Upload
others
View
35
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tanaman Alpukat (Persea americana)
Tanaman alpukat berasal dari daratan rendah dan dataran tinggi Amerika
Tengah dan diperkirakan masuk ke Indonesia pada abad ke 18. Secara resmi
antara tahun 1920-1930 di Indonesia telah meneliti 20 varietas alpukat dari
Amerika Tengah dan Amerika Serikat untuk memperoleh varietas unggul guna
meningkatkan gizi kesehatan, khususnya di daerah dataran tinggi.
2.1.1 Taksonomi
Menurut Rukmana (1997), taksonomi tanaman alpukat adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Laurales
Keluarga : Lauraceae
Marga : Persea
Spesies : Perseae americana Mil
Gambar 2.1 (a) Bunga alpukat; (b) Buah alpukat; (c) Batang alpukat; (d) Daun
alpukat (Persea americana)
(Aspan et al., 2008)
A B C D
7
2.1.2 Sinonim
Nama daerah :
Alpuket (Jawa Barat), alpokat (JawaTimur/Jawa Tengah), jamboo
pokat (Batak), pookat (Lampung) (Depkes RI, 1996).
2.1.3 Morfologi
Tinggi pohon alpukat 3-10 m, namun dapat mencapai 20 m. Akar tunggang,
batang berkayu berwarna coklat bercabang banyak, ranting berambut halus. Daun
tunggal, bertangkai yang panjangnya 1,5-5 cm, letaknya berdesakan di ujung
ranting,bentuknya bundar telur memanjang, tebal seperti kulit, ujung dan pangkal
runcing, tepi rata kadang-kadang agak menggulung ke atas, bertulang menyirip,
panjang 10-20 cm, lebar 3-10 cm, daun muda warnanya kemerahan dan berambut
rapat, daun tua warnanya hijau dan gundul. Bunganya bunga majemuk,
berkelamin dua, keluar dekat ujung ranting, warnanya kuning kehijauan ukuran 5
hingga 10 milimeter. Buahnya berbentuk bola atau bulat telur, panjang 5-20 cm,
warnanya hijau atau hijau kekuningan, berbintik-bintik ungu atau ungu sama
sekali, berbiji satu, daging buah jika sudah masak lunak, berwarna hijau muda
dekat kulit dan kuning muda dekat biji, dengan tekstur lembut. Biji bulat seperti
bola, diameter 2,5-5 cm, keping biji putih kemerahan (Depkes RI, 1996).
2.1.4 Habitat dan Distribusi Geografis
Tanaman Alpukat (Persea americana Mill.) tidak membutuhkan
persyaratan tumbuh tertentu. Tanaman ini dapat tumbuh liar di hutan, atau
ditanam di kebun atau pekarangan yang lapisan tanahnya gembur dan subur serta
tidak tergenang air. Tumbuh di daerah tropik dan subtropik dengan curah hujan
1.800-4.500 mm/tahun. Umumnya tumbuhan ini cocok dengan iklim sejuk dan
basah, tetapi tidak tahan terhadap suhu rendah maupun tinggi. Di Indonesia,
avokad tumbuh pada ketinggian tempat 1-1.000 m di atas permukaan laut (Depkes
RI, 1978).
2.1.5 Kandungan Senyawa Apukat
Tanaman alpukat merupakan salah satu tanaman yang memiliki manfaat
sebagai obat tradisional. Hampir semua bagian dari tanaman ini memiliki khasiat
sebagai sumber obat-obatan. Bagian tanaman alpukat yang memiliki banyak
8
khasiat adalah bagian daunnya, meskipun bagian buah juga memiliki kandungan
gizi yang tinggi.
Tabel II.1 Konstituen fitokimia daun, buah dan biji Persea americana (mg/100g)
(Arukwe et al., 2012).
Komposisi Daun Buah Biji
Saponin 1.29±0.08 0.14±0.01 19.21±2.81
Tannin 0.68±0.06 0.12±0.03 0.24±0.12
Flavonoid 8.11±0.14 4.25±0.16 1.90±0.07
Sianogenik
glikosida
ND ND 0.06±0.02
Alkaloid 0.51± 0.21 0.14±0.00 0.72±0.12
Fenol 3.41± 0.64 2.94±0.13 6.14±1.28
Steroids 1.21±0.14 1.88±0.19 0.09±0.00
Tabel II.2 Komposisi proksimat daun, buah dan biji Persea americana (g / 100g)
(Arukwe et al., 2012).
Parameter Daun Buah Biji
Kelembapan 5.33±0.62 8.12±0.12 9.92±0.01
Lemak 4.01±0.16 29.94±1.24 16.54±2.10
Protein 25.54±2.52 1.60±0.09 17.94±1.40
Serat 38.40±5.12 2.06±0.33 3.10±0.18
Abu 19.38±4.34 4.54±1.28 2.40±0.19
Karbohidrat 7.34±0.41 53.74±3.41 48.11±4.13
Tabel II.3 Komposisi Mineral dari daun, buah, dan biji P.americana (mg/100g)
(Arukwe et al., 2012).
Mineral Daun Buah Biji
Sodium 80.42±9.12 12.61±1.19 0.30±0.02
Calcium 56.13±3.31 210.08±0.17 14.15±3.01
Magnesium 75.60±13.31 26.89±4.01 26.16±5.90
Phosphorus 48.98±5.50 51.00±6.12 31.33±6.11 Potassium 148.92±0.12 385.14±12.01 100.83±5.64
Zinc 7.21±2.62 0.64±0.03 0. 09±0.01
Iron 14.61±4.18 0.49±0.01 0.31±0.03
Magnesium 4.84±0.13 0.16±0.11 1.28±0.14
Copper 5.71±1.26 0.68±0.12 0.98±0.13
Lead ND ND ND
Cadmium ND ND ND
Chromium ND ND ND
*)Nilai ± = standar devisiasi dari penentuan rangkap tiga
9
Penelitian analisis fitokimia lanjutan oleh Boadi et al., (2015), menegaskan
bahwa ekstrak daun alpukat dengan menggunakan pelarut metanol, kloroform, etil
asetate and petroleum eter diperoleh senyawa positif seperti glikosida, alkaloida,
tanin, saponin, flavonoid, steroid dan terpenoid.
Berdasarkan skrining fitokimia oleh Marlinda et al., (2012), bahwa biji buah
Persea americana diketahui mengandung beberapa senyawa metabolit sekunder
yaitu alkaloid, triterpenoid, tanin, flavonoid dan saponin. Uji toksisitas biji buah
alpukat mentega segar dan kering serta biji buah alpukat biasa segar dan kering
yang diperoleh dari nilai LC50 yaitu masing-masing sebesar 42,270 mg/L, 36,078
mg/L, 36,924 mg/L, dan 34,302 mg/L.
2.1.6 Manfaat Alpukat (Persea americana)
Dalam dunia pengobatan, alpukat telah banyak digunakan sebagai obat
tradisional untuk mengobati berbagai macam penyakit. Daging buahnya bisa
mengurangi rasa sakit dan mengobati sariawan. Daun buah alpukat biasanya
digunakan untuk mengobati nyeri saraf, nyeri lambung, menurunkan darah tinggi
dan mengobati batu ginjal. Selain buah dan daunnya, biji buah alpukat juga bisa
digunakan untuk mengurangi kadar gula dalam darah (Hariana, 2004).
Bagian tanaman alpukat yang banyak dimanfaatkan adalah buahnya sebagai
makanan buah segar, selain itu pemanfaatan daging buah alpukat yang biasa
dilakukan masyarakat Eropa digunakan sebagai bahan pangan yang diolah dalam
berbagai masakan. Manfaat lain daging buah alpukat adalah untuk bahan dasar
kometik dan antibakteri terhadap Staphylococcus. Selain itu, daun alpukat
ditemukan memiliki khasiat antikonvulsan, penurunan kadar glukosa darah
(hipoglikemia), dan vasorelaksan (Ranade dan Padma, 2015).
Flavonoid dalam daun dan buah dari Persea americana dalam penelitian ini
adalah tinggi dan dapat digunakan untuk antioksidan, anti-inflamasi, anti-kanker
dan anti-hipertensi dari tanaman dan bagian-bagiannya. Alkaloid sebagai
metabolit sekunder tanaman yang penting karena dapat digunakan sebagai obat
dasar analgesik dan efek bakterisida. Sedangkan tanin sebagai astringensia dan
rasa pahit, dapat mempercepat penyembuhan luka dan selaput lendir meradang
(Arukwe et al., 2012).
10
2.1.7 Tinjauan Aktivitas Antibakteri Tanaman Persea americana
Berdasarkan hasil pengamatan penelitian menunjukkan bahwa ekstrak
metanol dari daun Persea americana memiliki aktivitas antimikroba yang lebih
tinggi terhadap mycobacteria dibandingkan G. glutinosum, sebagaimana
ditentukan oleh MIC masing-masing 125 μg/ml vs 250 μg/ml terhadap H37Ra,
masing-masing, dan 62.5 μg/ml vs 250 μg/ml terhadap H37Rv (Gomez-Flores et
al., 2008).
Ekstrak daun alpukat juga terbukti mampu menghambat pertumbuhan
bakteri Enterococcus faecalis dengan metode difusi pada media BHI agar dan
diinkubasi secara anaerob pada 37°C selama 48 jam. Hasil perhitungan rerata
diameter zona hambat ekstrak daun alpukat pelarut etanol 96% dalam konsentrasi
25%, 50%, dan 100% masing-masing sebesar 8.99 mm, 10.73 mm, dan 11.82
mm, sedangkan pada kelompok kontrol positif (ChKM) sebesar 10.53 mm. Data
uji ANOVA (one way) dan hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
bermakna pada seluruh kelompok karena nilai (p<0.05) (Charyadie, 2014).
Menurut Haro et al., (2011), bahwa pengujian efek antibakteri ekstrak
etanol daun Persea americana terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus
aureus, Streptococcus pyogenes, Pseudomonas aeruginosa dan Escherichia coli
secara in vitro dengan metode difusi agar menggunakan pencetak lubang (punch
hole). Hasil Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) yang diperoleh berturut-turut
adalah 70 mg/ml, 60 mg/ml, 10 mg/ml, dan 50 mg/ml dengan volume yang
digunakan 0,1 ml. Diperoleh diameter hambat pertumbuhan bakteri sebanyak
9,25mm; 9,42 mm; 9,13 mm dan 9,33 mm terhadap bakteri tersebut. Berdasarkan
penelitian lanjutan diketahui bahwa ekstrak metanol daun Persea americana
menunjukkan nilai MBC dari 128 μg / mL masing-masing terhadap Echerichia
coli AG100A (Tchana et al., 2014).
2.2 Tinjauan Umum Tanaman Srikaya (Annona squamosa)
Tanaman ini merupakan salah satu jenis buah-buahan yang memiliki banyak
manfaat bagi manusia. Srikaya termasuk kedalam jenis pohon buah-buahan kecil
yang tumbuh ditanah berbatu, kering, dan terkena cahaya. Tanaman srikaya
merupakan jenis tanaman yang berasal dari Hindia Barat. Telah dilakukan
11
beberapa penelitian mengenai tanaman ini mulai dari akar, kulit batang, daun,
buah dan biji dari tanaman srikaya. Hal ini dikarenakan pada bagian-bagian
tanaman ini mengandung beberapa senyawa metabolit sekunder seperti flavonoid,
alkaloida, terpenoid, steroid, gikosida, saponin dan fenolik (Saha, 2011).
2.2.1 Taksonomi
Menurut Sunarjono (2005), taksonomi tanaman srikaya adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Ranunculales
Suku : Annonaceae
Marga : Annona
Jenis : Annona squamosa L.
Gambar 2.2 Srikaya (Annona squamosa) (Thomas Janßen, 2011)
2.2.2 Sinonim
Nama Daerah :
Delima bintang, Sarikaya, Seraikaya (Sumatera); Sarikaya, Serkaya,
Srikawis, Serakaja (Jawa); Sarikaya (Kalimantan); Garoso (Nusa Tenggara);
Perse, Atis (Sulawesi); Atisi, Hirikaya (Maluku).
Nama asing :
Custard apple, sugar apple (Amerika, Inggris); Pomme cannelle
(Prancis); Kaneelapple (Belanda); Raamaphal, Sitaphal (India) (Trubus,
2013).
12
2.2.3 Morfologi
Tanaman Srikaya tumbuh menahun (perennial), berakar tunggang dengan
berkayu dapat mencapai 1-2 meter dan tumbuh tegak ke atas mencapai 10 cm atau
lebih dengan umur hingga 20 tahun. Tajuk (kanopi) tanaman srikaya berbentuk
kerucut tidak teratur dengan percabangan tegak lurus atau membentuk sudut
45o,dan agak jarang. Kulit pohon tipis berwarna keabu-abuan, getah kulitnya
beracun. Batangnya (pada dahan) coklat muda, bagian dalamnya berwarna kuning
muda dan agak pahit. Pada bagian ranting berwarna coklat dengan bintik coklat
muda, lenti sel kecil, oval, berupa bercak bulat pada batang. Batang srikaya kecil
dengan jumlah percangan sedikit sehingga tidak sesuai untuk tanaman pelindung.
Kayu keras, tetapi tidak dapat digunakan sebagai bahan bangunan, hanya untuk
kayu bakar (Sunarjono, 2005).
Daun tunggal, bertangkai, kaku, letaknya berseling. Helai daun berbentuk
lonjong hingga jorong menyempit, ujung dan pangkal runcing, dasar lengkung,
tepi rata, panjang 5-17 cm, lebar 2-7,5 cm, permukaan daun berwarna hijau,
bagian bawah hijau kebiruan, sedikit berambut atau gundul. Rasanya pahit, sedikit
dingin. Tangkai daun 0,4-2,2 cm panjangnya. Daun tunggal, Bunganya
bergerombol pendek menyamping dengan panjang sekitar 2.5 cm, sebanyak 2-4
kuntum bunga kuning kehijauan (berhadapan) pada tangkai kecil panjang
berambut dengan panjang ± 2 cm, tumbuh pada ujung tangkai atau ketiak daun.
Daun bunga bagian luar berwarna hijau, ungu pada bagian bawah, membujur,
panjangnya 1,6-2,5 cm, lebar 0,6-0,75 cm. Daun bunga bagian dalam sedikit kebih
kecil atau sama besarnya. Terdapat banyak serbuk sari, bergerombol, putih,
panjang kurang dari 1,6 cm, putik berwarna hijau muda. Tiap putik membentuk
semacam kutil, panjang 1,3-1,9 cm, lebar 0,6-1,3 cm yang tumbuh menjadi
kelompok-kelompok buah. Berbunga dengan bantuan kumbang nitidula.Buahnya
buah semu, berbentuk bola atau kerucut atau menyerupai jantung, permukaan
berbenjol-benjol, warna hijau berbintik (serbuk bunga) putih, penampang 5-10
cm, menggantung pada tangkai yang cukup tebal. Jika masak, anak buah akan
memisahkan diri satu dengan yang lain, berwarna hijau kebiruan. Daging buah
berwarna putih semikuning, berasa manis. Biji membujur di setiap karpel, halus,
13
coklat tua hingga hitam, panjang 1,3-1,6 cm. Biji masak berwarna hitam
mengkilap. Jumlah bijinya banyak (Saha, 2011).
2.2.4 Habitat dan Distribusi Geografis
Tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 1000 m dibawah
permukaan laut, terutama pada tanah-tanah berpasir sampai tanah-tanah lempung
berpasir dan dengan sistem drainase yang baik pada pH 5,5-7,4. Tumbuhan ini
menyukai iklim panas, tidak terlalu dingin atau banyak hujan.Tumbuh baik pada
berbagai kondisi tanah yang tergenang dan beradaptasi baik terhadap iklim
lembab dan panas. Tumbuhan ini tahan kekeringan dan akan tumbuh subur bila
mendapatkan pengairan yang cukup (Sastrahidayat dan Soemarno, 1991).
Perkembangbiakan dapat menggunakan biji dan metode pencangkokan.
Ditanam dengan jarak tanam 4x3 meter. Hasil buah dapat dijaga dengan
pengaturan pengairan, pemupukan dan pemangkasan yang baik. Tanaman mulai
berbuah pada umur 1-2 tahun dan untuk mendapatkan hasil yang maksimal tidak
dilakukan pemangkasan. Berbuah setelah tanaman berumur 3-4 tahun. Pemanenan
dilakukan pada saat buah berwarna kekuningan atau sekitar 110-120 hari setelah
berbunga (Sastrahidayat dan Soemarno, 1991).
2.2.5 Kandungan Senyawa Annona squamosa
Annona squamosa L. diketahui mengandung alkaloid, asam amino,
glikosida, saponin, karbohidrat, flavonoid, tanin, protein, pitosterol dan senyawa
fenolik. Berbagai kandungan kimia yang diisolasi dari daun,batang dan akar
tanaman termasuk anonaine, norcorydine, aporphine, isocorydine, coryeline dan
glaucine (A Kumar, et al., 2015).
Daun dari tanaman ini ditemukan terdapat senyawa seperti Anonaine,
Borneol, kamper, camphene, carvone, farnesol, geraniol, hexacontanol,
higemamine, limonine, methylheptenone, isoquinoline, Eugenol, Linaloolasetat,
Isocorydine, menthone, metil salisilat, methyl anthranilate, stigmasterol, rutin,
timol (Jayshree, PD dan Kumar Vipin, 2008). Minyak yang diekstrak dari daun
mengandung germacrene D (Kumar et al., 2015).
Cabang-cabang juga ditentukan untuk liriodenine, moupinamide, annonaine
dan asam sachanoic. Ekstrak kloroform dari tanaman mengandung unsur aktif
14
Annotemoyin. Dari biji sekitar 30 acetogenin yang terisolasi seperti
coumarinoligans, annotemoyin dan squamocin, annonastatin, squamocin.
Annonacin, annonastatin, saponin, alkaloid ditemukan di akar (Kumar et al.,
2015).
Berdasarkan penelitian oleh Gowdhami (2014), bahwa serbuk kering dari
Annona squamosa yang diekstraksi dengan metanol, petroleum eter, kloroform
dan heksana secara terpisah diketahui ekstrak metanol dan air biji memiliki hasil
yang lebih positif untuk alkaloid, minyak, tanin, fenol dan flavonoid. Pada tabel
II.4 terdapat berbagai analisis fitokimia dalam biji ekstrak Annona squamosa.
Tabel II.4 Analisis Fitokimia dari Ekstrak Biji Annona squamosa (L)
(Gowdhami, 2014)
Komposisi Tes SW* SM* SPE* SC* SH*
Alkaloid Mayer’s + - + - +
Wagner’s + + - - - +
Hager’s - + - - - -
Karbohidrat Fehling’s + + - + +
Bar ford’s + + - - - +
Benedict’s + + + - - -
Glikosida Poorntrager’s - - - - -
Legal’s + + + + + -
Saponin Saponin + - + - +
Protein Biuret + - - - -
Ninhydrin + - + - - +
Minyak Spot test + + - - -
Getah Gum test - - - - -
Tannin Lead acetate + + + + +
Fenol Ferric
chloride
+ + + + +
Flavonoid Magnesium
test
+ + + + +
*) SW = Ekstrak Bji-Air; SM= Ekstrak Bji-Metanol; SPE= Ekstrak Bji-Petroleum
eter; SC = Ekstrak Bji-Klorofrom; SH = Ekstrak Bji-Hexane.
Total flavonoid dengan perbandingan ekstrak air, etanol, petroleum eter,
kloroform dan heksan di antaranya menunjukkan tingkat flavonoid yang tinggi
pada ekstrak air daun dari sekitar 9,28 mg/g, diikuti dengan ekstrak biji air dan
metanol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daun A. squamosa mengandung
sejumlah besar senyawa flavonoid fenolik yang ditemukan untuk menjadi
15
kontributor utama untuk antioksidan dan aktivitas antibakteri (Gowdhami et al.,
2014).
Tabel II.5 Analisis Fitokimia dari Ekstrak kulit buah Annona squamosa (L)
(Kaladhar et al., 2014)
Tes
Ekstrak kulit buah Annona squamosa
Metanol Etanol Etil
Asetat Air
Alkaloid + + + +
Anthocyanin - - - -
Kolesterol + + + -
Kumarin + - + +
Emodin - - - -
Flavonoid + + + +
Leukoantosianin - - - -
Fenol + + + +
Saponin + + + +
Steroird + + + -
Tanin - - - -
Terpenoid + + - +
Tabel II.6 Analisis Fitokimia dari Ekstrak Daun Annona squamosa (L)
(Yusha’u et al., 2011)
Test EE CF WF
Alkaloid - + -
Flavonoid - + -
Glikosida + - -
Reducing
sugars
+ + -
Saponin + - +
Steroid + + -
Tanin + - -
*) EE = Ektrak Etanol; CF = Fraksi Kloroform; WF = Fraksi Air; + = Ada; -
= Tidak ada.
Tabel II.7 Analisis Fitokimia dari Ekstrak Daun Annona squamosa (L)
(Simon, et al., 2016)
Fitokimia Glikosida Fitosterol Alkaloid Minyak Saponin Fenol Flavonoid
Air + - - + + + +
Aseton + + - + + - +
Kloroform + + - + + - -
*) +: Ada - : Tidak ada
16
2.2.6 Manfaat Srikaya (Annona squamosa)
Penggunaan secara tradisional tanaman Annona squamosa ini memiliki
aktivitas analgesik, antiinflamasi, antitumor, anti-diabetes, antimikroba,
sitotoksik, antioksidan, antilipidemik, antiulcer, molluscidal, efek genotoksik,
hepatoprotektor, insekticidal, larvacidal, anthelmintik (Gajalakshmi et al., 2011).
Daunnya dapat digunakan sebagai insektisida dan agen antispasmodik yang
digunakan dalam pengobatan limpa dan rematik. Biji, buah-buahan dan daun yang
ditemukan efektif sebagai insektisida, racun ikan, dan sebagai iritan kuat dari
konjungtiva. Akar srikaya efektif sebagai pencahar drastis dan disentri akut.
menurunkan kadar glukosa darah yang diuji positif (Gajalakshmi et al., 2011).
Dari hasil penelitian diketahui bahwa dapat menurunkan kadar kolesterol LDL
(Rofida et al., 2015), sebagai antijamur (jamur Alternaria alternata, Candida
albicans, Fusarium solani, Microsporum canis, dan Aspergillus niger) dan
antioksidan dari ekstrak metanol, kloroform, dan air dari daun A. squamosa
memiliki aktivitas antijamur dan antioksidan (Kalidindi, 2015).
2.2.7 Tinjauan Aktivitas Antibakteri Tanaman Annona squamosa
Padhi (2011) menyatakan bahwa srikaya memiliki aktivitas antibakteri yang
kuat. Evaluasi aktivitas antibakteri daun dan kulit dari Annona squamosa L dan
Annona reticulata L terhadap Streptococcus mutans dan Streptococcus sobrinus
(Streptococcus mutans MS) agen penyebab karies gigi, menggunakan pelarut
metanol dengan metode difusi disk. 5 mg, 10 mg, 15 mg, 20 mg, 25 mg, 30 mg,
35 mg, 40 mg, 45 mg, 50 mg, dan konsentrasi mg 100 dari ekstrak terhadap
bakteri S. mutans dan S. sobrinus. Ampisilin (AMP) 10 ug digunakan sebagai
kontrol positif di semua spesies. Hasil penelitian menunjukkan bahwa S. sobrinus
lebih rentan terhadap ekstrak kulit kayu A. squamosa dari S. mutans (Salman dan
Senthilkumar, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data secara statistik oleh
Yunikawati et al.,(2013), dapat disimpulkan bahwa perasan daun Annona
squamosa dalam konsentrasi (0%, 25%, 50%, 75%, 100%) dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Escherichia coli secara in vitro. Serta ada kecenderungan
semakin tinggi konsentrasi perasan daun srikaya maka zona hambat yang
terbentuk semakin besar. Sedangkan aktivitas antibakteri pada ekstrak etanol daun
17
Annona squamosa (L) terhadap dua isolat klinis E. coli menunjukkan dengan
dosis 50 mg/ml dan volume yang digunakan 50 µl diameter zona hambatnya
sebesar 11 mm (Simon et al., 2016). Pada penelitian Shenoy et al., (2009),
menunjukkan bahwa aktivitas antibakteri ekstrak etanol daun Annona squamosa
(L) terhadap bakteri Staphylococcus aureus dengan dosis 200 µg/ 0,1ml dan
volume yang digunakan 1 µl dapat menghasilkan diameter hambat sebesar 18
mm.
2.3 Tinjauan umum Staphyloccus aureus
Staphylococcus aureus atau dikenal dengan S. aureus adalah fakultatif
anaerob, Gram positif, yang muncul sebagai cluster seperti anggur ketika dilihat
melalui mikroskop, dan memiliki putaran, biasanya koloni kuning keemasan,
sering dengan hemolisis, ketika tumbuh di piring agar darah. Penampilan emas
adalah akar etimologis nama bakteri; aureus berarti "emas" dalam bahasa Latin.
Beberapa strain S. aureus mampu menghasilkan staphyloxanthin - pigmen
karotenoid berwarna emas. Strain mutan dari S. aureus staphyloxanthin
dimodifikasi cenderung kurang untuk bertahan hidup dengan inkubasi bahan
kimia oksidator, seperti hidrogen peroksida dari strain berpigmen. Koloni mutan
cepat mati bila terkena neutrofil manusia, sementara banyak dari koloni
berpigmen bertahan hidup (Jawetz et al., 2007).
Bakteri Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif, dinding
selnya terdiri peptidoglikan yang sangat tebal dengan memberan sel selapis dan
memberi kekakuan untuk mempertahankan keutuhan sel. Diameter sel nya
berukuran 0,8 – 1,0 µm. Bakteri S. aureus merupakan flora normal yang terdapat
pada kulit, saluran pernapasan, dan saluran cerna pada manusia. Genus
Staphylococcus yang paling patogen adalah Staphylococcus aureus. Bakteri S.
aureus ini merupakan bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi piogenik
pada kulit manusia (Jawetz et al., 2007).
2.4.1 Taksonomi
Menurut Vasanthakumari (2007), taksonomi bakteri Staphylococcus aureus
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Eubacteria
18
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Bacillales
Famili : Staphylococcaceae
Genus : Staphylococcus
Spesies : Staphylococcus aureus
Gambar 2.4 Bakteri Staphylococcus aureus (David Scharf, 2016),
(Anonim, 2016)
2.4.2 Morfologi dan Identifikasi
Ciri-ciri bakteri Staphylococcus aureus adalah sel sferis, berdiameter sekitar
1 µm tersusun dalam kelompok yang tidak teratur. Kokus tunggal, berpasangan,
tetrad, dan bentuk rantai juga terlihat di biakan cairan. S. aureus tidak motil dan
tidak membentuk spora. Spesies mikrokokus sering menyerupai S. aureus. Spesies
tersebut ditemukan hidup bebas dilingkungan dan membentuk kelompok empat
atau delapan kokus yang teraratur. Koloninya dapat berwarna kuning, merah, atau
jingga. Bakteri S. aureus tahan terhadap pemanasan 60oC selama 30 menit, tahan
terhadap fenol 1% selama 15 menit, 1% merkuri klorida dapat membunuh bakteri
S. aureus selama 10 menit (Vanthakumari, 2007).
Sifat biakan bakteri Staphylococcus mudah berkembang pada sebagian besar
medium bakteriologik dalam lingkungan aerobik atau mikroaerofilik. Organisme
ini paling cepat berkembang pada suhu 37oC tetapi suhu terbaik untuk
menghasilkan pigmen adalah suhu ruangan (20 – 25oC). Koloni pada medium
padat berbentuk bulat, halus, meninggi dan berkilau (Jawetz et al., 2007).
Pertumbuhan bakteri S. aureus dapat menyebabkan penyakit, dengan
kemampuan berkembang biak serta menyebar luas dalam jaringan dan melalui
19
pembentukan zat-zat ekstraseluler yaitu katalase, koagulase, faktor penggumpal,
enzim, eksotoksin, endorotoksin, leukosidin,dan eksfoliatif (Jawetz et al., 2007).
2.3 Tinjauan Umum Escherichia coli
Escherichia coli atau dikenal dengan E. coli adalah bakteri Gram negatif,
berbentuk batang yang umumnya ditemukan pada usus. Kebanyakan strain E. coli
tidak berbahaya, tetapi beberapa serotipe dapat menyebabkan keracunan makanan
yang serius pada manusia yaitu diare berdarah karena eksotoksin yang dihasilkan
yaitu verotoksin (Mahamoud et al., 2007).
Bakteri E. coli bagian dari flora normal usus, yang mendapatkan
keuntungan memproduksi vitamin K2, dan mencegah pembentukan bakteri
patogen dalam usus merupakan strain yang berbahaya. Bakteri E. coli dan bakteri
lainnya yang terkait sekitar 0,1% dari flora usus dan transmisi fecal-oral adalah
rute utama strain patogen dari penyakit bakteri penyebab E. coli yang merupakan
patogen usus atau komensal usus manusia atau hewan dan didalam tinja yang
tersisa. Infeksi klinis yang disebabkan oleh E. coli yaitu infeksi saluran kemih
(ISK), infeksi septik luka, diare, disentri, septikaemia, pneumonia, meningitis
neonatal, abses di berbagai organ (Ngaisah, 2010).
2.3.1 Taksonomi
Menurut Jawetz et al.,(2016), taksonomi bakteri Escherichia coli adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Prokaryotae
Divisi : Gracilicutes
Kelas : Scotobacteria
Ordo : Eubacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Escherichia
Spesies : Escherichia coli
20
Gambar 2.3 Bakteri Escherichia coli (Anonim, 2011)
2.3.2 Morfologi dan Identifikasi
Sel Escherichia coli atau yang dikenal dengan E. coli memiliki ukuran
panjang 2,0 – 6,0 µm, tersusun tunggal berpasangan. Bakteri E. coli tumbuh pada
suhu 10 – 40oC dengan suhu optimum 37
oC, tetapi juga dapat tumbuh pada
kisaran temperatur 15-45oC. pH optimum untuk pertumbuhannya adalah 7,0 – 7,5.
Bakteri ini sangat sensitif terhadap panas dan dapat diinaktifkan pada suhu
pasteurisasi. Strain E. coli tumbuh secara baik pada hampir semua media
membentuk koloni yang halus, bulat, konveks dengan diameter 2-3 mm (Suparno,
2013). Tumbuh dengan mudah pada medium nutrien sederhana, selain itu E.
coli dapat menyebabkan diare akut (Rostinawati, 2009). Bakteri E. coli memiliki
dinding sel yang kompleks (lipopolisakarida) jika dibandingkan dengan bakteri S.
aureus (Astuti, 2015).
Bakteri E. coli dan sebagian besar bakteri enterik lainnya berbentuk
lingkaran,cembung, koloni halus dengan tepi yang berbeda. Pada tes pewarnaan,
E. coli menghasilkan tes positif terhadap indole, lisin dekarboksilase, dan
menfermentasi manitol dan menghasilkan gas dari glukosa. Isolasi dari air seni
dengan cepat diidentifikasi sebagai E. coli dikarenakan terjadi hemolisis dalam
agar darah, memiliki sifat morfologi yang khas pada media pembeda seperti
media agar EMB akan menunjukkan warna kemilau ”metallic sheen” dan tes
indole positif. Selain itu juga E. coli juga dapat diidentifikasi dengan tes MUG
yang positif (Jawetz et al., 2016).
Habitat dari E. coli merupakan penghuni umum dari usus kecil dan usus
besar mamalia. Dalam kondisi anaerobik dia akan tumbuh dengan banyak
melakukan fermentasi, memproduksi campuran asam dan gas sebagai hasil akhir.
Akan tetapi, juga dapat tumbuh dengan banyak melakukan pernapasan anaerobik,
21
karena dapat menggunakan NO3, NO2, atau fumarat sebagai penangkap elektron
terakhir untuk proses pernapasan transpor elektron. Dalam bagiannya,
kelebihannya dalam berbagai hal ini memberikan E. coli kemampuan untuk
beradaptasi dengan habitat di intestinal (anaerobik) dan ekstraintestinal (aerobik
atau anaerobik) (Welch, R.A., 2006).
2.4 Tinjauan Umum Infeksi
Infeksi adalah suatu keadaaan masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh.
Transmisi infeksi terjadi dikarenakan untuk menjamin kelangsungan hidup bakteri
dan meningkatkan kemungkinan penularan dengan memproduksi infeksi tanpa
gejala atau penyakit ringan daripada kematian dari host, mikroorganisme yang
biasanya hidup pada orang meningkatkan kemungkinan penularan dari satu orang
ke orang lain. Beberapa bakteri yang sering menyebabkan penyakit pada manusia
ada terutama pada hewan dan menginfeksi manusia. Banyak bakteri yang
ditularkan dari tangan satu orang ke orang lain melalui tangan. Mencuci tangan
merupakan komponen penting dari pengendalian infeksi. (Jawetz, 2016).
Proses Infeksi di dalam tubuh, kebanyakan bakteri menyebabkan penyakit
mengikuti sel inang atau biasanya sel-sel epitel. Setelah bakteri telah menetapkan
tempat utama infeksi, mereka berkembang biak dan menyebar langsung melalui
jaringan atau melalui sistem limfatik ke aliran darah. Infeksi ini (bakteremia)
dapat terjadi sementara atau persisten. Bakteremia memungkinkan bakteri
menyebar luas dalam tubuh dan memungkinkan untuk mencapai jaringan yang
sangat cocok untuk pertumbuhan mereka (Jawetz, 2016).
Penyakit infeksi dapat disebabkan oleh mikroorganisme patogen, seperti
bakteri, virus, parasit atau jamur (WHO, 2014). Penggunaan antibakteri untuk
menangani penyakit infeksi harus merupakan zat yang dapat menghambat
pertumbuhan atau membunuh bakteri patogen tetapi tanpa membahayakan
manusia. Selain efektif membunuh bakteri patogen juga harus memiliki
selektifitas karena akan berbahaya jika suatu antibakteri tidak memiliki
selektifitas. Oleh karena itu pemilihan antibakteri juga harus memperhatikan jenis
bakteri yang akan dibunuh.
22
Secara umum penyakit infeksi dapat disembuhkan dengan mengkonsumsi
antibiotik. Sekitar 80% konsumsi antibiotik dipakai untuk kepentingan
manusia dan sedikitnya 40% berdasar indikasi yang kurang tepat, misalnya
infeksi virus seperti influenza, hepatitis, ataupun demam berdarah dengue (Utami,
2012).
2.5 Tinjauan Tentang Antibiotik
Antibiotik pada awalnya didefinisikan sebagai zat, yang diproduksi oleh
salah satu mikroorganisme, yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme
lainnya. Munculnya metode sintetik yang menghasilkan modifikasi definisi ini
dan antibiotik sekarang mengacu untuk zat yang diproduksi oleh mikroorganisme,
atau zat yang sama (diproduksi sepenuhnya atau sebagian oleh sintesis kimia)
yang dalam konsentrasi rendah menghambat pertumbuhan mikroorganisme
lainnya (Craig, 2001).
Ada tiga sumber utama dari mana antibiotik diperoleh, yaitu : (Craig, 2001).
(1) Mikroorganisme
Misalnya, bacitracin dan polimiksin diperoleh dari beberapa spesies
Bacillus; streptomisin, tetrasiklin, dll dari spesies Streptomyces;
gentamisin dari Micromonospora purpurea; griseofulvin dan beberapa
penisilin dan sefalosporin dari generasi tertentu (Penicillium, Acremonium)
dari keluarga Aspergillaceae; dan monobaktam dari spesies Pseudomonas
acidophila dan Gluconobacter. Kebanyakan antibiotik digunakan saat ini
telah dihasilkan dari Streptomyces spp.
(2) Sintesis
Kloramfenikol sekarang biasanya dihasilkan oleh proses sintetis.
(3) Semi sintesis
Ini berarti bahwa bagian dari molekul yang dihasilkan oleh proses
fermentasi menggunakan mikroorganisme yang tepat dan produk
kemudian dimodifikasi lebih lanjut oleh proses kimia. Banyak penisilin
dan sefalosporin diproduksi dengan metode ini (Craig, 2001).
23
Pengukuran aktivitas antimikroba dengan menggunakan metode
Konsentrasi Hambat Minimal (KHM) dan Konsentrasi Bunuh Minimal (KBM).
Kedua konsentrasi ini telah menjadi parameter utama yang digunakan untuk
mengukur aktivitas in vitro antimikroba terhadap berbagai patogen. Meskipun
KHM dan KBM sangat baik prediktor potensi antimikroba terhadap organisme
yang menginfeksi. Sebagai contoh, KBM memberikan informasi konsentrasi
minimal pada tingkat bakterisida (daya bunuh) pada aktivitas fungisida dan
apakah pembunuhan dapat ditingkatkan dengan lebih tinggi konsentrasi obat.
Selain itu, KHM memberikan informasi pada efek penghambatan bakteri yang
setelah paparan antimikroba (Craig, 2001).
Berdasarkan sifatnya antibiotik dapat dibagi menjadi beberapa kategori,
yaitu : (Jawetz, 2012)
(1) Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri. Dinding sel
yang terganggu akan menyebabkan dinding sel menjadi rapuh dan
mengakibatkan pecah.
(2) Antibiotik yang menghambat fungsi membran sel.
(3) Antibiotik yang menghambat sintesis protein (yaitu inhibisi, translasi, dan
transkripsi bahan genetik).
(4) Antibiotik yang menghambat sintesis nukleat.
2.5.1 Antibiotik Kloramfenikol
Secara umum penyakit infeksi dapat disembuhkan dengan mengkonsumsi
antibiotik. Sebagian besar infeksi akibat bakteri S. aureus sudah resisten terhadap
berbagai antibiotik, sehingga perlu diberikan antibiotik berspektrum lebih luas
seperti kloramfenikol, amoksilin dan tetrasiklin (Jawetz et al., 2007).
Kloramfenikol diisolasi dari Streptomyces venezuelae namun kini telah
disintesis secara kimia dan memiliki spektrum kerja seperti tetrasiklin, akan tetapi
keduanya tidak memiliki resistensi silang. Kloramfenikol berkhasiat sebagai
antibiotika broadspectrum (spektrum luas) dan bersifat bakteriostatis untuk
sebagian bakteri Gram positif dan Gram negatif serta bersifat bakterisid untuk
beberapa bakteri lainnya (Tjay et al, 2007).
24
Kristal kloramfenikol adalah netral, senyawa stabil dengan struktur
berikut:
Gambar 2.5 Struktur Kloramfenikol (Anonim, 2009).
Mekanisme kerja Kloramfenikol menghambat sintesis protein bakteri, dan
pada tingkat lebih rendah, di sel eukariotik. Ia mengikat reversibel untuk 50S
subunit ribosom (dekat tempat pengikatan untuk antibiotik macrolide dan
klindamisin). Obat mencegah pengikatan asam amino yang mengandung akhir
aminoasil tRNA ke situs akseptor pada ribosom 50S subunit.Interaksi antara
peptidyltransferase dan yang substrat asam amino diblokir, menghambat
pembentukan ikatan peptida (Anonim, 2009). Kristal kloramfenikol adalah
senyawa yang stabil yang cepat diserap dari saluran pencernaan dan luas
didistribusikan ke dalam jaringan dan cairan tubuh, termasuk SSP dan CSF;
menembus sel dengan baik. Ekskresi terutama terjadi di urin, 90% dalam bentuk
tidak aktif (Jawetz, 2016). Efek samping serius yang dapat ditimbulkan oleh
kloramfenikol adalah kerusakan pada sumsum tulang sehingga penggunaannya
dibatasi hanya untuk kasus-kasus tertentu seperti meningitis dan tifus. Selain itu
penggunaannya tidak boleh lebih lama dari 2 minggu (Tjay et al.,2007).
Penggunaan kloramfenikol sebagai pembanding didasarkan pada
penelitian yang dilakukan oleh Katarnida et al (2013), tentang sensitifitas
beberapa bakteri terhadap penggunaan antibiotik. Dalam penelitian tersebut
disebutkan bahwa kloramfenikol memiliki sensitifitas terhadap Escherichia coli
sebesar 62,5% terhadap beberapa pasien yang menjadi subjek penelitian.
Sensitifitas kloramfenikol ini dinilai cukup baik dibandingkan dengan sefotaksim,
seftriakson dan koltrimoksazol yang sensitifitasnya kurang dari 60 %. Selain itu
pada uji efektivitas antibakteri terhadap penggunaan dua bakteri uji
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli, biasanya digunakan kloramfenikol
dengan dosis 30 µg sebagai pembanding kontrol positif untuk melihat hasil dari
25
perbedaan yang terjadi (Alviana, 2016; Mardiana, 2015; Haryati, 2015; Wardani
et al., 2011)
Tabel II.8 Standar interpretatif diameter zona hambat dan nilai batas
(breakpoints) kadar hambatan minimal (KHM) untuk Enterobacteriaceae (CLSI,
2015)
Antibiotik Kadar
cakram
Diameter zona hambat
(mm)
KHM (µg/ml)
R I S R I S
Ampisillin 10 µg ≤ 13 14-16 ≥ 17 ≥ 32 16 ≤ 8
Kloramfenikol 30 µg ≤ 12 13-17 ≥ 18 ≥ 32 16 ≤ 8
Tetrasiklin 30 µg ≤ 11 12-14 ≥ 15 ≥ 16 8 ≤ 4
Dari tabel tersebut bila antibiotik kloramfenikol dibandingkan dengan
ampisillin dan tetrasiklin, penggunaan kloramfenikol menghasilkan intermediet
diameter zona yang cukup lebar daripada tetrasiklin ampisilin terhadap bakteri
golongan Enterobacteriaceae.
Tabel II.9 Standar interpretatif diameter zona hambat dan nilai batas
(breakpoints) kadar hambatan minimal (KHM) untuk Staphylococcus (CLSI,
2015)
Antibiotik Kadar
cakram
Diameter zona hambat
(mm)
KHM (µg/ml)
R I S R I S
Penisillin 10 µg ≤ 28 - ≥ 29 ≥ 0,25 - ≤ 0,12
Kloramfenikol 30 µg ≤ 12 13-17 ≥ 18 ≥ 32 16 ≤ 8
Tetrasiklin 30 µg ≤ 14 15-18 ≥ 19 ≥ 16 8 ≤ 4
Dari tabel atas diketahui bahwa antibiotik kloramfenikol memiliki KHM
resistensi yang lebih besar dibandingkan dengan antibiotik tetrasiklin dan
penisillin.
Kriteria didefinisikan sebagai berikut : (CLSI, 2015)
S = Sensitif
Menunjukkan bahwa infeksi disebabkan oleh mikoorganisme yang diuji
mungkin cukup untuk diobati dengan antibiotika dalam dosis yang
biasanya dianjurkan.
26
I = Intermediet
Organisme mungkin masih dapat dihambat oleh konsentrasi tertentu
antibiotika (misalnya golongan beta-laktam) asalkan dosis yang diberikan
lebih tinggi dari biasanya atau bilamana infeksi mengenai bagian tubuh
dimana secara faali antibiotika yang bersangkutan tersebut terkonsentrasi
(misalnya saluran kemih).
R = Resisten
Organisme yang menunjukkan resistensi tidak dihambat oleh konsentrasi
antibiotika dalam tubuh yang dicapai dengan dosis biasa yang dianjurkan.
2.5.2 Resistensi Antibiotik
Suatu bakteri dikatakan resistensi terhadap antibiotik tertentu bila
pertumbuhan bakteri tersebut tidak bisa dihambat oleh antibiotik pada konsentrasi
minimal yang dapat ditolerir oleh inang atau hospes. Bakteri yang mengalami
resistensi pertumbuhannya tidak terganggu oleh antibiotik atau berkembangnya
populasi bakteri yang resisten, maka antibiotik yang efektif untuk mengobati
penyakit-penyakit tertentu kehilangan nilai kemoterapeutiknya (Sengupta, 2012).
Resistensi mikroorganisme terhadap antibiotik di bedakan beberapa jenis, yaitu :
(1) Resistensi bawaan (primer)
Resistensi yang menjadi sifat alami mikroorganisme tertentu, contoh
bakteri pembentuk enzim penisilinase secara alami dapat menguraikan
penisilin, bakteri yang mempunyai kapsul pada dinding sel nya yang dapat
melindungi dari paparan antibiotik.
(2) Resistensi sekunder
Resistensi yang terjadi akibat kontak dengan antimikroba dalam waktu
yang cukup lama dan frekuensi tinggi sehingga terjadi mutasi pada bakteri,
kemudian resistensi juga dapat terjadi karena adanya mekanisme adaptasi
aktivitas bakteri melawan obat misal dengan membentuk enzim, bakteri
memperkuat dinding sel nya sehingga dinding sel bersifat impermiabel.
(3) Resistensi episomal
Resistensi yang disebabkan faktor genetik diluar kromosom terjadi karena
berpindah nya plasmid dari bakteri yang resisten ke bakteri lain sehingga
bakteri baru menjadi resistensi.
27
Pada penelitian deskriptif yang telah dilakukan oleh Nurmala et al. (2015),
mengenai Resistensi dan Sensitivitas Bakteri terhadap Antibiotik di RSU dr.
Soedarso Pontianak Tahun 2011-2013 menunjukkan resistensi tertinggi bakteri
adalah terhadap metronidazol (96,4%), sefaleksin (95,8%), sefuroksim (92,2%),
oksasilin (91,7%) dan sefadroksil (91,5%) dan sensitivitas tertinggibakteri
terhadap piperasilin/tozobaktam (89,7%), meropenem (82,9%), imepenem
(78,1%), amikasin(76,3%), fosfomisin/trometamol (59,5%) dan levofloksasin
(56,1%). Resistensi tersebut dapat terjadi dikarenakan beberapa faktor penyebab
salah satunya penggunaan antibiotik.
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional dan kurangnya pengawasan
pada pasien di rumah sakit ataupun tempat pelayanan kesehatan lainnya
menyebabkan kuman menjadi resisten terhadap antibiotik. Serta pengetahuan
masyarakat tentang bahayanya antibiotik jika terjadi resistensi masih sangat
kurang (Nursidika et al.,2014).
Hal tersebut diperlukan tindakan untuk mengontrol penggunaan antibiotik,
lebih memahami mekanisme genetik resistensi dan melanjutkan studi
pengembangan obat baru. Saat ini, secara klinis mikroorganisme tidak hanya oleh
obat tunggal resistensi, tetapi juga oleh multidrug resistance. Penggunaan
kombinasi dari dua atau lebih antibiotik dengan berbeda merupakan tindakan
dalam upaya untuk mencegah perluasan resistensi antibiotik dan meningkatkan
hasil terapi. Efek sinergis dari agen antimikroba dengan formasi kompleks tertentu
akan menjadi lebih efektif daripada individu dalam penghambatan
microorganisme (Sengupta et al., 2009).
2.6 Komponen Senyawa Metabolit Sekunder Ekstrak Etanol Daun Persea
americana dan Annona squamosa
Berdasarkan hasil penelitian skrining fitokimia oleh Thakhira (2016),
kandungan senyawa metabolit pada ekstrak daun Persea americana dan Annona
squamosa terdapat flavonoid, triterpenoid, antrakuinon, dan alkaloid. Proses
tersebut dilakukan dengan eluasi masing-masing ekstrak dengan eluen n-heksan :
etil asetat (4 : 6) dan disemprot dengan penampak noda tertentu serta uji alkaloid
28
dengan reaksi pengendapan. Dari proses skrining fitokimia dihasilkan data yang
dapat dilihat pada tabel II.10.
Tabel II.10 Hasil skrining fitokimia ekstrak etanol daun Persea americana dan
Annona squamosa (Thakhira 2016).
Tanaman Flavonoid Triterpenoid Antrakuinon Polifenol
/tannin
Alkaloid
Persea
americana
+ + + - +
Annona
squamosa
+ + + - +
Komponen senyawa metabolit sekunder yang berfungsi sebagai antibakteri :
(1) Flavonoid
Flavonoid diperoleh dari hidroksilasi zat fenolik sebagai unit C6-C3
yang terkait pada cincin aromatik. Disintesis dari tanaman untuk infeksi
mikroba dan telah diketahui bahwa secara in vitro efektif sebagai zat
antimikroba terhadap berbagai macam mikroorganisme. Flavonoid
memiliki kemampuan kompleks ekstraseluler, protein terlarut dan
kompleks dengan dinding sel bakteri. Sifat flavonoid yang lebih lipofilik
dapat merusak membran mikroba (Cowan, 1999).
Flavonoid mampu untuk membentuk kompleks dengan dinding sel
bakteri, sehingga menyebabkan kerusakan permeabilitas dinding sel
bakteri, mikrosom, dan lisosom sebagai hasil interaksi antara flavonoid
dengan DNA bakteri (Haryati et al.,2015).
Berbagai mekanisme antibakteri dari flavonoid, diantaranya yaitu :
(Lamb dan Cushnie, 2005).
(a) Penghambatan sintesis asam nukleat.
(b) Penghambatan fungsi membran sitoplasma.
(c) Penghambatan metabolisme energi.
(2) Alkaloid
Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar.
Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau
lebih atom nitrogen biasanya sebagian bagian dari sistem siklik. Alkaloid
29
mempunyai aktivitas fisiologi yang menonjol sehingga banyak di
antaranya digunakan dalam bidang pengobatan (Harbone, 1987).
Mekanisme kerja dari alkaloid kuartener planar seperti berberin dan
harmane sebagai antibakteri melalui cara berinteraksi dengan asam
deoksiribosa nukleat (DNA) bakteri atau berinteraksi dengan dinding sel
bakteri (Cowan, 1999). Alkaoida juga diduga mengganggu komponen
penyusun peptidoglikan pada sel bakteri sehingga lapisan dinding sel tidak
terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel (Haryati et al.,2015).
(3) Triterpenoid
Triterpenoid contohnya lanosterol, bahan dasar bagi senyawa-senyawa
steroid. Triterpenoid memiliki atom C30. Triterpenoid tersebar luas dalam
damar, gabus dan kutin tumbuhan. Damar adalah asam triterpenoid yang
sering bersama-sama dengan gom polisakarida dalam damar gom.
Triterpenoid alkohol juga terdapat bebas dan sebagai glikosida. Triterpenoid
asiklik yang penting hanya hidrokarbon skualena yang diisolasi untuk
pertama kali dari minyak hati ikan hiu tetapi juga ditemukan dalam beberapa
malam epikutikula dan minyak nabati (minyak zaitun). Triterpenoid
merupakan bagian dari terpenoid. Terpenoid disintesis dari unit asetat yang
diperoleh dari asam lemak (Cowan, 1999).
Terpenoid dapat bereaksi dengan porin (protein transmembran) pada
membran luar dinding sel bakteri, membentuk ikatan polimer yang kuat
dan merusak porin, mengurangi permeabilitas dinding bakteri sehingga sel
bakteri kekurangan nutrisi, pertumbuhan bakteri terhambat atau mati.
(Haryati et al.,2015).
(4) Antrakuinon
Termasuk golongan kuinon fenolik yang dalam biosintesisnya
berasal dari turunan fenol. Senyawa golongan kuinon telah tersebar luar di
alam dan senyawa ini memiliki ciri yang sangat reaktif (Zhang et al.,
2009). Kuinon merupakan cincin aromatik dengan substitusi dua keton.
Senyawa ini, bertanggung jawab dalam reaksi pencoklatan pada
buah-buahan dan sayuran dan sebagai perantara melanin dalam jalur
sintesis pada kulit manusia. Dengan menyediakan sumber radikal bebas
yang stabil, kuinon merupakan ireversibel kompleks nukleofilik
30
asam amino dalam protein yang menimbulkan inaktivasi protein dan
hilangnya fungsi sehingga besar potensi kuinon sebagai efek antimikroba
(Cowan, 1999).
Senyawa antrakuinon memiliki dua bentuk yaitu glikosida dan
bentuk bebas (tidak terikat dengan senyawa gula dalam bentuk glikosida)
sehingga dapat tertarik oleh senyawa polar, semipolar, dan non polar.
Kuinon memiliki aktivitas antimikroba yang cukup luas, senyawa tersebut
juga dapat membentuk kompleks dengan asam amino nukleofilik dalam
protein sehingga dapat membentuk protein kehilangan fungsinya. Kuinon
bereaksi dengan protein adesin bulu-bulu sel, polipeptida dinding sel, dan
eksoenzim yang dilepaskan melalui membran (Putra, 2010).
2.7 Metode Difusi
Gambar 2.6 Klasifikasi metode mikrobiologi untuk deteksi biologi
(Choma, 2010).
Pada metode difusi agar digunakan media agar padat yang dapat berupa
kertas cakram, silinder atau cekungan yang dibuat pada media padat. Larutan uji
akan berdifusi dari pencadang ke permukaan media agar padat yang telah
diinokulasi bakteri. Bakteri akan terhambat pertumbuhannya dengan pengamatan
berupa lingkaran atau zona disekeliling pencadang (Jiang, 2011).
31
Gambar 2.7 Tes bakteri dengan difusi bioassay : agar disc (kiri)
dan agar cylinder (kanan) (Choma, 2010).
A. Macam-macam metode difusi, diantaranya yaitu :
(1) Metode lubang/ silinder (perforasi)
Dalam metode silinder, baja atau porselen silinder stainless dari
ukuran seragam (biasanya 8mm × 6mm × 10mm) ditempatkan pada
permukaan agar-agar diinokulasi cawan petri, dan diisi dengan sampel dan
standar. Pada uji silinder, beberapa lubang berdiameter milimeter pada
permukaan agar-agar diinokulasi dan diisi dengan sampel. larutan senyawa
yang diuji berdifusi ke media agar menyebabkan penghambatan
pertumbuhan mikroorganisme. Kemudian, zona hambatan diukur,
konsentrasi hambat minimum (MIC) ditentukan secara visual. (Choma,
2010).
Bakteri uji yang umurnya 18-24 jam disuspensikan ke dalam media
agar pada suhu sekitar 45oC. Suspensi bakteri dituangkan ke dalam cawan
petri steril. Setelah agar memadat, dibuat lubang-lubang dengan diameter 6-
8 mm. Kedalam lubang tersebut dimasukkan larutan zat yang akan diuji
aktivitasnya kemudian diinkubasikan pada suhu 37oC selama 18-24 jam.
Aktivitas antibakteri dapat dilihat dari daerah bening yang mengelilingi
lubang perforasi (Choma, 2010).
(2) Metode cakram kertas
Zat yang akan diuji diserapkan ke dalam cakram kertas dengan cara
meneteskan larutan antibakteri pada cakram kertas kosong (mencelupkan
kertas saring ke dalam larutan senyawa) dalam jumlah tertentu dengan kadar
tertentu. Kertas cakram diletakkan diatas permukaan agar padat yang telah
32
diolesi bakteri, diinkubasi selama 18-24 jam pada suhu 37oC. Aktivitas
antibakteri dapat dilihat dari daerah hambat di sekeliling cakram kertas
(Ngaisah, 2010; Choma, 2010).
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi metode difusi agar, yaitu :
(Rostinawati, 2009).
(1) Pradifusi, perbedaan waktu pradifusi mempengaruhi jarak difusi dari
zat uji yaitu difusi antar pencadang.
(2) Ketebalan medium agar adalah penting untuk memperoleh sensitivitas
yang optimal. Perbedaan ketebalan media agar mempengaruhi difusi
dari zat uji ke dalam agar, sehingga akan mempengaruhi diameter
hambat. Makin tebal media yang digunakan akan makin kecil diameter
hambat yang terjadi.
(3) Kerapatan inokulum, ukuran inokulum merupakan faktor terpenting
yang mempengaruhi lebar daerah hambat, jumlah inokulum yang lebih
sedikit menyebabkan obat dapat berdifusi lebih jauh, sehingga daerah
yang dihasilkan lebih besar, sedangkan jika jumlah inokulum lebih
besar maka akan dihasilkan daerah hambat yang kecil.
(4) Komposisi media agar, perubahan komposisi media dapat merubah
sifat media sehingga jarak difusi berubah. Media agar berpengaruh
terhadap ukuran daerah hambat dalam hal mempengaruhi aktivitas
beberapa bakteri, mempengaruhi kecepatan difusi antibakteri dan
mempengaruhi kecepatan pertumbuhan antibakteri.
(5) Suhu inkubasi, kebanyakan bakteri tumbuh baik pada suhu 37oC.
(6) Waktu inkubasi disesuaikan dengan pertumbuhan bakteri, karena luas
daerah hambat ditentukan beberapa jam pertama, setelah diinokulasikan
pada media agar, maka daerah hambat dapat diamati segera setelah
adanya pertumbuhan bakteri.
(7) Pengaruh pH, adanya perbedaan pH media yang digunakan dapat
menyebabkan perbedaan jumlah zat uji yang berdifusi, pH juga
menentukan jumlah molekul zat uji yang mengion. Selain itu pH
berpengaruh terhadap pertumbuhan bakteri.
33
2.7.1 Metode Difusi Cakram
Metode difusi cakram digunakan untuk pengujian simultan dari sejumlah
besar antimikroba dengan cara yang relatif mudah dan fleksibel. Dalam metode
ini, inokulum bakteri disesuaikan dengan konsentrasi tertentu, diinokulasi ke
seluruh permukaan dari piring agar Mueller-Hinton (MHA) dengan kapas steril.
Kertas cakram (diameter 6 mm) diresapi dengan larutan antibiotik yang
diencerkan ditempatkan pada permukaan setiap piring MHA menggunakan
sepasang forsep steril. Kemudian piring diinkubasi aerobik 37oC selama 24 jam
dan diameter penghambatan zona diukur setelah 24 jam inkubasi dengan
penggaris atau jangka sorong. Berdasarkan diameter zona inhibisi dan kriteria
interpretatif CLSI, hasilnya kemudian dibagi menjadi tiga kategori yaitu, rentan,
menengah, atau resisten. Semakin besar diameter zona inhibisi, adalah
mikroorganisme yang lebih rentan untuk antimikroba tersebut (Jiang, 2011).
Langkah-langkah metode pengujian difusi cakram : (Lesmana, 2006).
(1) Buatlah biakan kuman (berumur 24 jam) yang telah murni dan telah
diketahui identitasnya dalam 0,5 ml kaldu brain heart infusion (BHI).
Biakan kaldu dibuat tipis saja.
(2) Inkubasi pada suhu 35oC sampai mencapai kekeruhan yang sesuai dengan
standar MacFarland 0,5 (biasanya setelah 2-6 jam). Pada kekeruhan ini
jumlah kuman di biakan kaldu sekitar 1 sampai 2 x 108 CFU/ml.
(3) Penyesuaian kekeruhan dilakukan dengan menambahkan larutan NaCl
pada biakan kadu. Cara lain adalah dengan membuat suspensi kuman dari
biakan pada lempeng agar non-selektif (agar darah) yang berumur 18-24
jam dalam larutan garam faal dan menyesuaikan kekeruhannya setara
dengan standar MacFarland 0,5.
(4) Secara optimal, 15 menit setelah dilakukan penyesuaian kekeruhan
suspensi kuman di ambil dengan menggunakan kapas lidi steril. Kapas lidi
diputar-putar beberapa kali dan kemudian ditekan ke dinding bagian dalam
tabunguntuk menghilangkan kelebihan inokulum dari biakan kaldu.
(5) Kapas lidi kemudian ditanamankan lempengan agar Mueller-Hinton
(ukuran lempeng petri = 100x15 mm) dengan cara mengusapkan (streak)
pada seluruh permukaan lempeng agar. Prosedur ini diulang sebanyak 2x
34
lagi dengan setiap kali memutar posisi lempeng agar 180o agar supaya
permukaan terinokulasi dengan rata.
(6) Sebagai tahap akhir, seluruh tepi agar juga diusap. Lempeng agar yang
telah ditanami (diinokulasi) dibiarkan inokulum pada permukaan agar.
(7) Sejumlah cakram antibiotik disiapkan untuk pengujian ini. Cakram-
cakram antibiotik dapat diletakkan satu demi satu diatas agar biakan secara
manual.
(8) Setelah diletakkan di atas biakan, cakram-cakram antibiotik ditekan
perlahan-lahan dengan pinset untuk memastikan seluruh permukaan
bersentuhan sempurna dengan permukaan bersentuhan sempurna dengan
permukaan agar yang mengandung biakan kuman. Biasanya 5 buah
cakram diletakkan pada lempeng agar 100 mm atau 12 cakram pada
lempeng 150 mm.
(9) Lempeng agar kemudian dibalik dan dalam waktu tidak lebih dari 30
menit diinkubasikan secara aerob pada suhu 37oC selama 18-24 jam.
(10) Hasil pengujian dibaca dengan mengukur zona hambatan yang
diperlihatkan oleh biakan tersebut.
Gambar 2.8 Prosedur metode difusi cakram (Jiang, 2011)
35
Gambar 2.9 Zona hambat/ diameter zona bening dengan metode Difusi Cakram
(Jiang, 2011)
Metode ini dipengaruhi banyak faktor fisik dan kimia, selain interaksi
sederhana dari obat dan organisme (misalnya, sifat dari media dan diffusibility,
ukuran molekul,dan stabilitas obat). Penggunaan disk tunggal untuk setiap
antibiotik dengan standarisasi dari kondisi pengujian memungkinkan laporan
rentan atau tahan untuk mikroorganisme dengan membandingkan ukuran zona
inhibisi dengan standar obat yang sama. Inhibisi sekitar cakram yang berisi
sejumlah obat antimikroba tidak berarti kerentanan terhadap konsentrasi obat yang
sama per mililiter menengah, darah, atau urin (Jawetz, 2016).
Penelitian ini menggunakan metode difusi cakram dikarenakan metode ini
merupakan metode yang mudah untuk dilakukan dan hasilnya dapat terlihat jelas.
Metode ini memiliki keebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah mudah
dilakukan, tidak memerlukan peralatan khusus dan relatif lebih murah. Sedangkan
kelemahannya adalah ukuran zona bening yang terbentuk tergantung oleh kondisi
inkubasi, inokulum, predifusi, dan preinkubasi serta ketebalan medium (Pelczar,
1988).
2.7.2 Preparasi Bakteri
Sebelum membuat suspensi bakteri, siapkan terlebih dahulu standar
McFarland (105
-108
/ml). Proses peremajaan bakteri yang berasal dari biakan
murni diambil satu ose kemudian digoreskan dengan 3-4 bagian secara horizontal
pada cawan petri yang berisi media Nutrient Agar sebanyak 20 ml. Kemudian
diinkubasi selama 24 jam dengan suhu 37oC. Kemudian lakukan pembuatan
suspensi bakteri dengan teknik dilusi (pengenceran). Bakteri uji diambil dari hasil
peremajaan menggunakan ose steril kemudian dimasukkan ke dalam 10 ml
36
aquades steril, dikocok menggunakan stirrer dan dibandingkan dengan standar
McFarland (105
– 108
/ ml). Jika sudah sama maka dilakukan pengenceran hingga
didapatkan jumlah koloni bakteri yang diinginkan (Hermawan, 2007).
Pada penelitian ini koloni bakteri yang digunakan adalah 106 CFU/ml
sehingga dilakukan pengenceran bertingkat dari suspensi bakteri sebelumnya bila
jumlah koloni bakteri banyak (≥ 106 CFU/ml). Tujuannya yaitu memperkecil atau
mengurangi jumlah mikroba yang tersuspensi dalam cairan. Penentuan besarnya
atau banyaknya tingkat pengenceran tergantung kepada perkiraan jumlah mikroba
dalam sampel. Digunakan perbandingan 1 : 9 untuk sampel dan pengenceran
pertama dan selanjutnya, sehingga pengenceran berikutnya mengandung 1/10 sel
mikroorganisma dari pengenceran sebelumnya (Hafsan et al., 2015). Prosedur
kerja adalah sebagai berikut :
(a) Sampel yang mengandung bakteri dimasukan ke dalam tabung
pengenceran pertama (1/10 atau 10-1
) secara aseptis (dari preparasi
suspensi). Perbandingan berat sampel dengan volume tabung pertama
adalah 1 : 9 dan aquades yang digunakan jika memakai teknik rinse dan
swab sudah termasuk pengencer 10-1
. Setelah sampel masuk lalu dilarutkan
dengan mengocoknya (pengocokan yang benar dapat dilihat pada Gambar
2.10.
(b) Diambil 1 ml dari tabung 10-1
dengan pipet ukur kemudian dipindahkan
ke tabung 10-2
secara aseptis kemudian dikocok dengan membenturkan
tabung ke telapak tangan sampai homogen. Pemindahan dilanjutkan hingga
tabung pengenceran terakhir dengan cara yang sama, hal yang perlu diingat
bahwa pipet ukur yang digunakan harus selalu diganti, artinya setiap tingkat
pengenceran digunakan pipet ukur steril yang berbeda/baru. Prinsipnya
bahwa pipet tidak perlu diganti jika memindahkan cairan dari sumber yang
sama (Gambar 2.1).
Setelah didapatkan koloni bakteri 106 CFU/ml kemudian dari suspensi
bakteri tersebut dilakukan penggoresan dengan teknik Streak Plate (Teknik
Penggoresan Agar) Goresan Sinambung bertujuan untuk mengisolasi
mikroorganisme dari campurannya atau meremajakan kultur ke dalam medium
37
baru. Diambil bakteri menggunakan ose steril, dan digoreskan secara kontinyu
sampai setengah permukaan agar media NA steril dengan 3-4 bagian secara
horizontal, lalu putar cawan 180oC (Gambar 2.11). Lanjutkan goresan sampai
habis. Setelah selesai menggoreskan, bakteri diinkubasi pada suhu 37oC selama 24
jam (Hafsan et al., 2015).
Gambar 2.10 Teknik pengenceran bertingkat (Hafsan et al., 2015)
Gambar 2.11 Teknik Streak Plate (Teknik penggoresan agar) Goresan
Sinambung (Hafsan et al., 2015)
2.7.3 Standar Mc Farland
Standar Mc Farland adalah sebuah larutan kimia dari BaCl2 dan H2SO4.
Kedua reaksi kimia tersebut menghasilkan lapisan endapan berupa BaSO4.
Standar Mc Farland digunakan untuk standarisasi perkiraan jumlah bakteri yang
terdapat dalam larutan suspensi dengan membandingkan kejenuhan dari tes
suspensi dengan standar Mc Farland. Ketika dikocok dengan baik, kejenuhan dari
sebuah Mc Farand dapat dibandingkan secara visual dengan sebuah suspensi
bakteri yang diketahui konsentrasinya seperti tabel II.11.
38
Tabel II.11 Standar Mc Farland (Anonim, 2015)
Standar Mc
Frland
1 % BaCl2 (ml) 1 % H2SO4 (ml) Perkiraan
suspensi bakteri
(ml)
0.5 0.05 9.95 1.5 X 108
1.0 0.10 9.90 3.0 X 108
2.0 0.20 9.80 6.0 X 108
3.0 0.3 9.7 9.0 X 108
4.0 0.4 9.6 1.2 X 108
5.0 0.5 9.5 1.5 X108
6.0 0.6 9.4 1.8 X 108
7.0 0.7 9.3 2.1 X 108
8.0 0.8 9.2 2.4 X 108
9.0 0.9 9.1 2.7 X 108
10.0 1.0 9.0 3.0 X 108
Sebelum digunakan standar Mc Farland harus dikocok dengan baik dan
dipindahkan secara kuanti ke dalam tabung reaksi yang digunakan untuk preparasi
suspensi inokulum. Setelah dipindahkan secara kuanti tabung harus ditutup
dengan rapat untuk mencegah terjadi penguapan. Untuk memastikan bahwa
BaSO4 telah terdistribusi merata sempurna dalam larutan maka sebelum
digunakan standar Mc Farland harus dikocok dengan baik. Standar Mc Farland
yang sering digunakan dalam Laboratorium Klinik adalah standar Mc Farland
0,5, dimana standar tersebut merupakan dasar untuk percobaan kerentanan
antimikroba dan percobaan hasil biakan media.
Prosedur Kerja :
a. Campurkan standar Mc Farland dengan menggunakan vortex untuk
pengujian. Pastikan bahwa standar Mc Farland dipindahkan secara kuanti
ke dalam tabung reaksi yang memiliki ukuran diameter yang sama seperti
tabung reaksi yang digunakan untuk persiapan ke suspensi.
b. Siapkan sebuah tes suspensi dengan perlakuan segar, biakan bersih dari tes
organisme dan inokulasi ke dalam broth yang sesuai.
c. Kemudian bandingkan secara visual kejenuhan dari tes suspensi dengan
standar Mc Farland dengan membandingkan garis kejernihan pada kartu
Wickerham.
d. Apanbila hasil tes suspensi tidak terlau jernih, maka inokulasi dengan
penambahan organisme atau inkunasi tabung reaksi sampai kejenuhannya
39
sesuai dengan strandar Mc Farland. Apabila dilusi diperlukan, gunakan
pipet steril dan tambahkan broth atau saline yang cukup untuk
mendapatkan kejenuhan yang sesuai dengan standar Mc Farland.
2.8 Kombinasi Estrak dari Tanaman
Pengkombinasian tanaman tersebut dilakukan untuk meningkatkan
efektifitas yang dihasilkan, menurunkan toksisitas yang terjadi dan adanya
aktivitas lain yang mendukung aktivitas senyawa utama serta dapat menurunkan
dosis pemakaiannya bila dibandingkan pemakaian tunggal (Hernani, 2011). Telah
diketahui bahwa tanaman bila digunakan dalam kombinasional terapi untuk
mengobati penyakit infeksi dapat dianggap sebagai sumber obat yang baik
(Padalia et al., 2016).
Banyak penelitian kombinasi tanaman yang sudah dilakukan saat ini.
Penelitian kombinasi ekstrak tanaman terutama sebagai antibakteri dengan hasil
penelitian membuktikan bahwa adanya aktivitas antibakteri yang dapat
menghambat dan atau membunuh bakteri. Pada penelitian kombinasi ekstrak
aseton dari kombinasi Moringa olieofera dan Cleome viscosa dengan metode
difusi cakram terhadap bakteri patogen S. aureus, P. aeruginosa, E. coli, K.
pneumoniae and S. pneumoniae. Diketahui bahwa moringa mengandung tannin,
saponin, flavonoid dan alkaloid, sedangkan Cleome viscoca terdapat senyawa
flavonoid sebagai antibakeri. Penelitian ini menggunakan kombinasi ekstrak
perbandingan 1:1 (10μl satu ekstrak +10μl ekstrak lainnya dari kombinasi) dari
kedua larutan ekstrak dan kontrol positif yang digunakan yaitu gentamycin (10
μg), amoxicillin (10 μg) and ciprofloxacin (5 μg). Dari hasil penelitian diketahui
bahwa aktivitas daya hambat ekstrak aseton lebih terlihat jelas pada bakteri P.
aeruginosa dan S. pneumoniae lalu bakteri E. coli, S. aureus, dan K. pneumoniae.
Rentang zona efektif yaitu 19-35 mm dan rata-rata MIC yaitu 4-16 mg/ml.
Peningkatan bioaktivitas yang besar telah tercatat untuk isolat bakteri K.
Pneumoniae menghasilkan daya hambat kombinasi dari 20 mm menjadi 35 mm.
Pada bakteri isolat S. aureus dan E. coli dihasilkan aktivitas sinergis yang cukup,
sedangkan isolat dari S. pneumoniae memiliki aktivitas yang lemah dengan daya
hambat kombinasi dari 24 mm menjadi 24,8 mm. Dari hasil tersebut diketahui
40
bahwa efek sinergis terihat 100% terhadap bakteri isolat K. pneumoniae and E.
coli diikuti by 89% dari S. pneumoniae dan 64% dari S. aureus. Kombinasi
Moringa oleifera dan Cleome viscosa memberikan efek sinergis yang kuat
terhadap K. pneumoniae, E. coli, S. pneumoniae dan S. aureus. Efek antibakteri
Moringa oleifera lebih baik jika dikombinasi dengan Cleome viscosa sebagai
alternatif untuk otitis media (Patil dan Rasika, 2013).
Saat ini telah berkembangnya penggunaan ekstrak dari tanaman herbal
sebagai alternatif antibakteri dari antibiotik sintesis yang banyak mengalami
resistensi terhadap bakteri multiresisten. Berdasarkan penelitian aktivitas
antibakteri dari kombinasi ekstrak etanol 95% dari batang Tinospora crispa
dengan ekstrak etanol 95% dari biji dasar Swietenia mahagoni terhadap bakteri
MRSA MRSA (Methicillin-resistant Staphylococcus aureus) dengan metode
difusi cakram. Masing-masing kandungan ekstrak Tinospora crispa (0,5 mg /
disk) dan ekstrak Swietenia mahagoni (0,5mg / disk) sedangkan DMSO sebagai
kontrol negatif dan vankomisin sebagai kontrol positif. Hasil penelitian
menunjukkan tingkat sensitivitas yang berbeda untuk strain diuji (MRSA), dan
zona penghambatan berkisar antara (10 - 20) mm. Dari tiga strain yang diuji
(MRSA03-23, MRSA04-30, dan MRSA04-32), kombinasi Tinospora crispa dan
Swietenia mahagoni ditemukan memiliki efek yang lebih baik (19 mm, 20 mm, 21
mm) dibandingkan dengan vankomisin (15 mm, 17 mm, 15 mm). Hasil tersebut
menyatakan bahwa kombinasi Tinospora crispa dan Swietenia mahagoni
memiliki aktivitas antibakteri potensial terhadap (MRSA). Pada beberapa
penelitian diketahui bahwa sensitivitas strain (MRSA) untuk kombinasi Tinospora
crispa - Swietenia mahagoni dapat dikaitkan dengan adanya 2-Hydroxy-3-
Otigloylswietenolide dalam senyawa S. mahagoni menunjukkan aktivitas
antibakteri, selain itu terdapat N-cis-feruloyityramine, N-trans-feruloyltyramine,
secoisolariciresinol, dan 2, 2- diphenyl-1-pierylhydrazyl (DPPH) kandungan
senyawa di dalam ekstrak T. crispa yang ditemukan memiliki sifat antioksidan
(Al- alusi et al., 2010).
Penggunaan produk herbal atau yang lebih dikenal dengan produsen jamu
jamu sudah banyak digunakan oleh masyarakat dan sudah terjamin khasiatnya
berdasarkan pengalaman turun temurun. Indonesia merupakan produsen produk
41
herbal dengan beraneka macam kombinasi ekstrak dari tanaman. Salah satu
contoh produk herbal/ jamu Indonesia yang ada di masyarakat yaitu “FRESMUL”
dari UD. Rahma Sari. Produk herbal ini memiliki khasiat untuk membantu
mengurangi bau mulut. Bau mulut atau halitosis disebabkan oleh karies gigi,
penyakit peridontal, dan adanya bakteri didalam rongga mulut. Penelitian telah
menunjukkan bahwa karies adalah situs penyakit dietomikrobial tertentu yang
memerlukan interaksi dengan host, substrat dan bakteri kariogenik, patogen utama
yang Streptococcus mutans dan non spesies Streptococcus lainnya seperti
Lactobacillus, Actinomyces dan spesies Veillonella (Jyotsna dan Lakshmi, 2014).
Halitosis dapat diatasi dengan penggunaan produk tersebut yang mengandung 0,6
gram simplisia Androphogon zizanoides radix, 0,5 gram simplisia Syzygium
aromaticum flos, 0,5 gram simplisia Piper betle folium, dan 0,4 gram simplisia
Areca cathecu semen. Pengkombinasian dari tanaman tersebut diharapkan dapat
meningkatkan efektifitas terapi.
Adapun telah ada penelitian yang membuktikan bahwa tanaman-tanaman
yang terkandung dalam produk tersebut memiliki aktivitas sebagai antibakteri.
Hasil penelitian aktivitas antibakteri bahwa ekstrak etanol akar Vetiveria
zizanoides atau Androphogon zizanoides terhadap bakteri Escherichia coli,
Bacillus subtilis, P. aeurogenosa dan Staphylococcus aureus dengan metode
difusi. Diketahui bahwa ekstrak etanol menunjukkan adanya daya hambat pada
bakteri S. aureus, P. aeurogenosa dan E. coli (25mm, 18mm, 20mm) dengan
dosis 750 μg dan Ciprofloxacin sebagai kontrol positif. Dari hasil skrining
fitokimia bahwa ekstrak etanol Vetiveria zizanioides mengandung senyawa
alkaloid, flavonoid, saponin, erpenoid, tanin dan fenol (Devi et al., 2010).
Berdasarkan hasil penelitian Andries et al., (2014) menunjukkan bahwa
ekstrak Syzygium aromaticum flos atau Bunga Cengkeh mengandung senyawa
eugenol yang dapat membunuh bakteri termasuk bakteri yang resisten terhadap
antibiotik yaitu Streptococcus mutans dengan metode sumuran. Penelitian ini
menggunakan bahan coba ekstrak cengkeh dengan konsentrasi 40%, 60%, dan
80%, ciprofloxacin sebagai kontrol positif dan Aquadest sebagai kontrol negatif.
Konsentrasi ekstrak memengaruhi kecepatan difusi zat berkhasiat. Makin besar
konsentrasi ekstrak, maka makin cepat difusi, akibatnya makin besar daya
42
antibakteri dan makin luas diameter zona hambat yang terbentuk. hasil penelitian
bahwa ekstrak dengan konsentrasi 80% (25,81 mm; 32,3 mm; 28,9 mm)
mempunyai zona hambat yang lebih besar dibanding dengan ekstrak konsentrasi
40 % (20,41mm; 16,36 mm; 19,71mm) dan 60% (21 mm; 21,2 mm; 16,91 mm)
Daun sirih hijau (Piper betle L.) merupakan salah satu tanaman yang
digunakan sebagai obat tradisional. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ekstrak
etilasetat daun sirih hijau mengandung senyawa antibakteri yang terdiri dari
senyawa fenol dan turunannya. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
aktivitas antibakteri ekstrak etilasetat daun sirih hijau terhadap bakteri S.
epidermidis dengan metode difusi agar. Hasil penelitian menunjukkan daya
hambat ekstrak pada konsentrasi 3% dan 5%, yaitu 9,8 dan 15 mm. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat memiliki aktivitas antibakteri
terhadap S.epidermidis dalam kategori sedang-kuat (Kursia et al., 2016).
Telah dilakukan pengujian aktivitas antimikroba Biji pinang (Areca catechu
L.) terhadap Streptococcus mutans dan Staphylococcus aureus. Biji pinang
mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, dan polifenol yang
diketahui berkhasiat sebagai antibakteri. aktivitas antibakteri pasta gigi ekstrak
biji pinang dengan variasi konsentrasi 1,5%, 3% dan 4,5%. Ekstraksi dilakukan
dengan cara maserasi menggunakan pelarut etanol 96%. Ekstrak kental yang
diperoleh diformulasikan dalam sediaan pasta gigi dengan konsentrasi 1,5%, 3%
dan 4,5%. Hasil pengujian antibakteri menunjukkan bahwa pasta gigi dengan
konsentrasi ekstrak biji pinang 1,5%, 3% dan 4,5% menunjukkan aktivitas
antibakteri tehadap Streptococcus mutans dan Staphylococcus aureus. Formula
pasta gigi yang efektif sebagai antibakteri terhadap bakteri uji yaitu dengan
konsentrasi ekstrak biji pinang 4,5% yang menghasilkan diameter daya hambat
untuk Streptococcus mutans sebesar 11,37 mm dan Staphylococcus aureus
sebesar 20,03 mm (Afni et al., 2015).