Upload
duongtu
View
245
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka merupakan uraian sistematis tentang hasil-hasil penelitian yang telah
dikemukakan oleh peneliti terdahulu dan ada hubungannya dengan penelitiuan yang akan
dilakukan. Tinjauan teori dipaparkan untuk dukungan digitalisasi perangkat pembelajaran mapel
fisika dengan pendekatan kooperatif tipe NHT (Numbered-Heads-Together) Kelas X kompetensi
dasar melakukan operasi vektor. Kerangka berpikir berisi konsep yang akan digunakan untuk
menjawab masalah yang diteliti, disusun berdasarkan kajian teoritis dan hasil penelitian yang
telah dilakukan.
2.1 Teori Belajar
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori
dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik
dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin dalam
Mayer, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan
perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa
stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada
pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang
13
diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah
stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang
diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya
perubahan tingkah laku tersebut.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses
berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya,
apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh siswa.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk
mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau
tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau
akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan
kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku
14
wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib
tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
2.2 Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
2.2.1 Pengertian KTSP
Menurut Mulyasa (2006:20-21) menyatakan bahwa KTSP adalah suatu ide tentang
pengembangan kurikulum yang diletakan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran
yakni sekolah dan satuan pendidikan. KTSP merupakan paradigma baru pengembangan
kurikulum, yang memberikan otonomi luas pada setiap satuan pendidikan, dan pelibatan
masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses belajar mengajar di sekolah. Otonomi diberikan
agar setiap satuan pendidikan dan sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola sumber daya,
sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan, serta lebih
tanggap terhadap kebutuhan setempat.
Sedangkan menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-
masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan,
struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus
(BSNP 2006:5).
2.2.2 Tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Secara umum tujuan diterapkannya KTSP adalah untuk memandirikan dan memberdayakan
satuan pendidikan melalui pemberian kewenangan (otonomi) kepada lembaga pendidikan dan
mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif dalam
pengembangan kurikulum.
15
Secara khusus tujuan diterapkannya KTSP adalah :
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui kemandirian dan inisiatif sekolah dalam
mengembangkan kurikulum, mengelola dan memberdayakan sumber daya yang tersedia.
b. b. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam pengembangan
kurikulum melalui pengambilan keputusan bersama.
c. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar satuan pendidikan tentang kualitas pendidikan
yang akan dicapai (Mulyasa 2006:22).
Sedangkan menurut Baedhowi (2007:7-8) menyatakan bahwa tujuan KTSP adalah untuk
mewujudkan kurikulum yang sesuai dengan kekhasan (karakteristik), kondisi, potensi
daerah, kebutuhan dan permasalahan daerah, satuan pendidikan dan peserta didik dengan
mengacu pada tujuan pendidikan nasional.
2.3 Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT)
Model NHT merupakan tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri atas empat tahap yang
digunakan untuk mereview fakta-fakta dan informasi dasar yang berfungsi untuk mengatur
interaksi siswa. Model pembelajaran ini juga dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang
tingkat kesulitannya terbatas.
Struktur NHT sering disebut berpikir secara kelompok. NHT digunakan untuk
melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan
mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut.
NHT sebagai model pembelajaran pada dasarnya merupakan sebuah variasi diskusi
kelompok. Adapun ciri khas dari NHT adalah guru hanya menunjuk seorang siswa yang
mewakili kelompoknya. Dalam menujuk siswa tersebut, guru tanpa memberi tahu terlebih
dahulu siapa yang akan mewakili kelompok tersebut. Menurut Muhammad Nur (2005:78),
16
dengan cara tersebut akan menjamin keterlibatan total semua siswa dan merupakan upaya yang
sangat baik untuk meningkatkan tanggung jawab individual dalam diskusi kelompok. Selain itu
model pembelajaran NHT memberi kesempatan kepada siswa untuk membagikan ide-ide dan
mempertimbangkan jawaban yang paling tepat.
Dengan adanya keterlibatan total semua siswa tentunya akan berdampak positif terhadap
motivasi belajar siswa. Siswa akan berusaha memahami konsep-konsep ataupun memecahkan
permasalahan yang disajikan oleh guru seperti yang diungkapkan oleh Ibrahim, dkk (2000:7)
bahwa dengan belajar kooperatif akan memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademik
penting lainnya serta akan memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun
kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademis.
Adapun tahapan dalam pembelajan NHT antara lain yaitu penomoran, mengajukan
pertanyaan, berfikir bersama, dan menjawab (Nur, 2005:79; Ibrahim, dkk, 2000:27-28; Nurhadi,
dkk, 2003:67).
Tahap 1: Penomoran
Guru membagi siswa ke dalam kelompok beranggotakan 3-5 orang dan setiap anggota kelompok
diberi nomor 1-5.
Tahap 2: Mengajukan pertanyaan
Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat bervariasi. Pertanyaan
dapat spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya atau bentuk arahan.
Tahap 3: Berpikir bersama,
Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan itu dan meyakinkan tiap anggota
dalam timnya mengetahui jawaban itu.
Tahap 4: Menjawab
17
Guru memanggil siswa dengan nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya sesuai
mengacungkan tangannya dan mencoba untuk menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas.
Adapun langkah-langkah pembelajaran NHT adalah:
a. Pendahuluan
Fase 1: Persiapan
1) Guru melakukan apersepsi
2) Guru menjelaskan tentang model pembelajaran NHT
3) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran
4) Guru memberikan motivasi
b. Kegiatan inti
Fase 2: Pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe NHT Tahap pertama
1) Penomoran: Guru membagi siswa dalam kelompok yang
beranggotakan 4 orang dan kepada setiap anggota diberi nomor 1-4.
2) Siswa bergabung dengan anggotanya masing-masing
Tahap kedua
Mengajukan pertanyaan: Guru mengajukan pertanyaan berupa tugas untuk mengerjakan soal-
soal di media pembelajaran.
Tahap ketiga
Berpikir bersama: Siswa berpikir bersama dan menyatukan pendapatnya terhadap jawaban
pertanyaan dalam media pembelajaran tersebut dan meyakinkan tiap anggota dalam timnya
mengetahui jawaban tersebut
Tahap keempat
18
1) Menjawab: Guru memanggil siswa dengan nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya
sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba untuk menjawab pertanyaan atau
mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya untuk seluruh kelas. Kelompok lain diberi
kesempatan untuk berpendapat dan bertanya terhadap hasil diskusi kelompok tersebut.
2) Guru mengamati hasil yang diperoleh masing-masing kelompok dan memberikan semangat
bagi kelompok yang belum berhasil dengan baik.
Guru memberikan soal latihan sebagai pemantapan terhadap hasil dari pengerjaan pertanyaan di
media pembelajaran.
c. Penutup
Fase 3: penutup
1) Siswa bersama guru menyimpulkan materi yang telah diajarkan.
2) Guru memberikan tugas rumah
3) Guru mengingatkan siswa untuk mempelajari kembali materi yang telah diajarkan dan materi
selanjutnya.
2.4 Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional merupakan pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru.
Pada umumnya yang diterapkan yaitu metode ekspositori. Metode ekspositori adalah cara
penyampaian materi pelajaran dari seorang guru kepada siswa di dalam kelas dengan cara
berbicara di awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal disertai tanya jawab (Suyitno,
2004:4)
Dalam metode ekspositori siswa tidak hanya mendengar dan membuat catatan. Guru bersama
siswa berlatih menyelesaikan soal latihan dan siswa bertanya kalau belum mengerti. Guru dapat
menjelaskan pekerjaan siswa secara individual atau klasikal. Siswa mengerjakan latihan soal
19
sendiri, mungkin juga saling bertanya dan mengerjakannya bersama dengan temannya, atau
disuruh membuatnya di papan tulis (Suherman, 2003).
Kelebihan dari metode ekspositori adalah:
a. Dapat menampung kelas besar, setiap siswa mempunyai kesempatan aktif yang sama.
b. Bahan pelajaran diberikan secara urut oleh guru.
c. Guru dapat menentukan terhadap hal-hal yang dianggap penting.
d. Guru dapat memberikan penjelasan-penjelasan secara individual maupun klasikal.
Kekurangan dari metode ekspositori adalah:
a. Pada metode ini tidak menekankan penonjolan aktivitas fisik seperti aktivitas mental siswa.
b. Kegiatan terpusat pada guru sebagai pemberi informasi (bahan pelajaran).
c. Pengetahuan yang didapat dengan metode ekspositori cepat hilang.
d. Kepadatan konsep dan aturan-aturan yang diberikan dapat berakibat siswa tidak menguasai
bahan pelajaran yang diberikan.
2.5 Belajar Mandiri
Menurut Candy (1975), belajar mandiri dapat dipandang baik sebagai proses dan juga
tujuan. Dengan kata lain, belajar mandiri dapat dipandang sebagai metode belajar dan juga
karakteristik pebelajar itu sendiri. Belajar mandiri sebagai tujuan mengandung makna bahwa
setelah mengikuti suatu pembelajaran tertentu pebelajar diharapkan menjadi seorang pebelajar
mandiri. Sedangkan belajar mandiri sebagai proses mengandung makna bahwa pebelajar
mempunyai tanggung jawab yang besar dalam mencapai tujuan pembelajaran tertentu tanpa
terlalu tergantung pada guru/tutor (mandiri).Candy membedakan antara belajar mandiri sebagai
modus dalam mengorganisasikan pembelajaran dalam seting formal (learner-control) dengan
belajar mandiri sebagai individualisasi (autodidaxy). Konsep pertama, menjelaskan konsep
20
belajar mandiri sebagai sistem belajar dalam seting formal. Sedangkan konsep kedua,
menjelaskan belajar mandiri sebagai belajar sendiri secara bebas (otodidak). Jadi, belajar mandiri
tidak sama dengan belajar otodidak (belajar sendiri). Belajar mandiri sebagai proses
memfokuskan diri pada karakteristik transaksi belajar-mengajar yang melibatkan “needs
assessment”, sistem evaluasi, sumber-sumber belajar, peran dan keterampilan fasilitator/tutor.
Dodds (1983), menjelaskan bahwa belajar mandiri adalah sistem yang memungkinkan siswa
belajar secara mandiri dari bahan cetak, siaran ataupun bahan pra-rekam yang telah terlebih
dahulu disiapkan; istilah mandiri menegaskan bahwa kendali belajar serta keluwesan waktu
maupun tempat belajar terletak pada siswa yang belajar.
Media pembelajaran salah satu bahan yang dapat digunakan pada pembelajaran mandiri.
2.6 Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium.
Secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Dengan demikian, media adalah perantara atau
pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan (Sadiman, dkk, 2002:6) Pembelajaran adalah
usaha-usaha belajar agar terjadi proses belajar dalam diri siswa (Sadiman dkk, 2007:7). Jadi
media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menanggung pikiran, perasaan, perhatian
dan minat siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi.
Penggunan media pada waktu berlangsung pengajaran setidaknya digunakan guru pada
situasi berikut :
a. Bahan pengajaran yang dijelaskan guru kurang dipahami siswa.
b. Terbatasnya sumber pengajaran yang tidak semua sekolah mempunyai buku sumber atau
tidak semua bahan pengajaran dalam buku sumber tersebut dalam bentuk media.
21
c. Perhatian siswa terhadap pengajaran berkurang akibat kebosanan mendengarkan uraian
guru.
Gerlach dan Ely (1971) dalam Arsyad (2003:11) mengemukakan tiga ciri media yang
merupakan petunjuk mengapa media digunakan dan apa-apa saja yang dapat dilakukan media
yang mungkin guru tidak mampu (kurang efisien) melakukannya, yaitu (Arsyad, 2003:11):
a. Ciri Fiksatif (Fixative Property)
Media memungkinkan suatu rekaman kejadian atau objek yang terjadi pada suatu waktu
tertentu ditransportasikan tanpa mengenal waktu.
b. Ciri Manipulatif (Manipulative Property)
Media memanipulasi kejadian atau objek dengan jalan mengedit hasil rekaman yang dapat
mengenal waktu.
c. Ciri Distributif (Distributive Property)
Media memungkinkan suatu objek atau kejadian ditransportasikan melaui ruang dan secara
bersamaan kejadian tersebut dijadikan tersebut disajikan kepada sejumlah siswa dengan stimulus
pengalamn yang relatif sama mengenai kejadian itu.
Untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam proses belajar mengajar di kelas perlu
diperhatikan dua komponen utama yaitu metode mengajar dan media pembelajaran. Kedua
komponen ini saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Penggunaan dan pemilihan salah satu
metode mengajar tertentu mempunyai konsekuensi pada penggunaan jenis media pembelajaran
yang sesuai. Fungsi media dalam proses belajar mengajar yaitu untuk meningkatkan rangsangan
peserta didik dalam kegiatan belajar. Ali, M (2005) dalam Seminar Hasil penelitiannya
menyatakan bahwa penggunaan media pembelajaran berbantuan komputer mempunyai pengaruh
yang signifikan terhadap daya tarik siswa untuk mempelajari kompetensi yang diajarkan.
22
Dengan demikian, adanya interaksi antara pebelajar dengan media merupakan wujud nyata
dari tindak belajar. Sementara, bentuk belajar mengajar merupakan salah satu komponen dalam
strategi penyampaian, apakah pebelajar di kelompokkan ke dalam kelompok besar, kecil,
perseorangan atau mandiri. Ciri-ciri umum media pembelajaran yaitu:
1. Media pembelajaran memiliki pengertian fisik yang dewasa ini dikenal sebagai hardware
(perangkat keras), yaitu suatu benda yang dapat dilihat, didengar, atau diraba dengan
panca indera.
2. Media pembelajaran memiliki pengertian nonfisik yang dikenal sebagai software
(perangkat lunak) yaitu kandungan pesan yang terdapat dalam perangkat keras yang
merupakan isi yang ingin disampaikan kepada siswa.
3. Penekanan media pembelajaran terdapat pada visual dan audio.
4. Media pembelajaran memiliki pangertian alat bantu pada proses belajar baik di dalam
maupun di luar kelas.
5. Media pembelajaran digunakan dalam rangka momunikasi dan interaksi guru dan siswa
dalam proses pembelajaran.
6. Media pembelajaran dapat digunakan secara masal (misalnya radio, televisi), kelompok
besar dan kelompok kecil (misalnya film, slide, video, OHP), atau perorangan (misalnya:
modul, komputer, radio tape/kaset, video recorder).
7. Sikap, perbuatan, organisasi, strategi, dan manajemen yang berhubungan dengan
penerapan suatu ilmu.
Tresna dalam Ali (2005) menjelaskan bahwa peranan media dalam pembelajaran
mempunyai pengaruh sebagai berikut: 1) Media dapat menyiarkan informasi yang penting; 2)
Media dapat digunakan untuk memotivasi pebelajar pada awal kuliah; 3) Media dapat menambah
23
pengayaan dalam belajar; 4) Media dapat menunjukkan hubungan-hubungan; 5) Media dapat
menyajikan pengalaman-pengalaman yang tidak dapat ditunjukkan oleh dosen; 6) Media dapat
membantu belajar perorangan; dan 7) Media dapat mendekatkan hal-hal yang ada di luar ke
dalam kelas. Sedangkan Latuheru dalam Ali (2005) berpendapat bahwa peran media dalam
pembelajaran adalah: 1) membangkitkan motivasi belajar pebelajar; 2) mengulang apa yang telah
dipelajari pebelajar; 3) merangsang pebelajar untuk belajar penuh semangat; 4) mengaktifkan
respon pebelajar; dan 5) segera diperoleh umpan balik dari pebelajar.
Dalam kaitan ini, maka pembahasan akan dititikberatkan pada media pembelajaran dengan
menggunakan komputer. Sebagai bagian dari sistem pembelajaran, media mempunyai nilai-nilai
praktis berupa kemampuan atau keterampilan untuk: 1) membuat konsep yang abstrak menjadi
konkrit, misalnya Konsep fluks yang terjadi pada Transformator dan sistem peredaran darah
manusia; 2) membawa obyek yang sukar didapat atau berbahaya ke dalam lingkungan belajar,
seperti binatang buas; 3) menampilkan obyek yang terlalu besar ke dalam kelas, seperti candi,
pasar; 4) menampilkan obyek yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, seperti mikro
organisme; 5) memungkinkan pebelajar mampu berinteraksi dengan lingkungan (Sadiman,
2002).
2.6.1.Fungsi Media Pembelajaran
Pada hakekatnya media pembelajaran berfungsi sebagai pengantara pesan dari pengirim
(sender) atau komunikator kepada penerima pesan (receiver) atau komunikan. Karena itu ia
hanya merupakan alat bantu dalam pengajaran sehingga dapat mempertinggi daya serap (retensi)
belajar pebelajar. Berpijak pada fungsinya ini maka dalam konteks pembelajaran media
mempunyai multi fungsi. Dan dalam kaitan dengan itu ada banyak orang (ahli) yang mencoba
24
melihat atau merumuskan beberapa fungsi dari media, diantaranya adalah McKow, Rowntree,
dan Gerlach dan Ely (dalam Punadji & Sihkabuden, 2005: 19-20).
Menurut McKown media pembelajaran mempunyai empat (4) fungsi yakni:
a. mengkongkretkan ide yang abstrak dan mempraktiskan teori yang rumit,
b. membangkitkan motivasi belajar siswa, sebab penggunaan media pembelajaran menjadi lebih
menarik dan memusatkan perhatian pebelajar,
c. memberikan kejelasan agar pengetahuan dan pengalaman belajar dapat lebih jelas dan lebih
mudah dimengerti,
d. memberikan stimulasi belajar, terutama rasa ingin tahun pebelajar.
Fungsi pertama berkaitan dengan efektivitas, sedangkan fungsi kedua sampai keempat
lebih menekankan aspek efisiensi dan kemarikan media.
Hampir sama dengan McKown, Rowntree melihat enam fungsi dari media yakni:
a. membangkitkan motivasi belajar,
b. mengulang apa yang telah dipelajari,
c. menyediakan stimulus belajar,
d. mengaktifkan respon murid, memberi umpan balik dengan segera (feedback soon), dan
e. menggalakan latihan yang serasi.
Sedangkan menurut Gerlach dan Ely fungsi media ada tiga yakni:
a. fungsi fiktatif, yakni fungsi yang berkenaan dengan kemampuan media untuk menangkap,
menyimpan, menampilkan kembali suatu objek atau kejadian,
b. Fungsi manipulatif yakni fungsi yang berkenaan dengan kemampuan media untuk
menampilkan kembali suatu objek atau peristiwa/kejadian dengan berbagai macam cara
sesuai dengan keperluan,
25
c. Fungsi distributif maksudnya dalam sekali penampilan suatu objek atau kejadian dapat
menjangkau pengamat yang sangat besar dalam kawasan yang sangat luas.
2.6.2. Penggunaan Media Pembelajaran
Penggunaan media pengajaran dapat membantu pencapaian keberhasilan belajar.
Ditegaskan oleh Danim (1995:1) bahwa hasil penelitian telah banyak membuktikan efektivitas
penggunaan alat bantu atau media dalam proses belajar-mengajar di kelas, terutama dalam hal
peningkatan prestasi siswa. Terbatasnya media yang dipergunakan dalam kelas diduga
merupakan salah satu penyebab lemahnya mutu belajar siswa.
Dengan demikian penggunaan media dalam pengajaran di kelas merupakan sebuah
kebutuhan yang tidak dapat diabaikan. Hal ini dapat dipahami mengingat proses belajar yang
dialami siswa tertumpu pada berbagai kegiatan menambah ilmu dan wawasan untuk bekal hidup
di masa sekarang dan masa akan datang. Salah satu upaya yang harus ditempuh adalah
bagaimana menciptakan situasi belajar yang memungkinkan terjadinya proses pengalaman
belajar pada diri siswa dengan menggerakkan segala sumber belajar dan cara belajar yang efektif
dan efisien (Rusyan dan Daryani, 1993:3-4). Dalam hal ini, media pengajaran merupakan salah
satu pendukung yang efektif dalam membantu terjadinya proses belajar.
Pada proses pembelajaran, media pengajaran merupakan wadah dan penyalur pesan dari
sumber pesan, dalam hal ini guru, kepada penerima pesan, dalam hal ini siswa. Dalam batasan
yang lebih luas, Miarso (1986, 105) memberikan batasan media pengajaran sebagai segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan
siswa sehingga mendorong terjadinya proses belajar pada diri siswa.Ely (dalam Danim, 1994:13)
menyebutkan manfaat media dalam pengajaran adalah sebagai berikut:
26
a. Meningkatkan mutu pendidikan dengan cara meningkatkan kecepatan belajar (rate of
learning), membantu guru untuk menggunakan waktu belajar siswa secara baik,
mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi dan membuat aktivitas guru lebih
terarah untuk meningkatkan semangat belajar
b. Memberi kemungkinan pendidikan yang sifatnya lebih individual dengan jalan
memperkecil atau mengurangi kontrol guru yang tradisional dan kaku, memberi
kesempatan luas kepada anak untuk berkembang menurut kemampuannya serta
memungkinkan mereka belajar menurut cara yang dikehendakinya.
c. Memberi dasar pengajaran yang lebih ilmiah dengan jalan menyajikan/merencanakan
program pengajaran yang logis dan sistematis, mengembangkan kegiatan pengajaran
melalui penelitian, baik sebagai pelengkap maupun sebagai terapan.
d. Pengajaran dapat dilakukan secara mantap karena meningkatnya kemampuan manusia
untuk memanfaatkan media komunikasi, informasi dan data secara lebih konkrit dan
rasional.
e. Meningkatkan terwujudnya kedekatan belajar (immediacy learning) karena media
pengajaran dapat menghilangkan atau mengurangi jurang pemisah antara kenyataan di
luar kelas dan di dalam kelas serta memberikan pengetahuan langsung.
f. Memberikan penyajian pendidikan lebih luas, terutama melalui media massa, dengan
jalan memanfaatkan secara bersama dan lebih luas peristiwa-peristiwa langka dan
menyajikan informasi yang tidak terlalu menekankan batas ruang dan waktu.
Media pengajaran merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan dalam rangka
menyukseskan program belajar siswa agar dapat tercapai perubahan tingkah laku yang
27
diharapkan. Konsekuensinya, guru hendaknya memiliki peran yang tidak terbatas dalam
menciptakan, menggunakan maupun mengembangkan media pengajaran.
Konsep penggunaan multimedia didasarkan pada pendekatan sistem (system aproach) yang
mulai diterapkan dalam tradisi pendidikan tahun 1965-1970 yakni program pembelajaran
berdasarkan kebutuhan dan karakteristik siswa serta diarahkan kepada perubaan tingkah laku
siswa sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Mengingat karakteristik siswa itu beragam, maka
hal ini mendorong penggunaan multimedia dalam pembelajaran (Punadji & Sihkabuden,
2005:10).
Evaluasi media melibatkan ahli di bidang media, baik ahli isi bidang studi maupun ahli
penyampaian pesan media dan juga ahli perancang media. Hal ini bermaksud agar penggunaan
media dapat dilihat keefektifan, efisiensi dan kemenarikan pembelajaran (Suparman, 1995).
Keefektifan maksudnya sejauh mana intervensi media memenuhi tujuan atau hasil yang
diinginkan; efisiensi maksudnya pencapaian tujuan secara ekonomis dalam pemakaian sumber
atau dalam waktu yang singkat dapat mencapai hasil yang maksimal (Suparman,1995: 138).
Sedangkan kemenarikan maksudnya penggunaan media dapat membuat pebelajar tetap tertarik
dan senang untuk terus menerus belajar. Pada ketiga aspek inilah aspek psikologis dilibatkan
dalam penggunaan media pembelajaran.
Ketiga aspek tersebut perlu dievaluasi dalam penggunaan media. Sehingga daripadanya
mungkin masih perlu direvisi sebelum menyajikan bentuk finalnya untuk meningkatkan
kualitasnya. Karena itu menurut Suparman, evaluasi formatif merupakan suatu keharusan dalam
penggunaan media siswan (Suparman: 1995:211). Evaluasi formatif bertujuan untuk menentukan
apa yang harus ditingkatkan atau direvisi agar produk tersebut lebih efektif dan efisien.
28
2.7 Evaluasi Media Pembelajaran
Evaluasi merupakan bagian integral dari seluruh proses penggunaan media pembelajaran.
Evaluasi merupakan suatu tahap yang mesti dilewati/dilakukan. Ia adalah proses penentuan
kesesuaian pembelajaran dan belajar (Seel dan Richey, 1994: 138).
Kalau belajar diartikan sebagai proses interaksi dengan lingkungan sehingga terjadi
perubahan tingkah laku pengetahauan (kognitif), ketrampilan (prikomotorik) atau sikap (afektif)
maka belajar tidak harus dipersyaratkan dengan adanya guru yang mengajar. Interaksi dengan
media (sebagai salah satu lingkungan belajar) dapat menjadi sumber belajar bagi siapa saja
(Sadiman, 2007:1-3). Dan penilaian atau evaluasi media pembelajaran bertujuan untuk melihat
apakah penggunaan media itu bisa membentuk atau mempengaruhi tingkah laku pebelajar atau
tidak.
Dalam melakukan evaluasi terhadap media pembelajaran, aspek psikologis perlu
dipertibangkan. Sebab aspek psikologis inilah yang membuat orang memiliki gaya belajar
berbeda. Menurut Michael Gardner (dalam Syukur, 2005: 22) ada tiga gaya belajar yang dimiliki
manusia yakni: gaya belajar visual (belajar dengan cara melihat), gaya belajar audiotorial
(belajar dengan cara mendengar) dan gaya belajar kinestetik (belajar dengan cara bergerak,
bekerja dan menyentuh).
Dengan demikian, untuk melakukan evaluasi terhadap media pembelajaran, hal-hal
tersebut turut dipertimbangkan. Dibawah ini disebutkan beberapa rambu-rambu yang perlu
diperhatikan apabila orang melakukan evaluasi terhadap media pembelajaran.
- relevan dengan tujuan pendidikan atau pembelajaran
- persesuaian dengan waktu, tempat, alat-alat yang tersedia, dan tugas pendidik,
- persesuaian dengan jenis kegiatan yang tercakup dalam pendidikan,
29
- menarik perhatian peserta didik,
- maksudnya harus dapat dipahami oleh peserta didik,
- sesuai dengan kecakapan dan pribadi pendidik yang bersangkutan.
- kesesuaian dengan pengalaman atau tingkat belajar yang dirumuskan dalam syllabus
- keaktualan (tidak ketinggalan zaman),
- cakupan isi materi atau pesan yang ingin disampaikan
- skala dan ukuran
- bebas dari bias ras, suku, gender, dll.
Secara singkat, Walker dan Hess (dalam Arsyad, 2007: 175-176) menyebutkan tiga
kriteria utama dalam menilai media pembelajaran (perangkat lunak) yakni kualitas isi dan tujuan,
kualitas instruksional, dan kualitas teknis. Kualitas isi dan tujuan berkaitan dengan ketepatan,
kepentingan, kelengkapan, keseimbangan, minat/perhatian, keadilan, kesesuaian dengan situasi
siswa; Kualitas instruksional berkaitan dengan pemberian kesempatan belajar dan dan bantuan
belajar kepada siswa, kualitas memotivasi, fleksibilitas instruksional, hubungan dengan program
pembelajaran lainnya, kualitas sosial interaksi instruksional, kualitas tes dan penilaian, dapat
memberi dampak kepada siswa, dapat memberi dampak bagi guru dan pembelajarannya; dan
kualitas teknis berkaitan dengan keterbacaan, mudah digunakan, kualitas tampilan/tayangan,
kualitas penanganan jawaban, kualitas pengelolaan program dan kualitas pendokumentasian.
Evaluasi terhadap media sebelum digunakan secara luas. Penilaian ini dimaksudkan agar
untuk mengetahui apakah media yang dibuat dapat mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
atau tidak. Untuk merealisaikan hal ini ada dua macam bentuk pengujicobaan media yakni
evaluasi formatif dan sumatif. Pertama, evaluasi formatif. Evalusia formatif adalah proses
mengumpulkan data tentang efektivitas dan efisiensi bahan-bahan pembelajaran (termasuk
30
didalamnya media), tujuannya dalah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Data-data
tersebut dimaksud untuk memperbaiki dan menyempurnakan media yang bersangkutan lebih
efektif dan lebih efisien. Kedua, evaluasi sumatif. Dalam bentuk finalnya, setelah diperbaiki dan
disempurnakan perlu dikumpulkan data. Hal itu untuk menentukan apakah media yang dibuat
patut digunakan dalam situasi-situasi tertentu. Selain itu juga bertujuan untuk menentukan
apakah media tersebut benar-benar efektif seperti yang dilaporkan.
Kegiatan evaluasi dalam pengembangan media pembelajaran akan dititikberatkan pada
kegiatan evaluasi formatif. Adanya komponen evaluasi dalam proses pengembangan media
pembelajaran membedakan prosedur emperis ini dari pendekatan-pendekatan filosofis dan
teoretis. Efektivitas dan efisiensi media yang dikembangkan tidak hanya bersifat teoretis tetapi
benar-benar telah dibuktikan.
2.7.1. Tahap Evaluasi
Ada tiga tahap evaluasi formatif yaitu evaluasi satu lawan satu (one to one), evaluasi
kelompok kecil (small group evaluation), dan evaluasi lapangan (field evaluation).
2.7.1.1.Evaluasi Satu lawan Satu (One to One)
Pada tahap ini seorang designer memiilih beberapa orang siswa (tidak lebih dari tiga
orang) yang dapat mewakili populasi target dari media yang dibuat. Sajikan media
tersebut kepada mereka secara individual. Kalau media itu didesain untuk belajar mandiri,
biarkan siswa mempelajarinya, sementara pengembang (developer) mengamatinya. Kedua orang
siswa yang telah dipilih tersebut hendaknya satu orang dari populasi target yang bermemampuan
yang umumnya sedikit di bawah rata-rata dan satu orang lagi diatas rata-rata. Dengan kata
lain, dalam menentukan kelompok ini variasi kemampuan akademis populasi target
dipertimbangkan.
31
Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
a. Jelaskan kepada siswa bahwa designer sedang merancang suatu media baru dan ingin
mengetahui bagaimana reaksi siswa terhadap media yang sedang dibuat.
b. Menjelaskan kepada siswa bahwa apabila nanti siswa berbuat salah, hal itu bukanlah karena
kekurangan siswa, tetapi kekurangsempurnaan media tersebut, sehingga perlu diperbaiki.
c. Diusahakan agar siswa bersikap rileks dan bebas mengemukakan pendapatnya tentang
media tersebut.
d. Memberikan tes awal (pretest) untuk mengetahui sejauh mana kemampuan dan pengetahuan
siswa terhadap topik yang dimediakan.
e. Menyajikan media dan mencatat lamanya waktu yang dibutuhkan, termasuk siswa untuk
menyajikan/mempelajari media tersebut, catat pula bagaimana reaksi siswa dan bagian-
bagian yang sulit untuk dipahami, apakah contoh-contohnya, penjelasannya, petunjuk-
petunjuknya, ataukah yang lain.
f. Memberikan tes (posttest) untuk mengukur keberhasilan media tersebut
g. Analisis informasi yang terkumpul
Beberapa informasi yang dapat diperoleh melalui kegiatan ini antara lain kesalahan
pemilihan kata atau uraian-uraian yang tidak jelas, kesalahan dalam memilih lambang-lambang
visual, kurangnya contoh, terlalu banyak atau sedikitnya materi, urutan penyajian yang keliru,
pertanyaan atau petunjuk kurang jelas, tujuan tak sesuai dengan materi, dan sebagainya.
Jumlah dua orang untuk kegiatan ini adalah jumlah minimal. Setelah selesai, dapat dicobakan
kepada beberapa orang siswa yang lain dengan prosedur yang sama.Selain itu dapat juga
dicobakan kepada ahli bidang studi (content expert). Mereka seringkali memberikan umpan balik
32
(feedback) yang bermanfaat. Atas dasar atau informasi dari kegiatan-kegiatan tersebut akhirnya
revisi media dilakukan sebelum dicobakan.
2.7.1.2. Evaluasi Kelompok Kecil (Small Group Evaluation)
Pada tahap ini media perlu dicobakan kepada 10-12 orang siswa yang dapat mewakili
populasi target. Jumlah 10 merupakan jumlah minimal, sebab kalau kurang dari jumlah
tersebut data yang diperoleh kurang dapat menggambarkan populasi target. Sabaliknya jika
lebih dari 12, data atau informasi melebihi yang diperlukan, akbibatnya kurang bermanfaat
untuk dianalisis dalam kelompok kecil.
Siswa yang dipilih dalam kegiatan ini hendaknya mencerminkan karakteristik
populasi.Usahakan sampel tersebut terdiri dari siswa-siswa yang kurang pandai, sedang, dan
pandai, laki-laki dan perempuan, berbagai usia dan latar belakang.
Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut:
a. Designer bahwa media tersebut berada pada tahap formatif dan memerlukan umpan balik
(feedback) untuk menyempurnakannya.
b. Memberikan tes awal (pretest) untuk mengukur kemampuan dan pengetahuan siswa tentang
topik yang disediakan. Sajikan media atau meminta kepada siswa untuk mempelajari media
tersebut.
c. Designer mencatat waktu yang diperlukan dan semua bentuk umpan balik (feedback) baik
langsung maupun tak langsung selama penyajian media.
d. Memberikan tes (posttest) untuk mengetahui sejauh mana tujuan dapat dicapai.
e. Memberikan atau membagikan kuesioner dan meminta siswa untuk mengisinya. Apabila
memungkinkan, adakan diskusi yang mendalam dengan beberapa siswa. Beberapa pertanyan
yang perlu didiskusikan antar lain: (a) menarik tidaknya media tersebut, apa sebabnya, (b)
33
mengerti tidaknya siswa akan pesan yang disampaikan, (c) konsistensi tujuan dan meteri
program, cukup tidaknya latihan dan contoh yang diberikan. Apabila pertanyan tersebut telah
ditanyakan dalam kuesioner, informasi yang lebih detail dan jauh dapat dicari lewat diskusi.
2.7.1.3. Evaluasi Lapangan (Field Evaluation)
Evaluasi lapangan adalah tahap akhir dari evaluasi formatif yang perlu dilakukan. Evaluasi
lapangan diusahakan situasinya semirip mungkin dengan situasi sebenarnya. Setelah melalui dua
tahap evaluasi di atas tentulah media yang dibuat sudah mendekati kesempurnaan. Namun
dengan hal itu masih harus dibuktikan. Melalui evaluasi lapangan inilah, kebolehan media yang
kita buat itu diuji. Dalam melakukan evaluasi lapangan seorang designer memilih sekitar 30
orang siswa sambil memperhatikan beragam karakteristik seperti kepandaian, kelas sosial, latar
belakang, jenis kelamin, usia, kemajuan belajar, dsbnya sesuai dengan karakteristik sasaran.
Satu hal yang perlu dihindari baik untuk dua tahap evaluasi terdahulu dan terutama untuk
evaluasi lapangan adalah apa yang disebut “efek halo” (hallo effect). Situasi seperti ini muncul
apabila media dicobakan pada kelompok responden yang salah. Maksudnya kita dapat membuat
program film bingkai atau transparansi OHP dan film kepada siswa-siswa yang belum pernah
memperoleh sajian dengan transparansi atau melihat film. Pada situasi seperti ini, informasi yang
diperoleh banyak dipengaruhi oleh sifat kebaruan tersebut sehingga kurang dapat dipercaya.
Prosedur pelaksanaannya sebagai berikut:
a. Mula-mula designer memilih siwa-siwa yang benar-benar mewakili populasi target, kira-kira
30 orang siswa. Usahakan agar mereka mewakili berbagai tingkat kemampuan dan
ketramnpiulan siswa yang ada. Tes kemampuan awal (pretest) perlu dilakukan jika
karakteristik siswa belum diketahui. Atas dasar itu pemilihan siswa dilakukan. Akan tetapi,
34
jika designer benar-benar mengenal siswa-siswa yang akan dipakai dalam uji coba, maka
tes itu tidak pelu dilakukan.
b. Designer menjelaskan kepada siswa maksud uji lapangan tersebut dan apa yang harapkan
designer pada akhir kegiatan. Pada umumnya siswa tak terbiasa untuk mengkritik bahan-
bahan atau media yang diberikan. Hal itu karena siswa beranggapan sudah benar dan efektif.
Usahakan siswa bersikap rileks dan berani mengupayakan penilaian. Jauhkan sedapat
mungkin perasaan bahwa uji coba menguji kemampuan siswa.
c. Memberikan tes awal untuk mengukur sejauh mana pengetahuan dan keteramnpilan siswa
terhdap topik yang dimediakan.
d. Menyajikan media tersebut kepada siswa. Bentuk penyajiannya tentu sesuai dengan rencana
pembuatannya; untuk prestasi kelompok besar, untuk kelompok kecil atau belajar mandiri.
e. Designer mencatat semua respon yang muncul dari sisiwa selama kajian. Begitu pula,
waktu yang diperlukan.
f. Berikan tes untuk mengukur seberapa jauh pencapaian hasil belajar siswa setelah sajian
media tersebut. Hasil tes ini (posttest) dibandingkan dengan hasil tes pertama (pretest) akan
menunjukan seberapa efektif dan efisien dari media yang dibuat.
g. Memberikan kuesioner untuk mengetahui pendapat atau sikap siswa terhadap media tersebut
dan sajian yang diterimanya.
h. Designer meringkas dan menganalisis data-data yang telah diperoleh dengan kegiatan-
kegiatan tadi. Hal ini meliputi kemampuan awal, skor test awal dan tes akhir, waktu yag
diperlukan, perbaikan bagian-bagian yang sulit, dan pengayaan yang diperlukan, kecepatan
sajian dan sebagainya.
35
Setelah menempuh ketiga tahap ini dapatlah dipastikan kebenaran efektivitas dan
efisiensi media dibuat.
2.8 Kerangka Berpikir
Pembelajaran fisika di SMA Negeri 1 dalamKayen masih menggunakan metode ceramah.
Evaluasi berupa ulangan harian menghasilkan hasil belajar yang sebagian besar siswa belum
mencapai kriteria ketuntasan minimal. Hasil akademik ini tidak memuaskan bagi siswa juga
guru. Dari metode ceramah ini akan dikembangkan dengan cara menggunakan media
pembelajaran. Diharapkan dengan media pembelajaran siswa lebih antusias dalam belajar fisika
khususnya dalam melakukan operasi vektor. Di media ini didesain sedemikian akan menciptakan
proses belajar yang kooperatif.
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga
tujuan pembelajaran penting. Menurut Depdiknas, 2005 : 31 tujuan pertama pembelajaran
kooperatif, yaitu meningkatkan hasil akademik, dengan meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-
tugas akademiknya. Siswa yang lebih mampu akan menjadi nara sumber bagi siswa yang kurang
mampu, yang memiliki orientasi dan bahasa yang sama. Sedangkan tujuan yang kedua,
pembelajaran kooperatif memberi peluang agar siswa dapat menerima teman-temannya yang
mempunyai berbagai perbedaan latar belajar. Perbedaan tersebut antara lain perbedaan suku,
agama, kemampuan akademik, dan tingkat sosial. Tujuan penting ketiga dari pembelajaran
kooperatif ialah untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Keterampilan sosial yang
dimaksud antara lain, berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain, memancing
teman untuk bertanya, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok dan
sebagainya. Suatu sistem belajar mengajar yang menekankan keaktifan siswa secara fisik, mental
36
intelektual dan emosional guna memperoleh hasil belajar yang berupa perpaduan antara aspek
kognitif, afektif dan psikomotor.
Penggunaan media interaktif sebagai media pembelajaran diharapkan mampu menarik
minat siswa. Karena sebenarnya tolak ukur keberhasilan siswa dalam mengikuti suatu proses
pembelajaran salah satunya dengan melihat prestasi belajar. Dengan melihat prestasi belajar
siswa dapat diketahui seberapa besar pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran yang telah
disampaikan.
Model pengembangan perangkat seperti yang disarankan oleh Thiagarajan, (1974) adalah
model 4-D, yang terdiri dari 4 tahap pengembangan, yaitu define, design, develop, dan
dessimenate. Model pengembangan Four-D (4-D)
seperti pada gambar berikut ini.
Gambar 1. Model pengembangan Four-D, Thiagarajan, 1974
37
Berikut uraian ke-empat tahap beserta komponen-komponen model 4-D oleh Thiagarajan.
a) Tahap pendefinisian (define)
Tujuan tahap ini adalah menetapkan dan mendefinisikan syarat-syarat pembelajaran.
Pada tahap awal ini dilakukan analisis untuk menentukan tujuan pembelajaran dan batasan
materi yang akan dikembangkan. Tahap pendefinisian terdiri dari empat langkah analisis, yaitu:
1. Analisis awal-akhir. Langkah ini digunakan untuk menentukan masalah mendasar yang
dihadapi siswa. Dalam analisis awal akhir diperlukan pertimbangan berbagai alternatif
pengembangan perangkat pembelajaran.
2. Analisis siswa. Langkah ini dilakukan untuk menelaah siswa. Dilakukan identifikasi terhadap
karakteristik siswa yang sesuai dengan rancangan dan pengembangan pembelajaran.
3. Analisis tugas dan konsep. Analisis tugas dan konsep adalah kumpulan prosedur untuk
menentukan isi dalam satuan pembelajaran, analisis tugas dilakukan untuk merinci isi materi
ajar dalam bentuk garis besar, analisis ini mencakup: (1) analisis struktur isi, (2) analisis
prosedur, (3) analisis proses informasi, (4) analisis konsep, dan (5) perumusan tujuan.
4. Analisis tujuan. Analisis yang dilakukan untuk menentukan atau merumuskan tujuan-tujuan
pembelajaran yang akan dicapai oleh mahasiswa.
b) Tahap perancangan (design)
Tahap ini bertujuan untuk merancang digitalisasi perangkat pembelajaran. Tahap ini
terdiri dari tiga langkah, sebagai berikut.
1. Penyusunan tes acuan patokan, langkah ini merupakan penghubung antara tahap define dan
design. Tes acuan patokan mengkonversi tujuan-tujuan khusus ke dalam garis besar materi
pembelajaran.
38
2. Pemilihan media adalah langkah yang dilakukan untuk menentukan media yang tepat dengan
penyajian materi pelajaran.
3. Pemilihan format adalah langkah yang berkaitan erat dengan pemilihan media.
c) Tahap pengembangan (develop)
Tujuan tahap ini adalah untuk menghasilkan perangkat pembelajaran yang sudah direvisi
berdasarkan masukan dari para pakar.
1. Validasi perangkat oleh pakar diikuti dengan revisi.
2. Uji coba terbatas, hasilnya sebagai dasar revisi.
3. Uji coba lebih lanjut pada kelas yang sesungguhnya
d) Tahap penyebaran (disseminate)
Tahap ini merupakan tahap penggunaan perangkat yang telah dikembangkan pada skala
yang luas dan bertujuan untuk menguji efektivitas penggunaan perangkat hasil pengembangan.
2.9 Hipotesis
a. Diduga validitas Pengembangan Digitalisasi Perangkat Pembelajaran mapel fisika dengan
pendekatan kooperatif tipe NHT (Numbered-Heads-Together) Kelas X kompetensi dasar
melakukan operasi vektor di SMA Negeri 1 Kayen dinyatakan valid.
b. Diduga hasil belajar siswa dalam proses pembelajaran mapel fisika dengan pendekatan
kooperatif tipe NHT (Numbered-Heads-Together) Kelas X kompetensi dasar melakukan
operasi vektor di SMA Negeri 1 Kayen mencapai kriteria ketuntasan minimal.
c. Diduga terdapat pengaruh terhadap hasil belajar setelah penggunaan media pembelajaran dari
digitalisasi perangkat pembelajaran mapel fisika dengan pendekatan kooperatif tipe NHT
(Numbered-Heads-Together) Kelas X kompetensi dasar melakukan operasi vektor di SMA
Negeri 1 Kayen.
39
d. Diduga terdapat pengaruh terhadap aktivitas belajar dengan menggunakan media
pembelajaran dari digitalisasi perangkat pembelajaran mapel fisika dengan pendekatan
kooperatif tipe NHT (Numbered-Heads-Together) Kelas X kompetensi dasar melakukan
operasi vektor di SMA Negeri 1 Kayen.