Upload
lamdan
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Morfologi Nyamuk Ae aegypti
Perantara utama penyakit DBD adalah nyamuk Ae aegypti. Nyamuk
Ae aegypti dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata –
rata nyamuk lain. Nyamuk ini mempunyai warna dasar hitam dengan bintik
– bintik putih pada bagian badan, kaki dan sayapnya. Nyamuk Ae aegypti
mengalami metamorfosis sempurna yaitu : Telur - Jentik – Kepompong –
Nyamuk.
Gambar 2.1
Siklus Hidup Nyamuk Ae aegypti 1
1. Stadium Telur
Gambar 2.2
Telur Nyamuk Ae aegypti 1
Telur Ae aegypti berwarna hitam, sepintas lalu tampak bulat panjang
dan berbentuk oval menyerupai torpedo dengan ukuran ± 0,80 mm. Di
bawah mikroskop pada dinding luar telur (exochorion) telur nyamuk tampak
garis – garis yang membentuk gambar seperti sarang lebah. Di alam bebas
telur nyamuk ini di letakkan satu persatu menempel pada dinding atau
tempat perindukan pada tempat yang lembab atau sedikit mengandung air.
8
Di dalam laboratorium terlihat jelas telur – telur ini diletakkan
menempel pada kertas saring yang tidak terendam air. Telur nyamuk ini
dapat menetas dalam waktu 1 – 2 hari, sedangkan di alam bebas dapat
menetas kurang lebih sama atau dapat lebih lama tergantung pada keadaan
air di wadah atau perindukan.
Nyamuk Ae aegypti betina dapat mengeluarkan telur 100 – 300 butir
telur. Nyamuk dewasa dapat bertelur 10 – 100 kali dalam jarak 4 – 5 hari
dengan mengahasilkan telur antara 300 – 700 butir. 1
2. Stadium Larva
Gambar 2.3
Larva Nyamuk Ae aegypti 1
Setelah kontak dengan air telur akan menetas menjadi larva yang
disebut larva instar 1 dalam waktu ± 2 hari, setelah itu larva ini akan
mengalami 3 kali pergantian kulit berturut – turut menjadi larva II, III dan
larva IV. Stadium jentik biasanya berlangsung 6 – 8 hari. Larva Aedes
aegypti tampak bergerak aktif dan lincah dengan memperlihatkan gerakan
naik turun dalam air yang berulang – ulang. Pada saat larva mengambil
oksigen dari udara larva menempatkan corong pernafasan (shipon) di atas
permukaan air, larva berada di posisi membentuk sudut dengan permukaan
air.
Larva nyamuk Ae aegypti tubuhnya memanjang tanpa kaki dengan
bulu – bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam
pertumbuhan dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit
(ecdysis) dan larva yang terbentuk berturut – turut disebut larva instar I, II,
III dan IV. Larva instar I tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1
– 2 mm, duri – duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan
corong pernafasan (shipon) belum menghitam. Larva instar III bertambah
9
besar, ukuran 2,5 – 3,9 mm, duri dada belum jelas, dan corong pernafasan
sudah berwarna hitam. Larva instar IV telah lengkap struktur anatominya
dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi bagian kepala (chepal), dada (thorax)
dan perut (abdomen).
Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang
antena tanpa duri – duri dan alat – alat mulut tipe pengunyah (chewing).
Bagian dada tampak paling besar dan terdapat bulu – bulu yang simetris.
Perut atas tersusun atas 8 ruas. Ruas perut ke-8, ada alat untuk bernafas yang
disebut corong pernafasan. Corong pernafasan tanpa duri – duri, berwarna
hitam dan ada seberkas bulu – bulu (tuft). Ruang ke-8 juga dilengkapi
dengan seberkas bulu – bulu sikat (brush) di bagian ventral dan gigi sisir
(comb) yang berjumlah 15 – 19 gigi yang tersusun dalam 1 baris. Gigi – gigi
sisir dengan lekukan yang jelas membentuk gerigi. Larva ini tubuhnya
langsung dan bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif dan waktu
istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan bidang permukaan
air.1
3. Stadium Pupa (Kepompong)
Gambar 2.4
Pupa Nyamuk Ae aegypti 1
Pupa Ae aegypti mempunyai ciri morfologi yang khas yaitu memiliki
tabung atau terompet pernafasan (respiratory terompets) yang berbentuk
segitiga (three angular) jika pupa diganggu oleh gerakan atau tersentuh
maka pupa tersebut akan bergerak cepat menyelam kedalam air selama
beberapa detik muncul kembali ke permukaan dan akan menggantungkan
badannya menggunakan tabung pernafasan pada permukaan air wadah atau
tempat perindukan. Setelah berumur 1 – 2 hari pupa tumbuh menjadi
nyamuk dewasa jantan atau betina. 1
10
4. Stadium Nyamuk Dewasa
Gambar 2.5
Nyamuk Dewasa Ae aegypti 1
Perkembangan nyamuk Ae aegypti jantan setelah 1 hari siap
melakukan kopulasi dengan nyamuk betina. Setelah kopulasi dilakukan
nyamuk betina mencari makan berupa darah manusia atau hewan yang
digunakan untuk pemasakan telur. Nyamuk Ae aegypti dewasa mempunyai
ciri – ciri morfologi yang khas yaitu nyamuk berukuran lebih kecil dari pada
nyamuk rumah (Culex quingoefasiciatus). Ujung abdomen lancip berwarna
dasar hitam dengan baercak bercak putih di seluruh tubuhnya, termasuk kaki
dan sayapnya. 1
B. Binomik Nyamuk
Perkembangan nyamuk Ae aegypti mula – mula banyak ditemukan di
kota – kota, pelabuhan dan dataran rendah, lalu menyebar ke pedalaman.
Penyebaran nyamuk ini terutama dengan bantuan manusia mengingat jarak
terbangnya yang tidak jauh, hanya sekitar 40 – 100 m dari lokasi
kemunculannya, hal ini di pengaruhi oleh beberapa faktor termasuk
ketersediaan tempat bertelur dan darah.
Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan perkembangan telur,
mulai nyamuk menghisap darah sampai telur dikeluarkan antara 3 – 4 hari,
jangka waktu tersebut disebut silus gonotropik.
Nyamuk Ae aegypti betina mampu menggigit berulang – ulang dan
umumnya bersifat antrofilik. Pada umumnya nyamuk Ae aegypti menggigit
pada waktu pagi hari antara jam 08.00–11.00 dan sore hari jam 15.00–17.00.
Umur nyamuk Ae aegypti betina dan jantan berturut – turut mencapai
20 – 30 hari. Berdasarkan beberapa penelitian nyamuk Ae aegypti lebih suka
hinggap atau beristirahat di tempat yang gelap, lembab dan tersembunyi di
11
dalam rumah atau bangunan, termasuk di kamar tidur, kamar mandi, kamar
kecil maupun pada dapur. Nyamuk ini jarang ditemukan di luar rumah, di
tumbuhan atau di tempat terlindung lainnya. Di dalam ruangan, permukaan
istirahat yang mereka suka adalah di bawah furniture, benda yang tergantung
seperti baju dan korden serta dinding. 6
C. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kehidupan Ae aegypti
1. Pengaruh lingkungan biologik
Penerapan pengendalian biologis yang ditujukan langsung
terhadap jentik vektor dengue dengan menggunakan predator,
contohnya dengan memelihara ikan pemakan jentik seperti ikan kepala
timah, ikan gupi, dan ikan mujair. Kemampuan dan efisiensi dari
tindakan pengendalian ini tergantung pada jenis penampungan airnya.
Selain menggunakan ikan pemakan jentik predator lain yang
digunakan yaitu bakteri dan cyclopoids (sejenis ketam laut). 13
2. Pengaruh lingkungan fisik
Lingkungan fisik yang mempengaruhi kehidupan Ae aegypti antara
lain :
a Suhu
Suhu udara merupakan salah satu faktor lingkungan yang
mempengaruhi kehidupan Ae aegypti. Rata – rata suhu optimum
untuk pertumbuhan nyamuk adalah 25 0C – 27
0C. Nyamuk dapat
bertahan hidup hidup pada suhu rendah, tetapi proses
metabolismenya menurun atau bahkan terhenti apabila suhu
turun sampai < 10 0C atau pada suhu > 35 0C.
b Kelembaban
Kelembaban nisbi antara 75 % - 93 %. Kelembaban udara
mempengaruhi kebiasaan nyamuk meletakkan telurnya. Pada
kelembaban udara < 60 % umur nyamuk akan menjadi pendek,
tidak bisa menjadi vektor, tidak cukup waktu untuk perpindahan
virus dari lambung ke kelenjar ludah.
12
c Cahaya
Cahaya merupakan faktor yang mempengaruhi nyamuk beristirahat
pada suatu tempat. Intensitas cahaya yang rendah dan kelembaban
yang tinggi merupakan kondisi yang baik bagi nyamuk dan
mempengaruhi aktifitas terbang nyamuk. Nyamuk terbang apabila
intensitas cahaya < 50 lux.
d Curah hujan
Hujan akan mempengaruhi kelembaban udara dan menambah tempat
perindukan nyamuk Ae aegypti yang alamiah, contoh : kaleng bekas,
botol bekas, potongan bambu.
e Ketinggian
Nyamuk tidak bisa hidup pada wilayah dengan ketinggian 1000 meter
diatas permukaan air laut.
f Kepadatan gedung / bangunan
Jarak antar gedung atau bangunan mempengaruhi penyebaran nyamuk
dari satu tempat ke tempat yang lain. Semakin dekat jarak antar
gedung atau bangunan semakin mudah nyamuk menyebar ke tempat
yang lain. 14
3. Pengaruh lingkungan kimiawi
Bahan kimiawi telah banyak digunakan untuk pengendalian Ae
aegypti sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. Metode yang digunakan
dalam pemakaian insektisida adalah dengan larvasida untuk membasmi
jentik- jentiknya dan pengasapan untuk nyamuk dewasa. Pemberantasan
jentik dengan bahan kimia kita kenal dengan istilah abatisasi. Larvasida
yang digunakan adalah temephos. Formulasi temephos (abate 1 %) yang
digunakan yaitu granula (sand granules). Dosis yang digunakan 1 ppm atau
10 gram temephos (kurang dari 1 sendok makan rata) untuk setiap 100 liter
air. Abatisasi dengan temephos ini mempunyai efek residu 3 bulan,
khususnya didalam gentong tanah liat dengan pola pemakaian normal. 15
Pengendalian nyamuk dewasa dengan insektisida dilakukan dengan
sistem pengasapan. Pengasapan dilakukan dua siklus dengan interval satu
13
minggu. Hal ini merupakan metode yang digunakan dalam pemberantasan
DBD selama 25 tahun diberbagai negara, tetapi metode ini di nilai kurang
efektif, karena menurut penelitian hanya berpengaruh kecil terhadap
populasi nyamuk Ae aegypti. Ada 2 jenis penyemprotan yang digunakan
yaitu dengan thermal fogs (pengasapan panas) dan cold fogs (pengasapan
dingin). Keduanya dapat disemprotkan dengan mesin tangan maupun
dipasang pada kendaraan. 16
4. Pengaruh lingkungan sosial
Pendekatan pemberantasan terpadu adalah suatu strategi
pemberantasan vektor penyakit yang dilakukan dengan menggunakan
metode yaitu dengan pengendalian biologi, pengendalian kimiawi,
perlindungan diri, pengelolaan lingkungan dan penyuluhan secara terpadu.
Pemberantasan sarang nyamuk (PSN) merupakan upaya pemberantasan
vektor dengue yaitu Ae aegypti secara biologi dengan memlihara ikan
pemakan jentik, secara kimiawi larvasida dan secara fisik dikenal dengan
kegiatan 3M (menuras, menutup dan mengubur). Pengurasan tempat
penampungan air (TPA) perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya
seminggu sekali agar nyamuk tidak berkembang biak di tempat tersebut.
Apabila PSN dilakukan oleh seluruh masyarakat maka di harapkan
nyamuk Ae aegypti dapat dibasmi. Untuk itu perlu di upayakan penyuluhan
dan motivasi kepada masyarakat secara terus menerus dalam jangka waktu
yang lama, karena keberadaan Ae aegypti berkaitan erat dengan perilaku
masyarakat. 14
D. Pengendalian Vektor
Metode pengendalian vektor terpadu menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomer 374/Menkes/Per/III/2010 Tentang
Pengendalian Vektor yaitu :
1. Metode Pengendalian Secara Kimia
Cara ini dilakukan dengan cara menyemprotkan insektisida ke sarang
– sarang nyamuk, seperti got, semak dan ruangan. Banyak sekali insektisida
anti nyamuk yang saat ini beredar di pasaran. Selain penyemprotan, bisa
14
juga dilakukan penaburan insektisida butiran ke tempat jentik atau larva
nyamuk demam berdarah biasa bersarang. Seperti tempat – tempat
penampungan air, genangan air atau selokan yang airnya jernih. Penggunaan
obat anti nyamuk bakar juga di golongkan dalam pengendalian secara kimia
karena mengandung bahan beracun misalnya piretin. 17
Metode pengendalian vektor secara kimia bisa dilakukan dengan :
a. Penyemprotan ruang (space spray) adalah metode aplikasi insektisida
dengan cara memecah insektisida cairan menjadi droplet-droplet yang
sangat kecil (10-50 mikron) di semprotkan ke udara dan di harapkan
droplet berada di udara dalam waktu yang cukup, sehingga kontak
antara insektisida dengan serangga hama dapat maksimal. Droplet-
droplet kecil tersebut dapat di hasilkan dengan melibatkan energi
dalam berbagai bentuk, antara lain energi panas / thermal (heat),
seperti pada thermal fogger, energi mekanik seperti pada cold fogger
(ULV, ULD), dan energi dari gas yang di mampatkan seperti pada
aerosol dalam tabung.
b. Penyemprotan permukaan (surface spray) adalah perlakuan insektisida
baik yang berbentuk cair maupun yang berbentuk bubuk pada suatu
permukaan.
c. Fumigasi adalah penggunaan gas yang dilakukan di tempat/ruang yang
kedap udara dengan sifat gas yang bergerak ke segala penjuru arah.
Bahan kimia yang digunakan untuk fumigasi disebut fumigan.
d. Pengumpanan/baitting adalah pengendalian hama permukiman dengan
menggunakan umpan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan
perbatasan penggunaan insektisida di beberapa tempat dan kesadaran
akan keamanan lingkungan dan manusia. 16
2. Metode Pengendalian Secara Fisik dan Mekanis
Yaitu upaya-upaya untuk mencegah, mengurangi menghilangkan
habitat perkembangbiakan dan populasi vektor secara fisik dan mekanis.
Cara ini bisa dilakukan dengan modifikasi dan manipulasi lingkungan
tempat perindukan (3M Pembersihkan lumut, penanaman bakau,
pengeringan pengaliran/drainase), memakai baju lengan panjang,
15
penggunaan hewan sebagai hewan nyamuk (cattle barrier), pemasangan
kawat kasa, mengubur kaleng – kaleng atau wadah – wadah sejenis yang
dapat menampung air hujan. Dan membersihkan lingkungan yang
berpotensial dijadikan sarang nyamuk demam berdarah. Misalnya bak
tandon air, tempat minum burung, vas bunga, barang yang tergantung.
Pengendalian secara mekanis lain yang bisa digunakan adalah pemasangan
kelambu dan pemasangan perangkap nyamuk, baik menggunakan cahaya,
lem atau raket pemukul. 17
3. Secara Biologis
Cara ini dapat digunakan dengan memelihara ikan yang relatif kuat
dan tahan lama misalnya ikan mujahir di bak atau tempat penampungan air
lainnya, sehingga menjadi predator bagi jentik dan pupa nyamuk, bakteri
virus fungi, manipualsi gen (penggunaan jantan mandul). Cara yang tepat
untuk menentukan pengendalian vektor sangat dibutuhkan kaitan substansi
yang menyebabkan nyamuk menjadi vektor digambarkan seperti diagram
sebagai berikut.
Virus dengue Nyamuk Ae aegypti
Manusia
Lingkungan fisik Lingkungan biologi
Gambar 2.6 : Siklus Penularan DBD 17
E. Insektisida
1. Pengertian
Insektisida berasal dari dari kata insect, yang berarti serangga dan
cide artinya membunuh. Secara harfiah insektisida di artikan sebagai bahan
kimia yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan serangga
hama. Insektisida adalah semua bahan atau campuran bahan yang digunakan
16
untuk mencegah, merusak, menolak atau mengurangi serangga hama.
Pengertian bahan dapat diartikan dapat berupa bahan kimiawi maupun bahan
non kimiawi. 15
2. Penggolongan insektisida
a. Pembagian menurut cara kerjanya
1) Insektisida kontak
2) Insektisida racun perut
3) Insektisida racun pernafasan
4) Insektisida sistemik
b. Pembagian menurut asal bahan yang digunakan
1) Insektisida kimia sintetik, insektisida yang banyak kita kenal
seperti organofosfor, karbamat, piretroid sintetik.
2) Insektisida botani (berasal dari ekstrak tumbuhan)
a) Ekstrak sejenis bunga krisan (Chrisanthemum sp-
Compositae/Asteraceae) (piretrin). Dalam kemajuannya
insektisida ini telah dibuat secara sintetik dan disebut
sintetik piretroid (permetrin, sipermetrin , sihalotrin )
b) Ekstrak biji nimba (azadirahtin- Nimbo 0,6 AS)
c) Ekstrak akar tuba (rotenon- Biocin 2 AS)
3) Insektisida dari mikroorganisme
a) Beauveria bassiana (Bevaria P, Bassiria AS)
b) Bacillus thuringigiensis (Bactospeine WP, Thuricide HP,
Turex WP).
c. Pembagian yang umum yang banyak digunakan adalah berdasar
batasan golongan kimia dan cara kerja yang khas yaitu :
1) Anorganik (tembaga arsenat, boraks, merkuri klorida)
2) Organochlorine (DDT, aldrin, dieldrin, endosulfan)
3) Organofosfor (organophosphorus)
a) Organophosphate (dicrotophos, monocrotophos, naled)
b) Organothiophosphate (phenthoate, dimethoate, omethoate,
poksim, chlorpyrifos, diazinon, fenitrothion, profenofos,
17
trichlorfon)
c) Phosphoramidate (fenamiphos, mephosfolan, phosfolan)
d) Phosphoramidothioate (acephat, isofenphos, methamidophos)
e) Phosphorodiamide (dimefox, mazidox)
d. Karbamat (carbamate) (carbaryl, bendiocarb)
1) Benzofuranyl methylcarbamate (carbofuran, carbosulfan,
benfuracarb)
2) Dimethylcarbamate (dimetan, dimetilan, pirimicarb)
3) Oxime carbamate (methomyl, oxamyl, thiodicarb)
4) Phenyl methylcarbamate (fenobucarb, isoprocarb, propoxur)
e. Pyrethroid
1) Pyrethroid ester (allethrin, cyfluthrin, cyhalothrin, cypermethrin,
deltamethrin, fenpropathrin, fenvalerate, fluvalinate, transfluthrin)
2) Pyrethroid ether (etofenprox, flufenprox)
f. IGR (insect growth regulator)
1) Chitin synthesis inhibitor (menghambat sintesis chitin (buprofezin,
cyromazin, diflubenzuron, luvenuron)
2) Moutlting hormones agonist (menghambat pembentukan kepongpong)
(halofenozide, tebufenozide, a-ecdysone).
3) Juvenile hormone mimic (mengganggu secara hormonal serangga tetap
dalam fase larva (fenoxycarb, hydroprene, methoprene).
g. Dinitrophenol (dinex, dinoprop, DNOC)
h. Flourine (barium hexafluorosilicate, sodium hexafluorosilicate)
i. Formamidine (amitraz, chlordimeform)
j. Nereistoxin analog (cartap, bensultap, thiosultap)
k. Nicotinoid (imidacloprid, acetamiprid, thiametoxam)
l. Pyrazol (fipronil)
m. Insektisida botani.
n. Insektisida antibiotik (abamectin, ivermectin, spinosad)
o. Insektisida fumigant (chloropicrin, ethylene dibromide, phosphine)
18
3. Cara kerja insektisida
Kita telah mengetahui bahwa insektisida adalah bahan racun yang
mematikan serangga, tetapi bagaimana proses insektisida mematikan
serangga masih tanda tanya. Umumnya informasi tentang insektisida untuk
pengguna adalah tentang efikasi, cara penggunaan dan keamanannya. Proses
bagaimana insektisida meracun dan mematikan serangga (mode of action)
hanya disebut secara garis besar seperti racun kontak, racun perut, atau
racun pernafasan.
a. Insektisida yang mempengaruhi sistem syaraf.
Kebanyakan insektisida seperti organofosfor, karbamat dan piretroid
sintetik dan lainnya bekerja dengan mengganggu sistem syaraf. Untuk dapat
lebih memahami cara kerja racun saraf berikut diuraikan sedikit tentang
sistem saraf. Sistem saraf adalah suatu organ yang digunakan untuk
merespon rangsangan baik dari luar maupun dari dalam sehingga serangga
dapat hidup dan berkembang. Sistem saraf terdiri dari banyak sel saraf
(neuron) yang saling berhubungan yang menyebar ke seluruh tubuh. Secara
tipikal bentuk neuron di salah satu ujungnya berupa semacam serabut yang
disebut dendrit dan diujung lain memanjang dan ujungnya bercabang-
cabang disebut akson. Antar neuron berhubungan melalui aksonnya. Titik
dimana dua neuron berhubungan disebut sinap. Ujung akson yang
berhubungan neuron lainnya disebut pre sinap sedangkan bagian dari
neuron yang berhubungan dengan presinap disebut postsinap. Impul saraf
berjalan dari satu neuron ke neuron berikutnya sepanjang akson melalui
sinap. Di daerah sinap impul saraf diteruskan oleh neurotransmitter yang
banyak jenisnya. Berjalannya impul saraf merupakan proses yang sangat
kompleks.
Prosses ini dipengaruhi oleh keseimbangan ion-ion K+, Na+, CA++,
Cl-, berbagai macam protein, enzim, neurotransmitter, dan lain-lainnya yang
saling mempengaruhi. Gangguan pada salah satu faktor mengakibatkan
impul saraf tidak dapat berjalan secara normal. Sehingga serangga tidak
mampu merespon rangsangan.
19
Insektisida organofosfor dan karbamat mengikat enzim
asetilkolinesterase yang berfungsi menghidrolisis asetilkolin. Dalam
keadaan normal asetilkolin berfungsi menghantar impul saraf, setelah itu
segera mengalami hidrolisis dengan bantuan enzim asetilkolinesterase
menjadi kolin dan asam asetat. Dengan terikatnya enzim asetilkolinesterase
terjadi penumpukan asetilkolin, akibatnya impul saraf akan terstimulasi
secara terus menerus menerus menyebabkan gejala tremor/gemetar dan
gerakan tidak terkendali.
Piretroid sintetik adalah sintetik kimia yang menyerupai piretrin.
Mulanya, insektisida pyretrin diperoleh dari ekstrak bunga tanaman
Chrysanthemum sp (Compositae), namun sekarang manusia telah mampu
membuat sintetiknya. Piretrin memiliki knock down yang cepat namun tidak
stabil, mudah mengalami degradasi. Sebaliknya, sintetik piretroid memiliki
sifat lebih stabil. Sintetik piretroid juga bekerja mengganggu sistem syaraf
dengan mengikat protein voltage-gated sodium channel (VGSC) yang
mengatur denyut impul syaraf. Efeknya sama seperti yang disebabkan oleh
organofosfor dan karbamat, impul saraf akan mengalami stimulasi secara
terus menerus dan mengakibatkan serangga menunjukkan gejala
tremor/gemetar, gerakan tak terkendali.
Imidacloprid, insektisida golongan kloronikotinil juga insektisida
yang bekerja mengganggu sistem saraf. Di dalam sistem saraf, imidacloprid
memiliki sifat menyerupai fungsi asetilkolin. Seperti telah diterangkan di
atas bahwa setelah asetilkolin meneruskan impul saraf pada reseptor akan
segera terhidrolisa. Imidacloprid akan menempati reseptor asetilkolin dan
tetap terikat pada reseptor. Efek selanjutnya mirip dengan organofosfor atau
karbamat.
Avermektin, demikian juga abamektin juga bekerja sebagai racun
saraf. Avermektin adalah insektisida antibiotik yang berasal dari suatu jamur,
secara kimia digolongkan dalam makrolakton. Avermektin mengikat suatu
protein dalam sel saraf yang yaitu gamma amino butyric acid (GABA)-
gated chloride channel. Protein ini berfungsi mengatur impul saraf.
Avermektin menghambat fungsi protein ini, akibatnya saraf akan mengalami
20
overeksitasi. Gejala yang ditunjukkan tremor dan gerakan tak terkendali.
Demikian juga fipronil, insektisida dari golongan phenylpyrazole
menunjukkan efek yang mirip menghambat fungsi GABA-gated chloride
channel.
b. Insektisida yang menghambat produksi enegi
Dibandingkan dengan insektisida yang bekerja mengganggu racun
saraf, insektisida golongan ini dapat dikatakan sangat sedikit. Namun
demikian tidak menutup kemungkinan akan berkembang pada masa datang.
Insektisida jenis ini yang telah beredar di Indonesia adalah dengan merek
dagang Amdro.
Mekanisme kerja insektisida ini mengganggu proses respirasi, suatu
proses yang menghasilkan energi untuk proses metabolisme. Respirasi
adalah suatu proses pemecahan gula atau senyawa lain yang menghasilkan
energi. Energi ini digunakan untuk proses pertumbuhan. Proses respirasi
adalah proses yang kompleks, yang melibatkan banyak reaksi yang
memerlukan enzim. Gangguan-gangguan dalam setiap tahap reaksi ini akan
menggaggu perolehan energi yang diperlukan yang akhirnya menghambat
pertumbuhan dan jasad akan mati di atas kakinya sendiri karena kehabisan
tenaga untuk tumbuh dan berkembang.
c. Insektisida yang mempengaruhi pertumbuhan serangga hama (IGR, Insect
Growth Regulator)
Insektisida ini dibagi menjadi dua yaitu yang mempengaruhi sistem
endokrin dan yang menghambat sintesis kitin.
Pertumbuhan serangga pada fase muda (larva), dikendalikan oleh
hormon juvenile (juvenile hormon) yang diproduksi di otak. Hormon juvenil
mengatur kapan fase larva berakhir kemudian dilanjutkan dengan molting
kemudian menjadi dewasa. Insektisida berbahan aktif hydroprene,
methoprene, pyriproxypen dan fenoxycarb bekerja menyerupai hormon
juvenil, menyebabkan larva terganggu pertumbuhannya, tetap dalam fase
muda, tidak dapat bekepompong dan akhirnya mati.
21
Insektisida yang menghambat pembentukan kitin adalah dari
golongan benzoylurea seperti lufenuron, diflubenzuron (Dimilin),
teflubenzuron (Nomolt) dan hexaflumuron (Sentricon). Kitin adalah
komponen utama eksoskeleton serangga. Terganggunya proses pembentukan
kitin larva tidak dapat melanjutkan pertumbuhannya secara normal dan
akhirnya mati.
d. Insektisida yang mempengaruhi keseimbangan air tubuh.
Tubuh serangga dilapisi oleh zat lilin/minyak untuk mencegah
hilangnya air dari tubuhnya. Diatom, silica aerogels dan asam borat adalah
bahan yang dapat menyerap lilin/lemak, sehingga lapisan lilin akan hilang,
serangga akan banyak kehilangan air dan mengalami desikasi dan akhirnya
mati.
e. Insektisida yang merusak jaringan pencernaan serangga
Insektisida golongan ini adalah yang berbahan aktif mikroorganisme
Baccilus thuringiensis (Bti). Bti membentuk endotoksin yang bila masuk ke
dalam pencernaan serangga (larva dari golongan lepidoptera) yang bersifat
asam akan terlarut dan merusak sel-sel jaringan pencernaan dan
menyebabkan kematian. 19
F. Malathion
Malathion temasuk kelompok insektisida organofosfor yang
dipergunakan secara luas untuk membasmi serangga dalam bidang
kesehatan, pertanian, peternakan dan rumah tangga, dan mempunyai daya
racun yang tinggi pada serangga sedangkan toksisitasnya terhadap mamalia
relatif rendah, sehingga banyak digunakan. Malathion telah terdaftar di
Kanada sejak 1953 untuk pengendalian nyamuk dewasa. Disukai pilihan
untuk aplikasi ultra rendah volume (ULV) untuk kontrol nyamuk dewasa,
yang umumnya disebut adulticiding. Mayoritas malathion digunakan di
Kanada adalah untuk mengendalikan serangga dibidang pertanian. Diantara
pilihan nyamuk kontrol yang tersedia, malathion memiliki paling saat ini
dan keselamatan yang komprehensif informasi yang tersedia.
22
Para pengguna adulticiding dan malathion baru-baru ini ditinjau oleh
Manajemen Hama Kesehatan Kanada Badan Pengatur (PMRA) dibawah
yang kembali evaluasi program. Regulator Kanada menerapkan tinggi
standar keselamatan dan risiko yang ketat pendekatan penilaian yang
mencakup khusus pertimbangan risiko pada sub populasi sensitif seperti
bayi dan anak-anak. Para PMRA ini kesimpulan menunjukkan bahwa terus
menggunakan malathion untuk nyamuk dewasa di permukiman, dengan
menggunakan tanah atau udara ultra aplikasi volume rendah, tidak akan
menimbulkan kesehatan keprihatinan. Selama aplikasi ULV, malathion
diterapkan pada tingkat 60,8 gram/hektar untuk ULV tanah, atau 260
gram/hektar untuk ULV udara aplikasi. Bahkan untuk seseorang yang luar
ruangan selama penyemprotan, ini tingkat aplikasi akan menghasilkan
perkiraan eksposur yang jauh di bawah eksposur yang menghasilkan efek
yang merugikan pada hewan laboratorium. Keputusan untuk menyemprot
area tertentu untuk kontrol nyamuk dewasa dilakukan pada lokal atau tingkat
provinsi. Selama pengendalian nyamuk program, pihak berwenang setempat
menginformasikan publik ketika malathion akan diterapkan sehingga
individu dapat mengambil tindakan untuk memenimalkan mereka eksposur.
Malathion membunuh insekta dengan cara meracun lambung, kontak
langsung dan dengan uap/pernapasan. Malathion, mempunyai sifat yang
sangat khas, dapat menghambat kerja kolinesterase terhadap asetilkolin
(Asetilcholinesterase Inhibitor) di dalam tubuh. Insektisida mengalami
proses biotransformation di dalam darah dan hati. Sebagian malathion dapat
dipecahkan dalam hati mamalia dan penurunan jumlah dalam tubuh terjadi
melalui jalan hidrolisa esterase.
Adapun kelebihan insektisida malathion adalah : efektif
mengendalikan nyamuk Ae. Aegypti, hemat, dosis yang rendah, beraroma
lembut dan relatif tidak berbahaya kepada operator, memiliki toksisitas
rendah terhadap mamalia, murah diaplikasikan dengan cold fogging /
pengkabutan, thermal fogging / pengasapan.
Nama dagang malathion diantaranya Atrapa, Celthion, Cyhtion,
Dielathion, El 4049, Emmaton, Exathios, Frfanon, Hilthion, Karbofos,
23
Maltox, sedangkan nama kimia malathion yaitu dietil (dimethoxy
thiophosporylthio) suksinat. 15
G. Resistensi Nyamuk Ae aegypti Terhadap Insektisida
1. Pengertian resistensi
Resistensi adalah kemampuan serangga (nyamuk) untuk bertahan
hidup terhadap pengaruh insektisida yang biasanya mematikan. Resistensi
terjadi secara bawaan dan dapatan. Resistensi bawaan adalah sifat resisten
yang diturunkan dari induknya yang sudah resisten, sedangkan resistensi
didapat adalah kemampuan serangga untuk menyesuaikan diri terhadap
pengaruh insektisida melalui berbagai mekanisme sehingga tidak mati dan
dapat membentuk populasi yang resisten.
Mekanisme resitensi bawaan dibedakan atas resitensi fisiologik dan
resitensi perilaku. Resistensi fisiologik bawaan terjadi karena faktor – faktor
daya absorbsi serangga sangat lambat dan tidak menyebabkan kematian,
kemampuan menyimpan insektisida dalam jaringan yang tidak vital, daya
ekskresi sangat cepat sehingga insektisida tidak sampai mempengaruhi
tubuh, ada mekanisme detoksifikasi oleh enzim sehingga serangga tidak
mati.
Resistensi perilaku bawaan terjadi karena faktor - faktor perubahan
habitat yang kemudian dipertahankan oleh generasi berikutnya sehingga
terhindar dari pengaruh insektisida dan sifat menghindar dari pengaruh
insektisida yang dikenali.
Hasil telaah sistematik tentang resistensi insektisida pada nyamuk
menunjukkan bahwa aspek-aspek penting dari enzim ini seperti subtra
spesifik, struktur, fungsi, lokasi dan regulasinya belum terpecahkan. 16
2. Jenis – jenis resistensi
Faktor-faktor yang mempercepat timbulnya resistensi adalah
perkembangbiakan yang cepat/jasad hidup mobil/tekanan seleksi tinggi
(kematian 80-90 %) atau insektisida yang persisten.
a Resistensi silang : resistensi yang disebabkan oleh suatu
jenis/golongan insektisida, meluas ke jenis insektisida yang lain.
24
b Resistensi ganda : resistensi suatu strain tunggal terhadap beberapa
jenis insektisida yang berbeda. 16
3. Mekanisme terjadinya resistensi
Mekanisme resistensi umumnya merupakan gabungan faktor-faktor
penyebab yaitu biokemis, fisiologis dan perilaku. Semakin spesifik suatu
insektisida, semakin mudah terjadi resistensi.
a Mekanisme biokemis :
Perubahan "action site" (target)
1). Enzim yang berubah Asetilkholinesterase serangga strain R
mengalami resistensi terhadap OP atau karbamat karena
menurunnya affinitas AChE terhadap inhibitor-inhibitornya
(konstanta dissosiasinya meningkat), diukur sebagai laju
penghambatan menyeluruh. Untuk paraoxon k1 strain S adalah
105/mol/menit, sementara untuk strain R adalah 102.
2). Reseptor yang berubah. Perubahan pada situs pengenal
konvulsan reseptor GABA-ionofor khlorida : siklodien
berkhlor, resistensi silang dengan alpha siano piretroid.
3). Metabolisme yang berubah
a). DDT dehydrochlorinase, menghasilkan produk (DDE)
yang tidak beracun. Di jumpai pada berbagai jaringan
serangga resisten, sebagai pelindung terhadap akumulasi
DDT. Banyak dikaji pada lalat rumah. Enzim juga
terinduksi oleh siklodien, fungsinya yang lain tidak
diketahui.
b). MFO, di hambat oleh MDP. Di induksi oleh karbamat,
beberapa OP dan piretroid. Resistensi silang terhadap JH
dan JHM.
c). Hidrolase fosfatase, menimbulkan resistensi terhadap
fosfat, karboksilesterase, resistensi terhadap malathion,
karboksilamidase, resistensi terhadap dimethoate. Kedua
tipe resistensi ini dapat diatasi dengan EPN, fenil saligenin
25
c-fosfat dan DEF.
d). Glutathion S-transferase (GST), peningkatan aktivitas enzim
atau aras GSH. Lebih banyak mengubah 0,0-dimetilfosfat
dibanding derivat-derivat alkil lain yang lebih tinggi. Tidak
ada penghambatnya yang spesifik.
e). Lintas situs pada suatu reseptor toksikan. Resistensi terhadap
terhadap HCN untuk menghindari oksidase sitokhrom yang peka
terhadap HCN.
4). Resistensi karena gen knock-down resistance (kdr). Resistensi
terhadap DDT dan piretroid nonsian terdapat bukti-bukti
elektrofisiologis. Mekanisme kdr bertindak pada tingkat neuron
dengan cara menurunkan sensitivitas syaraf terhadap toksikan.20
b Mekanisme fisiologis : penurunan laju penetrasi melalui membran
(kutikula) mengurangi jumlah ikatan pada sasaran berubahnya simpanan
dan meningkatnya eliminasi. Merupakan faktor yang kompleks dan
berkaitan dengan faktor-faktor lain.
Resistensi fisiologik bawaan terjadi karena faktor - faktor daya absorbsi
serangga sangat lambat dan tidak menyebabkan kematian, kemampuan
menyimpan insektisida dalam jaringan yang tidak vital daya ekskresi sangat
cepat sehingga insektisida tidak sampai mempengaruhi tubuh, ada
mekanisme detoksifikasi oleh enzim sehingga serangga tidak mati. 19
c Mekanisme perilaku : ada serangga yang dapat memodifikasi perilakunya
setelah perlakuan insektisida, misalnya nyamuk yang tidak lagi mau
hinggap di dinding yang telah disemprot dengan DDT.
Resistensi perilaku bawaan terjadi karena faktor - faktor perubahan habitat
yang kemudian di pertahankan oleh generasi berikutnya sehingga terhindar
dari pengaruh insektisida, dan sifat menghindar dari pengaruh insektisida
yang dikenali. 19
H. Penentuan Status Resistensi
Resistensi timbul pada semua spesies tetapi paling nampak pada
26
hewan-hewan rendah. Resistensi juga terjadi pada segala jenis preparasi
(insektisida mikrobia, khemosterilan, atraktan, repellen, hormon), asal preparasi
ini menyebabkan tekanan seleksi tinggi pada populasi, resistensi pasti muncul.
Untuk menentukan resistensi nyamuk Ae Aegypti ada dua cara, yaitu
secara konvensional menggunakan uji bio assay / susceptibility standar WHO dan
uji biokimia / uji enzimatis dengan metode Lee. 21
1. Uji bio assay (impragnated paper)
Uji bioassay untuk menentukan kerentanan nyamuk Ae Aegypti
terhadap insektisida malathion dalam bentuk impragnated paper dengan
konsentrasi 5 % yang dibuat oleh WHO. Uji dilakukan dengan
menggunakan WHO Susceptibility Test Kit yang berbentuk tabung.
Tingkat resistensi nyamuk dihitung berdasarkan rata-rata kematian
nyamuk dari empat kali pengulangan. Ada tiga kriteria kerentanan, yaitu :
a Rentan, bila rata-rata kematian nyamuk sebesar 99 - 100 %. Artinya
nyamuk yang di uji masih bisa di berantas dengan insektisida dalam
dosis anjuran.
b Perlu verifikasi atau toleran bila rata-rata kematian nyamuk sebesar 80
- 98 %. Artinya insektisida masih bisa digunakan tetapi harus ada
peningkatan dosis.
c Resisten, bila rata-rata kematian nyamuk sebesar < 80 %. Artinya
sudah tidak bisa digunakan dan harus diganti dengan jenis insektisida
yang lain. 20
2. Uji bio kimia dengan metode Lee
Jentik nyamuk instar IV awal digerus secara individual untuk dibuat
homogenat dan dilarutkan dengan 0,5 ml larutan phosphat buffer saline
(PBS) 0,02 M, pH = 7. Homogenat kemudian dipindahkan ke dalam
microplate menggunakan Micropipette sebanyak 50 µl bahan substrat α
naftil asetat dalam aceton (6 g/l) dicampur dengan 50 ml buffer phosphate
(0,02 M; pH=7) dan dibiarkan selama 60 detik. Selanjutnya pada setiap
microplate ditambahkan 50 µl bahan coupling reagent berupa 150 mg garam
Fast blue B (o-dianisidine, tetrazotized; sigma) dalam 15 ml aquades dan 35
ml aquous (5 %; w/v) sodium dodecyl sulphate (Sigma). Segera setelah
27
reaksi berlangsung 10 menit, warna merah yang mula mula timbul
berangsur-angsur berubah menjadi biru. Reaksi dihentikan dengan
penambahan 50 µl asam asetat 10 % ke dalam tiap-tiap microplate yang
berisi homogenat. Intensitas warna akhir produk reaksi menggambarkan
aktivitas enzim esterase nonspesifik dan tingkatannya dapat dibedakan
secara visual. Aktivitas enzim secara kuantitatif kemudian dibaca dengan
Elisa reader pada panjang gelombang 450 nm. 23
I. Kerangka Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka yang dipaparkan, dapat disusun kerangka teori
sebagai berikut :
Gambar 2.7 Kerangka Teori
Sumber : 1, 6, 13, 14, 15, 16, 17, 19, 20, 21
Intensitas
tindakan
fogging
(Paparan
Insektisida)
Perubahan
Biokimia
a. Jenis
insektisida
b. Lama
penggunaan
c. Dosis
Penebalan
Kutikula
Reduksi
Penetrasi
Kepekaan
Saraf Sensori
Perubahan
Perilaku
Enzim GST
Enzim
Esterasi
Enzim
Cyp 450
Mutasi Gen
Cyp 450
VGSC
GABA
Detoksifikasi
Metabolik
Gangguan
Fungsi Hati
Gangguan
Fungsi VGSC
Intensitas
Situs Target
Status
Resistensi
Nyamuk
Ae aegypti
Terhadap
Malathion
Spesies
nyamuk Ae
a. Suhu
b. Kelembaban
28
J. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian adalah sebagai berikut :
Gambar 2.8 Kerangka Konsep
Keterangan : Variabel pengganggu disamakan
K. Hipotesis
Sesuai dengan tujuan penelitian di atas maka dapat dirumuskan suatu
hipotesis yaitu Ada perbedaan intensitas tindakan fogging terhadap status
resistensi nyamuk Ae aegypti pada insektisida malathion.
Variabel bebas
Intensitas tindakan fogging
a. Di Fogging
b. Tidak di fogging
Variabel Terikat
Status resistensi nyamuk Ae aegypti
pada insektisida malathion
Variabel Penganggu
a. Spesies nyamuk Ae
b. Jenis insektisida
c. Lama penggunaan
d. Dosis