27
16 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keinginan Berpindah (Intensi Turnover) Pada Karyawan 1. Pengertian Intensi Turnover Pada Karyawan Mobley (1986) mengungkapkan bahwa intensi turnover ditandai dengan adanya niatan untuk keluar dari organisasi dan keinginan untuk mencari pekerjaan alternatif lain yang lebih baik dari organisasi sebelumnya. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Harnoto (dalam Anita, 2016) bahwa intensi turnover adalah kadar atau intensitas dari keinginan untuk keluar dari perusahaan, banyak alasan timbulnya intensi turnover ini dan di antaranya adalah keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Abdillah (2012) menyatakan intensi turnover merupakan suatu keadaan di mana karyawan memiliki niat yang dilakukan secara sadar untuk mencari suatu pekerjaan lain sebagai alternatif di organisasi yang berbeda. Sama hal nya yang dikatakan oleh Jewell dan Siegall (1998) bahwa intensi turnover ditandai dengan adanya ketertarikan individu yang kuat terhadap berbagai alternatif pekerjaan lain di luar organisasi. Intensi turnover juga didefinisikan sebagai faktor yang memediasi keinginan dan tindakan berhenti dari organisasi itu sendiri (Glissmeyer, dkk. 2008). Sementara itu sumber lain mengatakan bahwa intensi turnover diindikasikan sebagai sikap individu yang mengacu pada hasil evaluasi mengenai kelangsungan hubungannya dengan organisasi di mana dirinya bekerja dan belum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Keinginan Berpindah (Intensi ...eprints.mercubuana-yogya.ac.id/2378/2/BAB II .pdf · melakukan pindah kerja, lebih sering melakukan protes terhadap kebijakan-kebijakan

  • Upload
    lamdiep

  • View
    215

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Keinginan Berpindah (Intensi Turnover) Pada Karyawan

1. Pengertian Intensi Turnover Pada Karyawan

Mobley (1986) mengungkapkan bahwa intensi turnover ditandai dengan

adanya niatan untuk keluar dari organisasi dan keinginan untuk mencari pekerjaan

alternatif lain yang lebih baik dari organisasi sebelumnya. Hal ini senada dengan

yang dikemukakan oleh Harnoto (dalam Anita, 2016) bahwa intensi turnover

adalah kadar atau intensitas dari keinginan untuk keluar dari perusahaan, banyak

alasan timbulnya intensi turnover ini dan di antaranya adalah keinginan untuk

mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

Abdillah (2012) menyatakan intensi turnover merupakan suatu keadaan di

mana karyawan memiliki niat yang dilakukan secara sadar untuk mencari suatu

pekerjaan lain sebagai alternatif di organisasi yang berbeda. Sama hal nya yang

dikatakan oleh Jewell dan Siegall (1998) bahwa intensi turnover ditandai dengan

adanya ketertarikan individu yang kuat terhadap berbagai alternatif pekerjaan lain

di luar organisasi. Intensi turnover juga didefinisikan sebagai faktor yang

memediasi keinginan dan tindakan berhenti dari organisasi itu sendiri

(Glissmeyer, dkk. 2008).

Sementara itu sumber lain mengatakan bahwa intensi turnover

diindikasikan sebagai sikap individu yang mengacu pada hasil evaluasi mengenai

kelangsungan hubungannya dengan organisasi di mana dirinya bekerja dan belum

17

terwujud dalam bentuk tindakan pasti (Suwandi & Indriantoro, 1999). Intensi

turnover mencerminkan keinginan individu untuk meninggalkan organisasi dan

mencari alternatif pekerjaan lain (Suhanto, 2009). Intensi turnover menunjukkan

tingkat kecenderungan sikap yang dimiliki oleh karyawan untuk mencari

pekerjaan baru di tempat lain atau adanya rencana untuk meninggalkan

perusahaan dalam masa tiga bulan yang akan datang, enam bulan yang akan

datang, satu tahun yang akan datang dan dua tahun yang akan datang (Low, dkk.

dalam Widodo, 2010). Sikap lain yang secara simultan muncul dalam individu

ketika muncul intensi turnover adalah keinginan untuk mencari lowongan

pekerjaan lain, mengevaluasi kemungkinan untuk menemukan pekerjaan yang

lebih baik di tempat lain. Niat untuk meninggalkan mengacu pada niat sukarela

individu untuk meninggalkan organisasi saat ini atau pekerjaan saat ini (Dave,

2012).

Menurut Martin (dalam Setyowati, 2017) keinginan keluar atau intensi

turnover adalah proses psikologis seorang individu ketika sedang

mempertimbangkan pilihan pekerjaan alternatif karena beberapa ukuran

ketidakpuasan dengan situasi pekerjaan saat ini. Intensi turnover merupakan suatu

keadaan di mana karyawan memiliki niat yang dilakukan secara sadar untuk

mencari suatu pekerjaan lain sebagai alternatif di organisasi yang berbeda dan

turnover adalah pergerakan keluarnya tenaga kerja dari tempatnya bekerja

(Abdillah, 2012). Mobley (1986) mengatakan bahwa intensi turnover merupakan

tanda awal terjadinya turnover karena terdapat hubungan yang signifikan antara

intensi turnover dan turnover.

18

Berdasarkan paparan pengertian mengenai intensi turnover oleh para ahli

di atas dapat disimpulkan bahwa intensi turnover pada karyawan adalah suatu

keadaan di mana karyawan mempunyai niat secara sadar untuk keluar dari

organisasi atau perusahaan secara sukarela dan keinginan untuk mencari alternatif

pekerjaan lain yang lebih baik dari pekerjaan sebelumnya.

2. Aspek-Aspek Intensi Turnover

Aspek-aspek intensi turnover menurut Abelson (dalam Hidayati, 2016) yang

meliputi:

a. Pikiran untuk keluar yaitu saat karyawan merasa diperlakukan tidak adil,

maka terlintas dalam pikiran karyawan untuk keluar dari organisasi.

b. Keinginan untuk mencari pekerjaan baru yaitu ketidakmampuan suatu

organisasi untuk memenuhi kebutuhan karyawan dapat memicu karyawan

untuk berpikir mencari alternatif pekerjaan pada organisasi yang lain.

c. Mengevaluasi kemungkinan menemukan pekerjaan lain yaitu karyawan

melihat adanya peluang untuk menemukan pekerjaan lain.

d. Keinginan untuk meninggalkan organisasi dalam beberapa bulan mendatang

yaitu karyawan memiliki motivasi untuk mencari pekerjaan baru pada

organisasi lain dalam beberapa bulan mendatang yang dianggap mampu

memenuhi kebutuhan karyawan (adil terhadap karyawan).

Menurut Harnoto (2002), aspek atau tanda-tanda dari adanya intensi

turnover adalah sebagai berikut :

a. Absensi yang meningkat. Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan

pindah kerja biasanya ditandai dengan absensi yang semakin meningkat.

19

Tingkat tanggung jawab karyawan dalam fase ini sangat kurang dibandingkan

dengan sebelumnya.

b. Mulai malas bekerja. Karyawan yang berkeinginan untuk melakukan pindah

kerja, akan lebih malas bekerja karena orientasi karyawan ini adalah bekerja

di tempat lainnya yang dipandang lebih mampu memenuhi semua keinginan

karyawan yang bersangkutan.

c. Peningkatan terhadap pelanggaran tata tertib kerja. Berbagai pelanggaran

terhadap tata tertib di dalam lingkungan pekerjaan sering dilakukan karyawan

yang akan melakukan turnover. Karyawan lebih sering meninggalkan tempat

kerja, ketika jam kerja berlangsung, maupun berbagai bentuk pelanggaran

lainnya.

d. Peningkatan protes terhadap atasan. Karyawan yang berkeinginan untuk

melakukan pindah kerja, lebih sering melakukan protes terhadap kebijakan-

kebijakan perusahaan terhadap atasan. Materi protes yang ditekankan

biasanya berhubungan dengan balas jasa atau aturan lain yang tidak

sependapat dengan keinginan karyawan.

e. Perilaku positif yang sangat berbeda dari biasanya. Biasanya hal ini berlaku

untuk karyawan yang karakteristik positif. Karyawan ini mempunyai

tanggung jawab yang tinggi terhadap tugas yang dibebankan, dan jika

perilaku positif ini meningkat jauh dan berbeda dari biasanya justru

menunjukan karyawan ini akan melakukan turnover.

20

Berdasarkan aspek intensi turnover yang dipaparkan oleh Abelson (dalam

Hidayat, 2016) dan Harnoto (2002) dapat disimpulkan bahwa aspek intensi

turnover meliputi, pikiran untuk keluar dari organisasi, keinginan untuk mencari

pekerjaan baru yang sesuai bakat minat dan kondisi lingkungan yang lebih baik,

mengevaluasi kemungkinan menemukan pekerjaan lain dan keinginan untuk

meninggalkan organisasi dalam beberapa bulan mendatang, absensi yang

meningkat, mulai malas bekerja, peningkatan pelanggaran tata tertib, peningkatan

protes terhadap atasan dan peningkatan perilaku positif. Peneliti memilih aspek

intensi turnover yang dikemukakan oleh Abelson (dalam Hidayati, 2016) yaitu

pikiran untuk keluar dari organisasi, keinginan untuk mencari pekerjaan baru yang

sesuai bakat minat dan kondisi lingkungan yang lebih baik, mengevaluasi

kemungkinan menemukan pekerjaan lain dan keinginan untuk meninggalkan

organisasi dalam beberapa bulan mendatang untuk dijadikan panduan dalam

membuat alat ukur penelitian ini karena lebih jelas sehingga memudahkan peneliti

dalam membuat alat ukur. Selain itu aspek ini lebih sesuai dengan keadaan yang

terjadi pada petugas dinas lapangan (PDL) Koperasi Primkoveri Grup Kebumen.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Intensi Tunorver

Mobley, dkk. (1979) dan Mobley (1986) menggariskan secara detil faktor-

faktor yang mempengaruhi intensi turnover yang dibedakan dari faktor pasar

tenaga kerja, faktor organisasi, faktor individu dan faktor keterpaduan.

21

a. Faktor Tenaga kerja

Mobley menjelaskan bahwa analisis ekonomi yang menyebabkan terjadinya

inflasi dan kemungkinan dampak adanya pertukaran tenaga kerja menyebabkan

intensi turnover.

b. Faktor Organisasi

Ada beberapa hal yang menyebabkan intensi turnover karyawan dilihat dari

sisi organisasi yaitu dari tipe industri, katagorisasi kerja dalam organisasi, ukuran

organisasi, ukuran unit kerja, upah, konten pekerjaan dalam organisasi, gaya

supervise dan variable organisasi lainnya seperti iklim organisasi, komunikasi

yang mana hal-hal tersebut mempengaruhi intensi turnover karyawan. Iklim

organisasi merupakan persepsi anggota organisasi (secara individual dan

kelompok) yang secara tetap berhubungan dengan organisasi (misalnya pemasok,

konsumen, konsultan dan kontraktor) mengenai apa yang ada atau terjadi di

lingkungan internal organisasi secara rutin, yang mempengaruhi sikap dan

perilaku organisasi dan kinerja anggota organisasi yang kemudian menentukan

kinerja organisasi (Wirawan, 2007).

c. Faktor Individu.

Dalam aspek ini usia muda, masa jabatan, jenis kelamin, pendidikan, data

biografis, kepribadian, ketertarikan atau minat, bakat dan kemampuan, sumber

penyerahan, profesionalisme, prestasi, ketidakhadiran atau kemangkiran

menyebabkan besar kemungkinannya individu dari suatu organisasi untuk keluar.

22

d. Faktor Keterpaduan.

Dalam aspek ini kepuasan kerja karyawan secara keseluruhan merupakan

faktor yang dapat menentukan intensi turnover. Kepuasan kerja meliputi kepuasan

dengan pekerjaan, kepuasan terhadap pekerjaan secara menyeluruh, kepuasan

pembayaran, kepuasan kerja dengan adanya promosi, kepuasan terhadap bobot

pekerjaan, kepuasan dengan atasan, kepuasan dengan rekan kerja, kepuasan

dengan kondisi kerja. Kepuasan terhadap adanya aspirasi karir, harapan dan

komitmen organisasi juga merupakan faktor-faktor yang dapat menentukan intensi

turnover karyawan.

Menurut (Novliadi, 2007), faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya

intensi turnover adalah sebagai berikut :

a. Usia

Tingkat turnover yang cenderung lebih tinggi pada karyawan berusia muda

disebabkan karena karyawan memiliki keinginan untuk mencoba-coba pekerjaan

atau organisasi kerja serta ingin mendapatkan keyakinan diri lebih besar melalui

cara coba-coba tersebut.

b. Lama Kerja

Semakin lama masa kerja semakin rendah kecenderungan turnovernya.

Turnover lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa kerja lebih singkat.

Interaksi dengan usia, kurangnya sosialisasi awal merupakan keadaan-keadaan

yang memungkinkan turnover tersebut.

23

c. Tingkat pendidikan dan intellegensi

Dikatakan bahwa karyawan yang mempunyai tingkat intellegensi tidak terlalu

tinggi akan memandang tugas-tugas yang sulit sebagai tekanan dan sumber

kecemasan. Karyawan mudah merasa gelisah akan tanggung jawab yang

diberikan padanya dan merasa tidak aman. Sebaliknya karyawan yang mempunyai

tingkat intellegensi yang lebih tinggi akan merasa cepat bosan dengan pekerjaan-

pekerjaan yang monoton. Karyawan akan lebih berani keluar dan mencari

pekerjaan baru dari pada karyawan yang tingkat pendidikannya terbatas, karena

kemampuan intelegensinya yang terbatas pula.

b. Keterikatan terhadap perusahaan

Pekerja yang mempunyai rasa keterikatan yang kuat terhadap perusahaan

berarti mempunyai dan membentuk perasaan memiliki (sense of belonging), rasa

aman, efikasi, tujuan dan arti hidup serta gambaran diri positif. Akibat secara

langsung adalah menurunnya dorongan diri untuk berpindah pekerjaan dan

perusahaan.

Berdasarkan teori mengenai faktor-faktor yang dikemukakan oleh Mobley,

dkk. (1979), Mobley (1986) dan Novliadi (2007) dapat disimpulkan bahwa faktor

yang mempengaruhi intensi turnover meliputi faktor individu seperti usia, masa

jabatan, jenis kelamin, pendidikan, data biografis, kepribadian, ketertarikan atau

minat, faktor organisasi seperti tipe industri, katagorisasi kerja dalam organisasi,

ukuran organisasi, ukuran unit kerja, upah, konten pekerjaan dalam organisasi,

gaya supervisor dan variabel organisasi lainnya seperti iklim organisasi, faktor

tenaga kerja dan faktor keterpaduan seperti kepuasan dan komitmen. Peneliti

24

memilih faktor iklim organisasi sebagai variabel bebas dalam penelitian ini karena

penelitian sebelumnya yaitu penelitian dari Suhanto (2009) yang menyarankan

untuk meneliti hubungan langsung antara iklim organisasi dengan intensi

turnover, dan adanya penelitian lain dengan variabel yang sama yang telah

dilakukan oleh Putra dan Suwandana (2017) maupun penelitian oleh Suliman dan

Obaidili (2011). Alasan lainnya adalah menurut Russel, dkk. (2010) iklim

organisasi merupakan prediktor signifikan dari niat perputaran karyawan.

Sama halnya dengan penelitian dari Donoghue (2010) yang menemukan

bahwa iklim organisasi positif berkontribusi terhadap penurunan niat karyawan

untuk meninggalkan organisasi. Lefkowitz (dalam Steers & Porter, 1983) juga

mengungkapkan hal yang sama bahwa kondisi lingkungan pekerjaan

mempengaruhi adanya intensi turnover dan pada akhirnya akan diikuti oleh

keluarnya karyawan dari organisasi. Hal ini berarti jika lingkungan pekerjaan

dipersepsikan negatif maka akan meningkatkan niat untuk keluar karyawan.

Selain didasarkan pada hasil penelitian terdahulu, pemilihan iklim organisasi

sebagai variabel bebas juga diperkuat oleh hasil wawancara kepada petugas dinas

lapangan di Koperasi Primkoveri Grup Kebumen bahwa alasan munculnya niat

untuk keluar adalah kurang kondusifnya iklim organisasi.

25

B. Iklim Organisasi

1. Iklim Organisasi

Menurut Davis dan Newstorm (dalam Sitorus, 2013) bahwa Iklim

organisasi merupakan sebuah konsep yang menggambarkan suasana internal

lingkungan organisasi yang dirasakan oleh anggotanya selama beraktivitas dalam

rangka tercapainya tujuan organisasi. Lebih lanjut Davis dan Newstorm (dalam

Sitorus, 2013) memandang iklim organisasi sebagai kepribadian sebuah organisasi

yang membedakan dengan organisasi lainnya yang mengarah pada persepsi

masing-masing anggota dalam memandang organisasi. Menurut Suarningsih, dkk.

(2013) iklim organisasi lebih menekankan pada persepsi karyawan terhadap

organisasinya yang di dalamnya mencakup kondisi psikologis di sekitar karyawan

yang berhubungan dengan kebijakan dan peraturan, tanggung jawab, pengakuan,

dukungan, struktur, standar serta kepemimpinan yang dapat mempengaruhi

karyawan dalam menjalankan tugasnya.

Iklim organisasi merupakan persepsi anggota organisasi (secara individual

dan kelompok) dan yang secara tetap berhubungan dengan organisasi (misalnya

pemasok, konsumen, konsultan dan kontraktor) mengenai apa yang ada atau

terjadi di lingkungan internal organisasi secara rutin, yang mempengaruhi sikap

dan perilaku organisasi dan kinerja anggota organisasi yang kemudian

menentukan kinerja organisasi (Wirawan, 2007). Menurut Litwin dan Stringer

(dalam Wirawan, 2007) iklim organisasi merupakan suatu konsep yang

melukiskan sifat subjektif atau kualitas lingkungan organisasi. Lebih lanjut

dijelaskan bahwa unsur-unsurnya dapat dipersepsikan dan dialami oleh anggota

26

organisasi dan dilaporkan melalui kuesioner yang tepat. Hal ini berarti untuk

mengetahui iklim organisasi di sebuah perusahaan bisa menggunakan kuesioner

yang disusun berdasarkan indikator dari iklim organisasi. Reichers dan Scheneider

(dalam Vardi, 2001) mendefinisikan iklim sebagai suatu persepsi atau anggapan

bersama mengenai kebijakan organisasi, pelaksanaan kebijakan dan prosedur-

prosedur baik formal maupun informal. Sementara itu dalam penelitian (Setyowati

& Netra, 2017) iklim organisasi diartikan sebagai persepsi masing-masing

pegawai mengenai karakteristik dan kondisi organisasi yang mempengaruhi

perilaku pegawai dalam menjalani pekerjaannya

Pengertian mengenai iklim organisasi selanjutnya juga dijelaskan oleh

Putra dan Suwandana (2017) bahwa iklim organisasi merupakan kualitas dari

proses interaksi dalam sebuah organisasi untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan sehingga karyawan akan melakukan penilaian-penilaian tentang

perusahaan dan membentuk persepsi dalam dirinya tentang iklim organisasi

tempatnya bekerja. Dari pendapat ini dapat disimpulkan bahwa ikllim organisasi

suatu organisasi terletak pada persepsi pegawainya. Iklim organisasi yang baik

penting untuk diciptakan karena merupakan persepsi seorang karyawan tentang

apa yang diberikan oleh organisasi dan dijadikan dasar bagi penentuan tingkah

laku karyawan selanjutnya (Sari, 2009).

Lussier (2005) mengatakan bahwa iklim organisasi adalah persepsi

pegawai mengenai kualitas lingkungan internal organisasi yang secara relatif

dirasakan oleh anggota organisasi yang kemudian akan mempengaruhi perilaku

berikutnya. Sama hal nya dengan yang dikatakan oleh Muchinsky (dalam Sari,

27

2009) menjelsakan bahwa iklim organisasi lebih menekankan pada atribut dari

organisasi yang meliputi deskripsi organisasi, dan diukur berdasarkan persepsi

dari masing-masing anggota. Pendapat tersebut menunjukan bahwa baik buruknya

iklim organisasi tergantung pada penilaian subyektif anggota organisasi,

berdasarkan apa yang anggota lihat dan rasakan selama bekerja di perusahaan

tersebut.

Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli di atas dapat

disimpulkan bahwa iklim organisasi adalah persepsi seseorang atau karyawan

terkait dengan lingkungan kerja fisik maupun non fisik mencakup kebijakan dan

peraturan, tanggung jawab, pengakuan, dukungan, struktur, standar serta

kepemimpinan di perusahaan tersebut di mana setiap perusahaan memiliki

karakteristik organisasi yang berbeda dengan organisasi atau perusahaan lain yang

akan mempengaruhi perilaku individu dalam organisasi.

2. Aspek Iklim Organisasi

Davis dan Newstrom (dalam Amriany, dkk. 2004) menentukan apek-aspek

penting iklim organisasi yaitu :

a. Kualitas kepemimpinan

Perilaku atau pola interaksi seorang pimpinan dalam mengkoordinasikan dan

mengerakkan bawahan untuk mencapai tujuan organisasi. Ada perbedaan

pendekatan di kalangan pemimpin dalam upaya mereka memotivasi pegawainya.

Kepemimpinan yang positif lebih mendesentralisasi wewenang, keputusan tidak

sepihak, tidak ada dominasi dari pimpinan yang dapat memotivasi pegawai untuk

mandiri (Davis & Newstorm, 1985). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kepemimpinan

28

yang negatif ditunjukan dengan sikap para pemimpin yang cenderung

mendominasi dan merasa unggul, adanya ancaman hukuman atau pemecatan,

menegur di depan umum dan lebih berperan sebagai boss ketimbang sebagai

pemimpin.

b. Kualitas tujuan organisasi

Berhubungan dengan tujuan organisasi yang dipandang sebagai arah yang

jelas, yang dibuat untuk jangka pendek dan jangka panjang, serta dapat dijabarkan

dalam kerja sehari-hari. Tanpa tujuan yang jelas, masing-masing anggota akan

bergerak ke arah yang berbeda-beda dan masalah ini akan terus berlangsung

selama tidak ada kesamaan pemahaman tujuan (Davis & Newstorm, 1985). Lebih

lanjut dijelaskan bahwa pemimpin perlu menjelasakan maksud di balik tujuan dan

perlunya tujuan itu karena orang-orang membutuhkan tujuan yang berarti bagi

mereka untuk dapat termotivasi sepenuhnya.

c. Keadilan kompensasi

Keadilan terhadap imbalan yang diterima dalam organisasi sebagai balas jasa

atas pekerjaan yang telah dilakukan, yang dapat dinilai dengan uang dan

mempunyai kecenderungan diberikan secara tetap. Menurut Mangkuprawira

(2014), keadilan kompensasi harus memenuhi keadilan internal dan eksternal.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa keadilan internal mensyaratkan bahwa pembayaran

dikaitkan dengan nilai relatif sebuah pekerjaan, sedangkan keadilan eksternal

berarti pembayaran terhadap pekerja merupakan yang dapat dibandingkan dengan

perusahaan lain di pasar kerja.

29

d. Tanggung jawab dan kepercayaan

Tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan organisasi kepada

karyawan. Tanggung jawab dan kepercayaan itu berupa kesempatan untuk

menjadi “atasan” bagi dirinya sendiri, sehingga tidak lagi memiliki kewajiban

selalu melapor pada atasan setiap kali membuat putusan. Selain itu organisasi juga

memberikan wewenang kepada karyawan untuk mengatur pekerjaannya.

e. Partisipasi

Tingkat peran anggota dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi

merupakan peran serta anggota organisasi dalam situasi kelompok yang

mendorong karyawan untuk memberikan kontribusi dalam pengambilan

keputusan. Manajer yang partisipatif berkonsultasi dengan pegawainya,

melibatkan pegawai dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan

sehingga dapat bekerja sama sebagai sebuah tim (Davis & Newstrom, 1985).

Lebih lanjut dijelaskan bahwa partisipasi adalah keterlibatan mental dan

emosional orang-orang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk

memberikan kontribusi kepada tujuan kelompok dan berbagi tanggung jawab

pencapaian tujuan itu.

f. Komunikasi

Tingkat kapasitas individu atau kelompok untuk meminta dan memberikan

informasi, kerjasama dalam mendefinisikan masalah dan mencari jalan keluarnya,

termasuk di dalamnya adalah sikap terbuka terhadap informasi dan pendapat-

pendapat yang baru, membina hubungan yang baik dan saling percaya antar

anggota organisasi. Bila komunikasi sifatnya terbuka, karyawan akan mengetahui

30

masalah-masalah yang sedang dihadapi perusahaan dan akan berusaha

menanggapinya dengan baik (Muchlas, 2005). Lebih lanjut dijelaskan bahwa

dengan adanya komunikasi, para supervisor dapat memberikan instruksi-instruksi

yang diperlukan dan mengkoordinasikan bawahannya. Jika komunikasi berjalan

efektif, komunikasi mampu mendorong prestasi kerja yang lebih baik dan mampu

menimbulkan kepuasan kerja.

Menurut Litwin dan Stringer (dalam Wirawan, 2007) aspek iklim

organisasi adalah sebagai berikut :

a. Struktur (Structure), struktur organisasi merefleksikan perasaan di organisasi

secara baik dan mempunyai peran dan tanggung jawab yang jelas dalam

lingkungan organisasi. Struktur tinggi jika anggota merasa pekerjaan

didefinisikan secara baik. Strukur rendah jika karyawan merasa tidak ada

kejelasan mengenai siapa yang melakukan tugas dan mempunyai kewenangan

mengambil keputusan

b. Standar-standar (Standards), mengukur perasaan tekanan untuk

meningkatkan kinerja dan derajat kebanggaan yang dimiliki oleh anggota

organisasi dalam melakukan pekerjaan dengan baik. Standar-standar tinggi

artinya anggota organisasi selalu berupaya mencari jalan untuk meningkatkan

kinerja. Sebaliknya standar rendah merefleksikan harapan yang lebih rendah

untuk kinerja.

c. Tanggung jawab (Responsibility), merefleksikan perasaan karyawan bahwa

karyawan adalah “bos bagi diri sendiri” dan tidak memerlukan keputusannya

dilegitimasi oleh anggota organisasi lainnya. Persepsi tanggung jawab tinggi

31

menunjukkan anggotanya merasa didorong untuk memecahkan problemnya

sendiri. Tanggung jawab rendah menunjukkan bahwa pengambilan keputusan

dan percobaan terhadap pendekatan baru tidak diharapkan.

d. Penghargaan (Recognition), mengindikasikan bahwa anggota organisasi

merasa dihargai jika anggota dapat menyelesaikan tugas secara baik.

Penghargaan merupakan ukuran penghargaan yang dihadapkan dengan kritik

dan berkarakteristik keseimbangan antara karakter dan kritik. Penghargaan

rendah artinya penyelesaian pekerjaan dengan baik diberikan imbalan secara

tidak konsisten.

e. Dukungan (Support), merefleksikan perasaan percaya dan saling mendukung

terus berlangsung di antara kelompok kerja. Dukungan tinggi jika anggota

organisasi merasa bahwa bagian dari tim yang berfungsi dengan baik dan

merasa memperoleh bantuan dari atasannya, jika mengalami kesulitan dalam

menjalankan tugas. Jika dukungan rendah, anggota organisasi merasa

terisolasi dan tersisih sendiri.

f. Komitmen (Commitment), merefleksikan perasaan bangga anggota terhadap

organisasinya dan derajat keloyalan terhadap pencapaian tujuan organisasi.

Perasaan komitmen kuat berasosiasi dengan loyalitas personal. Level rendah

komitmen artinya karyawan merasa apatis terhadap organisasi dan tujuannya.

Berdasarkan aspek yang telah dikemukakan di atas dapat diambil

kesimpulan bahwa aspek iklim organisasi meliputi kualitas kepemimpinan,

kualitas tujuan organisasi, keadilan kompensasi, tanggung jawab dan kepercayaan,

pertisipasi, komunikasi, struktur, standar-standar, dukungan dan komitmen. Pada

32

penelitian ini, peneliti memilih menggunakan aspek yang dikemukakan oleh

Davis dan Newstrom (dalam Amriany, dkk. 2004) karena aspek tersebut lebih

sesuai dengan hasil wawancara terhadap petugas dinas lapangan Koperasi

Primkoveri Grup Kebumen.

C. Hubungan Antara Iklim Organisasi Dengan Intensi Turnover Pada

Karyawan.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa terdapat hubungan langsung

antara iklim organisasi dengan intensi turnover. Seperti penelitian yang dilakukan

oleh Teh (2014) disimpulkan bahwa ada hubungan negatif antara iklim organisasi

dengan intensi turnover pada karyawan. Selain itu penelitian yang dilakukan oleh

Ainan dan Listyorini (2017) dan penelitian oleh Setyowati dan Netra (2017)

memperkuat hubungan antara iklim organisasi dengan intensi turnover, yaitu ada

hubungan negatif antara iklim organisasi dengan intensi turnover pada karyawan.

Semakin positif iklim organisasi maka tingkat intensi turnover pada karyawan

semakin rendah, sebaliknya semakin negatif iklim organisasi maka tingkat

inetensi turnover pada karyawan akan semakin tinggi. Beberapa aspek dari iklim

organisasi terbukti berpengaruh terhadap intensi turnover.

Aspek kualitas kepemimpinan didefinisikan sebagai perilaku atau pola

interaksi seorang pimpinan dalam mengkoordinasikan dan mengerakkan bawahan

untuk mencapai tujuan organisasi (Davis & Newstrom (dalam Amriany, dkk.

2004). Persepsi karyawan terhadap kualitas kepemimpinan di dalam perusahaan

terbukti berpengaruh terhadap intensi turnover. Hal ini dibuktikan oleh hasil

33

penelitian Choi dan Lee (2011) yang menunjukkan bahwa kepemimpinan telah

diidentifikasi memberikan dampak negatif yang besar terhadap turnover intention

karyawan. Kepemimpinan yang baik lebih mendesentralisasi wewenang,

keputusan tidak sepihak, tidak ada dominasi dari pimpinan dan mampu

memotivasi pegawai untuk mandiri (Davis & Newstorm, 1985). Apabila kualitas

kepemimpinan dipersepsikan positif, maka karyawan akan menaati peraturan yang

ada dan loyal terhadap perusahaan. Jika karyawan loyal pada perusahaan tentu

akan tetap berada dalam perusahaan.

Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Hasibuan (2000) bahwa

pelaksanaan kepemimpinan cenderung menumbuhkan kepercayaan, partisipasi,

loyalitas dan internal motivasi para bawahan. Pernyataan tersebut diperkuat oleh

Nitisemito (1982) bahwa jika kualitas kepemimpinan dipersepsikan baik, maka

karyawan akan menaati peraturan yang sudah ditentukan dan akan meningkatkan

loyalitas kerja pada karyawan. Selanjutnya Kartono (1985) mengemukakan bahwa

tidak adanya loyalitas mengakibatkan terjadinya pemogokan, kemangkiran,

sabotase, absensi yang tinggi dan turnover (perpindahan). Penjelasan tersebut

menunjukan bahwa jika karyawan mempunyai loyalitas yang tinggi terhadap

perusahaan akan menurunkan intensi turnover. Sebaliknya, kepemimpinan yang

negatif juga ditunjukan dengan sikap para pemimpin yang cenderung

mendominasi dan merasa unggul, adanya ancaman hukuman atau pemecatan,

menegur di depan umum dan lebih berperan sebagai boss ketimbang sebagai

pemimpin (Davis & Newstrom, 1985). Apabila kualitas pemimpin dipersepsikan

negatif maka akan membuat karyawan merasa kurang nyaman dalam bekerja dan

34

pada akhirnya akan membuat karyawan memiliki niat untuk keluar dari

pekerjaanya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wen (2007)

bahwa kepemimpinan memiliki pengaruh negatif terhadap niat keluar, di mana

jika kepemimpinan dipersepsikan positif maka akan menurunkan niat untuk keluar

dari perusahaan, dan sebaliknya jika kepemimpinan dipersepsikan negatif, akan

meningkatkan niat untuk keluar karyawan.

Aspek kualitas tujuan organisasi didefinisikan sebagai tujuan organisasi

yang dipandang sebagai arah yang jelas, yang dibuat untuk jangka pendek dan

jangka panjang, serta dapat dijabarkan dalam kerja sehari-hari (Davis &

Newstrom (dalam Amriany, dkk. 2004). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kualitas

tujuan organisasi dipersepsikan positif jika tujuan organisasi yang dipandang

sebagai arah yang jelas, yang dibuat untuk jangka pendek dan jangka panjang,

serta dapat dijabarkan dalam kerja sehari-hari. Apabila demikian maka karyawan

akan termotivasi untuk bekerja dan meningkatkan komitmen karyawan terhadap

perusahaan serta akan menurukan niat karyawan untuk meninggalkan perusahaan.

Sebaliknya, kualitas tujuan organisasi dipersepsikan negatif jika tujuan organisasi

dipandang kurang memiliki arah yang jelas dan tidak dapat dijabarkan dalam

kehidupan sehari-hari (Davis & Newstrom (dalam Amriany, dkk. 2004). Apabila

kualitas tujuan organisasi dipersepsikan negatif maka akan membuat karyawan

tidak ada motivasi untuk bekerja serta menurunkan komitmen karyawan terhadap

perusahaan. Hal tersebut tentu akan meningkatkan niat untuk keluar dari

pekerjaannya dan mencari perusahaan yang mempunyai tujuan yang jelas.

Pernyataan di atas sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Mowday (dalam,

35

Sedarmayanti & Kuswanto, 2015) bahwa keyakinan dan penerimaan yang kuat

oleh individu terhadap tujuan organisasi merupakan faktor utama untuk melihat

komitmen karyawan terhadap organisasi. Hal ini menandakan bahwa apabila

tujuan organisasi tidak jelas tentu tidak akan diterima oleh karyawan dan

komitmen karyawan menjadi rendah. Jika hal ini terjadi tentu akan meningkatkan

niat karyawan untuk keluar dari organisasi dan mencari pekerjaan lain yang lebih

jelas. Pernyataan tersebut diperkuat oleh penelitian dari Oktarini dan Indrawati

(2014) bahwa jika komitmen karyawan terhadap organisasi rendah maka akan

meningkatkan niat untuk keluar karyawan.

Aspek selanjutnya adalah keadilan kompensasi atau pemberian imbalan.

Karyawan selalu mengharapkan adanya keadilan dan keterbukaan pada sistem dan

proses pemberian kompensasi (Retnaningsih, 2007). Menurut Mangkuprawira

(2014), keadilan kompensasi harus memenuhi keadilan internal dan eksternal.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa keadilan internal mensyaratkan bahwa pembayaran

dikaitkan dengan nilai relatif sebuah pekerjaan, sedangkan keadilan eksternal

berarti pembayaran terhadap pekerja merupakan yang dapat dibandingkan dengan

perusahaan lain di pasar kerja. Keadilan kompensasi dipersepsikan baik apabila

jumlah imbalan yang diterima berdasarkan kualifikasi diri pribadi seperti

pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan, pengalaman, imbalan yang diterima

sama dengan jabatan di organisasi atau perusahaan lain dan sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku (Siagian, 2014). Hal ini berarti

apabila keadilan kompensasi dipersepsikan baik atau positif oleh karyawan, maka

karyawan akan merasa dihargai kinerjanya dan meningkatkan motivasi karyawan

36

untuk tetap berada di perusahaan tersebut sehingga menurunkan niat untuk keluar

dari perusahaan. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Oktarini dan Indrawati

(2014) bahwa karyawan yang mempunyai persepsi yang positif terhadap keadilan

kompensasi akan menilai kompensasi yang diberikan adil sehingga menunjukkan

keinginan karyawan tetap berada dalam organisasi, mempunyai sikap loyalitas

serta menerima nilai dan tujuan organisasi.

Sebaliknya, keadilan kompensasi dipersepsikan negatif apabila jumlah

imbalan yang diterima tidak berdasarkan kualifikasi diri pribadi seperti

pendidikan, keterampilan, sifat pekerjaan, pengalaman, imbalan yang diterima

tidak sama dengan jabatan di organisasi atau perusahaan lain, tidak sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan adanya kesenjangan antara

usaha yang dibuat bagi kepentingan organisasi dengan imbalan yang diterima

(Siagian, 2014). Apabila keadilan kompensasi dipersepsikan negatif oleh

karyawan maka akan membuat karyawan merasa tidak dihargai kinerjanya serta

menurunkan motivasi bekerja. Apabila demikian maka karyawan cenderung untuk

melakukan tindakan negatif sebagai respon atas perlakuan organisasinya, seperti

mengundurkan diri atau keluar dari organisasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan

dari (Fajar & Heru, 2010) bahwa bila kompensasi dirasakan tidak adil, karyawan

yang baik (yang dibutuhkan organisasi) mungkin akan keluar. Siagian (2014) juga

berpendapat bahwa persepsi ketidakadilan menyebabkan berbagai dampak negatif

bagi organisasi seperti ketidakpuasan, tingkat kemangkiran tinggi, sering

terjadinya kecelakaan dalam penyelesaian tugas, seringnya para karyawan berbuat

kesalahan dalam melakukan pekerjaan masing-masing, pemogokan atau bahkan

37

perpindahan karyawan ke organisasi lain. Pernyataan tersebut diperkuat oleh

Mangkuprawira (2014) yang menyatakan bahwa tanpa kompensasi yang cukup,

karyawan yang ada sangat mungkin untuk meninggalkan perusahaan dan untuk

melakukan penempatan kembali tidaklah mudah.

Aspek tanggung jawab dan kepercayaan berkaitan dengan bagaimana

anggota merasa mampu membuat keputusan tanpa harus meminta konfirmasi

dengan atasan langsung sehingga dapat dikatakan bahwa karyawan diberikan

otoritas dan kepercayaan dalam pengambilan keputusan sesuai perannya (Davis &

Newstrom (dalam Amriany, dkk. 2004). Aspek tanggung jawab dan kepercayaan

dipersepsikan positif apabila karyawan merasa diberikan tanggung jawab dan

kepercayaan untuk mengelola perannya secara mandiri. Hal ini sesuai dengan

pernyataan dari Alwi (2001) bahwa jika perusahaan meletakan SDM sebagai

keunggulan kompetitif maka konsekuensinya ialah, manajemen harus mendorong

peran karyawan kearah posisi memiliki tanggung jawab yang lebih besar, lebih

memberikan kebebasan bagi karyawan mengambil keputusan dan berkreasi. Lebih

lanjut dijelaskan bahwa konsep tersebut meletakan faktor kepemimpinan dalam

peran yang tidak bersifat sentralistik tetapi lebih kearah desentralisasi dengan

tetap berlandaskan pada komitmen semua orang terhadap pencapaian arah dan

tujuan. Pimpinan juga harus percaya kepada kemampuan bawahan dan

memberikan kepercayaan itu tanpa keraguan (Alwi, 2001). Hal tersebut

merupakan gambaran dari aspek tanggung jawab dan kepercayaan yang dinilai

secara positif oleh karyawan. Apabila tanggung jawab dan kepercayaan

dipersepsikan positif maka akan membuat karyawan merasa dihargai dan semakin

38

betah di perusahaan. Karyawan merasa mempunyai peran dalam perusahaan

sehingga akan meningkatkan komitmen terhadap perusahaan dan menurunkan niat

untuk berpindah.

Sebaliknya, tanggung jawab dan kepercayaan dipersepsikan negatif

apabila perusahaan tidak memberikan kepercayaan dan tanggung jawab secara

penuh kepada karyawannya untuk mengelola pekerjaanya. Apabila tanggung

jawab dan kepercayaan dipersepsikan negatif maka akan membuat karyawan

merasa tidak diberikan kebebasan dalam melakukan pekerjaan, seperti ditekan

oleh atasan sehingga menimbulkan ketidaknyamanan dalam bekerja. Apabila

demikian maka akan meningkatkan niat karyawan untuk keluar mencari pekerjaan

baru. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Setyowati dan Netra

(2017) bahwa iklim organisasi yang tidak baik salah satunya adalah keputusan

karyawan yang masih sering dilegitimasi oleh orang lain. Hal ini berarti tidak

adanya kebebasan karyawan dalam melakukan pekerjaan sesuai perannya atau

tidak adanya otonomi karyawan. Apabila hal itu terjadi maka akan meningkatkan

niat karyawan untuk keluar dari perusahaan. Perusahaan perlu memperluas

otonomi karyawan agar karyawan mempunyai keleluasaan dalam bekerja.

Aspek komunikasi didefinisikan sebagai tingkat kapasitas individu atau

kelompok untuk meminta dan memberikan informasi, kerjasama dalam

mendefinisikan masalah dan mencari jalan keluarnya, termasuk di dalamnya

adalah sikap terbuka terhadap informasi dan pendapat-pendapat yang baru (Davis

dan Newtorm, dalam Amriany, dkk. 2004). Komunikasi yang baik ditunjukan

dengan adanya jalinan pengertian antara pihak yang satu dengan pihak lain,

39

sehingga apa yang dikomunikasikan dapat dimengerti, dipikirkan dan akhirnya

dilaksanakan (Nitisemito, 1982). Lebih lanjut dijelaskan bahwa komunikasi yang

baik harus lengkap, tepat waktu dan tepat sasaran, adanya kepercayaan,

menghindari kata-kata yang kurang enak, sesuai situasi dan kondisi dan adanya

komunikasi timbal balik baik dari atasan ke bawahan maupun pada tingkat yang

sejajar. Jika demikian, maka akan membuat karyawan memahami instruksi-

instruksi dan saran-saran yang diberikan sehingga memperlancar pekerjaanya

serta mengurangi niat karyawan untuk keluar dari pekerjaannya yang akan diikuti

oleh tindakan atau perilaku langsung berupa turnover.

Hal ini sesuai dengan penjelasan dari Muhammad (2001) bahwa iklim

komunikasi di dalam organisasi merupakan hal yang perlu menjadi perhatian

seorang pemimpin organisasi karena faktor tersebut sedikit banyaknya ikut

mempengaruhi tingkah laku karyawan. Sementara itu Mobley (1986) menyatakan

bahwa adanya komunikasi (tingkat penyebarluasan informasi di kalangan

anggota-anggota dari suatu system sosial) menghasilkan tingkat pergantian

karyawan secara sukarela yang lebih rendah. Sebaliknya, komunikasi yang kurang

baik jika komunikasi tidak lengkap, tidak tepat waktu dan tidak tepat sasaran,

tidak adanya kepercayaan, menggunakan kata-kata yang kurang enak, tidak

menyesuaikan dengan situasi dan kondisi dan tidak adanya komunikasi timbal

balik baik dari atasan ke bawahan maupun pada tingkat yang sejajar. Apabila

komunikasi dipersepsikan negatif maka akan mempengaruhi tingkah laku

karyawan di dalam perusahaan seperti ketidaknyamanan dalam perusahaan yang

akan berpengaruh terhadap keinginan untuk keluar dari perusahaan. Seperti yang

40

dijelaskan oleh Pradiansyah (1999) bahwa komunikasi dalam organisasi

merupakan upaya untuk membangun kepercayaan (building trust) dan keterlibatan

pegawai. Komunikasi yang terjalin efektif di antara anggota organisasi dapat

mempengaruhi kepercayaan pegawai dan keterlibatan pegawai pada kegiatan

organisasi.

Menurut (Steers & Porter, 1983) bahwa keterlibatan secara aktif dalam

organisasi merupakan salah satu aspek penting yang menentukan komitmen

pegawai pada organisasi. Hal ini berarti bahwa keterlibatan karyawan pada

organisasi yang semakin intens lambat laun akan meningkatkan komitmennya

pada organisasi. Apabila komitmen karyawan terhadap perusahaan tinggi maka

akan menurunkan niat karyawan untuk keluar dari perusahaan. Hal ini diperkuat

oleh penelitian dari Handaru dan Muna (2012) bahwa komitmen organisasi

berpengaruh terhadap intensi turnover atau niat untuk keluar.

Aspek lain yang berpengaruh terhadap intensi turnover adalah partisipasi.

Partisipasi merupakan peran serta anggota organisasi dalam situasi kelompok

yang mendorong karyawan untuk memberikan kontribusi dalam pengambilan

keputusan (Davis & Newstrom (dalam Amriany, dkk. 2004). Partisipasi

dipersepsikan positif jika manajer berkonsultasi dengan pegawainya, melibatkan

pegawai dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan sehingga dapat

bekerja sama sebagai sebuah tim (Davis & Newstrom, 1985). Apabila aspek

partisipasi dipersepsikan karyawan secara positif maka akan meningkatkan

kepedulian karyawan terhadap organisasi dan semakin berkomitmen terhadap

organisasi. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh (Steers dan Porter,

41

1983) bahwa keterlibatan secara aktif dalam organisasi merupakan salah satu

aspek penting yang menentukan komitmen pegawai pada organisasi. Apabila

komitmen karyawan tinggi maka meningkatkan motivasi karyawan untuk tetap

berada di perusahaan tersebut dan mengurangi niat untuk keluar dari perusahaan.

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Oktarini dan Indrawati (2014)

bahwa komitmen karyawan pada organisasi akan memberikan keuntungan, seperti

berkurangnya kasus kemangkiran, intensi turnover serta mengurangi biaya dalam

pemeliharaan SDM.

Sebaliknya, partisipasi dipersepsikan negatif apabila anggota tidak

diberikan kesempatan untuk berperan dalam proses pengambilan keputusan

(Davis & Newstrom, 1985). Hal ini menunjukan karyawan dianggap tidak penting

dan dianggap tidak mampu berkontribusi dalam pengambilan keputusan. Apabila

aspek partisipasi dipersepsikan negatif oleh karyawan maka akan menurunkan

kepedulian karyawan terhadap organisasi, karyawan merasa tidak berguna di

perusahaan sehingga dapat menurunkan komitmen terhadap organisasi. Apabila

komitmen karyawan rendah maka menurunkan motivasi karyawan untuk tetap

berada di perusahaan tersebut dan meningkatkan niat untuk keluar dari

perusahaan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh (Dewi, 2013)

komitmen karyawan ditunjukkan dengan keterlibatannya secara aktif dalam

organisasi serta aktif dalam mencapai tujuan organisasi. Hal ini berarti apabila

karyawan tidak terlibat secara aktif dalam perusahaan, maka akan menurunkan

komitmen organisasi dan meningkatkan niat untuk keluar dari perusahaan. Hal

tersebut diperkuat oleh pernyataan dari Mobley (1986) bahwa tidak adanya

42

keterlibatan karyawan sangat berpengaruh terhadap terjadinya kemangkiran atau

perpindahan karyawan.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap aspek iklim

organisasi terbukti berpengaruh terhadap intensi turnover. Penelitian terdahulu

memperkuat pernyataan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Putra dan

Suwandana (2017) menunjukan bahwa iklim organisasi berpengaruh negatif dan

signifikan terhadap intensi turnover. Semakin positif iklim organisasi maka

tingkat intensi turnover pada karyawan semakin rendah, sebaliknya semakin

negatif iklim organisasi maka tingkat intensi turnover pada karyawan akan

semakin tinggi. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel iklim

organisasi memiliki pengaruh yang negatif dengan intensi turnover pada

karyawan.

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pemaparan teori, hasil penelitian dan dinamika hubungan

antara iklim organisasi dan intensi turnover, dapat dirumuskan suatu hipotesis

yaitu terdapat hubungan yang negatif antara iklim organisasi dengan intensi

turnover pada petugas dinas lapangan (PDL) di Koperasi Primkoveri Grup

Kebumen, di mana semakin positif iklim organisasi maka tingkat intensi turnover

pada petugas dinas lapangan (PDL) di Koperasi Primkoveri Grup Kebumen

semakin rendah dan sebaliknya, semakin negatif iklim organisasi maka tingkat

intensi turnover pada petugas dinas lapangan (PDL) di Koperasi Primkoveri Grup

Kebumen akan semakin tinggi.