23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. EPILEPSI 1. Definisi Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat yang dapat mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik. 12 Pelepasan aktifitas listrik abnormal dari sel-sel neuron di otak terjadi karena fungsi sel neuron terganggu. Gangguan fungsi ini dapat berupa gangguan fisiologik, biokimia, anatomi dengan manifestasi baik lokal maupun general. 6 Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan / gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak. 13 Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu 13 : a. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - digilib.unimus.ac.iddigilib.unimus.ac.id/files/disk1/142/jtptunimus-gdl-inaalfatah... · peredaran darah, hipoksia, anomali kongenital ... Bangkitan umum

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. EPILEPSI

1. Definisi

Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada substansia grisea

otak yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat yang

dapat mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan

fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten

dan stereotipik.12 Pelepasan aktifitas listrik abnormal dari sel-sel

neuron di otak terjadi karena fungsi sel neuron terganggu. Gangguan

fungsi ini dapat berupa gangguan fisiologik, biokimia, anatomi dengan

manifestasi baik lokal maupun general.6

Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya

bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode).

International League Against Epilepsy (ILAE) dan International

Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali

definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya

faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik,

perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis, dan adanya

konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan

sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya. Sedangkan

bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan / gejala yang

timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau

sinkron yang terjadi di otak.13

Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang

baru dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu13 :

a. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya.

b. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya

bangkitan selanjutnya

c. Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis,

kognitif, psikologis, dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan.

Ketiga elemen di atas harus diperhatikan karena dalam

mentatalaksana seorang penyandang epilepsi, tidak hanya faktor

bangkitan atau kejang yang perlu diperhatikan namun konsekuensi

sosial yang ditimbulkan juga harus diperhatikan seperti dikucilkan

oleh masyarakat, stigma bahwa penyakit epilepsi adalah penyakit

menular, dan sebagainya.13

Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan

serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara

tiba-tiba dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran,

disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak

yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut

(unprovoked).6,14

2. Etiologi

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang

berulang yang muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah

kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak terkontrol baik

sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini bisa diindikasikan

sebagai disfungsi otak.15 Gangguan fungsi otak yang bisa

menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf

pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi,

anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau

kelainan yang dapat menganggu fungsi otak atau fungsi sel neuron di

otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang atau serangan

epilepsi.16

Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan

melihat usia serangan pertama kali. Misalnya : usia dibawah 18 tahun

kemungkinan faktor penyebabnya ialah trauma perinatal, kejang

demam, radang susunan saraf pusat, struktural, penyakit metabolik,

keadaan toksik, penyakit sistemik, penyakit trauma kepala, dan

lain-lain.6 Bangkitan kejang juga dapat disebabkan oleh berbagai

kelainan dan macam-macam penyakit diantaranya ialah trauma lahir,

trauma kapitis, radang otak, tumor otak, perdarahan otak, gangguan

peredaran darah, hipoksia, anomali kongenital otak, kelainan

degeneratif susunan saraf pusat, gangguan metabolisme, gangguan

elektrolit, demam, reaksi toksis-alergis, keracunan obat atau zat kimia,

dan faktor hereditas.11

3. Faktor Risiko

Faktor resiko untuk terjadinya epilepsi pada penderita kejang

demam adalah10,17 :

a. Jika ada kelainan neurologis atau perkembangan sebelum kejang

demam pertama

b. Kejang demam kompleks

c. Adanya riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.

Masing-masing faktor resiko meningkatkan resiko epilepsi

4-6%; kombinasi faktor resiko tersebut meningkatkan resiko epilepsi

menjadi 10-49%.13 Epilepsi diartikan sebagai kejang berulang dan

multipel. Anak dengan riwayat kejang demam mempunyai risiko

sedikit lebih tinggi menderita epilepsi pada usia 7 tahun dibandingkan

dengan anak yang tidak pernah mengalami kejang demam.18

4. Klasifikasi

Klasifikasi epilepsi6,13,14,20 :

a. Bangkitan Parsial/fokal

1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran)

a) Dengan gejala motorik.

b) Dengan gejala sensorik.

c) Dengan gejala otonomik.

d) Dengan gejala psikis.

2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran)

a) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan

kesadaran.

b) Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan.

3) Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik)

a) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi

bangkitan umum

b) Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi

bangkitan umum

c) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial

kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum

a. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi)

1) Bangkitan lena (absence)

Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan

terminasi mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang

disertai gerakan klonik pada mata, dagu dan bibir.

2) Bangkitan mioklonik

Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang

dapat umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau

lebih ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau

tunggal.

3) Bangkitan tonik

Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan

ekstremitas menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat

deviasi bola mata dan kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi

seluruh batang tubuh. Wajah menjadi pucat kemudian merah

dan kebiruan karena tidak dapat bernafas. Mata terbuka atau

tertutup, konjungtiva tidak sensitif, dan pupil dilatasi.

4) Bangkitan atonik

Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi

hanya kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung

atau menyeluruh sehingga pasien terjatuh.

5) Bangkitan klonik

Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi

kejang kelojot. dijumpai terutama sekali pada anak.

6) Bangkitan tonik-klonik

Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat

kemudian diikuti oleh gerakan klonik.

5. Patofisiologi

Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena

adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar

neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi

pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron

bersinapsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu

masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan

terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian

inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi

cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu

potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau

menghambat neuron lain, sehingga terjadilah epilepsi.2

Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan

oleh aktivitas listrik yang berlebihan pada sebagian atau seluruh

bagian otak. Seorang penderita dikatakan menderita epilepsi bila

setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa provokasi. Bangkitan

epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan

inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak

terkontrol. Pada sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi

otak, namun pada beberapa kasus epilepsi disertai oleh kerusakan

struktural otak yang mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi

mental.3

6. Diagnosis

Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu14 :

a. Langkah pertama : Memastikan apakah kejadian yang bersifat

paroksisimal merupakan bangkitan epilepsi.

b. Langkah kedua : Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka

tentukanlah bangkitan tersebut termasuk tipe bangkitan yang

mana.

c. Langkah ketiga : tentukan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan

oleh bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh

pasien dan tentukan etiologinya.

Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan

epilepsi berulang (minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau

tanpa adanya gambaran epileptiform pada EEG.14

Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis

adalah sebagai berikut :

a. Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan

menyeluruh. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi

sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan

lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan

merupakan kunci diagnosis.6

Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi14 :

1) Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan

a) Keadaan penyandang saat bangkitan : duduk / berdiri /

berbaring / tidur / berkemih.

b) Gejala awitan (aura, gerakan / sensasi awal / speech

arrest).

c) Apa yang tampak selama bangkitan (Pola / bentuk

bangkitan) : gerakan tonik / klonik, vokalisasi,

otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,

berkeringat, maupun deviasi mata.

d) Keadaan setelah kejang : bingung, terjaga, nyeri kepala,

tidur, gaduh gelisah, atau Todd’s paresis.

e) Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau

terdapat perubahan pola bangkitan.

2) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun

riwayat penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik

maupun penyakit sistemik yang mungkin menjadi penyebab.

3) Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, dan interval

terpanjang antar bangkitan.

4) Riwayat bangkitan neonatal / kejang demam.

b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya

serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit

sebagai pegangan. Pada pasien anak, pemeriksa harus

memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,

organomegali, dan perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat

menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.6

c. Pemeriksaan penunjang

1) Pemeriksaan laboratorium

Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium,

natrium, bilirubin, dan ureum dalam darah. Keadaan seperti

Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia, dan

hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan

kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan

glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen,

kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan

petunjuk yang sangat berguna.19,20

2) Elektro ensefalografi (EEG)

Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam

aktifitas listrik di otak melalui elektroda yang ditempatkan

dikulit kepala. Kelainan EEG yang sering dijumpai pada

penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau

epileptiform activity. Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada

semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan

penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan

diagnosis epilepsi.4,6,11

Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan

kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan

adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan

kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.6

Rekaman EEG dikatakan abnormal ditentukan atas

dasar adanya6 :

a) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah

yang sama di kedua hemisfer otak.

b) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih

lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta.

c) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada

anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike),

paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat

yang timbul secara paroksimal.

3) Rekaman video EEG

Pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan

apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan

biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus

dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat

menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi.19

4) Pemeriksaan Radiologis

Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan

MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala merupakan

Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging yang

bertujuan untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan

struktural di otak dan melengkapi data EEG.6,19

CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada

kontra indikasi, namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini

merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi

dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding

dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil

diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan

hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang

sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. MRI

bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan

kiri.6,19

5) Pemeriksaan neuropsikologi

Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien

epilepsi dengan pertimbangan akan dilakukan terapi

pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan

apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian

juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada

dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi.19

7. Prognosis

Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya

jenis epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan

minum obat. Prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada

50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat,

sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum

obat.21 Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi

serangan baik dengan pengobatan maupun status psikososial, dan

status neurologis penderita. Batasan remisi epilepsi yang sering

dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang) dengan terapi. Pada

pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus dipertimbangkan

untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.22,23

Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah

bebas serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE.

Setelah tercapai bebas serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan

terapi, maka perlu dipikirkan untuk menurunkan dosis secara berkala

sampai kemudian obat dihentikan, perlu mempertimbangkan risiko

terjadinya relaps setelah penghentian obat. Berbagai faktor prediktor

yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan pada

remaja / dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran

abnormalitas EEG.22,23 Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa

penderita epilepsi memiliki risiko kematian yang lebih tinggi

dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling tinggi adalah

pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit

kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering

disebabkan oleh penyakit susunan saraf pusat yang mendasari

timbulnya bangkitan epilepsi.22

B. KEJANG DEMAM

1. Definisi

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan gejala

demam dan usia, serta tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun

kelainan lain di otak. Demam adalah kenaikan suhu tubuh lebih dari

380C rektal atau lebih 37,80C aksila.9

Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada

kenaikan suhu tubuh diatas 380C (suhu rektal) disebabkan suatu

proses ekstrakranium yang paling sering dijumpai pada golongan

umur 3 bulan sampai 5 tahun.11,12

Mengenai definisi kejang demam ini masing-masing peneliti

membuat batasan sendiri-sendiri, tetapi pada garis besarnya hampir

sama. Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang

demam adalah bangkitan kejang pada bayi dan anak yang biasanya

terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan dengan demam

tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab lain.

Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi berumur kurang dari

4 minggu tidak termasuk kejang demam.24 Kejang demam terjadi pada

anak berumur dibawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam

terjadi pada anak berumur antara 6 bulan sampai dengan 22 bulan.

Insiden bangkitan kejang demam yang paling sering pada usia 18

bulan.10,14

2. Manifestasi Klinis

Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam. Umumnya

serangan kejang tonik-klonik, awalnya dapat berupa menangis,

kemudian tidak sadar dan timbul kekakuan otot. Selama fase tonik,

mungkin disertai henti nafas dan inkontinensia. Kemudian diikuti fase

klonik berulang, ritmik dan akhirnya anak setelah kejang letargi atau

tidur. Bentuk kejang lain dapat juga terjadi seperti mata terbalik ke

atas dengan disertai kekakuan atau kelemahan, gerakan sentakan

berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya hentakan atau

kekakuan fokal.10

Serangan kejang terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu

demam, berlangsung singkat dengan sifat bengkitan dapat berbentuk

tonik, klonik, tonik-klonik, fokal atau akinetik. Pada kejang demam

sederhana, umumnya kejang berhenti sendiri, setelah kejang berhenti

anak tidak memberikan reaksi apapun untuk sejenak, tetapi setelah

beberapa detik atau menit anak akan sadar kembali tanpa adanya

kelainan saraf. Sedangkan pada kejang demam kompleks dapat

disertai hemiparesis, kemudian dapat pula berkembang menjadi status

epileptikus.10,11

3. Patofisiologi

Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ

otak diperlukan suatu energi dari metabolisme. Bahan baku

metabolisme otak yang penting ialah glukosa. Sifat proses itu adalah

oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-

paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Sel

dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam (lipid)

dan permukaan luar (ion). Pada keadaan normal membran sel neuron

dilalui dengan mudah oleh ion Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui

oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya kecuali Klorida (Cl-).

Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi

ion Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan

sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan

luar sel maka terdapat potensial membran dari sel neuron. Untuk

menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan

bantuan enzim Na-K-ATP-ase yang terdapat pada permukaan sel.11

Keseimbangan potensial membran dapat dirubah oleh adanya11 :

a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.

b. Rangsangan mendadak berupa mekanis, kimiawi, atau aliran

listrik dari sekitarnya.

c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit

atau keturunan.

Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1°C akan menaikan

metabolisme basal 10-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat

20%. Pada anak yang berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65%

dari seluruh tubuh, dibandingkan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi

pada kenaikan suhu tubuh tertentu, dapat terjadi perubahan

keseimbangan dari membran sel neuron, dan dalam waktu singkat

terjadi difusi ion Kaliun maupun Natrium melalui membran.

Perpindahan ini mengakibatkan lepas muatan listrik yang besar,

sehingga meluas ke membran sel lain melalui neurotransmitter, dan

terjadilah kejang.11

Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi

energi di otak, jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur

suhu. Pireksia akan menyebabkan kejang bertambah lama, sehingga

kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama akan terjadi

perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder

akibat aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan

mengakibatkan iskemia neuron karena kegagalan metabolisme di otak.

Kejang demam yang berlangsung lama dapat menimbulkan kerusakan

anatomi otak berupa kehilangan neuron dan gliosis terutama di daerah

yang peka seperti hipokampus dan amigdala. Kerusakan di daerah ini

merupakan prekursor timbulnya epilepsi lobus temporalis yang

berlatar belakang kejang demam.10

4. Klasifikasi

Kejang demam dibagi atas 2 bentuk10,14 :

a. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)

1) Kejang demam yang berlangsung singkat (< 15 menit).

2) Umumnya kejang akan berhenti sendiri.

3) Kejang umum tonik-klonik yang terjadi sekali dalam 24 jam.

4) Tidak ditemukan defisit neurologis.

5) Sembuh spontan.

b. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)

1) Kejang berlangsung lama (> 15 menit).

2) Bentuk kejang bersifat fokal atau parsial.

3) Berlangsung beberapa kali (multipel) dalam 24 jam.

Kejang demam sederhana tidak menyebabkan kelumpuhan,

meninggal atau mengganggu kepandaian. Risiko untuk menjadi

epilepsi dikemudian hari juga sangat kecil, sekitar 2% hingga 3%.

Risiko terbanyak adalah berulangnya kejang demam, yang dapat

terjadi pada 30 sampai 50% anak. Risiko-risiko tersebut lebih besar

pada kejang demam kompleks.25

5. Diagnosis

Umumnya kejang demam pada anak berlangsung pada

permulaan demam akut, berupa serangan kejang klonik umum atau

tonik klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda neurologi post iktal,

pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan

gelombang lambat di daerah belakang yang bilateral, sering asimetris,

kadang-kadang unilateral.26

Pemeriksaan EEG dilakukan pada kejang demam kompleks

atau anak yang mempunyai risiko untuk terjadinya epilepsi.

Elektroensefalogram (EEG) yang dikerjakan 1 minggu setelah kejang

demam dapat abnormal, biasanya berupa perlambatan diposterior.

95% kasus kejang demam EEGnya abnormal bila dikerjakan segera

setelah kejang demam. Kira-kira 30% penderita akan memperlihatkan

perlambatan di posterior dan akan menghilang 7 sampai 10 hari

kemudian. Pemeriksaan EEG tidak dianjurkan dilakukan secara rutin.

Indikasi pemeriksaan EEG pada suatu kejang demam kompleks

adalah: demam <38,5oC, usia awitan < 1 tahun, ditemukan paralisis

Todd atau adanya defisit neurologik.10,14,26

Pemeriksaan pungsi lumbal diindikasikan pada saat pertama

sekali timbul kejang demam untuk menyingkirkan adanya proses

infeksi intra kranial, perdarahan subaraknoid atau gangguan

demielinasi. Pemeriksaan pungsi lumbal dianjurkan pada anak-anak

yang berusia < 18 bulan, dan mutlak perlu pada bayi usia < 12 bulan

(pada usia ini sulit ditemukan suatu gejala perangsangan meningeal

sehingga kemungkinan suatu meningitis atau ensefalitis dapat lolos

dari pemeriksaan).10,14,26

6. Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah :

Mencegah kejang demam berulang, mencegah status epilepsi,

mencegah epilepsi dan/ atau retardasi mental, normalisasi kehidupan

anak dan keluarga.26

Pada penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu

dikerjakan, yaitu :

a. Pengobatan Fase Akut

Prioritas utama pada anak yang sedang mengalami kejang

adalah menjaga agar jalan nafas tetap terbuka. Pakaian

dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah aspirasi.

Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga

berlangsung terus atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian

oksigen harus dilakukan teratur, kalau perlu dilakukan intubasi.

Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus

diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air

hangat (diseka) dan pemberian antipiretik (asetaminofen oral 10

mg/kg BB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral 20 mg/kg BB,4 kali

sehari).26

Diazepam merupakan obat pilihan utama untuk kejang

demam fase akut, karena diazepam mempunyai masa kerja yang

singkat. Efek terapeutiknya sangat cepat, yaitu antara 30 detik

sampai 5 menit dan efek toksik yang serius hampir tidak dijumpai

apabila diberikan secara perlahan dan dosis tidak melebihi 50 mg

per suntikan. Diazepam dapat diberikan secara intravena atau

rektal, jika pemberian secara intramuskular absorbsinya lambat.

Dosis diazepam pada anak adalah 0,3 mg/kg BB, diberikan secara

intravena pada kejang demam fase akut, tetapi pemberian tersebut

sering gagal pada anak yang lebih kecil. Jika jalur intravena

belum terpasang, diazepam dapat diberikan per rektal dengan

dosis 5 mg bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg pada

berat badan lebih dari 10 kg.11,26

Bila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan luminal

suntikan intramuskular dengan dosis awal 30 mg untuk neonatus,

50 mg untuk usia 1 bulan – 1 tahun, dan 75 mg untuk usia lebih

dari 1 tahun. Efek samping diazepam adalah mengantuk,

hipotensi, penekanan pusat pernafasan, laringospasme dan henti

jantung. Penekanan pada pusat pernafasan dan hipotensi terutama

terjadi bila sebelumnya anak telah mendapat fenobarbital.

Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB) telah diteliti aman dan

efektif untuk mengantisipasi kejang demam akut pada anak.

Kecepatan absorbsi midazolam ke aliran darah vena dan efeknya

pada sistem syaraf pusat cukup baik; namun efek terapinya masih

kurang bila dibandingkan dengan diazepam intravena.11,26

b. Mencari dan Mengobati Penyebab

Penyebab dari kejang demam baik itu kejang demam

sederhana maupun epilepsi yang diprovokasi oleh demam

biasanya infeksi traktus respratorius bagian atas dan otitis media

akut. Pemberian antibiotika yang tepat dan adekuat perlu untuk

mengobati infeksi tersebut. Pemeriksaan laboratorium dilakukan

atas indikasi untuk mencari penyebab, seperti pemeriksaan darah

rutin, kadar gula darah dan elektrolit. Pemeriksaan CT-Scan

dilakukan pada anak dengan kejang yang tidak diprovokasi oleh

demam dan pertama kali terjadi, terutama jika kejang atau

pemeriksaan post iktal menunjukkan abnormalitas fokal.11,26

c. Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang

Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan,

karena menakutkan keluarga dan bila berlangsung terus dapat

menyebabkan kerusakan otak yang menetap.26

Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu :

1) Profilaksis intermittent pada waktu demam

Pengobatan profilaksis intermittent dengan

antikonvulsan segera diberikan pada waktu pasien demam

(suhu rektal lebih dari 38ºC). Pilihan obat harus dapat cepat

masuk dan bekerja ke otak. Antipiretik saja dan fenobarbital

tidak mencegah timbulnya kejang berulang. Diazepam oral

efektif untuk mencegah kejang demam berulang dan bila

diberikan intermittent hasilnya lebih baik karena

penyerapannya lebih cepat.26

Diazepam diberikan melalui oral atau rektal. Dosis

per rektal tiap 8 jam adalah 5 mg untuk pasien dengan berat

badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan

berat badan lebih dari 10 kg. Dosis oral diberikan 0,5

mg/kgBB perhari dibagi dalam 3 dosis, diberikan bila pasien

menunjukkan suhu 38,50C atau lebih. Menggunakan

klonazepam sebagai obat anti konvulsan intermittent (0,03

mg/kg BB per dosis tiap 8 jam) selama suhu diatas 380C dan

dilanjutkan jika masih demam. Efek samping klonazepam

yaitu mengantuk, mudah tersinggung, gangguan tingkah laku,

depresi, dan salivasi berlebihan.26

Kloralhidrat supositoria berkhasiat untuk mencegah

kejang demam berulang. Dosis yang diberikan adalah 250 mg

untuk berat badan kurang dari 15 kg, dan 500 mg untuk berat

badan lebih dari 15 kg, diberikan bila suhu diatas 380C.

Kloralhidrat dikontraindikasikan pada pasien dengan

kerusakan ginjal, hepar, penyakit jantung, dan gastritis.26

2) Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Tiap Hari

Indikasi pemberian profilaksis terus menerus adalah26,27 :

a) Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada

kelainan atau gangguan perkembangan neurologis.

b) Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat

genetik pada orang tua atau saudara kandung.

c) Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau

diikuti kelainan neurologis sementara atau menetap.

d) Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12

bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu episode

demam.

Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan

selama 1–2 tahun setelah kejang terakhir, kemudian

dihentikan secara bertahap selama 1–2 bulan. Pemberian

profilaksis terus menerus hanya berguna untuk mencegah

berulangnya kejang demam berat, tetapi tidak dapat

mencegah timbulnya epilepsi dikemudian hari. Pemberian

fenobarbital 4 – 5 mg/kg BB perhari dengan kadar sebesar 16

mg/mL dalam darah menunjukkan hasil yang bermakna

untuk mencegah berulangnya kejang demam. Efek samping

fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif

ditemukan pada 30–50% kasus. Efek samping fenobarbital

dapat dikurangi dengan menurunkan dosis.11,26

Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat,

obat ini lebih baik dibandingkan dengan fenobarbital. Dosis

asam valproat adalah 15–40 mg/kgBB perhari dibagi 2-3

dosis. Efek samping yang ditemukan adalah hepatotoksik,

pankreatitis, tremor dan alopesia. Fenitoin dan karbamazepin

tidak memiliki efek profilaksis terus menerus.11,26,27

7. Prognosis

Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, prognosisnya

baik. Dari penelitian yang ada, frekuensi terulangnya kejang berkisar

antara 25% - 50%, yang umumnya terjadi pada 6 bulan pertama.

Apabila melihat umur, jenis kelamin dan riwayat keluarga, lennox-

buchthal mendapatkan11 :

a. Pada anak berumur kurang dari 13 tahun, terulangnya kejang pada

wanita 50% dan pria 33%.

b. Pada anak berumur antara 14 bulan dan 3 tahun dengan riwayat

keluarga adanya kejang, terulangnya kejang adalah 50%, sedang

pada tanpa riwayat kejang 25%.

Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang

menjadi27 :

a. Kejang demam berulang.

b. Kelainan motorik.

c. Gangguan mental dan belajar.

d. Epilepsi.

Angka kejadian epilepsi berbeda-beda, tergantung dari cara

penelitian, misalnya Lumbantobing pada penelitannya mendapatkan

6%, sedangkan Livingston mendapatkan dari kejang demam

sederhana hanya 2,9% menjadi epilepsi dan epilepsi yang di provokasi

oleh demam ternyata 97% menjadi epilepsi.11 Epilepsi yang terjadi

setelah kejang demam bermacam-macam, yang paling sering adalah

epilepsi motorik umum yaitu kira-kira 50%.24

C. MEKANISME TERJADINYA EPILEPSI PADA KEJANG DEMAM

Kejang demam yang berlangsung singkat tidak bahaya dan tidak

menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama

(lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya

kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya

terjadi hipoksemia, hiperkapnea, asidosis laktat disebabkan oleh

metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang

tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat yang disebabkan

meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme

otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga

terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang yang

lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang

mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan

timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.11

Kejang demam yang berlangsung lama dapat menimbulkan

kerusakan anatomi otak berupa kehilangan neuron dan gliosis terutama di

daerah yang peka seperti hipokampus dan amigdala. Kerusakan pada

daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang

berlangsung lama dapat menjadi “matang” dikemudian hari, sehingga

terjadi serangan epilepsi yang spontan.10,11 Kejang demam dapat

berkembang menjadi epilepsi diperkirakan melalui mekanisme

biokimiawi, neurofisiologi, neuropatologi, inhibisi dan eksitasi, dan efek

kindling (stimulasi berulang “menurunkan ambang batas” untuk terjadinya

kejang kembali).10

Menurut beberapa kepustakaan sebagaimana dikutip oleh Raharjo,

kejang demam menjadi epilepsi kemungkinan melalui mekanisme sebagai

berikut6 :

1. Kejang yang lamanya lebih dari 30 menit akan mengakibatkan

kerusakan DNA dan protein sel sehingga menimbulkan jaringan parut.

Jaringan parut ini dapat menghambat proses inhibisi. Hal ini akan

mengganggu keseimbangan inhibisi-eksitasi, sehingga mempermudah

timbulnya kejang.

2. Kejang yang berulang akan mengakibatkan kindling effect sehingga

rangsang dibawah nilai ambang sudah dapat menyebabkan kejang.

3. Kejang demam yang berkepanjangan akan mengakibatkan jaringan

otak mengalami sklerosis, sehingga terbentuk fokus epilepsi.

4. Kejang demam yang lama akan mengakibatkan terbentuknya zat

toksik berupa amoniak dan radikal bebas sehingga mengakibatkan

kerusakan neuron.

5. Kejang demam yang lama akan mengakibatkan berkurangnya glukosa,

oksigen, dan aliran darah otak sehingga terjadi edema sel, akhirnya

neuron menjadi rusak.

D. KERANGKA TEORI

Gambar 2.1 Bagan kerangka teori

Kejang Demam

Gangguan Inhibisi - Ekshibisi

Asidosis laktat

Hipoksia

Suplai O2 dan glukosa

ke otak menurun

Kejang demam Kompleks

Hiperkapnea

Epilepsi

Edema Otak

Metabolisme Anaerob

Kerusakan Neuron Otak

Reseptor Nafas Meningkat

E. KERANGKA KONSEP

Gambar 2.2 Bagan kerangka konsep

F. HIPOTESIS

Ada hubungan riwayat kejang demam dengan kejadian epilepsi

pada anak usia 6 -14 tahun di RSUP Dr. Kariadi Semarang.

Kejadian Epilepsi Kejang Demam