35
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu Strafbaarfeit atau delict yang berasal dari bahasa Latin delictum. Sedangkan perkataan ”feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti ”sebagian dari kenyataan” atau ”een gedeelte van werkelijkheidsedangkan ”strafbaar” berarti ”dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan ”strafbaar feit ” itu dapat diterjemahkan sebagai ” sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”. 1 Sedangkan Moeljatno dalam Sudarto, memberikan arti perbuatan pidana sebagai suatu perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. 2 Pendapat para ahli mengenai tindak pidana ini berbeda-beda, berkaitan dengan pandangan yang mereka anut, yaitu pandangan dualistis dan pandangan monistis. Menurut Pompe, yang merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut 1 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 181 2 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang 1990, h. 43

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Tindak Pidana...pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya. (Pasal 375 KUHP)

  • Upload
    others

  • View
    4

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Tentang Tindak Pidana

    1. Pengertian Tindak Pidana

    Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari bahasa Belanda

    yaitu Strafbaarfeit atau delict yang berasal dari bahasa Latin delictum.

    Sedangkan perkataan ”feit” itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti

    ”sebagian dari kenyataan” atau ”een gedeelte van werkelijkheid”

    sedangkan ”strafbaar” berarti ”dapat dihukum”, sehingga secara harfiah

    perkataan ”strafbaar feit ” itu dapat diterjemahkan sebagai ” sebagian

    dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”.1 Sedangkan Moeljatno

    dalam Sudarto, memberikan arti perbuatan pidana sebagai suatu

    perbuatan yang diancam dengan pidana, barangsiapa yang melanggar

    larangan tersebut.2

    Pendapat para ahli mengenai tindak pidana ini berbeda-beda,

    berkaitan dengan pandangan yang mereka anut, yaitu pandangan

    dualistis dan pandangan monistis.

    Menurut Pompe, yang merumuskan bahwa suatu strafbaar feit

    itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu “tindakan yang menurut

    1 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

    1997, h. 181 2 Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang 1990, h. 43

  • 2

    sesuatu rumusan Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan

    yang dapat dihukum”.3

    Vos merumuskan bahwa strafbaar feit adalah “suatu kelakuan

    manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan”. 4

    J. Bouman (dalam Adami Chazawi) berpendapat bahwa tindak

    pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat

    melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.5 Pandangan ini

    berpendapat bahwa antara perbuatan pidana dan pertanggung jawaban

    pidana harus dipisahkan.

    Meskipun dalam KUHP tidak memberikan pengertian tentang

    tindak pidana tetapi kita dapat melihat dari beberapa pakar hukum

    pidana yang memberikan pengertian tentang straafbaarfeit. Straafbaar

    feit menurut Simons adalah tindakan melanggar hukum yang telah

    dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang

    yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-

    undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Alasan

    dari Simons dalam Moeljatno merumuskan straafbaarfeit seperti

    tersebut di atas, karena6 :

    a. Untuk adanya straafbaarfeit disyaratkan bahwa disitu terdapat

    suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan dengan

    undang-undang dimana pelanggaran terhadap larangan atau

    3 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I: Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori

    Pemidanaan Dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, h.

    72. 4 Ibid. h. 72 5 Ibid., h. 104 6 P.A.F. Lamintang, Op. Cit., h. 185

  • 3

    kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat

    dihukum;

    b. Agar suatu tindakan itu dapat dihukum maka tindakan itu harus

    memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan dengan

    undang-undang;

    c. Setiap straafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan

    atau kewajiban, menurut undang-undang itu, pada hakikatnya

    merupakan tindakan melawan hukum atau merupakan suatu

    onrechtmatige handeling.

    Dari pengertian straafbaarfeit (tindak pidana) tersebut, maka

    untuk adanya Tindak Pidana harus ada unsur-unsur yang dipenuhi,

    sebagai berikut :

    a. Perbuatan (manusia)

    b. Memenuhi rumusan Undang-Undang (syarat formil)

    c. Bersifat melawan hukum (syarat materii)

    2. Unsur Tindak Pidana

    Perbuatan yang dikategorikan sebagai delik menurut Lamintang,

    bila memenuhi unsur-unsur, sebagai berikut7 :

    a. Harus ada perbuatan manusia;

    b. Perbuatan manusia tersebut harus sesuai dengan perumusan pasal

    dari undang-undang yang bersangkutan;

    c. Perbuatan itu melawan hukum (tidak ada alasan pemaaf);

    d. Dapat dipertanggungjawabkan.

    7 Ibid, 1997, h. 184.

  • 4

    Menurut Moeljatno (dalam Leden Marpaung), tiap-tiap

    perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahir, oleh karena itu

    perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan

    adalah adanya perbuatan pidana, biasanya diperlukan juga adanya hal

    ihwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan.8

    Simons sebagai penganut pandangan monistis mengemukakan

    unsur-unsur stafbaar feit adalah sebagai berikut:9

    a. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat)

    b. Diancam dengan pidana

    c. Melawan hukum

    d. Dilakukan dengan kesalahan

    e. Oleh orang yang bertanggungjawab.

    Aliran dualistis memandang dari sudut abstrak bahwa di dalam

    memberikan isi pengertian tindak pidana tidak dengan demikian, lalu

    dibayangkan adanya orang yang dipidana, memandang tindak pidana

    semata-mata pada perbuatan dan akibat yang sifatnya dilarang. Jika

    perbuatan yang sifatnya dilarang itu telah dilakukan/terjadi (konkret),

    baru melihat pada orangnya jika orang itu mempunyai kemampuan

    bertanggung jawab sehingga perbuatan itu dapat dipersalahkan

    kepadanya. Dengan demikian, kepadanya dijatuhi pidana. Sementara itu,

    aliran monistis memandang sebaliknya (konkret), yaitu strafbaar feit

    tidak dapat dipisahkan dengan orangnya, selalu dibayangkan bahwa

    dalam strafbaar feit selalu adanya si pembuat (orangnya) yang dipidana.

    8 Ibid, h. 67 9 Sudarto, Op.Cit., h. 39

  • 5

    Oleh karena itu, unsur-unsur mengenai diri orangnya tidak dipisah

    dengan unsur mengenai perbuatan. Semuanya menjadi unsur tindak

    pidana. Unsur tindak pidana (pada perbuatan) dengan syarat dipidana

    (pada orang) tidak dipisah sebagaimana menurut paham dualistis.

    B. Tindak Pidana Penggelapan

    1. Pengertian Tindak Pidana Penggelapan

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Penggelapan

    diartikan sebagai proses, cara dan perbuatan menggelapkan

    (penyelewengan) yang menggunakan barang secara tidak sah.

    Menurut R. Soesilo, penggelapan adalah kejahatan yang hampir

    sama dengan pencurian dalam pasal 362. Bedanya ialah pada pencurian

    barang yang dimiliki itu belum berada di tangan pencuri dan masih

    harus “diambilnya” sedangkan pada penggelapan waktu dimilikinya

    barang itu sudah ada di tangan si pembuat tidak dengan jalan

    kejahatan.10

    Menurut Lamintang, tindak pidana penggelapan adalah

    penyalahgunaan hak atau penyalahgunaan kepercayaan oleh seorang

    yang mana kepercayaan tersebut diperolehnya tanpa adanya unsur

    melawan hukum.11

    Dalam suatu tindak pidana, mengetahui secara jelas tindak

    pidana yang terjadi adalah suatu keharusan. Beberapa tindak pidana

    10 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya

    Lengkap Pasal Demi Pasal, 1968, h. 258 11 Lamintang. Op.Cit,. hlm 95.

  • 6

    yang terjadi harus diketahui makna dan definisinya termasuk tindak

    pidana penggelapan. Penggelapan berarti memiliki barang atau sesuatu

    yang dimiliki oleh orang lain tetapi tindakannya tersebut bukan suatu

    kejahatan.

    Tindak Pidana penggelapan adalah termasuk tindak pidana

    kejahatan terhadap harta kekayaan orang atau vermogendelicten

    sebagaimana yang diatur dalam Pasal 372 sampai dengan pasal 377

    KUHP.

    Kejahatan terhadap harta kekayaan adalah berupa penyerangan

    terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda milik orang lain

    (bukan milik petindak).12

    Dalam Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

    (KUHP) menegaskan :

    Barang siapa dengan sengaja melawan hukum memiliki barang

    sesuatu atau seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang

    lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena

    kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana paling

    lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan

    ratus rupiah.

    Tindak pidana yang tercantum di dalam Pasal 372 KUHP adalah

    tindak pidana pokok. Artinya, semua jenis penggelapan harus

    memenuhi bagian inti Pasal 372 KUHP ditambah bagian inti lainnya.

    Adami Chazawi mengemukakan penjelasannya mengenai tindak

    pidana penggelapan berdasarkan pasal 372 KUHP yang dikemukakan

    sebagai berikut :13

    12 Adami Chazawi, 2011, h. 1 13 Ibid, h. 70

  • 7

    Perkataan verduistering yang kedalam bahasa kita

    diterjemahkan secara harfiah dengan penggelapan itu, bagi

    masyarakat Belanda diberikan secara arti luas (figurlijk), bukan

    diartikan seperti arti kata yang sebenarnya sebagai membikin

    sesuatu menjadi tidak terang atau gelap. Lebih mendekati

    pengertian bahwa petindak menyalahgunakan haknya sebagai

    yang menguasai suatu benda (memiliki), hak mana tidak boleh

    melampaui dari haknya sebagai seorang yang diberi

    kepercayaan untuk menguasai benda tersebut bukan karena

    kejahatan.

    Dari beberapa pengertian dan penjelasan mengenai arti kata

    penggelapan dapat dilihat juga pada penjelasan C. S. T. Kansil dan

    Christine S. T. Kansil yang mendefinisikan penggelapan secara

    lengkap sebagai berikut :14

    Penggelapan, barang siapa secara tidak sah memiliki barang

    yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain dan yang

    ada padanya bukan karena kejahatan, ia pun telah bersalah

    melakukan tindak pidana eks. Pasal 372 KUHP yang

    dikualifikasikan sebagai “verduistering” atau “penggelapan”.

    Selanjutnya, Tongat menegaskan perihal pengertian tentang

    penggelapan ini, bahwa :15

    Apabila suatu benda berada dalam kekuasaan orang bukan

    karena tindak pidana, tetapi karena suatu perbuatan yang sah,

    misalnya karena penyimpanan, perjanjian penitipan barang, dan

    sebagainya. Kemudian orang yang diberi kepercayaan untuk

    menyimpan dan sebagainya itu menguasai barang tersebut untuk

    diri sendiri secara melawan hukum, maka orang tersebut berarti

    melakukan “penggelapan”.

    Pengertian yuridis mengenai penggelapan diatur pada Bab

    XXIV (buku II) KUHP, terdiri dari 5 pasal (372 s/d 376). Salah satunya

    yakni Pasal 372 KUHP, merupakan tindak pidana penggelapan dalam

    14 C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Kamus Istilah Aneka Hukum. Pustaka Sinar Harapan.

    Jakarta, 2000, h. 252 15 Tongat, Op. Cit, h. 60

  • 8

    bentuk pokok yang rumusannya berbunyi: "Barang siapa dengan

    sengaja menguasai secara melawan hukum sesuatu benda yang

    seharusnya atau sebagian merupakan kepunyaan orang lain yang berada

    padanya bukan karena kejahatan, karena bersalah melakukan

    penggelapan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 4

    (empat) tahun atau dengan pidana denda setinggi-tingginya 900

    (sembilan ratus) rupiah."

    Jadi, penggelapan dalam tindak pidana tersebut dapat diartikan

    sebagai suatu perbuatan yang menyimpang/menyeleweng,

    menyalahgunakan kepercayaan orang lain dan awal barang itu berada

    ditangan bukan merupakan perbuatan yang melawan hukum, bukan dari

    hasil kejahatan.

    2. Jenis-Jenis Tindak pidana Penggelapan

    Berikut jenis-jenis tindak pidana penggelapan berdasarkan Bab

    XXIV Pasal 372 sampai dengan 377 KUHP.

    a. Penggelapan biasa

    Yang dinamakan penggelapan biasa adalah penggelapan

    yang diatur dalam Pasal 372 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja

    dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich

    toeegenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah

    kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan

    karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana

    penjara paling lama empat tahun.

  • 9

    b. Penggelapan Ringan

    Pengelapan ringan adalah penggelapan yang apabila yang

    digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari Rp.25.

    Diatur dalam Pasal 373 KUHP.

    c. Penggelapan dengan Pemberatan

    Penggelapan dengan pemberatan yakni penggelapan yang

    dilakukan oleh orang yang memegang barang itu berhubungan

    dengan pekerjaannya atau jabatannya atau karena ia mendapat upah

    (Pasal 374 KUHP).

    d. Penggelapan dalam Lingkungan Keluarga

    Penggelapan dalam lingkungan keluarga yakni penggelapan

    yang dilakukan dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi

    barang untuk disimpan, atau oleh wali, pengampu, pengurus atau

    pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan,

    terhadap barang sesuatu yang dikuasainya. (Pasal 375 KUHP).16

    3. Unsur-Unsur Pasal Tindak Pidana Penggelapan

    Penggelapan terdapat unsur-unsur Objektif meliputi perbuatan

    memiliki, sesuatu benda, yang sebagian atau seluruhnya milik orang

    lain, yang berada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, dan

    unsur-unsur Subjektif meliputi penggelapan dengan sengaja dan

    penggelapan melawan hukum. Pasal-Pasal penggelapan antara lain :

    a. Pasal 372 KUHP Penggelapan Biasa

    1) Dengan sengaja memiliki.

    16 Moeljatno, Op. Cit, h.132

  • 10

    2) Memiliki suatu barang.

    3) Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik

    orang lain.

    4) Mengakui memiliki secara melawan hukum.

    5) Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.

    Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun.

    b. Pasal 373 KUHP Penggelapan Ringan

    1) Dengan sengaja memiliki.

    2) Memiliki suatu bukan ternak.

    3) Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik

    orang lain.

    4) Mengakui memiliki secara melawan hukum

    5) Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.

    6) Harganya tidak lebih dari Rp. 25,-

    Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 3 bulan.

    c. Pasal 374 dan KUHP Penggelapan dengan Pemberatan

    1) Dengan sengaja memiliki.

    2) Memiliki suatu barang.

    3) Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik

    orang lain.

    4) Mengakui memiliki secara melawan hukum.

    5) Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.

    6) Berhubung dengan pekerjaan atau jabatan.

    Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun.

  • 11

    d. Pasal 375 KUHP Penggelapan oleh Wali dan Lain-lain

    1) Dengan sengaja memiliki.

    2) Memiliki suatu barang.

    3) Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik

    orang lain.

    4) Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.

    5) Terpaksa disuruh menyimpan barang.

    6) Dilakukan oleh wali, atau pengurus atau pelaksana surat

    wasiat, atau pengurus lembaga sosial atau yayasan.

    Hukuman : Hukuman penjara selama-lamanya 6 tahun.

    Penggelapan yang ada pada pasal 375 ini adalah beradanya

    benda objek Penggelapan di dalam kekuasaan pelaku disebabkan

    karena: Terpaksa disuruh menyimpan barang itu, ini biasanya

    disebabkan karena terjadi kebakaran, banjir dan sebagainya.

    Kedudukan sebagai seorang wali (voogd); Wali yang dimaksudkan

    di sini adalah wali bagi anak-anak yang belum dewasa. Kedudukan

    sebagai pengampu (curator); Pengampu yang dimaksudkan adalah

    seseorang yang ditunjuk oleh hakim untuk menjadi wali bagi

    seseorang yang sudah dewasa, akan tetapi orang tersebut dianggap

    tidak dapat berbuat hukum dan tidak dapat menguasai atau

    mengatur harta bendanya disebabkan karena ia sakit jiwa atau yang

    lainnya.

    Kedudukan sebagai seorang kuasa (bewindvoerder);

    Seorang kuasa berdasarkan BW adalah orang yang ditunjuk oleh

  • 12

    hakim dan diberi kuasa untuk mengurus harta benda seseorang

    yang telah ditinggalkan oleh pemiliknya tanpa menunjuk seorang

    wakil pun untuk mengurus harta bendanya itu. Kedudukan sebagai

    pelaksana surat wasiat; Yang dimaksud adalah seseorang yang

    ditunjuk oleh pewaris di dalam surat wasiatnya untuk

    melaksanakan apa yang di kehendaki oleh pewaris terhadap harta

    kekayaannya. Kedudukan sebagai pengurus lembaga sosial atau

    yayasan.

    e. Pasal 376 KUHP Penggelapan dalam Keluarga

    1) Dengan sengaja memiliki.

    2) Memiliki suatu barang.

    3) Barang yang dimiliki seluruhnya atau sebagian termasuk milik

    orang lain.

    4) Mengakui memiliki secara melawan hukum.

    5) Barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.

    6) Penggelapan dilakukan suami (isteri) yang tidak atau sudah

    diceraikan atau sanak atau keluarga orang itu karena kawin.

    Hukuman : Hanya dapat dilakukan penuntutan, kalau ada

    pengaduan dari orang yang dikenakan kejahatan itu.

    Tindak pidana penggelapan dalam keluarga disebut juga

    delik aduan relatif dimana adanya aduan merupakan syarat untuk

    melakukan penuntutan terhadap orang yang oleh pengadu

    disebutkan namanya di dalam pengaduan. Dasar hukum delik ini

    diatur dalam pasal 376 yang merupakan rumusan dari tindak pidana

  • 13

    pencurian dalam kelurga sebagaimana telah diatur dalam

    pembahasan tentang pidana pencurian, yang pada dasarnya pada

    ayat pertama bahwa keadaan tidak bercerai meja dan tempat tidur

    dan keadaan tidak bercerai harta kekayaan merupakan dasar

    peniadaan penuntutan terhadap suami atau istri yang bertindak

    sebagai pelaku atau yang membantu melakukan tindak pidana

    penggelapan terhadap harta kekayaan istri dan suami mereka. Pada

    ayat yang kedua, hal yang menjadikan penggelapan sebagai delik

    aduan adalah keadaan di mana suami dan istri telah pisah atau telah

    bercerai harta kekayaan.

    Alasannya, sama halnya dengan pencurian dalam keluarga

    yang dilakukan oleh suami atau istri terhadap harta kekayaan suami

    mereka, yaitu bahwa kemungkinan harta tersebut adalah harta

    bersama yang didapat ketika hidup bersama atau yang lebih dikenal

    dengan harta gono-gini yang mengakibatkan sulitnya membedakan

    apakah itu harta suami atau harta istri.

    Oleh karena itu, perceraian harta kekayaan adalah yang

    menjadikan tindak pidana penggelapan dalam keluarga sebagai

    delik aduan.17 Tindak pidana Penggelapan dalam lingkungan

    keluarga dapat diadili jika kejahatan tersebut diadukan oleh

    keluarga yang bersengketa.

    C. Tinjauan Umum Restorative Juctice

    17 Abdoel. http://blogspot.com/2009/01/kejahatan-terhadap-harta-kekayaan.html. diakses tanggal

    27 Januari 2016

    http://blogspot.com/2009/01/kejahatan-terhadap-harta-kekayaan.html

  • 14

    Istilah restorative justice yang dalam terjemahan bahasa Indonesia

    disebut dengan istilah keadilan restoratif, secara definisi atau pengertian dari

    restorative justice, para ahli hukum memiliki pendapat yang beragam.

    Menurut pendapat dari Andi Hamzah menerjemahkan keadilan restoratif

    sama dengan criminal justice diterjemahkan dengan peradilan pidana.18

    Seorang ahli krimonologi berkebangsaan Inggris Tony F. Marshall

    dalam tulisannya Restorative justice an Overview memberi definisi

    restorative justice:19

    Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake

    in a particular offence come togather to resolve collectively how to

    deal with the aftermath of the offence and its implications for the

    future.

    Terjemahan:

    Restorative justice adalah sebuah proses dimana para pihak yang

    berkepentingan dalam pelanggaran atau delik tertentu bertemu

    bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama atau

    kolektif bagaimana menyelesaikan mengenai akibat dari suatu

    pelanggaran atau delik tersebut demi kepentingan masa depan.

    Pengertian dari Tony F. Marshall tersebut di atas, kemudian

    diuraikan secara lebih lengkap oleh Susan Sharpe dengan mengungkapkan

    lima prinsip kunci dari restorative justice yaitu sebagai berikut:20

    1. Restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus; 2. Restorative justice berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian

    yang ada akibat terjadinya tindak kejahatan;

    3. Restorative justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh;

    18 Andi Hamzah, Restorative Justice dan Hukum Pidana Indonesia, Makalah yang disampaikan

    pada Seminar IKAHI tanggal 25 April 2012, halaman 5 (Selanjutnya disebut: Andi Hamzah I). 19 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative

    Justice, Refika Aditama, Bandung, 2009, h. 28 (Selanjutnya disebut: Marlina I). 20 Marlina, Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif Perlindungan terhadap Anak yang

    Berhadapan dengan Hukum, dalam Mahmul Siregar dkk, Pedoman Praktis Melindungi Anak

    dengan Hukum Pada Situasi Emergensi dan Bencana Alam, Pusat kajian dan Perlindungan Anak

    (PKPA), Medan 2007, h. 83 (Selanjutnya disebut Marlina II)

  • 15

    4. Restorative justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang terpecah atau terpisah karena tindakan kriminal;

    5. Restorative justice memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal berikutnya;

    Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif

    menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan

    menangani suatu tindak pidana, seperti yang tergambar dari definisi yang

    dikemukakan oleh Dignan, sebagai berikut:21

    Restorative justice ia a new framework for responding to

    wrongdoing and conflict that is rapidly gaining acceptance and

    support by educational, legal, sosial work and and counseling

    professionals and community groups. Restorative justice is a valued-

    based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a

    balanced fokus on theperson harmed, the person causing the harm,

    and the affected community.

    Terjemahan:

    Keadilan restoratif adalah suatu kerangka pemikiran baru untuk

    mengatasi penyimpangan dan konflik yang membutuhkan

    penerimaan dan dukungan secara cepat dari kaum intelektual,

    penegak hukum, pekerja sosial dan konsultan professional serta

    kelompok komunitas. Keadilan restoratif adalah suatu pendekatan

    berbasis nilai untuk mengatasi penyimpangan dan konflik, dengan

    fokus yang seimbang antara korban dan pelaku serta masyarakat.

    Restorative justice memberikan keutamaan untuk mengembalikan

    konflik kepada semua pihak yang berperkara, dalam hal ini yang paling

    terkena pengaruh yaitu korban, pelaku dan kepentingan kelompok

    komunitas untuk memecahkan suatu perkara dengan pengutamaan

    rekonsiliasi (penyelesaian seperti semula). Menurut Eva Achjani Zulfa,

    keadilan restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon

    pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada

    kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan

    21 Eva Achjani Zulfa dan Indriyanto Seno Adji, Op.Cit., h. 65

  • 16

    mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat

    ini. 22

    Penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan pendekatan

    keadilan restoratif membutuhkan peran aktif baik dari korban maupun

    pelaku. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Marlina yang menyatakan:23

    Konsep restorative justice, proses penyelesaian tindakan

    pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban

    dan pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam satu pertemuan

    untuk bersama-sama berbicara.

    Menurut Eva Achjani Zulfa, tidak mudah memberikan definisi bagi

    pendekatan keadilan restoratif ini, mengingat banyaknya variasi model dan

    bentuk yang berkembang dalam penerapannya. Karenanya banyak

    terminologi yang digunakan untuk menggambarkan aliran keadilan

    restoratif ini antara lain “commutarian justice (keadilan komutarian),

    making amends (penggantian kerugian), positive justice (keadilan positif),

    relation justice (keadilan relasional), reparative justice (keadilan reparatif)

    dan community justice (keadilan masyarakat).24

    Dengan demikian bahwa keadilan restoratif memiliki terminologi

    yang bervariasi dan dapat diuraikan dengan merumuskan makna yang

    terkandung di dalamnya, sebagaimana diuraikan oleh Harkristuti

    Harkrisnowo adalah sebagai berikut:25

    - Respon yang lentur terhadap kejahatan, pelaku dan korban, yang memungkinkan penyelesaian kasus secara individual;

    22 Eva Achjani Zulfa I, Op.Cit., hlm..3 23 Marlina I, Op.Cit., hlm 180 24 Eva Achjani Zulfa I, Op.Cit., hlm 118 25 Harkristuti Harkrisnowo, Perlindungan Saksi dan Korban: Pendekatan Restorative Justice

    dalam Sistem Peradilan Pidana, Makalah yang disampaikan pada Focus Group Discussion yang

    diselenggarakan oleh LPSK pada tanggal 1 Desember 2011

  • 17

    - Respon atas kejahatan dengan tetap mempertahankan harkat dan martabat setiap orang, membangun saling pengertian dan harmoni

    melalui pemulihan korban, pelaku dan masyarakat;

    - Mengurangi dampak stigmatisasi pelaku; - Dapat dilakukan sejalan dengan mekanisme tradisional yang masih

    dipertahankan;

    - Melakukan pemecahan masalah dan sekaligus mengatasi akar munculnya konflik;

    - Tidak harus bertumpu pada prosedur hukum.

    Keadilan restoratif merupakan sebuah konsep pemikiran atau

    gagasan untuk merespon dalam pengembangan sistem peradilan pidana dan

    dengan menitikberatkan pada kebutuhan untuk melibatkan masyarakat dan

    korban, yang selama ini tidak puas dengan mekanisme yang ada terhadap

    bekerjanya sistem peradilan pidana. Sehingga keadilan restoratif yang

    merupakan suatu kerangka berpikir baru diharapkan dapat digunakan dalam

    merespon suatu tindak pidana bagi para penegak hukum.

    Restorative justice adalah konsep pemidanaan, tetapi sebagai konsep

    pemidanaan tidak hanya terbatas pada ketentuan hukum pidana (formal dan

    materil). Restorative Justice harus juga diamati dari segi kriminologi dan

    siste m pemasyarakatan. Dari kenyataan yang ada, sistem pemidanaan yang

    berlaku belum sepenuhnya menjamin keadilan terpadu (integrated justice),

    yaitu keadilan bagi pelaku, keadilan bagi korban, dan keadilan bagi

    masyarakat. Hal inilah yang mendorong kedepan konsep ”restorative

    justice”.

    Kemudian Bagir Manan, dalam tulisannya juga, menguraikan

    tentang substansi ”restorative justice” berisi prinsip-prinsip, antara lain:

    ”Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok

    masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana.

    Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai ”stakeholders” yang

    bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang

    dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions)”.

  • 18

    Konsep restorative justice merupakan proses penyelesaian tindak

    pelanggaran hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan

    pelaku (tersangka) bersama-sama duduk dalam suatu pertemuan untuk

    bersama-sama berbicara.26

    Prinsip yang di paparkan oleh Tony Marshal dan prinsip yang ditulis

    Susan Sharpe sebenarnya telah di praktikkan selama ribuan tahun oleh

    masyarakat walaupun secara nonformal. Di Indonesia praktik secara

    restorative justice ini juga telah dilakukan yang di kenal dengan

    penyelesaian secara kekeluargaan.

    Bentuk praktik restorative yang telah berkembang di negara Eropa,

    Amerika Serikat, Canada, Australia, dan Newzealand dapat di kelompookan

    menjadi empat jenis praktik yang menjadi pioneer penerapan restorative

    justice di beberapa negara yaitu:

    1. Victim Offender Mediation (VOM)

    2. Conferencing/Family Group Conferencing

    3. Circles

    4. Restorative Board/Youth Panels

    1. Victim Offender Mediation (VOM)

    Program victim offender mediation pertama kali dilaksanakan

    sejak tahun 1970 di Amerika bagian utara dan Eropa seperti Norwegia

    dan Finlandia.

    26 Marlina, Op. Cit, h. 180.

  • 19

    Tujuan dilaksanakannya VOM dalah memberi penyelesaian

    terhadap perristiwa yang terjadi, diantaranya dengan membuat sanksi

    alternatif bagi pelaku atau untuk melakukan pembinaan di tempat

    khusus bagi pelanggaran yang benar-benar serius.27

    Sasaran dari VOM yaitu proses penyembuhan kepada korban

    dengan menyediakan wadah bagi semua pihak untuk bertemu dan

    berbicara secara sukarela serta memberi kesempatan pada pelaku

    bejalar terhadap akibat dari perbuatannya itu serta membuat rencana

    penyelesaian kerugian yang terjadi.

    Peserta yang terlibat dalam bentuk mediasi adalah korban

    (secara sukarela), pelaku, pihak yang bersimpati terhadap kedua pihak,

    dan orang yang dianggap penting bila diperlukan, serta mediator yang

    dilatih khusus.

    Dalam VOM para pihak yang ikut tidak menjadi berdabat.

    Seseorang yang secara jelas melakukan kejahatan dan telah mengakui

    perbuatannya sehingga koraban merasa dihormati. Selanjutnya isu

    bersalah atau tidak bersalah tidak diagendakan dalam victim offender

    mediation, juga tidaka mengharapkan bahwa korban kejahatan

    berkompromi dan mengharapkan lebih kecil dari apa yang mereka

    butuhkan untuk mengembalikan kerugiannya.

    Kalau jenis mediasi yang lain lebih menitikberatkan

    pertanggungjawaban tapi victim offernder mediation mendasarinya

    27 Marlina, Op. Cit, h. 181.

  • 20

    dengan dialog dengan perhatian kepada penyembuhan korban dan

    pertanggungjawaban pelaku dan mengembalikan kerugian.

    2. Family Group Conferencing (FGC)

    Conferencing pertama kali dikembangkan di negara Newzealand

    pada tahun 1989 dan di Australiia pada tahun 1991 dan pada mulanya

    merupakan refleksi atau gambaran aspek proses secara tradisional

    masyarakat yang diperoleh dari penduduk asli Newzzealand yaitu

    bangsa Maori.

    Conferencing tidak hanya melibatkan korban utama dan pelaku

    utama, tetapi juga korban sekunder seperti anggota keluarga dan teman

    korban. Orang-orang ini ikut dilibatkan karena mereka juga terkena

    damaak atau imbas dalam berbagai bentuk akibat dari kejahatan yang

    terjaadi dan juga karena mereka peduli terhadap korban ataupun pelaku

    utama.28

    Sasarannya memberikan kesempatan kepada korban untuk

    terlibat secara langsung dalam diskusi dan pembuatan keputusan

    mengenai pelanggaran yang terjadi padanya dengan saksi yang tepat

    bagi pelaku serta mendengar secara langsung penjelasan dari pelaku

    tentang pelanggaran yang terjadi. Kemudian meningkatkan kepedulian

    atas akibat perbuatannya. Selain itu bagi keluarga atau pihak pelaku

    bertanggungjawab penuh dapat bersama-sama menentukan sanksi bagi

    pelaku dan membimbingnya setelah mediasi berlangsung. Terakhir

    adalah memberikan korban dan pelaku untuk saling berhuubungan

    28 Marlina, Op. Cit, h. 188.

  • 21

    dalam memperkuat kembali tatanan masyarakat yang sempat terpecah

    karena terjadinya pelanggaran oleh pelaku terhadap korban.

    Orang yang turut serta dalam proses family group conferencing

    adalah anggota masyarakat, pelaku, korban, mediator, keluarga atau

    pihak dari korban dan pelaku serta lembaga yang punya perhatian

    terhadap permasalahan anak.

    3. Circles

    Pelaksanaan circles pertama kali sekitar tahun 1992 di Yukon,

    Canada. Circles sama halnya dengan conferencing yang dalam

    pelaksanaannya memperluas partisiasi para peserta dalam proses

    mediasi di luar korban dan pelaku utama. Pihak keluarga dan

    pendukung dapat diikutsertakan sebagai peserta peradilan pidana.29

    Sasaran yang ingin di capai melalui proses circle adalah

    terlaksananya penyembuhan pada pihak yang terluka karena tindakan

    pelaku dan memberi kesempatan pada pelaku untuk memperbaiki

    dirinya dengan tanggungjawab penyelesaian kesepakatan.

    Keberhasilam dari Circle ini adalah jika adanya kerjasama

    dengan system peradilan formal dan masyarakat. Sistem peradilan

    formal perlu ikut berperan untuk memastikan bahwa proses yang

    dijalankan telah memberikan keadilan dan bersifat jujur bagi semua

    pihak dan tanpa pemaksaan. Kekuatan masyarakat yang ikut serta

    29 Marlina, Op. Cit, h. 192.

  • 22

    dalam circle akan terjalin erat melalui kepedulian secara bersama-sama

    mengatasi tindak pidana anak.

    4. Reparatif Board/Youth Panel

    Program ini mulai dilaksanakan di negara bagian Vermont pada

    tahun 1996 dengan lembaga pendamping Bureau of Justice Assictance

    setelah melihat respon yang baik dari warga negara terhadap studi yang

    dibuat oleh Spring tahun 1994 yang memaparkan keikutsertaan

    masyarakat dalam program reparative tersebut dan sifat perbaikan yang

    menjadi dasarnya.30

    Tujuan menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan

    oleh anak dengan melibatkan pelaku, korban, masyarakat, mediator, dan

    juga hakim, jaksa, dan pembela secara bersama merumuskan bentuk

    sanksi yang tepat bagi pelaku dan ganti rugi bagi korban atau

    masyarakat.

    Sasarannya adalah peran aktif serta anggota masyarakat secara

    langsung dengan pelaku. Dalam pertemuan yang diadakan tersebut

    pelaku melakukan pertanggungjawaban secara langsung atas tindakan

    yang telah dilakukannya.

    Tata cara pelaksanaannya mediator yang memfasilitasi

    pertemuan ini aalah orang-orang yang sudah diberi pendidikan khusus

    mediasi. Pertemuan dilaksanakan secara tatap muka semua peserta dan

    dihadiri juga oleh pihak pengadilan. Selama pertemuan para petugas

    berdiskusi dengan pelaku tentang perbuatan negatifnya dan konsekuensi

    30 Marlina, Op. Cit, h. 194.

  • 23

    yang harus ditanggung. Kemudian para peserta merancang sebuah

    sanksi yang didiskusikan dengan pelaku dalam jangka waktu tertentu

    untuk membuat perbaikan atas akibat tindak pidananya. Setelah

    dirasakan cuku dan disepakati maka hasilnya dilaporkan kepada pihak

    pengadilan untuk disahkan. Setelah itu maka keterlibatan board

    terhadap pelaku berakhir.

    D. Kebijakan Dalam Restoratif Justice

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “Kebijakan” dari akar

    kata “bijak” sebagai “rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar

    dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan

    cara bertindak (tata pemerintahan, organisasi dan sebagainya)”. Kebijakan

    juga berarti; “pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis

    pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran”.31

    Sebagai suatu rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar

    dan dasar rencana pelaksanaan tindakan maka kebijakan merupakan suatu

    sistem. Sebagai sistem, kebijakan penanggulangan tindak pidana merupakan

    sub sistemdari sistem Kebijakan Sosial (Social Policy). Kebijakan sosial

    dengan demikian dapat diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas dalam

    pelaksanaan suatu rencana bertindak pemerintah untuk mencapai suatu

    tujuan. Kebijakan sosial dalam berfungsinya mempunyai tujuan besar yakni

    “kesejahteraan masyarakat” (social welfare) dan “perlindungan masyarakat”

    (social defence).

    31 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia

    Electronic, Yufidinc, 26 Januari 2015

  • 24

    Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat diberi arti lain

    dengan “Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy). Dalam

    kerangka sistem policy, sub sistem criminal policy secara operasional

    berupaya mewujudkan tujuan utama; social welfare dan social defence.

    Sebagai sarana penanggulangan kejahatan, criminal policy dapat ditempuh

    melalui sarana penal (penal policy) dan sarana non penal (non penal policy).

    Barda Nawawi Arief dalam kajian social policy dan criminal policy ini

    memberikan bagan sistematis mengenai kebijakan tersebut.32

    Dalam pelaksanaan tugas Polri dalam masyarakat terutama sebagai

    penegak hukum yang berupaya menanggulangi tindak pidana, maka yang

    dikemukakan Barda Nawawi Arief di atas dapat dipakai sebagai acuan

    tugas, bahwa upaya penanggulangan tindak pidana dalam pelaksanaannya

    perlu ditempuh melalui kebijakan integral (integrated appoarch) dengan

    memadukan antara social policy dengan criminal policy dan memadukan

    antara penal policy dan non penal policy.

    Dalam menguraikan berbagai segi negatif dari perkembangan

    masyarakat, Sudarto menegaskan bahwa upaya “minta bantuan” kepada

    hukum pidana sebagai sarana penanggulangan tindak pidana hendaknya atau

    harus dipertimbangkan paling akhir. Hukum pidana mempunyai fungsi

    subsidier artinya baru digunakan apabila upaya-upaya lain diperkirakan

    kurang memberi hasil yang memuaskan atau kurang sesuai. Akan tetapi

    kalau toh hukum pidana akan dilibatkan, maka hendaknya dilihat dalam

    hubungan keseluruhan politik kriminal terutama pada tujuan “perlindungan

    32 Barda Nawawi Arief, Opcit., h. 78.

  • 25

    masyarakat” (sebagai planning for social defence). Rencana perlindungan

    masyarakat ini harus merupakan bagian integral dari planning for national

    development (rencana pembangunan nasional).33

    Sehubungan dengan integrasi antara rencana perlindungan

    masyarakat dengan rencana pembangunan nasional, berikut ini disampaikan

    berbagai ketetapan internasional yang menunjang integrasi tersebut;

    Kongres PBB ke-4 tentang “Prevention of Crime and the Treatment of

    Offenders” tahun 1970 membicarakan masalah pokok “Crime and

    Development” juga pernah menegaskan :34 “any dictionary between a

    country’s policies for social defence and its planning for national

    development was unreal by definitions”.

    Penegasan Kongres di atas memberikan makna pentingnya integrasi

    antara kebijakan perlindungan masyarakat dengan rencana pembangunan

    nasional, bahkan Kongres menegaskan hal tersebut jangan didekotomikan.

    Kongres PBB ke-5 tahun 1975 juga menegaskan35: “The many

    aspects of criminal policy should be coordinated and the whole should be

    integrated into the general social policy of each country”. Makna yang

    dapat diambil dari penegasan Kongres di atas adalah; banyak aspek dari

    kebijakan kriminal yang harus dikoordinasikan dan diintegrasikan ke dalam

    kebijakan social setiap Negara.

    Penegasan Kongres di atas membuktikan perlunya integrasi antara

    kebijakan social (social policy) dengan kebijakan kriminal (criminal policy).

    33 Sudarto, direformulasi oleh penyusun dari buku Hukum Pidana dan perkembangan masyarakat,

    Sinar Baru, Bandung, 1983, h. 34. 34 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung,

    2005, h. 5. 35 Ibid., h. 6

  • 26

    Barda Nawawi Arief mengatakan, bahwa bertolak dari konsepsi

    kebijakan, integral sebagaimana penegasan Kongres PBB di atas, maka

    kebijakan penanggulangan kejahatan (tindak pidana = penulis) tidak banyak

    artinya apabila kebijakan sosial kebijakan pembangunan itu sendiri justru

    menimbulkan faktor-faktor kriminogen dan victimogen.36

    Akhirnya Sudarto menegaskan bahwa dilibatkan hanya hukum

    pidana dalam social defence planning, harus diingat atau harus diakui

    bahwa penggunaan hukum pidana ini merupakan penanggulangan sesuatu

    gejala (“KURIEREN AM SYMPTOM”) dan bukan suatu penyelesaian

    dengan menghilangkan sebab-sebabnya.37

    Dilibatkannya hukum pidana sebagai sarana penanggulangan tindak

    pidana sebagaimana diuraikan di atas, terutama ke masalah kemampuan

    hukum pidana sendiri, bahwa dia menduduki posisi subsidier,

    kemampuannya hanya pada penanggulangan atas gejala, bukan

    menanggulangi penyebab, membuktikan sifat terbatasnya kemampuan

    hukum pidana tersebut. Terlebih lagi jika dihubungkan dengan masalah

    biaya yang harus dikeluarkan negara jika hukum pidana dilibatkan tentu

    teramat besar.

    Dalam kaitannya kinerja Polri, maka syarat “kemampuan aparat

    penegak hukum” layak menjadi perhatian dalam pelaksanaan tugasnya.

    Makna kemampuan tidak sekedar diberi makna kuantitas atau jumlah

    personil Polri, yang lebih utama justru pada kualitas personil Polri tersebut.

    Kualitas personil Polri mencakup, tingkat intektualitasnya, moralnya,

    36 Ibid., h. 7 37 Sudarto, Op. Cit., h. 35.

  • 27

    kinerjanya, kedisiplinannya, ketegasannya, keteladanannya dan

    ketaqwaannya. Semua persyaratan itu amat berpengaruh pada citra Polri.

    Dalam upaya kebijakan, penanggulangan tindak pidana (criminal

    policy), G. Peter Hoefnogels menggambarkan ruang lingkupnya

    sebagaimana direferensikan oleh Barda Nawawi Arief dan dianalisa oleh

    penulis sebagai berikut.38 G. Peter Hoefnagels menggambarkan, bahwa

    kebijakan criminal (criminal policy) mencakup; pertama, mempengaruhi

    pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pidana lewat media massa;

    kedua, penerapan hukum pidana (kriminologi praktis) dan ketiga,

    pencegahan tanpa pidana yang meliputi: politik social, rencana kesehatan

    mental masyarakat, dan lainnya.

    Gambaran Hoefnagels mengenai “pencegahan tanpa pidana,

    menunjukkan sifat non penalnya dari fungsionalisasi criminal policy yang

    berarti lebih menitik beratkan pada sifat preventif, sementara penggunaan

    sarana penal lebih bersifat represif”. Sudarto memberikan pemahaman,

    bahwa tindakan represif, pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai

    tindakan preventif dalam arti luas.39

    Kebijakan penanggulangan tindak pidana melalui jalur non penal ini

    oleh Barda Nawawi Arief dikatakan, bahwa jalur ini lebih bersifat

    pencegahan terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani

    faktor-faktor kondusif untuk penyebab terjadinya kejahatan.40

    38 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam

    Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, h. 41. 39 Ibid., h. 42. 40 Ibid

  • 28

    Profesionalisme Polisi dalam menjalankan tugas dan

    kewenangannya merupakan dambaan semua bangsa di dunia, termasuk

    Indonesia, karena peran yang dimainkannya sangat komprehensif mencakup

    perannya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, pengayom

    dan pelayan masyarakat, dan sebagai penegak hukum.41

    Sebagai seorang profesional, Polri dipersyaratkan harus mempunyai

    keahlian khusus yang diperoleh melalui “pengalaman latihan” sejalan

    dengan kompetensi intelektualnya. Persyaratan lain yang tidak kalah

    pentingnya adalah bahwa seorang polisi profesional harus memiliki

    kesadaran untuk mengabdikan segala kemampuan tersebut untuk pelayanan

    masyarakat.

    Karakteristik yang menjadi ukuran profesionalisme sesungguhnya

    sangat banyak (puluhan), namun menurut Charles H. Lavine (1977:33 dst.)

    sebagaimana dikutip oleh Muladi, terdapat beberapa karakteristik dasar

    seperti: (1) skill based on theoretical knowledge; (2) required educational

    and training; (3) testing of competence (via exam, etc); (4) organization

    (into a professional association); (5) adherence to a code of enduct; and (6)

    altruistic service.42

    Secara lebih spesifik menurut M. Karyadi (Komisaris Besar Polisi

    Purnawirawan), bahwa dalam pengabdiannya kepada masyarakat yang

    41 Selain polisi, yang tercakup pula sebagai seorang profesional adalah dokter, notaries, wartawan,

    dosen, insinyur, pengacara, psikolog dan lain sebagainya. Dari sekian profesi tersebut, ada yang

    memiliki klien secara personal, tetapi ada pula yang tidak memiliki klien secara pribadi dan

    ditugasi di suatu korporasi. 42 Menurut Charles H. Lavine (1977:33 dst.) sebagaimana dikutip oleh Muladi, bahwa yang

    menjadi karakteristik professional antara lain: (1) skill based on theoretical knowledge; (2)

    required educational and training; (3) testing of competence (via exam, etc); (4) organization (into

    a professional association); (5) adherence to a code of enduct; and (6) altruistic service (kf.

    Muladi, “Kejahatan Lingkungan Profesional” dalam Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana.

    Semarang: Badan Penerbit Undip, 1995).

  • 29

    bercita-citakan kehidupan yang tertib, aman sentausa dan sejahtera sesuai

    dengan amanat para leluhur untuk menciptakan masyarakat yang “tata-

    tentrem-kertaraharja, maka lahirlah dalam jiwa Polri yang insyaf akan

    pedoman hidup yang tertuang dalam “TRIBRATA”, yaitu Satu Berbakti

    Kepada Nusa Dan Bangsa Dengan Penuh Ketaqwaan Terhadap Tuhan Yang

    Maha Esa; Dua Menjunjung Tinggi Kebenaran, Keadilan Dan Kemanusiaan

    Dalam Menegakkan Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia Yang

    Berdasarkan Pancasila Dan Undang-Undang Dasar 1945; Tiga Senantiasa

    Melindungi, Mengayomi Dan Melayani Masyarakat Dengan Keikhlasan

    Untuk Mewujudkan Keamanan Dan Ketertiban. Ketiga asas tersebut dapat

    disimpulkan sebagai “bhakti-dharma-waspada” diharapkan dapat diterapkan

    di dalam tugas profesional seorang anggota polisi.43

    Menyadari akan prinsip-prinsip dasar profesionalisme polisi

    tersebut, maka Muladi berpendapat bahwa kredo yang sebaiknya

    dikembangkan adalah “menjadikan polisi bukan sebagai pelanggar HAM,

    tetapi berada di garis terdepan dalam memperjuangkan HAM”. Kredo ini

    merupakan kunci yang sangat menentukan efektivitas lembaga kepolisian,

    yang dampak positifnya akan segera dapat diukur dan dirasakan, seperti

    meningkatkan kepercayaan dan sikap kooperatif masyarakat, penyelesaian

    konflik secara damai, dan proses yuridis ke pengadilan dapat berhasil

    dengan baik. Dengan demikian, citra positif dari polisipun akan melekat di

    benak masyarakat, seperti polisi sebagai pengaman dan penertib yang

    bijaksana, sebagai penegak hukum yang jujur dan adil, sebagai tokoh

    43 E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum: Norma-norma Bagi Penegak Hukum. Penerbit Kanisius,

    Yogyakarta, 1995, h. 160-164.

  • 30

    panutan dalan menghargai hukum, dan sebagai aparat yang proaktif dalam

    menghadapi persoalan di masyarakat.44

    Menyadari akan prinsip-prinsip profesionalisme polisi sebagaimana

    diuraikan di atas, maka Polri dalam menjalankan profesinya mau tidak mau

    harus mampu memadukan secara seimbang dua doktrin polisi yang

    memiliki tekanan berbeda, yakni doktrin the strong hand of society (tangan

    yang keras/kuat bagi masyarakat = pelayan yang keras bagi masyarakat) dan

    the soft hand of society (tangan yang lembek/lembut = pelayan yang lembut

    bagi masyarakat). Doktrin the strong hand of society adalah doktrin

    kekuasaan, yang menunjukkan polisi dalam jenjang vertical ketika

    berhadapan dengan rakyat, karena ia diberi sejumlah kewenangan yang

    tidak diberikan kepada lembaga lain dalam masyarakat, seperti menangkap,

    menggeledah, menahan, menyuruh berhenti, melarang meninggalkan

    tempat, dan sebagainya.

    Dalam konteks demikian itu, hubungan antara polisi dan rakyat

    bersifat “atas-bawah” atau hirarkhis, di mana polisi ada pada kedudukan

    memaksa sedangkan rakyat wajib mematuhi”.45 Sementara doktrin the soft

    hand of society adalah “kemitraan” dan “kesejajaran”, di mana polisi dan

    rakyat berada pada posisi yang sama dengan hubungan yang bersifat

    44 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie

    Center, Jakarta, 2002, h. 276. Menurut Achmad Ali, citra polisi di mata masyarakat, sebenarnya

    juga tidak terlepas dari persepsi keliru warga masyarakat terhadap karakteristik pekerjaan polisi.

    Ketika polisi melakukan kekerasan dalam melaksanakan tugasnya menghadapi penjahat misalnya,

    masyarakat dan pers terlalu cepar mempersalahkan mereka, tanpa memahami bagaimana

    karakteristik pekerjaan polisi yang sebenarnya (Achmad Ali, “Polisi dan Efektivitas Hukum dalam

    Penanggulangan Kriminalitas” dalam Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum. PT. Yasrif

    Watampone, Jakarta , 1998, h. 221). 45 Satjipto Rahardjo, “Membangun Polisi Indonesia Baru: Polri dalam Era Pasca-ABRI”,

    Makalah Seminar Nasional Polisi Indonesia III, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kepolisian

    Fakultas Hukum UNDIP Semarang tanggal 22-23 Oktober 1998, h. 5.

  • 31

    “horizontal”. Tugas yang diberikan kepada polisi di sini adalah untuk

    mengayomi, melindungi, membimbing dan melayani rakyat. Contoh dari

    tugas yang demikian itu antara lain: membantu menyelesaikan perselisihan

    antara warga masyarakat, membina ketertiban, mencegah dan

    menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat, memelihara keamanan,

    ketertiban lalu lintas dan keselamatan jiwa raga, harta benda.

    Dengan demikian, sesungguhnya peran yang dimainkan oleh

    kepolisian itu tidak hanya bersifat represif. Dalam kenyataannya, secara

    prosentase pekerjaan polisi yang bersifat represif itu lebih kecil jika

    dibandingkan dengan yang bersifat preventif, dan bahkan jauh lebih kecil

    lagi bila dibandingkan dengan pekerjaan yang bersifat pre-emptif.46

    Perpaduan peran Polri yang demikian itu mengisyaratkan bahwa cara

    kerja Polri bukan seperti “pemadam kebakaran” yang bekerja setelah

    kejadian, melainkan harus selalu mendahului munculnya kejadian dengan

    mengedepankan tindakan prefentif dan pre-emtif ketimbang represif.

    Mengingat peran yang dimainkan oleh Polri secara komprehensif

    seperti itu (represif-preventif-pre-emtif), maka model peradilan yang cocok

    dikembangkan oleh Polri (dan tentunya juga oleh perangkat penegak hukum

    yang lain) dalam menangani berbagai kasus kriminal adalah Restorative

    Justice (peradilan restoratife). Model peradilan yang demikian itu lebih

    mengutamakan upaya “pemulihan keadaan” sehingga dapat meningkatkan

    kepercayaan (trust) dari masyarakat pencari keadilan. Peran Polri dalam

    model peradilan restoratif adalah sebagai “fasilitator” dan bukan semata

    46 Satjipto Rahardjo, Ibid, 1998, h. 5-6. Awaloedin Djamin dalam makalahnya berjudul “Beberapa

    Masalah dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia” (1986) menggunaka istilah “pembinaan

    masyarakat” (Bimnas) untuk menunjuk tugas-tugas kepolisian yang bersifat pre-emptif.

  • 32

    sebagai “penghukum” (penegak hukum) yang menjurus ke tindakan

    represif. Dengan demikian, hasil yang diharapkan dari proses peradilan

    restoratif adalah menggalang terwujudnya “perdamaian” antara para pihak

    melalui upaya win-win solution.47

    Model peradilan restoratif yang semula dikembangkan pada

    masyarakat Jepang ini tampaknya cocok untuk dikembangkan di Indonesia,

    karena dari kultur masyarakat Indonesia masih sangat kuat dipengaruhi oleh

    “budaya harmonisasi”. Budaya harmonisasi ini pulalah yang memiliki andil

    yang sangat besar dalam penataan pola-pola penyelesaian kasus-kasus

    kriminal (juga kasus-kasus sengketa yang lain) pada masyarakat lokal di

    Indonesia. Masyarakat Batang Jawa Tengah, misalnya, berkembang sebuah

    tradisi peradilan yang lebih populer disebut dengan “peradilan mela sareka”

    atau “peradilan tapan halo” (peradilan rekonsiliatif), yakni peradilan yang

    lebih berupaya untuk membangun kembali relasi sosial para pihak yang

    bertikai.48

    Tradisi peradilan yang demikian itu pun identik dengan “peradilan

    padu” atau “peradilan pepadun” yang berkembang cukup efektif pada jaman

    kerajaan maupun jaman pejajahan Belanda.49 Selain strategi pemantapan

    cara pandang dan cara kerja Polri dalam melakukan penegakan hukum, juga

    dikembangkan strategi pemantapan dan peningkatan kualitas sumber daya

    47 Kf. Naskah Akademik Grand Strategi Polri 2005-2025 point 1.2.2 tentang “Restorasi Sistem

    Keadilan: Restorative Justice”. Uraian lebih lanjut mengenai Restorative Juctice yang semula

    digagas oleh John Braitwite ini dapat dibaca dalam Paulus Hadisaputro, “Pemberian Malu

    Reintegratif sebagai Sarana Nonpenal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak (Studi Kasus di

    Semarang dan Surakarta)”. Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum. Semarang: PDIH Undip, 2003,

    halaman 36-37 & 143-155. 48 Karolus Kopong Medan, “Peradilan Rekonsiliatif: Konstruksi Penyelesaian Kasus Kriminal

    Menurut Tradisi Masyarakat Lamaholot di Flores, Nusa Tenggara Timur”, Disertasi Program

    Doktor Ilmu Hukum, Semarang: PDIH Undip, 2006. 49 Baca H. Hilman Hadikusuma, Peradilan Adat di Indonesia, CV. Miswar, Jakarta, 1989.

  • 33

    Polri melalui penyelenggaraan pendidikan/pelatihan di lingkungan Polri

    yang terpogram secara baik. Program pendidikan/pelatihan ini dimaksudkan

    untuk meningkatkan wawasan dan pengembangan kemampuan

    umum/manajerial maupun spesialisasi bagi anggota Polri. Strategi yang

    demikian itu dapat dilakukan melalui penyelenggaraan kerjasama

    pendidikan/pelatihan dalam dan luar negeri yang disesuaikan dengan

    kebutuhan organisasi Polri, dan program berlatih sambil bekerja yang

    melekat pada setiap satuan organisasi, maupun dengan memanfaatkan

    teknologi pendidikan.50

    Sekalipun arah pengembangan SDM Polri yang demikian, tidak

    berarti bahwa Polri yang ideal tidak hanya peduli pada persoalan

    kemampuan profesional teknis semata, tetapi juga menitikberatkan pada

    rancang bangun komunikasi yang alamiah dengan masyarakat dalam upaya

    untuk menangani berbagai kasus kriminal yang terjadi. Hanya dengan modal

    yang demikian itu, Polri dapat mengajak masyarakat untuk peduli dan peka

    terhadap setiap bentuk perilaku menyimpang atau kejahatan yang terjadi

    dalam lingkungannya. Pola pengembangan SDM Polri yang demikian itu

    akan mampu menopang model perpolisian yang merupakan gabungan antara

    perpolisian reaktif (reactive police) dengan perpolisian yang didasarkan

    pada kedekatan dengan masyarakat (community policing).51

    Melengkapi upaya penanggulangan tindak pidana dengan sarana

    Non Penal, Kongres PBB ke 7 Tahun 1985 di Milan, Italia, dalam dokumen

    50 Keputusan Kapolri No. Pol : Kep/200/IX/2005, tanggal 7 September 2005 tentang Rencana

    Strategis Polri 2005-2009 (Renstra Polri), h. 26. 51 Kf. Suparmin, “Lembaga Kepolisian dalam Penyelesaian Konflik Pendukung Antar Partai di

    Kabupaten Jepara: Studi Kasus di Desa Dongos Kecamatan Kedung”, Tesis Program Magister

    Ilmu Hukum. Semarang: Undip, 2000, h. 138-139.

  • 34

    A/CONF.121/L/9 tentang “Crime Prevention in the Context of

    Development” ditegaskan, bahwa upaya penghapusan sebab-akibat dan

    kondisi yang menimbulkan kejahatan harus merupakan “strategi pencegahan

    kejahatan yang mendasar” (the basic crime prevention strategies).

    Dalam “Guiding Priciples” yang dihasilkan kongres ke 7 ditegaskan

    antara lain bahwa:52 “Kebijakan-kebijakan mengenai pencegahan kejahatan

    dan peradilan pidana harus mempertimbangkan sebab-sebab struktural,

    termasuk sebab-sebab ketidak adilan yang bersifat sosio-ekonomi, di mana

    kejahatan sering hanya merupakan gejala/symptom”. (policies for crime

    preventions and criminal justice should take into account the structural

    causes, including socio-economie causes of injustice, of which criminality is

    often but a symptom). Dalam guiding principles di atas dampak keharusan

    penggunaan upaya non penal, seperti mempertimbangkan faktor struktural

    dan faktor ketidak adilan yang bersifat sosio-ekonomi, dalam upaya

    penanggulangan kejahatan/tindak pidana.

    52 Ibid., h. 44.

  • 35