28
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN TEORITIS 2.1.1 Konsep Appendicitis 2.1.1.1 Definisi Apendicitis Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, "buta") dalam istilah anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian kolon menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang besar, sedangkan karnivora eksklusif memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau seluruhnya digantikan oleh umbai cacing. Usus buntu dalam bahasa latin disebut sebagai Appendix vermiformis, Organ ini ditemukan pada manusia, mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil. Pada awalnya organ ini dianggap sebagai organ tambahan yang tidak mempunyai fungsi, tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu kekebalan tubuh) di mana memiliki/berisi kelenjar limfoid. Seperti organ tubuh yang lainnya, usus buntu tentu dapat mengalami gangguan dan penyakit tersebut dikenal sebagai Penyakit Radang Usus Buntu (Appendicitis).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN TEORITIS 2.1.1 …eprints.ung.ac.id/5333/5/2013-1-14201-841409087-bab2... · 2.1.1.3 Anatomi dan Fisiologi ... Luka dengan bukaan kecil pada kulit

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TINJAUAN TEORITIS

2.1.1 Konsep Appendicitis

2.1.1.1 Definisi Apendicitis

Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin: caecus, "buta") dalam istilah

anatomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta bagian

kolon menanjak dari usus besar. Organ ini ditemukan pada mamalia, burung, dan

beberapa jenis reptil. Sebagian besar herbivora memiliki sekum yang besar,

sedangkan karnivora eksklusif memiliki sekum yang kecil, yang sebagian atau

seluruhnya digantikan oleh umbai cacing.

Usus buntu dalam bahasa latin disebut sebagai Appendix vermiformis,

Organ ini ditemukan pada manusia, mamalia, burung, dan beberapa jenis reptil.

Pada awalnya organ ini dianggap sebagai organ tambahan yang tidak mempunyai

fungsi, tetapi saat ini diketahui bahwa fungsi apendiks adalah sebagai organ

imunologik dan secara aktif berperan dalam sekresi immunoglobulin (suatu

kekebalan tubuh) di mana memiliki/berisi kelenjar limfoid. Seperti organ tubuh

yang lainnya, usus buntu tentu dapat mengalami gangguan dan penyakit tersebut

dikenal sebagai Penyakit Radang Usus Buntu (Appendicitis).

2.1.1.2 Klasifikasi

Klasifikasi apendicitis terbagi atas 2 yakni :

1. Apendisitis akut, dibagi atas: Apendicitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu

setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu

sudah bertumpuk nanah.

2. Apendicitis kronis, dibagi atas: Apendicitis kronis fokalis atau parsial, setelah

sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu

appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua.

2.1.1.3 Anatomi dan Fisiologi

Appendiks merupakan organ yang kecil dan vestigial (organ yang tidak berfungsi)

yang melekat sepertiga jari.

1. Letak apendiks.

Appendiks terletak di ujung sakrum kira-kira 2 cm di bawah anterior ileo

saekum, bermuara di bagian posterior dan medial dari saekum. Pada pertemuan

ketiga taenia yaitu: taenia anterior, medial dan posterior. Secara klinik

appendiks terletak pada daerah Mc. Burney yaitu daerah 1/3 tengah garis yang

menghubungkan sias kanan dengan pusat.

2. Ukuran dan isi apendiks.

Panjang apendiks rata-rata 6 – 9 cm. Lebar 0,3 – 0,7 cm. Isi 0,1 cc, cairan

bersifat basa mengandung amilase dan musin.

3. Posisi apendiks.

Laterosekal: di lateral kolon asendens. Di daerah inguinal: membelok ke arah

di dinding abdomen. Pelvis minor.

2.1.1.4 Etiologi

Apendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Berbagai hal

berperan sebagai faktor pencetusnya. Diantaranya adalah obstruksi yang terjadi

pada lumen apendiks. Obstruksi ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan

tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, tumor apendiks, striktur,

benda asing dalam tubuh, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan terjadinya

sumbatan. Namun, diantara penyebab obstruksi lumen yang telah disebutkan di

atas, fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid merupakan penyebab obstruksi yang

paling sering terjadi. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendicitis adalah

ulserasi mukosa apendiks oleh parasit E. histolytica.

Penelitian epidemiologi menunjukkan peranan kebiasaan

mengkonsumsi makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya

penyakit apendisitis. Tinja yang keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi.

Kemudian konstipasi akan menyebabkan meningkatnya tekanan intrasekal yang

berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya

pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semua ini akan mempermudah timbulnya

apendicitis.

2.1.1.5 Patogenesis

Patologi apendicitis berawal di jaringan mukosa dan kemudian

menyebar ke seluruh lapisan dinding apendiks. Jaringan mukosa pada apendiks

menghasilkan mukus (lendir) setiap harinya. Terjadinya obstruksi menyebabkan

pengaliran mukus dari lumen apendiks ke sekum menjadi terhambat. Makin lama

mukus makin bertambah banyak dan kemudian terbentuklah bendungan mukus di

dalam lumen. Namun, karena keterbatasan elastisitas dinding apendiks, sehingga

hal tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intralumen. Tekanan

yang meningkat tersebut akan menyebabkan terhambatnya aliran limfe, sehingga

mengakibatkan timbulnya edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada

saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri di daerah

epigastrium di sekitar umbilikus.

Jika sekresi mukus terus berlanjut, tekanan intralumen akan terus

meningkat. Hal ini akan menyebabkan terjadinya obstruksi vena, edema

bertambah, dan bakteri akan menembus dinding apendiks. Peradangan yang

timbul pun semakin meluas dan mengenai peritoneum setempat, sehingga

menimbulkan nyeri di daerah perut kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan

apendicitis supuratif akut.

Bila kemudian aliran arteri terganggu, maka akan terjadi infark

dinding apendiks yang disusul dengan terjadinya gangren. Keadaan ini disebut

dengan apendisitis ganggrenosa. Jika dinding apendiks yang telah mengalami

ganggren ini pecah, itu berarti apendicitis berada dalam keadaan perforasi.

Sebenarnya tubuh juga melakukan usaha pertahanan untuk membatasi

proses peradangan ini. Caranya adalah dengan menutup apendiks dengan

omentum, dan usus halus, sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara

salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis

jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Namun, jika tidak

terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi

tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.

Pada anak-anak, dengan omentum yang lebih pendek, apendiks yang

lebih panjang, dan dinding apendiks yang lebih tipis, serta daya tahan tubuh yang

masih kurang, memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua,

perforasi mudah terjadi karena adanya gangguan pembuluh darah (Rudi Haryono,

2012).

2.1.1.6 Tanda dan Gejala

1) Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya demam ringan

2) Mual, muntah

3) Anoreksia, malaise

4) Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney

5) Spasme otot

6) Konstipasi, diare

(Brunner & Suddart, 1997)

2.1.1.7 Komplikasi

Komplikasi utama appendicitis adalah perforasi appendiks yang dapat

berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidensi perforasi 10-32%. Perforasi

terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C

atau lebih tinggi, penampilan toksik dan nyeri abdomen atau nyeri tekan abdomen

yang kontinyu (Rudi Haryono, 2012).

2.1.1.8 Appendictomy

Appendictomy adalah pembedahan untuk mengangkat appendiks yang

telah meradang (Smeltzer S, 2001). Appendictomy merupakan pengobatan yang

paling baik bagi penderita appendicitis. Tekhnik tindakan appendictomy ada 2

macam yaitu open appendictomy dan laparoscopy appendictomy. open

appendictomy yaitu dengan cara mengiris kulit daerah McBurney sampai

menembus peritonium, sedangkan laparoscopy appendictomy adalah tindakan

yang dilakukan dengan menggunakan alat laparoskop yang dimasukkan lewat

lubang kecil di dinding perut. Keuntungan laparoscopy appendictomy adalah luka

dinding perut lebih kecil, lama hari rawat lebih cepat, proses pemulihan lebih

cepat, dan dampak infeksi luka operasi lebih kecil (Schwartz, et al., 1999).

2.1.2 Konsep Penyembuhan Luka

2.1.2.1 Definisi Luka

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan

ini dapat disebabkan oleh trauma benda tajam dan tumpul, perubahan suhu, zat

kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan (Syamsuhidayat, 2011).

Sedangkan menurut Potter, Patricia A, 2006 luka adalah rusaknya fungsi anatomis

normal akibat proses patologis yang berasal dari internal maupun external dan

mengenai organ tertentu. Dan luka juga dapat digambarkan sebagai gangguan

dalam kontinuitas sel-sel, kemudian diikuti dengan penyembuhan luka yang

merupakan pemulihan kontinuitas tersebut. Ketika terjadi luka, beragam efek

dapat terjadi antara lain : kehilangan segera atau sebagian fungsi organ,

hemorhagia dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri serta kematian sel.

Untuk semua jenis luka, penanganan dan perawatan luka dengan

tekhnik asepsis yang cermat adalah faktor paling penting untuk meminimalkan

dan meningkatkan keberhasilan perawatan luka (Smeltzer, suzanne. C, 2002)

2.1.2.2 Klasifikasi luka

Berbagai klasifikasi dapat tumpang tindih satu dengan yang lain. Beberapa

klasifikasi luka antara lain :

1. Berdasarkan penyebab luka

1) Luka insisi

Luka yang dibuat dngan potongan bersih menggunakan instrumen tajam

sebagai contoh, luka yang dibuat oleh ahli bedah dalam setiap prosedur

operasi. Luka bersih (luka yang dibuat secara aseptik) biasanya ditutup

dengan jahitan setelah semua pembuluh yang berdarah diligasi dengan

cermat.

2) Luka kontusi

Luka yang terjadi dengan dorongan tumpul dan ditandai cidera berat bagian

yang lunak, hemorhagi dan pembengkakan.

3) Luka laserasi

Luka dengan bagian tepi jaringan bergerigi, tidak teratur, seperti luka yang

dibuat oleh kaca atau goresan kawat.

4) Luka tusuk

Luka dengan bukaan kecil pada kulit – sebagai contoh, luka yang dibuat

oleh peluru atau tusukan pisau ( Smeltzer, Suzanne. C, 2002)

2. Berdasarkan tingkat kontaminasi

1) Luka bersih

Merupakan luka bedah tidak terinfeksi dimana tidak terdapat inflamasi dari

saluran pernapasan, pencernaan, genital atau saluran kemih yang tidak

terinfeksi, tidak dimasuki. Luka bersih biasanya dijahit tertutup, jika

diperlukan, dengan sistem drainase tertutup dipasangkan. Kemungkinan

relatif dari infeksi luka adalah 1% sampai 5%.

2) Luka kontaminasi-bersih

Adalah luka bedah dimana saluran pernapasan, pencernaan, genital atau

perkemihan dimasuki dibawah kondisi yang terkontrol; tidak terdapat

kontaminasi yang tidak lazim. Kemungkinan relatif dari infeksi luka adalah

3% sampai 11%.

3) Luka terkontaminasi

Mencakup luka terbuka, luka akibat kecelakaan, dan prosedur bedah dengan

pelanggaran dalam tehnik aseptik atau semburan banyak dari saluran

gastrointestinal, termasuk dalam kategori ini adalah insisi dimana terdapat

inflamasi akut, nonpurulen. Kemungkinan relatif dari infeksi luka adalah

10% sampai 17%.

4) Luka kotor atau terinfeksi

Merupakan luka dimana organisme yang menyebabkan infeksi pascaoperatif

terdapat dalam lapang operatif sebelum pembedahan. Hal ini mencakup luka

traumatik yang sudah lama dengan jaringanyang terkelupas tertahan dan

luka melibatkan infeksi klinis yang sudah ada atau visera yang mengalami

perforasi. Kemungkinan relatif nfeksi luka adalah lebih dari 27% (Smeltzer,

suzanne. C, 2002).

2.1.2. 3 Fisiologi penyembuhan luka

Beragam proses seluler yang saling tumpang tindih dan terus menerus

memberikan kontribusi terhadap pemulihan luka: regenerasi sel, proliferasi sel,

dan pembentukan kolagen. Respon jaringan terhadap cedera melewati beberapa

fase: inflamasi, proliferatif, dan maturasi.

1. Fase inflamasi

Respon vaskuler dan seluler terjadi ketika jaringan terpotong atau mengalami

cedera. Vasokonstriksi pembuluh terjadi dan bekuan fibrinoplatelet terbentuk

dalam upaya untuk mengontrol perdarahan. Reaksi ini berlangsung dari 5

menit sampai 10 menit dan diikuti oleh vasodilatasi venula. Mikrosirkulasi

kehilangan kemampuan vasokonstriksinya karena norepinefrin dirusak oleh

enzim intraseluler. Juga, histamin dilepaskan, yang meningkatkan

permeabilitas kapiler.

Ketika mikrosirkulasi mengalami kerusakan, elemen darah seperti antibodi,

plasma protein, elektrolit, komplemen, dan air menembus spasium vaskular

selama 2-3 hari, menyebabkan edema, teraba hangat, kemerahan dan nyeri.

Netrofil adalah leukosit pertama yang bergerak ke dalam jaringan yang rusak.

Monosit yang berubah menjadi makrofag menelan debris dan

memindahkannya dari area tersebut. Antigen-antibodi juga timbul. Sel-sel

basal pada pinggir luka mengalami mitosis, dan menghasilkan sel-sel anak

yang bermigrasi.

Dengan aktivitas ini, enzim proteolitik disekresikan dan menghancurkan

bagian dasar bekuan darah. Celah antara dua sisi luka secara progresif terisi,

dan sisinya pada akhirnya saling bertemu dalam 24-48 jam. Pada saat ini,

migrasi sel ditingkatkan oleh aktivitas sumsum tulang hiperplastik.

2. Fase proliferatif

Fibroblas memperbanyak diri dan membentuk jaring-jaring untuk sel-sel yang

bermigrasi. Sel-sel epitel membentuk kuncup pada pinggiran luka, kuncup ini

berkembang menjadi kapiler, yang merupakan sumber nutrisi bagi jaringan

granulasi yang baru.

Kolagen adalah komponen utama dari jaringan ikat yang digantikan. Fibroblas

melakukan sintesis kolagen dan mukopolisakarida. Dalam periode 2-4 minggu,

rantai asam amino membentuk serat-serat dengan panjang dan diameter yang

meningkat. Serat-serat ini menjadi kumpulan bundel dengan pola yang tersusun

baik. Sintesis kolagen menyebabkan kapiler untuk menurun jumlahnya. Setelah

itu, sintesis kolagen menurun dalam upaya untuk menyeimbangkan jumlah

kolagen yanng menurun. Sintesis dan lisis seperti ini mengakibatkan

peningkatan kekuatan.

Setelah 2 minggu luka hanya memiliki 3% sampai 5% dari kekuatan kulit

aslinya. Sampai akhir bulan hanya 35% sampai 59% kekuatan luka tercapai.

Tidak akan lebih dari 70% sampai 80% kekuatan dicapai kembali. Banyak

vitamin, terutama vitamin C, membantu dalam proses metabolisme yang

terlibat dalam penyembuhan luka.

3. Fase maturasi

Sekitar 3 minggu setelah cedera, fibroblas mulai meninggalkan luka. Jaringan

parut tampak besar, sampai fibrin kolagen menyusun ke dalam posisi yang

lebih padat. Hal ini, sejalan dengan dehidrasi, mengurangi jaringan parut tetapi

meningkatkan kekuatannya. Maturasi jaringan seperti ini terus berlanjut dan

mencapai kekuatan maksimum dalam 10 atau 12 minggu, tetapi tidak pernah

mencapai kekuatan asalnya dari jaringan sebelum luka.

Luka dikatakan sembuh apabila permukaannya dapat bersatu kembali dan

didapatkan kekuatan jaringan yang mencapai normal. Luka dapat dikatakan

sembuh dengan baik apabila luka kering dan tidak terdapat tanda-tanda infeksi.

Sedangkan luka dikatakan tidak sembuh apabila luka masih basah dan ada

tanda-tanda infeksi. (Tamher, Sayuti. 2008).

2.1.2.3 Komplikasi penyembuhan luka

Komplikasi penyembuhan luka meliputi infeksi, perdarahan, dehisensi, dan

eviscerasi.

1. Infeksi

Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan

atau setelah pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2-7 hari

setelah pembedahan. Gejala infeksi adanya purulent, peningkatan drainase,

nyeri, kemerahan dan bengkak disekeliling luka, peningkatan suhu, dan

peningkatan jumlah sel darah putih.

2. Perdarahan

Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada

garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti

drain). Hipovolemia mungkin tidak cepat ada tanda. Sehingga balutan (dan

luka di bawah balutan) jika mungkin harus sering dilihat selama 48 jam

pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu. Jika perdarahan

berlebihan terjadi, penambahan tekanan balutan luka steril mungkin

diperlukan. Pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin diperlukan.

3. Dehisensi dan eviserasi

Dehisensi dan eviserasi adalah komplikasi operasi yang paling serius.

Dehisensi adalah terbukanya lapisan luka partial atau total. Eviserasi adalah

keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah faktor meliputi

kegemukan, kurang nutrisi, multiple trauma, gagal untuk menyatu, batuk yang

berlebihan, muntah dan dehidrasi, mempertinggi resiko klien mengalami

dehisensi luka. Dehisensi luka dapat terjadi 4-5 hari setelah operasi sebelum

kolagen meluas di daerah luka. Ketika dehisensi dan eviserasi terjadi luka

harus segera ditutup dengan balutan steril yang lebar, kompres dengan normal

saline. Klien disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan pada daerah luka.

4. Fistula

Fistula adalah suatu lintasan abnormal antara dua permukaan epitel yang

menghubungkan satu viksus dengan viksus lainnya atau menghubungkan satu

viksus dengan kulit. Terdapat banyak penyebab terjadinya fistula.

Pembentukan fistula dapat iatrogenik, akibat rusaknya anastomosis setelah

pembedahan atau kerusakan yang disebabkan oleh posisi drain luka yang

buruk.

2.1.2.5 Faktor- faktor yang Dapat Mempengaruhi Proses Penyembuhan

Luka Post Appendictomy

Lama hari rawat pasien post operasi apendisitis dirawat antara 5-7

hari. Menurut mansjoer, Satu hari pasca operasi pasien dianjurkan untuk duduk

tegak ditempat tidur selama 2 x 30 menit. Pada hari kedua pasien dapat berdiri

dan duduk diluar kamar. Hari ketujuh jahitan dapat diangkat dan pasien

diperbolehkan pulang. (Mansjoer, 2000). Proses mengangkat jahitan pada luka

post operasi bersih 5-7 hari atau sesuai dengan penyembuhan luka yang terjadi.

(Eny Kusnyati, 2006). Namun tekhnik penutupan luka operasi saat ini telah

mengalami perkembangan dimana pada penutupan akhir dinding abdomen yaitu

pada penutupan kulit dengan tekhnik subtikuler dan menggunakan benang yang

dapat di absorbsi. Hal ini tentu akan meningkatkan kenyamanan pasien pasca

bedah.

Faktor-faktor yang dapat menghambat penyembuhan luka pasca

operasi ada 2 faktor yaitu faktor intrinsik : umur, penyakit penyerta, status nutrisi,

oksigenasi dan perfusi jaringan, serta merokok. Kemudian faktor ekstrinsik :

teknik pembedahan buruk, mobilisasi, pengobatan, manajemen luka yang tidak

tepat, psikososial dan infeksi. (Potter and Perry, 2006)

1) Usia

Usia merupakan salah satu faktor menentukan proses penyembuhan

luka. Penuaan dapat mengganggu semua tahap penyembuhan luka karena terjadi

perubahan vaskuler yang mengganggu ke daerah luka, penurunan fungsi hati

mengganggu sintesis faktor pembekuan, respon inflamasi lambat, pembentukan

antibodi dan limfosit menurun, jaringan kolagen kurang lunak dan jaringan parut

kurang elastis (Potter & Perry, 2010). seorang yang mengalami usia menjadi tua

dan masa tua merupakan masa hidup yang terakhir, pada masa ini akan

mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial, sampai tidak dapat melakukan

tugasnya sehari-hari lagi sehingga bagi kebanyakan orang masa tua itu merupakan

masa yang kurang menyenangkan (Haspari, 2008).

Kulit utuh pada dewasa muda yang sehat merupakan suatu barier yang

baik terhadap trauma mekanis dan juga infeksi, begitupun yang berlaku pada

efisiensi sistem imun, sistem kardiovaskuler, dan sistem respirasi yang

memungkinkan penyembuhan luka terjadi lebih cepat. Seiring dengan berjalannya

usia perubahan yang terjadi dikulit yaitu frekuensi penggantian sel epidermis,

respon inflamasi terhadap cedera, persepsi sensoris, proteksi mekanis, dan fungsi

barier kulit. Beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah naiknya

frekusensi gangguan patologis yang berhubungan dengan usia yang dapat

memperlambat penyembuhan luka melalui berbagai mekanisme seperti status

nutrisi yang buruk, defisiensi vitamin dan mineral, anemia, adanya gangguan

pernafasan yang menyebabkan penurunan suplai oksigen sehingga buruknya

suplai darah dan hipoksia disekitar luka, gangguan kardiovaskuler seperti

arteriosklerosis, diabetes, gagal jantung kongestif, selain itu, adanya arthritis

rheumatoid dan uremia (Morison, 2004).

Pada proses penyembuhan luka, semakin tua usia seseorang akan

semakin lama dalam proses penyembuhan luka. Hal ini dipengaruhi oleh adanya

penurunan elastin dalam kulit dan perbedaan penggantian kolagen mempengaruhi

penyembuhan luka. Usia lanjut dapat mengganggu semua tahap penyembuhan

luka. Pada usia lanjut terjadi perubahan sistem vaskuler yang akan mengganggu

sirkulasi ke daerah luka. Respon inflamasi pada luka akan berjalan lambat. Terjadi

penurunan pembentukan antibodi dan limfosit.

2) Nutrisi

Penyembuhan luka secara normal memerlukan nutrisi yang tepat.

Pada dasarnya nutrien yang berguna ialah protein, karbohidrat, lemak, vitamin,

dan mineral.

Protein. Deplesi protein dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Terjadi

peningkatan kebutuhan akan protein saat terjadinya luka. Peningkatan

kebutuhan tersebut diperlukan untuk proses inflamasi, imun, dan

perkembangan jaringan granulasi. Protein utama yang disintesis selama fase

penyembuhan luka adalah kolagen. Kekuatan kolagen menentukan kekuatan

kulit luka seusai sembuh. Kekurangan intake protein prabedah, secara

signifikan menunda penyembuhan luka pascabedah.

Karbohidrat. Selama fase hipermetabolik, kebutuhan akan karbohidrat

meningkat. Segala aktifitas seluler dipengaruhi oleh ATP yang diperoleh dari

glukosa (karbohidrat), sehingga penyediaan energi untuk respons inflamasi

dapat berlangsung. Kekurangan karbohidrat dalam tubuh menyebabkan

penghancuran protein untuk keperluan aktifitas seluler. Dengan kata lain,

sedikitnya karbohidrat berpeluang membuat semakin sedikitnya protein.

Lemak. Lemak memiliki peran penting dalam struktur dan fungsi membran

sel. Asam lemak esensial tidak bias disintesis oleh tubuh, sehingga harus

didapatkan dari diet keseharian. Peran asam lemak esensial untuk

penyembuhan luka masih belum begitu dimengerti, tetapi diketahui bahwa

lemak berperan untuk sintesis sel baru.Kekurangan lemak tubuh dapat

menunda penyembuhan luka. Omega-3 polyunsaturated fatty acids (PUFAs)

diketahui lebih bermanfaat ketimbang omega-6 PUFAs. Omega-3s merupakan

anti-inflamasi yang berguna untuk penyembuhan luka, tetapi pemakaiannya

dapat menghambat pembekuan darah, sehingga dinilai merugikan.

Vitamin. Vitamin B kompleks merupakan kofaktor sejumlah fungsi metabolik

termasuk penyembuhan luka. Selain vitamin B, yang berperan dalam

penyembuhan luka ialah vitamin K. Vitamin K merupakan kofaktor enzim

karboksilase yang mengubah residu protein berupa asam glutamat (glu)

menjadi gamma-karboksiglutamat (gla). Gla disebut juga gla-protein. Gla

protein dapat mengikat ion kalsium, yang mana kinerja ini merupakan langkah

yang esensial untuk pembekuan darah. Ion kalsium berguna untuk

mengaktifkan faktor pembekuan. Kekurangan vitamin K menyebabkan faktor

pembekuan tidak aktif (darah tidak dapat menggumpal), sehingga

menyebabkan perdarahan pada luka (operasi).

Mineral. Mineral yang diketahui bermanfaat untuk penyembuhan luka ialah

besi dan seng. Besi berfungsi sebagai kofaktor pada sintesis kolagen, sehingga

defisiensi besi membuat penyembuhan luka tertunda. Seng juga berperan

dalam penyembuhan luka. Pembahasan mengenai seng ada pada sub-bab yang

lain.

Penyembuhan luka secara normal memerlukan nutrisi yang tepat,

karena proses fisiologi penyembuhan luka bergantung pada tersedianya protein,

vitamin (terutama vitamin A dan C) dan mineral. Kolagen adalah protein yang

terbentuk dari asam amino yang diperoleh fibroblas dari protein yang dimakan.

Vitamin C dibutuhkan untuk mensintesis kolagen. Vitamin A dapat mengurangi

efek negatif steroid pada penyembuhan luka. Elemen renik zink diperlukan untuk

pembentukan epitel, sintesis kolagen (zink) dan menyatukan serat-serat kolagen.

(Potter, 2005 : 1859). Proses zat gizi dalam penyembuhan luka : protein berfungsi

sebagai pertumbuhan dan pemeliharaan, pembentukan ikatan-ikatan esensial

tubuh, mengatur keseimbangan air, pembentukan antibodi, mengangkat zat-zat

gizi dan sumber energi. Karbohidrat berfungsi sebagai penyedia energi bagi

tubuh. Vitamin A berfungsi sebagai kekebalan pertumbuhan dan vitamin C

berfungsi sebagai sistem kolagen, mencegah infeksi. Dan air (mineral) berfungsi

sebagai bagian penting dari struktur sel dan jaringan. Zat-zat makanan tersebut

dapat mempercepat pembentukan jaringan baru dalam proses penyembuhan luka

(Potter, 2005 : 1859). Hal ini juga sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh

Hamidarsat (2007) bahwa kepercayaan untuk tidak boleh memakan jenis makanan

tertentu, seperti ikan atau udang adalah kurang benar karena jenis makanan ini

banyak mengandung protein, apabila asupan dalam tubuh kurang akan

menyebabkan kegagalan atau lambatnya pembentukan jaringan baru sehingga

luka akan lama menutup dan yang paling buruk kemungkinan akan terjadi infeksi.

Demikian juga dengan kekurangan asupan nutrisi lain seperti karbohidrat dan

berbagai jenis vitamin yang telah banyak diuraikan diatas, akan mempengaruhi

penyembuhan luka.

3) Sirkulasi (hipovolemia) dan oksigenasi

Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka.

Adanya sejumlah besar lemak subktan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit

pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat

karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi dan lama untuk

sembuh. Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada orang yang

endrita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes mellitus.

Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau gangguan

pernapasan kronik pada perokok.

4) Obesitas

Sejumlah kondisi fisik yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka.

Misalnya adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang

memiliki sedikit pembuluh darah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan

luka lambat karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan

lama untuk sembuh. Jaringan lemak kekurangan persediaan darah yang adekuat

untuk menahan infeksi bakteri dan mengirimkan nutrisi dan elemen-elemen

selular untuk penyembuhan. Apabila jaringan yang rusak tersebut tidak segera

mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan maka proses penyembuhan luka juga akan

terhambat (Gitarja dan Hardian, 2011).

Kegemukan (obesitas) adalah suatu keadaan di mana berat badan

seseorang berada di atas 120 % dari berat badan relatif (BBR) atau berada di atas

27 dari indeks masa tubuh (IMT).

Rumus IMT :

Keterangan :

IMT : Indeks Massa Tubuh (Kg/m2)

BB : Berat Badan (Kg)

TB : Tinggi Badan (m2)

Dengan nilai standar :

a. < 18,5 = maka dapat dikatakan IMT Kurang

b. 18,5 – 25 = maka dapat dikatakan IMT Normal

c. 25 – 27 = maka dapat dikatakan IMT Lebih

d. > 27 = maka dapat dikatakan sebagai Obesitas atau Kegemukan

(Nurcahyo, 2009).

Pada pasien yang mengalami obesitas, jaringan lemak sangat rentan

terhadap terjadinya infeksi. Selain itu pasien obesitas sering sulit dirawat karena

tambahan berat badan, pasien bernafas tidak optimal saat berbaring miring

sehingga mudah mengalami hipoventilasi dan komplikasi pulmonal pasca operasi.

IMT = BB/TB2

5) Iskemia

Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai

darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat

terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor

internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah itu sendiri.

6) Benda asing

Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan

terbentuknya suatu abses sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari

serum, fibrin, jaringan sel mati dan leukosit (sel darah merah), yang membentuk

suatu cairan yang kental yang disebut dengan nanah (“pus”).

7) Penyakit kronis

Pada pasien yang menderita penyakit kardiovaskuler, diabetes

mellitus, penyakit paru obstruksi menahun dan insufisiensi ginjal akan

berpengaruh pada proses penyembuhan luka. Hal ini terkait dengan pemakaian

energi kalori untuk penyembuhan primer.

8) Merokok

Pasien dengan riwayat rokok sering mengalami gangguan vaskuler,

terutama terjadi arterosklerosis pembuluh darah. Hal ini mempengaruhi pada

suplai darah ke daerah luka. Merokok akan mengakibatkan oksigenasi jaringan

yang buruk pada jaringan normal. Pada jaringan yang mengalami perlukaan,

misalnya jaringan yang mengalami sayatan operasi, kebutuhan oksigen justru

menjadi lebih tinggi daripada kebutuhan normal. Karena itu sel-sel jaringan pada

luka operasi orang yang merokok akan „tersengal-sengal‟ relatif lebih berat karena

kekurangan oksigen yang diharapkan justru mendapat sediaan kadar oksigen yang

rendah di dalam aliran darah. Oleh karena itu, risiko kematian sel-sel kulit

dan/atau jaringan bawah kulit menjadi lebih serius. Adanya jaringan yang non-

vital akan memudahkan tumbuhnya infeksi kuman kulit, dan kedua kondisi

tersebut akan sangat mengancam hasil akhir penyembuhan luka operasi. Kulit

perokok yang biasanya lebih kering dibandingkan kulit normal akan lebih

memperburuk penyembuhan. Kulit yang kering relatif lebih mudah terpecah-

pecah, sehingga masa penyembuhan luka menjadi sangat memanjang (Fawzy

Ahmad, 2012).

9) Obat-obatan

Penggunaan obat-obatan steroid dapat menyamarkan adanya infeksi

dengan mengganggu respon inflamasi normal dan penggunaan antikoagulan dapat

menyebabkan perdarahan pada luka. Antibiotik, efektif diberikan segera sebelum

pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan

setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi

intravaskuler.

10) Mobilisasi

Perubahan dalam tingkat mobilisasi fisik dapat mengakibatkan

keterbatasan gerak, dalam bentuk tirah baring, pembatasan gerak fisik selama

penggunaan alat bantu eksternal, pembatasan gerakan volunter dan kehilangan

fungsi motorik (Potter, Patricia. A. 2006).

Dengan mobilisasi dini masa pemulihan untuk mencapai level kondisi seperti pra

pembedahan dapat dipersingkat. Hal ini tentu akan mengurangi waktu rawat inap

di rumah sakit, menekan biaya perawatan dan mengurangi stres psikis (A. Majid,

M. Judha, U. Istianah. 2011).

Smeltzer, suzanne. C (2002) menyebutkan tujuan mobilisasi untuk

mencegah terjadinya bronkopneumonia, kekakuan sendi, mencegah

tromboplebitis, atrofi otot, penumpukan sekret, memperlancar sirkulasi darah,

mencegah kontraktur, dekubitus serta memelihara faal kandung kemih agar tetap

berfugsi secara baik dan pasien dapat beraktivitas. Salah satu faktor yang

mempengaruhi proses penyembuhan luka akibat operasi pembuangan apendiks

(apendektomi) adalah kurangnya/ tidak melakukan mobilisasi dini. Mobilisasi

merupakan faktor yang utama dalam mempercepat pemulihan dan mencegah

terjadinya komplikasi pasca bedah. Mobilisasi sangat penting dalam percepatan

hari rawat dan mengurangi resiko karena tirah baring lama seperti terjadinya

dekubitus, kekakuan atau penegangan otot-otot di seluruh tubuh, gangguan

sirkulasi darah, gangguan pernapasan dan gangguan peristaltik maupun berkemih

(Carpenito, 2000).

Dengan mobilisasi dini, dapat menunjang proses penyembuhan luka

pasien karena dengan menggerakkan anggota badan ini akan mencegah kekauan

otot dan sendi sehingga dapat mengurangi nyeri dan dapat memperlancar

peredaran darah ke bagian yang mengalami perlukaan agar proses penyembuhan

luka cepat. Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli bahwa Salah satu faktor

yang mempengaruhi proses penyembuhan luka akibat operasi pembuangan

apendiks (apendektomi) adalah kurangnya/ tidak melakukan mobilisasi dini.

Mobilisasi merupakan faktor yang utama dalam mempercepat pemulihan dan

mencegah terjadinya komplikasi pasca bedah (Carpenito, 2000).

Salah satu faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka

akibat operasi pembuangan apendiks (apendektomi) yang mengalami peradangan

adalah mobilisasi dini. Mobilisasi merupakan faktor yang utama dalam

mempercepat pemulihan, mencegah terjadinya komplikasi pasca bedah dan

mencegah terjadinya trombosis vena (Carpenito, 2000).

Macam macam mobilisasi dini

1. Mobilisasi pasif

Suatu latihan yang dilakukan oleh terapi atau oleh perawat tanpa bantuan dari

pasien. Yang bertujuan untuk mencapai kembali sebanyak mungkin rentang

gerak sendi, dan untuk mempertahankan sirkulasi.

2. Mobilisasi aktif

Suatu latihan yang diterapkan tanpa bantuan terapis atau perawat. Aktivitas

pasien mencakup berbalik dari satu sisi ke sisi yang lain dan tengkurap ke

telentang atau bergerak ke atas dan ke bawah. Mobilisasi dapat dilakukan di

atas tempat tidur. Hal ini bertujuan untuk meningkatkn kekuatan otot.

(smeltzer, suzanne. C, 2002).

2.2 KERANGKA TEORI

Gambar 2.1. Kerangka Teori (Sumber : Lawrence Green)

Luka sembuh

dengan baik :

1. Luka kering

2. Tidak ada

tanda-tanda

infeksi

Faktor yang mempengaruhi

penyembuhan luka :

1. Nutrisi

2. Usia

3. Sirkulasi dan oksigenasi

4. Obesitas

5. Iskhemia

6. Benda asing

7. Penyakit kronis

8. Kebiasaan Merokok

9. Obat-obatan

10. Mobilisasi

Luka post

appendictomy

Luka tidak sembuh :

1. Luka basah

2. Ada tanda-tanda

infeksi

Perawatan luka operasi

2.3 KERANGKA KONSEP

Variabel Independent Variabel Dependent

Keterangan :

: variabel yang diteliti

: variabel perancu

Gambar 2.2. Kerangka konsep ( Sumber : Lawrence Green)

1. Usia

2. Nutrisi

3. Obesitas

4. Mobilisasi

5. Kebiasaan merokok

Penyembuhan Luka

Faktor Perancu:

1. Sirkulasi dan oksigenasi

2. Iskhemia

3. Benda asing

4. Penyakit kronis

5. Obat-obatan

2.4 Hipotesis

2.4.1 Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Terdapat pengaruh usia terhadap proses penyembuhan luka post

appendiktomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun

2013

2. Terdapat pengaruh obesitas terhadap proses penyembuhan luka post

appendiktomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun

2013

3. Terdapat pengaruh kebiasaan merokok terhadap proses penyembuhan

luka post appendiktomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo

Tahun 2013

4. Terdapat pengaruh nutrisi terhadap proses penyembuhan luka post

appendiktomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun

2013

5. Terdapat pengaruh mobilisasi dini terhadap proses penyembuhan luka

post appendiktomy di RSUD Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo

Tahun 2013

2.4.2 Hipotesis Statistik

1. H0: Tidak terdapat pengaruh usia terhadap proses penyembuhan luka

post appendiktomy di RSUD. Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo

Tahun 2013.

Ha: Terdapat pengaruh usia terhadap proses penyembuhan luka post

appendiktomy di RSUD. Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun

2013.

2. H0: Tidak terdapat pengaruh obesitas terhadap proses penyembuhan

luka post appendiktomy di RSUD. Prof. Dr. Aloei Saboe Kota

Gorontalo Tahun 2013.

Ha: Terdapat pengaruh obesitas terhadap proses penyembuhan luka post

appendiktomy di RSUD. Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun

2013.

3. H0: Tidak terdapat pengaruh kebiasaan merokok terhadap proses

penyembuhan luka post appendiktomy di RSUD. Prof. Dr. Aloei Saboe

Kota Gorontalo Tahun 2013.

Ha: Terdapat pengaruh kebiasaan merokok terhadap proses

penyembuhan luka post appendiktomy di RSUD. Prof. Dr. Aloei Saboe

Kota Gorontalo Tahun 2013.

4. H0: Tidak terdapat pengaruh nutrisi terhadap proses penyembuhan luka

post appendiktomy di RSUD. Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo

Tahun 2013.

Ha: Terdapat pengaruh nutrisi terhadap proses penyembuhan luka post

appendiktomy di RSUD. Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo Tahun

2013.

5. H0: Tidak terdapat pengaruh mobilisasi terhadap proses penyembuhan

luka post appendiktomy di RSUD. Prof. Dr. Aloei Saboe Kota

Gorontalo Tahun 2013.

Ha: Terdapat pengaruh mobilisasi terhadap proses penyembuhan luka

post appendiktomy di RSUD. Prof. Dr. Aloei Saboe Kota Gorontalo

Tahun 2013.