Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tanaman Rosemary
1. Sistematika Tanaman Rosemary
Daunrosemary (Rosmarinus officinalis L.) adalah famili dari Lamiaceae
dan berasal dari Mediterania. Klasifikasi rosemary adalah sebagai berikut :
Division : Tracheophyta
Subdivisi : Spermatophytina
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Lamiales
Familia : Lamiaceae
Genus : Rosmarinus
Species : S. officinalis
Binominal name : Rosmarinus officinalisL.(USDA, 2004)
Nama lain : Rosmarin (Jawa), Rosemary (Inggris),
Romemary(India), Rusmari (Tamil)
2. Kandungan Kimia
Senyawa kimia aktif dari rosemary yaitu asam rosmarinat, asam kafeat,
asam klorogenat, asam karnosolat, rosmanol, karnoat, rosmariquinonel dan
banyak antioksidan alami lainnya, asam ursolat, asam glukosat dan alkaloid
8
rosmarisin. Minyak rosemary mengandung ester (2-6%) sebagian besar sebagai
borneol, cineoles dan beberapa terpene, terutama a-pinene dan camphene. Di
antara senyawa-senyawa ini, asam karnoat dan asam rosmarinat menjadi fokus
perhatian para peneliti sebagai agen terapi potensial (Curvelier et al, 1994)
3. Aktivitas Farmakologi
Daun Rosemary memiliki banyak aktivitas farmakologi yang telah di uji
pada hewan uji. Pemberian minyak rosemary melalui inhalasi maupun melalui
rute oral dapat merangsang SSP, aktivitas pernapasan dan alat gerak pada tikus.
Ekstrak alkohol dari daun rosemary menunjukkan aktivitas antidepresan pada
model uji imobilitas yang diinduksi berenang paksa pada tikus (Matsunaga K,
1997).
Daun rosemary telah digunakan secara empiris sebagai agen koleretik dan
hepatoprotektif dalam pengobatan tradisional. Efek ini dibuktikan secara
eksperimental dengan menggunakan etanol terliofilisasi dan ekstrak air kecambah
muda rosemary yang telah menunjukkan aktivitas koleretik dan memberikan
perlindungan terhadap karbon tetraklorida yang diinduksi hepatotoksisitas pada
tikus. Hasil terbukti dengan peningkatan yang signifikan dalam aliran empedu dan
pengurangan yang signifikan dalam enzim hati plasma ketika ekstrak diberikan
sebagai pretreatment sebelum karbon tetraklorida, tetapi tidak ada perlindungan
ketika ekstrak diberikan setelah itu.Telah ditunjukkan bahwa ekstrak air
kecambah muda rosemary memiliki aktivitas antilipoperoksidan, karena
mengurangi pembentukan malonaldehida secara signifikan, dalam mannej yang
tergantung pada dosis dan secara signifikan menurunkan pelepasan lactico
dehydrogenase dan aspartate aminotransferase, dengan demikian mengkonfirmasi
tindakan antihepatotoksik dari R.officinalis (Joyeux et al, 1990).
Ekstrak daun rosemary banyak digunakan sebagai antioksidan dalam
industri makanan dan terbukti aman dengan tidak menghasilkan toksisitas akut
pada hewan percobaan (Loliger, 1898). Potensi ekstrak daun rosemary untuk
menghambat tumorigenesis mammae yang diinduksi secara kimiawi pada tikus
betina dan untuk mencegah pembentukan adisi karsinogen-DNA dalam sel epitel
mamalia telah diselidiki.Suplemen makanan dengan 1% (b / b) ekstrak rosemary
9
pada tikus yang diinduksi dengan 7, 12-dimethylbenz (a) antrasena (DMBA)
secara signifikan menurunkan tumorigenesis payudara sebesar 47% dan
menghambat total pengikatan in vivo dari DMBA ke DNA sel epitel mamalia oleh
rata-rata 42%, menunjukkan bahwa penggunaan ekstrak daun rosemary dan
konstituen antioksidan individu sebagai agen kemopreventiv untuk tumorigenesis
memerlukan penyelidikan lebih lanjut (Singletary et al, 1991).
B. Tinjauan Kanker Payudara
1. Pengertian kanker payudara
Kanker adalah penyakit yang berkaitan dengan pertumbuhan cepat sel-sel
abnormal dalam tubuh dan dapat menyerang jaringan di sekitarnya yang sehat dan
menyebar ke organ lain. Kanker adalah faktor penting dalam beban penyakit
global. Perkiraan jumlah kasus baru setiap tahun diperkirakan akan meningkat
dari 10 juta pada tahun 2002 menjadi 15 juta pada tahun 2025, dengan 60% dari
kasus tersebut terjadi di negara-negara berkembang.
Kanker payudara tetap merupakan penyakit umum dan sering fatal, kanker
yang paling sering didiagnosis pada wanita. Lebih dari 1,2 juta wanita didiagnosis
menderita kanker payudara setiap tahun di seluruh dunia.
Meskipun etiologi kanker payudara tidak diketahui, banyak faktor risiko
dapat mempengaruhi perkembangan penyakit ini termasuk faktor genetik,
hormonal, lingkungan, sosiobiologis dan fisiologis. Selama beberapa dekade
terakhir, sementara risiko kanker payudara telah meningkat di negara industri dan
berkembang sebesar 1% –2% per tahun, tingkat kematian akibat kanker payudara
telah sedikit menurun.
Kanker payudara memperlihatkan proliferasi keganasan sel epitel yang
membatasi duktus dan lobus payudara. Sel-sel ini kemudian berlanjut menjadi
karsinoma in situ dan menginvasi stroma. Kanker membutuhkan waktu 7 tahun
untuk tumbuh dari satu sel menjadi massa yang cukup besar untuk dapat di
palpasi (kira-kira berdiameter 1 cm). Pada ukuran itu, sekitar 25% kanker
payudara sudah mengalami metastatis (Prince et al, 2003).
10
Kanker Payudara dapat muncul akibat akumulasi kerusakan genetik.
Beberapa gen bertanggung jawab terhadap sebagian besar kanker payudara
herediter, tapi banyak gen predisposisi bertanggung jawab terhadap kasus
sporadik. Mutasi yang terjadi pada gen predisposisi seperti p53, BRCA1 dan
BCRA2 yang cenderung bertindak melalui perbaikan DNA memperngaruhi
kestabilan gen.
Dapat dilakukan skrining payudara untuk mendeteksi adanya kanker,
diantaranya pemeriksaan payudara sendiri (SADARI), Pemeriksaan payudara
klinis (SADANIS), Pemeriksaan payudara klinis oleh petugas yang terlatih,
Mammografi skrining, hal ini bertujuan menemukan kemungkinan adanya kanker
payudara dalam stadium dini dan diharapkan akan menurunkan mortalitas
(Kemenkes RI, 2015).
2. Epidemiologi Kanker Payudara
2.1. Distribusi dan Frekuensi Kanker Payudara.Kanker payudara
merupakan kanker yang paling banyak terjadi pada perempuan. Diperkirakan
jumlah kasus baru tidak kurang dari 1.050.346 per tahun. Kanker payudara sering
terjadi pada wanita di atas usia 40-50 tahun (Rasjidiet al, 2010). Hal ini, didukung
oleh penelitian Winda (2015) yang mengutip penelitian May Laura Situmorang
yang mengatakan bahwa penderita kanker payudara terbanyak pada usia > 40
tahun (Rahmadani et al, 2015). Worldwide cancer melaporkan di Inggris antara
tahun 2009 dan 2011, sekitar 80% dari kasus kanker payudara didiagnosis pada
perempuan berusia > 50 tahun, dan sekitar seperempat (24%) didiagnosis pada
perempuan berusia 75 dan lebih (American Cancer Society, 2011). Sedangkan
berdasarkan jenis kelamin. Kanker payudara juga dapat terjadi pada laki-laki,
walaupun kemungkinan laki-laki itu sangat kecil sekali yaitu 1 : 1000 (Mulyani et
al, 2013).
2.2. Angka Kejadian Kanker Payudara.Kanker payudara merupakan
jenis kanker yang menduduki peringkat pertama.Secara umum kanker payudara
lebih banyak ditemukan dinegara maju dibandingkan negara sedang berkembang.
Hal ini terutama dikaitkan dengan tingkat sosial dan gaya hidup masyarakat di
masing- masing negara yang berbeda. Satu diantara 10 wanita Amerika terserang
11
kanker payudara. Urutan kedudukan kanker payudara dibandingkan dengan jenis
kanker lainnya bervariasi antar negara di dunia, juga bervariasi urutan dikalangan
negara-negara Asia (Bustan, 2007).
3. Faktor Risiko Kanker Payudara
3.1 Faktor Usia. Semakin tua usia seorang wanita, maka risiko untuk
menderita kanker payudara akan semakin tinggi. Pada usia 40-64 tahun adalah
kategori usia paling berisiko terkena kanker payudara, terutama bagi mereka yang
mengalami menopause terlambat yaitu setelah umur 55 tahun (Mulyaniet al,
2013). Berdasarkan penelitian (Pulungan,2010) yang mengutip penelitian Azamris
tahun 2006 mengatakan bahwa di RS M. Djamil Padang dengan desain case
control diperkirakan risiko kelompok usia ≥40 tahun terkena kanker payudara
1,35 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok wanita usia < 40 tahun
(Pulungan, 2010).
3.2 Menopause Usia Lanjut. Hasil penelitian Pulungan R.M (2010)
Menopause setelah usia 55 tahun meningkatkan risiko untuk mengalami kanker
payudara. Kurang dari 25% kanker payudara terjadi pada masa sebelum
menopause sehingga diperkirakan awal terjadinya tumor terjadi jauh sebelum
terjadinya perubahan klinis. (Pulungan, 2010).
3.3 Riwayat Adanya Penyakit Tumor Jinak. Beberapa tumor jinak
pada payudara dapat bermutasi menjadi ganas, seperti atipikal duktal hyperplasia
(Rasjidiet al, 2009). Wanita dengan hyperplasia atipikal mempunyai risiko 5,0
kali lebih besar untuk terkena kanker payudara (Risiko Relatif = 5,0) dan yang
hyperplasia tipikal mempunyai risiko 4,0 kali lebih besar untuk terkena kanker
payudara (Risiko Relatif = 4,0) (Briston,2008).
4. Tanda dan Gejala Kanker Payudara
Gejala dan pertumbuhan kanker payudara tidak mudah dideteksi karena
awal pertumbuhan sel kanker payudara tidak dapat diketahui dengan gejala
umumnya baru diketahui setelah stadium kanker berkembang agak lanjut, karena
pada tahap dini biasanya tidak menimbukan keluhan. Penderita merasa sehat,
tidak merasa nyeri, dan tidak mengganggu aktivitas.Benjolan tanpa rasa sakit
adalah tanda awal kanker payudara pada sebagian besar wanita.
12
Tanda yang mungkin muncul pada stadium dini adalah teraba benjolan
kecil di payudara yang tidak terasa nyeri. Sedangkan, gejala yang timbul saat
penyakit memasuki stadium lanjut semakin banyak, seperti : timbulnya benjolan
yang semakin lama makin mengeras dengan bentuk yang tidak beraturan, saat
benjolan membesar baru terasa nyeri dan terlihat puting susu tertarik ke dalam
yang tadinya berwarna merah muda berubah menjadi kecoklatan, serta keluar
darah, nanah, atau cairan encer dari puting susu pada wanita yang tidak hamil
dengan kulit payudara mengerut seperti kulit jeruk.
5. Stadium kanker payudara
Stadium penyakit kanker adalah suatu keadaan dari hasil penilaian dokter
saat mendiagnosis suatu penyakit kanker yang diderita pasiennya, sudah sejauh
manakah tingkat penyebaran kanker tersebut baik ke organ atau jaringan sekitar
maupun penyebaran ketempat lain.Untuk menentukan suatu stadium, harus
dilakukan pemeriksaan klinis dan ditunjang dengan pemeriksaan penunjang
lainnya yaitu histopatologi atau PA, rontgen, USG, dan bila memungkinkan
dengan CT scan, scintigrafi, dll. Berdasarkan teknik tersebut maka, terdapat
pembagian stadium klinik, yaitu (Yustiana, 2013) :
Tabel 1. Tahapan Stadium Kanker
Stadium I Tumor dengan garis tengah <2 cm dan belum menyebar
keluar dari payudara
Stadium IIA Tumor dengan garis tengah 2-5 cm dan belum menyebar ke
kelenjar getah bening ketiak, atau tumor dengan garis tengah
<2 cm tetapi sudah menyebar ke kelenjar getah bening ketiak
Stadium IIB Tumor dengan garis tengah lebih besar dari 5 cm dan belum
menyebar ke kelenjar getah bening ketiak atau tumor dengan
garis tengah 2-5 cm tetapi sudah menyebar ke kelenjar getah
bening ketiak
Stadum IIIA Tumor dengan garis tengah <5 cm dan sudah menyebar ke
kelenjar getah bening ketiak disertai perlengketan satu sama
lain atau perlengketan ke struktur lainnya.
Stadium IIIB Tumor telah menyusup keluar payudara yaitu ke dalam kulit
payudara atau ke dinding dada dan tulang dada
Stadium IV Tumor telah menyebar keluar daerah payudara dan dinding
dada, misalnya ke hati, tulang, atau paru-paru. Kondisi
dimana ukuran tumor bisa berapa saja, tetapi telah menyebar
ke lokasi yang jauh, yaitu tulang, paruparu,liver atau tulang
rusuk. Ciri-ciri pada stadium IV, antara lain : Tumor seperti
pada yang lain (stadium I, II, dam III). Tetapi sudah disertai
dengan kelenjar getah bening aksila supra-klavikula dan
metastasis jauh.
13
6. Penatalaksanaan Medis yang Tepat
Penatalaksanaan medis tergantung dari stadium kanker didiagnosis yaitu
dapat berupa operasi/pembedahan, radioterapi, kemoterapi, dan terapi hormonal
(Suyatno et al, 2010).
6.1 Operasi (Pembedahan).Operasi adalah terapi untuk membuang
tumor, memperbaiki komplikasi, dan merekonstruksi efek yang ada. Semakin dini
kanker payudara ditemukan kemungkinan sembuh dengan operasi semakin besar.
Jenis-jenis operasi yang dilakukan untuk mengobati kanker payudara, antara lain :
mastektomi (mengangkat seluruh payudara beserta kankernya), lumpektomi
(mengangkat sebagian payudara pada jaringan yang mengandung kanker), dan
pengangkatan kelenjar getah bening (KGB) ketiak.Ada 2 indikasi melakukan
operasi pada penderita kanker, yaitu diagnostik untuk memperoleh data patologi
yang cepat tentang tumor apakah jinak atau ganas dan untuk memberi petunjuk
kepada ahli bedah menentukan sikap tindakan apa yang akan diambil dan
terapeutik untuk mengobati penderita kuratif dan paliatif.
6.2 Radioterapi.Radioterapi merupakan pengobatan dengan melakukan
penyinaran ke daerah yang terserang kanker, dengan tujuan untuk merusak sel-sel
kanker. Radioterapi untuk kanker payudara biasanya digunakan sebagai terapi
kuratif dengan mempertahankan mamma dan sebagai terapi paliatif (tambahan).
6.3 Kemoterapi.Kemoterapi adalah proses pemberian obat-obatan anti
kanker dalam bentuk pil cair, kapsul atau infus yang bertujuan untuk membunuh
sel kanker tidak hanya pada payudara tetapi juga seluruh tubuh. Efek dari
kemoterapi adalah pasien mengalami mual dan muntah serta rambut rontok karena
pengaruh obat-obatan yang diberikan saat kemoterapi. Kemoterapi biasanya
diberikan 1-2 minggu sesudah operasi. Kemoterapi merupakan pendekatan
sistematis untuk membunuh sel-sel kanker yang bertambah banyak (Tagliaferri,
M., et al 2002)
6.4 Terapi Hormon.Pemberian hormon dilakukan apabila penyakit telah
sistemik berupa metastasis jauh. Terapi hormonal biasanya diberikan secara
paliatif sebelum kemoterapi. Masing-masing sel mempunyai 2 jenis reseptor.
Reseptor hormon positif yaitu sel kanker yang mempunyai cukup banyak reseptor
14
hormon. Reseptor hormon negatif yaitu sel kanker yang mempuyai sedikit atau
tidak ada reseptor hormon. (Dewa et al, 2000).
7. Sel T47D
Sel T47D adalah continous cell line yang diisolasi dari jaringan tumor
duktal payudara seorang wanita berusia 54 tahun. Continous cell line sering
dipakai dalam penelitian kanker secara in vitro karena mudah penangannya,
memiliki kemampuan replikasi yang tidak terbatas, homogenitas yang tinggi serta
mudah diganti dengan frozen stock jika terjadi kontaminasi (Burdall et al., 2003).
Sel T47D dapat mengekspresikan gen p53 yang telah termutasi sehingga resisten
terhadap mekanisme apoptosis (Junedi et al, 2010). Pada sel ini, p53 mengalami
missense mutation pada residu 194 (dalam zinc-binding domain L2) sehingga gen
p53 kehilangan fungsinya. Jika p53 tidak dapat mengikat response element pada
DNA, maka akan mengurangi atau menghilangkan kemampuannya dalam
meregulasi siklus sel dan memacu apoptosis. Sel ini dapat kehilangan ER apabila
kekurangan estrogen pada jangka waktu lama selama percobaan in vitro. Oleh
karena itu, sel ini digunakan pada model untuk penelitian resistensi obat pada
pasien dengan tumor payudara yang memiliki p53termutasi (Abcam 2007).
Sel T47D belum resisten terhadap agen kemoterapi doxorubicin, tetapi
diketahui memiliki gen p53 yang telah termutasi (Junedi et al., 2010). Gen p53
pada sel ini mengalami miss ensemutation, sehingga kehilangan fungsinya. Jika
p53 tidak dapat mengikat responseelement pada DNA, maka akan mengurangi
atau menghilangkan kemampuannya dalam meregulasi siklus sel dan memacu
apoptosis (Schafer et al. 2000).
Protein p53 merupakan tumor suppressor yang berperan sebagai regulator
siklus sel. Penekanan p53 akan menginduksi protein anti-apoptosis B sell
lymphoma-2 (Bcl-2) sehingga jumlah protein anti-apoptosis berlebih dan
menyebabkan kemampuan sel untuk apoptosis menurun sehingga memicu terjadi
kanker. Dengan demikian, gen p53 dan Bcl-2 dapat menjadi salah satu target
molekular dalam penemuan pengobatan kanker payudara.
15
C. Sel Vero
Merupakan model sel normal yang dalam uji sitotoksisitas antikanker
dapat digunakan sebagai subjek uji untuk mengamati selektifitas senyawa
antikanker tersebut. Vero cell line diambil dari ginjal African Green Monkey
dewasa pada 27 Maret 1967 oleh Y. Yasamura dan Y.Kawakita dari Universitas
Chiba, Jepang. Semula, sel Vero ditumbuhkan dalam media yang berisi 0,5%
laktalbumin hidrolisat, 0,1% ekstrak yeast dan 0,1% polivinil pirolidon dalam
98% Earle’s BSS dan 2% calf serum. Konsentrasi calf serum akhirnya dinaikkan
menjadi 5%. Kemudian sel dibawa ke laboratorium Virologi Nasional Amerika.
Mulai keturunan ke-97, sel Vero ditumbuhkan dalam 10% FBS (Fetal Bovine
Serum), media Morgan, Morton dan Parker, dan 95% MEM (Minimum Essensial
Med) dengan aa non-essensial dan Earle’s BSS dan 5% FBS (Rebecca, 2000). Sel
Vero digunakan secara luas pada studi replikasi virus dan uji penyakit pes. Selain
itu, juga digunakan untuk uji berbagai penyakit yang diakibatkan oleh virus. Sel
vero bersifat aneuploidi. Sel ini berasal dari Cercopithecus dan turunan dari Hep-
2, WI-38, dan MRC-58 (human cell strains). Dalam tes onkogenisitas yang
dilakukan pada soft agar yang dilakukan oleh FDA (Petriccini et al., 1987), sel
vero dapat membentuk koloni pada soft agar dan tumor di kultur organ (Rebecca,
2000).
D. Protein p53
Protein p53 dikaitkan dengan kematian sel secara apoptosis. Apoptosis
merupakan kematian sel karena mekanisme pengaturan intraseluler sel yang akan
mati mengaktifkan enzim yang akan mendegradasi DNA nucleus sel dan protein
sitoplasma. Protein p53 yaitu protein pada kanker pertama yang teridentifikasi.
Protein p53 merupakan protein tumor suppressor yang berperan sebagai regulator
siklus sel. Pada kondisi normal, p53 berinteraksi dengan berbagai jenis protein
yang terlibat dalam regulasi transkripsi, repair DNA, apoptosis, dan degradasi
protein yang dimediasi oleh proteosom. Proses apoptosis dapat terjadi kegagalan
pada jalur, yang akan menyebabkan terjadinya kanker. Kegagalan ini sering
terjadi pada jalur intrinsik dibandingkan jalur ekstrinsik, karena jalur ekstrinsik ini
16
lebih sensitif dan paling sering disebabkan oleh mutasi dari gen p53. Mutasi
tersebut dapat berupa degradasi p53, hilangnya kemampuan p53 menginduksi cell
cycle arrest, dan hilangnya afinitas p53 untuk mengikat DNA yang rusak.
E. Protein Bcl-2 (B-cell lymphoma-2)
Bcl-2 family pada bagian pro-apoptosis yaitu, Bax, Bak, Bad, Bcl-X5, Bid,
dan pada bagian anti-apoptosis yaitu, Bcl-2, Bcl-X1, Bcl-W, Bfl-1 dan Mcl-1.
Pada anti-apoptosis Bcl-2 bekerja dengan menekan apoptosis dari blockade
pelepasan sitokrom-c, pada bagian pro-apoptosis bekerja sebagai promoter.
Terdapat 2 jalur apoptosis yaitu, jalur ekstrinsik (jalur sitoplasma) dan
jalur intrinsic (jalur mitokondria). Pada jalur ekstrinsik biasanya dipacu melalui
Fas death receptor, bagian dari tumor necrosis factor (TNF) receptor superfamily.
Sedangkan pada jalur intrinsic timbul adanya stimulasi yang memacu pelepasan
sitokrom-c dari mitokondria dan alan mengaktivasi signal kematian sel.
Timbulnya sinyal kematian sel, maka protein pro-apoptosis akan melakukan
modifikasi posttranslation dan defosforilasi yang mengakibatkan pemecahan
aktivasinya dan pada translokasi mitokondria akan memacu apoptosis. Pada kedua
jalur ini saling berhubungan, pada jalur intrinsic Bcl-2 akan memacu hambatan
dari jalur ekstrisik, pada TNF-α dapat meningkatkan ekspresi NF-Kb dan
menstimulasi anti-apoptosis dari protein Bcl-2 family (Tamm dkk, 2001).
F. Uji Sitotoksisitas
1. Tinjauan uji sitotoksisitas
Uji sitotoksisitas adalah uji toksisitas secara in vitro menggunakan kultur
sel yang digunakan dalam evaluasi keamanan obat, kosmetik, zat tambahan
makanan, pestisida dan digunakan juga untuk mendeteksi adanya aktivitas
antineoplastik dari suatu senyawa (Freshney, 1986). Senyawa sitotoksik adalah
senyawa yang bersifat toksik pada sel tumor secara in vitro dan jika toksisitas ini
ditransfer menembus sel tumor in vivo senyawa tersebut mempunyai aktivitas
antitumor (Evans, 2002). Metode in vitro memberikan berbagai keuntungan,
seperti: dapat digunakan pada langkah awal pengembangan obat, hanya
17
membutuhkan sejumlah kecil bahan yang digunakan untuk kultur sel primer
manusia dari berbagai organ target (ginjal, liver, kulit) serta dapat memberikan
informasi secara langsung efek potensial pada sel target manusia (Doyle and
Griffiths, 2000).Uji sitotoksik dilakukan dengan uji in vitro menggunakan kultur
sel, kultur sel berguna untuk mendeteksi adanya aktivitas antineoplasmatik dari
suatu senyawa. Dengan uji sitotoksik dapat ditemukan kandungan senyawa yang
berpotensi sebagai anti kanker. Uji ini merupakan uji kualitatif dengan cara
menetapkan kematian sel. Hasil dari uji sitotoksik dapat menunjukkan informasi
tentang konsentrasi obat yang masih memungkinkan sel mampu bertahan hidup
(Doyle et al., 2000).
Uji sitotoksik digunakan untuk menentukan parameter IC50. Nilai IC50
menunjukkan nilai konsentrasi yang menghasilkan hambatan proliferasi sel 50%
dan menunjukkan potensi ketoksikan suatu senyawa terhadap sel. Semakin besar
harga IC50 maka senyawa tersebut semakin tidak toksik. Akhir dari uji sitotoksik
dapat memberikan informasi % sel yang mampu bertahan hidup, sedangkan pada
organ target memberikan informasi langsung tentang perubahan yang terjadi pada
fungsi sel secara spesifik (Meiyanto et al, 2003). Rentang nilai IC50 suatu senyawa
bila < 10 µg/mL sangat aktif, 10-20 µg/mL aktif, > 20 µg/mL dinyatakan kurang
aktif, namun nilai IC50 50-100 µg/mL tetap memiliki kompensiv terhadap sel
kanker (Freshney, 2000). Metode yang digunakan untuk menguji sitotoksisitas
menggunakan beberapa metode, diantara nya adalah :
1.1 Perhitungan secara langsung.Haemocytometer terdiri dari perangkat
gelas bersama coverslip tipis, yang terbagi dalam sembilan area dengan empat
area pojok sebagai area menghitung jumlah sel. Haemocytometer memiliki
ketebalan chamber 0,1 mm dengan kapasitas 10 μl cairan berisi sel dalam area 0,9
mm3 (Caprette, 2000). Dalam metode haemocytometer ada hal yang perlu
diperhatikan diantaranya, sel harus tersuspensi rata dalam cairan untuk mencegah
tumpang tindih sel, jumlah sel yang minimum yang dihitung adalah seratus agar
dapat dihitung secara statistik (Caprette, 2000), sel yang melekat perlu ditripsinasi
untuk mensuspensikan sel dalam larutan. Untuk membedakan sel hidup dan sel
mati digunakan triptan blue. Perbedaan sel hidup tidak terwarnai, bulat dan relatif
18
kecil sedangkan sel mati, membengkak dan berwarna biru (Doyle et al.,2000).
Mekanisme yang terjadi yaitu makrofag yang viable (hidup) terlihat bening atau
tidak berwarna karena trypan blue tidak dapat memasuki membran sel sedangkan
makrofag mati akan menyerap warna sehingga tampak berwarna biru.
1.2 Metode MTT assay.MTT assay merupakan salah satu metode analisa
kolorimetri (pewarnaan) menggunakan pewarna MTT dengan mengukur
konsentrasi warna (nilai absorbansi) produk akhir yang terbentuk menggunakan
spektrofotometri. Kelebihan metode ini yakni relatif cepat, sensitif, akurat,
digunakan untuk mengukur sampel dalam junlah besar dan hasilnya bisa untuk
memprediksi sifat sitotoksik suatu bahan (Doyle & Griffiths 2000).
Reaksi MTT merupakan reaksi reduksi selular yang didasarkan pada
pemecahan garam tetrazolium MTT berwarna kuning menjadi kristal formazan
berwarna biru keunguan (Basmal et al, 2009). Metode perubahan warna tersebut
digunakan untuk mendeteksi adanya proliferasi sel. Sel yang mengalami
proliferasi, mitokondria akan menyerap MTT sehingga sel-sel tersebut akan
berwarna ungu akibatnya berbentuk kristal tetrazolium (formazan) (Depamede et
al, 2009).
Sel yang viable dengan sistem metabolisme yang aktif mengubah MTT
menjadi kristal formazan dengan absorbansi sekitar 570 nm seperti yang terlihat
pada gambar 1. Pengubahan MTT ke kristal formazan pada sel bersifat time
dependent (Riss et al., 2013). Sel yang masih hidup memiliki enzim
dehidrogenase mitokondria akan mengubah MTT yang berwarna kuning dan larut
air menjadi bentuk formazan berwarna biru tua yang tidak larut air (Doyle and
Griffiths, 1998). Metode ini merupakan metode kolorimetrik, dimana pereaksi
MTT ini merupakan garam tetrazolium yang dapat dipecah menjadi kristal
formazan oleh sistem suksinat tetrazolium reduktase yang terdapat dalam jalur
respirasi sel pada mitokondria yang aktif pada sel yang masih hidup. Kristal
formazan ini memberi warna ungu yang dapat dibaca absorbansinya dengan
menggunakan ELISA reader (Junedy, 2005).
Uji sitotoksik digunakan untuk menentukan parameter nilai IC50. Nilai IC50
menunjukkan nilai konsentrasi yang menghasilkan penghambatan proliferasi sel
19
sebesar 50% dan menunjukkan potensi ketoksikan suatu senyawa terhadap sel.
Nilai ini merupakan patokan untuk melakukan uji pengamatan kinetika sel
(Meiyanto dkk , 2003). Keuntungan MTT assay yaitu absorbansinya dapat diukur
secara periodik selama inkubasi, akan tetapi plate yang berisi kultur sel harus
segera dikembalikan ke inkubator 37° C agar kondisinya tidak berubah (Riss et
al., 2013).
Gambar 1. Reaksi yang terjadi pada MTT assay (Riss et al., )2013)
G. Uji indeks selektivitas
Indeks selektivitas menunjukkan selektivitas suatu larutan uji terhadap sel.
Selektivitas ditentukan dengan menggunakan parameter SI (Selectivity Index)
dengan rumus :
Indeks selektivitas =𝐼𝐶50 sel vero
𝐼𝐶50 sel kanker T47D
Ekstrak dikatakan mempunyai selektivitas yang tinggi apabila nilai SI ≥ 3,
dan dikatakan kurang selektif apabila nilai Indeks selektivitas< 3 (Rahmawati et
al., 2016).
H. Ekstraksi
1. Pengertian
Esktraksi atau penyarian adalah perpindahan zat aktif yang semula berada
di sel ditarik oleh cairan penyari sehingga zat aktif larut dalam cairan hayati.
20
Metode ekstraksi dilakukan berdasarkan persamaan faktor sifat dari suatu bahan
mentah atau simplisia yang disesuaikan dengan metode ekstraksi yang digunakan
untuk memperoleh ekstrak yang sempurna atau mendekati sempurna. Pemilihan
sistem perlarut yang digunakan dalam ekstraksi harus berdasarkan
kemampuannya dalam melarutkan jumlah yang maksimal dari zat aktif dan
seminimal mungkin zat yang tidak diinginkan (Ansel 1989).
2. Ekstrak
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan cara mengekstraksi
senyawa aktif yang ada di simplisia nabati atau simplisia hewani. Penarikan
senyawa aktif ini menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir
semua pelarut diuapkan dan massa atau pelarut yang tersisa diberlakukan
sedemikian hingga memenuhi kriteria yang ditetapkan (Simanjuntak,2008).
3. Sokletasi
Sokletasi merupakan proses ekstraksi yang menggunakan penyarian
berulang dan pemanasan. Penggunaan metode sokletasi adalah dengan cara
memanaskan pelarut hingga membentuk uap dan membasahi sampel. Pelarut yang
sudah membasahi sampel kemudian akan turun menuju labu pemanasan dan
kembali menjadi uap untuk membasahi sampel, sehingga penggunaan pelarut
dapat dihemat karena terjadi sirkulasi pelarut yang selalu membasahi sampel.
Proses ini sangat baik untuk senyawa yang tidak terpengaruh oleh panas.
4. Fraksinasi
Fraksinasi merupakan proses pemisahan golongan utama kandungan satu
dari golongan yang lain berdasarkan perbedaan kepolaran suatu senyawa. Pada
proses fraksinasi digunakan dua pelarut yang tidak tercampur dan memiliki
tingkat kepolaran yang berbeda. Senyawa yang bersifat polar akan larut dalam
pelarut polar, begitu pula senyawa-senyawa non polar akan terlarut dalam pelarut
non polar (Harborne, 1987).
Fraksinasi ini umumnya dilakukan dengan menggunakan metode corong
pisah atau kromatografi kolom. Kromatografi kolom merupakan salah satu
metode pemurnian senyawa dengan menggunakan kolom (Trifany, 2012). Corong
pisah merupakan peralatan laboratorium yang digunakan untuk memisahkan
21
komponenkomponen dalam campuran antara dua fase pelarut yang memiliki
massa jenis berbeda yang tidak tercampur (Haznawati, 2012).
I. Imunositokimia
Imunositokimia merupakan suatu metode yang digunakan untuk
mendeteksi adanya ekspresi suatu protein spesifik atau antigen dalam sel dengan
menggunakan antibodi spesifik yang akan berikatan dengan protein atau antigen.
Terdapat dua jenis metode imunositokimia yaitu metode langsung dan metode
tidak langsung. Pada metode langsung, antibodiyang mengikat flourosen atau zat
warna langsung berikatan dengan antigen pada sel. Sedangkan pada metode tidak
langsung, antigen anti p53 dan anti Bcl-2 dikaitkan pada antibodi monoklonal anti
p53dan antibodi monoklonal anti Bcl2 secara langsung, kemudian ditambahkan
antibodi sekunder yang mengikat enzim seperti peroksidase, alkali fosfotase, atau
glukosa oksidase. Antibodi sekunder akan berikatan dengan antibodi primer.
Selanjutnya ditambahkan substrat kromogen yang akan diubah oleh enzim
sehingga terjadi pembentukan warna (pigemen)yang akan mewarnai sel. Ekspresi
protein akan ditunjukkan dengan warna coklat pada sitoplasma (bukan inti sel).
Warna biru pada sitoplasma menunjukkan tidak adanya ekspresi pada sel atau
level ekspresi yang rendah sehingga tidak terdeteksi.
J. Landasan Teori
Kanker merupakan penyebab angka kematian nomor satu di dunia. Pada
tahun 2012, diperkirakan ada 14 juta kasus kanker baru tiap tahunnya. Berbagai
macam kanker sering terdiagnosis pada manusia, salah satunya adalah kanker
payudara. Kanker payudara sendiri menempati urutan kedua kanker yang biasa
terdiagnosis (1,7 juta, 11,9%) setelah kanker paru (1,8 juta, 13% dari kasus total)
(WHO, 2014). Hingga tahun 2012, angka kematian karena kanker payudara
berkisar 41% di China, 17% di Indonesia, dan 12% di Jepang (Youlden et al.,
2014).
Mutasi gen p53 dan Bcl-2 adalah pemicu terjadi sel kanker.Peningkatan
ekspresi yang disebabkan oleh mutasi dari gen Bcl-2 yang dapat menekan fungsi
22
normal dari protein proapoptosis. Jika terjadi pada protein tersebut, maka dapat
menyebabkan penurunan regulasi, sehingga sel kehilangan kemampuan untuk
regulasi apoptosis yang dapat memicu terjadinya kanker (Lumongga, 2008).
Apabila terjadi mutasi pada p53 maka ketahanan hidup sel akan meningkat dan
terjadi disregulasi apoptosis. Penurunan apoptosis dan memanjangnya ketahanan
hidup sel akan mengakibatkan terjadinya akumulasi sel dengan hasil akhir kanker
(Totok, 2002).
Banyak hasil penelitian yang telah mengatakan bahwa beraneka macam
tumbuhan memiliki kandungan senyawa antikanker. Salah satunya adalah daun
rosemary (Rosmarinus officinale). Polifenol utama yang ditemukan dalam ekstrak
daun rosemary termasuk asam diterpenes carnosic dan asam rosmarinic (Peng chu
et al, 2007). Dalam beberapa penelitian, asam carnosic ditemukan menjadi
senyawa yang paling efektif dalam kaitannya dengan aktivitas antikanker
(Einbond et al, 2012). Asam carnosic berpotensi menghambat proliferasi sel
kanker payudara manusia ER-negatif dan menginduksi siklus sel G1. Selanjutnya,
asam carnosic selektif untuk sel MCF7 (Einbond et al, 2012). Kandungan dalam
asam fenolik rosemary adalah diterpenes carnosic, carnosol, dan methyl carnosate,
serta asam fenolik rosmarinic dan asam caffeic (Celiktas Y, 2010).
Daun rosemary di ekstraksi dengan metode sokhletasi menggunakan
pelarut metanol. Pelarut metanol mampu menyari senyawa aktif seperti asam
betulinat, asam oleanolat, dan asam ursolat (Abe et al, 2002).Penelitian lain
menggunakan asam betulinat pada sel kanker serviks Hela memiliki aktivitas
antiproliferatif sel dengan nilai IC50 sebesar 30,42 µM dan mampu menginduksi
apoptosis (Xu, et al 2014). Asam ursolat sebesar 15 µM mampu menghambat
proliferasi pada sel kanker serviks HeLa (Yim et al, 2006). Asam oleanolat
sebesar 40 µM memiliki efek sitotoksik dan mampu menginduksi apoptosis pada
sel kanker hati HepG2 (Wang et al, 2013).Ekstraksi menggunakan metode
soxhletasi dengan alasan pelarut yang digunakan sedikit, waktu yang digunakan
lebih cepat, sampel diekstraksi dengan lebih baik karena berulang (Heinrich et al.,
2004). Ekstrak yang diperoleh kemudian di fraksinasi dengan metode ekstraksi
cair-cair. Tujuan dari fraksinasi adalah untuk memisahkan senyawa berdasarkan
23
sifat kepolaranya, digunakan pelarut n-heksan, etil asetat, dan air sehingga
diperoleh tiga fraksi. Hasil fraksinasi dengan menggunakan pelarut etil asetat
menghasilkan asam rosmarinat 7,9 %; 82,7 %; 102 %; 79,3 %; 483%. Hasil fraksi
etanol menunjukkan kandungan asam rosmarinat 4,9 %; carnosol tidak terdeteksi;
asam betulinat 30,6 %; asam oleanolat 9,5 %; dan asam ursolat 185%. Fraksi etil
asetat dan alkhohol yang mengandung banyak senyawa aktif yang berpotensi
sebagai anti kanker, yaitu asam rosmarinat, carnosol, asam betulinat, asam
oleanolat, dan asam ursolat.
Tiga fraksi yang dihasilkan kemudian diuji sitotoksisitasnya dengan uji
MTT assay pada sel normal Vero dan sel kanker payudara T47D. Kelebihan
metode MTT assay ini relatif cepat, sensitif, akurat, digunakan untuk mengukur
sampel dalam junlah besar dan hasilnya bisa untuk memprediksi sifat sitotoksik
suatu bahan. Metode perubahan warna tersebut digunakan untuk mendeteksi
adanya proliferasi sel. Reaksi MTT didasarkan pada pemecahan garam
tetrazolium MTT berwarna kuning menjadi kristal formazan berwarna biru
keunguan (Basmal et al, 2009). Hasil dibaca menggunakan ELISA reader dan
dihitung nilai IC50nya. Indeks selektivitas digunakan sebagai nilai perbandingan
selektivitas senyawa aktif terhadap sel hidup yang normal dan sel kanker.
Uji selanjutnya untuk melihat pengaruhnya ekepresi gen proten P53 dan
Bcl-2 adalah uji imunositokimia. Ekspresi suatu protein spesifik atau antigen
dalam sel menggunakan antibodi spesifik yang akan berikatan dengan protein atau
antigen. Ekspresi protein akan ditunjukkan dengan warna coklat pada sitoplasma
(bukan inti sel). Warna biru pada sitoplasma menunjukkan tidak adanya ekspresi
pada sel atau level ekspresi yang rendah sehingga tidak terdeteksi.
K. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori di atas dapat dikemukakan suatu hipotesis
pertama, ekstrak dan fraksi daun rosemary memiliki efek sitotoksik terhadap sel
kanker payudara T47D dan memberikan nilai IC50 <100 µg/mL. Kedua,hasil
fraksi dengan metode ekstraksi cair-cair menunjukkan aktifitas sitotoksik kuat
dibanding ekstraknya. Ketiga, nilai indeks selektivitas ekstrak dan fraksi rosemary
24
(Rosmarinus officinale) terhadap sel kanker payudara T47D dibandingkan dengan
sel vero > 3. Keempat, ektrak dan fraksi rosemary dapat mempengaruhi jumlah
protein gen Bcl-2 dan p53.
L. Kerangka Pikir
Gambar 2. Kerangka pikir penelitian
Daun
Rosemary
Mengandung Asam rosmarinat, asam ursolat,
asam kafeat.
Antikanker
Kanker Payudara
Pengujian
Menggunakan
Sel kanker
T47D
Uji
Imunositokimia Uji MTT assay
Jumlah
protein Bcl-2
Jumlah
Protein p53