Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Melitus
1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA), Diabetes Mellitus (DM) adalah
sekumpulan penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa
didalam darah (hiperglikemia) yang terjadi akibat kegagalan pada sekresi insulin,
penurunan kerja insulin, atau akibat dari keduanya (ADA, 2013). Diabetes melitus
(DM) adalah penyakit kronis progresif yang ditandai dengan ketidak mampuan
tubuh untuk melakukan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, mengarah
ke hiperglikemia (Black & Hawks, 2014).
Menurut (Kemenkes, 2014) Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit
gangguan metabolik menahun akibat pankreas tidak memproduksi cukup insulin
atau tubuh tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksi secara efektif.
Insulin adalah hormon yang mengatur keseimbangan kadar gula darah. Akibatnya
terjadi peningkatan konsentrasi glukosa di dalam darah (hiperglikemia).
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Diabetes Mellitus
adalah penyakit metabolik yang terjadi secara kronis dan progresif, yang
dimanifestasikan dengan adanya peningkatan kadar gula dalam darah (kadar gula
darah puasa ≥ 126 mg/dl, gula darah sewaktu ≥ 200 mg/dl). Akibat dari penurunan
11
produksi insulin dan kerja insulin atau keduanya sehingga menimbulkan
gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.
2. Klasifikasi
American Diabetes Association (ADA) tahun 2011 mengeluarkan kriteria
klasifikasi DM yang terdiri dari 4 tipe penyakit diabetes, yaitu :
a. Tipe 1 : DM tergantung insulin (Insulin Dependen Diabetes Mellitus)
Pada diabetes Tipe 1 terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin
oleh sel beta pankreas yang rusak karena proses autoimun, sehingga pada Tipe
1ni pasien sangat tergantung dengan pemberian insulin.
Diabetes mellitus Tipe 1 ini disebabkan oleh :
1) Faktor genetik, dimana seseorang memiliki kecenderungan genetik ke arah
terjadinya diabetes Tipe 1. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada
individu yang memiliki tipe antigen human leucocyte antigen (HLA)
tertentu (Hinkle & Cheever, 2014).
2) Faktor Immunologi, yaitu terdapatnya suatu respon autoimun. Respon ini
merupakan respons yang abnormal dimana antibodi terarah pada jaringan
tersebut yang dianggapnya sebagai jaringan asing, yaitu autoantibodi
terhadap sel-sel pulau Langerhans dan insulin endogen (Hinkle & Cheever,
2014).
12
3) Faktor Lingkungan, yaitu faktor-faktor eksternal seperti virus atau toksin
tertentu yang dapat memicu proses autoimun yang menimbulakn destruksi
sel beta (Hinkle & Cheever, 2014).
b. Tipe 2 : DM tidak tergantung insulin (Non Insuline Dependent Diabetes
Mellitus)
Pada diabetes Tipe 2 terdapat dua masalah yang berhubungan dengan insulin,
yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Pada kondisi resistensi
insulin terjadi gangguan ikatan antara insulin dan reseptornya pada dinding sel
sehingga insulin menjadi tidak afektif untuk menstimulasi pengambilan
glukosa oleh jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan peningkatan
glukosa dalam darah, sel-sel beta pankreas akan meningkatkan produksi
insulin sehingga kadar glukosa darah akan dipertahankan dalam keadaan
normal. Namun jika sel-sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan
kebutuhan terhadap insulin, maka kadar glukosa darah meningkat dan terjadi
diabetes Tipe 2.
c. DM gestasional (GDM)
Diabetes ini terjadi pada masa kehamilan, biasanya terjadi pada trimester
kedua atau ketiga, disebabkan oleh hormon yang disekresikan oleh plasenta
dan menghambat kerja insulin. Biasanya mengakibatkan komplikasi perinatal
seperti melahirkan bayi makrosomia (bayi yang berukuran besar diatas raata-
13
rata bayi normal, Berat badan > 4 kg). Namun setelah melahirkan gula dalam
darah akan kembali normal.
d. DM yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya.
Diabetes ini disebut juga dengan diabetes sekunder, kemungkinan disebabkan
oleh penyakit tertentu seperti pankreatitis, neoplasia pankreas, trauma
pankreas, efek obat-obatan seperti glukokortikoid, hormon tiroid,
dilantin,tiazid, dan reparat yang mengandung estrogen. Pada kondisi cacat
genetik juga dapat terjadi, seperti sindrom down, sindrom klinefelter dan
sindrom huntington’s chorea.
3. Faktor risiko DM tipe 2
Menurut Hinkle & Cheever (2014), Faktor resiko DM tipe 2 adalah :
a. Riwayat Keluarga Menderita DM
Anggota keluarga klien DM memiliki kemungkinan resiko lebih besar
menderita DM dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita
DM. Perbandingan keluarga yang mempunyai riwayat DM dengan keluarga
tanpa riwayat DM, ternyata angka kesakitan keluarga yang menderita DM
mencapai 5,33% sampai 8,33%, lebih besar bila dibandingkan dengan
keluarga tanpa riwayat DM hanya menunjukkan angka 1,96%. Ini bisa
disebabkan oleh gaya hidup dari keluarga seperti pola makan yang kurang
baik, baiknya apabila memiliki keluarga dengan DM seharusnya lebih bisa
14
untuk mengontrol gaya hidup seperti pola makan yang baik, dan olahraga yang
cukup. (Tahitian, 2008).
b. Obesitas
Obesitas adalah kegemukan atau berat badan berlebih yang melebihi minimal
20% dari berat badan ideal atau indeks massa tubuh (IMT) lebih dari 25 kg/m2.
Diperkirakan sekitar 80% sampai dengan 90% klien DM Tipe 2 mengalami
obesitas atau kegemukan. Kegemukan dan penumpukan lemak diperut akibat
konsumsi kalori berlebih membuat tubuh tidak peka terhadap insulin.
(Ignatavicius, 2006).
c. Usia
DM Tipe 2 biasanya sering terjadi pada klien setelah berusia lebih dari 30
tahun dan semakin sering terjadi pada usia lebih dari 40 tahun, selanjutnya
akan terus terjadi pada usia lanjut. Usia lanjut mengalami gangguan toleransi
glukosa mencapai 50-92%. Sekitar 6 % individu usia 45-64 tahu dan 11%
individu usia diatas 65 tahun menderita DM Tipe 2. Teori yang ada
mengatakan bahwa seseorang ≥ 45 tahun memiliki peningkatan risiko terhadap
terjadinya DM dan intoleransi glukosa yang di sebabkan oleh faktor
degeneratif yaitu menurunnya fungsi tubuh, khususnya kemampuan dari sel
beta dalam memproduksi insulin untuk metabolisme glukosa (Ignatavicius,
2006).
15
d. Hipertensi
Tekanan darah lebih atau sama dengan 140/90 mmHg berpengaruh terhadap
kejadian Diabetes Mellitus disebabkan oleh penebalan pembuluh darah arteri
yang menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi menyempit. Hal ini
akan menyebabkan proses pengangkutan glukosa ke dalam sel menjadi
terganggu dan menumpuk dalam peredaran darah.
e. Kadar kolesterol High Density Lipid (HDL) kurang dari atau sama dengan 35
mg/dl (0,90 mmol/L) dan Kadar trigliserida lebih dari atau sama dengan 250
mg/dl (2,8 mmol/L). Makin banyak jaringan lemak, jaringan tubuh dan otot
akan semakin resisten terhadap kerja insulin (insulin resistance). Lemak akan
memblokir kerja insulin sehnnga glukosa tidak dapat diaangkut ke dalam sel
dan menumpuk dalam peredaran darah.
4. Patofisiologi
Seperti suatu mesin, badan memerlukan bahan untuk mebentuk sel baru dan
mengganti sel yang rusak. Di samping itu badan juga memerlukan energi supaya
sel badan berfungsi dengan baik. Pada manusia bahan bahan tersebut berasal dari
makanan, yang terdiri dari karbohidrat, protein, dan lemak.
Pengolahan bahan makanan dimulai di mulut kemudian ke lambung dan
selanjutnya ke usus. Di dalam saluran pencernaan itu makanan dipecah
karbohidrat menjadi glukosa, protein menjadi asam amino, dan lemak menjadi
asam lemak. Ketiga zat makanan itu akan diserap oleh usus kemudian masuk ke
16
dalam pembuluh darah dan diedarkan keseluruh tubuh untuk dipergunakan oleh
organ-organ di dalam tubuh sebagai bahan bakar. Supaya dapat berfungsi sebagai
bahan bakar, zat makanan itu harus masuk dulu ke dalam sel supaya dapat diolah.
Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang
rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut
metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peranan yang
sangat penting yaitu bertugas memasukan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya
dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah hormon yang dikeluarkan
oleh sel beta di pankreas (Suyono,2015)
Pankreas adalah sebuah kelenjar yang letaknya di belakang lambung. Di
dalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti pulau pada peta, karena
itu disebut pulau-pulau Langerhans yang berisi sel beta yang mengeluarkan
hormon insulin, yang sangat berperan dalam mengatur kadar glkosa darah.
Pankreas mengandung lebih kurang 100.000 pulau Langerhans dan tiap pulau
berisi 100 sel beta. Di samping sel beta ada juga sel alfa yang memproduksi
glukagon yang bekerja sebaliknya dari insulin yaitu meningkatkan kadar glukosa
darah (Suyono, 2015)
Insulin yang dikeluarkan oleh sel beta tadi dapat diibaratkan sebagai anak kunci
yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, untuk kemudian di
dalam sel glukosa itu dimetabolisasikan menjadi tenaga. Bila insulin tidak ada
atau bila insulin itu kerjanya tidak baikseperti dalam keadaan retensi insulin, maka
17
glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga tubuh tidak mempunyai sumber
energi untuk melakukan metabolisme. Glukosa akan tetap berada dalam
pembuluh darah sehingga kadar gula darah akan meningkat (Ernawati, 2013).
Insulin dapat menimbulkan beberapa efek dalam tubuh seperti menstimulasi
penyimpanan glukosa dalam hati dan otot dalam bentuk glikogen. insulin juga
meningkatkan penyimpanan lemak dari makanan dalam jaringan adipose dan
mempercepat pengangkutan asam-asam amino yang berasal dari protein makanan
ke dalam sel. Pada waktu antara jam-jam makan dan pada saat tidur malam,
pankreas akan melepas secara terus menerus sejumlah kecil insulin bersama
glukagon. Insulin dan glukagon secara bersama-sama mempertahankan kadar
glukosa secara bersama-sama mempertahankan kadar glukosa yang konstan dalam
darah dengan menstimulasi pelepasan glukosa dari hati. Pada umumnya hati
menghasilkan glukosa melalui pemecahan glikogen (glikogenolisis). Setelah 8
hingga 12 jam tanpa makanan, hati membentuk glukosa dari pemecahan zat lain
selain karbohidrat yang mencakup asam amino (glukoneogenesis).
Pada DM Tipe 2 terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin,
yaitu : resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Resistensi insulin
menunjukan adanya ketidakmampuan insulin untuk meningkatkan pengambilan
glukosa kedalam jaringan otot dan lemak yang mengakibatkan adanya
peningkatan kadar glukosa darah. Sekresi insulin terjadi akibat tidak adanya
respon dari sel-sel jaringan terhadap konsentrasi insulin yang normal. untuk
18
mempertahankan kadar glukosa darah yang normal, sel beta pankreas melakukan
kompensasi dengan cara meningkatkan rangsangan produksi insulin sebagai
respon adanya peningkatan kadar glukosa darah (Ignatavicius & Workman, 2013).
Peningkatan kebutuhan insulin dapat mempengaruhi fungsi kelenjar pankreas
dalam mensekresi insulin. Peningkatan insulin yang berlangsung dalam waktu
yang lama dapat menyebabkan penurunan fungsi dari sel beta kelenjar pankreas
untuk memproduksi insulin yang adekuat sehingga mengakibatkan terjadinya
retensi insulin dan memicu terjadinya DM. Insulin merangsang sintesis protein dan
menghambat pemecahan protein di hepar, otot dan jaringan lemak (Ignatavicius &
Workman, 2013)
5. Manisfestasi Klinis
a. Poliuria atau peningkatan pengeluaran urine.
Poliuria atau sering disebut sering buang air kecil, terjadi karena adanya
akumulasi glukosa didalam sirkulasi darah yang menyebabkan
hyperossmolaritas pada serum. Selanjutnya terjadi perpindahan cairan dari
intraseluler ke dalam sistem sirkulasi. Peningkatan peningkatan voleme dalam
pembuluh darah meningkatkan aliran darah ke ginjal dan hiperglikemia
menyebabkan diuresis osmotik yang pada akhirnya meningkatkan pengeluaran
urine. Ambang batas ginjal terhadap glukosa darah adalah 180 mg/dL. Ketika
kadar gula darah lebih dari nilai tersebut, maka glukosa akan dikeluarkan
bersama urine. kondisi ini disebut dengan glukosuria (LeMone, 2011).
19
b. Polidipsia atau peningkatan rasa haus.
Volume urine dan pengeluaran air yang meningkat menyebabkan dehidrasi
ekstrasel. Dehidrasi intrasel akan mengikuti dehidrasi ekstrasel karena air
intrasel akan berdifusi keluar sel mengikuti penurunan gradien konsentrasi
plasma yang tinggi. Hal ini akan merangsang pusat haus sehingga klien akan
merasakan haus terus-menerus dan untuk mengatasinya klien akan banyak
minum (Corwin, 2009).
c. Polifagia atau peningkatan rasa lapar
Rasa lapar pada klien DM di akibatkan oleh makanan yang di metabolisme
tidak dapat dimanfatkan oleh tubuh. Glukosa sebagai hasil metabolisme
karbohidrat tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga sel akan mengalami
kekurangan makanan akibatnya klien cepat merasa lapar. Untuk mengatasi
perasaan lapar maka klien harus banyak makan (Waspadji, 2009). Walaupun
banyak makan pasien DM akan selalu meraskan lapar karena yang
membutuhkan makanan adalah sel, sedangkan makanan yang dimakan tidak
masuk kedalam sel, akibatnya klien DM tipe 2 mengalami penurunan berat
badan yang relatif singkat disertai keluhan lemas. Hal ini disebabkan oleh
karena glukosa darah tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga sel mengalami
kekurangan bahan bakar untuk menghasilkan energi. Mekanisme yang terjadi
untuk mempertahankan kelangsungan hidup maka sumber energi akan di
ambil dari cadangan lain yaitu lemak dan protein (glukoneogenesis) sehingga
klien mengalami kehilangan cadanagn lemak dan protein yang menyebabkan
20
terjadinya penurunan berat badan. Akibat produksi energi yang berkurang
dapat menyebabkan klien mengalami keluhan cepat lelah dan kurang
bertenagaa (Waspadji, 2009).
6. Kriteria Diagnostik
Menurut Nasional Institute of Diabetes and Degestive and Kidney Disease
[NIDDK] (2009) telah merumuskan kriteria untuk diagnosis diabetes mellitus,
yaitu :
a. Kadar gula darah puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl
Mengukur gula darah pasien dimana sebelum dilakukan pemeriksaan pasien
diharuskan berpuasa selama 8 jam. Tes ini dilakukan untuk menentukan
diabetes dan prediabetes. Tes ini akan lebih baik bila dilakukan pada pagi hari.
Orang dengan glukosa puasa kurang dari 100 mg/dL dikatakan bukan DM,
Orang dengan glukosa puasa 100 sampai 125 mg/dL memiliki kemungkinan
prediabetes disebut juga gangguan glukosa puasa atau Impaired Fasting
Glucose (IFG). Hasil IFG yang signifikan (glukosa plasma 100 sampai 125
mg/dL) berarti kemungkinan seseorang memiliki peningkatan resiko terhadap
Diabetes Mellitus. Bila kadar gula darah puasa 126 mg/dL atau lebih, maka
harus dikonfirmasi ulang dengan melakukan tes kembali pada hari lain, bila
hasil ini tetap sama maka pasien tersebut memiliki Diabetes Mellitus.
21
b. Kadar glukosa oral atau Oral Glucose Tolerance Test (OGTT)
Penelitian telah menunjukkan bahwa OGTT lebih sensitif dibandingkan
dengan pengujian Fasting Plasma Glucose (FPG) untuk mendiagnosa
prediabetes, tetapi kurang nyaman untung dijalankan. OGTT memerlukan
puasa minimal 8 jam sebelum tes. Tingkat glukosa plasma diukur sebelum dan
2 jam setelah sesorang minum cairan yang mengandung 75 gran glukosa
dilarutkan dalam air. Jika tingkat glukosa darah adalah antara 140 dan 199
mg/dL 2 jam setelah minum glukosa, pasien tersebut memilki prediabetes
disebut toleransi glukosa terganggu atau Impaired Glucose Tolerance (IGT).
Memiliki IGT dapat juga seperti memilIki IFG, berarti pasien tersebut
memiliki Diabetes Mellitus.
c. Kadar glukosa sewaktu (GDS) ≥ 200 mg/dl
Tes glukosa plasma sewaktu dilakukan tanpa dikondisikan terlebih dahulu,
pemeriksaan dilakukan pada suatu waktu/hari tanpa melihat waktu terakhir
pasien makan. Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien yang mengalami gejala
yang mengarah pada Diabetes Mellitus seperti Poliuri, Polidipsi Polipagi,
kehilangan berat badan yang tidak dapat dijelaskan dan gejala lain termasuk
kelelahan, penglihatan kabur, rasa lapar yang meningkat dan luka yang tidak
kunjung sembuh, jika hasilnya kurang dari 100 mg/dL berarti bukan DM, jika
hasilnya 100- 199 mg/dL prediabetes, jika hasilnya 200 mg/dL atau lebih maka
pasien dapat dikatakan menderita diabetes, tetapi harus dilihat jika dalam 1x
pemeriksaan hasilnya ≥ 200 mg/dL tetapi tidak ada gejala 3P
22
(Poliuri,polidipsi,polipagi) belum dapat dikatakan DM, jika dalam 1x
pemeriksaan hasilnya ≥200 mg/dL dan ada gejala 3P bisa dikatakan orang
tersebut DM.
d. Kadar HbA1c ≥ 6,5%
HbA1c mencerminkan pengendalian metabolisme glukosa selama 3-4 bulan.
Pemeriksaan ini lebih menguntungkan secara klinis karena memberikan
informasi yang lebih jelas tentang keadaan pasien dan seberapa efektif terapi
diabetik yang diberikan. Normalnya HbA1c adalah kurang dari 5,7 %, Bila
HbA1c antara 5,7% - 6,5% dikatakan prediabetes, Bila HbA1c > 6,5 %
mengidentifikasikan DM yang tidak terkendali dalam 3 bulan terakhir.
7. Komplikasi
Black & Hawks (2014), membagi komplikasi DM menjadi 2 (dua) kelompok,
yaitu :
a. Komplikasi akut, terdiri atas :
1) Hiperglikemi dan ketoasidosis diabetikum
Kondisi ini disebabkan oleh tidak adanya insulin atau insulin yang tersedia
dalam darah tidak cukup untuk metabolisme kerbohidrat, keadaan ini
mengakibatkan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein.
Ada tiga gejala klinis yang terlihat pada ketoasidosis, yaitu: dehidrasi,
kehilangan elektrolit dan asidosis.
23
2) Sindrom Hiperglekemik Hiperosmolar Nonketotik
Kondisi dimana pasien mengalami hiperosmolaritas dan hiperglikemia
disertai perubahan tingkat kesadara. Yang membedakan sindrom ini
dengan ketoasidosis ialah tidak terdapatnya gejala ketosis dan asidosis.
Gambaran klinis kondisi ini biasanya terdiri atas hipotensi, dehidrasi berat,
takikardi, dan tanda-tanda defisit neurologis yang bervariasi (perubahan
sensori, kejang dan hemiparesis).
3) Hipoglikemi
Terjadi jika kadar glukosa darah kurang dari 50-60 mg/dl, yang dapat
diakibatkan oleh pemberian insulin atau obat diabetes oral yang
berlebihan, konsumsi makanan yang terlalu sedikit atau karena aktifitas
fisik yang berat.
b. Komplikasi kronis, terdiri atas:
1) Komplikasi Makrovaskuler
Menurut Smeltzer & Bare (2008), perubahan arterosklerotik dalam
pembuluh darah besar sering terjadi pada klien DM. Berbagai tipe penyakit
makrovaskuler dapat terjadi, tergantung pada lokasi terjadinya lesi
aterosklerotik.
a) Penyakit Arteri Koroner
Terjadinya aterosklerosis pembuluh darah yang menyebabkan
penyempitan pembuluh darah koroner, sehingga pembuluh darah
24
koroner tersebut mengalami spasme. Perubahan aterosklerotik dalam
pembuluh darah arteri koroner menyebabkan peningkatan insidens
infark miokard pada klien DM dua kali lebih sering pada laki-laki dan
tiga kali lebih sering pada wanita.
b) Penyakit Serebrovaskuler
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah selebral atau
pembentukan embolus di tempat lain dalam sistem pembuluh darah
yang kemudian terdawa aliran darah sehingga terjepit dalam pembuluh
darah selebral dapat menimbulkan serangan iskemia sepintas dan
stroke. Klien DM berisiko dua kali lipat untuk terkena penyakit
serebrovaskuler. Beberapa penelitian menunjukan bahwa
kemungkinan terjadinya kematian akibat penyakit serebrovaskuler
lebih besar pada klien DM dibandingkan dengan klien bukan dengan
DM.
c) Penyakit vaskuler Perifer
Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar pada
ekstremitas bawah merupakan penyebab meningkatnya insidens dua
atau tiga kali lebih tinggi pada klien diabetes dibandingkan pada klien
nondiabetes. Tanda dan gejala penyakit vaskuler perifer mencakup
berkurangnya denyut nadi peerifer ( nyeri pada pantat atau betis ketika
berjalan). Bentuk penyakit oklusif arteri ynag parah pada ekstremitas
25
bawah merupakan penyebab utama meningkatnnya insidens ganggren
dan amputasi pada klien DM.
2) Komplikasi Mikrovaskular
Menurut Smeltzer & Bare (2008), komplikasi mikrovaskuler ditandai oleh
penebalan membran basalis pembuluh darah kapiler dan kerusakan saraf-
saraf perifer pada organ-organ yang mempunyai pembuluh darah kecil.
Ada beberapa organ dimana gangguan fungsi kapiler dapat berakibat serius
pada klien DM.
a) Retinopati diabetik
Retinopati diabetik adalah kerusakan pada saraf retina dimata,
disebabkan oleh perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil
pada retina mata. Tahap lanjut klien retinopati diabetik dapat
mengalami gangguan penglihatan hingga mengalami kebutaan.
b) Nefropati diabetik
Nefropati diabetik adalah kelainan atau kerusakan pada ginjal. Klien
DM beresiko 20% sampai 40% menderita penyakit renal dan ± 25%
dari klien DM dengan penyakit ginjal stadium terminal yang
memerlukan dialisis atau transpalatasi ginjal setiap tahunnya.
26
c) Neuropati diabetik
Neuropati diabetik adalah kerusakan pada saraf-saraf perifer
(sensorimotor) sehingga mengakibatkan baal / gaangguan sensori pada
organ tubuh. Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan
tergantung pada lokasi sel saraf yang terkena. Prevelensi neuropati
diabetik meningkat bersamaan dengan bertambah usia klien dan
lamanya menderita DM.
8. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus
Lima pilar utama penatalaksanaan Diabetes Mellitus menurut PERKENI (2011)
diantaranya:
a. Edukasi
Edukasi adalah kegiatan untuk merubah perilaku pasien dengan cara
meningkatkan pemahaman pasien tentang penyakitnya. Berhasilnya
pengobatan diabetes tergantung pada kerjasama antara tenaga kesehatan
dengan pasien diabetes dan keluarganya. Pasien diabetes yang memiliki
pengetahuan yang cukup tentang diabetes, kemudian selanjutnya mengubah
perilakunya, akan dapat mengendalikan kondisi penyakitnya sehingga ia dapat
hidup lebih berkualitas. (Basuki, 2015).
Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan tingkat lanjut.
Materi edukasi tingkat awal meliputi perjalanan penyakit DM, Perlunya
pengendalian DM, penyulit DM dan resikonya, terapi farmakologis dan
nonfarmakologis, interaksi makanan, aktivitas, dan obat-obatan, cara
27
pemantauan glukosa secara mandiri, pentingnya jasmani, perawatan kaki dan
cara mengatasi hipoglikemia. Sedangkan materi edukasi lanjut meliputi
mengenal dan mencegah penyulit akut DM, penatalaksanaan DM selama
menderita penyakit lain, makan diluar rumah, rencana untuk kegiatan khusus
dan hasil penelitian terkini dan teknologi mutakhir.
Penyedian bahan yang informatif dan menarik merupakan pendukung yang
sangat kuat dalam memberikan penyuluhan kesehatan, karena dengan cepat
dapat meningkatkan pengetahuan dan merangsang penyandand diabetes untuk
bertanya. Waktu penyuluhan juga menjadi lebih singkat. Penyuluhan bagi
masyarakat atau komunitas yang lebih luas dapat dilakukan melalui media
massa, sedangkan untuk komunitas lebih kecil misalnya di lingkup rumah
sakit, puskesmas dapat dibuat brosur atau liflet yang disediakan untuk keluarga
penyandang diabetes, masyarakat pengunjung fasilitas kesehatan dan
masyarakat pada umumnya (Basuki, 2015).
b. Perencanaan Makan
Perencanaan makan harus disesuaikan menurut masing-masing individu.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein, dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi yang
baik sebagai berikut: Karbohidrat 60-70%, Protein 10-15%, Lemak 20-25%
(Waspadji, 2011).
Untuk menentukan kebutuhan pada pasien beberapa hal yang dapat dilakukan,
pertama yaitu penentuan status gizi berdasarkan rumus Broca (BB
28
idaman/BBI) dimana BBI dalam kg BB= (TBcm-100) – 10%. Kecuali untuk
laki-laki < 160 cm dan perempuan <150 cm tida dikurangi 10%, kedua
penentuan status gizi ditentukan dengan berat badan normal jika BB aktual
mendekati nilai 90-110 BBI, ketiga penentuan kebutuhan kalori perhari
kebutuhan basal adalah BB (kg) dikalikan dengan 30 kalori untuk laki-laki dan
25 kalori untuk wanita. Pada pasien diabetes perlu ditekankan pentingnya
keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis makanan dan jumlah
makanannya.
c. Latihan Jasmani
Pilar ini sangat dianjurkan, tetapi harus disesuaikan dengan kemampuan dan
kondisi penyakit lain pada pasien. Prinsip olahraga pada Diabetes Mellitus
sama saja dengan prinsip olahraga secara umum, yaitu memenuhi hal berikut
ini (F.I.T.T) :
1) Frekuensi :Frekuensi aktivitas fisik/olahraga yang dianjurkan pada pada
pasien DM adalah dilakukakan secara teratur 3-4 kali dalam 1 minggu.
2) Intensitas : Latihan olahraga yang dilakukan selang seling antara gerak
ringan dan sedang (60 % - 70% Maximum Heart Rate). Misalnya, jalan
cepat diselingi jalan lambat, jogging diselingi jalan. Dengan kegiatan yang
bergantian pasien dapat bernafas dengan lega tanpa menghentikan latihan
sama sekali.
29
3) Time (durasi) : Lama aktifitas fisik/olahraga yang baik 30 – 60 menit.
Sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75-85% denyut nadi maksimal
(220 – umur).
4) Tipe (jenis) :olahraga endurance (aerobic) unuk meningkatkan
kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang, dan
bersepeda. (Ilyas, 2009)
d. Terapi farmakologis
Penggunaan farmakologis dalam Diabetes Mellitus dapat berupa obat
hipoglikemik oral (OHO) jika untuk kondisi dimana obat oral tidak
memungkinkan lagi untuk digunakan makan penggunaan insulin dapat menadi
pilihan (Waspadji, 2011).
1) Obat Hipoglikemik Oral
a) Biguanid
Jenis obat ini seperti metformin. Metformin menurunkan glukosa
darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler.
Metformin tidak dapat menyebabkan hipoglikemia dan penambahan
berat badan. Kombinasi sulfoniluera dengan metformin merupakan
kombinasi yang rasional karena mempunyai cara kerja sinergis
sehingga dapat menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada
pengobatan tunggal masing-masing. Metformin diberikan 500 hingga
700mg/hari.
30
b) Glitazone (Tiazolidindion)
Golongan obat yang mempunyai efek farmakologis meningkatkan
sensetivitas insulin/dapat diberikan secara oral. Dapat diabsorbsi
dengan cepat dan mencapain konsentrasi tertinggi setelah 1-2 jam,
dosisnya 4 hungga 8 mg/hari.
c) Sulfonylurea
Merangsang fungsi sel beta pankreas dan meningkatkan produksi
insulin, dosisnya adalah glipizid 2,5 sampai 40mg/hari dan gliburid 2,5
hingga 25mg/hari (Price dan Wilson, 2008).
2) Terapi insulin
a) Insulin kerja singkat (Short Acting) insulin reguler merupakan satu-
satunya insulin jernih atau laritan insulin, sementara lainnya adalah
suspensi. Insulin reguler adalah satu-satunya produksi insulin yang
cocok untuk pemberian intravena. Insulin ini diberikan 30 menit
sebelum makan, waktu paruh 4 jam, kerja cepat diberikan 1-3 kali
sehari, dan efeknya dapat bertahan sampai 8 jam. contoh : reguler
insulin, actrapid.
b) Insulin kerja cepat (Rapid acting), cepat diabsorbsi, adalah insulin
analog seperti: Novorapid, Humalog dan Apidra
31
c) Insulin kerja sedang (Intermediate acting) Bentuknya terlihat keruh
karena berbentuk hablur-hablur kecil, dibuat dengan menambahkan
bahan yang dapat memperlama kerja obat dengan cara memperlambat
penyerapan insulin kedalam darah. Yang dipakai saat ini adalah Netral
Protamine Hegedorn (NPH), Monotard, Insulatard. Jenis ini awal
kerjanya adalah 1,5-2,5 jam. Puncaknya tercapai dalam 4-15 jam dan
efeknya dapat bertahan sampai dengan 24 jam.
d) Insulin kerja panjang (Long acting), merupakan campuran dari
insulindan protamine, diabsorbsi dengan lambat dari tempat
penyuntikan sehingga efeknya yang dirasakan cukup lama, yaitu
sekitar 24-36 jam. Preparat: Protamine Zinc Insulin (PZI), Ultratard.
e. Monitoring Gula Darah
Bagi pasien DM, memeriksakan gula darah secara rutin sudah menjadi
kewajiban agar tidak terjadi komplikasi lebih lanjut. Tujuan kontrol gula darah
ini adalah untuk mencapai kadar gula darah tetap stabil (Mangoenprasodjo,
2005). Kadar glukosa darah dapat diukur dari sampel berupa darah
biasa/plasma atau darah kapiler dengan menggunakan uji strip glukosa yang
menggunakan glukometer yang memungkinkan pasien melakukan
pemeriksaasn kadar glukosa darah sendiri di rumah, selain itu penting juga
untuk melakukan pemerikaan HBA1c setiap 3 bulan sekali (Soewondo, 2009).
32
B. Neuropati Diabetik
Akibat diabetes mellitus yang tidak terkendali bisa menyebabkan terjadinya
kelainan tungkai kaki bawah. Setiap tahun, lebih dari satu juta orang penderita
diabetes kehilangan salah satu kakinya sebagai komplikasi diabetes. Ini berarti
bahwa setiap 30 detik, satu tungkai bawah hilang karena diabetes. Dari semua
amputasi tungkai bawah, 40-70% berkaitan dengan diabetes (Monalisa, 2015).
Proses terjadinya kaki diabetes melibatkan tiga komplikasi utama yang melibatkan
neuropati sensorik dan otonom, penyakit vaskuler perifer dan penurunan daya
imunitas (Ernawati, 2013).
1. Definisi
Neuropati diabetik adalah istilah deskriptif yang menunjukan adanya
gangguan, baik klinis maupun subklinis, yanag terjadi pada Diabtes Mellitus
tanpa penyebab neuropati perifer yang lain. Gangguan neuropati ini termasuk
manisfestasi somatik dan atau otonom dari sistem perifer (Subekti, 2014)
Neuropati diabetes merupakan kerusakan pada saraf dalam tubuh yang terjadi
akibat kadar gula darah tinggi dari diabetes. Cedera saraf disebabkan oleh
aliran darah dan kadar gula darah ynag tinggi. Akan berkembang jika kadar
gula darah tidak terkontrol dengan baik (Topiwala, 2012).
33
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa neuropati
diabetes adalah suatu kondisi keruskan saraf perifer. Kondisi ini terjadi akibat
kadar gula darah yang tinggi pada Diabetes Mellitus.
2. Faktor risiko neuropati diabetik
a. Umur.
Proses penuaan merupakan proses fisiologis yang dihubungkan dengan
perubahan anatomi dan fisiologi semua sistem dalam tubuh. Umur yang
lanjut menyebabkan kelainan pada saraf tepi sehingga terjadi penurunan
aliran darah pada pembuluh darah yang menuju saraf tepi dan
berkurangnya secara progresif serabut saraf yang bermielin maupun tak
bermielin mengakibatkan terjadinya neuropati diabetik (Hinkle &
Cheever, 2014). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh (Faisal,
2015) yang dilakukan pada 83 pasien yang didiagnosa neuropati diabetik,
menunjukan angka kejadian neuropati terbanyak pada kelompok umur 45-
65 tahun yaitu sebanyak 60 kasus (72,3%).
b. Lamanya menderita diabetes.
Lamanya menderita diabetes menyebabkan risiko timbulnya komplikasi
seperti neuropati diabetik meningkat. Hal ini terjadi karena peningkatan
pembentukan radikal bebas yang menyebabkan kerusakan endotel vaskular
dan menurunkan vasodilatasi pembuluh darah. Kondisi ini harus dicurigai
34
pada semua pasien DM Tipe 2 yang telah menderita DM lebih dari 10
tahun (Hinkle & Cheever, 2014).
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2015) yang
dilakukan pada 35 orang pasien diabetes tipe 2, didapatkan lama menderita
DM kurang dari 10 tahun dengan proporsi mengalami neuropati sensorik
sebesar 54,29 %.
Menurut Soewondo, et al (2010) menunjukkan bahwa lama menderita
diabetes melitus lebih dari lima tahun sampai kurang dari sepuluh tahun
mengalami neuropati sensorik sebanyak 67,17%.
c. Hipertensi.
Pada hipertensi esensial terjadi gangguan fungsi endotel disertai
peningkatan permeabilitas endotel. Disfungsi endotel ini akan menambah
tahanan perifer dan kompikasi vaskular serta penurunan kadar Nitric
Oxide. Selain itu hipertensi menyebabkan terjadinya stress oksidatif dalam
dinding arteri sehingga terjadi penurunan Nitric Oxide yang
mengakibatkan peningkatan adhesi leukosit dan peningkatan resistensi
perifer (Subekti, 2009). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh
(Priyantono,2005) pada 35 kasus polineuropati diabetik, 26 kasus (74,3%)
menderita hipertensi.
35
d. Dislipidemia.
Kelainan lipoprotein merupakan faktor utama dalam komplikasi diabetes
yang meliputi peningkatan Low Density Lipoprotein (LDL) dan penurunan
High Density Lipoprotein (HDL). Sebagian besar sel di dalam pembuluh
darah dapat mengoksidasi LDL, kolestrol LDL yang teroksidasi akan
merusak jalur metabolisme NO dan juga menghambat vasodilatasi serta
menstimulasi faktor pertumbuhan (growth factor) yang menyebakan
hiperproliferasi sel otot polos dan sel endotel pembuluh darah (Subekti,
2009).
e. Merokok
Merokok dihubungkan dengan terjadinya komplikasi DM termasuk
neuropati diabetik. Merokok dapat menyebabkan terjadinya mekanisme
interaksi trombosit dalam dinding pembuluh darah yang memicu
peningkatan kadar kolestrol LDL dan penurunan kolestrol HDL sehingga
terjadi stress oksidatif. Selain itu merokok dapat menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah melalui gangguan fungsi endotel dan
peningkatan karbonmonoksida yang mengakibatkan terjadinya spasme
arteri dan penurunan kapasitas oksigen darah (Hinkle & Cheever, 2014).
36
3. Klasifikasi Neuropati Perifer
a. Neuropati motorik
Gangguan muskuloskeletal yang ditimbulkan akibat neuropati motorik
berhubungan dengan faktor biomekanik kaki, keterbatasan gerak sendi dan
deformitas tulang (Frykberg, 2006). Gangguan yang berkaitan dengan
faktor biomekanik kaki menyebabkan perubahan pada gaya berjalan yang
lebih lanjut hal ini juga akan menimbulkan kerusakan struktural pada kaki
penderita DM. Keterbatasan gerak sendi yang menimbulkan kelemahan
otot bahkan atrofi, hal inilah yang memperberat perubahan gaya berjalan
penderita DM sehingga penserita DM dapat mengalami deformitas
(Andreassen, Jokobsen & Andersen, 2006). Deformitas yang terjadi secara
berulang dan terus menerus secara tidak langsung dapat merusak integritas
kulit dan mempercepat timbulnya ulkus kaki pada penderita DM
(Giacommozzi, 2008).
b. Neuropati Sensorik
Neoropati sensorik sering mengenai bagian distal serabut saraf, terutama
serabut saraf ekstremitas bawah dan dapat meluas ke arah proksimal.
Gejala yang muncul meliputi parestesia rasa tertusuk-tusuk, kesemutan,
atau peningakatan kepekaan dan rasa terbakar terutama malam hari. Jika
neuropati terus berlanjut maka akan menjadi matirasa/baal sehingga
berisiko untuk mengalami penurunan fungsi proprioseptif (kesadaran
terhadap postur serta gerakan tubuh dan terhadap posisi serta berat badan
37
yang berhubungan dengan tubuh) dapat menimbulkan gaya berjalan yang
terhuyung-huyung (Ernawati, 2013).
c. Neuropati autonom
Neuropati otonom sendiri baru menunjukan gejala pada ssat masuk
stadium lanjut, dimana terjadi gangguan pada berbagai organ. Dampak
umum yang ditimbulkan oleh adanya neuropati otonom adalah aliran darah
yang tidak lancar sehingga kulit (terutama kaki) tidak memperoleh nutrisi
dengan baik. Manisfestasi klinis yang muncul sebagai akibat dari neuropati
sensoris, motorik dan otonom tersebut adalah kulit yang kering dan pecah
pecah bahkan hingga menimbulkan callus. Kondisi kulit yang demikian
mempercepat timbulnya ulkus pada kaki (Frykberg, 2006).
4. Patofisiologi
Faktor metabolik
Pasien DM yang mengalami hiperglikemia dalam waktu yang lama akan
mengakibatkan aktivitas jalur poliol meningkat dimana glukosa akan diubah
menjadi sorbitol dengan bantuan enzim aldose reduktase. Sorbitol yang
dibentuk akan diubah menjadi fruktosa dengan bantuan enzim sorbitol
dehirogenase. Penumpukan sorbitol dan fruktosa dalam sel ssaraf akan
menyebabkan keadaan hipertonik intraseluler sehingga mengakibatkan edema
saraf. Peningkatan sintesis sorbitol berakibat terhambatnya mioinositol masuk
kedalam sel saraf. Penurunan mioinositol dan akumulasi sorbitol akan
38
menimbulkan stress osmotic yang akan merusak mitokondria dan akan
menstimulasi protein kinase C (PKC). Aktivitas PKC akan menekan fungsi
Na-K-ATP-asee, sehingga kadar Na intraseluler berlebihan, hal ini akan
berakibat pada terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf sehingga
transduksi sinyal pada saraf akan terganngu.
Hiperglikemia dalam jangka panjangpun akan mengakibatkan terbentuknya
advance glycosilation end products (AGEs). AGEs bersifat toksik dan
merusak tidak hanya saraf tapi juga semua protein tubuh. AGEs dan sorbitol
yang terbentuk mengakibatkan sintesis dan fungsi nitric oxide (NO) menurun,
sehingga vasodilatasi berkurang dan akhirnya aliran darah ke saraf juga
menurun (Ernawati, 2013).
Faktor vascular
Hiperglikemia persisten merangsang produksi radikal bebas oksidatif. Radikal
bebas ini mengakibatkan kerusakan endotel vaskuler dan menetralisir NO yang
berefek menghalangi vasodilatasi mikrovaskuler (Ernawati, 2013).
5. Diagnosis
Ada beberapa kriteria untuk menentukan adanya komplikasi neuropati
diabetik, salah satunya dengan konsensus San Antonio (Meijer, et al., 2003).
Pada konsensus tersebut telah direkomendasikan bahwa paling sedikit satu dari
lima pemeriksaan dibawah ini dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis
neuropati diabetik yaitu: Symptom Scoring, Pysical examination scoring,
39
Quantitative Sensory Testing (QST), Cardiovascular automatic Function
Testing (CaFT dan Electro Diagnosis Studies (EDS).
Dari pemeriksaan di atas, pemeriksaan Symptom scoring dan Physical
examination scoring yang telah terbukti memiliki sesitivitas dan spesifitas
tinggi untuk mendiagnosa neuropati diabetik atau polineuropati sensorik
perifer yaitu dengan menggunakan skor Diabetic Neuropathy Examination
(DNE) dan Diabetic Neuropathy Symptom (DNS).
a. Diabetic Neuropathy Examination (DNE)
Alat ini mempunyai sensitivitas yang tinggi yaitu 96% dan spesifisitas
51% (Jayaprakash et al, 2011).Skor DNE dipakai untuk mendiagnosis
polineuropati perifer pada penderita DM.
Pemeriksaan dan skor DNE dapat dilihat pada tabel berikut:
DNE Scoring.
1. Kekuatan otot.
a. Quadriceps femoris (ekstensi sendi lutut)
b. Tibialis anterior (dorsofleksi kaki)
2. Refleks : Pemeriksaan pada triceps surae (tendon achiles).
3. Sensasi jari telunjuk yaitu dengan pemeriksaan sensitivitas pada
tusukan jarum (pinprick sensation).
40
4. Sensasi ibu jari kaki yaitu dengan pemeriksaan sesitivitas pada
tusukan jarum, sensitivitas terhadap sentuhan, persepsi getar dan
sensitivitas pada posisi sendi.
Skor 0-2:
0 = normal
1 = defisit ringan atau sedang, kekuatan otot skala medical research
council 3-4, refleks kurang, sensasi kurang.
2 = defisit berat/sangat terganggu, kekuatan otot : skala medical research
council 0-2, refleks tidak ada, sensasi tidak ada.
Skor maksimum: 16 poin.
Skor > 3 dianggap signifikan untuk terjadinya neuropati.
Tabel 2.1 Scoring DNE (Jayapraksah, 2011)
b. Diabetic NeuropathySymptom (DNS)
DNS merupakan salah satu pemeriksaan untuk menilai polineuropati
perifer yang terdiri dari beberapa pertanyaan untuk menilai gejala pada
penderita DM yang meliputi gejala jalan yang tidak stabil, nyeri neuropati,
paratesia atau rasa tebal.
Pemeriksaan dan skor DNS dapat dilihat pada tabel berikut:
41
DNS Scoring
1. Apakah anda mengalami ketidakstabilan saat bejalan?
2. Apakah anda mengalami rasa nyeri dan rasa terbakar di kaki pada saat
istirahat dan malam hari, bukan pada waktu berolahraga?
3. Apakah anda merasakan kaki atau jari kaki anda seperti ditusuk-tusuk
pada waktu istirahat dan malam hari?
4. Apakah kaki atau jari anda mati rasa ?
Pertanyaan dijawab ya (positif = 1 poin) jika gejala terjadi selama 2
minggu terakhir, jika dijawab tidak (negatif = 0 poin).
Skor maksimum 4 poin.
0 poin = Polineuropati perifer tidak terjadi
1-4 poin = Polineuropati perifer terjadi
Tabel 2.2 Scoring DNS (Jayaprakash 2011)
Pemeriksaan Symptom scoring lainnya yang dapat dipergunakan antara lain
Michigan Neuropathy Screnning Instrument, Neuropathy Symptom Profile,
Neuropathy Symptom Score dan The UT Abbreviated Neuropathy Questioner
(Lavery, et al., 2004).
5. Penatalaksanaan
Subekti (2014) mengemukakan strategi pengelolaan pasien DM dengan
keluhan neuropati diabetik dibagi dalam tiga bagian yaitu strategi pertama
adalah mendiagnosa neuropati diabetik sedini mungkin, diikuti strategi kedua
dengan pengendalian glukosa darah dan perawatan kaki sebaik-baiknya dan
42
strategi ketiga ditujukan pada pengendalian keluhan neuropati/nyeri neuropati
dengan terapi medikamentosa.
a. Perawatan Kaki.
Perawatan kaki yang bersifat preventif dengan cara :
1) Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih
2) Membersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan menggunakan air
suam-suam kuku dengan memakai sabun dan mengeringkan secara
sempurna terurtama diantara jari-jari kaki.
3) Memakai kream kaki yang baik pada kulit dan tumit yang retak-retak,
agar kulit tetap mulus dan jangan menggosok antara sela-sela jari kaki.
4) Tidak memakai cream akan membuat kulit menjadi keering dan retak.
5) Kuku sebaiknya jagan digunting tapi dikikir. Rasa nyeri pada kaki
dapat berkurang, sehingga bila kulit sekitar kuku terluka tidak akan
terasa. Jangan kikir kuku terlalu pendek, atau terlalu dalam pada tepi
kanan kirinya. Bila penglihatan kurang terang mintalah orang lain
untuk merawat kaki, jangan lupa informasikan bahwa pasien
penyandang DM, dan oleh karena itu rasa sakit dikaki berkurang.
6) Memeriksa kaki dan celah kaki setiap hari apakah terdapat kalus, bula,
luka atau lecet.
7) Menghindari penggunaan air panas atau bantal panas.
43
Penggunan alas kaki tepat, dengan cara:
1) Jangan berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir.
2) Memakai sepatu yang sesuai atau sepatu yang nyaman untuk kaki dan
dipakai.
3) Sebelum memakai sepatu, memeriksa sepatu terlebih dahulu, jika ada
batu atau lain-lain, karena dapat menyebabkana iritasi dan luka
terhadap kulit.
4) Sepatu harus terbuat dari kulit, kuat pas (cukup ruang untuk ibu jari
kaki dan tidak boleh dipakai tanpa kaos kaki).
5) Sepatu baru harus dipakai secara berangsur-angsur dan hati-hati.
6) Pakailah kaos kaki bila dingin dan ganti setiap hari.
7) Kaos kaki terbuat dari bahan wol atau katun, jangan memakai dari
bahan sintetis karena akan menyebabkan kaki berkeringat (Hinkle &
Cheever, 2014).
b. Terapi Medikamentosa
Sedangkan pengelolaan neuropati diabetik dengan nyeri, yang dianjurkan
adalah:
1) NSAID (ibuprofen 600mg 4x/hari, sulindac 200mg 2x/hari).
2) Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50-150mg malam hari, imipramin
100smg/hari, nortriptilin 50-150mg malam hari, paroxetine
40mg/hari).
44
3) Antikonvulsan (gabapentin 900mg 3x/hari, karbamazepin 200mg
4x/hari).
4) Antiaritmia (mexilletin 150-450mg/hari).
5) Topikal: capsaicin 0,075% 4x/hari, fluphenazine 1 mg 3x/hari,
stranscutaneous electrical nerve stimulation (Subekti, 2014).
C. Ankle Brachial Index
1. Definisi
Ankle Brachial Pressure Index (ABI) yaitu test non invasive yang bertujuan
untuk mengukur rasio tekanan arah sistolik kaki (ankle) dengan tekanan darah
sistolik lengan (brachial). Tekanan darah sistolik diukur dengan menggunakan
alat yang disebut simple hand held vascular doppler ultrasound probe dan
tensimeter (manometer mercuri atau aneroid). Direkomendasikan
menggunakan probe dengan frekuensi 8 MHz untuk ukuran llingkar kaki
normal dan 5 MHz untuk lingkar kaki obesitas atau edema (Ruff, 2003).
Ankle Brachial Index menurut Black & Hawks (2014) adalah parameter yang
umumnya digunakan untuk evaluasi menyeluruh status ekstremitas. Test
noninvasive yang cukup sederhana dengan mengatur rasio tekanan darah
sistolik kaki (ankle) dengan tekanan darah sistolik lengan (Brachial).
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Ankle Brachial
Index adalah pemeriksaan noninvasive yang cukup sederhana dengan
45
mengukur rasio tekanan darah sistolik kaki (ankle) dengan tekanan darah
sistolik lengan (Brachial). Diukur dengan menggunakan alat yang disebut
simple hand held vascular doppler ultrasound probe dan tensimeter
(manometer mercuri atau aneroid). menggunakan tensimeter dan doppler.
2. Tujuan
Untuk mengetahui derajat komplikasi vaskuler perifer ke arah tungkai pada
penderita diabetes perlu dinilai keadekuatan sirkulasinya. Sirkulasi perifer area
tungkai yang buruk merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya ulkus kaki
pada penderita diabetes, selain faktor neuropati dan infeksi. Pemeriksaan ABI
bertujuan untuk menilai fungsi sirkulasi pada arteri kaki (Ruff, 2003).
3. Prosedur
Williams & Wilkins (2012) menjelaskan prosedur pengukuran ankle brachial
pressure index adalah sebagai berikut:
a. Perkenalan dan persetujuan
1) Perkenalkan diri anda pada pasien dan pastikan identitasnya
2) Jelaskan tujuan dilakukannya prosedur.
b. Posisi pasien
1) Posisikan pasien pada posisi terlentang, kedua lengan dipaparkan, dan
posisi kaki sama tinggi dengan posisi jantung.
2) Pastikan bahwa pasien merasa nyaman, dan biarkan pasien beristirahat
selama 5-10 menit.
46
c. Prosedur Penatalaksanaan.
1) Cuci tangan
2) Pilih ukuran manset tekanan darah yang sesuai dan tempatkan satu inci
pada lengan pasien.
3) Palpasi arteri brachialis dan oleskan gel ultrasound pada tempat
tersebut.
4) Dengan menggunakan probe Doppler (arahkan pada sudut sekitar 45°)
pada denyutan arteri brachialis dan kembangkan manset hingga
denyutan tersebut menghilang.
5) Kempeskan manset perlahan (pada kecepatan 2-3 mmHg per detik)
sampai denyutan muncul kembali dan catat “tekanan brachial” ini.
6) Bersihkan gel ultrasound dari lengan pasien dan ulangi prosedur yang
sama pada lengan yang satu lagi.
7) Gunakan nilai yang lebih tinggi dari kedua hasil pemeriksaan tekanan
sistolik brachial dan jadikan sebagai penyebut untuk menghitung
ABPI.
8) Pilih ukuran manset yang sesuai dan tempatkan di sekitar betis di atas
maleolus, pastikan bahwa setiap ulkus yang ada di daerah ini sudah
ditutup sebelumnya.
9) Palpasi denyut arteri dorsalis pedis (di antara tulang metatarsal satu
dan dua) dan oleskan gel ultrasound di tempat ketika arteri terpalpasi,
gunakan probe doppler untuk temukan denyutan arteri yang optimal.
47
10) Catat tekanan arteri dorsalis pedis seperti ketika mencatat tekanan
brachialis.
11) Palpasi arteri posterior tibialis dan oleskan gel ultrasound di tempat
ditemukannya arteri.
12) Menggunakan probe doppler, temukan denyutan arteri yang optimal,
ukur dan catat tekanan posterior tibialis.
13) Bersihkan gel ultrasound dari tungkai pasien ulangi prosedur yang
sama pada tungkai bawah yang satu lagi untuk mendapatkan tekanan
arteri dorsalis pedis dan posterior tibialis.
14) Gunakan nilai tekanan sistolik lebih tinggi dari kedua arteri dan jadikan
sebagai pembilang untuk menghitung ABPI pada setiap pergelangan
kaki.
15) Bersihkan gel ultrasound yang tersisa pada kulit pasien.
16) Bersihkan gel dari probe.
17) Cuci tangan.
d. Akhir prosedur
Hitung ABPI dengan membagi hasil tekanan sistolik tertinggi ankle
dengan tekanan sistolik tertinggi brachialis (Gitarja, 2008).
Perhitungan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
𝐴BI =Tekanan sistolik tertinggi 𝑎𝑛𝑘𝑙𝑒
Tekanan sistolik tertinggi 𝑏𝑟𝑎𝑐ℎ𝑖𝑎𝑙
48
4. Interpretasi Hasil
Nilai dari ABI yang didapatkan dari hasil pengukuran diinterpretasikan dan
dikelompokan sebagaiberikut (Beldon, 2010) :
1) Normal : 0,91 – 1,30
2) Obstruksi Ringan : 0,71 – 0,90
3) Obstruksi Sedang : 0,41 – 0,70
4) Obstruksi berat : 0,00 – 0,40
Gambar 2.1 Pengukuran ABI menurut Grenon et al (2014)
49
D. Penelitian Terkait
Penelitian Lestari (2015) yang dilakukan di RSUD Salatiga terhadao 35 responden
dengan Diabetes Mellitus tipe 2, menunjukkan lama menderita diabetes melitus kurang
dari sepuluh tahun sebanyak 19 responden (54,29%) dengan proporsi terbanyak
mengalami neuropati sensorik sedang sebanyak 18 responden (51,42%) sedangkan
neuropati sensorik berat sebanyak 1 responden ( 2,86%). Lama menderita diabetes
melitus lebih dari sepuluh tahun sebanyak 16 responden (45,71%) dengan proporsi
terbanyak mengalami neuropati sensorik berat sebanyak 13 responden (37,14%)
sedangkan neuropati sensorik sedang sebanyak 3 responden (8,56%). Maka dari hasil
penelitian di atas menujukkan bahwa lama menderita diabetes melitus kurang dari
sepuluh tahun dengan proporsi terbanyak mengalami neuropati sensorik sedang sebesar
51,42%.
Penelitian di atas hasilnya tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Soewondo, P., Soegondo, S., Suastika, M., Pranoto, A., Soetmadji, W.D.,
Tjokropawiro, S., (2010) dalam The DiabCare Asia 2008 study-Outcome on control
and complications of type 2 diabetic patient in Indonesia menunjukkan bahwa lama
menderita diabetes melitus lebih dari lima tahun sampai kurang dari sepuluh tahun
mengalami neuropati sensorik sebanyak 67,17%.
Penelitian lain dilakukan oleh Abduh (2014) di RSUD KS. Langgur Kabupaten Maluku
Tenggara “ Hubungan skala ankle brachial index dengan DNE dan DNS dalam
memprediksi kejadian neuropati sensorik pasien DM Tipe 2.” Penelitian dilakukan
50
pada 30 pasien Diabetes Mellitus tipe 2. Pada nilai ABPI diperoleh lebih dari setengah
responden yaitu 16 orang (53,3%) memiliki nilai ABPI berisiko. Berdasarkan nilai
DNE menunjukan lebih dari setengah responden yaitu sebanyak 18 orang (60,0%)
mengalami neuropati dan pada nilai DNS diperoleh sebagian besar responden yaitu
sebanyak 26 orang (86,7%) mengalami neuropati. Maka dari hasil penelitian di atas
menunjukan terdapat hubungan yang bermakna antara skala ABI, DNE, DNS dengan
nilai kolerasi negatif antara kedua variable. ABI dan DNE (p = 0,000 , r = -0,634), ABI
dan DNS (p = 0,008 , r = -0,472). Semakin rendah skala ABI, semakin tinggi terjadinya
neuropati. Semakin rendah skala ABPI, semakin tinggi terjadinya sneuropati. Oleh
karena itu, diharapkan perlu adanya perhatian dari berbagai pihak yaitu dokter, perawat
dan pasien untuk melakukan pemeriksaan neuropati secara berkala untuk mencegah
terjadinya komplikasi yang lebih lanjut.
51
E. Kerangka Teori
Bagan 2.1
Kerangka Teori Penelitian “Hubungan Lamanya menyandang Diabetes Melittus
Tipe 2 dan nilai Ankle Brachial Index (ABI) dengan kejadian neuropati perifer”
Sumber : Hinkle & Cheever (2014), Black & Hawks (2014), (Subekti, 2009), (Abduh, 2014)
Komplikasi
A. Akut
1. Hiperglikemi dan
Ketoasidosis diabetikum
2. Sindrom Hiperglikemik
Hiperosmolar Non Ketotik
3. Hipoglikemi
B. Kronis
1. Makrovaskuler
a. Penyakit arteri koroner
b. Penyakit
serebrovaskuler
c. Penyakit Vaskuler
perifer
2. Mikrovaskuler
a. Retinopati diabetik
b. Nefropati diabetik
c. Neuropati perifer
Faktor Resiko
Neuropati sensorik
1. Umur
2. Lamanya
Menyandang DM
3. Hipertensi
4. Dislipidemia
5. Merokok
Sumber : Hinkle & Cheever
(2014), Subekti ((2009)
Faktor resiko DM tipe 2
1. Riwayat Keluarga
2. Usia
3. Obesitas
4. Hipertensi
5. Kolesterol tinggi
Nilai Ankle
Brachia Index
sumber : Abduh
(2014)
DM Tipe 2