Upload
dangtuyen
View
235
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS
2.1 Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Konsep Pembangunan
Menurut Arsyad (1997:114) saat ini tidak ada suatu teori pun yang mampu
untuk menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komprehensif. Tingkat
hidup dan mutu kehidupan yang rendah, seakan-akan terbelenggu dalam keadaan
terkekang dan daya beli yang rendah menjadi kendala terhadap kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar yang mencakup pangan, sandang, pemukiman,
kesehatan, dan pendidikan (Djojohadikusumo, 1994:16).
Proses pembangunan sebenarnya merupakan suatu perubahan sosial
budaya. Pembangunan supaya menjadi suatu proses yang dapat bergerak maju
atas kekuatan sendiri (self sustaining proces) tergantung kepada manusia dan
struktur sosialnya (Bintoro dan Mustopadidjaya, 1986:1). Dengan adanya
pembangunan ekonomi maka output atau kekayaan suatu masyarakat atau
perekonomian akan bertambah. Pembangunan ekonomi dapat memberikan
manusia kemampuan yang lebih besar untuk menguasai alam sekitarnya dan
mempertinggi tingkat kebebasannya dalam mengadakan suatu tindakan tertentu
(Irawan dan M. Suparmoko, 2002:8-9). Pembangunan ekonomi perlu dilakukan
demi kehidupan manusia yang layak, salah satunya dengan meningkatkan
pendapatan masyarakat.
15
2.1.2 Teori Investasi
Investasi atau penanaman modal merupakan kegiatan menanamkan dana
yang bersumber dari masyarakat atau pemerintah untuk digunakan dalam
menjalankan kegiatan bisnis atau mengadakan alat-alat atau fasilitas produksi
seperti membeli lahan, membuka pabrik-pabrik, mendatangkan mesin-mesin,
membeli bahan baku, dan sebagainya. Penanaman modal yang bersumber dari
masyarakat dapat berupa investasi swasta ataupun investasi dari pihak asing,
sementara penanaman modal yang bersumber dari pemerintah dinamakan belanja
modal. Pendekatan pembangunan ekonomi yang menekankan pada pentingnya
proses pembentukan modal atau investasi merupakan pendekatan paling
berpengaruh selama ini.
Menurut Sukirno (1999:95) investasi adalah pengeluaran atau
pembelanjaan penanam-penanam modal atau perusahaan untuk membeli barang-
barang modal dan perlengkapan-perlengkapan produksi untuk menambah
kemampuan memproduksi barang-barang dan jasa-jasa yang tersedia dalam
perekonomian. Pertambahan jumlah barang modal ini menunjukkan
perekonomian tersebut menghasilkan lebih banyak barang dan jasa di masa yang
akan datang. Adakalanya penanaman modal dilakukan untuk menggantikan
barang-barang modal yang lama yang telah haus dan perlu didepresiasikan. Istilah
lain dari investasi adalah pemupukan modal (capital formation) atau akumulasi
modal (capital accumulation). Di dalam ilmu ekonomi makro, pengertian
investasi tidak sama dengan modal (capital). Investasi dalam ekonomi makro
16
memiliki arti lebih sempit, yang secara teknis berarti arus pengeluaran yang
menambah stok modal fisik.
Menurut Rostow dan Musgrave dalam Mangkoesoebroto (1997:171),
modal belanja modal pemerintah adalah:
1) Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase inventasi pemerintah
terhadap total investasi adalah besar, karena pada tahap ini pemerintah
harus menyediakan prasarana, seperti: pendidikan, kesehatan, transportasi.
2) Pada tahap menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap
diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal
landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin
besar.
3) Pada tingkat ekonomi lebih lanjut dalam pembangunan ekonomi, aktivitas
pemerintah beralih dari penyediaan prasarana ke pengeluaran-pengeluaran
untuk aktivitas sosial seperti: program kesejahteraan hari tua, program
pelayanan kesehatan masyarakat, dan sebagainya.
Tumbuhnya perekonomian berpengaruh pada hubungan antar industri,
hubungan industri dengan masyarakat semakin kompleks, sehingga peranan
pemerintah menjadi sangat penting, karena pemerintah harus mengatur hubungan
yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan, rekreasi, kebudayaan, dan
sebagainya. Menurut Mangkoesoebroto (1997:2) dalam Hendarni (2012)
disebutkan peranan pemerintah sangat penting di dalam menstabilkan
perekonomian negara dikarenakan pihak swasta tidak dapat mengatasi masalah
perekonomian dan tidak mungkin diserahkan sepenuhnya kepada sektor swasta.
17
2.1.3 Konsep Modal
Modal merupakan salah satu faktor pendukung dalam menjalankan sebuah
usaha. Peran modal sangat berpengaruh terhadap perkembangan suatu usaha.
Menurut Purwanti (2012) modal yang dibutuhkan dalam menjalankan bisnis
yaitu; tekad, pengalaman, keberanian, pengetahuan, net working, serta modal
uang, namun pada umumnya orang mulai terhambat memulai usaha karena sulit
dalam memperoleh modal uang. Pengertian modal usaha menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia dalam Nugraha (2011:9) “modal usaha adalah uang yang
dipakai sebagai pokok (induk) untuk berdagang, melepas uang, dan sebagainya;
harta benda (uang, barang, dan sebagainya) yang dapat dipergunakan untuk
menghasilkan sesuatu yang menambah kekayaan”. Modal dalam pengertian ini
dapat diinterpretasikan sebagai sejumlah uang yang digunakan dalam
menjalankan kegiatan-kegiatan bisnis. Indikator Modal Usaha:
1) Struktur permodalan : modal sendiri dan modal pinjaman
2) Pemanfaatan modal tambahan
3) Hambatan dalam mengakses modal eksternal
4) Keadaan usaha setelah menambahkan modal
Modal usaha mutlak diperlukan untuk melakukan kegiatan usaha, oleh
karena itu diperlukan sejumlah dana sebagai dasar ukuran finasial atas usaha yang
digalakan. Sumber modal usaha dapat diperoleh dari modal sendiri, bantuan
pemerintah, lembaga keuangan baik bank dan lembaga keuangan non bank.
Modal adalah faktor usaha yang harus tersedia sebelum melakukan kegiatan.
Besar kecilnya modal akan mempengaruhi perkembangan usaha dalam
18
pencapaian pendapatan. Secara keseluruhan modal usaha terbagi menjadi 3 bagian
yaitu.
1) Modal investasi adalah jenis modal usaha yang harus dikeluarkan yang
biasanya dipakai dalam jangka panjang. Modal usaha untuk investasi
nilainya cukup besar karena dipakai untuk jangka panjang, namun modal
investasi akan menyusut dari tahun ke tahun.bahkan bisa dari bulan ke
bulan.
2) Modal kerja adalah modal usaha yang harus dikeluarkan untuk membuat
atau membeli barang dagangan. Modal kerja ini dapat dikeuarkan tiap
bulan atau pada waktu-waktu tertentu.
3) Modal operasional adalah modal usaha yang harus dikeluarkan untuk
membayar biaya operasi bulanan misalnya pembayaran gaji pegawai,
listrik dan sebagainya.
2.1.4 Teori Kesejahteraan
Tingkat kepuasan dan kesejahteraan adalah dua pengertian yang saling
berkaitan. Tingkat kepuasan merujuk pada individu atau kelompok, sedangkan
tingkat kesejahteraan mengacu pada komunitas atau masyarakat luas. Tingkat
kesejahteraan meliputi pangan, pendidikan, kesehatan, kadang juga dikaitkan
dengan kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbebasan dari kemiskinan
dan sebagainya. Kesejahteraan merupakan representasi yang bersifat kompleks
karena multidimensi, mempunyai keterkaitan antar dimensi dan ada dimensi yang
direpresentasikan. Perumusan tentang batasan antara substansi kesejahteraan dan
representasi kesejahteraan ditentukan oleh perkembangan praktik kebijakan yang
19
dipengaruhi oleh ideologi dan kinerja negara yang tidak lepas dari pengaruh
dinamika pada tingkat global.
Teori kesejahteraan masyarakat pada dasarnya dibedakan menjadi dua
(Albert dan Robin, 1999), yaitu: teori kesejahteraan sosial dan teori kesejahteraan
ekonomi. Teori kesejahteraan sosial dapat digolongkan menjadi classical
utilitarian, neoclassical welfare theory, dan new contractarian approach.
Pendekatan classical utilitarian menekankan pada kesenangan (pleasure) atau
kepuasan (utility). Tingkat kesenangan berbeda yang dirasakan oleh individu yang
sama dapat dibandingkan secara kuantitatif. Prinsip bagi individu adalah
meningkatkan sebanyak mungkin tingkat kesejahteraannya.
Neoclassical welfare theory mempopulerkan prinsip pareto optimality
dalam teori kesejahteraan. Prinsip pareto optimality merupakan kondisi
tercapainya keadaan kesejahteraan sosial maksimum, yang juga merupakan fungsi
kesejahteraan dari semua kepuasan individu. Pada hakikatnya, tingkat
kesejahteraan secara umum tidak hanya merujuk pada tingkat kesejahteraan secara
ekonomi semata dengan pencapaian kepuasan individu secara maksimal, tetapi
juga melibatkan seluruh aspek kehidupan atau lingkungan sosialnya. Samuelson
dalam Swasono (2005:9) menyatakan bahwa sebenarnya telah ada welfare
economics baru yang tidak semata-mata berdasar pada kriteria ekonomi sempit,
tetapi telah mengandung nilai-nilai etika. Dengan demikian, dalam tataran sosial
welfare, untuk mencapai sosial optimum, perlu mencari pendekatan baru. Artinya,
sejak titik tolak awalnya, preferensi individu tidak lagi diasumsikan berdimensi
kepentingan tunggal, tetapi sebagai multipartius.
20
Beberapa pandangan menyatakan bahwa tingkat kesejahteraan seseorang
sangat terkait dengan tingkat kepuasan (utility) dan kesenangan (pleasure) yang
dapat diraih dalam kehidupannya. Guna mencapai tingkat kesejahteraan yang
diinginkan, dibutuhkan perilaku (behavioral) yang dapat memaksimalkan tingkat
kepuasannya sesuai sumber daya yang tersedia. Salvatore (1997:412)
mengemukakan teori ekonomi kesejahteraan secara mikro, yaitu teori ekonomi
kesejahteraan mempelajari berbagai kondisi cara penyelesaian dari model
ekuilibrium umum. Hal ini memerlukan antara lain adalah alokasi optimal faktor
produksi di antara konsumen. Alokasi faktor produksi dikatakan pareto optimal
jika proses produksi tidak dapat diatur lagi sedemikian rupa guna menaikkan
output suatu komoditi tanpa harus mengurangi output komoditi lain, karenanya
teori ekonomi kesejahteraan merupakan cara penyelesaian dari model ekuilibrium
umum di mana alokasi faktor produksi di antara komoditi didistribusikan secara
optimal.
Kesejahteraan masyarakat menengah ke bawah dapat direpresentasikan
dari tingkat hidup masyarakat. Tingkat hidup masyarakat ditandai oleh
terentaskannya kemiskinan, tingkat kesehatan yang lebih baik, perolehan tingkat
pendidikan yang lebih tinggi, dan peningkatan tingkat produktivitas masyarakat.
Kesemuanya itu merupakan cermin dari perbaikan tingkat pendapatan masyarakat
golongan menengah ke bawah. Todaro dan Stephen (2006:236), secara lebih
spesifik mengemukakan bahwa fungsi kesejahteraan (welfare) dengan persamaan
sebagai berikut:
W = w (Y, I, P) …………………………………… (1)
21
di mana W adalah kesejahteran, Y adalah pendapatan per kapita, I adalah
ketimpangan, dan P adalah kemiskinan absolut. Ketiga variabel ini mempunyai
signifikansi berbeda, dan selayaknya dipertimbangkan secara menyeluruh untuk
menilai kesejahteran di negara-negara berkembang. Berkaitan dengan fungsi
persamaan kesejahteraan di atas, dapat diasumsikan bahwa kesejahteraan sosial
berhubungan positif dengan pendapatan per kapita, namun berhubungan negatif
dengan kemiskinan absolut dan tingkat ketimpangan.
Tingkat hidup masyarakat ditandai oleh terentaskannya kemiskinan,
tingkat kesehatan yang lebih baik, perolehan tingkat pendidikan yang lebih tinggi,
dan peningkatan produktivitas masyarakat. Semua itu merupakan cerminan dari
peningkatan tingkat pendapatan masyarakat golongan menengah ke bawah.
Adapun pengertian mengenai kesejahteraan keluarga di Indonesia oleh pemerintah
selama ini dikelompokkan ke dalam dua tipe yaitu pertama, Tipe Keluarga Pra-
sejahtera adalah keluarga yang masih mengalami kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan dasar hidupnya berupa sandang, pangan, dan papan.
Keluarga pra-sejahtera identik dengan keluarga yang anaknya banyak,
tidak dapat menempuh pendidikan secara layak, tidak memiliki penghasilan tetap,
belum memperhatikan masalah kesehatan lingkungan, rentan terhadap penyakit,
mempunyai masalah tempat tinggal dan masih perlu mendapat bantuan sandang
dan pangan. Kedua, Tipe Keluarga Sejahtera. Keluarga sejahtera identik dengan
keluarga yang anaknya dua atau tiga, mampu menempuh pendidikan secara layak,
memiliki penghasilan tetap, sudah menaruh perhatian terhadap masalah kesehatan
lingkungan, tidak rentan terhadap penyakit, mempunyai tempat tinggal dan tidak
22
perlu mendapat bantuan sandang dan pangan. Pengelompokkan lima jenis
keluarga sejahtera menurut Undang-Undang No. 10 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera Tahun 1992 sebagai
berikut:
1) Keluarga Pra Sejahtera yaitu keluarga yang tidak mampu memenuhi
syarat-syarat yang terdapat dalam keluarga sejahtera I.
2) Keluarga Sejahtera I adalah keluarga yang mampu memenuhi kriteria
seperti; (1) seluruh anggota keluarga mampu memenuhi kebutuhan pokok
seperti makan dua kali sehari atau lebih, (2) seluruh anggota keluarga
memiliki pakaian yang berbeda baik untuk di rumah, bekerja atau sekolah dan
bepergian, (3) Bagian yang terluas dari rumah bukan dari tanah, (4) mampu
membawa anggota keluarga kepada petugas kesehatan atau diberi pengobatan
modern bila terdapat anggota keluarga yang sakit, (5) anggota keluarga
melaksanakan ibadah menurut agama yang dianutnya.
3) Keluarga Sejahtera II adalah keluarga yang telah memenuhi kriteria-
kriteria Keluarga Sejahtera I dan mampu memenuhi kriteria lain seperti; (1)
paling kurang sekali seminggu keluarga menyediakan daging, ikan, atau telur
sebagai lauk pauk, (2) seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang
satu stel pakaian baru setahun terakhir, (3) luas lantai rumah paling kurang 8
meter persegi untuk tiap penghuni rumah, (4) seluruh anggota keluarga yang
berumur dibawah 60 tahun dewasa bisa membaca tulisan latin, (5) seluruh
anak usia 6-12 tahun bersekolah pada saat ini, (6) paling kurang satu orang
anggota keluarga berumur 15 tahun keatas yang mempunyai pekerjaan tetap,
23
(7) seluruh anggota keluarga dalam sebulan terakhir dalam keadaan sehat
sehingga dapat melaksanakan tugas atau fungsi masing-masing, (8) anggota
keluarga melaksanakan ibadah secara teratur menurut agama yang dianut
masing-masing.
4) Keluarga Sejahtera III adalah keluarga yang telah memenuhi kriteria-
kriteria Keluarga Sejahtera I dan Keluarga Sejahtera II serta mampu
memenuhi kriteria lain seperti; (1) anak hidup paling banyak dua orang, atau
anak lebih dari dua masih Pasangan Usia Subur memakai kontrasepsi, (2)
sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga,
(3) keluarga biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari, (4)
keluarga biasanya ikut serta dalam kegiatan masyarakat yang terdapat di
lingkungan tempat tinggal, (5) keluarga mengadakan rekreasi bersama di luar
rumah paling kurang sekali dalam tiga bulan, (6) keluarga dapat memperoleh
berita dari surat kabar, radio, atau majalah, (7) anggota keluarga mampu
menggunakan sarana transportasi yang sesuai dengan kondisi daerah
setempat, (8) upaya keluarga untuk meningkatkan pengetahuan agama.
5) Keluarga Sejahtera III Plus adalah keluarga yang telah memenuhi kriteria-
kriteria pada Keluarga Sejahtera I, II, dan III, serta mampu memenuhi kriteria
lain seperti; (1) keluarga atau anggota keluarga teratur memberi sumbangan
sebagai kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materi, (2) kepala keluarga
atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus perkumpulan yayasan atau
institusi masyarakat lainnya.
24
2.1.5 Konsep Pendapatan
Tujuan pokok diadakannya usaha perdagangan adalah untuk memperoleh
pendapatan, dimana pendapatan tersebut dapat digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup dan kelangsungan hidup usaha perdagangannya. Pendapatan
yang diterima adalah dalam bentuk uang, dimana uang adalah merupakan alat
pembayaran atau alat pertukaran (Samuelson dan Nordhaus, 1995) dalam Arliman
(2013).
Pendapatan (income) adalah total penerimaan seseorang atau suatu rumah
tangga selama periode tertentu. Ada tiga sumber penerimaan rumah tangga yaitu ;
pertama pendapatan dari gaji dan upah, yang merupakan balas jasa dari kesediaan
menjadi tenaga kerja. Besar gaji seseorang secara teoretis tergantung dari
produktivitasnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi produktivitas yaitu;
keahlian (skill) yakni kemampuan teknis yang dimiliki seseorang untuk mampu
menangani pekerjaan yang dipercayakan.
Makin tinggi jabatan seseorang, keahlian yang dibutuhkan semakin tinggi,
karena itu gaji atau upahnya makin tinggi. Mutu modal manusia (human capital)
adalah kapasitas pengetahuan, keahlian dan kemampuan yang dimiliki seseorang,
baik karena bakat bawaan (inborn) maupun hasil pendidikan dan penelitian.
Kondisi kerja (working condition) yaitu lingkungan dimana seseorang bekerja,
penuh resiko atau tidak, kondisi kerja dianggap makin berat. Bila resiko
kegagalan atau kecelakaan makin tinggi, maka upah atau gaji makin besar.
25
Kedua pendapatan dari asset produktif adalah asset yang memberikan
pemasukan atas balas jasa penggunaannya. Ada dua kelompok asset produktif
pertama, asset finansial (financial asset) seperti deposito yang menghasilkan
pendapatan bunga, saham yang menghasilkan deviden dan keuntungan atas modal
(capital gain) bila diperjual belikan. Kedua, asset bukan finansial seperti rumah
yang memberikan penghasilan sewa.
Ketiga pendapatan dari pemerintah atau penerimaan transfer (transfer
payment) adalah pendapatan yang diterima bukan sebagai balas jasa input yang
diberikan tetapi transfer yang diberikan oleh pemerintah. Dilihat dari sisi
produsen, pendapatan berarti jumlah penghasilan yang diperoleh dari menjual
barang hasil produksinya atau dengan kata lain menghargakan produksi dengan
suatu harga pasar tertentu (Gunawan dan Lanang, 1994) dalam Arliman (2013)
2.1.6 Konsep Efektivitas
Istilah efektivitas berasal dari kata efektif yang mengandung pengertian
dicapainya keberhasilan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas
selalu terkait dengan hubungan antara hasil yang sesungguhnya dicapai
(Wambrau, 2013). Pada dasarnya pengertian efektivitas yang umum menunjukkan
pada taraf tercapainya hasil, sering atau senantiasa dikaitkan dengan pengertian
efisien, meskipun terdapat perbedaan diantara keduanya. Efektivitas menekankan
pada hasil yang dicapai, sedangkan efisiensi lebih melihat bagaimana cara
mencapai hasil yang dicapai dengan mebandingkan antara input dan outputnya.
Istilah efektif dan efisien merupakan dua istilah yang saling berkaitan dan patut
dihayati dalam mencapai tujuan suatu organisasi atau program.
26
Dengan mengukur efektivitas suatu program, dapat dinilai keberhasilan
dari program tersebut dalam pencapaian tujuannya. Namun pengertian tentang
efektivitas itu sendiri dapat dilihat dari beberapa perspektif para ahli berikut ini.
Menurut Bernard (1973), efektivitas adalah pencapaian sasaran yang telah
disepakati atas usaha bersama. Efektivitas merupakan perbandingan antara output
dan input (Sudharsono, 1994). Dalam menentukan tingkat efektivitas bantuan
subsidi langsung tunai, dipergunakan kriteria efektivitas dari Litbang Departemen
Dalam Negeri (1991) dalam Astriyani (2012) sebagai berikut:
1) Koefisien efektivitas bernilai kurang dari 40 persen = sangat tidak efektif
2) Koefisien efektivitas bernilai 40 persen - 59,99 persen = tidak efektif
3) Koefisien efektivitas bernilai 60 persen -79,99 persen = cukup efektif
4) Koefisien efektivitas bernilai diatas 79,99 persen = sangat efektif
2.1.7 Konsep Pemberdayaan
Dalam wacana pembangunan masyarakat konsep pemberdayaan selalu
dihubungkan dengan konsep partisipasi, mandiri, jaringan kerja, dan keadilan
(Sipahelut, 2010). Pada dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat
individu dan sosial. Pemberdayaan masyarakat sebenarnya mengacu pada kata
“empowerment ” yaitu sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang
sudah dimiliki oleh masyarakat. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang
demikian tentunya diharapkan memberikan peranan kepada individu bukan
sebagai obyek, tetapi sebagai pelaku (aktor) yang menentukan hidup mereka
(Stanis, 2005). Pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara psikologis
27
pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik, dan hak-
haknya menurut undang-undang (Hikmat, 2006:240).
Menurut McArdle (1989) pemberdayaan merupakan suatu proses
pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekwen melaksanakan
keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif akan
diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan keharusan untuk lebih
diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan,
keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpa
bergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. Pemberdayaan umumnya
merujuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga
mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan
dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja
bebas dalam mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas
dari kebodohan, dan bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber
produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan kesejahteraan melalui
peningkatan pendapatan dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang
mereka perlukan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan
keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka (Suharto, 2005;114).
Pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan. Sebagai proses,
pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau
keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk individu-individu
yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka pemberdayaan
merujuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial;
28
yaitu masyarakat yang berdaya, memiliki kekuasaan atau mempunyai
pengetahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang
bersifat fisik, ekonomi maupun sosial seperti memiliki kepercayaan diri, mampu
menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi dalam
kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tuagas kehidupannya.
Menurut Karsidi (2002), untuk melakukan pemberdayaan masyarakat secara
umum dapat diwujudkan dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar pendampingan
masyarakat, sebagai berikut :
1) Belajar dari Masyarakat
Prinsip yang paling mendasar adalah prinsip bahwa untuk melakukan
pemberdayaan masyarakat adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat. Ini berarti,
dibangun pada pengakuan serta kepercayaan akan nilai dan relevansi pengetahuan
tradisional masyarakat serta kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalah-
masalahnya sendiri.
2) Pendamping sebagai Fasilitator, Masyarakat sebagai Pelaku
Konsekuensi dari prinsip pertama adalah perlunya pendamping menyadari
perannya sebagai fasilitator dan bukannya sebagai pelaku atau guru. Untuk itu
perlu sikap rendah hati serta ketersediaan untuk belajar dari masyarakat dan
menempatkan warga masyarakat sebagai narasumber utama dalam memahami
keadaan masyarakat itu. Bahkan dalam penerapannya masyarakat dibiarkan
mendominasi kegiatan. Kalaupun pada awalnya peran pendamping lebih besar,
harus diusahakan agar secara bertahap peran itu bisa berkurang dengan
mengalihkan prakarsa kegiatan-kegiatan pada warga masyarakat itu sendiri.
29
3) Saling Belajar, Saling Berbagi Pengalaman
Salah satu prinsip dasar pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat
adalah pengakuan akan pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat. Hal
ini bukanlah berarti bahwa masyarakat selamanya benar dan harus dibiarkan tidak
berubah. Kenyataan objektif telah membuktikan bahwa dalam banyak hal
perkembangan pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat tidak sempat
mengejar perubahan-perubahan yang terjadi dan tidak lagi dapat memecahkan
masalah-masalah yang berkembang. Namun sebaliknya, telah terbukti pula bahwa
pengetahuan modern dan inovasi dari luar yang diperkenalkan oleh orang luar
tidak juga memecahkan masalah mereka. Bahkan dalam banyak hal, malah
menciptakan masalah yang lebih besar lagi. Karenanya pengetahuan masyarakat
dan pengetahuan dari luar atau inovasi, harus dipilih secara arif dan atau saling
melengkapi satu sama lainnya.
2.1.8 Konsep Masyarakat Nelayan
Kata masyarakat berasal dari bahasa Arab yaitu kata syaraka yang berarti
ikut serta atau berperan serta, saling bergaul, berinteraksi. Dalam istilah bahasa
Inggris, masyarakat dikenal dengan society (berasal dari kata latin, socius yang
berarti kawan). Koentjaraningrat (1996:119) mendefinisikan masyarakat sebagai
kumpulan manusia yang saling berinteraksi satu sama lain. Menurut Sadly
(1980:31), masyarakat dipahami sebagai suatu golongan besar atau kecil yang
terdiri dari beberapa manusia yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara
golongan dan pengaruh mempengaruhi satu sama lain. Sejalan dengan beberapa
pendapat tersebut, masyarakat dipahami sebagai kelompok manusia yang saling
30
berinteraksi yang memiliki prasarana untuk kegiatan tersebut dan adanya saling
keterikatan untuk mencapai tujuan bersama.
Nelayan menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan
adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan, sedangkan
nelayan kecil merupakan orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang
menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar lima gross ton (5GT).
Batasan ini mengindikasikan bahwa kehidupan nelayan tergantung langsung pada
hasil laut (Helmi, 2012) dan menjadikan nelayan sebagai komponen utama
konstruksi masyarakat maritim Indonesia (Kusnadi, 2009).
Mereka pada umumnya tinggal dipantai, sebuah lingkungan pemukiman
yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Pada umumnya nelayan identik dengan
lemahnya kemampuan modal, posisi tawar, terbatasnya modal serta akses pasar
(Siswanto, 2008:193-216). Nelayan bukanlah suatu entitas tunggal, nelayan terdiri
dari beberapa kelompok. Dilihat dari segi pemilikan alat tangkap, nelayan dapat
dibedakan menjadi tiga kelompok, diantaranya nelayan buruh, nelayan juragan,
dan nelayan perorangan. Nelayan buruh yaitu nelayan yang bekerja dengan alat
tangkap milik orang lain. Nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat
tangkap yang dioperasikan oleh orang lain dan nelayan perorangan adalah nelayan
yang memiliki peralatan tangkap sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak
melibatkan orang lain (Mulyadi, 2007:148).
Nelayan juga didefinisikan sebagai komunitas yang secara keseluruhan
atau sebagian hidupnya bergantung pada kegiatan menangkap ikan atau binatang
31
laut lainnya. Kelompok nelayan umumnya memiliki beberapa perbedaan dalam
karakteristik sosial dan kependudukan yang dapat dilihat dari kelompok umur,
pendidikan status sosial, dan kepercayaan. Nelayan dikelompokkan menjadi
empat jenis yaitu: (1) nelayan subsisten (subsistence fishers), yaitu nelayan yang
menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri, (2) nelayan asli
(native/indigenous/aboriginal fishers), yaitu nelayan yang sedikit banyak
memiliki karakter yang sama dengan kelompok pertama, namun memiliki juga
hak untuk melakukan aktivitas secara komersial walaupun dalam skala yang
sangat kecil, (3) nelayan rekreasi (recreational/sport fishers), yaitu orang-orang
yang secara prinsip melakukan kegiatan penangkapan hanya sekadar untuk
kesenangan atau berolah raga, dan (4) nelayan komersial (commercial fishers),
yaitu mereka yang menangkap ikan untuk tujuan komersial atau dipasarkan baik
untuk pasar domestik maupun pasar ekspor.
Menurut Widodo dan Suadi (2006:252) terdapat beberapa terminologi
yang digunakan untuk menggambarkan kelompok nelayan, seperti nelayan penuh
bagi kelompok nelayan yang menggantungkan keseluruhan hidupnya dari
menangkap ikan, nelayan sambilan bagi kelompok nelayan hanya
menggantungkan sebagian dari hidupnya dari menangkap ikan, dan juragan bagi
kelompok nelayan yang memiliki sumber daya ekonomi untuk usaha perikanan
seperti kapal dan alat tangkap serta memiliki anak buah kapal bagi mereka yang
mengalokasikan waktunya dan memperoleh pendapatan dari hasil pengoperasian
alat tangkap ikan, seperti kapal milik juragan.
32
Kemiskinan yang melanda kehidupan nelayan disebabkan oleh faktor-
faktor yang kompleks faktor-faktor tersebut tidak hanya berkaitan dengan
fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan sumberdaya manusia, modal serta
akses, jaringan pedagang ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai
produsen, tetapi juga disebabkan oleh dampak negatif modernisasi perikanan yang
mendorong terjadi pengurasan sumberdaya laut secara berlebihan. Hasil-hasil
studi tentang tingkat kesejahteraan hidup dikalangan masyarakat nelayan, telah
menujukkan bahwa kemiskinan dan kesenjangan sosial-ekonomi atau
ketimpangan pendapatan merupakan persoalan krusial yang dihadapi nelayan dan
tidak mudah untuk diatasi (Sugihartho, 2013).
Menurut Kusnadi (2003:136) penyebab kemiskinan nelayan disebabkan
oleh faktor internal dan faktor eksternal yang saling melengkapi dan berinteraksi,
sebab kemiskinan yang bersifat internal berkaitan erat dengan kondisi internal
sumber daya manusia nelayan dan aktivitas kerja mereka. Sebab-sebab internal
diantaranya mencakup masalah : (1) keterbatasan kualitas sumber daya manusia
yang dimiliki nelayan, (2) keterbatasan kemampuan modal usaha dan teknologi
dalam penangkapan, (3) hubungan kerja (pemilik perahu nelayan buruh) dalam
organisasi penangkapan yang dianggap kurang menguntungkan nelayan buruh,
(4) kesulitan melakukan diversifikasi usaha penangkapan, (5) ketergantungan
yang tinggi terhadap okupasi melaut, dan (6) gaya hidup yang dipandang boros
sehingga kurang berorientasi ke masa depan. Kemiskinan yang bersifat eksternal
berkaitan dengan kondisi di luar diri dan aktivitas kerja nelayan.
33
Sebab-sebab eksternal diantaranya mencakup masalah: (1) kebijakan
pembangunan perikanan yang lebih berorientasi pada produktivitas untuk
menunjang pertumbuhan ekonomi baik nasional dan parsial, (2) sistem
pemasaran hasil perikanan yang lebih menguntungkan pedagang perantara
daripada nelayan, (3) kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran
dari wilayah darat, praktik penangkapan dengan bahan kimia, pengrusakan
terumbu karang, dan konservasi hutan bakau di kawasan pesisir, (4) penggunaan
peralatan tangkap yang tidak ramah lingkungan, (5) penegakan hukum yang
lemah terhadap perusak lingkungan, (6) terbatasnya teknologi pengolahan hasil
tangkapan pasca panen, (7) terbatasnya peluang-peluang kerja di sektor non
perikanan yang tersedia di desa-desa nelayan, (8) kondisi alam dan fluktuasi
musim yang tidak memungkinkan nelayan untuk melaut sepanjang tahun, dan
(9) isolasi geografis desa nelayan yang mengganggu mobilitas barang, jasa, modal
dan manusia.
Hal utama yang terkandung dalam kemiskinan yaitu kerentanan dan
ketidakberdayaan. Dengan kerentanan tersebut orang miskin akan megalami
kesulitan dalam menghadapi situasi yang darurat, contohnya nelayan yang
mengalami kesulitan dalam membeli bahan bakar untuk keperluan melaut. Salah
satu faktor penyebabnya adalah tidak ada hasil tangkapan sebelumnya yang bisa
dijual serta tidak tersedianya cadangan yang dapat digunakan untuk keperluan
yang mendesak. Masalah-masalah di atas tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling
terkait satu sama lain misalnya, masalah kemiskinan. Masalah ini disebabkan oleh
hubungan-hubungan korelatif antara keterbatasan akses, lembaga ekonomi belum
34
berfungsi, kualitas SDM rendah, degradasi sumber daya lingkungan, oleh karena
itu persoalan penyelesaian kemiskinan dalam masyarakat pesisir harus bersifat
integralistik.
2.1.9 Alasan Pemberdayaan Nelayan
Kebijakan pembangunan perikanan pada masa yang akan datang
hendaknya didasarkan pada landasan pemahaman yang benar tentang peta
permasalahan pembangunan perikanan itu sendiri, yaitu mulai dari permasalahan
mikro sampai pada permasalahan di tingkat makro yang mengarah pada
pemberdayaan masyarakat nelayan. Permasalahan mikro yang dimaksudkan
adalah persoalan internal masyarakat nelayan dan petani ikan menyangkut aspek
sosial budaya seperti pendidikan, mentalitas, dan sebagainya. Aspek ini yang
mempengaruhi sifat dan karakteristik masyarakat nelayan dan petani ikan. Sifat
dan karakteristik tersebut dipengaruhi oleh jenis kegiatan usaha seperti usaha
perikanan tangkap, usaha perikanan tambak, dan usaha pengolahan hasil
perikanan.
Menurut Simollah (2015) kelompok masyarakat ini memiliki sifat unik
berkaitan dengan usaha yang dilakukannya. Karena usaha perikanan sangat
bergantung pada musim, harga dan pasar maka sebagian besar karakter
masyarakat pesisir (khususnya nelayan dan petani ikan) tergantung pada faktor-
faktor tersebut yaitu; a) Kehidupan masyarakat nelayan dan petani ikan menjadi
amat tergantung pada kondisi lingkungan atau rentan pada kerusakan khususnya
pencemaran atau degradasi kualitas lingkungan, b) Kehidupan masyarakat
nelayan sangat tergantung pada musim. Ketergantungan terhadap musim ini akan
35
sangat besar dirasakan oleh nelayan-nelayan kecil, c) Persoalan lain dari
kelompok masyarakat nelayan adalah ketergantungan terhadap pasar. Hal ini
disebabkan komoditas yang dihasilkan harus segera dijual untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari atau membusuk sebelum laku dijual. Karakteristik ini
mempunyai implikasi yang sangat penting yaitu masyarakat nelayan sangat peka
terhadap fluktuasi harga. Perubahan harga sekecil apapun sangat mempengaruhi
kondisi sosial masyarakat nelayan. Namun demikian di balik ketiga persoalan
tersebut sebenarnya ada persoalan yang lebih mendasar yaitu persoalan sosial
dalam konteks makro menyangkut ketergantungan sosial (patron client), karena
faktor kelemahan yang dimiliki sebagian besar nelayan (nelayan kecil dan
pandega), mereka tidak bisa menghindari adanya sistem sosial yang tanpa atau
disadari menjeratnya ke dalam "Iingkaran setan" kemiskinan.
Sistem sosial ini sudah begitu melembaga pada masyarakat nelayan.
Begitu miskinnya, masyarakat nelayan sering disebut kelompok miskin di antara
yang miskin (the poorest of the poor) kecuali mereka diberdayakan serta ada yang
mengangkat mereka dengan memberikan daya dan kekuatan dari luar, maka
mereka akan mampu keluar dari kemiskinan. Jika tidak, kemiskinan itu akan tetap
ada di antara mereka. Kemiskinan itu akan makin parah, menciptakan kemelaratan
massal, dalam berbagai segi dan bidang kehidupan. Diawali dengan kemiskinan
secara ekonomi, seterusnya berkembang menjadi kemiskinan dan kemelaratan
sosial, budaya, hukum, dan pada akhirnya kemiskinan dalam politik (Dault
2008:222). Persoalan kemiskinan inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian
pemerintah dalam melakukan pemberdayaan nelayan dan pembudidaya ikan.
36
Semestinya ada instrumen kebijakan yang mampu secara efektif mengurangi
sistem sosial yang memungkinkan nelayan kecil keluar dari lingkaran kemiskinan.
Secara teoritik pemberdayaan (empowerment) dapat diartikan sebagai
upaya untuk menguatkan masyarakat dengan cara memberikan motivasi dan
dorongan kepada masyarakat agar menggali potensi dirinya dan berani bertindak
untuk memperbaiki kualitas hidupnya. Salah satu cara untuk memperbaiki kualitas
hidupnya diantaranya adalah melibatkan mereka untuk berpartisipasi aktif dalam
pengelolaan lahan pesisir. Partisipasi ini tidak hanya sekedar mendukung
program-program pemerintah, tetapi sebagai kerjasama antara masyarakat dan
pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan
mengembangkan program-program pembangunan, khususnya di lahan wilayah
pesisir.
Atas dasar uraian di atas, pemberdayaan masyarakat nelayan sangat
diperlukan. Pemberdayaan masyarakat nelayan diartikan sebagai usaha-usaha
sadar yang bersifat terencana, sistematik, dan berkesinambungan untuk
membangun kemandirian sosial, ekonomi dan politik masyarakat nelayan dengan
mengelola potensi sumberdaya yang mereka miliki untuk mencapai kesejahteraan
sosial yang bersifat berkelanjutan. Kemandirian masyarakat sangat diperlukan
untuk meningkatkan posisi tawar (bargaining position) mereka dalam
pembangunan kawasan dan pemanfaatan sumberdaya lingkungan. Dengan
demikian, diharapkan pada masa mendatang masyarakat nelayan menjadi subyek
pembangunan di daerahnya dan kawasan pesisir memiliki perkembangan ekonomi
yang dinamis.
37
Program pemberdayaan harus bisa mendorong terciptanya mobilitas
vertikal masyarakat nelayan (Satria, 2001:153). Kemandirian masyarakat nelayan
merupakan tahapan yang sangat menentukan keberhasilan pemberdayaan secara
berkelanjutan. Tanpa kemandirian akan sulit dicapai kesejahteraan sosial. Unsur-
unsur kemandirian masyarakat tersebut ditentukan oleh kemampuan ekonomi
yang dimiliki, kapasitas politik pembangunan, dan memegang teguh prinsip-
prinsip sosial yang diyakini bisa menciptakan tata kehidupan yang lebih baik
(Kusnadi, 2009:77).
2.1.10 Strategi Pemberdayaan Nelayan
Dalam position paper pemberdayaan masyarakat pesisir Departemen
Kelautan dan Perikanan disebutkan, bahwa berdasarkan karakteristik masyarakat
pesisir (nelayan) dan cakupan pemberdayaan, maka perlu dilakukan
pemberdayaan nelayan bersifat komprehensif. Pembangunan komprehensif, yaitu
pembangunan yang memiliki ciri-ciri: (1) berbasis lokal (melibatkan sumberdaya
lokal sehingga return to local resource sehingga mampu dinikmati oleh
masyarakat lokal. Sumberdaya lokal yang patut digunakan yakni sumberdaya
manusia dan sumberdaya alam, (2) berorientasi pada peningkatan kesejahteraan
(tidak menitikberatkan pada peningkatan produksi melainkan menitikberatkan
pada kesejahteraan masyarakat), (3) berbasis kemitraan (kemitraan yang
mutualistis antara orang lokal atau orang miskin dengan orang yang lebih mampu,
untuk membuka akses terhadap teknologi, pasar, pengetahuan, modal, manajemen
yang lebih baik atau profesional, serta pergaulan bisnis yang lebih luas, (4) secara
holistik atau multi aspek (pembangunan mencapai semua aspek, setiap
38
sumberdaya lokal patut diketahui dan didayagunakan), dan (5) berkelanjutan
(keberlanjutan dari pembangunan itu sendiri, mencakup aspek ekonomi dan
sosial). Disebutkan pula, khusus pembangunan di kawasan pesisir dan umumnya
pembangunan perikanan serta kelautan, masalah kualitas sumber daya manusia
(SDM) dan lingkungan sepatutnya mendapatkan perlakuan yang khusus, karena
seperti yang diketahui masyarakat pesisir memiliki pendidikan dan kesehatan
yang tergolong masih rendah, oleh karena itu dalam investasi SDM masyarakat
pesisir sudah sepatutnya mempertimbangkan kedua hal tersebut.
Sasaran pemberdayaan masyarakat pesisir, khususnya nelayan
diformulasikan sebagai berikut: 1) Terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang
terdiri dari sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan, 2) Tersedianya
prasarana dan sarana produksi lokal yang memungkinkan masyarakat dapat
mengakses dengan harga murah dan berkualitas yang baik, 3) Meningkatnya
kelembagaan masyarakat sebagai wadah aksi kolektif untuk mencapai tujuan
individu, 4) Terciptanya kegiatan-kegiatan ekonomi produktif di daerah yang
memiliki ciri-ciri berbasis sumberdaya lokal, pasar yang jelas, berkelanjutan
berdasarkan kapasitas sumber daya, dimiliki dan dilaksanakan serta berdampak
bagi masyarakat lokal, dan dengan menggunakan teknologi maju tepat guna yang
berasal dari proses pengkajian dan penelitian, 5) Terciptanya jaringan transportasi
dan komunikasi yang memadai, sebagai jaringan ekonomi, baik antara kawasan
pesisir maupun antara pesisir dan pedalaman, 6) Terwujudnya struktur ekonomi
Indonesia yang berbasis pada kegiatan ekonomi di wilayah pesisir dan laut
sebagai wujud pemanfaatan dan pendayagunaan sumberdaya alam laut.
39
Menurut Nikijuluw (2002:254), terdapat lima pendekatan pemberdayaan
masyarakat nelayan yaitu: (1) menciptakan lapangan kerja alternatif sebagai
sumber pendapatan lain bagi keluarga, (2) mendekatkan masyarakat dengan
sumber modal dengan penekanan pada penciptaan mekanisme mendanai diri
sendiri (self financing mechanism), (3) mendekatkan masyarakat dengan sumber
teknologi baru yang lebih berhasil dan berdaya guna, (4) mendekatkan masyarakat
dengan pasar; serta (5) membangun solidaritas serta aksi kolektif di tengah
masyarakat. Kelima pendekatan ini dilaksanakan dengan memperhatikan secara
sungguh-sungguh aspirasi, keinginan, kebutuhan, pendapatan, dan potensi
sumberdaya yang dimiliki masyarakat nelayan.
2.1.11 Program Pengembangan Usaha Mina Perdesaan (PUMP)
PUMP adalah konsepsi pembangunan ekonomi kelautan dan perikanan
yang berbasis kawasan berdasarkan prinsip-prinsip terintegrasi, efisiensi,
berkualitas dan percepatan. Program PUMP dicirikan dengan kawasan perikanan
yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha minabisnis
yang diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan-kegiatan pembangunan
perikanan (minabisnis). Sesuai dengan Keputusan Direktorat Jenderal Perikanan
Tangkap Nomor 15 Tahun 2011, Pengembangan Usaha Mina Perdesaan yang
selanjutnya disebut PUMP adalah bagian dari pelaksanaan Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri melalui bantuan modal usaha dalam
menumbuh kembangkan usaha perikanan tangkap sesuai dengan potensi sumber
daya ikan.
40
PNPM Mandiri adalah program nasional penanggulangan kemiskinan
terutama yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Pengertian yang terkandung
mengenai PNPM Mandiri adalah PNPM Mandiri merupakan program nasional
dalam wujud kerangka kebijakan sebagai dasar dan acuan pelaksanaan program-
program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat. PNPM
Mandiri dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta
mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan dan pendanaan
stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya
penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan.
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan
Perikanan (PNPM Mandiri-KP) adalah program pemberdayaan masyarakat
bidang kelautan dan perikanan yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan
meningkatkan kesempatan kerja serta meningkatkan produksi bidang kelautan dan
perikanan. PNPM Mandiri-KP secara umum bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan dan kesempatan kerja kelompok masyarakat miskin bidang kelautan
dan perikanan. Tujuan dari Program PUMP yaitu :
1) Meningkatkan pendapatan nelayan melalui kegiatan pengembangan usaha
nelayan kecil di perdesaan.
2) Menumbuhkembangkan kewirausahaan nelayan di perdesaan
3) Meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi nelayan menjadi mitra
lembaga keuangan dalam rangka akses permodalan.
Sasaran dari Program PUMP Perikanan tangkap adalah perkembangan
usaha KUBE penerima Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PUMP perikanan
41
tangkap. PUMP Perikanan Tangkap memiliki beberapa indikator keberhasilan,
diantaranya :
1) Indikator Keluaran (Output)
(1) Tersalurkannya dana BLM PUMP perikanan tangkap kepada KUBE
sebagai modal usaha produktif penangkapan ikan.
(2) Terlaksanakannya fasilitasi penguatan kapasitas dan kelembagaan
KUBE melalui pendampingan dan pembinaan.
(3) Dimanfaatkannya BLM PUMP Perikanan Tangkap untuk kegiatan
usaha produktif.
(4) Pencapaian tujuan.
2) Indikator Dampak (Benefit dan Impact)
(1) Perkembangan usaha penangkapan ikan di lokasi PUMP Perikanan
Tangkap.
(2) Perkembangan KUBE menjadi lembaga ekonomi.
Program PUMP merupakan salah satu upaya dalam pemberdayaan
masyarakat pesisir. Tulisan ini didukung oleh penelitian David, dkk (2013)
dimana tujuan dari penelitian ini untuk mengkaji penerapan hukum dan
perundang-undangan menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
No.Per.12/Men/2008 tentang bantuan langsung masyarakat kelautan dan
perikanan di Kota Manado dimana penelitian yang dilakukan memberikan
manfaat bagi pemerintah untuk mengevaluasi lebih lanjut sasaran Program PUMP
agar tepat sasaran sehingga penerapan hukum dan perundang-undangan tentang
42
bantuan sosial pemberdayaan masyarakat pesisir dan pembudidayaan ikan di Kota
Manado berjalan sebagaimana yang diharapkan.
1.2 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka penulis
mencoba mengemukakan hipotesis yang akan dijadikan acuan dalam
memecahkan pokok permasalahan pada rumusan masalah mengenai tingkat
kesejahteraan nelayan yang dikur melalui indikator pendapatan, tingkat kesehatan,
tingkat pendidikan, dan tingkat kemananan secara ekonomi. Rumusan masalah
mengenai efektivitas tidak dijabarkan dalam hipotesis sebab tidak ada yang dapat
dijadikan sebagai acuan dasar dalam menentukan efektif atau tidaknya suatu
program, selain itu rumusan masalah mengenai kendala dalam
pengimplementasian program dan kelemahan yang terdapat pada program tidak
dijabarkan dalam hipotesis sebab rumusan masalah tersebut bersifat deskriptif dan
sulit di deskripsikan karena presepsi orang yang berbeda-beda, sehingga hipotesis
yang digunakan untuk memecahkan pokok permasalahan pada rumusan masalah
mengenai kesejahteraan nelayan yaitu:
1. Pendapatan masyarakat pesisir di Kecamatan Kuta meningkat
setelah terlaksanakannya Program PUMP dibandingkan dengan
sebelumnya.
43