1990), mengungkapkan

bahwa norma adalah:

“specify what actions are regarded by a set of person as proper or correct, or

improper or incorrect”.

Ostrom (2005), membedakan norma dari peraturan dengan melihat sintaksis

kalimatnya. Norma atau peraturan sama-sama merupakan pernyataan tentang apa

yang boleh dilakukan, tetapi peraturan mengandung penegakan, dimana jika suatu

peraturan dilanggar maka akan diberikan sanksi. Sementara itu, norma memiliki

kesan yang lebih lunak dibandingkan dengan peraturan. Norma diekspresikan

dalam bentuk bahasa formal maupun informal sebagai kebijakan sehingga semua

orang yang memiliki norma harus menyadari keberadaan dan isi kebijakan

67

tersebut. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun

standar-standar sekuler seperti kode etik profesional.

4) Kearifan lokal (indigenous knowledge)

Fajarini (2014) mengungkapkan berbagai macam istilah (terminologi) yang

digunakan dalam manunjukkan kearifan lokal, antara lain: kebijakan setempat

(local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan

setempat (local genius). Dalam Prosiding The 5th

International Cenference on

Indonesian Studies: ”Etnicity and Globalization”, Murdiati (2015) menyatakan

bermacam-macam istilah yang menunjuk pada kearifan lokal, antara lain:

pengetahuan asli/pribumi (indigenous knowledge), kearifan lokal (local wisdom),

pengetahuan tradisional (traditional knowledge), dan pengetahuan ekologi

tradisional (traditional ecological knowledge).

Menurut Rahyono (2009), kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia

yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman

masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa kearifan lokal adalah hasil dari

masyarakat tertentu melalui pengalaman mereka dan belum tentu dialami oleh

masyarakat lain. Nilai-nilai tersebut akan melekat sangat kuat pada masyarakat

tertentu dan sudah melalui perjalanan waktu yang sangat panjang, sepanjang

keberadaan masyarakat tersebut. Sumintarsih (1994) menyatakan bahwa kearifan

lokal merupakan pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai strategi

kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat setempat

dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka.

68

Menurut Haba (2007), kearifan lokal merupakan bagian dari kontruksi

budaya. Kearifan lokal mengacu pada berbagai kekayaan budaya yang tumbuh

dan berkembang dalam masyarakat dan merupakan elemen penting untuk

memperkuat kohesi sosial di antara warga masyarakat. Juniarta dkk. (2013)

mengemukakan bahwa dasar kearifan lokal sebenarnya bersumber dari hukum

adat dalam masyarakat. Menurut beberapa ahli, tidak semua hukum adat dapat

dikategorikan dalam kearifan lokal. Suatu hukum adat dapat dikategorikan dalam

kearifan lokal jika dapat dijadikan pedoman dan salah satu alat dalam usaha

pemberdayaan masyarakat serta bertujuan terhadap kondisi yang berkelanjutan

dan berpihak kepada lingkungan sosial tanpa meninggalkan aspek ekonominya.

Rahmawati dkk. (2013) mengungkapkan bahwa secara umum kearifan lokal

memiliki ciri dan fungsi sebagai berikut.

1) Sebagai penanda identitas sebuah komunitas

2) Sebagai elemen perekat kohesi sosial

3) Sebagai unsur budaya yang tumbuh dari bawah, ada, dan berkembang

dalam masyarakat, bukan unsur budaya yang dipaksakan dari atas.

4) Berfungsi memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas

5) Dapat mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan

kelompok dengan meletakkannya di atas common ground.

6) Mampu mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi, dan

mekanisme bersama untuk mempertahankan diri dari kemungkinan

terjadinya gangguan atau pengrusakan solidaritas kelompok sebagai

komunitas yang utuh dan terintegrasi.

Menurut penelitian Islam (2013) yang dimuat dalam International Journal of

Social Science, dinyatakan bahwa indigenous knowledge (kearifan lokal) adalah

komponen modal sosial. Penelitian tersebut menemukan bahwa kearifan lokal

merupakan pilar dari nilai-nilai sosial, produksi masyarakat, jaringan sosial,

interaksi sosial, identitas kewarganegaraan, asosiasi dan integrasi sosial, serta

69

pembentukan dan penyebaran pengetahuan. Putnam (1994) dalam Islam (2013),

menyatakan bahwa kearifan lokal sebagai ‘public good’ (barang umum) sehingga

dapat dipertukarkan dan dipindahtangankan dari satu keadaan sosial kepada

keadaan sosial yang lain. Kearifan lokal bersifat dinamis dan mempunyai nilai

pasar yang baik jika ditegakkan oleh anggota-anggota komunitas tertentu melalui

kepercayaan sosial dan hubungan antarkepercayaan individu dan kelompok.

Penelitian Islam (2013), menyimpulkan bahwa kearifan lokal memiliki

keunggulan yang mencakup banyak manfaat yang dianggap sebagai modal sosial

dan juga memiliki karaktersitik sebagai modal sosial.

Fajarini (2014) mengungkapkan bahwa dalam Ensiklopedi Suku Bangsa di

Indonesia dicantumkan beberapa kearifan lokal yang berkembang dalam

kehidupan bangsa Indonesia, diantaranya kearifan lokal yang berkembang di

Provinsi Bali, yaitu menyama braya (semua bersaudara), tat twam asi (senasib

sepenanggungan) dan tri hita karana (tiga penyebab kebahagiaan), yakni

parhyangan (harmoni dengan Tuhan), palemahan (harmoni dengan lingkungan

alam), dan pawongan (harmoni dengan sesama manusia). Selain itu, ada pula

kearifan lokal dalam masyarakat Bali yang bersumber dari ajaran dan budaya

Hindu, salah satunya adalah catur guru.

Guru dalam budaya Hindu memiliki posisi penting dan terhormat. Ajaran dan

budaya Hindu mengajarkan untuk selalu menghormati dan mematuhi catur guru

(empat guru), yang terdiri dari guru swadiaya, guru rupaka, guru pengajian dan

guru wisesa. Guru swadiaya merupakan Tuhan yang Maha Tahu. Guru rupaka

adalah orang tua, sedangkan guru pengajian adalah guru profesional yang

70

mengajar anak-anak (murid/mahasiswa) di sekolah ataupun di perguruan tinggi.

Sementara itu, guru wisesa adalah pemimpin masyarakat pada segala tingkatan.

Guru wisesa dalam ajaran dan budaya Hindu merupakan setiap orang yang

memiliki kualifikasi sebagai pimpinan, baik dalam masyarakat maupun dalam

suatu lembaga atau organisasi formal. Keberadaan guru wisesa memberikan

teladan yang baik dalam bersikap dan berprilaku dalam bermasyarakat dan

berorganisasi (Samba, 2016).

2.5 Teori Modal Intelektual

2.5.1 Pengertian modal intelektual

Edvinson dan Malone (1997) mengatakan bahwa modal intelektual adalah

kepemilikan dari pengetahuan, pengalaman, teknologi organisasi, hubungan

pelanggan, serta keterampilan profesional yang menciptakan keunggulan

kompetitif di pasar. Evaggelia (2015) mengemukakan bahwa setiap perusahaan

memiliki modal intelektual yang harus dikelola dengan baik dan dimanfaatkan

untuk mencapai kesuksesan dan keberhasilan perusahaan. Sementara itu, Adrian

(2008) menggambarkan bahwa modal intelektual sebagai informasi dan

pengetahuan dalam suatu perusahaan yang apabila dikelola dengan baik akan

meningkatkan nilai tambah serta kekayaan bersih perusahaan.

Menurut Stewart (1997), modal intelektual (intellectual capital) adalah

material intelektual pengetahuan, informasi, kekayaan intelektual, dan

pengalaman yang dapat diambil untuk digunakan dalam menciptakan

71

kesejahteraan. Modal intelektual merupakan kekuatan otak kolektif. Stewart

mengungkapkan bahwa:

“intellectual capital as group of knowledge and information found in

companies, that adds value to the product and/or services, by applying

intelligence and not monetary capital to the enterprise”.

Komponen-komponnen modal intelektual menurut Stewart, terdiri dari: (1)

pengetahuan, (2) informasi, (3) kekayaan intelektual, dan (4) pengalaman.

Gambaran komponen modal intelektual menurut Stewart dapat dilihat pada

Gambar 2.2.

Gambar: 2.2

Model Modal Intelektual Menurut Stewart

Sumber: Stewart (1997)

Nahapiet dan Ghoshal (1998) mengatakan bahwa modal intelektual adalah

kapasitas disiplin intelektual organisasi sebagai hasil internalisasi/transformasi

secara sinergik dari seluruh kompetensi dan kognitif (kompetensi berpikir dan

menyelesaikan masalah) yang dimiliki seluruh anggota organisasi yang terjadi

melalui proses transformasi pengetahuan sehingga dapat menciptakan kekayaan

perusahaan, nilai tambah bagi konsumen, dan meningkatkan kesejahteraan bagi

karyawan dan masyarakat. Menurut Harrison dan Sulivan (2000), modal

Intellectual Capital

Knowledge

Intellectual Property Eksperience

Information

Wealth

72

intelektual adalah “knowledge that can be converted into profit”. Sementara itu,

Hung, et al (2007) mendefiniskan modal intelektual adalah:

“a composite of the wisdom, intelligence, flexibility, creativity, and

entrepreneurship core competencies necessary to succeed in an increasingly

competitive global economy where technology and knowledge dominate”.

Modal intelektual adalah seluruh aset pengetahuan yang dibedakan kedalam

stakeholder resources (hubungan stakeholder dan sumber daya manusia) dan

structural resources (infrastruktur fisik dan infrastruktur virtual) yang

berkontribusi signifikan dalam meningkatkan posisi persaingan dengan

menambahkan nilai bagi pihak-pihak yang berkepentingan (Marr dan Schiuma,

2001). Sementara itu, Bontis (1998) mengambarkan konsep modal intelektual

seperti pada Gambar 2.3.

Essence Human intellect Organizational

routines Market relationships

Scope Internal within

employee node

Internal

organizational links

External

organizational links

Parameters Volume

appropriateness

Efficiency

accessibility Longevity volume

Condification

Difficulty High Medium Highest

Gambar 2.3

Conceptualization of Intellectual Capital

Sumber: Bontis (1998)

Intellectual Capital

Human

Capital

Customer

Capital

Structural

Capital 1st order

2st order

73

Nahapiet dan Ghoshal (1998) menyatakan bahwa modal sosial memfasilitasi

penciptaan modal intelektual. Hal tersebut jika divisualisasikan dalam bagan maka

akan tampak seperti pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4

Social Capital in the Creation of Intellectual Capital

Sumber: Nahapiet dan Ghoshal (1998)

Menurut Koçoğlu, et al (2009), integrasi dari dimensi-dimensi modal

intelektual memiliki pengaruh terhadap keunggulan kompetitif suatu perusahaan.

Kannan dan Aulbur (2004) menyatakan bahwa modal intelektual merupakan aset

tak berwujud yang berperan penting dalam menentukan nilai suatu organisasi.

Pengukuran modal intelektual memiliki keuntungan, antara lain mempercepat

pola pembelajaran dalam organisasi, meningkatkan pemahaman bagaimana

(A) Structural Dimension

Network ties

Network configuration

Appropriable organization

(B) Cognitive Dimension

Share codes and languange

Share narrative

(C) Relational Dimension

Trust

Norms

Obligations

Identificaton

Access to parties for combining/exchange

intellectual capital

Anticipation of value

through combining/exchanging

intellectual capital

Motivation to combining/exchange

intellectual capital

Combaning capability

New

intellectual

capital

created

through

combination

and exchange

Social capital Combination and

exchange of

intellectual capital

Creating of new

intellectual

capital

74

pengetahuan menciptakan hubungan timbal balik dan kerja sama, meningkatan

inovasi, serta meningkatkan kinerja organisasi.

Eyng, et al (2006) mengemukakan bahwa modal intelektual merupakan

jumlah dari pengetahuan manusia dalam suatu organisasi dan merupakan aset

yang tak berwujud. Modal intelektual dihasilkan dari hubungan antara modal

manusia, modal struktural, dan modal pelanggan yang menjadi sumber strategis

bagi suatu organisasi dalam bertahan, memasok kebutuhan pasar, dan menjaga

daya saing dalam ekonomi global. Rangkuman mengenai dimensi dan parameter

modal intelektual menurut para ahli dapat dilihat pada tabel 2.3.

Tabel 2.3

Rangkuman Dimensi dan Parameter Modal Intelektual

Dimension/Components Of Intellectual Capital Authors

1) Human Capital

2) Structural Capital Edvinsson & Malone (1998)

1) Human Capital

2) Organisational Capital

3) Relation and Customer Capital

Roos et al. (1997)

1) Human Capital

2) Structural Capital

3) Customer Capital

Saint-Onge (1996)

Botis (2001)

Stewart (1998)

1) Human Capital

2) Structural Capital

3) Relational Capital

Bontis (1999)

1) Employees Competence

2) Internal Structure

3) External Structure

Sveiby (1997)

1) Human Capital

2) Structural Capital

3) Customer Capital

3) Innovation Capital

Chen, Zhu & Xie (2004)

1) Human Capital

2) Structural Capital

3) Organisational Capital and Technological Capital

4) Relational Capital (Business and Social Capital)

Bueno et al. (2011)

Sumber: Proceedings of the 2013 EU-SPRI Forum Annual Conferencee

75

2.5.2 Parameter modal intelektual

Berdasarkan kepentingan penelitian, komponen atau dimensi modal

intelektual yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah modal manusia

(human capital), modal struktural (structural capital), dan modal relasional

(relational capital).

1) Modal manusia (human capital)

Mushref (2014) mengatakan bahwa modal manusia (human capital) adalah

salah satu variabel penting dalam mempelajari modal intelektual. Human capital

merupakan dimensi dari modal intelektual berdasarkan pengetahuan manusia dan

pengalamannya yang akan mempengaruhi nilai perusahaan serta mempengaruhi

elemen yang lain. Wang dan Chang (2005) menyatakan bahwa pengetahuan dan

kemampuan karyawan adalah sumber dari inovasi.

Brinker (2000) memberikan beberapa karakteristik dasar yang dapat diukur

dari human capital, antara lain: program pelatihan, pengalaman, kompetensi,

rekruitmen, mentoring, program pembelajaran, dan potensi individu. Menurut

Mayo (2011), modal manusia dapat dibagi menjadi tiga dimensi, yaitu

kemampuan dan potensi, motivasi dan komitmen, serta inovasi dan pembelajaran.

Brennan dan Connell (2000) mengatakan bahwa yang hal paling penting dalam

human capital adalah tentang apa yang dapat dilakukan oleh manusia baik secara

individu maupun kolektif.

2) Modal struktural (structural capital)

Menurut Stewart (2002), structural capital mengacu pada mengolah,

menyimpan, dan mempertahankan pengetahuan sehingga pengetahuan tersebut

76

menjadi suatu aset bagi perusahaan. Cohen dan Keimenakis (2007) mengatakan

bahwa modal struktural merupakan perwujudan, pemberdayaan, dan infrastruktur

pendukung dari modal manusia (human capital). Sementara itu, Edvinsson dan

Malone (1997) menyatakan bahwa:

“structural capital is described as “the embodiment, empowerment, and

supportive infrastructure of human capital. It is also the organisational

capability, including the physical systems used to transmit and store

intellectual material”.

Deskripsi yang diberikan oleh Edvinsson dan Malone (1997) mengenai

structural capital menekankan pentingnya sebuah struktur yang dikelola secara

efisien dan efektif untuk kelanjutan operasi dan kelangsungan hidup suatu

organisasi. Menurut Bontis (1998), modal struktural terdiri dari sistem, struktur,

budaya perusahaan, efisiensi proses organisasi, basis data, serta informasi dan

teknologi. Modal struktural yang baik akan memberikan lingkungan yang baik

untuk berbagi pengetahuan dengan cepat, perkembangan pengetahuan kolektif,

mempersingkat waktu tunggu, dan membuat individu atau organisasi menjadi

lebih produktif.

3) Modal relasional (relational capital)

Abhayawansa (2011) mengatakan bahwa relational capital merupakan semua

sumber daya yang terkait dengan hubungan perusahaan dengan pemangku

kepentingan eksternal, seperti: pemasok, pelanggan, mitra usaha, pemerintah, dan

masyarakat, serta persepsi yang dimiliki oleh pemangku kepentingan tentang

perusahaan yang dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. Keskin (2006)

menyatakan bahwa secara khusus modal relasional membantu perkembangan

77

pengetahuan, membentuk perilaku dan menjadi sumber dari berbagai ide untuk

perubahan serta kemajuan melalui proses informasi pasar dan pemasaran strategis.

Lyn (2000); Bueno, et al (2011), dalam dalam Dias, et al (2013)

mengidentifikasikan modal relasional (relational capital) sebagai entitas yang

terpisah dan menganggap berbagai hubungan dengan orang-orang di luar

perusahaan dapat dimiliki dengan modal tersebut, bersama dengan loyalitas

konsumen, pangsa pasar, dan tingkat permintaan. Hubungan suatu perusahaan

atau organisasi dengan para pelanggan dan pemasok akan membentuk nilai

melalui loyalitas, meningkatkan pangsa pasar, menciptakan kemajuan, serta

meningkatkan kualitas.

2.6 Teori Koperasi

2.6.1 Pengertian koperasi

Koperasi merupakan perkumpulan orang-orang yang secara sukarela bersatu

dan bersama-sama untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka melalui

pembentukan suatu organisasi yang dikelola secara demokrasi, gotong royong,

dan berasaskan kekeluargaan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia

nomor 25 Tahun 1992, koperasi adalah:

“badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi

dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus

sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan”.

Hatta (2015), mengatakan bahwa koperasi berasal dari kata-kata ‘ko’ yang artinya

“bersama” dan “operasi” yang artinya “bekerja”. Dengan demikian, koperasi

78

artinya adalah sama-sama bekerja. Oleh karena itu, perkumpulan yang diberi

nama koperasi merupakan perkumpulan kerja sama dalam mencapai suatu tujuan.

Istilah koperasi di Indonesia dipopulerkan sejak jaman kemerdekaan, bahkan

sempat tercantum dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 sebelum UUD 1945

diamandemen. Menurut Joesron (2005), koperasi adalah “suatu lembaga yang

dirancang untuk memberikan pelayanan bagi anggotanya yang sekaligus

merupakan pemilik”. Schaars (1980), mengatakan bahwa:

“a cooperative is business voluntary owned and controled by its member

patrons, and operated for them and by them on a non profit or cost basic”.

Adapun, menurut Hatta (1954), koperasi didirikan sebagai persekutuan kaum

yang lemah untuk membela keperluan hidupnya, dimana pada koperasi yang

didahulukan adalah keperluan bersama, bukan keuntungan. Enriquez (1986)

memberikan pengertian koperasi yaitu menolong satu sama lain (to help one

another) atau saling bergandengan tangan. Sementara itu, Organisasi Buruh

Internasional (Internasional Labour Organization-ILO) dalam Baswir (2013)

menyatakan bahwa:

“koperasi adalah suatu perkumpulan orang, biasanya yang memiliki

kemampuan ekonomi terbatas yang melalui suatu bentuk organisasi

perusahaan yang diawasi secara demokratis, masing-masing memberikan

sumbangan yang setara terhadap modal yang diperlukan dan bersedia

menanggung resiko serta imbalan yang sesuai dengan usaha yang mereka

lakukan”.

International Cooperative Alliance (ICA) dalam Parkash (2003),

menyatakan bahwa koperasi memiliki nilai-nilai dasar dan nilai etis, yaitu:

“cooperatives are based on the values of self-help, self-responsibility,

democracy, equality, equity and solidarity. In the tradition of their founders,

cooperative members believe in the ethical values of honesty, openness,

social responsibility and caring for others”.

79

Nilai-nilai dasar dan etis koperasi, sebagaimana yang disampaikan oleh ICA dapat

digambarkan seperti pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5

Nilai-Nilai Koperasi

Sumber: Parkash (2003)

Ariffin (1997) menggunakan 3 (tiga) pendekatan dalam memahami istilah

koperasi, yaitu.

1) Definisi legal, merupakan rumusan pengertian koperasi yang tercantum

dalam dalam undang-undang. Dalam hal ini, hanya negara-negara yang

mempunyai Undang-Undang Perkoperasian saja yang memakai definisi

legal. Karena itu, undang-undang dirumuskan sesuai dengan kondisi

masing-masing negara maka definisi legal ini cenderung berbeda-beda.

2) Definisi esensial, merupakan rumusan pengertian tentang koperasi

menurut esensinya sebagai wadah kerja sama. Mengenai pengertian

esensinya ini pada umumnya tidak terdapat perbedaan karena lebih

menekankan pada esensi kerjasamanya, sedangkan dalam pembahasan

ini kerja sama adalah koperasi sebagai ekonomi antarindividu.

3) Definsi nominal, merupakan rumusan pengertian koperasi yang

dirumuskan untuk kepentingan analisis dan untuk membedakan dari

badan usaha lain non-koperasi.

Organisasi koperasi dikenal dalam lingkungan ekonomi dan sosiologi.

Muenkner (1989) membedakan pengertian organisasi koperasi dalam arti ekonomi

dan sosiologi. Dalam arti ekonomi, koperasi adalah organisasi ekonomi yang

Basic

Cooperative

Values

Ethical

Values

Honesty

Openness

Social responsibility

Caring for others

Self-help

Self-respnsibility

Democracy

Equality

Equity

Solidarity

80

anggotanya memiliki sekurang-kurangnya satu kepentingan ekonomi yang sama,

bermotivasi swadaya dalam perusahaan yang dibiayai, dan diawasi bersama

dengan sasaran meningkatkan kemajuan perusahaan rumah tangga anggota

(promosi anggota). Adapun, dalam arti sosiologi, organisasi koperasi merupakan

perkumpulan orang yang sepakat bekerja sama selama satu periode tertentu atas

dasar persamaan dan di bawah suatu kepemimpinan yang diawasi secara

demokratis untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi bersama.

Berdasarkan berbagai definisi yang ada maka dapat disimpulkan bahwa

koperasi adalah suatu organisasi yang terdiri dari kumpulan orang-orang atau

badan hukum yang berkumpul secara sukarela dengan tujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan ekonomi mereka secara bersama-sama berdasarkan asas

kekeluargaan dan kebersamaan.

2.6.2 Landasan, asas, dan prinsip koperasi di Indonesia

Koperasi di Indonesia memiliki landasan, asas, dan prinsip dalam

pelaksanaannya. Landasan koperasi merupakan pedoman dalam menentukan arah,

tujuan, dan peran koperasi di Indonesia, sedangkan asas koperasi merupakan nilai

dasar yang menjadi jati diri koperasi. Sebagaimana yang dinyatakan dalam UU RI

No. 25/1992, tentang pokok-pokok perkoperasian, koperasi Indonesia memiliki 2

(dua) landasan, yaitu landasan ideal dan landasan struktural. Landasan ideal

koperasi Indonesia adalah Pancasila, sedangkan landasan struktural koperasi

adalah UUD 1945.

81

Landasan ideal koperasi adalah dasar atau landasan yang digunakan dalam

usaha untuk mencapai cita-cita koperasi, dimana koperasi merupakan kumpulan

kelompok orang yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya,

sedangkan gerakan koperasi merupakan organisasi ekonomi rakyat yang hak

hidupnya dijamin oleh UUD 1945, bertujuan untuk mencapai masyarakat yang

adil dan makmur (Anoraga dan Widiyanti, 2007). Pancasila menjadi landasan

ideal koperasi didasarkan atas pertimbangan bahwa Pancasila adalah pandangan

hidup dan ideologi bangsa Indonesia. Pancasila merupakan jiwa dan semangat

bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta merupakan

nilai-nilai luhur yang ingin diwujudkan bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-

hari.

Landasan struktural koperasi adalah tempat berpijak koperasi dalam susunan

hidup bermasyarakat. Tatanan kehidupan suatu negara diatur dalam Undang-

Undang Dasar. Indonesia memiliki UUD 1945 yang merupakan tata tertib dasar

atau ketentuan yang mengatur terselenggaranya falsafah hidup dan moral cita-cita

suatu bangsa (Anoraga dan Widiyanti, 2007). UUD 1945 menjadi landasan

struktural koperasi Indonesia karena UUD 1945 merupakan aturan pokok

organisasi negara Republik Indonesia. Dalam UUD 1945 terdapat berbagai

ketentuan yang mengatur berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia dalam

bernegara. Salah satu pasal dalam UUD 1945 yang menjadi dasar pelaksanaan

koperasi adalah pasal 33 ayat 1 yang berbunyi “perekonomian disusun sebagai

usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan”. Hal ini menunjukkan dengan jelas

82

bahwa kebersamaan dan kekeluargaan menjadi semangat dalam perekonomian

Indonesia.

Sementara itu, asas koperasi di Indonesia adalah kekeluargaan. Hal tersebut

tercantum dalam UU RI No. 25/1992 tentang perkoperasian, pasal 2. Semangat

kekeluargaan merupakan pembeda koperasi dengan bentuk perusahaan lainnya.

Berdasarkan semangat kekeluargaan sebagai asas koperasi maka diharapkan

masing-masing orang yang terlibat dalam organisasi koperasi senantiasa bekerja

sama dengan anggota-anggota koperasi lainnya dengan rasa setia kawan yang

tinggi. Anoraga dan Widiyanti (2007) mengemukakan bahwa setia kawan dan

kesadaran berpribadi merupakan landasan mental dari koperasi Indonesia. Rasa

setia kawan telah ada dalam masyarakat Indonesia sejak dulu dan merupakan sifat

asli bangsa Indonesia, dimana sifat ini tercermin dalam bentuk perbuatan dan

tingkah laku yang nyata sebagai kegiatan gotong royong.

Selain memiliki landasan dan asas, koperasi di Indonesia memiliki prinsip

sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang RI No. 25/1992 pasal 5, ayat 1.

Prinsip-prinsip tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

1) Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka

Setiap warga negara Indonesia memiliki hak untuk masuk menjadi anggota

koperasi. Sifat kesukarelaan dalam keanggotaan koperasi mengandung makna

bahwa menjadi anggota koperasi tidak boleh dipaksakan oleh siapapun.

2) Pengelolaan dilakukan secara demokratis

Pengelolaan koperasi dilakukan atas kehendak dan keputusan para anggota.

Anggota dalam koperasi memiliki dan memegang kekuasaan tertinggi.

83

Sebagaimana dinyatakan dalam UU No. 25/1992 pasal 19 ayat 4: “setiap

anggota mempunyai kewajiban dan hak yang sama terhadap koperasi

sebagaimana diatur dalam anggaran dasar”

3) Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil dan sebanding dengan

besarnya jasa usaha masing-masing anggota

Pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada para anggotanya didasarkan atas

perimbangan jasa masing-masing anggota dalam usaha koperasi, yaitu

dihitung berdasarkan besarnya volume transaksi anggota dalam keseluruhan

volume usaha koperasi.

4) Pemberian balas jasa yang terbatas pada modal

Pembatasan bunga atas modal merupakan cerminan bahwa koperasi selain

menaruh perhatian terhadap pemberian imbalan yang wajar terhadap

partisipasi anggotanya, juga mendorong tumbuhnya rasa kesetiakawanan

antarsesama anggota koperasi.

5) Kemandirian

Salah satu sasaran utama pembangunan koperasi di Indonesia adalah

peningkatan kemandirianya. Koperasi menjadi mandiri jika organisasi dan

usahanya berakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Untuk mengakar kuat

dalam kehidupan masyarakat maka koperasi harus dapat diterima oleh

masyarakat. Oleh karena itu, koperasi harus mampu memperjuangkan

kepentingan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

84

2.6.3 Tujuan, fungsi, dan peran koperasi

Koperasi memiliki tujuan, fungsi, dan peran dalam perekonomian,

pembangunan, serta masyarakat. Tujuan koperasi adalah mewujudkan

kesejahteraan anggota dan masyarakat. Hal tersebut secara eksplisit tercantum

dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 1992, pasal 3 yang

menyatakan bahwa:

“koperasi bertujuan memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan

masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian

nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur

berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945”.

Halid (2014) menyampaikan bahwa peran strategis koperasi untuk

mensejahterakan anggota dan masyarakat perlu didukung oleh ideologi ekonomi

atau politik ekonomi sebagai dasar dan arah kebijakan pemerintah yang

mengembangkan peran koperasi dalam mensejahterakan rakyat. Menurut Presiden

Republik Indonesia yang keenam, Susilo Bambang Yudhoyono dalam Halid

(2014), koperasi memiliki 5 (lima) nilai strategis untuk mensejahterakan rakyat,

yaitu.

1) Koperasi menerapkan prinsip demokrasi ekonomi

2) Koperasi menerapkan prinsip kemandirian untuk kesejahteraan anggota

dan masyarakatnya

3) Koperasi dapat menghasilkan keadilan dan pemerataan kesejahteraan

4) Koperasi mudah bersinergi dengan komponen strategis lain, seperti

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta dalam mensejahterakan

rakyat

5) Program koperasi bersinergi dengan program lain untuk pengentasan

kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, dan perawatan lingkungan

Sementara itu, Hanel (2005) mengemukakan bahwa koperasi tidak hanya

bertujuan untuk kepentingan masyarakat secara luas, namun koperasi memiliki

85

tujuan-tujuan yang sangat penting untuk perusahaan atau organisasi koperasi itu

sendiri, yakni.

1) Mempertahankan atau meningkatkan pangsa pasar dari satu atau

beberapa barang dan jasa dan menekan serendah-rendahnya biaya

produksi yang harus lebih rendah atau sama dengan biaya produksi para

pesaingnya (mempertahankan atau meningkatkan pangsa pasar pada

tingkat biaya yang bersaing dan pada tingkat efisiensi ekonomis secara

relatif)

2) Melindungi potensi ekonomi (secara kualitatif mempertahankan nilai

aktiva ril), menjaga dan mempertahankan likuiditas serta menciptakan

inovasi.

Undang-Undang RI No. 25 tahun 1992, pasal 4, menyatakan bahwa fungsi

dan peran koperasi adalah.

1) Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi

anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya, serta untuk

meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya

2) Berperan serta aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan

manusia dan masyarakat

3) Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan

ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai sokogurunya

4) Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian

nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan

dan demokrasi ekonomi

Koperasi merupakan organisasi usaha yang tidak hanya mementingkan motif

ekonomi, namun juga memiliki motif sosial. Berdasarkan kedua motif tersebut

maka koperasi memiliki dua fungsi penting yang tidak bisa dipisahkan satu sama

lain, yaitu fungsi dalam bidang ekonomi dan fungsi dalam bidang sosial. Sebagai

organisasi ekonomi, koperasi memiliki fungsi dalam bidang ekonomi. Meskipun

demikian, koperasi berbeda dengan bentuk-bentuk organisasi ekonomi lainnya

sehingga fungsi koperasi dalam bidang ekonomi pun menjadi berbeda dengan

fungsi organisasi-organisasi ekonomi lainnya.

86

Fungsi koperasi dalam bidang ekonomi, antara lain menumbuhkan motif

berusaha yang lebih berprikemanusian, menumbuhkan sikap jujur dan

keterbukaan dalam pengelolaan usaha, meningkatkan penghasilan dan

kesejahteraan anggotanya, serta menawarkan barang dan jasa yang relatif murah,

mengefisienkan sistem tata niaga, dan mengembangkan metode pembagian sisa

hasil usaha yang lebih adil. Sementara itu, fungsi koperasi dalam bidang sosial,

berkaitan dengan asas dan prinsip-prinsip yang dianut oleh koperasi (Baswir,

2013).

Tugas utama koperasi adalah menunjang kegiatan usaha atau rumah tangga

anggotanya dalam rangka meningkatkan kekuatan ekonominya melalui

penyediaan barang dan jasa yang dibutuhkan, dimana barang dan jasa tersebut

sama sekali tidak tersedia di pasar atau tidak disediakan oleh badan-badan

pemerintah. Selain itu, koperasi dapat menawarkan barang dan jasa dengan harga,

mutu, dan syarat-syarat yang lebih menguntungkan dibandingkan yang

ditawarkan di pasar (Hanel, 2005).

Pemerintah Republik Indonesia mengakui bahwa koperasi memiliki peran

yang strategis dalam meraih cita-cita kesejahteraan rakyat. Hal ini dapat dilihat

dari 9 (sembilan) kali sambutan yang dilakukan pada Hari Koperasi Nasional,

sejak tahun 2005 – 2014, kecuali tahun 2008 dan tahun 2012, Presiden RI

keenam, Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan sekitar 23 kali isu arah

kebijakan koperasi untuk kesejahteraan rakyat. Sementara itu, Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui peran dan kontribusi penting koperasi di

berbagai negara dalam upaya mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan

87

kerja, dan persatuan-persatuan masyarakat. Sekretaris Jendral PBB, Ban Ki-Moon

dalam ICA Factsheet-UN International Year of Co-operatives di Geneva, Swiss,

pada tahun 2012 mengatakan bahwa:

“cooperative are reminder to the international community that it is possible

to purpose both economic viability and social responsibility”.

Menurut Ban Ki-Moon, melalui koperasi dapat dicapai kemajuan ekonomi dan

tanggung jawab sosial secara bersamaan (Halid, 2014).

2.6.4 Jenis-jenis koperasi

Jenis-jenis koperasi dikelompokan berdasarkan kriteria dan karakteristik

tertentu. Keberadaan keperasi pada awalnya hanya terdiri dari beberapa jenis.

Seiring dengan perkembangannya, jenis-jenis koperasi makin bervariasi. Menurut

Baswir (2013), jenis-jenis koperasi digolongkan berdasarkan jenis komoditi,

bidang usaha, jenis anggota, dan berdasarkan daerah kerja. Menurut jenis

komoditi, koperasi dikelompokkan berdasarkan jenis barang dan jasa yang

menjadi obyek usahanya, misalnya koperasi pertambangan, koperasi pertanian,

koperasi peternakan, koperasi industri, dan kerajinan, serta koperasi jasa.

Sementara itu, berdasarkan bidang usaha, koperasi dikelompokkan sebagai

berikut.

1) Koperasi konsumsi

Koperasi konsumsi merupakan koperasi yang menjalankan usaha dalam

bidang penyediaan barang-barang yang dibutuhkan oleh anggota dan

masyarakat sekitar. Jenis barang yang disediakan oleh koperasi disesuaikan

88

dengan latar belakang kebutuhan anggota yang merupakan pendorong

terbentuknya koperasi konsumsi.

2) Koperasi produksi

Koperasi produksi merupakan koperasi yang menjalankan usaha dalam

bidang produksi bahan baku menjadi barang jadi atau setengah jadi. Selain

itu, koperasi produksi melakukan kegiatan pemasaran atas barang-barang

yang dihasilkannya.

3) Koperasi pemasaran

Koperasi pemasaran merupakan koperasi yang didirikan dengan tujuan untuk

membantu para anggotanya dalam memasarkan barang/jasa dihasilkan oleh

para anggota koperasi. Keberadaan koperasi pemasaran membantu anggota

menyederhanakan rantai tata niaga dan mengurangi keterlibatan pedagang

perantara sehingga memungkinkan anggota memperoleh margin usaha yang

lebih besar dan menjual barang dengan harga yang lebih murah.

4) Koperasi kredit

Koperasi kredit merupakan koperasi yang menjalankan usaha khusus simpan

pinjam. Koperasi kredit mengumpulkan simpanan dari anggota dan kemudian

meminjamkannya kembali kepada anggota yang memerlukan bantuan.

Baswir (2013) mengatakan bahwa di Indonesia terjadi pengelompokkan

koperasi berdasarkan jenis anggota, dimana hal ini jarang terjadi di negara-negara

lain. Contoh jenis-jenis koperasi yang dikelompokkan berdasarkan jenis anggota,

misalnya: Koperasi Karyawan (Kopkar), Koperasi Pedagang Pasar (Koppas),

Koperasi Angkatan Darat (Primkopad), Koperasi Mahasiswa (Kopma), Koperasi

89

Pondok Pesantren (Koppotren), dan Koperasi Peranserta Wanita (Koperwan).

Sementara itu, berdasarkan daerah kerja, koperasi dibagi berdasarkan luas-

sempitnya wilayah yang dijangkau oleh badan usaha koperasi dalam melayani

kepentingan anggotanya atau dalam melayani masyarakat. Dalam hal ini, koperasi

dibagi dalam tiga jenis, yaitu koperasi primer (koperasi yang beranggotakan

orang-orang dalam lingkup wilayah terkecil tertentu), koperasi sekunder/pusat

koperasi (koperasi yang beranggotakan koperasi-koperasi primer dalam satu

lingkup wilayah tertentu), dan koperasi tersier/induk koperasi (koperasi yang

beranggotakan koperasi-koperasi sekunder).

2.6.5 Manajemen koperasi

Manajemen koperasi dapat dibagi dua, yaitu manajemen organisasi koperasi

dan manajemen usaha koperasi (Baswir, 2013). Untuk melaksanakan fungsi-

fungsi manajemennya, koperasi dikelola oleh perangkat-perangkat organisasi

yang tertuang dalam struktur organisasi koperasi. Berpedoman pada Undang-

Undang RI Nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian maka struktur organisasi

koperasi dapat diuraikan sebagai berikut.

1) Unsur-unsur alat perlengkapan organisasi koperasi, yaitu.

(1) Rapat anggota koperasi

Menurut UU RI No. 25/1992, pasal 22, rapat anggota merupakan

pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi. Ketentuan-ketentuan lain

terkait dengan rapat anggota berpedoman pada UU RI No. 25/1992 pasal

23 sampai dengan pasal 28.

90

(2) Pengurus koperasi

Menurut UU RI No. 25/1992, ketentuan-ketentuan tentang pengurus

koperasi diatur dalam pasal 29 sampai dengan pasal 37. Ketentuan

pengurus koperasi berdasarkan UU No. 25/1992, pasal 29, yaitu: (a)

pengurus dipilih dari dan oleh anggota koperasi dalam rapat anggota, (b)

pengurus merupakan pemegang kuasa rapat anggota, (c) untuk pertama

kali susunan dan nama anggota pengurus dicantumkan dalam akta

pendirian, (d) masa jabatan pengurus paling lama 5 (lima) tahun, (e)

persyaratan untuk dapat dipilih dan diangkat menjadi anggota pengurus

ditetapkan dalam anggaran dasar. Selanjutnya, ketentuan-ketentuan

lainnya mengenai pengurus koperasi berpedoman pada UU RI

No.25/1992, pasal 30 sampai dengan pasal 37.

(3) Pengawas koperasi

Berdasarkan pasal 38 UU No. 25/1992, pengawas dipilih dari dan oleh

anggota koperasi dalam rapat anggota, pengawas bertanggung jawab

dalam rapat anggota dan persyaratan untuk dipilih serta diangkat sebagai

anggota pengawas ditetapkan dalam anggaran dasar. Selanjutnya,

ketentuan-ketentuan lain mengenai pengawas koperasi berpedoman pada

UU RI No. 25 pasal 39 sampai dengan pasal 40.

2) Unsur-unsur pelaksana teknis, yaitu manajer dan karyawan koperasi

Manajer dan karyawan koperasi bertugas membantu pengurus dalam

pengelolaan koperasi.

91

3) Unsur penasihat (dewan penasihat) jika diperlukan oleh koperasi

Dewan penasihat diadakan bila usaha koperasi telah berkembang semakin

besar sehingga permasalaham-permasalahan yang dihadapi juga semakin

kompleks.

Unsur-unsur organisasi koperasi dapat digambarkan dalam struktur

organisasi, seperti pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6

Struktur Organisasi Koperasi

Sumber: Soetjipto (2015)

2.7 Hubungan Antarvariabel dan Tinjauan Penelitian Terdahulu

Leana dan Van Burne (1999), mengungkapkan bahwa modal sosial memiliki

sumbangan positif dalam kaitannya dengan komitmen pekerja, fleksibilitas

organisasi, pengelolaan tindakan bersama yang lebih baik, dan pengembangan

modal pengetahuan (intellectual/conceptual capital). Sementara itu, Chegini, et al

(2012) menyatakan bahwa modal sosial merupakan aset bagi organisasi dalam

Rapat Anggota

Penasihat

Calon Anggota Anggota

Karyawan

Manajer

Pengurus Pengawas

92

penciptaan nilai atau aset bagi anggota organisasi dalam peningkatan keterampilan

kerja, mempengaruhi sukses pekerjaan, meningkatkan profesionalisme,

memotivasi pembaruan/kebaruan (novelty), penciptaan modal intelektual

(intellectual capital), dan efisiensi multifungsi tim/kelompok, serta memperkuat

hubungan dengan pemasok, jaringan produksi, dan pembelajaran organisasi.

Babaei, et al (2012) menyatakan bahwa dimensi dari modal sosial yang terdiri

dari bonding, bridging, dan linking social capital memiliki pengaruh terhadap

pemberdayaan masyarakat miskin di Taheran, Iran. Sementara itu, Yuliarmi

(2015) mengungkapkan bahwa modal sosial berperan terhadap pemberdayaan

industri kerajinan di Provinsi Bali namun secara tidak langsung melalui peran

lembaga adat. Adapun, penelitian yang dilakukan oleh Rafiy dan Rostin (2014),

menyatakan bahwa modal sosial memiliki dampak positif yang signifikan

terhadap pemberdayaan industri kecil, modal sosial memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap peran pemerintah, dan modal sosial secara tidak langsung

mempengaruhi pemberdayaan industri kecil melalui peran pemerintah.

Daud dan Yusoff (2010) menyatakan bahwa modal sosial berpengaruh

terhadap kinerja perusahaan dan dapat memediasi proses manajemen pengetahuan

serta kinerja perusahaan. Oleh karena itu, manajemen pengetahuan dan modal

sosial dapat diintegrasikan untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Sementara

itu, penelitian yang dilakukan oleh Jianbin, et al (2014) menyatakan bahwa

integrasi modal intelektual dan modal sosial memiliki nilai tambah dalam kinerja

dan efisiensi kerja sama. Liang, et al (2015) menyatakan bahwa dimensi modal

sosial memiliki dampak yang signifikan dan positif terhadap kinerja koperasi.

93

Penelitian yang dilakukan oleh Agahi dan Karami (2012), menunjukkan bahwa

komponen-komponen modal sosial berpengaruh terhadap kesuksesan koperasi

produksi di Iran. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa tingkat kesuksesan

koperasi, antara lain dipengaruhi oleh semangat kerja sama antaranggota koperasi,

goodwill antaranggota koperasi, hubungan dengan koperasi lainnya, kepedulian

terhadap masyarakat dan interaksi dengan masyarakat, serta saling percaya di

antara anggota koperasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Rapusingha, et al (2000), menyatakan bahwa

modal sosial berpengaruh terhadap pembangunan ekonomi melalui pertumbuhan

pendapatan per kapita. Putnam (1993) menyatakan bahwa jaringan horisontal

yang padat dapat memperkuat kepercayaan dan norma masyarakat sehingga dapat

memberikan kontribusi dalam memperbesar kesejahteraan. Majee (2015)

mengungkapkan bahwa koperasi memperluas aset modal sosial dari masyarakat

miskin dan dapat dikombinasikan dengan modal keuangan, modal manusia, dan

modal fisik untuk membantu mereka berpartisipasi dalam keputusan

pengembangan yang mempengaruhi kesejahteraan mereka. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Suandi (2007), menyatakan bahwa modal sosial secara langsung

maupun secara tidak langsung berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga.

Christoforou (2003), melalui penelitian yang dilakukan di Yunani, menyatakan

bahwa modal sosial berperan dalam menguatkan pertumbuhan ekonomi. Narayan

dan Princhett (1999), secara empiris menunjukkan bahwa keeratan jaringan kerja

horisontal yang merupakan elemen dari modal sosial mempengaruhi penghasilan

individu. Sementara itu, Grootaert (1999) melakukan penelitian mengenai peran

94

modal sosial terhadap kesejahteraan rumah tangga di Indonesia. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa modal sosial memiliki korelasi positif dengan

kesejahteraan rumah tangga.

Habibi, et al (2015), mengungkapkan bahwa modal intelektual merupakan

penentu utama keberhasilan organisasi yang berperan dalam pemberdayaan

karyawan. Bagheri (2015) menyatakan bahwa modal intelektual yang terdiri dari

modal manusia, modal struktural, dan modal relasional memiliki hubungan yang

positif dan signifikan dengan pemberdayaan. Ghazizade, et al (2014)

mengemukakan bahwa pemberdayaan karyawan dalam organisasi memiliki

hubungan yang positif dan signifikan dengan modal intelektual. Pemberdayaan

karyawan akan meningkat jika modal intelektual meningkat. Ghafuri, et al (2014)

mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara human

capital, structural capital, dan relational capital, serta antara komponen-

komponen modal intelektual tersebut dengan kemampuan suatu organisasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Feraru, et al (2014), menunjukkan bahwa investasi

dalam pengetahuan serta pengelolaan modal intelektual yang baik dapat

meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam organisasi serta dapat

meningkatkan daya saing UKM.

Khalique, et al (2011), mengungkapkan bahwa indikator-indikator modal

intelektual, yakni human capital, structural capital, dan relational capital

memiliki hubungan yang positif dengan kinerja organisasi. Ngah dan Ibrahim

(2011) menyatakan bahwa modal intelektual dapat menentukan keberhasilan suatu

organisasi jika dikelola dengan baik. Hasil penelitian tersebut menunjukkan

95

bahwa semua dimensi modal intelektual, baik human capital, relational capital,

ataupun structural capital memberikan dampak yang signifikan terhadap berbagi

pengetahuan yang merupakan hal penting bagi usaha kecil dan menengah dalam

menciptakan sebuah bentuk atau program untuk inovasi sehingga dapat

meningkatkan kinerja.

Mushref (2014) melakukan penelitian tentang hubungan modal intelektual

dan kinerja organisasi pada industri di Irak dengan menggunakan variabel budaya

organisasi sebagai moderasi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa unsur-

unsur modal intelektual yang terdiri dari modal manusia, modal struktural, modal

relasional, dan modal pelanggan memiliki pengaruh yang kuat terhadap kinerja

industri di Irak. Budaya organisasi yang digunakan sebagai variabel moderasi

memberikan efek moderasi yang kuat antara variabel modal intelektual dan

kinerja organisasi. Chen, et al (2004) mengungkapkan bahwa pengetahuan

merupakan modal penting bagi kelangsungan suatu perusahaan serta dalam proses

pembelajaran dan persaingan antarperusahaan. Penelitian Chen menyatakan

bahwa 4 (empat) dimensi modal intelektual, yaitu: modal manusia, modal

struktural, modal inovasi, dan modal pelanggan memiliki hubungan yang

signifikan dengan kinerja perusahaan. Oleh karena itu, seluruh dimensi dari modal

intelektual dapat diintegrasikan untuk menghasilkan kinerja perusahaan yang

baik.

Bontis, et al (2000) menganalisis keterkaitan antara elemen-elemen modal

intelektual yang terdiri dari human capital, structural capital, dan custumer

capital dengan kinerja usaha pada sektor industri di Malaysia. Hasil penelitian

96

tersebut menunjukkan bahwa modal manusia (human capital) sangat penting

keberadaannya dalam suatu industri, baik dalam industri jasa maupun bukan jasa.

Modal manusia memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap proses

berlangsungnya suatu bisnis pada industri bukan jasa dibandingkan pada industri

jasa. Modal pelanggan (customer capital) memiliki pengaruh yang signifikan pada

industri dibandingkan modal struktural (structural capital). Pengembangan modal

struktural memiliki hubungan yang positif dengan kinerja bisnis pada industri.

Kamukama, et al (2010) melakukan penelitian tentang modal intelektual dan

kinerja keuangan pada lembaga keuangan mikro di Uganda. Hasil penelitian

tersebut menegaskan bahwa 3 (tiga) unsur modal intelektual, yakni modal

relasional, modal struktural, dan modal manusia menjadi prediktor yang kuat dari

kinerja keuangan. Adapun, penelitian yang dilakukan oleh Sofian, et al (2015)

menunjukkan bahwa modal intelektual berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.

Wei Yang, et al (2010), menyatakan bahwa modal intelektual diperlukan oleh

koperasi dalam membangun strategi kerja sama dengan pesaing serta dalam

meningkatkan kinerja.

Nahapiet dan Goshal (1998), mengatakan bahwa modal intelektual adalah

kapasitas disiplin intelektual organisasi sebagai hasil internalisasi/transformasi

secara sinergik dari seluruh kerja kompetensi dan kognitif yang dimiliki seluruh

anggota organisasi yang terjadi melalui proses transformasi pengetahuan sehingga

dapat menciptakan kekayaan perusahaan, nilai tambah bagi konsumen, dan

meningkatkan kesejahteraan bagi karyawan dan masyarakat. Sementara itu,

Kannan dan Aulbur (2004), menyatakan bahwa modal intelektual merupakan aset

97

tidak berwujud yang berperan penting dalam menentukan nilai suatu organisasi.

Pengukuran modal intelektual memiliki keuntungan antara lain mempercepat pola

pembelajaran dalam organisasi, meningkatkan pemahaman bagaimana

pengetahuan menciptakan hubungan timbal balik dan kerja sama, meningkatan

inovasi, serta meningkatkan kinerja organisasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Batran dan Casimir (2007) mengungkapkan

bahwa pemberdayaan memiliki korelasi positif dan signifikan dengan kinerja dan

kepuasan kerja. Sementara itu, Kok Pooi Chen (2011) menyatakan bahwa

pemberdayaan sangat berpengaruh terhadap kinerja karyawan pada industri

otomotif di Malaysia. Heriyawan dan Setyowati (2016) mengungkapkan bahwa

pemberdayaan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai

Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang. Penelitian yang dilakukan oleh Kambey dan

Suharnomo (2013) menyatakan bahwa pemberdayaan berpengaruh positif dan

signifikan terhadap kinerja karyawan. Adapun, Rahayu dan Sudibia (2016),

menyatakan bahwa variabel pemberdayaan berpengaruh terhadap kinerja

karyawan.

Sementara itu, Putra dan Kembar Sri Budhi (2015) melakukan penelitian di

Kecamatan Abiansemal Kabupaten Badung mengenai program pemerintah

tentang pemberdayaan masyarakat. Hasil penelitian menyatakan bahwa

pemberdayaan masyarakat melalui pelaksanaan PNPM-MP memiliki pengaruh

positif dan signifikan terhadap peningkatan pendapatan rumah tangga, yang

merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat. Selain itu, penelitian

yang dilakukan oleh Jasuli dan Karman (2016) menyatakan bahwa pemberdayaan

98

masyarakat melalui PNPM-MP dapat menunjang peningkatan kesejahteraan

masyarakat. Hal ini dapat dimaknai, bahwa pemberdayaan dapat menciptakan

keberdayaan bagi masyarakat sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan.

Suharto (2014), mengemukakan bahwa keberhasilan pemberdayaan dapat dilihat

dari keberdayaan individu atau masyarakat tentang kemampuan ekonomi,

kemampuan mengakses kesejahteraan, serta kemampuan kultural dan politis.