Upload
lamdiep
View
215
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Keinginan Berpindah (Intensi Turnover) Pada Karyawan
1. Pengertian Intensi Turnover Pada Karyawan
Mobley (1986) mengungkapkan bahwa intensi turnover ditandai dengan
adanya niatan untuk keluar dari organisasi dan keinginan untuk mencari pekerjaan
alternatif lain yang lebih baik dari organisasi sebelumnya. Hal ini senada dengan
yang dikemukakan oleh Harnoto (dalam Anita, 2016) bahwa intensi turnover
adalah kadar atau intensitas dari keinginan untuk keluar dari perusahaan, banyak
alasan timbulnya intensi turnover ini dan di antaranya adalah keinginan untuk
mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Abdillah (2012) menyatakan intensi turnover merupakan suatu keadaan di
mana karyawan memiliki niat yang dilakukan secara sadar untuk mencari suatu
pekerjaan lain sebagai alternatif di organisasi yang berbeda. Sama hal nya yang
dikatakan oleh Jewell dan Siegall (1998) bahwa intensi turnover ditandai dengan
adanya ketertarikan individu yang kuat terhadap berbagai alternatif pekerjaan lain
di luar organisasi. Intensi turnover juga didefinisikan sebagai faktor yang
memediasi keinginan dan tindakan berhenti dari organisasi itu sendiri
(Glissmeyer, dkk. 2008).
Sementara itu sumber lain mengatakan bahwa intensi turnover
diindikasikan sebagai sikap individu yang mengacu pada hasil evaluasi mengenai
kelangsungan hubungannya dengan organisasi di mana dirinya bekerja dan belum
17
terwujud dalam bentuk tindakan pasti (Suwandi & Indriantoro, 1999). Intensi
turnover mencerminkan keinginan individu untuk meninggalkan organisasi dan
mencari alternatif pekerjaan lain (Suhanto, 2009). Intensi turnover menunjukkan
tingkat kecenderungan sikap yang dimiliki oleh karyawan untuk mencari
pekerjaan baru di tempat lain atau adanya rencana untuk meninggalkan
perusahaan dalam masa tiga bulan yang akan datang, enam bulan yang akan
datang, satu tahun yang akan datang dan dua tahun yang akan datang (Low, dkk.
dalam Widodo, 2010). Sikap lain yang secara simultan muncul dalam individu
ketika muncul intensi turnover adalah keinginan untuk mencari lowongan
pekerjaan lain, mengevaluasi kemungkinan untuk menemukan pekerjaan yang
lebih baik di tempat lain. Niat untuk meninggalkan mengacu pada niat sukarela
individu untuk meninggalkan organisasi saat ini atau pekerjaan saat ini (Dave,
2012).
Menurut Martin (dalam Setyowati, 2017) keinginan keluar atau intensi
turnover adalah proses psikologis seorang individu ketika sedang
mempertimbangkan pilihan pekerjaan alternatif karena beberapa ukuran
ketidakpuasan dengan situasi pekerjaan saat ini. Intensi turnover merupakan suatu
keadaan di mana karyawan memiliki niat yang dilakukan secara sadar untuk
mencari suatu pekerjaan lain sebagai alternatif di organisasi yang berbeda dan
turnover adalah pergerakan keluarnya tenaga kerja dari tempatnya bekerja
(Abdillah, 2012). Mobley (1986) mengatakan bahwa intensi turnover merupakan
tanda awal terjadinya turnover karena terdapat hubungan yang signifikan antara
intensi turnover dan turnover.
18
Berdasarkan paparan pengertian mengenai intensi turnover oleh para ahli
di atas dapat disimpulkan bahwa intensi turnover pada karyawan adalah suatu
keadaan di mana karyawan mempunyai niat secara sadar untuk keluar dari
organisasi atau perusahaan secara sukarela dan keinginan untuk mencari alternatif
pekerjaan lain yang lebih baik dari pekerjaan sebelumnya.
2. Aspek-Aspek Intensi Turnover
Aspek-aspek intensi turnover menurut Abelson (dalam Hidayati, 2016) yang
meliputi:
a. Pikiran untuk keluar yaitu saat karyawan merasa diperlakukan tidak adil,
maka terlintas dalam pikiran karyawan untuk keluar dari organisasi.
b. Keinginan untuk mencari pekerjaan baru yaitu ketidakmampuan suatu
organisasi untuk memenuhi kebutuhan karyawan dapat memicu karyawan
untuk berpikir mencari alternatif pekerjaan pada organisasi yang lain.
c. Mengevaluasi kemungkinan menemukan pekerjaan lain yaitu karyawan
melihat adanya peluang untuk menemukan pekerjaan lain.
d. Keinginan untuk meninggalkan organisasi dalam beberapa bulan mendatang
yaitu karyawan memiliki motivasi untuk mencari pekerjaan baru pada
organisasi lain dalam beberapa bulan mendatang yang dianggap mampu
memenuhi kebutuhan karyawan (adil terhadap karyawan).
Menurut Harnoto (2002), aspek atau tanda-tanda dari adanya intensi
turnover adalah sebagai berikut :
a. Absensi yang meningkat. Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan
pindah kerja biasanya ditandai dengan absensi yang semakin meningkat.
19
Tingkat tanggung jawab karyawan dalam fase ini sangat kurang dibandingkan
dengan sebelumnya.
b. Mulai malas bekerja. Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah
kerja, akan lebih malas bekerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja
di tempat lainnya yang dipandang lebih mampu memenuhi semua keinginan
karyawan yang bersangkutan.
c. Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja. Berbagai pelanggaran
terhadap tata tertib di dalam lingkungan pekerjaan sering dilakukan karyawan
yang akan melakukan turnover. Karyawan lebih sering meninggalkan tempat
kerja, ketika jam kerja berlangsung, maupun berbagai bentuk pelanggaran
lainnya.
d. Peningkatan protes terhadap atasan. Karyawan yang berkeinginan untuk
melakukan pindah kerja, lebih sering melakukan protes terhadap kebijakan-
kebijakan perusahaan terhadap atasan. Materi protes yang ditekankan
biasanya berhubungan dengan balas jasa atau aturan lain yang tidak
sependapat dengan keinginan karyawan.
e. Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya. Biasanya hal ini berlaku
untuk karyawan yang karakteristik positif. Karyawan ini mempunyai
tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang dibebankan, dan jika
perilaku positif ini meningkat jauh dan berbeda dari biasanya justru
menunjukan karyawan ini akan melakukan turnover.
20
Berdasarkan aspek intensi turnover yang dipaparkan oleh Abelson (dalam
Hidayat, 2016) dan Harnoto (2002) dapat disimpulkan bahwa aspek intensi
turnover meliputi, pikiran untuk keluar dari organisasi, keinginan untuk mencari
pekerjaan baru yang sesuai bakat minat dan kondisi lingkungan yang lebih baik,
mengevaluasi kemungkinan menemukan pekerjaan lain dan keinginan untuk
meninggalkan organisasi dalam beberapa bulan mendatang, absensi yang
meningkat, mulai malas bekerja, peningkatan pelanggaran tata tertib, peningkatan
protes terhadap atasan dan peningkatan perilaku positif. Peneliti memilih aspek
intensi turnover yang dikemukakan oleh Abelson (dalam Hidayati, 2016) yaitu
pikiran untuk keluar dari organisasi, keinginan untuk mencari pekerjaan baru yang
sesuai bakat minat dan kondisi lingkungan yang lebih baik, mengevaluasi
kemungkinan menemukan pekerjaan lain dan keinginan untuk meninggalkan
organisasi dalam beberapa bulan mendatang untuk dijadikan panduan dalam
membuat alat ukur penelitian ini karena lebih jelas sehingga memudahkan peneliti
dalam membuat alat ukur. Selain itu aspek ini lebih sesuai dengan keadaan yang
terjadi pada petugas dinas lapangan (PDL) Koperasi Primkoveri Grup Kebumen.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Intensi Tunorver
Mobley, dkk. (1979) dan Mobley (1986) menggariskan secara detil faktor-
faktor yang mempengaruhi intensi turnover yang dibedakan dari faktor pasar
tenaga kerja, faktor organisasi, faktor individu dan faktor keterpaduan.
21
a. Faktor Tenaga kerja
Mobley menjelaskan bahwa analisis ekonomi yang menyebabkan terjadinya
inflasi dan kemungkinan dampak adanya pertukaran tenaga kerja menyebabkan
intensi turnover.
b. Faktor Organisasi
Ada beberapa hal yang menyebabkan intensi turnover karyawan dilihat dari
sisi organisasi yaitu dari tipe industri, katagorisasi kerja dalam organisasi, ukuran
organisasi, ukuran unit kerja, upah, konten pekerjaan dalam organisasi, gaya
supervise dan variable organisasi lainnya seperti iklim organisasi, komunikasi
yang mana hal-hal tersebut mempengaruhi intensi turnover karyawan. Iklim
organisasi merupakan persepsi anggota organisasi (secara individual dan
kelompok) yang secara tetap berhubungan dengan organisasi (misalnya pemasok,
konsumen, konsultan dan kontraktor) mengenai apa yang ada atau terjadi di
lingkungan internal organisasi secara rutin, yang mempengaruhi sikap dan
perilaku organisasi dan kinerja anggota organisasi yang kemudian menentukan
kinerja organisasi (Wirawan, 2007).
c. Faktor Individu.
Dalam aspek ini usia muda, masa jabatan, jenis kelamin, pendidikan, data
biografis, kepribadian, ketertarikan atau minat, bakat dan kemampuan, sumber
penyerahan, profesionalisme, prestasi, ketidakhadiran atau kemangkiran
menyebabkan besar kemungkinannya individu dari suatu organisasi untuk keluar.
22
d. Faktor Keterpaduan.
Dalam aspek ini kepuasan kerja karyawan secara keseluruhan merupakan
faktor yang dapat menentukan intensi turnover. Kepuasan kerja meliputi kepuasan
dengan pekerjaan, kepuasan terhadap pekerjaan secara menyeluruh, kepuasan
pembayaran, kepuasan kerja dengan adanya promosi, kepuasan terhadap bobot
pekerjaan, kepuasan dengan atasan, kepuasan dengan rekan kerja, kepuasan
dengan kondisi kerja. Kepuasan terhadap adanya aspirasi karir, harapan dan
komitmen organisasi juga merupakan faktor-faktor yang dapat menentukan intensi
turnover karyawan.
Menurut (Novliadi, 2007), faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya
intensi turnover adalah sebagai berikut :
a. Usia
Tingkat turnover yang cenderung lebih tinggi pada karyawan berusia muda
disebabkan karena karyawan memiliki keinginan untuk mencoba-coba pekerjaan
atau organisasi kerja serta ingin mendapatkan keyakinan diri lebih besar melalui
cara coba-coba tersebut.
b. Lama Kerja
Semakin lama masa kerja semakin rendah kecenderungan turnovernya.
Turnover lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa kerja lebih singkat.
Interaksi dengan usia, kurangnya sosialisasi awal merupakan keadaan-keadaan
yang memungkinkan turnover tersebut.
23
c. Tingkat pendidikan dan intellegensi
Dikatakan bahwa karyawan yang mempunyai tingkat intellegensi tidak terlalu
tinggi akan memandang tugas-tugas yang sulit sebagai tekanan dan sumber
kecemasan. Karyawan mudah merasa gelisah akan tanggung jawab yang
diberikan padanya dan merasa tidak aman. Sebaliknya karyawan yang mempunyai
tingkat intellegensi yang lebih tinggi akan merasa cepat bosan dengan pekerjaan-
pekerjaan yang monoton. Karyawan akan lebih berani keluar dan mencari
pekerjaan baru dari pada karyawan yang tingkat pendidikannya terbatas, karena
kemampuan intelegensinya yang terbatas pula.
b. Keterikatan terhadap perusahaan
Pekerja yang mempunyai rasa keterikatan yang kuat terhadap perusahaan
berarti mempunyai dan membentuk perasaan memiliki (sense of belonging), rasa
aman, efikasi, tujuan dan arti hidup serta gambaran diri positif. Akibat secara
langsung adalah menurunnya dorongan diri untuk berpindah pekerjaan dan
perusahaan.
Berdasarkan teori mengenai faktor-faktor yang dikemukakan oleh Mobley,
dkk. (1979), Mobley (1986) dan Novliadi (2007) dapat disimpulkan bahwa faktor
yang mempengaruhi intensi turnover meliputi faktor individu seperti usia, masa
jabatan, jenis kelamin, pendidikan, data biografis, kepribadian, ketertarikan atau
minat, faktor organisasi seperti tipe industri, katagorisasi kerja dalam organisasi,
ukuran organisasi, ukuran unit kerja, upah, konten pekerjaan dalam organisasi,
gaya supervisor dan variabel organisasi lainnya seperti iklim organisasi, faktor
tenaga kerja dan faktor keterpaduan seperti kepuasan dan komitmen. Peneliti
24
memilih faktor iklim organisasi sebagai variabel bebas dalam penelitian ini karena
penelitian sebelumnya yaitu penelitian dari Suhanto (2009) yang menyarankan
untuk meneliti hubungan langsung antara iklim organisasi dengan intensi
turnover, dan adanya penelitian lain dengan variabel yang sama yang telah
dilakukan oleh Putra dan Suwandana (2017) maupun penelitian oleh Suliman dan
Obaidili (2011). Alasan lainnya adalah menurut Russel, dkk. (2010) iklim
organisasi merupakan prediktor signifikan dari niat perputaran karyawan.
Sama halnya dengan penelitian dari Donoghue (2010) yang menemukan
bahwa iklim organisasi positif berkontribusi terhadap penurunan niat karyawan
untuk meninggalkan organisasi. Lefkowitz (dalam Steers & Porter, 1983) juga
mengungkapkan hal yang sama bahwa kondisi lingkungan pekerjaan
mempengaruhi adanya intensi turnover dan pada akhirnya akan diikuti oleh
keluarnya karyawan dari organisasi. Hal ini berarti jika lingkungan pekerjaan
dipersepsikan negatif maka akan meningkatkan niat untuk keluar karyawan.
Selain didasarkan pada hasil penelitian terdahulu, pemilihan iklim organisasi
sebagai variabel bebas juga diperkuat oleh hasil wawancara kepada petugas dinas
lapangan di Koperasi Primkoveri Grup Kebumen bahwa alasan munculnya niat
untuk keluar adalah kurang kondusifnya iklim organisasi.
25
B. Iklim Organisasi
1. Iklim Organisasi
Menurut Davis dan Newstorm (dalam Sitorus, 2013) bahwa Iklim
organisasi merupakan sebuah konsep yang menggambarkan suasana internal
lingkungan organisasi yang dirasakan oleh anggotanya selama beraktivitas dalam
rangka tercapainya tujuan organisasi. Lebih lanjut Davis dan Newstorm (dalam
Sitorus, 2013) memandang iklim organisasi sebagai kepribadian sebuah organisasi
yang membedakan dengan organisasi lainnya yang mengarah pada persepsi
masing-masing anggota dalam memandang organisasi. Menurut Suarningsih, dkk.
(2013) iklim organisasi lebih menekankan pada persepsi karyawan terhadap
organisasinya yang di dalamnya mencakup kondisi psikologis di sekitar karyawan
yang berhubungan dengan kebijakan dan peraturan, tanggung jawab, pengakuan,
dukungan, struktur, standar serta kepemimpinan yang dapat mempengaruhi
karyawan dalam menjalankan tugasnya.
Iklim organisasi merupakan persepsi anggota organisasi (secara individual
dan kelompok) dan yang secara tetap berhubungan dengan organisasi (misalnya
pemasok, konsumen, konsultan dan kontraktor) mengenai apa yang ada atau
terjadi di lingkungan internal organisasi secara rutin, yang mempengaruhi sikap
dan perilaku organisasi dan kinerja anggota organisasi yang kemudian
menentukan kinerja organisasi (Wirawan, 2007). Menurut Litwin dan Stringer
(dalam Wirawan, 2007) iklim organisasi merupakan suatu konsep yang
melukiskan sifat subjektif atau kualitas lingkungan organisasi. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa unsur-unsurnya dapat dipersepsikan dan dialami oleh anggota
26
organisasi dan dilaporkan melalui kuesioner yang tepat. Hal ini berarti untuk
mengetahui iklim organisasi di sebuah perusahaan bisa menggunakan kuesioner
yang disusun berdasarkan indikator dari iklim organisasi. Reichers dan Scheneider
(dalam Vardi, 2001) mendefinisikan iklim sebagai suatu persepsi atau anggapan
bersama mengenai kebijakan organisasi, pelaksanaan kebijakan dan prosedur-
prosedur baik formal maupun informal. Sementara itu dalam penelitian (Setyowati
& Netra, 2017) iklim organisasi diartikan sebagai persepsi masing-masing
pegawai mengenai karakteristik dan kondisi organisasi yang mempengaruhi
perilaku pegawai dalam menjalani pekerjaannya
Pengertian mengenai iklim organisasi selanjutnya juga dijelaskan oleh
Putra dan Suwandana (2017) bahwa iklim organisasi merupakan kualitas dari
proses interaksi dalam sebuah organisasi untuk mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sehingga karyawan akan melakukan penilaian-penilaian tentang
perusahaan dan membentuk persepsi dalam dirinya tentang iklim organisasi
tempatnya bekerja. Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa ikllim organisasi
suatu organisasi terletak pada persepsi pegawainya. Iklim organisasi yang baik
penting untuk diciptakan karena merupakan persepsi seorang karyawan tentang
apa yang diberikan oleh organisasi dan dijadikan dasar bagi penentuan tingkah
laku karyawan selanjutnya (Sari, 2009).
Lussier (2005) mengatakan bahwa iklim organisasi adalah persepsi
pegawai mengenai kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif
dirasakan oleh anggota organisasi yang kemudian akan mempengaruhi perilaku
berikutnya. Sama hal nya dengan yang dikatakan oleh Muchinsky (dalam Sari,
27
2009) menjelsakan bahwa iklim organisasi lebih menekankan pada atribut dari
organisasi yang meliputi deskripsi organisasi, dan diukur berdasarkan persepsi
dari masing-masing anggota. Pendapat tersebut menunjukan bahwa baik buruknya
iklim organisasi tergantung pada penilaian subyektif anggota organisasi,
berdasarkan apa yang anggota lihat dan rasakan selama bekerja di perusahaan
tersebut.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas dapat
disimpulkan bahwa iklim organisasi adalah persepsi seseorang atau karyawan
terkait dengan lingkungan kerja fisik maupun non fisik mencakup kebijakan dan
peraturan, tanggung jawab, pengakuan, dukungan, struktur, standar serta
kepemimpinan di perusahaan tersebut di mana setiap perusahaan memiliki
karakteristik organisasi yang berbeda dengan organisasi atau perusahaan lain yang
akan mempengaruhi perilaku individu dalam organisasi.
2. Aspek Iklim Organisasi
Davis dan Newstrom (dalam Amriany, dkk. 2004) menentukan apek-aspek
penting iklim organisasi yaitu :
a. Kualitas kepemimpinan
Perilaku atau pola interaksi seorang pimpinan dalam mengkoordinasikan dan
mengerakkan bawahan untuk mencapai tujuan organisasi. Ada perbedaan
pendekatan di kalangan pemimpin dalam upaya mereka memotivasi pegawainya.
Kepemimpinan yang positif lebih mendesentralisasi wewenang, keputusan tidak
sepihak, tidak ada dominasi dari pimpinan yang dapat memotivasi pegawai untuk
mandiri (Davis & Newstorm, 1985). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kepemimpinan
28
yang negatif ditunjukan dengan sikap para pemimpin yang cenderung
mendominasi dan merasa unggul, adanya ancaman hukuman atau pemecatan,
menegur di depan umum dan lebih berperan sebagai boss ketimbang sebagai
pemimpin.
b. Kualitas tujuan organisasi
Berhubungan dengan tujuan organisasi yang dipandang sebagai arah yang
jelas, yang dibuat untuk jangka pendek dan jangka panjang, serta dapat dijabarkan
dalam kerja sehari-hari. Tanpa tujuan yang jelas, masing-masing anggota akan
bergerak ke arah yang berbeda-beda dan masalah ini akan terus berlangsung
selama tidak ada kesamaan pemahaman tujuan (Davis & Newstorm, 1985). Lebih
lanjut dijelaskan bahwa pemimpin perlu menjelasakan maksud di balik tujuan dan
perlunya tujuan itu karena orang-orang membutuhkan tujuan yang berarti bagi
mereka untuk dapat termotivasi sepenuhnya.
c. Keadilan kompensasi
Keadilan terhadap imbalan yang diterima dalam organisasi sebagai balas jasa
atas pekerjaan yang telah dilakukan, yang dapat dinilai dengan uang dan
mempunyai kecenderungan diberikan secara tetap. Menurut Mangkuprawira
(2014), keadilan kompensasi harus memenuhi keadilan internal dan eksternal.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa keadilan internal mensyaratkan bahwa pembayaran
dikaitkan dengan nilai relatif sebuah pekerjaan, sedangkan keadilan eksternal
berarti pembayaran terhadap pekerja merupakan yang dapat dibandingkan dengan
perusahaan lain di pasar kerja.
29
d. Tanggung jawab dan kepercayaan
Tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan organisasi kepada
karyawan. Tanggung jawab dan kepercayaan itu berupa kesempatan untuk
menjadi “atasan” bagi dirinya sendiri, sehingga tidak lagi memiliki kewajiban
selalu melapor pada atasan setiap kali membuat putusan. Selain itu organisasi juga
memberikan wewenang kepada karyawan untuk mengatur pekerjaannya.
e. Partisipasi
Tingkat peran anggota dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi
merupakan peran serta anggota organisasi dalam situasi kelompok yang
mendorong karyawan untuk memberikan kontribusi dalam pengambilan
keputusan. Manajer yang partisipatif berkonsultasi dengan pegawainya,
melibatkan pegawai dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
sehingga dapat bekerja sama sebagai sebuah tim (Davis & Newstrom, 1985).
Lebih lanjut dijelaskan bahwa partisipasi adalah keterlibatan mental dan
emosional orang-orang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk
memberikan kontribusi kepada tujuan kelompok dan berbagi tanggung jawab
pencapaian tujuan itu.
f. Komunikasi
Tingkat kapasitas individu atau kelompok untuk meminta dan memberikan
informasi, kerjasama dalam mendefinisikan masalah dan mencari jalan keluarnya,
termasuk di dalamnya adalah sikap terbuka terhadap informasi dan pendapat-
pendapat yang baru, membina hubungan yang baik dan saling percaya antar
anggota organisasi. Bila komunikasi sifatnya terbuka, karyawan akan mengetahui
30
masalah-masalah yang sedang dihadapi perusahaan dan akan berusaha
menanggapinya dengan baik (Muchlas, 2005). Lebih lanjut dijelaskan bahwa
dengan adanya komunikasi, para supervisor dapat memberikan instruksi-instruksi
yang diperlukan dan mengkoordinasikan bawahannya. Jika komunikasi berjalan
efektif, komunikasi mampu mendorong prestasi kerja yang lebih baik dan mampu
menimbulkan kepuasan kerja.
Menurut Litwin dan Stringer (dalam Wirawan, 2007) aspek iklim
organisasi adalah sebagai berikut :
a. Struktur (Structure), struktur organisasi merefleksikan perasaan di organisasi
secara baik dan mempunyai peran dan tanggung jawab yang jelas dalam
lingkungan organisasi. Struktur tinggi jika anggota merasa pekerjaan
didefinisikan secara baik. Strukur rendah jika karyawan merasa tidak ada
kejelasan mengenai siapa yang melakukan tugas dan mempunyai kewenangan
mengambil keputusan
b. Standar-standar (Standards), mengukur perasaan tekanan untuk
meningkatkan kinerja dan derajat kebanggaan yang dimiliki oleh anggota
organisasi dalam melakukan pekerjaan dengan baik. Standar-standar tinggi
artinya anggota organisasi selalu berupaya mencari jalan untuk meningkatkan
kinerja. Sebaliknya standar rendah merefleksikan harapan yang lebih rendah
untuk kinerja.
c. Tanggung jawab (Responsibility), merefleksikan perasaan karyawan bahwa
karyawan adalah “bos bagi diri sendiri” dan tidak memerlukan keputusannya
dilegitimasi oleh anggota organisasi lainnya. Persepsi tanggung jawab tinggi
31
menunjukkan anggotanya merasa didorong untuk memecahkan problemnya
sendiri. Tanggung jawab rendah menunjukkan bahwa pengambilan keputusan
dan percobaan terhadap pendekatan baru tidak diharapkan.
d. Penghargaan (Recognition), mengindikasikan bahwa anggota organisasi
merasa dihargai jika anggota dapat menyelesaikan tugas secara baik.
Penghargaan merupakan ukuran penghargaan yang dihadapkan dengan kritik
dan berkarakteristik keseimbangan antara karakter dan kritik. Penghargaan
rendah artinya penyelesaian pekerjaan dengan baik diberikan imbalan secara
tidak konsisten.
e. Dukungan (Support), merefleksikan perasaan percaya dan saling mendukung
terus berlangsung di antara kelompok kerja. Dukungan tinggi jika anggota
organisasi merasa bahwa bagian dari tim yang berfungsi dengan baik dan
merasa memperoleh bantuan dari atasannya, jika mengalami kesulitan dalam
menjalankan tugas. Jika dukungan rendah, anggota organisasi merasa
terisolasi dan tersisih sendiri.
f. Komitmen (Commitment), merefleksikan perasaan bangga anggota terhadap
organisasinya dan derajat keloyalan terhadap pencapaian tujuan organisasi.
Perasaan komitmen kuat berasosiasi dengan loyalitas personal. Level rendah
komitmen artinya karyawan merasa apatis terhadap organisasi dan tujuannya.
Berdasarkan aspek yang telah dikemukakan di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa aspek iklim organisasi meliputi kualitas kepemimpinan,
kualitas tujuan organisasi, keadilan kompensasi, tanggung jawab dan kepercayaan,
pertisipasi, komunikasi, struktur, standar-standar, dukungan dan komitmen. Pada
32
penelitian ini, peneliti memilih menggunakan aspek yang dikemukakan oleh
Davis dan Newstrom (dalam Amriany, dkk. 2004) karena aspek tersebut lebih
sesuai dengan hasil wawancara terhadap petugas dinas lapangan Koperasi
Primkoveri Grup Kebumen.
C. Hubungan Antara Iklim Organisasi Dengan Intensi Turnover Pada
Karyawan.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan langsung
antara iklim organisasi dengan intensi turnover. Seperti penelitian yang dilakukan
oleh Teh (2014) disimpulkan bahwa ada hubungan negatif antara iklim organisasi
dengan intensi turnover pada karyawan. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh
Ainan dan Listyorini (2017) dan penelitian oleh Setyowati dan Netra (2017)
memperkuat hubungan antara iklim organisasi dengan intensi turnover, yaitu ada
hubungan negatif antara iklim organisasi dengan intensi turnover pada karyawan.
Semakin positif iklim organisasi maka tingkat intensi turnover pada karyawan
semakin rendah, sebaliknya semakin negatif iklim organisasi maka tingkat
inetensi turnover pada karyawan akan semakin tinggi. Beberapa aspek dari iklim
organisasi terbukti berpengaruh terhadap intensi turnover.
Aspek kualitas kepemimpinan didefinisikan sebagai perilaku atau pola
interaksi seorang pimpinan dalam mengkoordinasikan dan mengerakkan bawahan
untuk mencapai tujuan organisasi (Davis & Newstrom (dalam Amriany, dkk.
2004). Persepsi karyawan terhadap kualitas kepemimpinan di dalam perusahaan
terbukti berpengaruh terhadap intensi turnover. Hal ini dibuktikan oleh hasil
33
penelitian Choi dan Lee (2011) yang menunjukkan bahwa kepemimpinan telah
diidentifikasi memberikan dampak negatif yang besar terhadap turnover intention
karyawan. Kepemimpinan yang baik lebih mendesentralisasi wewenang,
keputusan tidak sepihak, tidak ada dominasi dari pimpinan dan mampu
memotivasi pegawai untuk mandiri (Davis & Newstorm, 1985). Apabila kualitas
kepemimpinan dipersepsikan positif, maka karyawan akan menaati peraturan yang
ada dan loyal terhadap perusahaan. Jika karyawan loyal pada perusahaan tentu
akan tetap berada dalam perusahaan.
Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Hasibuan (2000) bahwa
pelaksanaan kepemimpinan cenderung menumbuhkan kepercayaan, partisipasi,
loyalitas dan internal motivasi para bawahan. Pernyataan tersebut diperkuat oleh
Nitisemito (1982) bahwa jika kualitas kepemimpinan dipersepsikan baik, maka
karyawan akan menaati peraturan yang sudah ditentukan dan akan meningkatkan
loyalitas kerja pada karyawan. Selanjutnya Kartono (1985) mengemukakan bahwa
tidak adanya loyalitas mengakibatkan terjadinya pemogokan, kemangkiran,
sabotase, absensi yang tinggi dan turnover (perpindahan). Penjelasan tersebut
menunjukan bahwa jika karyawan mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap
perusahaan akan menurunkan intensi turnover. Sebaliknya, kepemimpinan yang
negatif juga ditunjukan dengan sikap para pemimpin yang cenderung
mendominasi dan merasa unggul, adanya ancaman hukuman atau pemecatan,
menegur di depan umum dan lebih berperan sebagai boss ketimbang sebagai
pemimpin (Davis & Newstrom, 1985). Apabila kualitas pemimpin dipersepsikan
negatif maka akan membuat karyawan merasa kurang nyaman dalam bekerja dan
34
pada akhirnya akan membuat karyawan memiliki niat untuk keluar dari
pekerjaanya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wen (2007)
bahwa kepemimpinan memiliki pengaruh negatif terhadap niat keluar, di mana
jika kepemimpinan dipersepsikan positif maka akan menurunkan niat untuk keluar
dari perusahaan, dan sebaliknya jika kepemimpinan dipersepsikan negatif, akan
meningkatkan niat untuk keluar karyawan.
Aspek kualitas tujuan organisasi didefinisikan sebagai tujuan organisasi
yang dipandang sebagai arah yang jelas, yang dibuat untuk jangka pendek dan
jangka panjang, serta dapat dijabarkan dalam kerja sehari-hari (Davis &
Newstrom (dalam Amriany, dkk. 2004). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kualitas
tujuan organisasi dipersepsikan positif jika tujuan organisasi yang dipandang
sebagai arah yang jelas, yang dibuat untuk jangka pendek dan jangka panjang,
serta dapat dijabarkan dalam kerja sehari-hari. Apabila demikian maka karyawan
akan termotivasi untuk bekerja dan meningkatkan komitmen karyawan terhadap
perusahaan serta akan menurukan niat karyawan untuk meninggalkan perusahaan.
Sebaliknya, kualitas tujuan organisasi dipersepsikan negatif jika tujuan organisasi
dipandang kurang memiliki arah yang jelas dan tidak dapat dijabarkan dalam
kehidupan sehari-hari (Davis & Newstrom (dalam Amriany, dkk. 2004). Apabila
kualitas tujuan organisasi dipersepsikan negatif maka akan membuat karyawan
tidak ada motivasi untuk bekerja serta menurunkan komitmen karyawan terhadap
perusahaan. Hal tersebut tentu akan meningkatkan niat untuk keluar dari
pekerjaannya dan mencari perusahaan yang mempunyai tujuan yang jelas.
Pernyataan di atas sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Mowday (dalam,
35
Sedarmayanti & Kuswanto, 2015) bahwa keyakinan dan penerimaan yang kuat
oleh individu terhadap tujuan organisasi merupakan faktor utama untuk melihat
komitmen karyawan terhadap organisasi. Hal ini menandakan bahwa apabila
tujuan organisasi tidak jelas tentu tidak akan diterima oleh karyawan dan
komitmen karyawan menjadi rendah. Jika hal ini terjadi tentu akan meningkatkan
niat karyawan untuk keluar dari organisasi dan mencari pekerjaan lain yang lebih
jelas. Pernyataan tersebut diperkuat oleh penelitian dari Oktarini dan Indrawati
(2014) bahwa jika komitmen karyawan terhadap organisasi rendah maka akan
meningkatkan niat untuk keluar karyawan.
Aspek selanjutnya adalah keadilan kompensasi atau pemberian imbalan.
Karyawan selalu mengharapkan adanya keadilan dan keterbukaan pada sistem dan
proses pemberian kompensasi (Retnaningsih, 2007). Menurut Mangkuprawira
(2014), keadilan kompensasi harus memenuhi keadilan internal dan eksternal.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa keadilan internal mensyaratkan bahwa pembayaran
dikaitkan dengan nilai relatif sebuah pekerjaan, sedangkan keadilan eksternal
berarti pembayaran terhadap pekerja merupakan yang dapat dibandingkan dengan
perusahaan lain di pasar kerja. Keadilan kompensasi dipersepsikan baik apabila
jumlah imbalan yang diterima berdasarkan kualifikasi diri pribadi seperti
pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan, pengalaman, imbalan yang diterima
sama dengan jabatan di organisasi atau perusahaan lain dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Siagian, 2014). Hal ini berarti
apabila keadilan kompensasi dipersepsikan baik atau positif oleh karyawan, maka
karyawan akan merasa dihargai kinerjanya dan meningkatkan motivasi karyawan
36
untuk tetap berada di perusahaan tersebut sehingga menurunkan niat untuk keluar
dari perusahaan. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Oktarini dan Indrawati
(2014) bahwa karyawan yang mempunyai persepsi yang positif terhadap keadilan
kompensasi akan menilai kompensasi yang diberikan adil sehingga menunjukkan
keinginan karyawan tetap berada dalam organisasi, mempunyai sikap loyalitas
serta menerima nilai dan tujuan organisasi.
Sebaliknya, keadilan kompensasi dipersepsikan negatif apabila jumlah
imbalan yang diterima tidak berdasarkan kualifikasi diri pribadi seperti
pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan, pengalaman, imbalan yang diterima
tidak sama dengan jabatan di organisasi atau perusahaan lain, tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan adanya kesenjangan antara
usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima
(Siagian, 2014). Apabila keadilan kompensasi dipersepsikan negatif oleh
karyawan maka akan membuat karyawan merasa tidak dihargai kinerjanya serta
menurunkan motivasi bekerja. Apabila demikian maka karyawan cenderung untuk
melakukan tindakan negatif sebagai respon atas perlakuan organisasinya, seperti
mengundurkan diri atau keluar dari organisasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan
dari (Fajar & Heru, 2010) bahwa bila kompensasi dirasakan tidak adil, karyawan
yang baik (yang dibutuhkan organisasi) mungkin akan keluar. Siagian (2014) juga
berpendapat bahwa persepsi ketidakadilan menyebabkan berbagai dampak negatif
bagi organisasi seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran tinggi, sering
terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para karyawan berbuat
kesalahan dalam melakukan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan
37
perpindahan karyawan ke organisasi lain. Pernyataan tersebut diperkuat oleh
Mangkuprawira (2014) yang menyatakan bahwa tanpa kompensasi yang cukup,
karyawan yang ada sangat mungkin untuk meninggalkan perusahaan dan untuk
melakukan penempatan kembali tidaklah mudah.
Aspek tanggung jawab dan kepercayaan berkaitan dengan bagaimana
anggota merasa mampu membuat keputusan tanpa harus meminta konfirmasi
dengan atasan langsung sehingga dapat dikatakan bahwa karyawan diberikan
otoritas dan kepercayaan dalam pengambilan keputusan sesuai perannya (Davis &
Newstrom (dalam Amriany, dkk. 2004). Aspek tanggung jawab dan kepercayaan
dipersepsikan positif apabila karyawan merasa diberikan tanggung jawab dan
kepercayaan untuk mengelola perannya secara mandiri. Hal ini sesuai dengan
pernyataan dari Alwi (2001) bahwa jika perusahaan meletakan SDM sebagai
keunggulan kompetitif maka konsekuensinya ialah, manajemen harus mendorong
peran karyawan kearah posisi memiliki tanggung jawab yang lebih besar, lebih
memberikan kebebasan bagi karyawan mengambil keputusan dan berkreasi. Lebih
lanjut dijelaskan bahwa konsep tersebut meletakan faktor kepemimpinan dalam
peran yang tidak bersifat sentralistik tetapi lebih kearah desentralisasi dengan
tetap berlandaskan pada komitmen semua orang terhadap pencapaian arah dan
tujuan. Pimpinan juga harus percaya kepada kemampuan bawahan dan
memberikan kepercayaan itu tanpa keraguan (Alwi, 2001). Hal tersebut
merupakan gambaran dari aspek tanggung jawab dan kepercayaan yang dinilai
secara positif oleh karyawan. Apabila tanggung jawab dan kepercayaan
dipersepsikan positif maka akan membuat karyawan merasa dihargai dan semakin
38
betah di perusahaan. Karyawan merasa mempunyai peran dalam perusahaan
sehingga akan meningkatkan komitmen terhadap perusahaan dan menurunkan niat
untuk berpindah.
Sebaliknya, tanggung jawab dan kepercayaan dipersepsikan negatif
apabila perusahaan tidak memberikan kepercayaan dan tanggung jawab secara
penuh kepada karyawannya untuk mengelola pekerjaanya. Apabila tanggung
jawab dan kepercayaan dipersepsikan negatif maka akan membuat karyawan
merasa tidak diberikan kebebasan dalam melakukan pekerjaan, seperti ditekan
oleh atasan sehingga menimbulkan ketidaknyamanan dalam bekerja. Apabila
demikian maka akan meningkatkan niat karyawan untuk keluar mencari pekerjaan
baru. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Setyowati dan Netra
(2017) bahwa iklim organisasi yang tidak baik salah satunya adalah keputusan
karyawan yang masih sering dilegitimasi oleh orang lain. Hal ini berarti tidak
adanya kebebasan karyawan dalam melakukan pekerjaan sesuai perannya atau
tidak adanya otonomi karyawan. Apabila hal itu terjadi maka akan meningkatkan
niat karyawan untuk keluar dari perusahaan. Perusahaan perlu memperluas
otonomi karyawan agar karyawan mempunyai keleluasaan dalam bekerja.
Aspek komunikasi didefinisikan sebagai tingkat kapasitas individu atau
kelompok untuk meminta dan memberikan informasi, kerjasama dalam
mendefinisikan masalah dan mencari jalan keluarnya, termasuk di dalamnya
adalah sikap terbuka terhadap informasi dan pendapat-pendapat yang baru (Davis
dan Newtorm, dalam Amriany, dkk. 2004). Komunikasi yang baik ditunjukan
dengan adanya jalinan pengertian antara pihak yang satu dengan pihak lain,
39
sehingga apa yang dikomunikasikan dapat dimengerti, dipikirkan dan akhirnya
dilaksanakan (Nitisemito, 1982). Lebih lanjut dijelaskan bahwa komunikasi yang
baik harus lengkap, tepat waktu dan tepat sasaran, adanya kepercayaan,
menghindari kata-kata yang kurang enak, sesuai situasi dan kondisi dan adanya
komunikasi timbal balik baik dari atasan ke bawahan maupun pada tingkat yang
sejajar. Jika demikian, maka akan membuat karyawan memahami instruksi-
instruksi dan saran-saran yang diberikan sehingga memperlancar pekerjaanya
serta mengurangi niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya yang akan diikuti
oleh tindakan atau perilaku langsung berupa turnover.
Hal ini sesuai dengan penjelasan dari Muhammad (2001) bahwa iklim
komunikasi di dalam organisasi merupakan hal yang perlu menjadi perhatian
seorang pemimpin organisasi karena faktor tersebut sedikit banyaknya ikut
mempengaruhi tingkah laku karyawan. Sementara itu Mobley (1986) menyatakan
bahwa adanya komunikasi (tingkat penyebarluasan informasi di kalangan
anggota-anggota dari suatu system sosial) menghasilkan tingkat pergantian
karyawan secara sukarela yang lebih rendah. Sebaliknya, komunikasi yang kurang
baik jika komunikasi tidak lengkap, tidak tepat waktu dan tidak tepat sasaran,
tidak adanya kepercayaan, menggunakan kata-kata yang kurang enak, tidak
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi dan tidak adanya komunikasi timbal
balik baik dari atasan ke bawahan maupun pada tingkat yang sejajar. Apabila
komunikasi dipersepsikan negatif maka akan mempengaruhi tingkah laku
karyawan di dalam perusahaan seperti ketidaknyamanan dalam perusahaan yang
akan berpengaruh terhadap keinginan untuk keluar dari perusahaan. Seperti yang
40
dijelaskan oleh Pradiansyah (1999) bahwa komunikasi dalam organisasi
merupakan upaya untuk membangun kepercayaan (building trust) dan keterlibatan
pegawai. Komunikasi yang terjalin efektif di antara anggota organisasi dapat
mempengaruhi kepercayaan pegawai dan keterlibatan pegawai pada kegiatan
organisasi.
Menurut (Steers & Porter, 1983) bahwa keterlibatan secara aktif dalam
organisasi merupakan salah satu aspek penting yang menentukan komitmen
pegawai pada organisasi. Hal ini berarti bahwa keterlibatan karyawan pada
organisasi yang semakin intens lambat laun akan meningkatkan komitmennya
pada organisasi. Apabila komitmen karyawan terhadap perusahaan tinggi maka
akan menurunkan niat karyawan untuk keluar dari perusahaan. Hal ini diperkuat
oleh penelitian dari Handaru dan Muna (2012) bahwa komitmen organisasi
berpengaruh terhadap intensi turnover atau niat untuk keluar.
Aspek lain yang berpengaruh terhadap intensi turnover adalah partisipasi.
Partisipasi merupakan peran serta anggota organisasi dalam situasi kelompok
yang mendorong karyawan untuk memberikan kontribusi dalam pengambilan
keputusan (Davis & Newstrom (dalam Amriany, dkk. 2004). Partisipasi
dipersepsikan positif jika manajer berkonsultasi dengan pegawainya, melibatkan
pegawai dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan sehingga dapat
bekerja sama sebagai sebuah tim (Davis & Newstrom, 1985). Apabila aspek
partisipasi dipersepsikan karyawan secara positif maka akan meningkatkan
kepedulian karyawan terhadap organisasi dan semakin berkomitmen terhadap
organisasi. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh (Steers dan Porter,
41
1983) bahwa keterlibatan secara aktif dalam organisasi merupakan salah satu
aspek penting yang menentukan komitmen pegawai pada organisasi. Apabila
komitmen karyawan tinggi maka meningkatkan motivasi karyawan untuk tetap
berada di perusahaan tersebut dan mengurangi niat untuk keluar dari perusahaan.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Oktarini dan Indrawati (2014)
bahwa komitmen karyawan pada organisasi akan memberikan keuntungan, seperti
berkurangnya kasus kemangkiran, intensi turnover serta mengurangi biaya dalam
pemeliharaan SDM.
Sebaliknya, partisipasi dipersepsikan negatif apabila anggota tidak
diberikan kesempatan untuk berperan dalam proses pengambilan keputusan
(Davis & Newstrom, 1985). Hal ini menunjukan karyawan dianggap tidak penting
dan dianggap tidak mampu berkontribusi dalam pengambilan keputusan. Apabila
aspek partisipasi dipersepsikan negatif oleh karyawan maka akan menurunkan
kepedulian karyawan terhadap organisasi, karyawan merasa tidak berguna di
perusahaan sehingga dapat menurunkan komitmen terhadap organisasi. Apabila
komitmen karyawan rendah maka menurunkan motivasi karyawan untuk tetap
berada di perusahaan tersebut dan meningkatkan niat untuk keluar dari
perusahaan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh (Dewi, 2013)
komitmen karyawan ditunjukkan dengan keterlibatannya secara aktif dalam
organisasi serta aktif dalam mencapai tujuan organisasi. Hal ini berarti apabila
karyawan tidak terlibat secara aktif dalam perusahaan, maka akan menurunkan
komitmen organisasi dan meningkatkan niat untuk keluar dari perusahaan. Hal
tersebut diperkuat oleh pernyataan dari Mobley (1986) bahwa tidak adanya
42
keterlibatan karyawan sangat berpengaruh terhadap terjadinya kemangkiran atau
perpindahan karyawan.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap aspek iklim
organisasi terbukti berpengaruh terhadap intensi turnover. Penelitian terdahulu
memperkuat pernyataan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Putra dan
Suwandana (2017) menunjukan bahwa iklim organisasi berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap intensi turnover. Semakin positif iklim organisasi maka
tingkat intensi turnover pada karyawan semakin rendah, sebaliknya semakin
negatif iklim organisasi maka tingkat intensi turnover pada karyawan akan
semakin tinggi. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel iklim
organisasi memiliki pengaruh yang negatif dengan intensi turnover pada
karyawan.
D. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pemaparan teori, hasil penelitian dan dinamika hubungan
antara iklim organisasi dan intensi turnover, dapat dirumuskan suatu hipotesis
yaitu terdapat hubungan yang negatif antara iklim organisasi dengan intensi
turnover pada petugas dinas lapangan (PDL) di Koperasi Primkoveri Grup
Kebumen, di mana semakin positif iklim organisasi maka tingkat intensi turnover
pada petugas dinas lapangan (PDL) di Koperasi Primkoveri Grup Kebumen
semakin rendah dan sebaliknya, semakin negatif iklim organisasi maka tingkat
intensi turnover pada petugas dinas lapangan (PDL) di Koperasi Primkoveri Grup
Kebumen akan semakin tinggi.