Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Kerja Kontraproduktif
1. Definisi Perilaku Kerja Kontraproduktif
Munurut KBBI kata kontraproduktif memiliki arti bersifat tidak
mampu, tidak menguntungkan (KBBI, 2019). Perilaku kerja kontraproduktif
merupakan istilah umum yang mengacu pada tindakan pekerja yang lebih
mementingkan diri sendiri yang dilakukan dengan sengaja atau sadar yang
menyebabkan kerugian bagi perusahaan (Budiman, 2015; Hanidah, 2018).
Sackett dan DeVore (2002) mengartikan perilaku kerja kontraproduktif sebagai
segala bentuk dari perilaku anggota yang bertentangan dengan tujuan
organisasi dan dilakukan dalam keadaan sadar. Sementara, Gruys dan Sackett
(2003) berpendapat perilaku kerja kontraproduktif merupakan tindakan yang
sengaja dilakukan anggota untuk melanggar aturan, menentang kepentingan
dan mengabaikan nilai-nilai sah organisasi.
Selain itu Spector, dkk, (2006) memandang perilaku kerja
kontraproduktif membawa dampak negatif bagi organisasi dan anggota
organisasi. Perilaku kerja kontraproduktif akan mengganggu organisasi karena
hal tersebut berdampak langsung pada fungsi organisasi dan menimbulkan
kerugian yang sangat tinggi (Nugraheni & Wahyuni, 2016). Perilaku kerja
kontraproduktif merupakan suatu masalah yang serius, perilaku
membahayakan dan mahal bagi organisasi dan anggota itu sendiri (Spector,
18
Bauer, & Fox, 2010; Oge, Ifeanyi, dan Gozie, 2015). Perilaku kontraproduktif
merupakan masalah utama di tempat kerja yang memiliki kecenderungan
mengganggu dan membahayakan organisasi (Uche, George & Abiola., 2017).
Perilaku kerja kontraproduktif itu sendiri diklasifikasikan kedalam lima
dimensi, antara lain 1) pelecehan terhadap orang lain; 2) penyimpangan
produksi; 3) sabotase; 4) Pencurian; dan 5) Penarikan diri (Spector, dkk, 2006).
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku kerja
kontraproduktif adalah perilaku karyawan yang dilakukan dalam keadaan sadar
dan membawa dampak buruk bagi organisasi maupun anggota organisasi.
Perilaku kerja kontraproduktif adalah perilaku karyawan yang tidak sesuai
dengan aturan, nilai, dan tujuan organisasi.
2. Aspek-Aspek Perilaku Kerja Kontraproduktif
Spector, Goh, Bruursema, Kessler, Fox dan Penney (2006) menyatakan aspek-
aspek perilaku kerja kontraproduktif terbagi menjadi lima, yaitu:
a. Pelecehan terhadap orang lain (abuse)
Perilaku menyimpang seorang karyawan di tempat kerja yang
merupakan bentuk emosi negatife dan bersifat interpersonal. Contoh dari
perilaku ini adalah memulukul, mengeluarkan kata kasar atau menghina rekan
kerja, dan bergosip dengan rekan kerja.
b. Penyimpangan produksi (production devience)
Perilaku menyimpang karyawan yang menyebabkan karyawan tersebut
tidak dapat melakukan pekerjaan secara efektif di tempat kerja. Contohnya
19
seperti menunda-nunda pekerjaan, asal-asalan dalam bekerja dan mengurangi
produktifitas.
c. Sabotase (sabotage)
Perilaku menyimpang sorang karyawan ditempat kerja yang sifatnya
merusak. Contoh dari perilaku sabotase, yaitu dengan sengaja merusak barang
atau peralatan milik kantor dan menggunakan fasilitas kantor dengan tidak
mempedulikan aturan.
d. Pencurian (theft)
Perilaku karyawan yang menyimpang di tempat kerja yang bersifat
mengambil dan mencuri. Contoh, membawa pulang barang kantor tanpa izin,
korupsi, mengambil barang kantor dan tidak mengembalikannya,
e. Penarikan diri (withdrawal)
Perilaku menyimpang ditempat kerja yang dilakukan oleh karyawan
dalam bentuk membatasi jumlah waktu kerja manjadi kurang dari yang
dibutuhkan oleh organisasi atau perusahaan. Contohnya adalah bolos kerja
diluar izin, melebih-lebihkan waktu istirahat dan menghindari tanggung jawab
kerja yang diberikan oleh organisasi atau perusahaan.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kerja Kontraproduktif
Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentukanya perilaku kerja
kontraproduktif menurut Sackett dan De Vore (2002) terbagi menjadi enam,
yaitu:
20
a. Faktor kepribadian (personality)
Salah satu faktor yang mempengaruhi karyawan berperilaku kerja
kontraproduktif adalah kepribadian. Pernyataan tersebut didukung beberapa
hasil penelitian mengenai kepribadian yang dikaitan dengan perilaku kerja
kontraproduktif, seperti: kestabilan emosi, ektroversi, agreeableness, Big Five
Personality, keterbukaan dan kesadaran membangnun pengalaman.
Penelitian-penelitian tersebut memiliki kesamaan hasil yaitu, menunjukan
adanya hubungan yang konsisten dengan perilaku kerja kontraproduktif yang
dilakukan di lingkungan kerja.
b. Karakteristik pekerjaan (job characteristic)
Karakterisitik pekerjaan yang dimiliki berpengaruh pada keahlian yang
dibutuhkan, jenis tugas yang diberikan, dan cara kerja pada organisasi akan
mempengaruhi karyawan dalam menyelesaikan tugas dengan sempurna,
perasaan bertanggungjawab terhadap tugas yang diberikan, dan pengetahuan
terhadap pencapaian hasil kerja. Sackett dan De Vore (2002) berpendapat
karakter pekerjaan mempengaruhi perilaku kerja individu yang tertuang dalam
kinerja yang diberikan, kepuasan kerja, motivasi kerja, kehadiran dan tingkat
turnover.
c. Karakteristik kelompok kerja (work group characteristic)
Hal ini dapat mengpengaruhi karena segala yang terjadi dalam sebuah
kelompok kerja hal tersebut akan berpengaruh terhadap individu yang menjadi
anggota didalamnya, seperti persepsi kepuasan kerja, kinerja dan
produktifitasnya. Hal ini cendrung membuat individu untuk mengikuti tingkah
21
laku yang sudah menjadi kebiasaan dalam kelompok organisasi tersebut.
Pengaruh karakteristik kelompok kerja terhadap munculnya perilaku kerja
kontraproduktif dapat dijelaskan dari contoh situasi berikut; Jika seorang
karyawan dating terlambat dan pulang lebih awal namun tidak mendapat
respon apa pun dari organisasi, atasan atau rekan kerja maka seseorang itu
cendrung akan mengulangi perilaku tersebut (Robbins & Langton, 2003). Dari
hal tersebut dapat diketahui karyawan akan menyesuaikan tingkah laku mereka
sesuai dengan konsekuensi yang dialami.
d. Budaya organisasi (organizational culture)
Budaya organisasi dan karateristik kelompok kerja memiliki kesamaan
karena keduanya merupakan pengaruh sosial yang mampu mempengaruhi
individu di tempat kerja. Namun, budaya organisasi mencakup lebih luas yang
dipengaruhi oleh faktor diluar kelompok kerja. Perilaku kerja kontrproduktif
biasa terjadi pada perusahaan dimana kode etik yang berlaku tidak
didefinisikan dengan baik. Salah satu bidang yang menjadi fokus budaya
organisasi adalah mengenai konsep iklim kejujuran yang ada di organisasi.
e. Sistem pengendalian organisasi (control system of organization)
Hal ini merupakan sistem atau prosedural pada tempat kerja yang
bertujuan untuk mengurangi tingkat perilaku kontraproduktif melalui
pengawasan (monitoring) atau dengan meningkatkan pemberian sanksi
(punishment). Pengawasan dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu konvensional
dan menggunakan bantuan teknologi. Pengawasan konvensional dapat
dilakukan oleh atasan, rekan kerja, dan konsumen sementara pengawasan
22
menggunakan bantuan teknologi dapat dilakukan dengan memasang cctv,
menggunakan sistem aplikasi komputer dan lain sebagainya. Fungsi
pengawasan suatu oragniasi akan mempengaruhi munculnya perilaku
kontraproduktif.
f. Ketidakadilan organisasi (injustice organization)
Hal tersebut dapat mempengaruhi karena ketidakadilan organisasi
dapat menimbulkan perilaku kerja kontraproduktif. Karyawan merasa tidak ada
keadilan di lingkungan organisasi apabila kinerja atau imbalan yang diterima
karyawan tidak sesuai dengan usaha yang telah diberikan. Kemudian,
karyawan akan membanding-bandingkan imbalan yang mereka terima dengan
imbalan yang diterima oleh karyawan lain berdasarkan usaha mereka masing-
masing. Jika rasio usaha atau imbalan yang didapat tidak proporsional dan
tidak adil maka akan sangat berdampak pada karyawan. Ketidakadilan tidak
hanya dilihat berdasarkan alokasi penghargaan atau hukuman yang tidak setara
namun juga dapat berupa ketidakadilan dalam keputusan atau prosedur yang
dibuat oleh atasan.
B. Kepemimpinan Profetik
1. Definisi Kepemimpinan Profetik
Istilah propetik pertamakali diperkenalkan di Indonesia oleh
Kuntowijoyo pada 1991, beliau berpendapatnya tentang pentingnya ilmu sosial
transformatif yang disebut ilmu sosial profetik (Budiharto & Himam, 2006).
Adz-Dzakiey (2005), mendefinisikan kepemimpinan profetik sebagai
23
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain demi mecapai suatu tujuan
sebagaimana yang dilakukan oleh nabi dan rosul. Pendapat tersebut senada
dengan apa yang disampaikan oleh Widayat (2014), kepemimpinan profetik
merupakan sebuah kemampuan mengendalikan diri dan mempengaruhi orang
lain dengan tulus untuk demi tercapainya tujuan bersama dengan pencapaian
kepemimpinan Nabi Muhammad saw. berdasarkan empat hal yakni, shiddiq,
amanah, tabligh dan fathonah.
Pendapat lain, Mansyur (2014) kepemimpinan profetik didefinisikan
sebagai sesuatu gaya kepemimpinan yang bersifat kenabian dan bertujuan
untuk membimbing manusia mendapatkan kebahagian serta keselamatan baik
di dunia maupun di akhirat. Kepemimpinan profetik merupakan konsep
kepemimpinan yang disusun berdasarkan sudut pandang agama islam dan
diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat muslim (Budiharto &
Himam, 2006).
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat diketahui bahwa kepemimpinan
profetik adalah gaya kepemimpinan yang mencontoh bagaimana
kepemimpinan Nabi Muhammad saw. dan dibentuk berdasarkan konsep sudut
pandang agama serta diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Aspek-aspek Kepemimpainan Profetik
Budiharto dan Himam (2006), mengatakan dimensi kepemimpinan profetik
terdiri dari 4 aspek, yaitu shiddiq, amanah, tabligh dan fathonah:
a. Shiddiq, memiliki arti jujur, tulus. Seorang pemimpin penting untuk
memiliki sikap ini, kejujuran dan ketulusan adalah kunci utama dalam rangka
24
membangun trust (kepercayaan). Dapat dibayangkan apabila pemimpin tidak
memiliki sikap kejujuran, tentu anggota-anggota yang dipimpinnya akan tidak
punya kepercayaan dan menyebabkan tujuan kepemimpinannya sulit menjadi
kenyataan (Zainuddin & Mustaqim, 2012).
b. Amanah, memiliki arti dapat dipercaya. Amanah dalam Islam terbagi dua,
yaitu bersifat teosentris dan antroposentris. Teosentris terkait dengan tanggung
jawab kepada Allah sementara antroposentris terkait dengan kontak social
kemanusiaan. Seorang pemimpin penting untuk melaksanaan kepercayaan
dengan sebaik-baiknya (Zainuddin & Mustaqim, 2012).
c. Tabligh, memiliki arti menyampaikan (komunikatif). Kemampuan ini
sangat penting untuk dimiliki seorang pemimpin karena pemimpin harus bisa
menyampaikan sesuatu dengan lengkap dan tepat, tidak memaksa,
menyuarakan kebenaran dan kebaikan (Zainuddin & Mustaqim, 2012).
d. Fathanah, memiliki arti pintar, cerdas. Seorang pemimpin yang ideal salah
satu syaratnya adalah pintar atau cerdas, hal tersebut dibutuhkan seorang
pemimpin agar dapat memprediksi, menghadapi, mencegah masalah-masalah
yang terjadi dan memberikan solusi yang terbaik (Zainuddin & Mustaqim,
2012).
C. Etos Kerja Islami
1. Definisi Etos Kerja Islami
Etos kerja terdiri dari dua kata yaitu, etos dan kerja. Secara etimologis
bahasa etos berasal dari bahasa Yunani yaitu, Ethos yang memiliki arti
25
keyakinan pada sesuatu yang meliputi arti sikap, karakter, kepribadian, dan
watak (Tasmara, 2004). Menurut Adams, Teall, dan Taylor (1966) pada
bukunya yang yang berjudul Websters World University Dictionary, etos
dijelaskan sebagai suatu sifat dasar yang merupakan kebiasaan yang menjadi
watak suatu bangsa atau ras. Dari kata etos, dikenal pula istilah kata etika, etiket
yang diartikan hampir menyerupai pengertian akhlak atau nilai-nilai yang
berkaitan dengan baik buruknya sesuatu. Secara umum kerja dapat diartikan
sebagai semua bentuk usaha yang dilakukan baik dalam hal materi ataupun hal
non materi, intelektual atau fisik. Dalam KBBI kerja memiliki arti perbuatan
melakukan sesuatu.
Kerja dalam perspektif Islam, dianggap sebagai kodrat hidup manusia,
cara untuk mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat dan salah satu jalan
mendekatkan diri kepada tuhan (Asifudin, 2004). Menurut Tasmara (2004),
etos kerja katakan sebagai suatu gairah atau semangat menggebu dalam
melakukan suatu pekerjaan secara optimal demi mencapai hasil yang lebih baik
dan berusaha mencapai kualitas kerja sesempurna mungkin.
Etos kerja islami didefinisikan sebagai sikap kepribadian muslim yang
meyakini bahwa bekerja bukan saja untuk memuliakan dirinya melainkan juga
sebagai manifestasi dari amal saleh yang memiliki nilai ibadah yang luhur
(Tasmara, 2004). Pendapat lain menurut Ali (2005), etos kerja islami
merupakan suatu orientasi yang mempunyai suatu pengaruh luar biasa pada
orang-orang Islam dan organisasinya. Etos kerja islami dianggap sebagai
orientasi bentuk dan pengaruh dari keterlibatan dan keikutsertaan kepercayaan
26
di tempat kerja (Ali & Al-Owaihan, 2008). Menurut Asifudin (2004), etos kerja
islami terbentuk dari wahyu dan akal dengan sistem keimanan atau aqidah
islam yang berkenaan dengan kerja.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa etos kerja
islami merupakan sikap kepribadian seorang muslim yang berpengaruh luar
biasa pada orang-orang dan organisasinya serta memandang bekerja sebagai
salah satu bentuk ibadah kepada Allah.
2. Aspek-aspek Etos Kerja Islami
Menurut Ali (Yousef, 2000), etos kerja islami memiliki aspek aspek yang
terbagi menjadi 4, antara lain sebagai berikut:
1) Usaha
Seorang muslim dalam islam dianjurkan untuk mengerjakan sesuatu
dengan sebaik-baiknya, bersungguh-sungguh, dan dijalankan dengan
keikhlasan serta diniatkan sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Allah.
Setelah seorang muslim berusaha (ikhtiar) dengan sebaik-baiknya hasil yang
diperoleh insyaallah juga akan baik, sesungguhnya kita berpasrah diri kepada
Allah ketika kita sudah berusaha sebaik mungkin.
2) Persaingan
Bekerja dalam etos kerja islami juga mengatur mengenai hubungan
dengan sesama. Seorang muslim hendaknya dapat bersaing dengan cara yang
baik dan tidak menghalalkan segala cara untuk menjadi yang terbaik. Seorang
muslim harus yakin bahwa Allah telah mengatur rizki dari masing-masing
27
makluk ciptaaannya, maka dari itu seorang muslim harus berusaha dengan baik
dan bersaing dengan menumbuhkan nilai-nilai positif.
3) Transparansi
Seorang muslim dalam bekerja juga dituntut untuk senantiasa berkata
jujur, bersikap terbuka dan berani mengakui kesalahan. Karena seorang muslim
hendaknya meyakini bahwa setiap apa yang dikerjakan tidak luput dari
pengawasan-Nya.
4) Tingkah moral bertanggung jawab
Dalam bekerja seorang muslim juga harus memiliki tingkah laku atau
moral yang baik. Hal tersebut dapat dicerminkan dari perbuatan yang santun
dan bertanggung jawab.
D. Hubungan Kepemimpinan Profetik dan Etos Kerja Islami dengan
Perilaku Kerja Kontraproduktif
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan
profetik dan etos kerja islami terhadap perilaku kerja kontraproduktif pada
PNS. Perilaku kerja kontraproduktif merupakan perilaku yang dapat
membahayakan sebuah organisasi/perusahaan. Uche, George & Abiola (2017),
mengatakan Perilaku kerja kontraproduktif merupakan masalah utama di
tempat kerja yang memiliki kecenderungan mengganggu dan membahayakan
organisasi. Spector, dkk, (2006) memandang perilaku kerja kontraproduktif
membawa dampak negatif bagi organisasi dan anggota organisasi. Perilaku
kerja kontraproduktif akan mengganggu organisasi karena hal tersebut
28
berdampak langsung pada fungsi organisasi dan menimbulkan kerugian yang
sangat tinggi (Wayhuni & Nugraheni, 2016). Oleh karena itu penting bagi
organisasi/perusahaan untuk mengendalikan munculnya perilaku kerja
kontraproduktif.
Untuk dapat mengendalikan perilaku kerja kontraproduktif,
organisasi/perusahaan perlu memberikan lingkungan kerja yang baik dengan
menerapkan kepemimpinan profetik pada atasan dan etos kerja islami pada
karyawan. Penelitian ini akan mengidentifikasi aspek-aspek yang saling
berkaitan antara perilaku kerja kontraproduktif, kepemimpinan profetik dan
etos kerja islami. Hal ini dapat menjadi acuan bagi oragniasasi/perusahaan
dalam mengendalikan munculnya perilaku kerja kontraproduktif.
Terdapat beberapa faktor yang mempegaruhi perilaku kerja
kontraproduktif Sackett dan De Vore (2002) terbagi menjadi lima, yaitu:
kepribadian (personality), karakteristik pekerjaan (job characteristic),
karakteristik kelompok kerja (work group characteristic), budaya organisasi
(organizational culture), sistem pengendalian organisasi (control system of
organization), ketidakadilan organisasi (injustice organization). Penelitian
akan melihat hubungan kepemimpinan profetik dan etos kerja islami terhadap
perilaku kerja kontraproduktif.
Josef (2017) menyatakan bahwa perilaku kerja kontraproduktif dapat
terjadi karena gaya kepemimpinan atasan. Gaya kepemimpinan atasan dapat
menuntukan bagaimana anggota organisasi dalam berperilaku konstruktif atau
destruktif. Kessler, Bruusema, Rodopman dan Spector (2013) menyatakan
29
bahwa kepemimpinan transformational berkorelasi negatif dengan perilaku
kerja kontraproduktif. Mansyur (2013), mengatakan bahwa kepemimpinan
profetik merupakan perpaduan kepemimpinan transformational dengan
kepemimpinan spiritual dan tidak terlepas dari kepemimpinan Nabi Muhamad
saw. Kepemimpinan transformational, spiritual dan profetik sama-sama
termasuk dalam gaya kepemimpinan instrinsik.
Kumolohadi dan Budiharto (2014) yang menyatakan bahwa
kepemimpinan profetik dapat meningkatkan karakter anti korupsi. Korupsi
yang merupakan salah satu bentuk perilaku kerja kontraproduktif dapat
diminimalkan oleh kepemimpinan profetik. Kepemimpinan profetik
merupakan konsep kepemimpinan yang disusun berdasarkan sudut pandang
agama islam dan diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat muslim
(Budiharto & Himam, 2006). Menurut Budiharto dan Himam (2006),
kepemimpinan profetik terdiri dari 4 aspek, yaitu shiddiq, amanah, tabligh dan
fathonah.
Atasan yang berkarakter shiddiq akan senantiasa mengikuti suara hati
nuraninya, sabar, konsisten dan dapat menjadi teladan bagi yang lainnya.
pemimpin yang berkarakter shiddiq juga tidak suka berdusta, tidak akan
terpengaruh dengan hawa nafsunya, serta tidak akan mengutamakan
kepentingan pribadi di atas kepentingan organisasi (Kumolohadi dan Budiharto,
2014). Atasan dengan karakter shiddiq itu akan memberikan contoh kepada
bawahannya sehingga bawahannya juga akan memiliki perilaku kerja
kontraproduktif yang rendah.
30
Aspek kedua yaitu amanah, Budiharto (2006) menyatakan bahwa atasan
yang memiliki sifat amanah akan senantiasa setia kepada Tuhannya, diri sendiri
dan orang lain. (Kumolohadi dan Budiharto, 2014) menjelaskan juga bahwa
seorang pemimpin yang memiliki sifat amanah akan bekerja sungguh-sungguh
dengan komitmen kepada Allah, rekan kerja, staf, para donatur, bahkan para
sukarelawan serta bersikap dengan adil, karena sadar segala amanah yang
dijalaninya tidak hanya dipertanggung jawabkan kepada organisasi saja namun
juga kepada Allah.
Selanjutnya, atasan dengan sifat tabligh (komunikatif) akan
menyebabkan atasan lebih sering berinteraksi dengan karyawannya sehingga
menciptakan hubungan yang hangat dengan karyawan, adanya hubungan ini
dapat meningkatkan keterlibatan karyawan untuk membantu dalam
menyelesaikan tugas-tugas dan permasalahan kerja sehingga perilaku kerja
kontraproduktif (penarikan diri pada karyawan) dapat berkurang (Susanty,
Puspitasasri dan Aisyah, 2011). Selain itu Ceryak-Hai dan Tziner (2014)
menyatakan hubungan atasan dengan bawahan berhubungan dengan tingkah
laku kerja kontraproduktif. Hubungan yang dibangun atas komitmen dan
kepentingan bersama akan menciptakan kesadaran akan nilai-nilai, visi dan misi
suatu oragnisasi serta melahirkan prestasi dan keberhasilan dalam mencapai
tujuan organisasi (Budiman, 2015). Sehingga atasan berkarakter tabligh tinggi
dapat memilimalisir dorongan untuk melakukan perilaku-perilaku
kontraproduktif.
31
Kemudian aspek keempat dari kepemimpinan profetik adalah fathonah.
Budiharto (2006) menjelaskan bahwa fathonah adalah cerdas, berfikir sebelum
bertindak, mampu untuk mengatasi masalah dan menjadi problem solver,
kecerdasan tersebut dibangun atas dasar ketakwaan kepada Allah. Adz-Dzakiey
(2005) menyebutkan bahwa atasan yang memiliki sifat fathonah memiliki
kecerdasan untuk memfungsikan qalbunya, akal pikiran dan panca inderanya
dengan optimal dalam mengatasi setiap masalah. Atasan dengan karakter
fathonah yang tinggi akan menhindari melakukan perilaku kerja
kontraproduktif.
Selain itu etos kerja islami juga penting dalam mengendalikan perilaku
kerja kontraproduktif. Pada penelitian Abdullah dan Halim (2016) yang
mengatakan bahwa etos kerja berkorelasi negatif dengan perilaku kerja
kontraproduktif. Etos kerja dengan etos kerja islami secara umum adalah sama,
hal yang membedakan adalah etos kerja islami dibentuk berdasarkan sudut
pandang agama islam.
Penelitian lain oleh Elsintania dan Archianti (2016) dapat diketahui
kepemimpinan profetik dan etos kerja islami berhubungan dengan komitmen
organisasi. Spector (2002) mengatakan pekerja dengan komitmen organisasi
yang tinggi akan cenderung untuk tidak melakukan hal yang negatif/perilaku
kerja kontraproduktif. Menurut Tsamara (2004) etos kerja islami diartikan
sebagai kepribadian muslim yang meyakini bahwa bekerja bukan saja untuk
memuliakan dirinya melainkan juga sebagai manifestasi dari amal saleh yang
memiliki nilai ibadah. Menurut Ali (Yousef, 2000), etos kerja islami terbagi
32
menjadi 4 aspek yaitu, usaha, persaingan, transparan dan tingkah moral
bertanggung jawab.
Aspek usaha pada variabel etos kerja islami berkaitan dengan aspek
penyimpangan produksi dan penarikan diri pada variabel perilaku kerja
kontraproduktif. Pada hasil penelitian Citra, Purwadi, dan Hakim (2018), dapat
diketahui etos kerja islami memiliki hubungan positif yang signifikan dengan
kinerja karyawan. Menurut Wilson (2012) kinerja merupakan hasil pekerjaan
berdasarkan usaha-usaha yang telah dilakukan sesuai dengan persyaratan
pekerjaan (job requirement). Seorang dengan etos kerja islami tinggi dalam
bekerja akan berusaha, mengerjakan segala sesuatu sebaik-baiknya, terlibat
aktif dalam pekerjaan dan mengindari hal-hal yang tidak produktif.
Selanjutnya Kanten dan Ulker (2013) pada penelitiniannya
menyebutkan bahwa lingkungan kerja yang hangat akan menghindarkan
karyawan dari perilaku kerja kontraproduktif. Lingkungan kerja yang hangat
dapat tercipta dari keharmonisan hubungan antara diri sendiri, antasan-
bawahan, dan karyawan-karyawan, Keharmonisan tercipta atas dasar
persaingan yang sehat, sebagaimana yang terdapat pada etos kerja islami.
Persaingan yang baik juga dapat menghindarkan seseorang untuk melakukan
perilaku melecehkan orang lain, sabotase dan lain-lain. Mardiana (2004),
menyatakan persaingan sehat akan menciptakan hubungan yang hangat dan
meningkatkan komiten kerja karyawan, komitmen erat hubungannya dengan
keterlibatan kerja.
33
Kemudian, Mount, dkk (2006) pada penelitiannya mengatakan bahwa
individu dengan tingkat transparansi (keterbukaan) rendah lebih rentan
melakukan perilaku kerja kontraproduktif. Oleh karena itu semakin tinggi
tingkat transparansi (keterbukaan) pada individu maka perilaku kerja
kontraproduktif rendah. Adanya transparansi membuat tidak ada sesuatu yang
disembunyi-bunyikan dan membuat individu merasa dapat perhatian serta
pengakuan terhadap prestasi kerjanya, sehingga sikap kerja dan loyal individu
akan lebih baik (Candrawati, 2019).
Aspek keempat etos kerja islami adalah tingkah moral bertanggung
jawab. Bagi seorang muslim dalam bekerja harus memiliki tingkah laku atau
moral yang baik. Hal tersebut dapat dicerminkan dari perbuatan yang santun
dan bertanggung jawab (Tasmara, 2004). Individu dengan tingkah moral
bertanggung jawab yang baik akan membuat individu berhati-hati dalam
bertindak dan berbuat agar tidak melanggar nilai-nilai yang terdapat pada
organisasi/perusahaan. Oleh karena itu individu dengan tingkah moral
bertanggung jawab baik dapat melindungi dirinya untuk melakukan perilaku
kerja kontraproduktif.
Berdasarkan tulisan di atas dapat diketahui bahwa baik aspek
kepemimpinan profetik dan aspek etos kerja islami sama-sama memiliki
keterikatan satu sama lain dalam perilaku kerja kontraproduktif. Seorang yang
merasa memiliki keempat aspek dalam kepemimpinan profetik dan etos kerja
islami akan dapat memberikan dampak terhadap pengendalian perilaku kerja
kontraproduktif.
34
E. Hipotesis Penelitian
1. Terdapat hubungan negatif antara kepemimpinanan profetik dengan
perilaku kerja kontraproduktif pada PNS. Semakin tinggi kepemimpinan
profetik atasan maka semakin rendah perilaku kerja kontraproduktif PNS.
Sebaliknya semakin rendah kepemimpinan profetik atasan maka semakin
tinggi perilaku kerja kontraproduktif PNS.
2. Terdapat hubungan negatif antara etos kerja islami dengan perilaku kerja
kontraproduktif pada PNS. Semakin tinggi etos kerja islami PNS maka
semakin rendah perilaku kerja kontraproduktif PNS. Sebaliknya semakin
rendah etos kerja islami PNS maka semakin tinggi perilaku kerja
kontraproduktif PNS.