54
22 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. Tinjauan tentang Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan a. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan 1) Hierarki Norma Hukum Negara Hans Kelsen sebagaimana dikutip oleh Maria Farida Indrati S. (2007: 41) mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum (Stufentheorie), yang artinya bahwa norma hukum itu berjenjang- jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar (Grundnorm). Teori tersebut kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky, yang merupakan salah seorang murid Hans Kelsen. Hans Nawiasky mengemukakan teori jenjang norma dalam suatu negara (die Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen). Hans Nawiasky sebagaimana dikutip oleh Maria Farida Indrati S. (2007: 41) berpendapat bahwa selain norma yang berlapis-lapis dan berjenjang- jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok- kelompok sebagaimana dipisahkan dalam 4 (empat) kelompok besar berikut ini: a) Kelompok I (Staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental Negara), merupakan norma dasar bagi pembentukan konstitusi dan undang-undang dari suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Ia terlebih dahulu ada sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori atau Konseptual

1. Tinjauan tentang Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan

a. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

1) Hierarki Norma Hukum Negara

Hans Kelsen sebagaimana dikutip oleh Maria Farida Indrati S.

(2007: 41) mengemukakan teori mengenai jenjang norma hukum

(Stufentheorie), yang artinya bahwa norma hukum itu berjenjang-

jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam

arti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar

pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku,

bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian

seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih

lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu Norma Dasar

(Grundnorm). Teori tersebut kemudian dikembangkan oleh Hans

Nawiasky, yang merupakan salah seorang murid Hans Kelsen. Hans

Nawiasky mengemukakan teori jenjang norma dalam suatu negara (die

Theorie vom Stufenordnung der Rechtsnormen). Hans Nawiasky

sebagaimana dikutip oleh Maria Farida Indrati S. (2007: 41)

berpendapat bahwa selain norma yang berlapis-lapis dan berjenjang-

jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-

kelompok sebagaimana dipisahkan dalam 4 (empat) kelompok besar

berikut ini:

a) Kelompok I (Staatsfundamentalnorm atau Norma Fundamental

Negara), merupakan norma dasar bagi pembentukan konstitusi

dan undang-undang dari suatu negara (Staatsverfassung),

termasuk norma pengubahannya. Ia terlebih dahulu ada sebelum

adanya konstitusi atau undang-undang dasar.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

23

b) Kelompok II (Staatsgrundgesetz atau Aturan Dasar Negara atau

Aturan Pokok Negara), merupakan aturan-aturan yang masih

bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang masih

bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma hukum

tunggal.

c) Kelompok III (Formell Gesetz atau Undang-Undang ‘Formal’),

merupakan norma hukum yang lebih konkret dan terinci, serta

sudah dapat langsung berlaku di dalam masyarakat. Norma-norma

hukum dalam Undang-Undang ini tidak saja norma hukum yang

bersifat tunggal, tetapi norma-norma hukum itu dapat merupakan

norma hukum yang berpasangan, sehingga terdapat norma hukum

sekunder di samping norma hukum primernya. Di dalam Undang-

Undang sudah dapat dicantumkan norma-norma yang bersifat

sanksi, baik itu sanksi pidana atau sanksi pemaksa.

d) Kelompok IV (Verordnung dan Autonome Satzung atau Aturan

Pelaksana dan Aturan Otonom), merupakan peraturan-peraturan

yang terletak di bawah undang-undang yang berfungsi

menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang.

Peraturan Pelaksanaan bersumber dari kewenangan delegasi,

sedangkan Peraturan Otonom bersumber dari kewenangan

atribusi. Atribusi kewenangan merupakan pemberian kewenangan

membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan oleh

Grondwet (Undang-Undang Dasar) atau wet (Undang-Undang)

kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan. Sementara

delegasi kewenangan merupakan pelimpahan kewenangan

membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah, baik pelimpahan

dinyatakan dengan tegas maupun tidak.

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

24

Pengelompokan norma hukum menurut Hans Nawiasky dapat

digambarkan dalam sebuah piramida sebagaimana penulis sajikan

berikut ini:

Gambar 1. Tata Susunan Norma Hukum Negara (die Theorie

vom Stufenordnung der Rechtsnormen).

b. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Secara normatif, hierarki peraturan perundang-undangan di

Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan. Jenis dan hierarki peraturan perundang-

undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan adalah sebagai berikut:

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Propinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai

dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Formell Gesetz

Staatsfundamentalnorm

m

Staatsgrundgesetz

Verordnung dan

Autonome Satzung

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

25

Rumusan ketentuan tersebut mencerminkan teori jenjang norma

hukum negara yang dikemukakan oleh Hans Nawiasky sebagaimana dapat

disajikan dalam gambar berikut ini:

Gambar 2. Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-

Undangan di Indonesia

Teori mengenai hierarki atau tata urutan peraturan perundang-

undangan tersebut jika dikaji lebih mendalam mengandung beberapa

prinsip, di antaranya:

1) Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat

dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-

undangan yang lebih rendah atau berada di bawahnya.

2) Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus bersumber

atau memiliki dasar hukum dari peraturan perundang-undangan yang

tingkatnya lebih tinggi.

3) Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak

boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

4) Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti atau

diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau

paling tidak dengan yang sederajat.

5) Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur

mengenai materi yang sama, peraturan terbaru harus diberlakukan

Staatsfundamentalnorm

m UUD NRI Tahun 1945

Ketetapan MPR

UU/Perpu

PP

Perpres

Perda (Propinsi dan

Kabupaten)

Staatsgrundgesetz

Formell Gesetz

Verordnung dan

Autonome Satzung

Pancasila

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

26

walaupun tidak dengan secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang

lama dicabut. Peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus harus

diutamakan dari peraturan perundang-undangan yang lebih umum

(Bega Ragawino, 2005: 15-17).

c. Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan

Roni Hanitijo Soemitro sebagaimana dikutip oleh Yudho Taruno

Muryanto dan Djuwityastuti mengemukakan bahwa dalam sinkronisasi

peraturan perundang-undangan terdapat konsepsi pokok yang harus

diperhatikan, yaitu:

Apabila sinkronisasi peraturan perundang-undangan itu ditelaah

secara vertikal, berarti akan dapat dilihat bagaimana hierarkinya.

Apabila ditelaah secara horizontal, akan terlihat sejauh mana

peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai bidang itu

mempunyai hubungan fungsional secara konsisten. Dengan

sinkronisasi hukum, akan diperoleh jawaban menyeluruh terkait

dengan permasalahan mengenai peraturan perundang-undangan

tertentu, juga dapat mengungkapkan kelemahan-kelemahan yang

ada pada peraturan perundang-undangan yang mengatur bidang-

bidang tertentu (Yudho Taruno Muryanto dan Djuwityastuti, 2014:

129).

Sinkronisasi atau penyelarasan peraturan perundang-undangan

(syncronization of law) lebih mementingkan bahwa peraturan perundang-

undangan tidak boleh bertentangan dengan satu sama lain peraturan

perundang-undangan yang sederajat (sinkronisasi sederajat atau horizontal)

dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi (sinkronisasi vertikal) (Yohanes Suhardin, 2008: 85). Terkait

sinkronisasi peraturan perundang-undangan, Novianto M. Hantoro

menyatakan sebagai berikut:

Sinkronisasi adalah penyelarasan dan penyerasian berbagai

peraturan perundang-undangan terkait dengan peraturan

perundang-undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang

mengatur suatu bidang tertentu, dengan maksud agar substansi

yang diatur dalam produk perundang-undangan tersebut tidak

tumpang tindih, saling melengkapi (suplementer), saling terkait,

dan semakin rendah jenis pengaturannya maka akan semakin detail

dan operasional materi muatannya. Adanya kegiatan sinkronisasi

terhadap peraturan perundang-undangan akan menciptakan sebuah

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

27

keselarasan antara peraturan yang satu dengan peraturan

yang lainnya, untuk mewujudkan landasan terhadap pengaturan

suatu bidang tertentu yang dapat memberikan kepastian

hukum yang memadai bagi penyelenggaraan bidang tersebut

secara efektif dan efisien (Novianto M. Hantoro, http://berkas.dpr.go.id/pengkajian/files/buku_tim/buku-tim-20.pdf

diakses pada tanggal 25 November 2015 pukul 20.00 WIB).

Peter Mahmud Marzuki berpendapat bahwa dalam menguji taraf

sinkronisasi peraturan perundang-undangan, selain memahami jenis,

hierarki, dan asas-asas peraturan perundang-undangan, juga perlu untuk

menelaah materi muatannya, dengan mempelajari dasar ontologis lahirnya

suatu undang-undang, landasan filosofis undang-undang, dan ratio legis

dari ketentuan undang-undang, dikarenakan undang-undang dibuat oleh

wakil-wakil rakyat yang diandaikan dibuat oleh rakyat, sedangkan regulasi

tidak lain daripada pendelegasian apa yang dikehendaki rakyat (Peter

Mahmud Marzuki, 2014: 142). Sinkronisasi peraturan perundang-

undangan dapat ditelaah baik secara vertikal maupun secara horizontal

sebagaimana akan diuraikan berikut ini:

1) Sinkronisasi Vertikal

Sinkronisasi vertikal dilakukan dengan melihat apakah suatu

peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi suatu bidang

kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan yang

lain apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki peraturan

perundang-undangan yang ada (Bambang Sunggono, 2011: 94).

Terlebih dahulu perlu diadakan inventarisasi terhadap peraturan

perundang-undangan berdasarkan hierarkinya dan dilakukan secara

kronologis yakni menurut saat dikeluarkannya peraturan perundang-

undangan tersebut (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990: 85).

2) Sinkronisasi Horizontal

Peninjauan dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan

yang kedudukannya sederajat dan yang mengatur bidang yang sama

(Bambang Sunggono, 2011: 96). Untuk menguji taraf sinkronisasi

peraturan perundang-undangan secara horizontal, akan diteliti sejauh

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

28

mana peraturan perundang-undangan yang mengatur pelbagai bidang

itu mempunyai hubungan fungsional secara konsisten (Amiruddin dan

Zainal Asikin, 2010: 129). Penelitian untuk taraf sinkronisasi

horizontal dapat dilakukan secara lebih terperinci dengan membuat

inventarisasi yang sejajar, yaitu menempatkan perundang-undangan

yang sederajat pada posisi yang sejajar untuk kemudian diidentifikasi

terhadap taraf sinkronisasinya yang rendah, sedang, atau tinggi

(Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1990: 91).

Sinkronisasi hukum merupakan kegiatan yang tersistematisasi,

sehingga dalam pelaksanaannya memuat beberapa prosedur. Sinkronisasi

terhadap peraturan perundang-undangan pada umumnya dapat dilakukan

melalui 4 (empat) tahapan prosedur sebagaimana diuraikan berikut ini:

1) Inventarisasi

Inventarisasi merupakan suatu kegiatan untuk mengetahui dan

memperoleh data dan informasi mengenai peraturan perundang-

undangan terkait dengan bidang tertentu. Peraturan perundang-

undangan yang telah diinventarisasi kemudian dievaluasi untuk

mendapatkan peraturan yang paling relevan atau mempunyai

keterkaitan secara teknis atau substansial terhadap bidang tertentu

yang telah ditentukan sebelumnya. Proses inventarisasi sesungguhnya

dilakukan melalui proses identifikasi yang kritis serta melalui proses

klasifikasi yang logis dan tersistematis.

2) Analisa Substansi

Tahap ini diawali dengan memastikan kedudukan peraturan

perundang-undangan yang akan disinkronisasi berdasarkan ketentuan

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, untuk selanjutnya

dilakukan pengkajian terhadapnya. Pengkajian tersebut dilakukan

terhadap substansi yang mencakup peristilahan, definisi, dan substansi.

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

29

3) Hasil Analisa

Berdasarkan pengkajian pada tahap analisa substansi,

selanjutnya dilakukan evaluasi untuk mendapatkan hasil yang valid

dan benar, yang akan dipergunakan sebagai bahan untuk melakukan

sinkronisasi. Hasil yang diharapkan dalam tahap ini meliputi:

a) Pasal-pasal yang terkait dengan identifikasi permasalahan.

b) Keterkaitan antar pasal-pasal yang telah diidentifikasi dengan

peraturan perundang-undangan di bidang tertentu.

c) Identifikasi masalah-masalah yang terkait dengan peraturan

perundang-undangan di bidang tertentu.

4) Pelaksanaan Sinkronisasi

Tahap ini dilakukan dengan merumuskan dan mensinkronkan

substansi peraturan perundang-undangan, serta merinci substansi

teknis peraturan perundang-undangan yang disusun (Ricky Aprian,

2010: 7-10).

d. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Asas merupakan suatu pemikiran yang dirumuskan secara luas dan

mendasari adanya sesuatu norma hukum (Charlie Rudyat, 2013: 59). Asas

hukum bukanlah peraturan hukum, akan tetapi tidak ada hukum yang dapat

dipahami tanpa mengetahui asas-asas hukum yang terkandung di

dalamnya, sehingga hukum suatu bangsa tidak dapat hanya dipahami

melalui peraturan perundang-undangannya saja, melainkan harus

menggalinya sampai kepada asas-asas hukumnya, karena asas hukum

memberikan makna etis kepada peraturan-peraturan hukum serta tata

hukum (Satjipto Rahardjo, 2006: 47). Lon. L. Fuller sebagaimana dikutip

oleh Satjipto Rahardjo (2006: 51) berpendapat bahwa suatu sistem hukum

harus mengandung suatu moralitas tertentu, sehingga diletakkanlah 8

(delapan) asas (principles of legality) sebagai parameter terhadap sistem

hukum yang baik, di antaranya:

1) Suatu sistem hukum harus mengandung peraturan-peraturan. Ia tidak

boleh sekadar mengandung keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

30

2) Peraturan-peraturan yang telah dibuat itu harus diumumkan.

3) Tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut, oleh karena apabila yang

demikian itu tidak ditolak, maka peraturan itu tidak dapat dipakai

untuk menjadi pedoman tingkah laku. Membolehkan peraturan berlaku

secara surut berarti merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk

berlaku bagi waktu yang akan datang.

4) Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang dapat

dimengerti.

5) Suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang

bertentangan satu sama lain.

6) Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi

apa yang dapat dilakukan.

7) Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering mengubah peraturan sehingga

menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi.

8) Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan

pelaksanaannya sehari-hari.

Secara teoritis, A. Hamid S. Attamimi sebagaimana dikutip oleh

Maria Farida Indrati S., menjelaskan bahwa asas-asas pembentukan

peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut adalah sebagai

berikut:

1) Asas-asas formal, dengan perincian:

a) asas tujuan yang jelas;

b) asas perlunya pengaturan;

c) asas organ atau lembaga yang tepat;

d) asas materi muatan yang tepat;

e) asas dapatnya dilaksanakan; dan

f) asas dapatnya dikenali.

2) Asas-asas material, dengan perincian:

a) asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma

Fundamental Negara;

b) asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

31

c) asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara berdasar Atas Hukum;

dan

d) asas sesuai dengan prinsip Pemerintahan Berdasar Sistem

Konstitusi (Maria Farida Indrati S., 2007: 230).

Ketika terdapat dua atau lebih peraturan perundang-undangan yang

mengatur mengenai hal yang sama, namun terdapat ketidaksesuaian

pengaturan materi muatannya, maka dapat dilakukan dengan menerapkan

asas hukum atau doktrin hukum sebagai berikut:

1) Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori

Asas ini menghendaki bahwa apabila terjadi pertentangan

antara peraturan perundang-undangan yang secara hierarki lebih

rendah dengan yang lebih tinggi, peraturan perundang-undangan

yang hierarkinya lebih rendah tersebut harus disisihkan (Peter

Mahmud Marzuki, 2014: 139). Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh

A.A. Oka Mahendra menyatakan bahwa apabila substansi peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi mengatur hal yang

oleh undang-undang telah ditetapkan menjadi wewenang

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, hal ini

merupakan pengecualian terhadap asas ini (A.A. Oka

Mahendra, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-

harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html diakses pada

tanggal 3 Desember 2015 pukul 19.30 WIB).

2) Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali

Asas ini merujuk kepada dua peraturan perundang-undangan

yang secara hierarki mempunyai kedudukan yang sama, akan tetapi

ruang lingkup materi muatan antara kedua peraturan perundang-

undangan itu tidak sama, yaitu yang satu merupakan pengaturan secara

khusus dari yang lain (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 139). Menurut

Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh A.A. Oka Mahendra, terdapat

beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis

derogat legi generali, di antaranya:

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

32

a) Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum

tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum

khusus tersebut.

b) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan

ketentuan-ketentuan lex generali (Undang-Undang dengan

Undang-Undang).

c) Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan

hukum (rezim) yang sama dengan lex generali (A.A. Oka

Mahendra, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-

harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html diakses pada

tanggal 3 Desember 2015 pukul 19.30 WIB).

Berdasarkan pada beberapa prinsip tersebut, peneliti dituntut

untuk dapat mengidentifikasi ruang lingkup materi muatan kedua

peraturan perundang-undangan, yang mana antara lex specialis dan lex

generali harus mempunyai kedudukan yang sama dalam hierarki

peraturan perundang-undangan (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 140).

3) Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori

Terkait dengan asas ini, Peter Mahmud Marzuki berpendapat

sebagai berikut:

Asas lex posterior derogat legi priori menghendaki bahwa

peraturan perundang-undangan yang terkemudian

menyisihkan peraturan perundang-undangan yang terdahulu.

Penggunaan asas ini mensyaratkan bahwa yang dihadapkan

adalah dua peraturan perundang-undangan dalam hierarki

yang sama. Adanya asas ini dapat dipahami mengingat

peraturan perundang-undangan yang baru lebih

mencerminkan kebutuhan dan situasi yang sedang

berlangsung. Akan tetapi, dapat pula dibayangkan sebaliknya,

yaitu peraturan perundang-undangan yang baru tidak memuat

ketentuan yang dibutuhkan untuk situasi yang dihadapi.

Apabila ketentuan yang termuat di dalam peraturan

perundang-undangan yang lama tidak bertentangan dengan

landasan filosofis peraturan perundang-undangan yang baru,

ketentuan tersebut tetap berlaku melalui aturan peralihan

peraturan perundang-undangan yang baru (Peter Mahmud

Marzuki, 2014: 141-142).

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

33

Bagir Manan sebagaimana dikutip oleh A.A. Oka Mahendra

menyatakan bahwa asas lex posterior derogat legi priori memuat

prinsip-prinsip di antaranya:

a) Aturan hukum yang baru harus sederajat atau lebih tinggi dari

aturan hukum yang lama.

b) Aturan hukum yang baru dan aturan hukum yang lama

mengatur aspek yang sama. Asas ini antara lain bermaksud

mencegah dualisme yang dapat menimbulkan ketidakpastian

hukum. Ketentuan yang mengatur pencabutan suatu peraturan

perundang-undangan dalam perspektif asas lex posterior

derogat legi priori sebenarnya tidak begitu penting. Secara

prinsip, ketentuan lama yang serupa tidak akan berlaku lagi

pada saat aturan hukum baru mulai berlaku (A.A. Oka

Mahendra, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-

harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html diakses pada

tanggal 3 Desember 2015 pukul 19.30 WIB).

Dalam konteks peraturan perundang-undangan di Indonesia, juga

telah diatur asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan

asas-asas materi muatan yang baik sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5

dan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berikut ini:

Pasal 5

Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus

dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

a. kejelasan tujuan;

b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;

c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;

d. dapat dilaksanakan;

e. kedayagunaan dan kehasilgunaan;

f. kejelasan rumusan; dan

g. keterbukaan.

Pasal 6

(1) Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus

mencerminkan asas:

a. pengayoman;

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

34

b. kemanusiaan;

c. kebangsaan;

d. kekeluargaan;

e. kenusantaraan;

f. bhinneka tunggal ika;

g. keadilan;

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;

i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

2. Tinjauan tentang Badan Hukum

a. Pengertian Badan Hukum

Penulis menyajikan beberapa batasan pengertian pokok badan

hukum yang dikemukakan oleh beberapa sarjana sebagaimana dikutip oleh

Chidir Ali (2005: 18-21) sebagai berikut:

1) Logemann berpendapat bahwa badan hukum adalah suatu

personifikatie (personifikasi), yaitu suatu bestendigheid (perwujudan,

penjelmaan) hak dan kewajiban, yang mana hukum organisasi

(organisatierecht) menentukan innerlijkstruktuur (struktur intern) dari

personifikatie itu. Badan hukum menjamin kontinuitas, karena sebagai

pendukung hak dan kewajiban akan tetap ada dan diteruskan meskipun

pengurusnya yang menjadi wakil kontinuitas tersebut berganti-ganti.

2) E. Utrecht berpendapat bahwa badan hukum (rechtpersoon) adalah

badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi

pendukung hak, selanjutnya dijelaskan bahwa badan hukum adalah

setiap pendukung hak yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan

manusia. Badan hukum mempunyai kekayaan (vermogen) yang sama

sekali terpisah dari kekayaan anggotanya, yaitu dalam hal badan

hukum itu berupa korporasi. Hak dan kewajiban badan hukum sama

sekali terpisah dari hak dan kewajiban anggotanya.

3) Menurut R. Subekti, badan hukum pada prinsipnya merupakan suatu

badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan

perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri,

dan dapat digugat atau menggugat di depan hakim.

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

35

4) Sri Soedewi Maschun Sofwan mengutarakan bahwa manusia adalah

badan pribadi, hal tersebut adalah manusia tunggal. Selain daripada

manusia tunggal, dapat juga oleh hukum diberikan kedudukan sebagai

badan pribadi kepada wujud lain yang disebut sebagai badan hukum.

Badan hukum merupakan suatu kumpulan dari orang-orang bersama-

sama mendirikan suatu badan (perhimpunan) dan kumpulan harta

kekayaan, yang ditersendirikan untuk tujuan tertentu.

Berangkat pada pendapat para sarjana sebagaimana telah

dikemukakan sebelumnya, dapat diketahui bahwa di samping manusia

sebagai pembawa hak, di dalam hukum juga badan-badan atau

perkumpulan-perkumpulan dipandang sebagai subjek hukum yang dapat

memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum seperti

manusia, badan-badan dan perkumpulan-perkumpulan itu dapat memiliki

kekayaan sendiri, ikut serta dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan

pengurusnya, dapat digugat dan menggugat di muka hakim, singkatnya

diperlakukan sepenuhnya sebagai seorang manusia, sehingga dinamakan

rechtpersoon, yang berarti orang (persoon) yang diciptakan oleh hukum

(C.S.T. Kansil dan Christiae S.T. Kansil, 1994: 17). Hal tersebut selaras

dengan apa yang dikemukakan oleh Salim H.S bahwasanya badan hukum

terdiri dari kumpulan-kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan (arah

yang ingin dicapai) tertentu, harta kekayaan, serta hak dan kewajiban

(Salim H.S., 2008: 26). Badan hukum ada karena hukum, dan memang

diperlukan keberadaannya sehingga disebut sebagai legal entity, dan dapat

pula disebut artificial persoon atau manusia buatan, atau persoon in law,

atau legal persoon, atau rechtpersoon (I.G. Rai Widjaya, 2003: 127).

Pengertian badan hukum sebagai salah satu subjek hukum mencakup

unsur-unsur sebagai berikut:

1) perkumpulan orang (organisasi);

2) dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam

hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking);

3) mempunyai harta kekayaan tersendiri;

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

36

4) mempunyai pengurus;

5) mempunyai hak dan kewajiban; dan

6) dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan (Chidir Ali, 2005:

18-21).

b. Teori Badan Hukum

Terdapat beberapa teori tentang badan hukum yang dikembangkan

oleh para ahli hukum sebagai berikut:

1) Teori Fiksi

Teori ini menjelaskan bahwa hanya manusialah yang

mempunyai kehendak. Badan hukum adalah suatu abstraksi, bukan

merupakan suatu hal yang konkrit. Oleh karena hanya suatu abstraksi,

maka tidak mungkin menjadi suatu subjek dari hubungan hukum,

sebab hukum memberi hak-hak kepada yang bersangkutan suatu

kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa (wilsmacht). Badan

hukum semata-mata hanyalah buatan pemerintah atau negara.

Terkecuali negara, badan hukum itu suatu fiksi yakni sesuatu yang

sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam

bayangannya untuk menerangkan sesuatu hal. Dengan kata lain, hanya

manusia yang dianggap sebagai subjek hukum, tetapi orang

menciptakan dalam bayangannya, badan hukum selaku subjek hukum

diperhitungkan sama dengan manusia. Orang bersikap seolah-olah ada

subjek hukum yang lain, tetapi wujud yang tidak riil itu tidak dapat

melakukan perbuatan-perbuatan, melainkan yang melakukan adalah

manusia sebagai wakil-wakilnya.

2) Teori Orgaan

Teori ini menjelaskan bahwa badan hukum itu seperti manusia

sebagai penjelmaan yang nyata dalam pergaulan hukum (‘eine

leiblichgeistige Lebensein heit’). Badan hukum membentuk

kehendaknya dengan perantaraan alat-alat atau organ-organ badan

seperti para pengurus sebagaimana manusia yang mengucapkan

kehendaknya dengan perantaraan mulutnya atau dengan perantaraan

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

37

tangannya, apabila kehendak itu ditulis di atas kertas, sehingga setiap

keputusan pengurus atau organ merupakan kehendak daripada badan

hukum.

3) Teori Harta karena Jabatan (Leer van het ambtelijk vermogen)

Ajaran tentang harta kekayaan yang dimiliki seseorang dalam

jabatannya (ambtelijk vermogen), yakni suatu hak yang melekat pada

suatu kualitas. Tanpa daya berkehendak (wilsvermogen) tidak ada

kedudukan sebagai subjek hukum. Untuk badan hukum, yang

berkehendak adalah para pengurus, maka pada badan hukum semua

hak itu diliputi oleh pengurus. Dalam kualitasnya sebagai pengurus

mereka adalah berhak, sehingga disebut ambtelijk vermogen.

Konsekuensi daripada ajaran ini adalah bahwa orang yang belum

dewasa (minderjarige) dimana wali (voegd) melakukan segala

perbuatan, eigendom ada pada curatele, pihak eigenaar adalah kurator.

4) Teori Kekayaan Bersama (Propriete Collective Theory)

Teori ini menjelaskan bahwa pada hakikatnya hak dan

kewajiban daripada badan hukum merupakan hak dan kewajiban para

anggota bersama sehingga kekayaan badan hukum merupakan milik

bersama seluruh anggota. Badan hukum hanya merupakan suatu

konstruksi yuridis yang abstrak. Pihak yang dapat menjadi subjek

badan hukum di antaranya:

a) Setiap orang yang secara nyata ada di belakang badan hukum.

b) Setiap anggota badan hukum.

c) Setiap pihak yang mendapatkan keuntungan dari suatu badan

hukum.

5) Teori Kekayaan Bertujuan

Teori ini menjelaskan bahwa hanya manusia yang dapat

menjadi subjek hukum, badan hukum bukanlah subjek hukum dan hak-

hak yang diberi kepada suatu badan hukum pada hakikatnya hak-hak

dengan tiada subjek hukum. Kekayaan badan hukum tidak terdiri dari

hak-hak sebagaimana lazimnya (ada yang menjadi pendukung hak-hak

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

38

tersebut, manusia). Kekayaan badan hukum dipandang terlepas dari

yang memegangnya (onpersoonlijk atau subjetloos). Maka, yang

terpenting ialah bukan siapakah badan hukum itu, tetapi kekayaan

tersebut diurus dengan tujuan tertentu. Menurut teori ini tidak peduli

apakah manusia atau bukan, tidak peduli kekayaan itu adalah hak-hak

yang normal atau bukan, yang terpenting adalah tujuan daripada

kekayaan tersebut.

6) Teori Kenyataan Yuridis

Teori ini menjelaskan bahwa badan hukum dipersamakan

dengan manusia yang merupakan suatu realita yuridis sebagai suatu

fakta yang diciptakan oleh hukum sehingga badan hukum itu

merupakan suatu realitas, konkret, riil, walaupun tidak dapat diraba,

bukan khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Teori ini menghendaki

bahwa dalam mempersamakan manusia dengan badan hukum terbatas

hanya pada bidang hukum (Chidir Ali, 2005: 31-38).

Teori-teori badan hukum sebagaimana telah dikemukakan tersebut,

menurut Mulhadi pada pokoknya berpusat pada dua pandangan, yaitu:

1) Pandangan yang menganggap bahwa badan hukum itu sebagai wujud

yang nyata, artinya nyata dengan pancaindera manusia sendiri.

Akibatnya, badan hukum itu disamakan atau identik dengan manusia.

Badan hukum dianggap identik dengan organ-organ yang mengurus,

karena itulah para pengurusnya oleh hukum dianggap sebagai persoon.

2) Pandangan yang menganggap bahwa badan hukum bukan sebagai

wujud yang nyata, tetapi badan hukum itu hanya merupakan manusia

yang berdiri di belakang badan hukum tersebut. Akibatnya, menurut

anggapan yang kedua ini jika badan hukum tersebut melakukan

kesalahan, maka itu adalah kesalahan manusia-manusia yang berdiri di

belakang badan hukum tersebut secara bersama-sama (Mulhadi, 2010:

79-80).

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

39

c. Penggolongan Badan Hukum

Badan hukum di Indonesia dapat digolongkan menurut macamnya,

jenisnya, dan sifatnya. Secara sistematis penggolongan badan hukum

tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

1) Penggolongan Badan Hukum Menurut Macamnya

Menurut landasan atau dasar hukum di Indonesia, dikenal 2

(dua) macam badan hukum, di antaranya (Chidir Ali, 2005: 55-57):

a) badan hukum orisinil (murni, asli), yaitu negara. Contohnya:

Negara Republik Indonesia yang berdiri pada tanggal 17 Agustus

1945; dan

b) badan hukum yang tidak orisinil (tidak murni, tidak asli), yaitu

badan-badan hukum yang berwujud sebagai perkumpulan

berdasarkan ketentuan Pasal 1653 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yang mengatur mengenai zadelijk lichaam atau badan

susila. Terdapat 4 (empat) macam badan hukum yang tergolong

zadelijk lichaam, yaitu:

(1) badan hukum yang diadakan atau didirikan oleh kekuasaan

umum (zadelijk lichaam op openbaar gezag ingesteld),

seperti: propinsi, kotapraja, dan bank-bank yang didirikan

oleh negara;

(2) badan hukum yang diakui oleh kekuasaan umum (zadelijk

lichaam op openbaar gezag erkend) seperti: perseroan

(venootschap), gereja-gereja, waterschapen seperti subak di

Bali;

(3) badan hukum yang diperkenankan (diperbolehkan) karena

diizinkan (zadelijk lichaam als geoorloofd toegelsten); dan

(4) badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud atau tujuan

tertentu (zadelijk lichaam op een bepald oogmerk ingelsted).

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

40

2) Penggolongan Badan Hukum Menurut Jenisnya

Menurut jenisnya, badan hukum dapat digolongkan ke dalam

jenis badan hukum publik dan badan hukum privat (perdata) yang akan

dijelaskan sebagai berikut:

a) Badan Hukum Publik

Badan hukum publik (publiek rechtpersoon) didirikan

berdasarkan hukum publik, mempunyai kekuasaan wilayah,

dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan

oleh eksekutif atau pemerintah atau badan dan pengurus, untuk

menyelenggarakan kepentingan publik atau orang banyak atau

negara umumnya (C.S.T. Kansil dan Christiae S.T. Kansil, 1994:

25). Dalam arti badan hukum yang didirikan dan dimiliki oleh

pihak pemerintah seperti: negara, lembaga pemerintahan, badan

usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan bank negara

(Salim H.S, 2008: 26). Dalam stelsel hukum Indonesia, kriteria

yang dapat digunakan untuk menentukan apakah badan hukum

tergolong dalam jenis badan hukum publik atau bukan antara lain:

(1) dilihat dari cara pendirian atau terjadinya, artinya badan

hukum itu diadakan dengan konstruksi hukum publik yaitu

didirikan oleh penguasa (negara) dengan undang-undang atau

peraturan-peraturan lainnya;

(2) lingkungan kerjanya, yaitu apakah dalam melaksanakan

tugasnya badan hukum itu pada umumnya dengan publik atau

umum melakukan perbuatan-perbuatan hukum perdata,

artinya bertindak dengan kedudukan yang sama dengan

publik atau umum atau tidak. Jika tidak, maka badan hukum

itu merupakan badan hukum publik; dan

(3) mengenai wewenangnya, yaitu apakah badan hukum yang

didirikan oleh penguasa (negara) itu diberi wewenang untuk

membuat keputusan, ketetapan atau peraturan yang mengikat

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

41

umum. Jika ada wewenang publik, maka ia adalah badan

hukum publik (Chidir Ali, 2005: 61-62).

b) Badan Hukum Privat (Perdata)

Dalam arti badan hukum yang didirikan dan dimiliki oleh

pihak swasta seperti perkumpulan, persekutuan, perseroan

terbatas, koperasi, dan yayasan (Salim H.S, 2008: 26). Dalam

badan hukum privat (perdata), yang terpenting adalah badan-

badan hukum yang terjadi atau didirikan atas pernyataan kehendak

dari orang-perorangan (Chidir Ali, 2005: 63).

3) Penggolongan Badan Hukum Menurut Sifatnya

Berdasarkan sifatnya, badan hukum dapat dibedakan menjadi

2 (dua) macam, sebagaimana dijelaskan berikut ini:

a) Korporasi (corporatie)

E. Utrecht/Moh. Soleh Jindang sebagaimana dikutip oleh

Chidir Ali menjelaskan bahwa korporasi ialah suatu gabungan

orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama

sebagai satu subjek hukum tersendiri, suatu personifikasi (Chidir

Ali, 2005: 63-64). Korporasi adalah badan hukum yang memiliki

anggota, tetapi memiliki sejumlah hak dan kewajiban yang

terpisah dengan sejumlah hak dan kewajiban yang dimiliki

anggota badan hukum (Riduan Syahrani, 1985: 55).

b) Yayasan (stichting)

E. Utrecht/Moh. Soleh Jindang sebagaimana dikutip oleh

Chidir Ali menjelaskan bahwa yayasan adalah tiap kekayaan

(vermogen) yang tidak merupakan kekayaan orang atau kekayaan

badan dan yang diberi tujuan tertentu (Chidir Ali, 2005: 64). Harta

kekayaan yang dipisahkan untuk tujuan tertentu sehingga yayasan

hanya memiliki pengurus dan bukan anggota (Riduan Syahrani,

1985: 56).

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

42

d. Syarat-syarat Badan Hukum

Abdulkadir Muhammad menjelaskan bahwa syarat-syarat suatu

badan dapat dianggap sebagai badan hukum antara lain:

1) Adanya Kekayaan yang Terpisah

Sesuai dengan Teori Kekayaan Bertujuan, setiap badan hukum

memiliki kekayaan yang bertujuan untuk digunakan bagi kepentingan

tertentu, kekayaan itu diurus dan digunakan untuk tujuan tertentu, dan

tujuan badan hukum adalah objek yang dilindungi oleh hukum. Harta

kekayaan ini diperoleh dari para anggota maupun dari perbuatan

pemisahan yang dilakukan seseorang atau partikelir atau pemerintah

untuk suatu tertentu. Adanya harta kekayaan itu dimaksudkan sebagai

alat untuk mencapai tujuan badan hukum yang bersangkutan. Harta

kekayaan itu meskipun berasal dari pemasukan anggota-anggotanya,

tetapi terpisah dari harta kekayaan pribadi anggota-anggotanya itu.

Perbuatan pribadi anggota-anggotanya tidak mengikat harta kekayaan

tersebut, sebaliknya perbuatan badan hukum yang diwakili

pengurusnya tidak mengikat harta kekayaan anggota-anggotanya.

2) Mempunyai Tujuan Tertentu

Tujuan tertentu ini dapat berupa tujuan yang idiil maupun

tujuan komersil yang merupakan tujuan tersendiri daripada badan

hukum. Tujuan untuk kepentingan satu atau beberapa orang

anggotanya. Usaha untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan sendiri

oleh badan hukum dengan diwakili organnya. Tujuan yang hendak

dicapai itu lazimnya dirumuskan dengan jelas dan tegas dalam

anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan. Akta pendirian yang

memuat anggaran dasar setiap badan hukum harus dibuat di muka

notaris, dan mendapat pengesahan secara resmi dari pemerintah, dalam

hal ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Status badan

hukum diperoleh sejak tanggal keputusan pengesahan Menteri.

Pengesahan status badan hukum oleh pemerintah adalah pembenaran

bahwa anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan tidak dilarang

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

43

undang-undang serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan

kesusilaan.

3) Mempunyai Kepentingan Sendiri

Dalam mencapai tujuannya, badan hukum mempunyai

kepentingan sendiri yang dilindungi oleh hukum. kepentingan-

kepentingan tersebut merupakan hak-hak subjektif sebagai akibat dari

peristiwa-peristiwa hukum. Badan hukum mempunyai kepentingan

sendiri dan dapat menuntut serta mempertahankannya terhadap pihak

lain dalam pergaulan hukumnya. Kepentingan sendiri dari badan

hukum ini harus stabil, artinya tidak terikat pada suatu waktu yang

pendek tetapi untuk jangka waktu yang panjang.

4) Terdapat Organisasi yang Teratur

Badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis. Badan hukum

hanya dapat melakukan perbuatan hukum dengan perantara organnya.

Bagaimana tata cara organ badan hukum yang terdiri dari manusia itu

bertindak mewakili badan hukum, bagaimana organ itu dipilih, diganti,

dan sebagainya diatur dalam anggaran dasar dan peraturan-peraturan

lain atau keputusan rapat anggota. Berdasarkan Teori Fiksi dan Teori

Organ, badan hukum harus mempunyai alat (organ) seperti: rapat

anggota, pengurus, dan pengawas yang bertindak untuk kepentingan

dan atas nama badan hukum. Badan hukum harus mempunyai struktur

organisasi yang teratur (Abdulkadir Muhammad, 2010: 101-128).

e. Kedudukan Hukum Badan Hukum

1) Perbuatan Hukum Badan Hukum

Badan hukum adalah subjek hukum yang tidak berjiwa seperti

manusia, sehingga badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan-

perbuatan hukum sendiri, melainkan diwakili oleh orang-orang

manusia biasa, namun orang-orang ini bertindak bukan untuk namanya

sendiri, tetapi untuk dan atas nama badan hukum (Neni Sri Imaniyati,

2013: 128). Hal senada juga dikemukakan oleh Chidir Ali bahwa

badan hukum berbuat dengan perantaraan orang, sebab badan hukum

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

44

hanya suatu pengertian (begrip), yang bertindak selalu orang-orang

(Chidir Ali, 2005: 185). Pasal 1655 KUHPerdata menentukan:

Para pengurus badan hukum, bila tidak ditentukan lain dalam

akta pendiriannya, dalam surat perjanjian atau dalam reglemen

berkuasa untuk bertindak demi dan atas nama badan hukum

itu, untuk mengikatkan badan hukum itu kepada pihak ketiga

atau sebaliknya, dan untuk bertindak dalam sidang Pengadilan

baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat.

Pengurus daripada badan hukum (de bestuurders) yang disebut

sebagai organ, mempunyai wewenang untuk bertindak atas nama (in

naam) badan itu, sehingga merupakan unsur terpenting dari organisasi

badan hukum itu (Chidir Ali, 2005: 185). Badan hukum memiliki hak

dan kewajiban untuk dapat melakukan hubungan hukum

(rechtsbetrekking atau rechtsverhouding, baik antara badan hukum

yang satu dengan badan hukum yang lain, maupun antara badan hukum

dengan orang, sehingga badan hukum dapat melakukan perbuatan

hukum di lapangan harta kekayaan seperti: mengadakan perjanjian jual

beli, perjanjian tukar-menukar, perjanjian sewa-menyewa, dan

menjalankan berbagai kegiatan usaha lainnya sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan (Riduan Syahrani, 1985: 54).

2) Kemampuan Hukum Badan Hukum

R. Ali Rido mengemukakan kemampuan hukum dari badan

hukum sebagai berikut:

a) Kemampuan hukum atau kekuasaan hukum dari badan hukum

dalam lapangan hukum harta kekayaan pada dasarnya

menunjukkan persamaan penuh dengan manusia selain secara

tegas dikecualikan oleh undang-undang, badan hukum dapat

membuat perjanjian, mempunyai hak pakai, hak cipta, hak merek,

hak paten, dan dapat melakukan perbuatan melawan hukum

sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Badan hukum

juga dapat memakai nama. Pembatasan kemampuan hukum badan

hukum pada lapangan hukum kekayaan ialah hak pakai badan

hukum tidak lebih dari 30 (tiga puluh) tahun.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

45

b) Dalam hukum keluarga dalam arti sempit badan hukum sama

sekali tidak dapat bergerak. Di luar hukum kekayaan, badan

hukum dapat menjadi wali sebagaimana diatur dalam Pasal 365

KUHPerdata. Badan hukum bukan manusia, sehingga tidak

mempunyai ahli waris sebagaimana manusia (Pasal 830

KUHPerdata) dan tidak dapat membuat surat wasiat (Pasal 895

KUHPerdata).

c) Mengenai penghinaan terhadap badan hukum, Paul Scholten

berpendapat bahwa dalam hukum keperdataan mungkin saja

sejauh mengenai kehormatan dan nama baik dari badan hukum

yang dilancarkan dengan sengaja. Karena pada akhirnya berlaku

pula bagi manusia yang dilukai dan dihina kehormatan dan nama

baiknya, yaitu pengurus dan korporasi juga anggota-anggotanya,

dapat melakukan penuntutan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata

(R. Ali Rido, 2004:18-19).

3) Pertanggungjawaban Hukum Badan Hukum

Dalam hal perbuatan melawan hukum, badan hukum memiliki

tanggung jawab hukum (aansprakelijkheid), artinya dapat digugat

untuk perbuatan-perbuatannya yang melawan hukum yang dilakukan

oleh organnya sebagai orgaan (als zodenig door de orgaan), karena

jika seorang direksi dari suatu orgaan melakukan suatu perbuatan,

maka dia dapat berbuat sebagai orgaan yang terikat badan hukum

(Chidir Ali, 2005: 218-219). Mengenai hal tersebut, menurut Jurische

Realiteit dasarnya adalah sebagai berikut:

a) Segala perbuatan wakil atau orgaan itu dapat

dipertanggungjawabkan kepada badan hukum. Termasuk juga

onrechtmatige daad itu dapat dipertanggungjawabkan kepada

badan hukum.

b) Setiap mempertahankan hak dari pelaksanaan suatu hak oleh

pengurus sebagai orgaan dapat dipertanggungjawabkan kepada

badan hukum, sebab dalam berbuat sampai mengakibatkan

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

46

onrehtmatige daad tidak untuk haknya sendiri, melainkan untuk

badan hukum itu (Chidir Ali, 2005: 219).

3. Tinjauan tentang Badan Usaha Milik Daerah

a. Pengertian Badan Usaha Milik Daerah

Istilah Badan Usaha Milik Daerah, yang selanjutnya disingkat

BUMD, tidak terlepas dari adanya UU Perusahaan Daerah, kendati di

dalam UU Perusahaan Daerah tidak terdapat satupun istilah mengenai

BUMD. Pasal 2 UU Perusahaan Daerah menjelaskan, “Perusahaan Daerah

ialah semua perusahaan yang didirikan berdasarkan Undang-undang ini

yang modalnya untuk seluruhnya atau untuk sebagian merupakan kekayaan

daerah yang dipisahkan, kecuali jika ditentukan lain dengan atau

berdasarkan Undang-undang”. Pasal tersebut tidak secara eksplisit

menunjukkan bahwa Perusahaan Daerah merupakan BUMD. Menilik

ketentuan tersebut, istilah BUMD senantiasa dibaurkan dengan istilah

Perusahaan Daerah (Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho Taruno

Muryanto, 2014: 128).

Secara teoritis, Perusahaan Daerah merupakan perusahaan sumber

penghasilan daerah, milik pemerintah daerah, yang mana pengelolaan dan

pengawasannya dilakukan oleh pemerintah daerah (Buchari Alma, 2012:

84). Perusahaan Daerah didirikan dengan suatu peraturan daerah, modal

seluruhnya merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan merupakan

suatu badan hukum yang disahkan oleh Presiden (bagi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta), Menteri Dalam Negeri (bagi Daerah Tingkat I), dan

Gubernur (bagi Daerah Tingkat II) (Jamal Wiwoho, 2007: 61). Salah satu

sumber penerimaan daerah yang amat potensial dan menjanjikan bagi

daerah dalam usaha meningkatkan sumber PAD-nya adalah berasal dari

sektor hasil perusahaan milik daerah (Adrian Sutedi, 2009: 216).

Keberadaan BUMD sesungguhnya terkait dengan penyelenggaraan

pemerintahan daerah, yang ketika itu pengaturannya terdapat di dalam

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

(Munawar Kholil, 2009: 26). BUMD hanya disebutkan secara eksplisit

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

47

pada satu pasal saja, yaitu Pasal 177 yang menyatakan, “Pemerintah Daerah

dapat memiliki Badan Usaha Milik Daerah yang pembentukan,

penggabungan, pelepasan, kepemilikan, dan/atau pembubarannya

ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang berpedoman pada Peraturan

Perundang-undangan”. Undang-undang tersebut tidak memberikan definisi

dan pengaturan secara lebih terperinci mengenai BUMD.

Definisi BUMD secara eksplisit dapat ditemukan dalam ketentuan

Pasal 1 huruf c Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 1999

tentang Kepengurusan Badan Usaha Milik Daerah yang menyatakan,

“Badan Usaha Milik Daerah selanjutnya disingkat BUMD adalah

Perusahaan Daerah dan bentuk hukum lainnya dari usaha milik daerah

selain Perusahaan Daerah Air Minum, Bank Pembangunan Daerah, dan

Bank Perkreditan Rakyat”. Ketentuan tersebut masih membaurkan istilah

BUMD dengan Perusahaan Daerah. Definisi BUMD juga dapat ditemukan

dalam Pasal 1 angka 40 UU Pemerintahan Daerah yang menyatakan,

“Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah

badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh

Daerah”. Mencermati rumusan pasal tersebut, istilah BUMD mulai

dipisahkan dengan istilah Perusahaan Daerah. Terkait dengan modal, pada

prinsipnya hampir serupa dengan definisi Perusahaan Daerah sebagaimana

termuat dalam Pasal 2 UU Perusahaan Daerah, hanya saja dalam ketentuan

Pasal 2 UU Perusahaan Daerah terdapat penjelasan lebih lanjut bahwa

modal untuk sebagian dari Perusahaan Daerah berasal berasal dari

kekayaan daerah yang dipisahkan.

Terkait dengan BUMD, Adrian Sutedi mengutarakan pendapatnya

sebagai berikut:

BUMD merupakan badan usaha yang dibentuk oleh daerah untuk

mengembangkan perekonomian daerah dan untuk menambah

penghasilan daerah. Terdapat dua hal pokok, yaitu: 1) sebagai

dinamisator perekonomian daerah yang berarti harus mampu

memberikan rangsangan atau stimulus bagi berkembangnya

perekonomian daerah; dan 2) sebagai penghasil pendapatan daerah,

yaitu BUMD harus mampu memberikan manfaat ekonomis

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

48

sehingga ada keuntungan yang dapat disetorkan ke kas daerah

(Adrian Sutedi, 2009: 218).

b. Landasan Pendirian Badan Usaha Milik Daerah

1) Landasan Filosofis

Adanya perusahaan negara merupakan pengejawantahan atas

hak menguasai negara sebagaimana tercermin dalam Pasal 33 UUD

NRI Tahun 1945. Cakupan pengertian dikuasai oleh negara atau hak

penguasaan negara menurut Bagir Manan adalah sebagai berikut:

a. Penguasaan semacam pemilikan oleh negara, artinya negara melalui

pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk

menentukan hak wewenang atasnya, termasuk di sini bumi, air, dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

b. Mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan.

c. Penyertaan modal dan dalam bentuk perusahaan negara untuk

usaha-usaha tertentu (Bagir Manan, 1995: 12).

W. Friedman sebagaimana dikutip oleh Made Gde Subha

Karma Resen (2015: 97) berpendapat bahwa hak penguasaan negara

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945

memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan

rakyat, artinya jika melepaskan suatu bidang usaha atas sumber daya

alam kepada koperasi dan swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk

pengaturan dan pengawasan yang bersifat khusus agar kewajiban

negara untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tetap

dapat dikendalikan oleh negara. Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945

membenarkan negara untuk mengusahakan sumber daya alam yang

berkaitan dengan public utilities dan public service, atas dasar

pertimbangan filosofis (semangat dasar perekonomian adalah usaha

bersama dan kekeluargaan), strategis (kepentingan umum), politik

(mencegah monopoli dan oligopoli yang merugikan perekonomian

negara, ekonomi (efisiensi dan efektivitas), dan demi kesejahteraan

umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Terhadap sumber

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

49

daya alam yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang

banyak, karena berkaitan dengan kemaslahatan umum (public utilities)

dan pelayanan umum (public service), harus dikuasai negara dan

dijalankan pemerintah sebab sumber daya alam tersebut harus dapat

dinimkati oleh rakyat secara berkeadilan, keterjangkauan, dalam

suasana kemakmuran dan kesejahteraan umum yang adil dan merata (J.

Ronald Mawuntu, 2012: 18). Manifesto negara sebagai penguasa dan

agent of economic and social development, negara membentuk

perusahaan negara baik BUMN maupun BUMD untuk mendorong

pertumbuhan ekonomi dan memajukan sektor ekonomi yang bersifat

vital demi mewujudkan kesejahteraan rakyat.

2) Landasan Sosiologis

Pendirian BUMD bukanlah suatu keharusan, akan tetapi

menjadi pertimbangan bagi daerah sebagai sarana dalam rangka

memberikan pelayanan kepada masyarakat (Made Gde Subha Karma

Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014: 134). Keberadaan BUMD

pada dasarnya merupakan kebutuhan daerah dalam hal kegiatan atau

usaha daerah untuk meningkatkan sumber pendapatannya, di samping

dari hasil pajak dan retribusi daerah yang dinilai kurang memadai dan

berkontribusi dalam memberikan masukan bagi kas daerah (Adrian

Sutedi, 2009: 216). Pemerintah daerah suatu negara sangat antusias

melibatkan diri dalam kegiatan usaha dengan mendirikan BUMD,

dikarenakan beberapa pertimbangan sebagai berikut ini:

a) Berdasarkan pertimbangan ideologis, dalam rangka melindungi

buruh dan orang banyak dari kemungkinan pemerasan oleh

penguasa swasta atau kapitalis, sebagaimana negara-negara

sosialis yang meyakini bahwa alat-alat produksi harus dikuasai

oleh negara atau daerah.

b) Di negara-negara berkembang, kegiatan pemerintah dalam bidang

usaha dimaksudkan untuk mengisi kekosongan usahawan karena

swasta tidak atau belum mampu berperan.

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

50

c) Untuk melindungi kepentingan umum atau orang banyak, dengan

maksud pemerintah dapat menjalankan usaha untuk melaksanakan

pelayanan yang bersifat monopoli atau untuk memberikan saingan

kepada kegiatan swasta agar tidak terjadi monopoli. Sekurang-

kurangnya pemerintah dapat menjadi price leader.

d) Untuk mencari keuntungan, dalam rangka mencari biaya untuk

membiayai kegiatan pemerintah baik untuk kegiatan rutin maupun

untuk peningkatan pelayanan jasa publik (Adrian Sutedi, 2009:

216-217).

3) Landasan Yuridis

Landasan konstitusional pendirian BUMD dapat dicermati

dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun

1945 yang menyatakan sebagai berikut:

(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas

asas kekeluargaan.

(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang

menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat.

(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas

demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan,

efisiensi, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,

kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan

kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Dibentuknya BUMD merupakan instrumen untuk menggali

potensi asset atau sumber daya yang dimiliki daerah agar dapat

dimanfaatkan secara optimal dengan orientasi keuntungan yang

dijadikan sebagai sumber PAD dan mampu menciptakan lapangan

kerja yang banyak serta menjadi penopang pelaku ekonomi daerah

(Adrian Sutedi, 2009: 218). Otonomi daerah mendasarkan pada salah

satu prinsip yaitu hubungan pusat dan daerah (mencakup hubungan

wewenang, keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

51

alam, dan sumber daya lainnya) harus dilaksanakan secara adil dan

selaras (Ni’matul Huda, 2009: 18-23). Eksistensi BUMD merupakan

pengejawantahan atas prinsip tersebut, sebagai kesatuan produksi yang

memberi jasa, menyelenggarakan kemanfaatan umum, dan memenuhi

kebutuhan masyarakat bersifat regional (tidak termasuk bidang usaha

yang diselenggarakan pemerintah pusat) dalam upaya mewujudkan

pemerataan pembangunan (Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho

Taruno Muryanto, 2014: 130).

Secara historis, satu-satunya undang-undang yang mengatur

BUMD adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang

Perusahaan Daerah, yang selanjutnya disingkat UU Perusahaan

Daerah. Keberadaan UU Perusahaan Daerah dalam sejarah semula

telah dihapus dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun

1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang

Dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, termasuk

menghapuskan UU Perusahaan Daerah dan Undang-Undang Nomor 18

Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (Munawar

Kholil, 2009: 26). UU Perusahaan Daerah tersebut masih diberlakukan

dan masih menghiasi peraturan daerah di beberapa daerah yang

mengatur tentang BUMD karena belum adanya kebijakan untuk

mengganti UU Perusahaan Daerah dengan peraturan perundang-

undangan yang baru (Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho

Taruno Muryanto, 2014: 127).

Istilah BUMD muncul sejak dikeluarkannya Instruksi Menteri

Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1990 tentang Perubahan Badan Usaha

Milik Daerah Kedalam Dua Bentuk Perusahaan Umum Daerah Dan

Perseroan Daerah, yang konsiderannya membaurkan istilah BUMD

dengan istilah Perusahaan Daerah. Pembauran istilah BUMD dengan

istilah Perusahaan Daerah juga dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal

2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 tentang

Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah yang menjelaskan, “Bentuk

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

52

Hukum Badan Usaha Milik Daerah dapat berupa Perusahaan Daerah

(PD) atau Perseroan Terbatas (PT)”. Selama ini, istilah BUMD

memang senantiasa dibaurkan dengan istilah Perusahaan Daerah (Made

Gde Subha Karma Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014: 128).

Landasan yuridis yang terbaru mengenai BUMD ialah Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang

selanjutnya disingkat UU Pemerintahan Daerah. Ketentuan daripada

UU Pemerintahan Daerah yang mengatur mengenai BUMD dapat

dicermati pada BAB XII yang terdiri dari 12 pasal. Pengaturan tersebut

dimulai dari Pasal 331 sampai dengan Pasal 343, serta tersebar di

beberapa pasal, seperti: Pasal 1 angka 40, Pasal 134 ayat (1) huruf c,

Pasal 188 ayat (1) huruf c, Pasal 298 ayat (5) huruf c, Pasal 304 ayat

(1) dan ayat (2), Pasal 320 ayat (2) huruf g, Pasal 402 ayat (2), Pasal

405, dan Pasal 409.

Pasal 409 UU Pemerintahan Daerah menyatakan dengan tegas

berikut ini:

Pada saat undang-undang ini mulai berlaku:

a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan

Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 2387);

b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana

telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Berpijak pada ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa UU

Perusahaan Daerah telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh UU

Pemerintahan Daerah. Pasca berlakunya UU Pemerintahan Daerah,

memberikan implikasi yuridis bahwa seluruh BUMD yang ada di

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

53

Indonesia wajib menyesuaikan diri dengan ketentuan UU Pemerintahan

Daerah dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak

UU Pemerintahan Daerah tersebut diundangkan (Pasal 402 ayat (2))

(Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014:

133). UU Pemerintahan Daerah berkedudukan sebagai lex posterior

yang belum dilengkapi dengan peraturan pelaksanaan, sebagaimana

diatur dalam Pasal 405 UU Pemerintahan Daerah yang menyatakan:

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua ketentuan

peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan

pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang

Perusahaan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1962 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 2387), dinyatakan masih tetap berlaku

sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-

Undang ini.

Berangkat dari rumusan pasal tersebut mengandung arti bahwa

semua ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk peraturan

pelaksanaan UU Perusahaan Daerah masih dinyatakan berlaku

sepanjang tidak bertentangan dengan UU Pemerintahan Daerah.

Peraturan perundang-undangan terkait dengan pendirian dan

pengelolaan BUMD yang sampai saat ini berlaku menjadi sumber

hukumnya antara lain (Yudho Taruno Muryanto dan Djuwityastuti,

2014: 128-129):

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara;

c) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas;

d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah;

e) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 62 Tahun 1999 tentang

Pedoman Organisasi Dan Tata Kerja Bank Pembangunan Daerah;

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

54

f) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1998 tentang

Bentuk Hukum Bank Pembangunan Daerah;

g) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1998 tentang

Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah;

h) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2006 tentang

Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah;

i) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 1999 tentang

Kepengurusan Badan Usaha Milik Daerah; dan

c. Bentuk Hukum Badan Usaha Milik Daerah

Secara teoritis, dalam bahasa Inggris bentuk usaha atau bentuk

hukum perusahaan disebut company atau enterprise atau corporation yang

berarti organisasi usaha atau badan usaha yang menjadi wadah penggerak

setiap jenis kegiatan usaha, yang disebut bentuk hukum perusahaan

(Abdulkadir Muhammad, 1999: 1). Chidir Ali berpendapat bahwa bila

ditinjau dari perspektif status yuridisnya, badan usaha dapat dibedakan

atas: 1) badan usaha yang termasuk badan hukum; dan 2) badan usaha yang

bukan badan hukum. Masing-masing bentuk badan usaha tersebut memiliki

konsekuensi bentuk hukum yang berbeda sebagaimana disajikan dalam

tabel berikut ini (Chidir Ali, 2005: 108-109):

Tabel 1. Perbedaan Bentuk Hukum Badan Usaha yang Badan

Hukum dan Badan Usaha Bukan Badan Hukum

Kriteria Badan Usaha yang

Badan Hukum

Badan Usaha Bukan

Badan Hukum

Bentuk Hukum

Bentuk hukum badan

usaha berbadan hukum

antara lain:

(1) Perseroan Terbatas;

(2) Perusahaan Negara;

(3) Perusahaan Daerah;

(4) Koperasi;

(5) Perusahaan Umum;

Bentuk-bentuk badan

usaha yang bukan badan

hukum antara lain:

(1) Persekutuan Perdata;

(2) Firma; dan

(3) Comansitaire

Venootschap (CV)

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

55

(6) Perusahaan Jawatan;

(7) Perusahaan Sero, yaitu

PT yang modalnya

dimiliki pemerintah;

dan

(8) Yayasan.

atau Persekutuan

Komanditer.

BUMD merupakan badan hukum. Pengaturan bentuk hukum

BUMD terdapat dalam Pasal 331 UU Pemerintahan Daerah yang

menyatakan, “BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas

Perusahaan umum Daerah dan Perusahaan Perseroan Daerah”. Pasal 334

ayat (1) UU Pemerintahan Daerah menjelaskan, “Perusahaan umum

Daerah adalah BUMD yang seluruh modalnya dimiliki oleh suatu daerah

dan tidak terbagi atas saham”. Sementara Pasal 339 ayat (1) UU

Pemerintahan Daerah menjelaskan, “Perusahaan Perseroan Daerah adalah

BUMD yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam

saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen)

sahamnya dimiliki oleh satu daerah”. UU Pemerintahan Daerah mengatur

secara limitatif bahwa alternatif bentuk hukum daripada BUMD hanya

terbatas pada 2 (dua) bentuk hukum, yaitu Perusahaan umum Daerah dan

Perusahaan Perseroan Daerah, yang mana masing-masing bentuk hukum

tersebut mempunyai bentuk pengelolaan yang berbeda satu sama lain

(Made Gde Subha Karma Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014: 134).

Melalui instrumen hukum di tingkat daerah, bentuk hukum BUMD

berusaha untuk disejajarkan dengan bentuk hukum Badan Usaha Milik

Negara, yang selanjutnya disingkat BUMN. Pijakan yuridis daripada

BUMN adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan

Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disingkat UU BUMN. UU BUMN

mengatur secara limitatif bentuk hukum BUMN, yaitu Perusahaan Umum

(Perum) dan Persero (Perseroan Terbatas) (Munawar Kholil, 2009: 26-27).

Pasal 1 angka 2 UU BUMN menjelaskan, “Perusahaan Perseroan, yang

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

56

selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk Perseroan

Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling

sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara

Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan”.

Sementara dalam Pasal 1 angka 4 UU BUMN dijelaskan, “Perusahaan

Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh

modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan

untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang

bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip

pengelolaan perusahaan”. Namun, BUMD memiliki peran yang berbeda

dengan BUMN, yang mana BUMD hanya sebatas pada lingkup daerah

yang tidak memiliki akses langsung ke perekonomian nasional atau

langsung menjalankan peranan negara dalam kedudukannya sebagai badan

hukum publik sebagaimana yang dapat dijalankan oleh BUMN (Made Gde

Subha Karma Resen dan Yudho Taruno Muryanto, 2014: 130).

d. Tujuan Pendirian Badan Usaha Milik Daerah

Pendirian BUMD mengemban misi sebagai agent of development

yang multifungsi: perintis, pelayanan publik, carry over tugas pemerintah,

membuka lapangan pekerjaan, serta mencari laba untuk mengisi kas daerah

(Munawar Kholil, 2009: 33). BUMD harus memiliki orientasi dalam

menjalankan kegiatan usahanya, karena sebagai badan usaha yang

berbadan hukum harus memiliki tujuan tertentu, dan tujuan badan hukum

merupakan objek yang dilindungi oleh hukum (Abdulkadir Muhammad,

2010: 101). Seyogianya, BUMD memiliki tujuan bisnis, selain memiliki

tujuan sosial sebagai tujuan pemerintah daerah kepada rakyatnya di daerah

(Dijan Widijowati, 2012: 88).

Secara teoritis, Prabawa Utama sebagaimana dikutip oleh Arifiati

Dian Mayangsari mengemukakan bahwa untuk menetapkan tujuan

daripada Perusahaan Daerah dapat dicermati berdasarkan

penggolongannya sebagai berikut:

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

57

1) Perusahaan Daerah yang bersifat menyelenggarakan kepentingan

umum, yakni perusahaan yang dibentuk oleh pemerintah daerah

dengan prinsp pokok mencari keuntungan untuk mengisi kas daerah

akan tetapi perlu juga diperhatikan kesejahteraan dan ketentraman

penduduk dengan menjaga jangan sampai penduduk dengan adanya

perusahaan itu kian menjadi tidak tentram.

2) Perusahaan Daerah bersifat ekonomi, artinya bahwa perusahaan ini

tidak melayani kepentingan penduduk secara langsung dan

berorientasi untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya

(Arifiati Dian Mayangsari, 2010: 22).

Secara normatif, tujuan pendirian BUMD dapat dicermati dalam

berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan pertama

yang mengatur ialah Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Perusahaan Daerah

yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Perusahaan Daerah adalah suatu kesatuan produksi yang

bersifat:

a. memberi jasa;

b. menyelenggarakan kemanfaatan umum; dan

c. memupuk pendapatan.

(2) Tujuan Perusahaan Daerah ialah untuk turut serta

melaksanakan pembangunan daerah khususnya dan

pembangunan ekonomi nasional umumnya dalam rangka

ekonomi terpimpin untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan

mengutamakan industrialisasi dan ketenteraman serta

kesenangan kerja dalam perusahaan, menuju masyarakat adil

dan makmur.

Tujuan pendirian BUMD selanjutnya dapat diketahui dengan

menilik Lampiran Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1990

tentang Perubahan Badan Usaha Milik Daerah Kedalam Dua Bentuk

Perusahaan Umum Daerah dan Perusahaan Perseroan Daerah sebagaimana

disajikan berikut ini:

A. Perusahaan Umum Daerah (Public Corporation/Service)

Disingkat Perumda.

1. Maksud tujuan dan sifat usaha adalah mengutamakan

penyelenggaraan kemanfaatan umum (public service) di

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

58

samping mencari keuntungan sebagai sumber pendapatan

asli daerah, dengan tetap berpegang teguh pada:

a. syarat-syarat efisiensi dan efektivitas;

b. pinsip-prinsip ekonomi perusahaan; dan

c. pelayanan yang baik kepada masyarakat.

B. Perusahaan Perseroan Daerah Disingkat Perseroda.

1. Maksud dan tujuan usahanya adalah untuk memupuk

keuntungan dalam arti baik pelayanan dan pembinaan

organisasinya harus secara efektif dan efisien dengan

orientasi bisnis.

Regulasi terbaru yang materi muatannya juga mengatur mengenai

BUMD ialah UU Pemerintahan Daerah. Tujuan pendirian BUMD menurut

Pasal 331 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut:

Pendirian BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan

untuk:

a. memberikan manfaat bagi perkembangan perekonomian

Daerah pada umumnya;

b. menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan

barang dan/atau jasa yang bermutu bagi pemenuhan hajat

hidup masyarakat sesuai kondisi, karakteristik, dan potensi

Daerah yang bersangkutan berdasarkan tata kelola

perusahaan yang baik; dan

c. memperoleh laba dan/atau keuntungan.

Dua bentuk hukum BUMD (Perusahaan umum Daerah dan

Perusahaan Perseroan Daerah) sebagaimana diatur dalam UU

Pemerintahan Daerah memiliki semangat pendirian yang berbeda.

Perusahaan umum Daerah lebih ditekankan tujuannya untuk

memaksimalkan pelayanan publik di samping memperoleh keuntungan,

sementara Perusahaan Perseroan Daerah lebih ditujukan untuk memupuk

keuntungan (Munawar Kholil, 2009: 33). Hal yang demikian juga

dikemukakan oleh Adrian Sutedi, bahwasanya Perusahaan Perseroan

Daerah orientasi sepenuhnya ialah profit motive dan harus memberikan

kontribusi kepada pemilik dalam hal ini pemerintah daerah dalam bentuk

deviden sebagai sumber PAD, sementara Perusahaan umum Daerah

sifatnya adalah public service yang ukuran kinerjanya ditunjukkan oleh

peningkatan kualitas layanan dan pendapatan yang diperoleh harus full

recovery cost, dengan sedikit mungkin subsidi yang diberikan pemerintah,

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

59

namun profit bukanlah satu-satunya tujuan dalam badan hukum ini,

melainkan benefit merupakan bagian dari sasaran yang diberikan dalam

ukuran tertentu (Adrian Sutedi, 2009: 219).

4. Tinjauan tentang Bank Perkreditan Rakyat

a. Pengaturan Bank Perkreditan Rakyat

Pengaturan perbankan di Indonesia mengalami perkembangan dari

waktu ke waktu. Hal tersebut diawali dengan diberlakukannya Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan, yang

kemudian diadakan pembaruan melalui berbagai kebijakan seperti Paket

Juni (Pakjun) 1983, Paket Oktober (Pakto) 1988, Pakjun 1990, Paket

Februari 1991, puncaknya pada tahun 1992 dikeluarkannya Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Djoni S. Gazali dan

Rachmadi Usman, 2012: 8). Penyempurnaan terhadap landasan

operasional perbankan yang terakhir ialah melalui Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1992 tentang Perbankan, yang selanjutnya disingkat UU Perbankan.

Secara normatif, substansi daripada UU Perbankan

menyempurnakan dan merestrukturisasi tata perbankan nasional terkait

dengan: penyederhanaan jenis bank dan ruang lingkup kegiatan usahanya,

persyaratan perizinan dan kepemilikan bank, pengawasan pemerintah atas

bank melalui kebijakan, serta meningkatkan profesionalisme atas

pengelolaan bank (Michael S. Bannett, 2014: 450). Ketentuan Pasal 5 ayat

(1) UU Perbankan membagi jenis bank menjadi Bank Umum dan BPR.

Pembagian jenis bank tersebut hanya mendasarkan pada segi fungsi bank,

dimaksudkan untuk memperjelas ruang lingkup dan batasan kegiatan yang

dapat diselenggarakan (Muhammad Djumhana, 2000: 87).

Sementara dalam tataran praktis, terdapat 2 (dua) jenis BPR yang

berkembang, yaitu BPR Konvensional dan Bank Pembiayaan Rakyat

Syariah, yang selanjutnya disingkat BPRS. Kegiatan usaha, pendirian,

kepemilikan, bentuk hukum, penggabungan usaha, dan kepengurusan BPR

Konvensional diatur dalam UU Perbankan dan beberapa peraturan

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

60

pelaksanaannya seperti: Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992

tentang Bank Perkreditan Rakyat, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank Perkreditan Rakyat, Peraturan

Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/POJK.03/2015 tentang Penerapan Tata

Kelola Bagi Bank Perkreditan Rakyat, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Nomor 10/POJK.03/2016 tentang Pemenuhan Ketentuan Bank Perkreditan

Rakyat dan Transformasi Badan Kredit Desa Yang Diberikan Status

Sebagai Bank Perkreditan Rakyat, Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan

Nomor 16/SEOJK.03/2015 tentang Bank Perkreditan Rakyat, dan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2006 tentang

Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah.

Sementara Kegiatan usaha, pendirian, kepemilikan, bentuk hukum,

penggabungan usaha, dan kepengurusan BPRS diatur secara khusus dalam

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.03/2016 tentang Bank

Pembiayaan Rakyat Syariah.

b. Pengertian Bank Perkreditan Rakyat

Pasal 1 angka 4 UU Perbankan menjelaskan, “Bank Perkreditan

Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara

konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya

tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”. Perbedaan antara

Bank Umum dengan BPR ialah pada BPR memiliki usaha yang lebih

sempit dibandingkan Bank Umum, yang mana kegiatan usaha BPR telah

diatur secara limitatif oleh UU Perbankan (Djoni S. Gazali dan Rachmadi

Usman, 2012: 164). Mecermati pengertian BPR sebagaimana diatur dalam

UU Perbankan, berdasarkan jenis kegiatannya BPR dapat dibedakan

menjadi 2 (dua) jenis, yaitu:

1) Bank Perkreditan Rakyat Konvensional, yaitu bank yang

melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional, dan

kegiatannya tidak tidak memberikan jasa dalam lalu lintas

pembayaran.

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

61

2) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yaitu bank yang menjalankan

kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, dan tidak memberikan

jasa dalam lalu lintas pembayaran (Jamal Wiwoho, 2011: 55).

Ditinjau dari kepemilikan modalnya, dikenal adanya BPR Daerah.

Pasal 1 angka 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2006

tentang Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah

menjelaskan, “Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah, yang

selanjutnya disebut BPR Daerah adalah Bank Perkreditan Rakyat yang

seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah melalui

penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan daerah yang

dipisahkan”. Pada prinsipnya, kegiatan usaha daripada BPR Daerah sama

seperti BPR sebagaimana diatur dalam UU Perbankan, hanya saja yang

membedakan ialah modal daripada BPR Daerah sebagian besar dimiliki

oleh pemerintah daerah yang berasal dari kekayaan daerah yang

dipisahkan, sementara modal BPR sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU

Perbankan dapat berasal dari Warga Negara Indonesia, badan hukum

Indonesia yang seluruh pemiliknya Warga Negara Indonesia, pemerintah

daerah, atau dapat dimiliki bersama diantara ketiganya.

c. Kegiatan Usaha Bank Perkreditan Rakyat

Bank merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang

keuangan, dengan aktivitasnya yaitu menghimpun dana dari masyarakat

luas dalam bentuk simpanan (funding), kemudian diputarkan kembali atau

dijualkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman atau kredit

(lending) (Kasmir, 2004: 23-24). Sebagai lembaga keuangan bank, BPR

melaksanakan kegiatan usaha yang dirinci secara limitatif dalam UU

Perbankan. Hal tersebut dapat dicermati dalam Pasal 13 UU Perbankan

yang menyatakan sebagai berikut:

Usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi:

a. menghimpun dana dalam masyarakat dalam bentuk simpanan

berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya

yang dipersamakan dengan itu;

b. memberikan kredit;

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

62

c. menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip

bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam

Peraturan Pemerintah; dan

d. menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank

Indonesia (SBI deposito berjangka, sertifikat deposito,

dan/atau tabungan pada bank lain.

Kegiatan usaha daripada BPR Daerah diatur dalam Pasal 2

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2006 tentang

Pengelolaan Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah yang

dinyatakan sebagai berikut:

Kegiatan Usaha BPR Daerah meliputi:

a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan

berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya

yang dipersamakan;

b. memberikan kredit dan sekaligus melaksanakan pembinaan

terhadap pengusaha mikro kecil;

c. melakukan kerjasama antar BPR Daerah dengan lembaga

keuangan atau lembaga lainnya;

d. menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank

Indonesia, deposito berjangka, dan/atau tabungan di bank

lainnya;

e. membantu Pemerintah Daerah melaksanakan sebagian fungsi

pemegang kas daerah sesuai peraturan perundang-undangan;

f. menjalankan usaha perbankan berdasarkan prinsip-prinsip

syariah dengan memperhatikan Fatwa Dewan Syariah

Nasional; dan

g. menjalankan usaha perbankan lainnya sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan.

Terdapat beberapa kegiatan usaha yang dilarang untuk dijalankan

oleh BPR sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU Perbankan yang

menyatakan sebagai berikut:

Bank Perkreditan Rakyat dilarang:

a. menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu

lintas pembayaran;

b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;

c. melakukan penyertaan modal;

d. melakukan usaha perasuransian; dan

e. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 13.

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

63

d. Bentuk Hukum Bank Perkreditan Rakyat

Secara normatif, UU Perbankan mewajibkan setiap badan usaha

yang bergerak di bidang perbankan untuk memiliki bentuk hukum. Bentuk

badan hukum perlu untuk ditentukan agar dalam menjalankan kegiatan

usahanya memiliki landasan gerak yang kokoh, aman, dan pasti terutama

dalam menghadapi adanya aksi dari luar (Sunyoto, 2002: 147). Bentuk

hukum menunjukkan legalitas perusahaan itu sebagai badan usaha yang

menjalankan kegiatan ekonomi, yang termuat dalam akta pendirian atau

surat izin usaha (C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2001: 4). Bentuk

hukum Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat

(2) UU Perbankan adalah sebagai berikut:

Bentuk hukum suatu Bank Perkreditan Rakyat dapat berupa salah

satu dari:

a. Perusahaan Daerah;

b. Koperasi;

c. Perseroan Terbatas; atau

d. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bidang usaha jasa perbankan mengenal dua sistem, yaitu sistem

perbankan satuan (unit banking) dan sistem perbankan cabang (branch

banking system) (Muhammad Djumhana, 2000: 85). Adapun yang dianut

di Indonesia adalah sistem perbankan cabang, yaitu satu bank

dimungkinkan mempunyai beberapa cabang tetapi masih dalam satu

bentuk badan hukum tidak merupakan sebagai badan hukum tersendiri,

dengan kata lain organisasi, kepemilikan, dan kepengurusannya merupakan

bagian yang tak terpisahkan dari kantor pusatnya (Muhammad Djumhana,

2000: 85). Hal tersebut termuat dalam ketentuan Pasal 1 angka 19 UU

Perbankan yang menyatakan, “Kantor Cabang adalah kantor bank yang

secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat bank yang

bersangkutan, dengan alamat tempat usaha yang jelas dimana kantor

cabang tersebut melakukan usahanya”.

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

64

e. Pengukuhan Badan Kredit Kecamatan menjadi Bank Perkreditan

Rakyat

Ketika industri perbankan memiliki pijakan yuridis Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, dikenal

adanya bank-bank sekunder (rural bank) seperti: Bank Desa, Lumbung

Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga

Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit

Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga

Perkreditan Kecamatan (LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan

sejenisnya (C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2010: 256). Lembaga-

lembaga perbankan yang lebih kecil dari BPR tersebut notabene belum

berbentuk badan hukum, namun telah banyak membantu dan masih

diperlukan masyarakat, juga karena letaknya yang tersebar di seluruh

penjuru tanah air dan persyaratan yang mudah dipenuhi oleh masyarakat

yang membutuhkan, sehingga perlu untuk diakui keberadaannya

(Muhammad Djumhana, 2000: 218). Pasca diberlakukannya UU

Perbankan memberikan landasan hukum yang jelas bagi bank-bank desa

sebagai salah satu jenis bank selain Bank Umum. Ketentuan Pasal 58 UU

Perbankan mengatur bahwa lembaga perkreditan desa tersebut diberikan

status sebagai BPR, yang mana persyaratan dan tata cara pemberian status

tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 tentang

Bank Perkreditan Rakyat (Jamal Wiwoho, 2011: 61). Bank-bank desa

sebagaimana dimaksud diberi keleluasaan untuk melakukan merger dengan

Bank Umum dan Bank Pembangunan, atau merger antar bank desa untuk

ditingkatkan statusnya menjadi BPR atau Bank Umum agar dapat

meningkatkan kemampuannya (Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman,

2012: 52).

Seiring perkembangannya, terdapat 2 (dua) peraturan derivat yang

memberikan kejelasan status dan keseragaman dalam hal pengaturan,

pengawasan, pembinaan, dan pengembangan lembaga keuangan mikro.

Pertama, Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri,

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

65

Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dan Gubernur Bank

Indonesia Nomor 351.1/KMK.010/2009; Nomor 900-639A Tahun 2009;

Nomor 01/SKB/M.KUKM/IX/2009; Nomor 11/43A/KEP.GBI/2009

tentang Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro, yang

memutuskan sebagai berikut:

Beralihnya lembaga keuangan mikro seperti: Usaha Ekonomi Desa

Simpan Pinjam (UED-SP), BKD, Badan Usaha Kredit Pedesaan

(BUKP), LPN, BKK, Kelompok Usaha Bersama (KUBE),

Kelompok Program Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan

Kecil (P4K), Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) PNPM

Mandiri Perkotaan, Kelompok Pengembangan Ekonomi

Masyarakat Pesisir (PEMP), Unit Pengelola Kegiatan (UPK)

PNPM Mandiri Pedesaan, Kelompok Unit Program Pelayanan

Keluarga Sejahtera (UPPKS), Unit Pengelola Keuangan Desa

(UPKD), Kelompok Tani Pemberdayaan Usaha Agribisnis

Pedesaan (PUAP), Lembaga Simpan Pinjam Berbasis Masyarakat

(LSPBM), Baitul Maal wat Tamwil (BMT) dan/atau lembaga

lainnya yang dipersamakan dengan itu, menjadi BPR atau

Koperasi, atau Badan Usaha Milik Desa, atau lembaga-lembaga

keuangan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Kedua, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 10/POJK.03/2016

tentang Pemenuhan Ketentuan Bank Perkreditan Rakyat Dan Transformasi

Badan Kredit Desa Yang Diberikan Status Sebagai Bank Perkreditan

Rakyat. Berdasarkan konsiderannya dijelaskan bahwa fungsi dan peran

Badan Kredit Desa masih diperlukan keberadaannya oleh masyarakat desa

dalam rangka menciptakan sistem keuangan yang inklusif. Diperlukan

upaya penguatan kelembagaan dan pengawasan terhadap Badan Kredit

Desa. Pada awalnya Bank Pasar, Bank Pegawai, LPN, LPD, BKD, BKK,

KURK, LPK, BKPD, dan/atau lembaga lain yang dipersamakan dengan itu

yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dinyatakan

sebagai BPR. Dengan karakteristik operasional BKD yang unik dan tidak

sama dengan BPR pada umumnya, BKD yang diberikan status sebagai

BPR dikecualikan dari setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku

bagi BPR. Setelah berlakunya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, BKD

yang diberikan status sebagai BPR tidak akan dikecualikan dari setiap

Page 45: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

66

ketentuan yang berlaku bagi BPR pada umumnya. Peraturan ini

berimplikasi bahwa BKD yang tidak memenuhi ketentuan sebagai BPR

akan dicabut atau diubah kegiatan usaha atau badan usahanya menjadi

kegiatan usaha atau badan usaha lain selain BPR, yaitu dengan

bertransformasi menjadi Lembaga Keuangan Mikro (LKM), Badan Usaha

Milik Desa (BUMDesa) atau unit usaha dari BUMDesa yang sudah ada di

desa dimana BKD berkedudukan dan menjalankan kegiatan

operasionalnya. Adapun pemenuhan ketentuan BKD untuk menjadi BPR

diatur pada Pasal 2 yang menyatakan, “BKD wajib memenuhi ketentuan

BPR mencakup antara lain kelembagaan, prinsip kehati-hatian, pelaporan

dan transparansi keuangan, serta penerapan standar akuntansi bagi BPR

paling lambat tanggal 31 Desember 2019”. Ruang lingkup peraturan ini

terbatas pada BKD yang telah memperoleh izin dari Menteri Keuangan

sehingga diberikan status sebagai BPR oleh UU Perbankan.

Lembaga kredit desa atau lembaga keuangan mikro berfungsi

sebagai penghimpun dan penyalur dana dengan sasaran utama yaitu

golongan ekonomi lemah yang belum terjangkau oleh bank umum seperti:

pengusaha kecil, petani, nelayan, peternak, dan lain sebagainya, untuk

dapat mewujudkan pemerataan layanan perbankan, pemerataan

kesempatan berusaha, dan pemerataan pendapatan (Jamal Wiwoho, 2011:

60). BKK sebagai salah satu lembaga perbankan mikro di desa mengemban

tugas untuk memberikan pinjaman kepada masyarakat kecil yang

membutuhkan bantuan dana di pasar-pasar dan di desa-desa, dan dalam

perkembangannya telah menghimpun dana dari masyarakat berupa

simpanan wajib dan simpanan sukarela (Tamades) (I Gde Kajeng Baskara,

2013: 120). Adapun tujuan daripada BKK antara lain:

1) menunjang kelancaran penyediaan sarana produksi terutama

permodalan dalam rangka pembangunan daerah pada umumnya, dan

pembangunan desa pada khususnya; dan

Page 46: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

67

2) menciptakan pemerataan dan kesempatan berusaha bagi pengusaha

golongan ekonomi lemah di pedesaan (Arky Dhewi Wulandari, 2010:

42-43).

Sementara itu, mengenai fungsi daripada BKK antara lain sebagai

berikut:

1) meningkatkan permodalan dengan sistem perkreditan yang mudah,

murah, dan mengarah pada masyarakat terutama pedesaan;

2) membentuk modal masyarakat yang diarahkan pada usaha peningkatan

produksi;

3) melindungi masyarakat pedesaan dari pengaruh pelepas uang (money

leaders); dan

4) membimbing masyarakat pedesaan untuk lebih mengenal dan

memahami asas-asas ekonomi dan permodalan (Arky Dhewi

Wulandari, 2010: 42-43).

Pengukuhan terhadap BKK menjadi BPR berimplikasi pada modal

minimum yang harus dimiliki BKK sesuai dengan ketentuan mengenai

modal minimum BPR (Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012: 52).

Sebagai lembaga intermediasi kini BKK dapat menjalankan usaha yang

dijalankan oleh BPR sesuai dengan klasifikasi modalnya sebagaimana

diatur dalam Pasal 5 ayat (2) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

12/POJK.03/2016 tentang Kegiatan Usaha Dan Wilayah Jaringan Kantor

Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Modal Inti sebagai berikut:

Tabel 2. Kegiatan Usaha BKK pasca Pengukuhan menjadi BPR

BPR Berdasarkan Kegiatan

Usaha (BPRKU)

Jenis Kegiatan Usaha

BPRKU 1 (Modal Inti kurang

dari Rp 15.000.000.000,00

(lima belas miliar rupiah)).

1. penghimpunan dana dalam bentuk:

a. simpanan berupa deposito

berjangka, tabungan, dan/atau

bentuk lainnya yang

dipersamakan dengan itu; dan

b. pinjaman yang diterima;

Page 47: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

68

2. penyaluran dana;

3. penempatan dana dalam bentuk:

a. giro, deposito berjangka,

sertifikat deposito, dan/atau

tabungan pada bank umum dan

bank umum syariah;

b. deposito berjangka, dan/atau

tabungan pada BPR dan BPRS;

c. Sertifikat Bank Indonesia;

4. kegiatan lainnya untuk mendukung

kegiatan usaha BPR dalam bentuk:

a. kegiatan agen layanan

keuangan tanpa kantor dalam

rangka keuangan inklusif (Laku

Pandai);

b. layanan pembayaran gaji bagi

nasabah BPR;

c. kegiatan kerjasama dalam

rangka transfer dana yang

terbatas pada penerimaan atas

pengiriman uang dari luar

negeri;

d. kegiatan pemasaran Uang

Elektronik dari penerbit lain;

e. pemindahan dana baik untuk

kepentingan sendiri maupun

kepentingan nasabah melalui

rekening BPR di bank umum;

f. kegiatan kerjasama dengan

perusahaan asuransi untuk

mereferensikan produk

Page 48: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

69

asuransi kepada nasabah yang

terkait dengan produk BPR;

g. menerima titipan dana dalam

rangka pelayanan jasa

pembayaran tagihan seperti

tagihan pembayaran listrik,

telepon, air, dan pajak; dan

h. kegiatan sebagai penerbit kartu

ATM bagi BPRKU 1 yang

memiliki modal inti sebesar Rp

6.000.000.000,00 (enam miliar

rupiah).

BPRKU 2 (Modal Inti paling

sedikit Rp 15.000.000.000,00

(lima belas miliar rupiah)

sampai dengan kurang dari Rp

50.000.000.000,00 (lima

puluh miliar rupiah)).

1. kegiatan usaha yang dapat

dilakukan oleh BPRKU 1;

2. kegiatan usaha penukaran valuta

asing; dan

3. kegiatan lainnya untuk mendukung

kegiatan usaha BPR dalam bentuk:

a. kegiatan sebagai penerbit Kartu

Debet;

b. kegiatan sebagai penerbit Uang

Elektronik.

BPRKU 3 (Modal Inti paling

sedikit Rp 50.000.000.000,00

(lima puluh miliar rupiah)).

1. kegiatan usaha yang dapat

dilakukan oleh BPRKU 2; dan

2. kegiatan lainnya untuk mendukung

kegiatan usaha BPR dalam bentuk:

a. penyediaan layanan Electronic

Banking; dan

b. kegiatan sebagai penyelenggara

layanan keuangan tanpa kantor

Page 49: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

70

dalam rangka keuangan

inklusif (Laku Pandai).

Fungsi yang terpenting dari BKK adalah sebagai salah satu

kelengkapan otonomi daerah di bidang keuangan atau perbankan, dengan

tugas menjalankan usaha sebagai BPR, guna meningkatkan sumber PAD

(Moch. Husnan, 1999: 63-64). Otonomi daerah menghendaki agar daerah

mempunyai kemandirian dalam mengurus urusan rumah tangga daerah

dengan tetap berada dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia

(Kairul Muluk M.R., 2007: 3). Salah satu upaya untuk meningkatkan

kemandirian daerah di bidang keuangan adalah mendirikan lembaga

keuangan milik daerah berbentuk Perusahaan Daerah dengan tujuan untuk

membantu dan mendorong pertumbuhan perekonomian dan pembangunan

daerah di segala bidang serta sebagai salah satu sumber PAD dalam rangka

peningkatan taraf hidup rakyat (Arifiati Dian Mayangsari, 2010: 31-32).

Page 50: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

71

B. Kerangka Pemikiran

1. Bagan Kerangka Pemikiran

Perbedaan Pengaturan

Gambar 3. Bagan Kerangka Pemikiran

Prinsiples of

Legality

Asas Lex Posterior

Derogat Legi Priori

Sinkronisasi Horizontal

Bentuk Badan Hukum

Ideal bagi PD BPR-

BKK

PD. BPR-BKK

BUMD

Bentuk Badan Hukum

Pasal 21 UU Perbankan

ayat (1)

Bentuk hukum Bank

Umum:

a. Perseroan Terbatas;

b. Koperasi; atau

c. Perusahaan Daerah.

ayat (2)

Bentuk hukum BPR:

a. Perusahaan Daerah;

b. Koperasi;

c. Perseroan Terbatas;

atau

d. Bentuk lain yang

ditetapkan dengan PP

Pasal 331 ayat (3) UU

Pemerintahan Daerah

Bentuk hukum BUMD

terdiri atas Perusahaan

umum Daerah dan

Perusahaan Perseroan

Daerah.

Page 51: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

72

2. Penjelasan Kerangka Pemikiran:

Bagan kerangka pemikiran sebagaimana telah disajikan sebelumnya

merupakan penjelasan mengenai alur logika hukum penulis untuk menjawab

permasalahan penelitian dalam penulisan hukum (skripsi) ini. Penulisan hukum

(skripsi) ini mengkaji mengenai sinkronisasi pengaturan bentuk badan hukum

yang pengaturannya terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan (UU Perbankan) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014

tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemerintahan Daerah). Sinkronisasi atas

pengaturan mengenai bentuk badan hukum tersebut akan memberikan

preskripsi berupa alternatif bentuk badan hukum yang ideal bagi PD. BPR-BKK

agar dapat lebih optimal dalam menjalankan fungsi, pengembangan, dan

pengelolaannya.

Pasca diberlakukannya UU Perbankan, beberapa lembaga keuangan

desa yang tergolong ke dalam jenis rural bank seperti: Bank Desa, Lumbung

Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN), Lembaga

Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan

(BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan

(LPK), Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan lembaga-lembaga lain yang

dipersamakan dengan itu diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat

(BPR) dengan persyaratan dan tata cara yang ditentukan dalam peraturan

pemerintah. Pengukuhan BKK menjadi BPR harus dilakukan agar dalam

menjalankan kegiatan usahanya memperoleh izin atau legalitas sebagai BPR.

BKK harus melakukan peleburan atau penggabungan diri (merger, akuisisi, atau

konsolidasi) dengan BKK atau BPR lain, atau bahkan ditingkatkan statusnya

menjadi Bank Umum, dengan maksud untuk menjamin kesatuan dan

keseragaman dalam pembinaan, pengawasan, penguatan kelembagaan, serta

struktur permodalannya. Kehadiran UU Perbankan memberikan kejelasan

status dan memperkuat struktur kelembagaan bagi berbagai lembaga perbankan

mikro di desa yang notabene memiliki permasalahan dalam aspek permodalan.

Page 52: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

73

Sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (2) UU Perbankan, BKK dapat

memilih salah satu alternatif bentuk hukum yaitu: a. Perusahaan Daerah; b.

Koperasi; atau c. Perseroan Terbatas. Jika BKK tidak memiliki bentuk badan

hukum, maka BKK tidak dapat menjalankan kegiatan usaha sebagaimana yang

dijalankan BPR. Menyikapi hal tersebut, tidak sedikit BKK yang melakukan

penggabungan atau peleburan dengan BKK atau BPR lain, dan memilih

alternatif bentuk hukum Perusahaan Daerah, sehingga melahirkan suatu badan

usaha baru yaitu Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit

Kecamatan (PD. BPR-BKK). Pemilihan bentuk hukum Perusahaan Daerah

merupakan usaha pemerintah daerah sebagai personifikasi negara untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. PD. BPR-BKK membentuk modal

masyarakat dengan mengandalkan simpanan wajib, juga simpanan dari

masyarakat dalam bentuk tabungan dan deposito untuk mengestimasikan

pembentukan koperasi-koperasi kredit desa. PD. BPR-BKK juga memberikan

kredit dengan sistem perkreditan yang mudah dan murah untuk masyarakat

pedesaan dan pasar-pasar yang diarahkan untuk peningkatan kegiatan usaha

yang produktif seperti: produksi pertanian, industri atau kerajinan rakyat,

produksi perikanan, perdagangan, dan lain sebagainya. PD. BPR-BKK

merupakan BUMD di bidang perbankan yang memang erat kaitannya dengan

usaha pemerintah daerah dalam membangun desa melalui peningkatan

perekonomian masyarakatnya.

Otonomi daerah memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk

mengurus dan mengatur urusan rumah tangga daerahnya sendiri secara mandiri.

Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat proses pembangunan daerah yang

bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Tidak dapat

dimungkiri bahwa BUMD merupakan salah satu instrumen untuk mewujudkan

hal tersebut. Pemerintah sebagai regulator membuat kebijakan yang

mengakomodir kelangsungan kegiatan usaha daripada BUMD, yaitu melalui

UU Pemerintahan Daerah. Pasal 331 ayat (3) UU Pemerintahan Daerah

mengatur bahwa BUMD dapat memilih bentuk badan hukum antara lain: a.

Perusahaan Umum Daerah; atau b. Perusahaan Perseroan Daerah. Mencermati

Page 53: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

74

rumusan ketentuan tersebut, tentunya sangat kontradiktif dengan ketentuan

Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan. Artinya terdapat hubungan yang

tidak fungsional dan inkonsistensi dalam hal pengaturan bentuk badan hukum

antara UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah. Pasal UU Perbankan

mengatur bahwa pemerintah daerah dapat mendirikan dan/atau memiliki Bank

Umum atau BPR. Oleh karena badan usaha yang modalnya untuk sebagian atau

seluruhnya dimiliki oleh daerah merupakan BUMD, maka BUMD di bidang

perbankan juga terikat pada regulasi yang mengatur mengenai BUMD, yang

dalam hal ini adalah UU Pemerintahan Daerah. Perlu dilakukannya sinkronisasi

atau penyesuaian pengaturan mengenai bentuk hukum BUMD antara UU

Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah.

Sistem hukum suatu negara dapat dikatakan ideal jika memenuhi asas

(principles of legality), yang salah satunya yaitu suatu sistem tidak boleh

mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain serta harus

adanya kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya

sehari-hari. Ketidaksesuaian pengaturan bentuk badan hukum antara UU

Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah mencerminkan kegagalan negara

dalam mewujudkan suatu sistem hukum yang ideal. Ketika terdapat dua atau

lebih aturan hukum yang dalam hierarki peraturan perundang-undangan

memiliki kedudukan yang sama, mengatur mengenai hal yang sama, tetapi

terdapat perbedaan pengaturan, maka harus dilakukan sinkronisasi secara

horizontal. Sudah semestinya materi muatan mengenai bentuk badan hukum

dalam UU Perbankan disesuaikan dengan pengaturan dalam UU Pemerintahan

Daerah. Konsekuensi yuridisnya adalah setiap BUMD di bidang perbankan,

termasuk PD. BPR-BKK harus menyesuaikan bentuk badan hukumnya

sebagaimana diatur oleh UU Pemerintahan Daerah, yaitu apakah berbentuk

hukum Perusahaan umum Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah. Setiap

BUMD termasuk PD. BPR-BKK saat ini telah banyak menghadapi tantangan

dengan kompleksitas dinamika perkembangannya. Bentuk hukum berupa

Perusahaan Daerah sebagaimana diatur dalam UU Perusahaan Daerah dan UU

Perbankan beserta segala peraturan pelaksanaannya dirasa sudah tidak relevan

Page 54: BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori atau Konseptual 1. · A. Kerangka Teori atau Konseptual ... dan asas-asas peraturan ... peraturan perundang-undangan Indonesia yang patut

75

untuk diaplikasikan kepada BUMD karena telah menimbulkan distorsi dalam

pengelolaan dan pengembangannya, sehingga perlu dilakukan penyesuaian

dengan UU Pemerintahan Daerah sebagai regulasi terbaru. Hal tersebut

tentunya sesuai dengan asas dalam ilmu perundang-undangan yaitu asas lex

posterior derogat legi priori. Asas tersebut menghendaki bahwa aturan hukum

yang lebih baru dapat mengesampingkan aturan hukum yang lama. UU

Pemerintahan Daerah sebagai aturan hukum yang lebih baru dapat

mengesampingkan UU Perbankan sebagai undang-undang yang terdahulu.

Setelah proses sinkronisasi secara horizontal mengenai pengaturan

bentuk badan hukum dalam UU Perbankan dengan UU Pemerintahan Daerah

dilakukan, akan dianalisis formulasi bentuk badan hukum ideal bagi PD. BPR-

BKK. PD. BPR-BKK sebagai salah satu BUMD di bidang perbankan yang

memikili fungsi untuk menggali potensi-potensi ekonomi daerah guna

menunjang penerimaan bagi daerah dan menyejahterakan rakyat banyak, dalam

melangsungkan kegiatan usahanya sudah barang tentu memerlukan landasan

gerak yang kokoh. Setiap jenis bentuk badan hukum tentunya memiliki

mekanisme pengelolaan yang berbeda, sehingga menjadi sangat penting untuk

menentukan bentuk badan hukum yang tepat untuk diaplikasikan kepada PD.

BPR-BKK agar dapat mengoptimalkan pengembangan dan pengelolaannya

serta dapat memenuhi fungsinya dengan sebagaimana mestinya.