Upload
trinhnhi
View
218
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
1. Ngadenan, Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Konsekuensi Jaminan
Kredit Untuk Perlindungan Hukum Bagi Kepentingan Kreditur, Tesis
(Mungkid, 2009).
Adapun permasalahan yang akan dikemukakan adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana eksekusi hak tanggungan sebagai jaminan kredit untuk
perlindungan hukum bagi kepentingan kreditur?
b. Hambatan-hambatan apakah yang dihadapi dan upaya pemecahannya
dalam eksekusi hak tanggungan sebagai jaminan kredit untuk perlindungan
hukum bagi kepentingan kreditur?
2
Tujuan penelitian penyusunan tesis ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui dan menganalisis eksekusi hak tanggungan sebagai
jaminan kredit untuk perlindungan hukum bagi kepentingan kreditur.
b. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan-hambatan yang timbul
dalam eksekusi hak tanggungan sebagai jaminan kredit untuk
perlindungan hukum bagi kepentingan kreditur dan upaya pemecahannya.
Hasil Penelitian
Jika berbicara tentang eksekusi dalam hubungannya dengan hak tanggungan
tidaklah termasuk dalam pengertian apa yang dinamakan eksekusi riil,
karena eksekusi riil hanya dilakukan setelah adanya pelelangan. Eksekusi
dalam hubungannya dengan hak tanggungan bukanlah merupakan eksekusi
riil akan tetapi yang berhubungan dengan penjualan dengan cara lelang
obyek hak tanggungan yang kemudian hasil perolehannya dibayarkan
kepada kreditur pemegang hak tanggungan, apabila ada sisanya
dikembalikan kepada debitur.
Masalah eksekusi seringkali merupakan akhir suatu perkara maka
masalah eksekusi diatur dalam Hukum Acara Perdata Buku Kedua
Rechtvordering diberi judul mengenai pelaksanaan putusan pengadilan dan
surat perintah serta akta yang dipersamakan dengan suatu putusan
pengadilan, sedang yang dimaksuddengan akta yang mempunyai kekuatan
3
sebagai suatu keputusan pengadilan adalah Grosse Akta, termasuk Grosse
Akta Hipotik.1
2. Annur Muttaqin, Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan, Jurnal
( Malang, 2006).
Bahwa pada dasarnya pelaksanaan eksekusi jaminan hak tanggungan
lebih banyakmenggunakan pengadilan dalam eksekusinya daripada dengan
menggunakan lembaga parate eksekusi maupun penjualan secara di bawah
tangan. Pertimbangan dari kreditur adalah demi alasan keamanan dan
kelancaran proses eksekusi serta mengantisipasi kemungkinan terjadinya
eksekusi pengosongan terhadap objek hak tanggungan. Ada beberapa kendala
dalam pelaksanaan eksekusi hak tanggungan yaitu adanya perlawanan
(verzet) dari pihak tereksekusi atau debitur serta permasalahan yang timbul
dalam pelaksanaan pengosongan objek hak tanggungan yang ditempati baik
oleh debitur itu sendiri maupun oleh orang lain.2
Penelitian tentang praktek eksekusi jaminan hak tanggungan terhadap
nasabah wanprestasi menurut perspektif uu no 4 tahun 1996 dan hukum islam
dapat dikatakan ada salah seorang yang sudah meneliti tentang hal ini
sebelumnya, akan tetapi peneliti belum ada yang sempat menuangkan dalam
perspektif hukum islam. Adalah sangat penting untuk meletakkan perbedaan
dengan peneliti terdahulu untuk menjamin orisinilitas hasil karya tulis ini.
1Ngadenan, Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Konsekuensi Jaminan Kredit Untuk Perlindungan
Hukum Bagi Kepentingan Kreditur, Tesis (Mungkid, 2009).
2Annur Muttaqin, Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan, Jurnal ( Malang, 2006).
4
B. Hak Tanggungan
Berlakunya UUPA (UU No.5 Tahun 1960) maka dalam rangka mengadakan
unifikasi hukum tanah, dibentuklah hak jaminan atas tanah baru yang diberi nama
hak tanggungan, sebagai pengganti lembaga hipotik dengan hak milik, hak guna
usaha dan hak guna bangunan. Munculnya istilah hak tanggungan itu lebih jelas
setelah Undang-Undang RI Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan telah
diundangkan pada tanggal 9 April 1996 yang berlaku sejak diundangkannya
Undang-Undang tersebut. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, tanggungan
diartikan sebagai barangyang dijadikan jaminan. Sedangkan jaminan itu sendiri
artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima.
Dari uraian dan paparan diatas, dapatlah dikemukakan ciri hak tanggungan.
Ciri hak tanggungan adalah:
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada
pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference;
2. Biarpun objek hak tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada
pihak lain, kreditur pemegang hak tanggungan tetap masih berhak
untuk menjualnya melalui pelelangan umum jika debitur cedera janji;
3. Mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan memberikan
kemudahan dan kepastian kepada kreditur dalam pelaksanaan
eksekusi.3
3Sri, Jaminan, h. 8-9.
5
Dalam penjelasan umum UU No. 4 tahun 1996 butir 6 dinyatakan bahwa hak
tanggungan yang diatur dalam Undang-Undang ini pada dasarnya adalah hak
tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun pada kenyataannya
seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang
secara tetap merupakan satu kesatuan dengan tanah yangdijadikan jaminan
tersebut.
Selain ciri-ciri di atas, keistimewaan kedudukan hukum kreditur pemegang hak
tanggungan juga dijamin melalui ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 berbunyi: “ Apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, objek
hak tanggungan tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi hak tanggungan,
sebelum kreditur pemegang hak tanggungan mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan objek hak tanggungan itu”.
Dari uraian di atas hak tanggungan sebagaimana tertuang dalam UUHT ini tidak
dimaksudkan untuk memberikan pengaturan tentang hak tanggungan atas benda-
benda tetap lain selain dari pada tanah. Apabila membahas pengertian hak
tanggungan, maka banyak pendapat yang dikemukakan, diantaranya pengertian
hak tanggungan menurut St. Remy Syahdeni menyatakan bahwa UUHT
memberikan definisi yaitu hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut hak tanggungan.4
Unsur-unsur yang tercantum dalam pengertian hak tanggungan disajikan
berikut ini:
4Sutan Remy Sjahdeni, Hak tanggungan: Asas-Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah-
Masalah yang Dihadapi Perbankan, (Surabaya; Airlangga University Press, 1996), h.11.
6
1. Hak jaminan yang dibebankan hak atas tanah
Yang dimaksud dengan hak jaminan atas tanah adalah hak penguasaaan
yang secara khusus dapat diberikan kepada kreditur, yang memberi
wewenang kepadanya untuk, jika debitur cedera janji, menjual lelang tanah
yang secara khusus pula ditunjuk sebagai agunan piutangnya dan mengambil
seluruh atau sebagian hasilnya untuk pelunasan hutangnya tersebut, dengan
hak mendahulu dari pada kreditur-kreditur lain (droit de preference). Selain
berkedudukan mendahulu, kreditur pemegang hak jaminan dan mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, sungguhpun tanah yang
bersangkutan sudah dipindahkan kepada pihak lain (droit de suite).
Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu. Pada dasarnya, hak tanggungan dapat
dibebankan pada hak atas tanah semata-mata, tetapi dapat juga hak atas tanah
tersebut berikut dengan benda-benda yang ada di atasnya.
2. Untuk pelunasan hutang tertentu
Maksud untuk pelunasan hutang tertentu adalah hak tanggungan itu dapat
membereskan dan selesai dibayar hutang-hutang debitur yang ada pada
kreditur.
3. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur-kreditur lainnya.5
Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur lainnya, lazimnya disebut droit de preference. Keistimewaan ini
5Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, (Jakarta; PT Raja Grafindo Persada,
2004), h.96.
7
ditegaskan dalam pasal 1 angka (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996, yang berbunyi: “ Apabila debitur cedera janji, kreditur pemegang
hak tanggungan berhak untuk menjual objek yang dijadikan jaminan melalui
pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahulu dari pada
kreditur-kreditur lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditur
pemegang hak tangungan dengan peringkat yang lebih rendah”. Hak yang
istimewa ini tidak dipunyai oleh kreditur bukan pemegang hak tanggungan.6
1. Subyek dan Objek Hak Tanggungan
Mengenai subyek hak tanggungan ini diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9UUHT,
dari ketentuan dua Pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi subyek
hukum dalam pembebanan hak tanggungan adalah pemberi hak tanggungan dan
pemegang. Pemberi hak tanggungan dapat berupa perorangan atau badan hukum,
yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek
hak tanggungan. Pemegang hak tanggungan dapat berupa perorangan atau badan
hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Kebiasaan dalam
praktek pemberi hak tanggungan disebut sebagai debitur sebagai orang yang
berutang, sedangkan pemegang hak tanggungan disebut sebagai kreditur yaitu
orang atau badan hukum dan berkedudukan sebagai berpiutang.7
Berdasarkan Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 UUHT yang mengatur
mengenai obyek hak tanggungan yaitu :
6Salim, Jaminan, h. 97.
7Salim, Jaminan, h. 103-104.
8
1. Hak Milik.
2. Hak Guna Usaha.
3. Hak Guna Bangunan.
4. Hak Pakai, baik hak atas tanah negara.
5. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya
Dari kelima hak atas tanah tersebut, maka yang memerlukan penjelasan
lebih lanjut adalah mengenai hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan
hak pakai, sedangkan hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya
yang telah cukup jelas. Keempat hak atas tanah tersebut disajikan berikut ini.
1. Hak Milik
Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan
leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan
sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban
umum, dan tidak mengganggu hak orang lain.
2. Hak Guna Usaha
Hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh negara, meliputi bidang
pertanian, peternakan, pekerbunan, perikanan.luas minimum lima hektar
untuk perorangan dan luas maksimum 25 hektar untuk badan usaha. Luas
maksimum ditetapkan oleh menteri negara agraria.
3. Hak Guna Bangunan
Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang
bukan miliknya sendiri selama jangka waktu tertentu.
4. Hak Pakai, baik hak atas tanah negara.
9
Hak untuk menggunakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau
tanah milik orang lain, yang member wewenang dan kewajiban yang
ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat.
5. Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya
Hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dinyatakan dengan
tugas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas tanah yang
bersangkutan.
2. Pemberian Hak Tanggungan Harus Memenuhi Syarat Sahnya Perjanjian
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur mengenal syarat
sahnya perjanjian. Dengan rumusan yang menyatakan bahwa, untuk sahnya
perjanjian-perjanjian, diperlukan empat syarat;
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Ilmu hukum selanjutnya, membedakan keempat hal tersebut ke dalam dua
syarat, yaitu syarat subjektif dan syarat objektif.8
Dengan demikian kesepakatan dalam pemberian hak tanggungan harus
terlebih dahulu menemukan kata sepakat antar kedua belah pihak agar tidak
merugikan salah satu pihak.
3. Tanah Yang Tidak Dapat Dibebani Hak Tanggungan
Terdapat beberapa tanah yang tidak dapat dibebani hak tanggungan, yakni:
8Kartini Muljadi & Gunawan, Hak Tanggungan, (Jakarta; Kencana, 2008), h. 20.
10
a. Tanah milik yang sudah diwakafkan.
b. Tanah-tanah yang diperlukan untuk peribadatan dan keperluan suci
lainnya, walaupun tanah tersebut didaftar tetapi karena tidak dapat
dipindahtangankan, maka tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan.
c. Hak pakai atas tanah hak milik yang sudah diwakfkan. Hak pakai ini juga
tidak dapat dijadikan objek tanggungan, karena tanah hak pakai tersebut
juga tidak dapat dipindahtangankan.
4. Ketentuan Hak Tanggungan Dioper Dari Ketentuan Hipotik Menurut
KUHPerdata (BW)
Apabila kita bandingkan antara ketentuan Hipotik dalam buku II KUH
Perdata dengan hak tanggungan menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1996
ternyata banyak ketentuan yang disalin atau dioper dari pasal-pasal BW mengenai
hipotik, antara lain:
a. Baik ketentuan hipotik maupun hak tanggungan harus didaftarkan, agar
unsure asas publisitas, yaitu diketahui publik umum, dapat dipenuhi
(Pasal 13 ayat 1).
b. Mengenai asas tetap berlakunya hak tanggungan ini jika objeknya
berpindah ke tangan orang lain. Kepada siapapun objek tanggungan ini
beralih, maka selalu “tetap melekat”.
c. Mengenai pemberian kedudukan yang diutamakan atau mendahulukan
pemegangnya dibandingkan dengan kedudukan dari para kreditur
lainnya (Pasal 6). Ini berarti memenuhi asas spesialitas. Ketentuan ini
juga memenuhi asas publisitas, yaitu apabila objek hak tanggungan
11
dibebankan dengan lebih dari satu hak tanggungan, peringkat masing-
masing hak tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftrannya pada
kantor pertanahan (Pasal 5 ayat (2)). Sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan demikian memberikan kepastian hukum kepada yang
berkepentingan. Tanggal dari pendaftaran hak tanggungan ini adalah
penting bagi kreditur.9
5. Sanksi Adminstratif
Pada Nomor 11 memori penjelasan bagian umum dinyatakan pula bahwa
untuk menjamin kepastian hukum serta memberikan perlindungan kepada pihak-
pihak yang berkepentingan. Maka undang-undang baru ini juga mengatur sanksi
administratif yang dikenakan pada para pelaksana yang bersangkutan terhadap
tiap pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi berbagai ketentuan pelaksanaan
tugasnya masing-masing. Apakah telah dilakukan dengan sengaja atau hanya
karena kelalaian, ada sanksi tertentu secara administratif. Disamping itu pejabat
bersangkutan masih dapat digugat secara perdata dan atau dituntut secara pidana.
Sanksi administratif ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 23 Undang-Undang
Hak Tanggungan yang baru. Yaitu jika tidak dipenuhi persyaratan mengenai isi
akta (Pasal 9 ayat 1) atau karena hak tanggungan tidak dikirim kepada kantor
Kelurahan dalam 7 hari (Pasal 13 ayat 2), dan surat kuasa otentik tidak
diperhatikan untuk membuat hak tanggungan (Pasal 15 ayat 1) maka dapat
dikenakan sanksi administratif berupa antara lain:
a. Teguran lisan
9Sudarga Gautama &Ellyda, Komentar Atas Peraturan-Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang
Pokok Agraria, (Bandung; PT. Citra Aditya Sakti, 1997), h. 56-59.
12
b. Teguran tertulis
c. Pemberhentian sementara
d. Pemberhentian dari jabatan.10
C. Jaminan
Jaminan dalam istilah perbankan disebut dengan nama agunan. Jaminan
biasanya diartikan dengan harta benda milik debitur atau juga kesanggupan pihak
ketiga untuk memenuhi kewajiban calon debitur.11
Di dalam penilaian melalui the five C’s yakni Character (tentang watak),
Capital (tentang modal debitur), Capacity (tentang kemampuan calon debitur),
Condition of Economic (tentang kondisi ekonomi debitur), dan Collateral (tentang
jaminan) dapat terlihat bahwa keyakinan bank terhadap calon debitur tersebut
terlebih dahulu diteliti dari segala aspek, setelah bank merasa yakin bahwa calon
debitur akan mampu, baru kredit disetujui dan perjanjian kredit akan dibuat. Dari
penelitian terhadap faktor-faktor yang meyakinkan bank tersebut, bank
dimungkinkan untuk memberikan kredit tanpa meminta jaminan secara fisik atau
jaminan materiil, yaitu dengan melihat dan yakin akan prospek usaha atau proyek
calon debitur, yaitu yang dalam praktek perbankan disebut sebagai jaminan
pokok. Dalam hal ini bank dimungkinkan memberikan kredit yang biasa dikenal
di negara Eropa dan Amerika sebagai unsecured loans (tanpa jaminan secara
fisik).
Namun demikian sebagai upaya dalam rangka prinsip kehati-hatian maka
bank, sebaiknya dalam pertimbangan pemberian kredit selain yakin akan prospek
10
Sudargo, Agraria, h. 67. 11
P. A. Elliot, Buku Pegangan Manajer Bank, (Jakarta; Balai Aksara, 1991), h. 132.
13
usaha dan proyek calon debitur haru ada unsur lain sebagai tindakan preventif
yaitu bahwa jaminan yang diminta selain jaminan pokok sebaiknya juga
dimintakan jaminan tambahan baik berupa jaminan kebendaan maupun jaminan
yang bersifat perorangan. Sebab apabila penilaian hanya sebatas jaminan pokok
yang berupa prospek usaha atau proyek saja jika di kemudian hari terjadi sesuatu
yang menimpa kepada debitur maupun kepada usaha debitur, jaminan pokok saja
tidak akan dapat menyelesaikan masalah dan agak sulit dalam kepastian hukum
untuk pengembalian kredit.12
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan definisi jaminan yakni
sarana perlindungan bagi keamanan kreditur, yaitu kepastian akan pelunasan
hutang debitur atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh pinjaman
debitur.
1. Perjanjian Jaminan Kebendaan Dihubungkan Dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992
KUHPerdata telah memberikan perlindungan kepada para kreditur melalui
jaminan secara umum yang tercantum dalam pasal 1131 KUHPerdata dan Pasal
134 KUHPerdata menyebutkan bahwa apabila terdapat kesamaan kedudukan,
yaitu bahwa para kreditur hanya berkedudukan sebagai kreditur konkuren yang
akan membagi harta kekayaan debitur secara berimbang atau dengan
memperhatikan balance. Dalam kedudukannya sebagai kreditur konkuren pihak
bank tidak mempunyai kepastian akan pengenbalian dana yang telah disalurkan
melalui kredit yang telah diberikannya, sedangkan tanah yang telah dihimpun
12
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah Dan Benda Lain Yang Melekat
Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, (Bandung; Citra Aditya
Sakti, 1996), h. 193-195.
14
bank dari masyarakat sewaktu-waktu harus dapat dikembalikan lagi kepada
nasabah, karena itu dalam praktek bank selalu minta dibuat perjanjian jaminan,
dan praktek menunjukkan bahwa perjanjian jaminan kebendaan lebih disukai para
kreditur.
Perjanjian jaminan kebendaan merupakan perjanjian di mana diikat benda
tertentu sebagai objek jaminan, yang merupakan penyediaan benda tertentu atau
menyendirikan benda tertentu.13
Jaminan kebendaan merupakan hak mutlak atas benda tertentu dengan cara
menyendirikan benda tertentu itu yang menjadi objek jaminan dan untuk
mendapat pemenuhan prestasi terlebih dahulu daripada kreditur lain. Dahulu pada
masa berlakunya UU Perbankan lama berdasarkan Pasal 24 UU Nomor 14 Tahun
1967, Bank Umum dilarang memberikan kredit tanpa jaminan. Di dalam praktek
perbankan ketentuan tersebut diberi arti bahwa pemberian kredit hanya
dimungkinkan apabila debitur memiliki jaminan berupa jaminan perorangan atau
jaminan kebendaan. Sehingga dalam penilaian pemberian kredit tekanan dalam
penilaian adalah pada aspek jaminan secara materiil. Karena jaminan berfungsi
sebagai pengaman kredit maka biasanya besarnya jumlah kredit yang diberikan
bergantung pada bessarnya nilai benda jaminannya. Dalam praktek besarnya
kredit yang diberikan itu adalah sebesar nilai benda objek jaminan atau hanya
sejumlah 70 persen dari nilai benda objek jaminan yang dihitung berdasarkan
harga pasar.
13
Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, (Bandung;
Alumni, 1986), h. 27.
15
Ketentuan UU Perbankan lama tersebut dinilai menghambat perkembangan
bidang perbankan sendiri, karena itu ketentuan seperti yang tercantum dalam
Pasal 24 UU Nomor 14 Tahun 1967 tersebut tidak ada lagi dalam UU Perbankan
baru. Ketentuan tentang jaminan dalam perjanjian kredit dapat ditemukan dalam
ketentuan UU Perbankan baru yaitu dalam Pasal 8 UU Nomor 7 Tahun 1992,
yang menyebutkan bahwa:
Dalam memberikan kredit Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai
dengajn yang diperjanjikan.
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa bank harus mempunyai keyakinan
atas kemampuan debitur, tetapi kata keyakinan tidak merupakan suatu tindakan
penjaminan dan terhadap kata keyakinan tersebut UU tidak memberikan
penjelasan.14
2. Jaminan Dapat Berupa Barang, Proyek, Hak Tagih Yang Dibiayai Kredit
Bersangkutan dan Bank Tidak Wajib Meminta Jaminan Tambahan
Kepada Debitur
Dengan ini dapat diartikan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU Nomor
7 Tahun 1992 bank hanya dapat meminta jaminan pokok dan tidak wajib meminta
jaminan tambahan. Ketentuan itu memberikan arti bahwa bank dalam perjanjian
kredit tidak perlu meminta jaminan tambahan (harta milik pribadi debitur atau
harta milik pihak ketiga, ataupun kesanggupan pihak ketiga untuk melakukan
kewajiban debitur).
14
Subekti, Jaminan, h. 198-199.
16
Seperti diketahui dalam dunia perbankan dikenal dengan istilah jaminan
pokok dan jaminan tambahan. Berikut penjelasannya:
a. Jaminan pokok adalah jaminan yang berupa sesuatu atau benda yang
berkaitan langsung dengan kredit yang dimohon. Sesuatu yang
berkaitan dengan kredit yang dimohon dapat berarti suatu proyek, atau
prospek usaha debitur yang dibiayai oleh kredit tersebut, sedangkan
yang dimaksud dengan benda yang berkaitam dengan kredit yang
dimohon biasanya adalah benda yang dibiayai atau yang dibeli dengan
kredit yang dimohon.
b. Jaminan tambahan adalah jaminan yang tidak bersangkutan langsung
dengan kredit yang dimohon, jaminan tambahan dapat berupa jaminan
kebendaan yang objeknya adalah harta benda milik debitur, maupun
perorangan yaitu kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi
kewajiban debitur. Penggunaan jaminan pokok yang lebih aman bagi
kreditur adalah dalam perjanjian kredit dngan tujuan untuk membeli
suatu benda. Dengan menggunakan jaminan pokok demikian akan
aman bagi prospek usaha, dan aman bagi bank sebagai kreditur.
3. Perjanjian Jaminan Kebendaan dan Perorangan
Perjanjian jaminan adalah jaminan yang timbul karena adanya perjanjian
pokok. Perjanjian jamianan merupakan perjanjian accessoir, yaitu perjanjian yang
melekat pada perjanjian pokok atau juga dikatakan perjanjian buntut, karena
perjanjian ini tidak dapat bediri sendiri. Perjanjian jaminan timbul dan hapusnya
bergantung kepada perjanjian pokoknya. Perjanjian jaminan mengabdi kepada
17
perjanjian pokok dan diadakan untuk kepentingan perjanjian pokok dan
memberikan kedudukan kuat dan aman bagi para kreditur. Yang menjadi
perjanjian pokok ini dapat berupa perjanjian pinjam meminjam, perjanjian kredit
atau juga dapat berupa perjanjian pemborongan yang selalu meminta bank
garansi.
Perjanjian jaminan kebendaan merupakan hak mutlak atas suatu benda
tertentu yang dijadikan objek jaminan untuk suatu ketika dapat diuangkan bagi
pelunasan atau pembayaran hutang apabila debitur melakukan cidera janji atau
ingkar janji. Subekti memberikan pengertian perjanjian kebendaan sebagai
berikut:
Pemberian jaminan kebendaan selalu berupa menyendirikan suatu bagian
dari kekayaan seseorang, si pemberi jaminan, dan menyediakannya guna
pemenuhan (pembayaran) kewajiban (hutang) seorang debitur.
Perjanjian jaminan perorangan merupakan hak relatif yaitu hak yang hanya
dapat dipertahankan terhadap orang tertentu yang terikat oleh perjanjian.
Perjanjian jaminan perorangan adalah perjanjian jaminan antara kreditur dengan
pihak ketiga, perjanjian ini diadakan untuk kepentingan debitur. Dalam perjanjian
jaminan perorangan pihak ketiga bertindak sebagai penjamin debitur dalam
pelunasan hutang debitur ini berarti perjanjian jaminan perorangan merupakan
janji atau kesanggupan pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban debitur, apabila
debitur ingkar janji (wanprestasi) di kemudian hari.
Dalam perjanjian jaminan perorangan tidak ada benda tertentu milik debitur
yang diikat, disini yang diikat adalah kesanggupan pihak ketiga untuk melunasi
18
hutang debitur. Dalam perjanjian jaminan perorangan tidak jelas benda apa atau
yang mana milik pihak ketiga yang akan menjadi jaminan, sehingga disini akan
berlaku ketentuan seperti dalam jaminan umum yang lahir karena undang-undang
dan hanya memberikan kedudukan yang sama di antara para kreditur yaitu sebagai
kreditur konkuren saja.
Meskipun demikan dengan adanya perjanjian jaminan perorangan kreditur
akan merasa lebih aman daripada tidak ada jaminan sama sekali, karena dengan
adanya jaminan pihak ketiga berarti kreditur dapat menagih tidak hanya kepada
debitur tetapi juga kepada pihak ketiga yang kadang-kadang pihak ketiga inidapat
terdiri dari beberapa orang. Dimungkinkan pula penjaminan terhadap penjamin
debitur yaitu jaminan terhadap pihak ketiga bahwa penjamin akan melaksanakan
kewajibannya yaitu melunasi hutang debitur.15
D. Eksekusi
Membicarakan masalah eksekusi tentunya tidak terlepas dari pengertian
eksekusi itu sendiri, oleh karena itu ada baiknya apabila kita melihat pendapat
para ahli hukum dari beberapa literatur seperti terurai dibawah ini.
1. Sesuai pendapat dari Ridwan Syahrani, bahwa eksekusi atau
pelaksanaan putusan Pengadilan tidak lain adalah realisasi dari pada apa
yang merupakan kewajiban dari pihak yang dikalahkan untuk memenuhi
suatu prestasi yangmerupakan hak dari pihak yang dimenangkan,
sebagaimana tercantum dalam putusan pengadilan.16
15
Djuhaendah, Lembaga Jaminan, h. 233-242. 16
Ridwan Syahrani, Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum, Jakarta, Pustaka
Kartini,
1988, h. 106 .
19
2. Pendapat Sudikno Mertokusumo, bahwa pelaksanaan putusan hakim
atau eksekusi pada hakekatnya adalah realisasi dari pada kewajiban
pihak yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum
dalam putusan tersebut.17
3. Menurut M. Yahya H, bahwa eksekusi merupakan tindakan hukum yang
dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu
perkara, merupakan aturan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan
yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.18
4. Menurut Djazuli Bachar adalah Melaksanakan putusan pengadilan, yang
tujuannya tidak lain secara paksa. Usaha berupa tindakan-tindakan paksa
untuk merealisasikan putusan kepada yang berhak menerima dari pihak
yang dibebani kewajiban yang merupakan eksekusi.19
Dari beberapa definisi diatas jelaslah bahwa eksekusi merupakan upaya
pemenuhan prestasi oleh pihak yang kalah kepada pihak yang menang dalam
perkara di pengadilan dengan melalui kekuasaan pengadilan. Sedangkan hukum
eksekusi merupakan hukum yang mengatur hal ihwal pelaksanaan putusan hakim.
1. Macam- Macam Eksekusi
Menurut Sudikno Mertokusumo, ada tiga macam jenis pelaksanaan putusan
(eksekusi), yaitu :
17
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1988, h. 201. 18
Yahya, Eksekusi, h. 1. 19
Djazuli Bachar, S.H., Eksekusi Putusan Perkara Perdata, Segi Hukum dan Penegakan Hukum,
(Jakarta; Grafindo, 2000), hal. 6.
20
a. Eksekusi putusan yang menghukum pihak yang dikalahkan untuk
membayar sejumlah uang. Dalam eksekusi ini prestasi yang diwajibkan
adalah membayar sejumlah uang. Eksekusi ini diatur dalam Pasal 196
HIR atau Pasal 206 Rbg.
b. Eksekusi putusan yang menghukum orang untuk melakukan suatu
perbuatan. Eksekusi ini diatur dalam Pasal 225 HIR atau Pasal 259 Rbg.
Orang tidakdapat dipaksa memenuhi prestasi berupa perbuatan, akan
tetapi pihak yang dimenangkan dapat meminta pada hakim agar
kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan uang.
c. Eksekusi Riil yaitu pelaksanaan putusan hakim yang memerintahkan
pengosongan benda tetap. Dalam hal orang yang dihukum oleh hakim
untuk mengosongkan benda tetap tidak mau memenuhi perintah tersebut,
maka hakim akan memerintahkan dengan surat kepada juru sita supaya
dengan bantuan Panitera Pengadilan dan kalau perlu dengan bantuan alat
kekuasaan negara, agar barang tetap tersebut dikosongkan oleh orang
yang dihukum beserta keluarganya. Eksekusi ini diatur dalam Pasal 1033
Rv. Sedangkan dalam HIR hanya mengenal eksekusi riil ini dalam
penjualan lelang, termuat dalam Pasal 200 ayat 11 HIR/Pasal 218 Rbg.20
2. Eksekusi Benda Objek Jaminan
Eksekusi benda objek jaminan adalah pelaksanaan hak kreditur pemegang
hak jaminan terhadap objek jaminan apabila terjadi perbuatan ingkar janji oleh
debitur dengan cara penjualan benda objek jaminan untuk melunasi piutangnya.
20
Sudikno, Hukum Acara, h. 203.
21
Di dalam pelaksanaan eksekusi ini sangat penting untuk memperhatikan
kedudukan para kreditur berdasarkan urutannya yang dibedakan atas kreditur
separatis, kreditur pemegang privilege (hak istimewa) dan kreditur konkuren.
Eksekusi biasanya dilakukan apabila ada piutang yang telah dapat ditagih
dan debitur tidak memenuhi prestasinya secara sukarela maka di sini kreditur
dapat menuntut pemenuhan piutangnya atau hak eksekusi terhadap benda objek
jaminan kebendaan yang telah disepakatinya. Hak untuk melaksanakan
pemenuhan hak kreditur ini dilakukan dengan cara menjual benda objek jaminan,
dan hasilnya digunakan sebagai pelunasan piutang kreditur.
Di dalam Pasal 1178 KUHPerdata telah diatur tentang cara pelaksanaan
eksekusi oleh kreditur yang berlandaskan klausula janji untuk menjual dengan
kekuasaan sendiri (Pasal 1178 KUHPerdata ayat (1)) itu yaitu dengan menunjuk
ketentuan Pasal 1211 KUHPerdata yang harus memenuhi ketentuan:
a. Penjualan harus dilakukan di muka umum,
b. Berdasarkan kebiasaan setempat,
c. Penjualan dilakukan di hadapan pegawai umum yaitu di sini adalah
pegawai kantor lelang negara.
Di dalam praktek sering terjadi kekeliruan dalam penerapan ketentuan
Pasal 1178 KUHPerdata, kekeliruan terjadi karena massih adanya berbagai
pendapat dalam menafsirkan isi ketentuan Pasal 1178 KUHPerdata tersebut.
Sehingga dalam praktek meskipun di dalam hipotik dicantumkan klausula janji
untuk menjual dengan kekuasaan sendiri, tetapi eksekusi hipotik selalu harus
melalui perantaraan pengadilan karena ada anggapan bahwa semua eksekusi
22
hipotik harus sesuai dengan ketentuan di dalam Pasal 224 RIB (melalui grosse
akta hipotik). Sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 1178 KUHPerdata yang
mengandung parate eksekusi kreditur dapat langsung meminta kepada kantor
lelang untuk mengeksekusi benda objek jaminan tersebut. Berdasarkan ketentuan
parate eksekusi, realisasi eksekusi dengan penjulan benda objek jaminan tidak
memerlukan suatu proses keacaraan sebagaimana tercantum di dalam Pasal 224
RIB.
Namun di dalam praktek di Indonesia para kreditur jarang melakukan
penjualan sendiri sesuai dengan hak parate eksekusi yang dimiliknya dan selalu
meminta putusan pengadilan untuk melaksanakannya. Hal itu dilakukan oleh para
kreditur untuk menghindarkan kesulitan lain yaitu kemungkinan adanya gugatan
dari pihak debitur.
Dalam masalah eksekusi melalui pelelangan ada Keputusan Mahkamah
Agung tanggal 30 Januari 1986 Nomor 3210/K/Pdt/1984, menggariskan bahwa
pelaksanaan lelang harus didasarkan pada ketentuan Pasal 224 RIB atas perintah
dan di bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri.21
E. Wanprestasi
1. Menurut J Satrio: Wanprestasi adalah suatu keadaan di mana debitur
tidak memenuhi janjinya atau tidak memenuhi sebagaimana mestinya
dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya”.
2. Yahya Harahap: Wanprestasi sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak
tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya, sehingga
21
Sri Soedewi Masychun Sofwan, Hukum Jaminan Di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan
Dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta;Liberty, 1980), h. 30-33.
23
menimbulkan keharusan bagi pihak debitur untuk memberikan atau
membayar ganti rugi (schadevergoeding), atau dengan adanya
wanprestasi oleh salah satu pihak, pihak yang lainnya dapat menuntut
pembatalan perjanjian.22
Berdasarkan pemaparan di atas wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian
yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak
dilaksanakan sama sekali. Dengan demikian wanprestasi dapat berbentuk: 23
1. Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukannya.
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana
mestinya.
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Apabila debitur melakukan wanprestasi, maka dia dapat dituntut untuk:
1. Pemenuhan perjanjian;
2. Pemenuhan perjanjian ditambah ganti rugi;
3. Ganti rugi;
4. Pembatalan perjanjian timbal balik;
5. Pembatalan dengan ganti rugi.
Kewajiban membayar ganti rugi (schade vergoeding) tersebut tidak timbul
seketika terjadi kelalaian, melainkan baru efektif setelah debitor dinyatakan lalai
(ingebrekestelling) dan tetap tidak melaksanakan prestasinya. Hal ini diatur dalam
22
Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cet. II, (Bandung;Alumni, 1986), h. 60. 23
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta;PT Intermasa, 1984), h. 4.
24
Pasal 1243 KUHPerdata, sedangkan bentuk pernyataan lalai tersebut diatur dalam
Pasal 1238 KUHPerdata yang pada pokoknya menyatakan:
1. Pernyataan lalai tersebut harus berbentuk surat perintah atau akta lain
yang sejenis, yaitu suatu salinan daripada tulisan yang telah dibuat lebih
dahulu oleh juru sita dan diberikan kepada yang bersangkutan.
2. Berdasarkan kekuatan perjanjian itu sendiri.
3. Jika teguran kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan
atau anmaning yang biasa disebut sommasi.
Sanksi yang dapat dikenakan atas debitur yang lalai atau alpa ada empat
macam, yaitu:
1. Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat
dinamakan ganti-rugi;
2. Pembatalan perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
3. Peralihan resiko;
4. Membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
F. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hak Tanggungan Terhadap Nasabah
Wanprestasi
Hubungan pinjam-meminjam dalam Islam tidak dilarang, bahkan dianjurkan
agar tejadi hubungan saling menguntungkan yang pada gilirannya berakibat pada
hubungan persaudaraan. Hal yang perlu diperhatikan adalah apabila hubungan itu
tidak mengikuti aturan yang diajarkan oleh Islam. Oleh karena itu tertanggung
25
atau peserta tidak diperkenankan atau diharamkan untuk ingkar janji dan tidak
melaksanakan perikatan yang dibuat.24
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa menepati dan menunaikan
suatu janji atau perjanjian (akad) adalah wajib hukumnya, sebagaimana firman
Allah SWT dalam Qs. Al-Maidah (5) 1:25
Dalam ayat tersebut Allah SWT memerintahkan kita supaya menepati
dengan sempurna janji-janji yang sah yang diadakan. Baik janji-janji yang
diadakan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya, seperti halah, haram, mubah dan
sebagainya yang telah ditetapkan al-Quran, maupun janji-janji yang diadakan
sendiri, seperti akad jual beli, akad kerjasama usaha dan janji.26
Sedangkan melanggar atau mengkhianati suatu akad perjanjian merupakan
suatu tindakan yang dilarang oleh hukum dan agama, hal ini ditegaskan firman
Allah SWT dalam Qs: Al-Anfal (8):27.27
24
Simanjutak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta;Djambatan, 2009), h. 16. 25
Qs. Al-Maidah (5):1. 26
Marsekan Fatawi, Tafsir Syari’ah (At-Tafsir Fi Asy-Syari’ah Wa Al-Ahkam, (Surabaya;Bina Ilmu
Offset, 1984), h. 154. 27
Al-Anfal (8):27.
26
Jadi jelas bahwa seseorang diperintahkan oleh Allah SWT melalui ayat-
ayat-Nya untuk tidak mengkhianati suatu amanat yang telah diberikan kepadanya.
Dan melarangnya adalah hukumnya.
Bilamana akad yang sudah tercipta secara sah menurut ketentuan hukum itu
tidak dilaksanakan isinya oleh debitur, atau dilaksanakan tetapi tidak sebagaimana
mestinya (ada kealpaan), maka terjadilah kesalahan di pihak debitur. Dalam fiqh
muamalah, beban sanksi hukum yang diberikan akibat tidak melaksanakan
kewajiban akad disebut daman al-‘aqd.28
Para ulama juga menjelaskan berdasarkan hadist riwayat Ibnu Majjah dan
Ijma’ ulama.Sungguhpun demikian, Allah SWT mengajarkan kepada kita, agar
meminjamkan sesuatu bagi agama Allah. Dalam al-Quran Allah SWT berfirman,
Qs. Al-Hadid:11.29
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka
Allah akan melipat gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan
memperoleh pahala yang banyak”.
Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah kita diseru untuk
“meminjamkan kepada Allah”,artinya untuk membelanjakan harta di jalan Allah.
Selaras dengan meminjamkan kepada Allah maka kita juga diseru untuk
“meminjamkan kepada sesama manusia” sebagai bagian dari kehidupan
bermasyarakat (civil society).
28
Burhanuddin, Hukum Kontrak Syariah, (Yogyakarta, BPFE, 2009), h. 64 29
Qs. Al-Hadid:11
27
Dengan demikian, Islam telah menjelaskan dengan gamblang filosofi
kepemilikan tanah dalam Islam. Intinya ada 2 (dua) poin, yaitu : “Pertama,
pemilik hakiki dari tanah adalah Allah SWT. Kedua, Allah SWT sebagai pemilik
hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah menurut
hukum-hukum Allah.Maka dari itu, filosofi ini mengandung implikasi bahwa
tidak ada satu hukum pun yang boleh digunakan untuk mengatur persoalan tanah,
kecuali hukum-hukum Allah saja” (Abduh & Yahya, Al-Milkiyah fi Al-Islam,
138).30
30(Abduh & Yahya, Al-Milkiyah fi Al-Islam, 138).
28