Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Sectio Caesarea
1. Pengertian Sectio Caesarea
Sectio caesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan
membuka dinding perut dan dinding uterus atau vagina atau suatu
histerektomi untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Padila, 2015).
Operasi Caesar atau sering disebut dengan sectio caesarea adalah
melahirkan janin melalui sayatan dinding perut (abdomen) dan dinding rahim
(uterus). Seksio sesarea adalah suatu persalinan buatan, dengan melahirkan
bayi yang berat badan diatasnya 500 gram, melalui sayatan pada dinding
uterus yang masih utuh (Jitowijono & Kristiyanasari, 2010).
2. Jenis-Jenis Sectio Caesarea
Menurut Padila (2015), terdapat dua jenis operasi sectio caesarea antara
lain :
a. Abdomen (Sectio Caesarea Abdominalis)
1) Sectio Caesarea Klasik (Korporal)
Operasi ini dilakukan dengan sayatan memanjang pada korpus
uteri kira-kira sepanjang 10 centimeter.
Kelebihan:
a) Mengeluarkan janin dengan cepat
b) Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik
c) Sayatan bisa diperpanjang prokimal atau distal
Kekurangan :
a) Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada
reperitonealis yang baik
b) Untuk persalinan yang berikutnya lebih sering terjadi rupture uteri
spontan
7
8
2) Sectio Caesarea Ismika (Profunda)
Operasi ini dilakukan dengan sayatan melintang konkaf pada
segmen bawah rahim kira-kira 10 centimeter.
Kelebihan:
a) Penjahitan luka lebih mudah
b) Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik
c) Tumpang tindih dari peritoneal flap baik sekali untuk menahan
penyebaran isi uterus ke rongga peritoneum
d) Perdarahan tidak begitu banyak
e) Kemungkinan rupture uteri spontan berkurang atau lebih kecil
Kekurangan:
a) Luka dapat melebar kekiri, kanan, dan bawah sehingga dapat
menyebabkan uteri uterine pecah sehingga mengakibatkan
perdarahan banyak
b) Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi
b. Vagina (Sectio Caesarea Vaginalis)
Menurut sayatan pada rahim, sectio caesarea dapat dilakukan sebagai
berikut :
1) Sayatan memanjang (longitudinal)
2) Sayatan melintang (transversal)
3) Sayatan huruf t (t insicion)
3. Etiologi
Menurut Jitowijono & Kristiyanasari (2010), ada dua indikasi
dilakukannya operasi sectio caesarea :
a. Indikasi yang Berasal dari Ibu
1) Primigravida dengan kelainan letak
2) Primipara tua disertai kelainan letak
3) Disproporsi safalo pelvic (disproporsi janin / panggul)
4) Sejarah kehamilan dan persalinan yang buruk
5) Kesempitan panggul
6) Plasenta previa terutama pada primigravida
9
7) Solutsio plasenta tingkat I – II
8) Komplikasi kehamilan (preeklamsiia-eklamsia)
9) Permintaan
10) Kehamilan yang disertai penyakit (jantung, diabetes mellitus)
11) Gangguan perjalanan (kista ovarium, mioma uteri, dan sebagainya).
b. Indikasi yang Berasal dari Janin
1) Fetal distress / gawat janin
2) Mal persentasi dan mal kedudukan janin
3) Prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil
4) Kegagalan persalinan vakum atau forceps ekstraksi
4. Komplikasi
Kemungkinan masalah yang dapat timbul setelah dilakukan operasi ini antara lain: a. Infeksi puerperal
Komplikasi ini ada yang bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama
beberapa hari dalam masa nifas, dan bersifat berat seperti peritonitis dan
sepsis.
b. Pendarahan
Pendarahan bisa terjadi jika pada waktu pembedahan atau insisi mengenai
cabang-cabang pembuluh darah arteri, dan terkena atonia uteri.
c. Rupture uteri
Komplikasi ini disebabkan karena kurang kuatnya jaringan parut pada
dinding uterus, sehingga pada kehamilan selanjutnya bisa terjadi rupture uteri.
Kejadian ini lebih banyak ditemukan pada jenis operasi sectio caesarea klasik.
Komplikasi-komplikasi lain seperti luka kandung kemih, embolisme paru-
paru, tetapi sangat jarang terjadi.
10
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien sectio caesarea menurut Jitowijono &
Kristiyanasari (2010), dibagi menjadi dua yaitu:
a. Perawatan Pre Operasi Sectio Caesarea
1) Persiapan kamar operasi
a) Kamar operasi sudah dibersihkan dan siap untuk dipakai
b) Peralatan dan obat-obatan telah siap semua termasuk kain operasi
2) Persiapan pasien
a) Pasien telah dijelaskan tentang prosedur operasi
b) Informed consent telah ditanda tangani oleh pihak keluarga pasien
c) Perawat memberi support kepada pasien
d) Daerah yang akan dilakukan insisi telah dibersihkan (rambut pubis
di cukur dan sekitar abdomen telah dibersihkan dengan antiseptik)
e) Pemeriksaan tanda-tanda vital dan pengkajian untuk mengetahui
penyakit yang pernah diderita dan mengetahui keadaan umum
pasien
f) Pemeriksaan laboratorium (darah, urine)
g) Pemeriksaan USG
h) Pasien puasa selama 6 jam sebelum dilakukan operasi.
b. Perawatan Post Operasi Sectio Caesarea
1) Analgesik
Perempuan dengan ukuran tubuh rata-rata dapat disuntik 75 mg
Meperidin (intra muskuler) setiap 3 jam sekali, bila diperlukan untuk
mengatasi rasa sakit atau dapat disuntikkan 10 mg morfin.
a) Perempuan dengan ukuran tubuh kecil, dosis Meperidin yang
diberikan adalah 50 mg.
b) Perempuan dengan ukuran tubuh besar, dosis yang lebih tepat adalah
100 mg Meperidin.
c) Obat-obatan antiemetic, missal protasin 25 mg biasanya diberikan
bersama-sama dengan pemberian preparat narkotik.
11
2) Tanda-Tanda Vital
Tanda-tanda vital harus diperiksa setiap 4 jam sekali, perhatikan
tekanan darah, nadi, pernafasan, dan jumlah urine serta jumlah darah yang
hilang dan keadaan fundus harus diperiksa.
3) Terapi Cairan dan Diet
Pemberian 3 liter larutan Ringer Laktat terbukti sudah cukup selama
pembedahan dalam 24 jam pertama berikutnya, tetapi jika output urine
jauh dibawah 30 ml/jam, pasien harus segera di evaluasi kembali paling
lambat pada hari kedua.
4) Vasika Urinarius dan Bising Usus
Kateter dapat dilepaskan setelah 12 jam post operasi atau pada
keesokan paginya setelah operasi. Biasanya bising usus belum terdengar
pada hari pertama setelah pembedahan, pada hari kedua bising usus masih
lemah, dan usus baru aktif kembali pada hari ketiga.
5) Ambulasi
Pada hari pertama setelah pembedahan, pasien dapat bangun dari
tempat tidur sebentar dengan bantuan perawat sekurang-kurangnya dua
kali dalam sehari, dan pada hari kedua pasien dapat berjalan.
6) Perawatan luka
Luka insisi dapat di lihat setiap hari, sehingga baluatan luka yang
efektif digunakan adalah balutan yang tidak banyak menggunakan plester.
Secara normal jahitan kulit dapat diangkat setelah hari ke empat pasca
pembedahan. Pada hari ketiga post operasi pasien dapat mandi tanpa
membahayakan luka insisi.
7) Laboratorium
Secara rutin hematokrit diukur pada pagi hari setelah dilakukan
operasi, untuk mengetahui kehilangan darah yang tidak biasa atau keadaan
lainnya yang menunjukkan hipovolemia.
8) Perawatan Payudara
Pemeberian ASI dapat dimulai pada hari pasca operasi. Jika ibu
memutuskan tidak menyusui, pemasangan Buste Hounder (BH) payudara
12
yang dianjurkan adalah tidak terlalu kencang dan tidak menimbulkan
kompesi yang dapat mengakibatkan nyeri.
9) Memulangkan Pasien dari Rumah Sakit
Seseorang pasien yang baru melahirkan mungkin lebih aman bila
diperbolehkan pulang dari rumah sakit pada hari ke empat dan ke lima
post operasi. Aktivitas ibu dalam minggu pertama harus dibatasi hanya
untuk perawatan bayinya dengan bantuan orang lain.
B. Kosep Nyeri
1. Pengertian Nyeri
Menurut (Smeltzer & Bare, 2002) nyeri adalah pengalaman sensori dan
emosiaonal yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang
aktual atau potensial. Rasa nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari
bantuan perawat kesehatan. Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau
bersamaan dengan beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan.
Sedangkan menurut International Association for Study of Pain (1979),
mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman
emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan
yang bersifat aktual dan potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-
kejadian di mana terjadi kerusakan (Prasetyo, 2010).
2. Sifat Nyeri
Menurut Mahon (1994) dalam Potter & Perry, 2006, nyeri merupakan
suatu kodisi yang lebih dari sekedar sensasi tungggal yang disebabkan oleh
stimulus tertentu. Nyeri bersifat subjektif dan sangat bersifat individual.
Stimulus nyeri dapat berupa stimulus bersifat fisik dan/atau mental, sedangkan
kerusakan dapat terjadi pada jaringan aktual atau pada fungsi ego seorang
individu. Mahon (1994), menemukan empat atribut pasti untuk pengalaman
nyeri, yaitu : nyeri bersifat individu, tidak menyenangkan, merupakan suatu
kekuatan yang mendominasi, dan bersifat tidak berkesudahan.
13
3. Teori-Teori Nyeri
Menurut Potter & Perry (2006), ada beberapa teori yang dapat digunakan
utuk menjelaskan mekanisme transmisi nyeri :
a. The Specificity Theory (Teori Spesifik)
Teori ini menjelaskan bahwa otak menerima informasi mengenai objek
eksternal dan struktur tubuh melalui saraf sensori. Timbulnya sensasi nyeri
berhubungan dengan pengaktifan ujung – ujung serabut saraf bebas oleh
perubahan mekanik, rangsangan kimia, atau temperatur yang berlebihan.
Persepsi nyeri yang dibawa oleh serabut saraf nyeri diproyeksikan oleh
spinotalamik ke spesifik pusat nyeri di talamus.
b. The Intensity Theory (Teori Intensitas)
Menurut teori intensitas nyeri adalah hasil rangsangan yang berlebihan
pada reseptor. Setiap rangsangan sensori punya potensi untuk menimbulkan
nyeri jika intensitasnya cukup kuat (Asmadi, 2008).
c. The Gate Control Theory (Teori Kontrol Pintu)
Teori kontrol pintu adalah teori paling sederhana mengenai penjelasan
fisiologi nyeri, yang dikemukaan oleh Melzack dan Well pada tahun 1965.
Dalam teorinya Melzack dan Wall (1965) mengemukakan bahwa impuls nyeri
dapat diatur atau bahkan dihambat oleh mekanisme pertahanan disepanjang
sistem saraf pusat. Artinya, impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan
dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan ditutup.
4. Klasifikasi Nyeri
Menurut Asmadi (2008) nyeri dapat diklasifikasikan kedalam beberapa
golongan berdasarkan pada tempat, sifat, berat ringannya nyeri, dan waktu
lamanya serangan.
a. Nyeri Berdasarkan Tempatnya
1) Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh
misalnya pada kulit, mukosa.
2) Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih
dalam atau pada organ-organ tubuh visceral.
14
3) Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit
organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan kebagian tubuh
didaerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri.
4) Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada sistem
saraf pusat, spinal cord, batang otak, thalamus, dan lain-lain.
b. Nyeri Berdasarkan Sifatnya
1) Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu
menghilang.
2) Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta yang dirasakan
dalam waktu yang lama.
3) Paroxymal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan
kuat. Nyeri tersebut biasanya menetap ± 10-15 menit, lalu menghilang,
kemudian timbul lagi.
c. Nyeri Berdasarkan Berat Ringannya
1) Nyeri ringan, yaitu nyeri dengan intensitas rendah.
2) Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi.
3) Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi.
d. Nyeri Berdasarkan Waktu Lamanya Serangan
1) Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan
berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri diketahui
dengan jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari luka, seperti luka
operasi, ataupun pada suatu penyakit arteriosclerosis pada arteri
koroner.
2) Nyeri kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan. Nyeri
kronis ini polanya beragam dan berlangsung berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun. Ragam pola tersebut ada yang nyeri timbul dengan
periode yang diselingi interval bebas dari nyeri lalu timbul kembali
nyeri, dan begitu seterusnya. Ada pula pola nyeri kronis yang konstan,
artinya rasa nyeri tersebut terus-menerus terasa makin lama semakin
meningkat intensitasnya walaupun telah diberikan pengobatan.
Misalnya, pada nyeri karena neoplasma.
15
5. Respon Terhadap Nyeri
Menurut Potter & Perry (2006) ada dua respons terhadap nyeri, yaitu
respons fisiologis dan respons perilaku. Kedua respons ini timbul ketika
seseorang terpapar dengan nyeri, dan masing – masing individu mempunyai
karakteristik yang berbeda dalam merespons nyeri tersebut.
a. Respons Fisiologis Terhadap Nyeri
Respons nyeri fisiologis terhadap nyeri dapat sangat membahayakan
individu. Pada saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis menuju batang otak
dan talamus, sistem saraf otonom menjadi tersimulasi sebagai bagian dari
respons stress. Nyeri dengan intensitas ringan hingga sedang dan nyeri yang
superfisial menimbulkan reaksi “flight-atau-fight”, yang merupakan sindrom
adaptasi umum. Stimulus pada cabang simpatis pada saraf otonom
menghasilkan respons fisiologis.
Apabila nyeri berlangsung terus – menerus, berat, atau dalam, dan secara
tipikal melibatkan organ – organ viseral (seperti nyeri pada infark miokard,
kolik akibat kandung empedu atau batu ginjal), sistem saraf parasimpatis
menghasilkan suatu aksi. Kecuali pada kasus – kasus nyeri traumatik yang
berat, yang menyebabkan individu mengalami syok, kebanyakan individu
mencapai tingkat adaptasi, yaitu ketika tanda – tanda fisik kembali normal.
Dengan demikian, seseorang yang mengalami nyeri tidak akan selalu
memperlihatkan tanda – tanda fisik. Berikut ini tabel yang menunjukkan
respons fisiologis terhadap nyeri:
16
Tabel 1. Respons Fisiologis Nyeri
Sumber : Potter & Perry, 2006
Ket : *Nyeri dengan intensitas ringan sampai moderat dan nyeri superficial
**Nyeri yang berat dan dalam
Respons Penyebab atau Efek STIMULUS SIMPATIK* Dilatasi saluran bronkiolus dan peningkatan frekuensi pernapasan
Menyebabkan peningkatan asupan oksigen
Peningkatan frekuensi denyut nadi
Menyebabkan peningkatan transport oksigen
Vasokontriksi perifer (pucat, peningkatan tekanan darah)
Meningkatkan tekanan darah disertai perpindahan suplai darah dan perifer dan visera ke otot – otot skelet dan otak
Peningkatan kadar glukosa darah Menghasilkan energi tambahan Diaforesis Mengontrol temperatur tubuh selama
stres Peningkatan ketegangan otot Mempersiapkan otot untuk melakukan
aksi Dilatasi pupil Memungkinkan penglihatan yang
lebih baik Penurunan motilitas saluran cerna Membebaskan energi untuk
melakukan aktivitas dengan lebih baik
STIMULUS PARASIMPATIK**
Pucat Menyebabkan suplai darah berpindah ke perifer
Ketegangan otot Akibat keletihan Penurunan denyut jantung dan tekanan darah
Akibat stimulasi vagal
Pernapasan yang cepat dan tidak teratur
Menyebabkan pertahanan tubuh gagal akibat nyeri yang terlalu lama
Mual dan muntah Mengembalikan fungsi saluran cerna Kelemahan atau kelelahan Akibat pengeluaran energi fisik
17
b. Respons Perilaku
Apabila nyeri dibiarkan tanpa penanganan yang tepat, hal tersebut dapat
mengancam kesejahteraan seseorang, baik secara fisik maupun psikologis.
Beberapa pasien memilih untuk tidak mengekspresikan nyeri yang dirasakan,
karena mereka menganggap bahwa ekspresi tersebut akan membuat orang lain
merasa tidak nyaman atau merupakan salah satu tanda bahwa mereka
kehilangan kontrol terhadap diri mereka sendiri. Pasien yang memiliki
toleransi yang tinggi terhadap nyeri mampu menahan rasa nyeri tanpa bantuan
atau pertolongan dari orang lain.
Sedangkan, seseorang yang memiliki toleransi nyeri yang rendah dapat
mencari upaya untuk menghilangkan rasa nyeri sebelum nyeri terjadi. Gerakan
tubuh dan ekspresi wajah dapat mengindikasikan adanya nyeri, seperti
mengatubkan gigi-gigi, memegang tubuh yang terasa sakit, postur tubuh yang
membungkuk, dan ekspresi wajah yang meringis. Beberapa klien bahkan
menangis atau mengerang kesakitan dan biasanya terlihat gelisah atau
meminta sesuatu secara terus-menerus kepada perawat.
Hal ini menjadi penting bagi seseorang perawat untuk mengenali dan
mengamati respon yang ditunjukkan oleh pasien terutama pada pasien yang
tidak mampu atau tidak bisa melaporkan adanya rasa nyeri yang dirasakan,
contohnya pasien dengan gangguan kognitif. Bagaimanpun, kurang atau tidak
adanya ekspresi nyeri bukan berarti pasien tidak merasakan nyeri. Respons
perilaku nyeri dapat dilihat pada tabel berikut:
18
Tabel 2. Respons Perilaku Nyeri
Respons Perilaku Nyeri pada Klien Vokalisasi 1. Merintih
2. Menangis 3. Sesak napas/terengah-engah 4. Mendengkur
Ekspresi wajah 1. Meringis 2. Menggeletukkan gigi 3. Mengerutkan dahi 4. Menutup mata atau mulut dengan rapat atau
membuka mata atau mulut dengan lebar 5. Menggigit bibir
Gerakan tubuh 1. Gelisah 2. Imobilisasi 3. Ketegangan otot 4. Peningkatan pergerakan tangan dan jari 5. Aktivitas melangkah atau berjalan bolak balik 6. Gerakan ritmik atau gerakan menggosok 7. Gerakan melindungi bagian tubuh tertentu
Interaksi sosial 1. Menghindari percakapan 2. Fokus hanya pada aktivitas untuk menghilangkan
nyeri 3. Menghindari kontak sosial 4. Penurunan rentang perhatian 5. Mengurangi waktu perhatian 6. Mengurangi interaksi dengan lingkungan
Sumber : Potter & Perry, 2006
6. Patofisiologi Nyeri
Menurut Smeltzer & Bare (2002), berdasarkan proses patofisiologi nyeri
terbagi menjadi :
a. Mekanisme Neurofisiologi Nyeri
Sistem saraf yang mengubah stimulus menjadi sensasi nyeri dalam
transmisi dan persepsi nyeri disebut sebagai sistem nosiseptif. Sensitivitas
dari komponen sistem nosiseptif dapat dipengeruhi oleh sejumlah faktor
yang berbeda diantara individu. Tidak semua orang yang terpajan terhadap
stimulus yang sama mengalami intensitas nyeri yang sama.
19
Sensasi yang sangat nyeri bagi seseorang mungkin hampir tidak terasa
bagi orang lain. Sebagai contoh, nyeri akibat arthritis kronis dan nyeri
pascaoperatif sering terasa lebih parah pada malam hari. Faktor-faktor
tersebut dapat meningkatkan atau menurunkan sensitivitas komponen yang
berbeda dari sistem nosiseptif yang diuraikan dalam pembahasan berikut.
b. Transmisi Nyeri
Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang
berespons hanya pada stimulus yang kuat dan secara potensial merusak,
sifatnya bisa mekanik, termal, dan kimia. Sendi, otot skelet, fasia, tendon,
dan kornea juga mempunyai reseptor nyeri yang mempunyai potensi untuk
mentransmit stimuli yang menyebabkan nyeri. Namun demikian, organ-
organ internal yang besar (visera) tidak mengandung ujung saraf yang
berespons hanya pada stimuli nyeri.
Nyeri yang berasal dari organ ini diakibatkan dari stimuli reseptor yang
kuat yang mempunyai tujuan lain. Sebagai contoh, inflamasi, regangan,
iskemia, dilatasi, dan spasme organ-organ internal yang dapat
menyebabkan nyeri hebat.
c. Kornu Dorsalis dan Jaras Asenden
Kornus dorsalis dari medula spinalis dianggap sebagai tempat untuk
merespon nyeri, serabut perifer (seperti reseptor nyeri) dan serabut traktus
sensori asenden berakhir disini. Juga terdapat interkoneksi antara sistem
neuronal desenden dan traktus sensori asenden. Traktus asenden berakhir
pada otak bagian bawah dan bagian tengah dan impuls-impuls dipancarkan
ke korteks serebri.
Agar nyeri dapat dicerna secara sadar, neuron pada sistem asenden
harus diaktifkan. Aktifitas terjadi sebagai akibat input dari reseptor nyeri
yang terletak dalam kulit dan organ internal. Terdapat interkoneksi neuron
dalam kornu dorsalis yang ketika diaktifkan, menghambat atau
memutuskan transmisi informasi yang menyakitkan atau yang
menstimulasi nyeri dalam jaras asenden.
20
Sering kali area ini disebut sebagai “gerbang”. Kecenderungan
alamiah gerbang adalah untuk membiarkan semua input yang menyakitkan
dari perifer untuk mengaktifkan jaras asenden dan mengakibatkan nyeri.
Stimulasi dari neuron inhibitori sistem asenden menutup gerbang untuk
input nyeri dan mencegah transmisi sensasi nyeri.
7. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Menurut beberapa teori faktor-faktor yang mempengaruhi respon nyeri
adalah:
a. Pengalaman Masa Lalu
Indivudu yang mempunyai pengalaman multiple dan berkepanjangan
dengan nyeri akan lebih sedikit gelisah dan lebih toleran terhadap nyeri
dibandingkan orang yang hanya mengalami sedikit nyeri. Bagi kebanyakan
orang, bagaimanapun, hal ini tidak selalu benar. Sering kali, lebih
berpengalaman individu dengan nyeri yang sering dialami, makin takut
individu tersebut terhadap pristiwa menyakitkan yang akan diakibatkan.
Individu ini mungkin akan lebih sedikit mentoleransi nyeri; akibatnya, ia
ingin nyerinya segera reda dan sebelum nyeri tersebut menjadi lebih parah.
Reaksi ini hampir pasti terjadi jika individu tersebut menerima pereda nyeri
yang tidak adekuat di masa lalu. Sebaliknya, individu yang tidak pernah
mengalami nyeri hebat tidak mempunyai rasa takut terhadap nyeri (Smeltzer
& Bare, 2002).
b. Ansietas (Kecemasan)
Hubungan antara nyeri dengan kecemasan bersifat kompleks. Kecemasan
terkadang meningkatkan persepsi terhadap nyeri, tetapi nyeri juga
menyebabkan perasaan cemas. Wall dan Melzack (1999) melaporkan bahwa
stimulus nyeri yang mengaktivasi bagiandari sistem limbic dipercaya dapat
mengontrol emosi, terutama kecemasan. Sistem limbik memproses reaksi
emosional terhadap nyeri, apakah dirasa mengganggu atau berusaha untuk
mengurangi nyeri (Potter & Perry, 2010).
21
c. Suku Bangsa
Nilai-nilai dan kepercayaan terhadap budaya mempengaruhi bagaimana
seseorang individu mengatasi rasa sakitnya. Individu belajar tentang apa yang
diharapkan dan diterima oleh budayanya, termasuk bagaimana reaksi terhadap
nyeri (Davidhizar dan Giger,2004;Lasch,2002). Beberapa budaya percaya
bahwa menunjukkkan rasa sakit adalah suatu hal yang wajar.
Sementara budaya yang lain lebih cenderung untuk tertutup. Ada
perbedaan makna dan perilaku yang berhubungan dengan nyeri antara
beragam kelompok budaya. Suatu pemahaman yang baik tentang makna nyeri
berdasarkan budya seseorang akan membantu perawat dalam membuat
rencana asuhan keperawatan yang lebih relevan untuk nyeri yang dialami
(Potter & Perry, 2010).
d. Usia
Usia dapat mempengaruhi nyeri, terutama pada bayi dan dewasa akhir.
Perbedaan tahap perkembangan yang ditemukan diantara kelompok umur
tersebut mempengaruhi bagaimana anak-anak dan dewasa akhir berespon
terhadap nyeri. Anal-anak memiliki kesulitan dalam mengenal/memahami
nyeri dan prosedur-prosedur yang dapat menyebabkan nyeri.
Anak-anak yang belum dapat mengucapkan kata-kata juga mengalami
kesulitan dalam mengungkapkan dan mengekspresikan nyeri. Sedangkan
kemampuan orang dewasa dalam menafsirkan nyeri yang dirasakan sangat
sukar. Mereka terkadang menderita banyak penyakit dengan gejala yang
samar-samar/tidak jelas yang terkadang mempengaruhi bagian-bagian tubuh
yang sama. Sehingga, harus dilakukan pengkajian yang lebih rinci dan
mendalam (Potter & Perry, 2010).
e. Jenis Kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam
berespon terhadap nyeri. Penelitian terakhir memperlihatkan hormone seks
pada mamalia berpengaruh terhadap tingkat toleransi terhadap nyeri. Hormone
seks testosteron menaikkan ambang nyeri pada percobaan binatang, sedangkan
pada hormon estrogen menaikkan pengenalan/sensivitas terhadap nyeri.
22
Akan tetapi, toleransi nyeri sesorang bisa dipengaruhi oleh beberapa
faktor diantaranya dipengeruhi oleh personal, sosial, budaya dan lainnya
(Prasetyo, 2010).
f. Makna Nyeri
Sesuatu yang diartikan seseorang sebagai nyeri akan mempengaruhi
pengalaman nyeri dan bagaimana seseorang beradaptasi terhadap kondisi
tersebut. Hal ini kadang erat kaitannya dengan latar belakang budaya
seseorang. Seseorang akan merasakan sakit yang berbeda apabila hal tersebut
terkait dengan ancaman, kehilangan, hukuman, atau tantangan.
Sebagai contoh, wanita yang melahirkan akan merasakan sakit yang
berbeda dibandingkan dengan wanita merasakan nyeri menstruasi (Potter &
Perry, 2010).
g. Perhatian
Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mempengaruhi persepsi
nyeri yang dirasakan, sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan
dengan respon nyeri. Konsep inilah yang mendasari berbagai terapi untuk
menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, teknik imajinasi terbimbing (guided
imagery), dan masase. Dengan memfokuskan perhatian dan kosentrasi klien
terhadap stimulus lain, kesadaran mereka akan adanya nyeri menjadi menurun
(Potter & Perry, 2010).
h. Kelemahan (Fatigue)
Kelemahan akan meningkatkan persepsi seseorang terhadap nyeri dan
dapat menurunkan kemampuan untuk mengatasi suatu masalah. Apabila
kelemahan terjadi disepanjang waktu istirahat, persepsi terhadap nyeri akan
lebih besar. (Potter & Perry, 2010).
i. Teknik Koping
Teknik koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk mengatasi
nyeri. Seseorang yang memiliki koping yang baik mereka dapat mengontrol
rasa nyeri yang dirasakan. Tetapi sebaliknya, jika seseorang yang memiliki
koping yang buruk mereka akan merasa bahwa orang lainlah yang akan
bertanggung jawab terhadap nyeri yang dialaminya. Konsep inilah yang dapat
23
diaplikasikan dalam penggunaan analgesik yang dikontrol pasien (patient-
controlled analgesia/PCA) (Potter & Perry, 2010).
j. Keluarga dan Dukungan Sosial
Seseorang yang merasakan nyeri terkadang bergantung kepada anggota
keluarga yang lain atau teman dekat untuk memberikan dukungan, bantuan,
atau perlindungan. Walaupun rasa nyeri masih terasa, tetapi kehadiran
keluarga ataupun teman terkadang dapat membuat pengalaman nyeri yang
menyebabkan stress sedikit berkurang. Kehadiran orang tua sangat penting
bagi anak-anak yang mengalami nyeri (Potter & Perry, 2010).
8. Pengukuran Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri
dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual serta memungkinkan nyeri dalam intesnsitas yang sama dirasakan
sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan
pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respons
fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Penilaian intensitas nyeri dapat
dilakukan dengan menggunakan skala sebagai berikut:
a. Skala Numerik
Skala penilaian numerik (Numeric rating scale, NRS) lebih digunakan
sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Pasien akan menilai nyeri dengan
menggunakan skala 0 – 10. ”0”menggambarkan tidak ada nyeri sedangkan
”10” menggambarkan nyeri yang hebat. Skala ini paling efektif digunakan saat
mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik.
Gambar 1. Skala Nyeri Numerik
Sumber : Potter & Perry (2006)
24
b. Skala Nyeri Deskriptif
Skala nyeri deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri
yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi
yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Deskripsi ini
diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”.
Perawat menunjukkan skala nyeri tersebut dan meminta pasien untuk
memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan
seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa juah nyeri terasa
paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan pasien memilih
sebuah kategori untuk mendiskripsikan nyeri (Potter & Perry, 2006).
Gambar 2. Skala Nyeri Deskriptif
Sumber : Potter & Perry (2006)
c. Skala Nyeri Analog Visual
Skala Analog visual (Visual Analog Scale) adalah suatu garis
lurus/horzontal sepanjang 10cm, yang mewakili intensitas nyeri yang terus –
menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Pasien diminta untuk
menunjuk titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi sepanjang
garis tersebut. Ujung kiri biasanya menandakan “tidak ada” atau “tidak
nyeri”, sedangkan ujung kanan biasanya menandakan “berat” atau “nyeri
yang paling buruk”.
Untuk menilai hasil, sebuah penggaris diletakkan sepanjang garis dan
jarak yang dibuat pasien pada garis dari “tidak ada nyeri” diukur dan ditulis
dalam sentimeter (Smelzer & Bare, 2002).
25
Gambar 3. Skala Analog Visual
Sumber : Potter & Perry (2006)
9. Strategi Penatalaksanaan Nyeri
Strategi penatalaksaan nyeri terbagi menjadi dua, yaitu strategi
pelaksanaan nyeri nonfarmakologis dan strategi pelaksanaan nyeri
farmakologis. Adapun beberapa tindakan penatalaksanaan nyeri
nonfarmakologis menurut Potter & Perry (2006) adalah sebagai berikut :
a. Distraksi
Distraksi merupakan tindakan mengalihkan perhatian klien ke hal-hal yang
lain dari nyeri. Dengan demikian, diharapkan pasien tidak terfokuskan pada
nyeri lagi dan dapat menurunkan kewaspadaan pasien terhadap nyeri.
Distraksi bekerja memberi pengaruh paling baik untuk jangka waktu yang
singkat. Misalnya, selama pelaksanaan prosedur invasif atau saat menunggu
kerja analgesik.
Distraksi meliputi beberapa aktivitas seperti menyanyi, berdoa,
menceritakan foto atau gambar dengan suara keras, mendengarkan musik, dan
bermain.
c. Relaksasi
Relaksasi merupakan perasaan bebas secara mental dan fisik dari
ketegangan atau stres yang membuat individu memiliki rasa kontrol terhadap
dirinya. Perubahan fisiologis dan perilaku berhubungan dengan relaksasi yang
mencakup: menurunnya denyut jantung, tekanan drah dan kecepatan
pernapasan; meningkatnya kesadaran secara umum; menurunnya kebutuhan
oksigen; perasaan damai; serta menurunnya ketegangan otot dan kecepatan
metabolisme. Teknik relaksasi meliputi meditasi, yoga, Zen, Teknik imajinasi,
dan latihan relaksasi progresif (Potter & Perry, 2006).
26
Teknik relaksasi lainnya yaitu relaksasi autogenik yang termasuk dalam
salah satu penatalaksanaan nyeri non farmakologis. Relaksasi autogenik
merupakan teknik relaksasi yang bersumber dari diri sendiri berupa kata-kata
atau kalimat pendek yang bisa membuat pikiran menjadi tenang. Relaksasi ini
mudah dilakukan dan tidak menimbulkan resiko. Prinsipnya klien harus
mampu berkonsentrasi sambil membaca mantra/doa/zikir dalam hati seiring
dengan ekspansi paru (Asmadi, 2008).
Beberapa latihan dari relaksasi autogenik ini adalah latihan untuk
merasakan berat dan panas pada anggota gerak. Caranya, dengan mengatakan
dalam diri “saya merasakan lengan kanan saya berat” dan “saya rasakan
lengan kanan saya panas dan rileks”. Kemudian, latihan pernapasan atau
pengaturan aktivitas jantung dan paru-paru, dengan mengatakan dalam diri
“pernapasan saya lebih tenang dan denyut jantung saya berdetak lebih
lamba”’. Serta latihan untuk merasakan panas atau dingin pada perut dan dahi,
dengan mengatakan dalam diri “dahi dan perut saya lebih dingin”. Latihan ini
dapat meningkatkan perasaan segar dan sehat. Efektifnya relaksasi ini
dilakukan selama 20 menit (Gunarsa, 2008).
d. Kompres Dingin dan Panas
Kompres dingin dan panas dapat menghilangkan nyeri dan meningkatkan
proses penyembuhan. Pilihan terapi panas dengan terapi dingin bervariasi
sesuai kondisi klien. Misalnya, kompres panas menghilangkan kekakuan sendi
pada pagi hari akibat artritis, tetapi kompres dingin mengurangi nyeri akut dan
sendi yang mengalami peradangan.
Apabila perawat menggunakan kompres panas atau dingin dalam bentuk
apapun, instruksikan kepada klien untuk menghindari cidera pada kulit dengan
memeriksa suhu dari alat yang digunakan dan menghindari sentuhan langsung
terhadap peralatan yang memberikan sensasi hangat atau dingin pada kulit.
Terutama lebih beresiko pada klien dengan gangguan medulla spinalis atau
gangguan saraf lain, usia lanjut, dan klien yang terlihat bingung.
27
e. Masase/Pijatan
Masase efektif dalam memberikan relaksasi fisik dan mental, mengurangi
nyeri, dan meningkatkan keefektifan pengobatan nyeri. Masase pada
punggung, bahu, lengan, dan/atau kaki selama 3 sampai 5 menit dapat
merelaksasi otot dan memberikan istirahat yang tenang dan nyaman.
f. Stimulasi Saraf Elektris Transkutan/TENS (Transcutaneoous
Elektrical Nerve Stimulation)
Terapi ini dilakukan dengan stimulasi pada kulit menggunakan arus listrik
ringan yang dihantarkan melalui elektroda luar. Unit TENS terdiri dari
transmiter bertenaga baterai, kabel timah, dan elektroda. Elektroda dipasang
langsung pada area yang dekat dengan lokasi nyeri.
Bersihkan area dari rambut atau preparat kulit sebelum menempelkan
elektroda. pasien dapat menyalakan teransmiter saat nyeri terasa, efeknya
menimbulkan sensasi kesemutan dan berdengung pada area nyeri. Sensasi
kesemutan ini dibiarkan sampai nyeri terasa hilang. TENS efektif untuk
mengontrol nyeri yang disebabkan oleh prosedur pasca operasi.
g. Akupresur
Berdasarkan teori obat Asia, yang mengatakan bahwa suatu kekuatan
kehidupan dalam bentuk energi, bersirkulasi menjadi satu di dalam tubuh.
Akupresur memungkinkan alur energi yang terkongesti untuk meningkatkan
kondisi yang lebih sehat. Perawat ahli terapi mempelajari alur energi atau
meridian tubuh dan memberikan tekanan pada titik-titik tertentu.
Ketika titik tekan disentuh, maka perawat mulai merasakan sensasi ringan
atau denyutan dibawah jari-jari. Mula-mula nadi dibeberapa titik akan terasa
berbeda, tetapi karena terus-menerus dipegang, nadi tersebut akan terasa
seimbang dan teratur. Setelah titik tersebut seimbang, perawat dapat
menggerakan jari-jarinya dengan lembut, dan durasi akupresur yang lengkap
memakan waktu sekitar satu jam.
28
h. Hipnosis
Hipnosis dapat membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh
sugesti positif. Suatu pendekatan kesehatan holistik, hipnosis-diri
menggunakan sugesti-diri dan kesan tentang perasaan yang rileks dengan
menggunakan berbagai ide pikiran dan kemudian kondidi-kondisi yang
menghasilkan respon tertentu. Hipnosis-diri sama seperti dengan melamun.
Konsentrasi yang intensif mengurangi ketakutan dan stress karena individu
hanya berkonsentrasi hanya pada satu pikiran.
i. Bimbingan Antisipasi
Bimbingan antisipasi adalah memberikan pemahaman kepada pasien
mengenai nyeri yang dirasakan. Pemahaman yang diberikan oleh perawat ini
bertujuan untuk memberikan informasi kepada pasien, dan mencegah salah
interpretasi tentang peristiwa nyeri.
j. Biofeedback
Biofeedback merupakan terapi perilaku yang dilakukan dengan
memberikan individu informasi tentang respon fisiologis (misalnya, tekanan
darah dan ketegangan otot) dan cara untuk melatih kontrol volunter terhadap
respon tersebut. Terapi ini digunakan untuk menghasilkan keadaan yang rileks
dan sangat efektif untuk mengatasi ketegangan otot dan nyeri kepala migren.
k. Sentuhan Terapeutik
Pendekatan ini menyatakan bahwa pada individu yang sehat, terdapat
ekuilibrium antara aliran energi didalam dan diluar tubuh. Sentuhan terapeutik
meliputi penggunaan tangan untuk secara sadar melakukan pertukaran energi.
Terdapat empat langkah dasar dalam melakukan teknik ini, yaitu pemusatan,
pengkajian, terapi, dan evaluasi. Setiap tahap umumnya melaju kelangkah
berikutnya dan proses secara keseluruhan berlangsung sekitar 25 menit.
l. Imajinasi Terbimbing
Imajinasi terbimbing merupakan teknik membimbing klien untuk
menciptakan kesan dalam pikiran dan berkonsentrasi pada kesan tersebut,
sehingga secara bertahap klien akan kurang merasakan nyeri. Caranya,
perawat meminta klien untuk memikirkan pemandangan atau pengalaman
29
menyenangkan yang dapat meningkatkan penggunaan indra. Kemudian
perawat membantu klien dalam memfokuskan kesan yang dipikirkan dengan
ketenangan dan suara yang lembut tanpa mengganggu klien. Apabila klien
menunjukkan tanda-tanda agitasi, gelisah, atau tidak nyaman, perawat harus
menghentikan lantihan dan memulai lagi latihan setelah klien merasa tenang.
C. Konsep Teknik Relaksasi autogenik
1. Pengertian Relaksasi
Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketengangan dan
stres. Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi rasa
tidak nyaman atau nyeri, stres fisik dan emosi pada nyeri. Teknik relaksasi
dapat digunakan saat individu dalam kondisi sehat atau sakit (Potter & Perry,
2006).
2. Macam- macam Teknik Relaksasi
Teknik relaksasi meliputi meditasi, yoga, Zen, Teknik imajinasi, dan
latihan relaksasi progresif (Potter & Perry, 2006). Teknik relaksasi lainnya
yaitu relaksasi autogenik yang termasuk dalam salah satu penatalaksanaan
nyeri non farmakologis (Asmadi, 2008).
3. Pengertian Teknik Relaksasi Autogenik
Autogenik merupakan salah satu dari teknik relaksasi yang berdasarkan
konsentrasi pasif dengan menggunakan persepsi tubuh (misalnya, tangan
merasa hangat dan berat) yang difasilitasi oleh sugesti diri sendiri. Relaksasi
autogenik merupakan teknik relaksasi yang bersumber dari diri sendiri berupa
kata-kata atau kalimat pendek yang bisa membuat pikiran menjadi tenang.
Relaksasi autogenik membantu individu untuk dapat mengendalikan beberapa
fungsi tubuh seperti pernapasan, tekanan darah, frekuensi jantung dan aliran
darah sehingga tercapailah keadaan rileks. Efektifnya relaksasi ini dilakukan
selama 20 menit (Asmadi, 2008).
30
4. Mekanisme Teknik Relaksasi Autogenik
Latihan autogenik (Autogenic Training) dapat melatih sesorang untuk
melakukan sugesti diri, tujuannya agar seseorang dapat merilekskan otot-
ototnya dan dapat mengendalikan atau mengurangi reaksi emosi yang
bergejola pada dirinya baik pada saraf pusat maupun pada saraf otonom.
Setelah diajarkan teknik ini, seseorang tidak lagi tergantung pada ahli
terapinya, melainkan dapat melakukannya sendiri melalui teknik sugesti diri
(auto-sugestion technique). Beberapa latihan dari relaksasi autogenik ini
adalah latihan untuk merasakan berat dan panas pada anggota gerak.
Caranya, dengan mengatakan dalam diri “saya merasakan lengan kanan
saya berat” dan “saya rasakan lengan kanan saya panas dan rileks”. Kemudian,
latihan pernapasan atau pengaturan aktivitas jantung dan paru-paru, dengan
mengatakan dalam diri “pernapasan saya lebih tenang dan denyut jantung saya
berdetak lebih lamba”’. Serta latihan untuk merasakan panas atau dingin pada
perut dan dahi, dengan mengatakan dalam diri “dahi dan perut saya lebih
dingin”. Latihan ini dapat meningkatkan perasaan segar dan sehat (Gunarsa,
2008).
Stimulus nyeri pada area luka bedah menyebabkan keluarnya mediator
nyeri yang akan menstimulasi transmisi impuls disepanjang serabut saraf
aferen nosiseptor ke substansia gelatinosa di medula spinalis untuk
selanjutnya melewati thalamus kemudian disampaikan ke kortek serebri dan
diinterprestasikan sebagai nyeri. Relaksasi autogenik akan menghasilkan
impuls yang akan dikirim melalui serabut saraf aferen non-nosiseptor, serabut
saraf non-nosiseptor mengakibatkan substansia gelatinosa tertutup sehingga
stimulus nyeri terhambat dan berkurang. Teori two gate control menyatakan
bahwa terdapat satu substansia gelatinosa lagi di thalamus yang mengatur
impuls nyeri dari nervus trigeminus. Dengan adanya relaksasi, maka impuls
nyeri dari nervus trigeminus akan dihambat dan mengakibatkan tertutupnya
substansia gelatinosa di thalamus, tertututpnya substansia gelatinosa di
thalamus mengakibatkan stimulasi yang menuju korteks serebri terhambat
sehingga intensitas nyeri berkurang.
31
5. Manfaat teknik relaksasi autogenik
Tenik relaksasi dikatakan efektif apabila setiap individu dapat merasakan
perubahan pada respon fisiologis tubuh seperti penurunan tekanan darah,
penurunan ketegangan otot, denyut nadi menurun, perubahan kadar lemak
dalam tubuh, serta penurunan proses inflamasi (Potter & Perry, 2006).
Relaksasi autogenik akan membantu tubuh untuk membawa perintah melalui
autosugesti untuk rileks sehingga dapat mengendalikan pernafasan, tekanan
darah, denyut jantung serta suhu tubuh. Imajinasi visual dan mantra-mantra
verbal yang membuat tubuh merasa hangat, berat dan santai merupakan
standar latihan relaksasi autogenik.
6. Hal yang perlu diperhatikan dalam Teknik Relaksasi Autogenik
a. Tidak dianjurkan untuk anak di bawah 5 tahun.
b. Tidak dianjurkan untuk individu yang kurang motivasi atau yang
memiliki masalah mental dan emosional yang berat.
c. Individu dengan masalah serius, misalnya Diabetes Melitus dan atau
masalah jantung harus dibawah pengawasan dokter atau perawat ketika
melakukannya.
d. Beberapa pasien dapat mengalami kenaikan tekanan darah atau bahkan
ada yang mengalami penurunan tekanan darah secara tajam, jika
merasa gelisah atau cemas selama atau setelah latihan, atau mengalami
efek samping tidak biasa diam, maka harus diberhentikan (Setyawaty,
2010 dalam Sabrina, 2017).
7. Langkah-langkah Teknik Relaksasi Autogenik
Menurut Asmadi (2008) langkah-langkah latihan relaksasi autogenik
sebagai berikut:
a. Persiapan sebelum memulai latihan
1) Tubuh berbaring, kepala disanggah dengan bantal, dan mata
terpejam.
2) Atur napas hingga napas menjadi lebih teratur.
3) Tarik napas sekuat-kuatnya lalu buang secara perlahan-lahan
sambil katakana dalam hati ‘saya merasa damai dan tenang’.
32
b. Langkah pertama : merasakan berat
1) Fokuskan perhatian pada lengan dan bayangkan kedua lengan
terasa berat. Selanjutnya, secara perlahan-lahan bayangkan kedua
lengan terasa kendur, ringan hingga terasa sangat ringan sekali
sambil katakana ‘saya merasa damai dan tenang’.
2) Lakukan hal yang sama pada bahu, punggung, leher, dan kaki.
c. Langkah kedua : merasakan kehangatan
1) Bayangkan darah mengalir keseluruh tubuh dan rasakan hangatnya
aliran darah, sambil mengatakan dalam diri ‘saya merasa hangat
dan tenang’.
2) Ulangi hal yang sama sebanyak tiga kali.
d. Langkah ketiga : merasakan denyut jantung
1) Tempelkan tangan kanan pada dada kiri dan tangan kiri pada perut.
2) Bayangkan dan rasakan jantung berdenyut dengan teratur dan
tenang, sambil katakana ‘jantung saya berdenyut dengan teratur
dan tenang’.
3) Ulangi hal yang sama sebanyak tiga kali.
e. Langkah keempat : merasakan pernapasan
1) Posisi tangan tidak berubah.
2) Bayangkan nafas anda terasa sangat longgar dan teratur, sambil
mengatakana dalam diri ‘napasku longgar dan tenang’.
3) Ulangi hal yang sama sebanyak tiga kali.
f. Langkah kelima : merasakan aliran darah perut
1) Posisi tangan tidak berubah. Rasakan aliran darah dalam perut
mengalir dengan teratur dan terasa hangat, sambil mengatakana
dalam diri ‘darah yang mengalir dalam perutku terasa hangat’.
2) Ulangi hal yang sama sebanyak tiga kali.
g. Langkah keenam : merasakan dingin di kepala
1) Kedua tangan kembali pada posisi awal.
2) Bayangkan kepala anda terasa sangat dingin, sambil mengatakan
atakan dalam diri ‘kepala saya terasa benar-benar dingin’.
33
3) Ulangi hal yang sama sebanyak tiga kali.
h. Langkah ketujuh : akhir latihan
Mengakhiri latihan relaksasi autogenik dengan melekatkan
(mengepalkan) tangan bersamaan dengan menarik napas dalam, lalu
membuang napas secara perlanhan-lahan sambil membuka mata dan
melepaskan kepalan tangan.
D. Penelitian Terkait
1. Nita Syamsiah, Endang Muslihat (2014) dengan judul “Pengaruh Terapi
Teknik Relaksasi Autogenik Terhadap Tingkat Nyeri Akut pada Pasien
Abdominal Pain di IGD RSUD Karawang”. Metode penelitian yang
digunakan adalah quasi experiment design dengan rancangan equivalent
time sample design. Responsden berjumlah 30 orang responsden yang
terdiri dari 15 orang responsden kelompok intervensi dan 15 orang
responsden kelompok kontrol. Hasil dari penelitian ini, 15 orang
responsden pada kelompok intervensi mengalami penurunan intensitas
nyeri dari rata-rata pretest 8,53 menjadi posttest 1,00, dan pada 15 orang
responsden kelompok kontrol mengalami penurunan intensitas nyeri dari
rata-rata pretest 8,33 menjadi posttest 3,20.
2. Nurteti Putri Dewi, Sri Utami, Sofia (2018) dengan judul “ Efektifitas
Relaksasi Autogenik Terhadap Dysmenorrheal di SMPN 13 Pekan Baru” .
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan desain penelitian pre
experiment dengan rancangan one group pretest-posttest. Pengambilan
sampel dengan menggunakan teknik accidental sampling. Responsden
berjumlah 17 orang responsden. Hasil dari penelitian pada kelompok
intervensi mengalami penurunan intensitas nyeri dari rata-rata pretest 5,00
menjadi posttest 4,00.
3. Nung Ati Nurhayati, Septian Andriani (2015) dengan judul “Pengaruh
Teknik Relaksasi Autogenik Terhadap Penurunan Skala Nyeri pada Ibu
Post Operasi Sectio Caesarea di Ruang Perawatan V/VI RS. Dustira
Cimahi”. Metode penelitian yang digunakan eksperimen dengan
34
rancangan one group pretest-posttest design. Pengambilan sampel dengan
menggunakan teknik purposive sampling. Responsden berjumlah 75 orang
responsden. Hasilnya, pada kelompok eksperimen sebelum dilakukan
teknik relaksasi autogenik terdapat 48 responsden (64%) menyatakan nyeri
sedang (skala nyeri 4-6), 27 responsden (36%) menyatakan nyeri berat
(skala nyeri 7-10), setelah dilakukan teknik relaksasi autogenik terdapat 11
responsden (14,7%) menyatakan nyeri ringan (skala nyeri 1-3), 55
responsden (73,3%) menyatakan nyeri sedang (skala nyeri 4-6), dan 9
reponden (12%) menyatakan nyeri berat.
E. Kerangka Teori
Gambar 4. Kerangka Teori Penelitian
Sumber : modifikasi Asmadi (2008), Potter & Perry (2010)
Keterangan :
: tidak diteliti : beroengaruh tidak diteliti
: diteliti : berpengaruh diteliti
Nyeri
Penatalaksanaan untuk penanganan nyeri : a. Farmakologi b. Non farmakologi
1) Distraksi 2) Relaksasi
a) Yoga b) Zen c) Teknik imajinasi d) Relaksasi progresif
3) Kompres dingin dan panas 4) Masase 5) Stimulasi saraf
elektristranskutan 6) Akupresure 7) Hypnosis 8) Bimbingan antisipasi 9) Biofeedback 10) Sentuhan terapeutik 11) Imajinasi terbimbing
Fase post operasi sectio caesarea
e) Relasasi autogenik
Skala nyeri 0 -10
35
F. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan
antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya atau antara variabel yang satu
dengan variabel yang lain dari maslah yang ingin diteliti, (Notoadmodjo, 2010).
Berdasarkan konsep diatas, maka penulis membuat kerangka konsep sebagai
berikut :
Gambar 5. Kerangka Konsep Penelitian
2.4 Hipotesis
Nyeri Sebelum
Pasca operasi sebelum pemberian terapi relaksasi autogenik
Nyeri Setelah
Pasca operasi setelah pemberian terapi relaksasi aotogenik
Pemberian terapi relaksasi autogenik