Upload
others
View
1
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kepemimpinan
Setiap orang merasa terpanggil untuk melaksanakan tugas memimpin dalam
suatu lembaga atau kelompok baik dalam lapangan pendidikan, misalnya, orang tua
di rumah, kepala sekolah di sekolah, dan lain sebagainya. Kepemimpinan menjadi hal
yang urgen dalam pencapian suatu tujuan.
Mengenai kepemimpinan Soekanto mengemukakan bahwa “kepemimpinan
adalah suatu kegiatan dalam membimbing suatu kelompok sedemikian rupa sehingga
tercapailah tujuan kelompok yang merupakan tujuan bersama.4
Kepemimpinan adalah kemampuan pribadi yang sanggup mendorong dan
memberi stimulan (rangsangan) mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu
berdasarkan penerimaan kelompok, dan memiliki keahlian khusus yang tepat lagi
situasi khusus yang jauh dari kesenjangan. Untuk keberhasilan dalam kepemimpinan
suatu lembaga pendidikan, maka sikap toleransi dan sikap bijak merupakan visi
utama dalam meraih keberhasilan, tanpa adanya sikap kepribadian yang baik, maka
kepemimpinan tidak dapat berhasil dengan baik. Agar kepemimpinan berhasil dengan
baik, maka potensi yang harus dimiliki adalah potensi profesional,manejerial,
kepribadian dan potensi sosial.5
Kepemimpinan sebagai salah satu fungsi manejemen merupakan hal yang
sangat penting untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan amat berat seolah-olah
kepemimpinan dipaksa untuk menghadapi berbagai macam faktor seperti, struktur
atau tatanan, koalisi, kekuasaan, dan kondisi lingkungan organisasi. Sebaliknya
kepemimpinan rasanya dapat dengan mudah menjadi salah satu alat penyelesaian
yang luar biasa terhadap persoalan apasaja yang sedang menimpa suatu organisasi.6
4 Nurmin, Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Guru Pendidikan Agama
Islam (Kendari: 2015), h. 10. 5Fitriyani, Pengaruh Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Terhadap Etos Kerja Guru
(Kendari: 2013), h. 7.
6Muhaimin,dkk.,Manejemen Pendidikan (Malang: Kencana, 2008), h. 29.
16
Dalam hal ini kepemimpinan dapat berperan didalam melindungi beberapa isu
peraturan oragnisasi yang tidak tepat, seperti: distribusi kekuasaan yang menjadi
penghalang tindakan efektif, kekurangan berbagai macam sumber, prosedur yang
dianggap buruk (arhaic procedure) dan sebagainya dan problem-problem organisasi
yang lebih bersifat mendasar.
Demikian esensi salah satu pendapat yang diungkapkan oleh Richard H. Hall
yang dikutip oleh wahjosumidjoOrganizations: Structure and process, mengapa perlu
dan banyak terdapat studi tentang kepemimpinan pada masa-masa lalu. Suatu
kenyataan bahwa didalam situasi tertentu kepemimpinan dirasakan penting, bahkan
amat penting.
Oleh karena itu, peran sentral kepemimpinan dalam organisasi tersebut, maka
dimensi-dimensi kepemimpinan yang bersifat kompleks perlu dipahami dan dikaji
secara terkoordinasi, sehingga peran kepemimpinan dapat dilaksanakan secara
efektif.
1. Hakikat Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan dalam
organisasi, baik buruknya organisasi sering kali sebagian besar tergantung pada faktor
pemimpin. Berbagai riset juga telah membuktikan bahwa faktor pemimpin
memegang peranan penting dalam pengembangan organisasi. Faktor pemimpin yang
sangat penting adalah karakter dari orang yang menjadi pemimpin tersebut sebagai
mana dikemukakan oleh Covey bahwa 90 persen dari semua kegagalan pemimpin
adalah kegagalan pada karakter. Oleh karena itu kepemimpinan adalah adanya suatu
proses dalam kepemimpinan untuk memberikan pengaruh secara sosial kepada orang
lain, sehingga orang lain tersebut menjalankan suatu proses sebagaimana diinginkan
pemimpin.
Kepemimpinan diterjemahkan kedalam istilah, sifat-sifat, perilaku
kepribadian, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan kerjasama
antar peran, kedudukan dari suatu jabatan administratif, dan persepsi dari lain-lain
tentang legitimasi pengaruh.
17
Dalam suatu definisi terkandung suatu makna atau nilai-nilai yang dapat
dikembangkan lebih jauh, sehingga dari suatu definisi dapat diperoleh suatu
pengertian yang jelas, bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses aktifitas dalam
berinteraksi untuk mencapai tujuan.
Dari defenisi yang berbeda-beda tersebut mengandung kesamaan asumsi yang
bersifat umum, seperti:
a) Didalam suatu fenomena kelompok melibatkan interaksi antar dua orang
atau lebih.
b) Didalam melibatkan proses mempengaruhi, dimana pengaruh yang
sengaja (intentional influence) digunakan oleh pemimpin terhadap
bawahan.
Oleh sebab itu adanya definisi yang tunggal tentang kepemimpinan sangat
sulit secara umum mengakomodasi berbagai macam pengertian, serta secara khusus
mampu memberikan pelayanan atau melaksanakan fungsinya sebagai suatu pelaksana
dari berbagai macam variabel.7
Hampir seluruh penelitian kepemimpinan dapat dikelompokkan ke dalam
empat macam pendekan, yaitu:
a. Pendekatan pengaruh kewibawaan (powerinfluence approach).
b. Pendekatan sifat (behavior aprroach).
c. Pendekatan perilaku (behavior approach).
d. Pendekatan situsional (situational approach).
Menurut James M. Liphans et.alada empat macam pendekatan historis
mengenai analisi kepemimpinan yakni, pendekatan fisiologis, pendekatan situsional,
pendekatan perilaku dan pendekatan kontingensi sedangkan menurt French dan
Raven menembahkan pendekatan selain dari keempat pendekatan tersebut, yaitu
7Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah (Tinjauan Teoritik dan Permasalahan)
(Jakarta: Rajawali Pers, 2005), h. 15-18.
18
pendekatan kekuasaan, penulis dapat menyimpulkan bahwa keseluruhan pendekatan
tersebut saling berkaitan dalam menentukan keberhasilan seorang pemimpin.8
Tinjauan secara menyeluruh secara garis besar keempat macam pendekatan
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Pendekatan Menurut Pengaruh Kewibawaan
Menurut pendekatan ini, dikatakan bahwa keberhasilan memimpin dipandang
dari segi sumber dan terjadinya sejumlah kewibawaan yang ada pada para pemimpin,
dan dengan cara yang bagaimana para pemimpin menggunakan kewibawaan tersebut
kepada bawahan.
Pendekatan ini menekankan sifat timbal balik, proses saling mempengaruhi
dan pentingnnya pertukaran hubungan kerjasama antara para pemimpin dan bawahan.
Bagaimana kewibawaan dan pengaruh pemimpin berkaitan dengan
keberhasilan pemimpin menimbulkan berbagai pertanyaan, berikut:
a) Apa pola pemakian kewibawaan yang terbaik?
b) Bagaimana pemimpin yang berhasil melaksankan dan menggunakan
kewibawaan?
c) Seberapa banyak kewibawaan secara optimal bagi seorang pemimpin?
Timbul beberapa studi yang melakukan perbandingan pengaruh penggunaan
bentuk-bentuk kewibawaan yang berbeda-beda.
Berdasarkan hasil penelitian French dan Revan terdapat pengelompokan
sumber dari mana kewibawaan tersebut berasal:
1) Reward Power: bawahan mengerjakan sesuatu agar memperoleh
penghargaan yang dimiliki oleh pemimpin.
2) Coesive Power: bawahan mengerjakan sesuatu agar dapat terhindar dari
hukuman yang dimiliki oleh pemimpin.
8Ymayowan. Lecture.ub.ac.id/ Files/2012/01/ Pendekatan Dalam Studi Kepemimpinan-pdf
(Di Akses 25 Januari 2016)
19
3) Legitimate Power: bawahan melakukan sesuatu karena pemimpin
memiliki kekuasaan untuk meminta bawahan dan bawahan mempunyai
kewajiban untuk menuruti atau mematuhinya.
4) Expert Power: bawahan mengerjakan sesuatu karena bawahan percaya
bahwa pemimpin memiliki pengetahuan khusus dan keahlian serta
mengetahui apa yang diperlukan.9
b. Pendekatan Sifat (The Trait Approac)
Pendekatan ini menekankan pada kualitas pemimpin. Keberhasilan pemimpin
ditandai oleh daya kecakapan luar biasa yang dimiliki oleh pemimpin seperti:
1) Tidak kenal lelah atau penuh energi
2) Intuisi yang tajam
3) Tinjauan kemasa depan yang tidak sempit
4) Kecakapan keyakinan yang sangat menarik
Studi The Trait Approac didukung dengan perkembangan cepat percobaan-
percobaan psikologi selama periode 1920-1950.
Berdasarkan hasil studi tersebut ada tiga macam sifat pribadi seorang
pemimpin, yaitu meliputi:
1) Ciri-ciri fisik (ohysical characteristics)
2) Kepribadian (personality)
3) Kemampuan/kecakapan (abality)
c. Pendekatan Perilaku
Pendekatan perilaku menekankan pentingnya perilaku yang dapat diamati atau
dilakukan oleh para pemimpin dan sifat-sifat pribadi atau sumber kewibawaan yang
dimilikinya.
Oleh sebab itu, Pendekatan perilaku mempergunakan acuan sifat pribadi dan
kewibawaan, kemampuan perilaku secara konsepsional telah berkembang kedalam
9 Ibid. h.20
20
berbagaicara dan berbagai macam perilaku tingkat abstrak. Perilaku seorang
pemimpin digambarkan istilah “pola aktivitas”, “peran manejerial” atau kategori
perilaku.10
Dengan mempergunakan pendekatan perilaku, oleh para ahli dikembangkan
teori kepemimpinan perilaku kedalam berbagai klasifikasi, yaitu:
1) Teori dua faktor (two factor theory)
Melalui pengembangan Leader behavior description Questionairs
dikembangkan pula dua dimensi perilaku kepemimpinan, yaitu struktur inisiasi
(initiating structure) dan konsiderasi (consideration).
a) Struktur inisiasi, menunjukan perilaku kepemimpinan yang
mengambarkan hubungan kerja dengan bawahan, baik secara pribadi
maupun kelompok, serta usaha keras untuk menciptakan pola-pola
organisasi saluran komunikasi, dan metode serta prosedur yang telah
ditetapkan dengan baik.
b) Konsidensi, menunjukan perilaku yang bersahabat, paling adanya
kepercayaan, saling hormat menghormati, dan hubungan yang hangat di
dalam kerjasama antara pemimpin dan anggota-anggota kelompok.
Secara umum penelitian menunjukan bahwa kepemimpinan yang tinggi,
dalam inisiasi dan konsiderasi adalah perilaku kepemimpinan yang paling efektif
didalam mencapai hasil organisasi dan perseorangan yang telah direncankan.
d. Pendekatan kontingensi
Pendekatan kontingensi menekankan pada ciri-ciri pribadi pemimpin dan
situasi, mengemukakan dan mencoba untuk mengukur atau memperkirakan ciri-ciri
pribadi ini, dan membantu pimpinan dengan garis pedoman perilaku yang bermanfaat
10
Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), h. 21.
21
yang didasarkan kepada kombinasi dari kemungkinan yang bersifat kepribadian dan
situasional11
2. Fungsi Kepemimpinan
Didalam kerangka kerja teori kontingensi, gaya kepemimpinan digambarkan
sebagai termotivasi tugas atau hubungan. Pemimpin yang dikendalikan tugas
terutama peduli dengan pencapaian tujuan, sementara pemimpin yang dikendalikan
hubungan peduli dengan pengembangan hubungan antara pribadi yang erat. Untuk
mengukur gaya kepemimpinan Fiedler mengembangkan skala LPC. Pemimpin yang
memiliki nilai tinggi diskala ini digambarkan sebagai pemimpin yang termotivasi
hubungan.12
Jadi, fungsi kepemimpinan adalah bagian dari tugas utama yang harus
dilaksanakan. Tetapi merumuskan apa yang dimaksud fungsi kepemimpinan adalah
sulit, sama sulitnya memberikan definisi kepemimpinan itu sendiri.
Dalam bukunya wahjosumidjo, James A. F Stoner mengatakan ada dua fungsi
pokok kepemimpinan, yaitu:
a) Task related atau froblem solfing function, didalam fungsi ini pemimpin
memberikan saran dalam pemecahan masalah serta memberikan sumbangan
informasi dan pendapat.
b) Group maintenance function atau sosial function meliputi pemimpin
membantu kelompok beroprasi lebih lancar, pemimpin memberikan
persetujuan atau pelengkap anggota kelompok yang lain, misalnya
menjembatani kelompok yang sedang berselisih pendapat, memperhatikan
diskusi-diskusi kelompok. Seorang pemimpin yang efektif adalah seorang
pemimpin yang mampu menampilkan kedua fungsi tersebut dengan jelas.13
11
Ibid, h. 22 12 Peter G. Northhouse, Kepemimpinan: Teori dan Praktik(Jakarta: Indeks, 2013), h. 117. 13Ibid, Wahjosumidjo, h. 39-42.
22
3. Tipe Kepemimpinan
a. Pemimpin Otoriter
Kepemimpinan otoriter bertolak diri anggapan bahwa pemimpinlah yang
memiliki tanggung jawab penuh terhadap organisasi. Pemimpin otoriter berasumsi
bahwa maju mundurnya organisasi hanya tergantung pada dirinya. Dia bekerja
sungguh-sungguh, belajar keras, tertib dan tidak boleh dibantah. Sikapnya senantiasa
mau menang sendiri, tertutup terhadap ide luar dan hanya idenya yang dianggap
akurat. Pemimpin otoriter memiliki ciri antara lain:
1. Beban kerja organisasi pada umumnya ditanggung oleh pemimpin.
2. Konsep atau ide-ide baru berasal dari pimpinan, dan bawahan sebagai
pelaksanaan.
3. Disiplin tinggi, bekerja keras, dan tidak kenal lelah.
4. Kebijakan ditentukan oleh pemimpin sendiri dan kalau ada musyawarah
sifatnya pemberitahuan/sosialisai.
5. Kepercayaan pimpinan terhadap bawahan rendah.
6. Komunikasi dilakukan satu arah dan tertutup.
7. Korektif dan minta penyelesaian tugas tepat waktu.14
b. Pemimpin Demokratis
Demokratis adalah keterbukaan dan keinginan memporsikan pekerjaan dari,
oleh dan untuk bersama. Tipe kepemimpinan demokratis bertolak dari asumsi bahwa
hanya dengan kekuatan kelompok, tujuan yang bermutu dapat dicapai. Pimpinan
yang demokratis berusaha lebih banyak melibatkan anggota kelompok dalam
memacu tujuan. Tugas dan tanggung jawab dibagi menurut bidang masing-masing.
Oteng sutisna dalam danim, mengemukakan bahwa kepemimpinan demokratis ialah
suatu gaya kepemimpinan dimana pimpinan memainkan “peran permisif”. Ciri
kepemimpinan demokratis antara lain:
1. Beban kerja organisasi menjadi tanggung jawab bersama seluruh
personalia organisasi.
14 Mulyadi, Kepemimpinan Kepala Sekolah (Malang: UIN-Maliki Press 2010), h. 44-45
23
2. Bawahan, oleh pimpinan di anggap sebagai komponen pelaksana dan
secara integral harus diberi tugas dan tanggung jawab.
3. Disiplin, tetapi tidak kaku dan memecahkan masalah secara teratur.
4. Kepercayaan tinggi terhadap bawahan dengan tidak melepaskan
tanggung jawab pengawasan.
5. Komunikasi dengan bawahan bersifat terbuka dan dua arah.
c. Pemimpin permisif
Kata permisif bisa bermakna serba boleh, serba mengiyakan, tidak mau ambil
pusing, tidak bersikap dalam makna sesungguhnya, dan apatis. Pemimpin permisif
tidak mempunyai pendirian yang kuat, sikapnya serba boleh. Pemimpin yang
termasuk kedalam kategori ini biasanya terlalu banyak mengambil muka dengan dalih
untuk mengenahkan individu yang dihadapinya. Bawahan tidak mempunyai
pegangan yang jelas, informasi diterima simpang siur dan tidak konsisten.15
B. Pendidikan Multikultural
1. Pengertian Multikultural
Akar kata multikultural adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikultural
dibentuk dari kata multi (banyak), kultural (budaya), dan lisme (aliran/paham). Secara
hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup
dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.
Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa
bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengikaran suatu masyarkat
terhadap kebutuhan untuk diakui (polotics of recognition) merupakan akar dari segala
ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan.
Pengertian kebudayaan diantara para ahli harus dipersamakan atau setidaknya,
tidak dipertentangkan antara satu konsep yang dipunyai oleh seorang ahli dengan
konsep yang dipunyai oleh ahli lainnya. Karena multikulturalisme adalah sebuah
ideologis dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat kemanusiannya,
15 Ibid, h. 27
24
maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif dan fungsinya bagi
kehidupan manusia.
Persudi Suparlan melihat bahwa dalam perspektif tersebut:
Kebudayaan adalah sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Yang harus juga
diperhatikan bersama menyangkut kesamaan pendapat dan pemahaman adalah
bagaimana kebudayaan itu bekerja melalui pranata-pranata sosial.16
Sebagai sebuah ide atau ideologi, multikulturalisme terserap dalam berbagai
interaksi yang ada dalam berbagai struktur kegiatan kehidupan manusia yang
tercangkup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis. Kehidupan
politik dan kehidupan lainnya didalam masyarakat yang bersangkutan.
Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang mengenai keragaman dalam
masyarakat. Pendidikan multukultural perlu memberikan upaya-upaya untuk
menumbuhkan pemehaman dan sikap siswa agar selalu menghormati, menghargai
dan berbuat adil terhadap orang-orang yang memiliki kemampuan berbeda.17
Pendidikan multikultural adalah sebuah proses penanaman sikap menghormati
dan toleran terhadap keberagaman budaya yang hidup ditengah-tengah masyarakat
plural. Pada prinsipnya pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai
perbedaan, sebaliknya senantiasa menciptakan struktur dan proses dimana setiap
kebudayaan dapat diekspresikan secara bebas.18
Kajian mengenai corak kegiatan interaksi sosial yaitu hubungan antar manusia
dalam berbagai manejemen pengelolaan sumber daya, merupakan sumbangan yang
penting dalam upaya mengembangkan dan memantapkan multikulturalisme dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia atau corak
kebudayaan korporasi bila perhatian kajian terletak pada kegiatan pengelolaan
manejemen sumber daya dalam sebuah korporasi.
16Op-cit, Syafi Mughni, h. 51-75. 17
Fajriah Novalia Dewi, Landasan Teologis Pendidikan Multikultural (Yogyakarta: 2008), h.
19. 18
Herlinawati Dyah, Konsep Pendidikan Multikultural H.A.R Tilaar Relevansinya Dengan
Pendidikan Islam (Yogyakarta: 2007), h. 9.
25
Perhatian pada pengelolaan manejemen ini akan dapat menyingkap dan
mengungkapkan seperti apa corak nilai-nilai budaya dan oprasionalisasi nilai-nilai
budaya (etos) tersebut dalam pengelolaan manejemen yang dikaji. Kajian seperti ini
juga akan dapat menyingkap dan mengungkapkan seperti apa corak etika (ethis) yang
ada dalam struktur-struktur kegiatan sesuatu pengelolaan manejemen yang
memproses masuk (in-put) menjadi keluar (out-put).
Pedoman etika yang menjamin proses manejemen tersebut akan menjamin
mutu yang dihasilkan. Kajian seperti ini bukan hanya akan menyingkap dan
mengungkap ada tidaknya atau bercorak seperti apakah nilai-nilai budaya yang
digunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan manejemen sesuatu kegiatan,
organisasi, lembaga atau pranata, selain itu, kajian ini juga akan mampu memberikan
pemecahan yang terbaik mengenai pedoman etika yang seharusnya digunakan
menurut dan sesuai dengan konteks macam kegiatan dan organisasi.
Secara garis besarnya, etnis (ethnics) dapat dilihat sebagai pedoman yang
berisikan aturan-aturan baku yang mengatur tindakan-tindakan pelaku dalam sebuah
profesi, yang didalam pedoman tersebut terserap prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai
yang mendukung dan menjamin dilakukannya kegiatan profesi pelaku sebagaimana
seharusnya, sesuai dengan hak dan kewajibannya. Sehingga, peranannya dalam satu
struktur kegiatan adalah fungsional dalam memproses masukan menjadi keluaran
yang bermutu.
Pendidikan merupakan wahana yang paling tepat untuk membangun
kesadaran multikulturalisme dimaksud. Karena dalam tataran ideal, pendidikan
seharusnya bisa berperan sebagai „juru bicara‟ bagi terciptanya fundamen kehidupan
multikultural yang terbebas dari kooptasi Negara. Hal itu dapat berlangsung apabila
ada perubahan paradigma dalam pendidikan yakni dimulai dari penyeragaman
penghargaan keragaman identitas dalam kerangka penciptaan harmoni.
26
Selanjutnya harus diakui bahwa multikulturalisme kebangsaan Indonesia
belum sepenuhnya dipahami oleh segenap warga masyarakat sebagai sesuatu yang
given, takdir tuhan, dan bukan faktor bentuk manusia. Memang masyarakat telah
memahami sepenuhnya bahwa setiap manusia terlahir berbeda, baik secara fisik
maupun nonfisik, tetapi nalar kolektif masyarakat belum bisa menerima realitas
bahwa setiap individu atau kelompok tertentu memiliki sistem keyakinan, budaya
adat, agama, dan tata cara ritual yang berbeda.19
Nalar kolektif masyarakat tentang multikulturalitas kebangsaan masih
terkooptasi oleh logo sentralisme tafsir hegemonic yang syarat akan prasangka,
kecurigaan, bisa kebencian, dan reduksi terhadap kelompok yang berbeda diluar
dirinya (the other). Akibatnya, ikatan-ikatan sosial (societal bond) melalui
kolektifitas dan kerjasama hanya berlaku kedalam kelompoknya sendiri (ingroup),
tidak berlaku bagi kelompok lain (other group).
Sebenarnya, Indonesia memiliki track record yang tidak terlalu jelek dalam
pengelolaan keanekaragaman sosial budaya. Sejarah kehidupan bangsa Indonesia
selalu diwarnai oleh sikap toleransi dan asimilasi. Kedatangan unsur-unsur baru
dalam kehidupan masyarakat hampir tidak menemui gesekan sosial yang tidak
berarti. Masyarakat tidak sekedar mudah beradaptasi terhadap nilai-nilai baru itu,
tetapi juga harus berhasil mengadopsinya kedalam struktur sosial budaya mereka.
Hal ini dibuktikan, misalnya oleh kenyataan sejarah betapa masyarakat jawa
mudah menggabungkan dua atau lebih sistem nilai yang berbeda yang kemudian turut
membentuk dan mengelola peradaban jawa menjadi indic. Sehingga tidaklah
mengherankan bila candi hindu dan budha berdiri saling berdampingan, dan raja-raja
jawa disebut sebagai “siswa budha” sebagai wujud representasi dialog dua peradaban
hindu dan budha. Kehidupan toleransi semacam ini telah berlangsung di jawa selama
kurang lebih satu mellenium sebelum kemudian nilai-nilai Islam turut mewarnai
kehidupan sosio-kultural masyarakat jawa pada abad ke-14.
2. Konsep Pendidikan Multukultural
19Ibid, h. 175
27
Sebagai sebuah wacana baru, pengertian pendidikan multikultural
sesungguhnya hingga saat ini belum begitu jelas dan masih banyak pakar pendidikan
yang memperdebatkannya. Namun demikian, bukan berarti defenisi pendidikan
multikultural tidak ada atau tidak jelas. Sebetulnya, sama dengan defenisi pendidikan
yang penuh penafsiran antara satu pakar dengan pakar lainnya didalam menguraikan
makna pendidikan itu sendiri. Hal ini juga terjadi pada penafsiran tentang arti
pendidikan multikultural.
Meminjam pendapat Andersen Cushe, bahwa pendidikan multikultural dapat
diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman budaya. Kemudian, James Banks
mendefenisikan pendidikan multikultural sebagai pendidikan untuk people of color.
Artinya pendidikan multikultural ingin mengeksplorasikan perbedaan sebagai
keniscayaan (anugrah Tuhan/Sunatullah). Kemudian, bagaimana kita mampu
menyikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter.20
Sejalan dengan pemikiran diatas, Muhaemin al Ma‟hady berpendapat, bahwa
secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai pendidikan
tentang keragaman budaya merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan
masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara menyeluruh (global).
Dalam bukunya Multicultural education: A teacher guide to liking cintext,
process, content, Hilda Hernandes mengartikan pendidikan multikultural sebagai
perspektif yang mengakui realitas politik, sosial, ekonomi, dan pengecualian-
pengecualian dalam proses pendidikan. Dengan kata lain, bahwa ruang pendidikan
sebagai media transformasi ilmu pengetahuan (transfer of knowledge) hendaknya
mampu memberikan nilai-nilai multikultiralisme dengan cara saling menghargai dan
saling menghormati atas realitas yang beragam (plural), baik latar belakang maupun
basis sosio-budaya yang melingkupinya.
Pemikiran tersebut sejalan dengan pendapat Paulo Freira (pakar pendidikan
pembebasan), bahwa pendidikan bukan merupakan “menara gading” yang berusaha
20Ibid, h. 184.
28
menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya harus mampu
menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah
masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan
kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multikultural (multicurtural education) merupakan respon
terhadap perkembangan populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi
setiap kelompok. Dalam dimensi lain, pendidikan multikultural merupakan
pengembangan kurikulum dan aktifitas pendidikan untuk memasuki berbagai
pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non eropa.
Sedangkan secara luas pendidikan multikultural mencangkup seluruh siswa tanpa
membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnis, ras, budaya, strata dan
agama.
James Banks menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki beberapa
dimensi yang saling berkaitan satu dengan lainnya, yaitu: Pertama, content
integrations, yaitu mengintegrasikan beberapa budaya dan kelompok untuk
mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi dan teori dalam mata
pelajaran/disiplin ilmu. Kedua, the knowledge contrction process, yaitu membawa
siswa untuk memahami implikasi budaya kedalam sebuah mata pelajaran (disiplin).
Ketiga, an aquty paedagogy, yaitu menyesuaikan metode pengajaran dan cara belajar
siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari
segi ras, budaya ataupun sosial. Keempat, prejudice reduction, yaitu mengidentifikasi
karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka. Kemudian,
melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan
seluruh staf dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya
akademik yang toleran dan insklusif.
Dalam aktivitas pendidikan maupun peserta didik merupakan sasaran objek
sekaligus sebagai subjek pendidikan. Oleh sebab itu, dalam memahami hakikat
29
peserta didik, para pendidik perlu dilengkapi pemahaman tantang ciri-ciri umum
peserta didik. Setidaknya, secara umum peserta didik mempunyai empat ciri, yaitu
1) Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam
keadaan berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan
sebagainya.
2) Mempunyai keinginan untuk berkembang kearah dewasa.
3) Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda-beda.
4) Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan
potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individual.21
Istilah “pendidikan multikultural” dapat digunakan baik pada tingkat
deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah
pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga
mencangkup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebiajakn-kebijakan dan
strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks
deskriptif ini, kurikulum pendidikan multikultural meski mencangkup subjek-subjek:
toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural dan agama, bahaya diskriminasi,
penyelesaian konflik dan mediasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, multikultularisme,
kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
Menurut Har Tilar, bangsa tidak punya strategi untuk mengelola kebudayaan
yang mendapat tantangan yang demikian dahsyatnya, dikhawatirkan akan mudah
terbawa arus hingga akhirnya hingga kehilangan jati diri lokal dan nasionalnya.
Pendidikan multikultural hendaknya dijadikan strategi dalam mengelola kebudayaan
dengan menawarkan strategi transformasi budaya yang ampuh yakni melalui
mekanisme pendidikan yang menghargai perbedaan budaya (diffirent of culture).
Hal senada juga dikatakan Rektor UNJ, Sudjipto, dan Cut Kamaril Wardani.
Ia berpendapat bahwa globalisasi sebagai tantangan global perlu diimbangi dengan
penguatan budaya lokal (local culture). Namun demikian, fanatisme berlebihan pada
21 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Banjarmasin: Rajawali Pers, 1996), h. 103.
30
budaya lokal beresiko menimbulkan disintegritas bangsa. Maka fanatisme dan
primordialisme selayaknya dikikis habis. Disinilah urgensi pendidikan multikultural
untuk dihadirkan dalam dunia pendidikan kita saat ini. Sebab pendidikan merupakan
instrumrn paling ampuh untuk memberikan penyadaran (conscious) kepada
masyarakat supaya tidak timbul konflik etnis, budaya dan agama.
Isu tentang multikulturalisme sesungguhnya buakan barang baru. Isu ini sudah
mulai muncul pada empat dekade yang lalu. Demikian pula dengan gagasan
pentingnya pendidikan multikultural. Gagasan ini dapat ditelusuri secara historis dari
gerakan-gerakan hak sivil (isvil rights movements). Para penggagas gerakan ini secara
keseluruhan bekerjasama dengan melibatkan sejumlah pendidik dan sarjana untuk
meyediakan basis bagi kepemimpinan pendidikan multikultural.
Ada dua istilah penting yang berdekatan secara makna dan merupakan suatu
perkembangan yang sinambung, yakni pendidikan multi etnik dan pendidikan
multikultural. “pendidikan multi etnik” sering dipergunakan di dunia pendidikan
sebagai suatu usaha sistematik dan berjenjang dalam rangka menjembatani
kelompok-kelompok rasial dan kelompok-kelompok etnik yang berbeda dan potensi
untuk melahirkan ketegangan dan konflik.22 Sementara itu istilah “pendidikan
multikultural” memperluas payung pendidikan multi etnik sehingga memasuki isu-isu
lain seperti relasi gender, hubungan antara agama, kelompok kepentingan,
kebudayaan dan subkultur, serta bentuk-bentuk lain dari keragaman. Kata
“kebudayaan” lebih diadopsi dalam hal ini daripada kata “rasisme” sehingga audiens
dari pendidikan multikultural semacam ini akan lebih mudah menerima dan
mendengarkan. Oleh karena itu, banyak pendidik yang akhirnya lebih memilih
memisahkan pendidikan multikulural dari sekedar perjuangan sosial dan upaya
mendefinisikan maknanya menjadi perayaan makan dan festival etnik, bidang ini
sering mendapat krtik karena terpisah dari kritik utama terhadap rasisme dalam dunia
22Zakiyuddin Baidhawy, Pendidikan Berwawasan Multicultural (Soditan: Erlangga, 2005), h.
6-7.
31
pendidikan. Adalah penting menempatkan pendidikan multukultural dalam
perjuangan hak-hak sipil demi kebebasan, kekuasaan politik, dan itegrasi ekonomi.
3. Kepemimpinan Pendidikan Multikulturalisme
Menurut wahjosumidjo kata memimpin makna luasnya: Kemampuan untuk
mengarahkan segala sumberdaya yang ada pada suatu lembaga atau sekolah sehingga dapat didaya gunakan secara maksimal untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Dalam praktek organisasi, kata memimpin mengandung
konotasi mengarahkan, memberi teladan, memberi dorongan, memberikan
bantuan.23 Kepemimpinan memengaruhi orang dengan petunjuk atau perintah.
Misalnya seorang pemimpin bisa mempengaruhi karyawan untuk bekerja
selama 40 jam dalam seminggu agar mereka bisa merasa dibutuhkan dalam
menyukseskan tugas-tugas di departemen mereka.24
Kepemimpian pendidikan adalah pemimpin pada satu lembaga satuan
pendidikan. Tanpa kehadiran kepemimpinan pendidikan, proses pendidikan termasuk
pembelajaran tidak akan berjalan efektif. Kepemimpinan pendidikan adalah
pemimpin yang proses keberadaannya dapat dipilih secara secara langsung,
ditetapkan oleh yayasan, atau ditetapkan oleh pemerintah. Menurut Mulyono, kepala
lembaga pendidikan harus memiliki beberapa persyaratan untuk menciptakan sekolah
yang mereka pimpin menjadi sekolah efektif, antara lain.
1. Memiliki kesahatan jasmani dan ruhani yang baik
2. Berpegang teguh pada tujuan yang dicapai
3. Bersemangat
4. Cakap didalam memberi bimbingan
5. Jujur
6. Cerdas
7. Cakap didalam hal mengajar dan menaruh perhatian kepercayaan yang baik
dan berusaha untuk mencapainya.
Selain beberapa persyaratan tersebut, kepemimpinan pendidikan sebagai
seorang manejer di lembaga pendidikan juga harus memiliki tiga kecerdasan pokok,
yaitu kecerdasan profesional, kecerdasan personal, dan kecerdasan manajerial agar
23Wahjosumidjo, Pentingnya Kepemimpinan Kepala Sekolah (Jakarta:PT. Grafindo Persada
1999-2002), h.83 24Andre J Dubrin, Leadership (Jakarta: Prenada Media), h.4.
32
dapat bekerjasama dan mengerjakan sesuatu dengan orang lain. Dede rosyada dalam
hal ini mengklasifikasikan kemampuan manajerial yang harus dipertimbangkan
sebagai langkah awal mengerjakan berbagai tugas manajerial sebagai berikut.
1. Kemampuan mencipta yang meliputi, selalu mempunyai ide-ide bagus, selalu
memperoleh solusi-solusi untuk berbagai problem yang biasa dihadapi,
mampu mengantisipasi berbagai konsekuensi dari pelaksanaan berbagai
keputusan dan mampu mempergunakan kemampuan berpikir imajinatif untuk
menghubungkan sesuatu dengan yang lainnya yang tidak bisa muncul dari
analisis dan pemikiran-pemikiran empiris.
2. Kemampuan membuat perencanaan yang meliputi, mampu menghubungkan
kenyataan sekarang dan hari esok, mampu mengenali apa-apa yang penting
saat itu dan apa-apa yang benar-benar mendesak, mampu mengantisipasi
kebutuhan-kebutuhan mendatang, dan mampu melakukan analisis.
3. Kemampuan mengorganisasi yang meliputi, mampu mendistribusikan tugas
dan tanggung jawab yang adil, mampu membuat putusan secara tepat, selalu
bersikap tenang dalam menghadapi kesulitan, mampu mengenali pekerjaan itu
sudah selesai dan sempurna dikerjakan.25
Konsep kepemimpinan multi-kultur, yaitu kepemimpinan yang menggunakan
perspektif multukultural. Secara makna multi-kultur berarti membandingkan atau
menangani dua atau lebih budaya yang berbeda terkait dengan berbagai budaya
daerah, bangsa dan lainnya.
Di dalam kepemimpinan multi-kultur ini, lebih ditujukan kepada budaya
pemimpin (yang mempengaruhi) yang berbeda dengan pengikutnya (yang
dipengaruhi). Maka kepemimpinan multi-kultur merupakan kemampuan seorang
pemimpin untuk mempengaruhi dan memotivasi anggota grupnya yang berbeda
budaya dengan sengaja dan tidak seimbang menuju sasaran yang diterapkan dengan
25Abd. Wahab dan Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan Dan Kecerdasan Spiritual
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 114-116.
33
mempertimbangkan pengetahuan dan sistem makna dari budaya yang berbeda
didalam grup. Atau dengan kata lain adalah pemimpin yang mampu menyesuaikan
dan menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi, budaya dan kondisi
lingkungan yang beragam.26
Penulis dapat menyimpulkan bahwa Kepemimpinan adalah proses untuk
memimpin dalam suatu lembaga ataupun instansi, kepemimpinan juga erat kaitannya
dengan kemampuan dalam mengorganisir sebuah lembaga yang dapat menjadikan
lembaga itu sendiri berkembang. Sedangkan pendidikan multikultural merupakan
pendidikan keragaman budaya yang memiliki relasi terhadap sosial, hal ini dibuktikan
dengan adanya agama, budaya yang beradadisatu lembaga pendidikan.
Kepemimpinan pendidikan multikultural adalah cara seorang untuk
memimpin suatu lembaga yang menaungi berbagaimacam agama, ras, budaya dan
lain sebagainya, ini menjadi keragaman dalam pendidikan multikultural sehingga
lembaga pendidikan akan lebih cepat berkembang dengan menggunakan konsep
pendidikan multikultural. Hal ini persisi yang terjadi didaerah yang beragam agama
dan budaya.
4. Penelitian Relevan
Penelitian sejenis relevan dengan penelitian ini adalah:
1. Nur Adil (STAIN Kendari), judul Kepemimpinan kepala sekolah di SD
Negeri 1 Lahimbua studi kasus kecamatan andowia kabupaten konawe utara.
Metode penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, sehingga dalam
pengumpulan data dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa
tehnik yaitu: observasi, interview, dan dokumentasi. Berdasarkan hasil
penelitian, kepemimpinan kepala sekolah memiliki peran yang urgen dalam
meningkatkan sekolah, karena kepala sekolah merupakan motor penggerak
26Albunding.Blogspot.Co.Id/2011/04/ Kepemimpinan Pendidikan Multikultural (Di Akses
Tanggal 12 Oktober 2015).
34
disekolah, terutama dalam menjalankan peran interpersonal, peran
informasional dan peran pengambilan keputusan27.
2. Samsiah (STAIN Kendari), judul peran kepala sekolah dalam meningkatkan
motivasi kerja guru di TK smart school kota kendari. Jenis penelitian ini
adalah kualitatif, yakni penelitian yang menghasilkan data dalam bentuk
deskripsi atau gambaran tentang obyek yang diteliti. Dalam pengumpulan
data, peneliti menggunakan metode wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan, yaitu: 1. Peran kepala sekolah
di TK smart school kota kendari. 2) motivasi kerja guru di TK Smart school.
3) peran kepala sekolah dalam meeninggkatkan motivasi kerja guru TK smart
school, kepala sekolah harus mnunjukan sikap presuasif dan keteladan. Sikap
presuasif dan keteladan inilah yang akan mewarnai kepemimpinan termasuk
didalamnya pembinaan yang dilakukan oleh kepala sekolah terhadap guru
yang ada disekolah tersebut28.
27 Nur Adil, Kepemimpinan Kepala Sekolah Di SDN 1 Lahimbua, STAIN Kendari, h. 30 28 Sasami, Peran Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kerja Guru Di TK Smart Schol.
STAIN Kendari, h. 31
35
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan/digunakan adalah kualitatif, yaitu data yang
diperoleh dalam bentuk pendapat, pandangan atau ungkapan pemikiran lain yang
diperoleh melalui hasil wawancara atau intervie.29 Penelitian kualitatif perhatiannya
lebih banyak ditujukan pada pembentukan teori subtantif berdasarkan konsep-konsep
yang timbul dari data empiris.
B. Lokasidan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SD Negeri 1 Wawo Indah Kecamatan Wawonii
Tengah Kabupaten Konawe Kepulauan Sulawesi Tenggara. Lokasi ini berjarak ± 15
KM dari Ibu Kota Konawe Kepulauan (Langara), lokasi dipilih dengan pertimbangan:
SD Negeri 1 Wawo Indah Kecamatan Wawonii Tengah Kabupaten Konawe
Kepulauan, merupakan salah satu sekolah yang berada diwawonii yang memiliki
etnis dan agama yang berbeda dan masyarakat wawonii adalah mayoritas masyarakat
beragama islam, akan tetapi fakta yang ada di SD Negeri 1 Wawo Indah mayoritas
murid non-muslim, maka hal ini menarik untuk melakukan penelitian di SD Negeri 1
Wawo Indah.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan mulai tanggal 22 Februari 2016
sampai dengan 18 April 2016.
C. Sumber Data
Menurut Mustuhu, sumber data ialah tindakan dan perkataan manusia dalam
suatu latar yang bersifat ilmiah.30 Ada dua karakter penelitian dan penguasaan
informasi tentang objek peneliti, yaitu Pertama, peneliti sebelumnya telah memahami
29Nurul Zuriah, Metode Penelitian social dan Pendidikan (Teori-Aplikasi) (Malang: Bumi
Aksara 2005), h. 91. 30Mastuhu, Metodologi Penelitian Agama (Teoridan Praktek) (Jakarta: Rajawali Pers, 2005),