Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Antibiotik
Antibiotik (L. anti = lawan, bios = hidup) merupakan zat-zat kimia yang
dihasilkan oleh fungi dan bakteri yang mampu menghambat pertumbuhan atau
mematikan kuman, namun memiliki toksisitas yang rendah bagi manusia (Tjay and
Rahardja, 2015). Antibiotik merupakan salah satu senjata paling ampuh untuk
memerangi infeksi yang mengancam jiwa pada hewan maupun manusia (Antibiotic
resistance threats in the United States, 2019). Antibiotik yang membunuh bakteri
disebut bakterisidal, sedangkan antibiotik yang menghambat pertumbuhan bakteri
disebut bakteriostatik (Etebu and Arikekpar, 2016).
2.2 Klasifikasi Antibiotik
Ada beberapa klasifikasi antibiotik, namun yang paling sering digunakan
yaitu berdasarkan mekanisme aksi, spekrum kerja dan struktur molekul (Van Hoek
et al., 2011; Adzitey, 2015; Etebu and Arikekpar, 2016).
2.2.1.Berdasarkan Mekanisme Aksi
Antibiotik dalam menghambat pertumbuhan dan mematikan bakteri
berdasarkan mekanisme aksi (Etebu and Arikekpar, 2016), sebagai berikut:
(1) Antibiotik menghambat sintesis peptidoglikan pada dinding sel bakteri seperti
golongan β-lactam (penisilin, sefalosporin, dan carbapenem) dan golongan
glikopeptida (vancomicin, bacitracin).
(2) Antibiotik yang mengacaukan sintesa molekul lipoprotein di membran sel
sehingga meningkatkan permeabilitas dan zat-zat yang ada di dalam sel dapat
merembas keluar, contohnya polimiksin dan daptomycin (Tjay and Rahardja,
2015).
(3) Antibiotik yang menghambat sintesis protein dengan merusak fungsi subunit
50S ribosom seperti golongan kloramfenikol, makrolida, klindamisin, linezolid
dan streptogramin serta antibiotik yang bekerja dengan berikatan pada subunit
30S ribosom seperti aminoglikosida dan tetrasiklin sehingga terjadi
penghambatan pertumbuhan bakteri atau bacteriostatic.
6
(4) Antibiotik yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat dengan menghambat
polimerisasi RNA dan menghambat topoisomerase seperti Quinolon,
Rifampisin.
(5) Antibiotik antimetabolik yang bekerja dengan memblok enzim dalam proses
sulfonamid asam folat seperti kombinasi 6ulfonamide dan trimethoprim.
2.2.2.Berdasarkan Spektrum Kerja
Antibiotik berdasarkan luas spektrum kerjanya dibagi menjadi 2. Antibiotik
bekerja dengan cara menghambat pertumbuhan maupun membunuh bakteri.
Antibiotik yang bekerja dengan membunuh banyak spesies bakteri termasuk
antibiotik dengan spektrum luas atau antibiotik broad spectrum, sedangkan
antibiotik yang membunuh hanya beberapa spesies bakteri disebut antibiotik
spektrum sempit atau antibiotik narrow spectrum (Oliphant, 2016).
2.2.3.Berdasarkan Struktur Molekul
Pengelompokkan antibiotik berdasarkan struktur molekul yaitu golongan β-
lactam, Makrolida, Kloramfenikol, Oxazolidinones, Tetrasiklin, Aminoglikosida,
Quinolon, dan Sulfonamid.
(1) β-Lactam
Antibiotik β-Lactam bekerja mengambat sintesis dinding sel dengan
mengikat PBP (Penicillin-binding Protein) pada bakteri dan mengganggu
Gambar 2. 1 Situs Target Antibiotik (Etebu and Arikekpar, 2016)
7
ikatan silang (cross-linking) struktur peptidoglikan yang mencegah
transpeptidasi terminal di dinding sel bakteri. Dengan demikian, dinding sel
bakteri menjadi lemah dan terjadi sitolisis atau kematian karena tekanan
osmotik (Van Hoek et al., 2011). Penisilin, Sefalosporin, Monobactam, dan
Carbapenem adalah golongan Antibiotik β-lactam (Katzung, 2018).
1) Penisilin
Penisilin merupakan kelas antibiotik yang paling luas dan pertama
dilaporkan oleh Alexander Fleming pada tahun 1929 (Katzung, 2018).
Golongan penisilin memiliki struktur umum yang terbentuk dari cincin
tiazolidin yang melekat pada cincin β-Lactam mebawa gugus amino bebas
sehingga membentuk inti asam 6-aminopenicillanic (6-APA). Substituen
ke struktur inti di situs kelompok amino menimbulkan obat individu dari
kelas ini yang masing-masing memiliki sifat antibakteri dan sifat
farmakologis yang unik (Marek and Timmons, 2019). Penisilin dapat
digolongkan dalam beberapa kelompok sebagai berikut:
a) Penisilin Natural (Penisilin G dan Penisilin V)
Penisilin G dan Penisilin V (fenoksimetilpenisilin) memiliki spektrum
aktifitas yang sempit karena pengembangan enzim β-Lactamase yang
dibentuk oleh kuman (penisilinase) aktif terhadap penisilin sehingga
menyebabkan resistensi. Penisilin V merupakan bentuk oral dari
penisilin G yang memiliki struktur kimia stabil dalam lingkungan asam
dan bioavaibilitas yang baik (oral) (Gallagher and MacDougall, 2018;
Marek and Timmons, 2019). Penisilin G merupakan obat infeksi
pilihan yang disebabkan oleh streptococci, meningococci, beberapa
enterococci, pneumokokus yang rentan terhadap penisilin,
staphylococci penghasil non-β-laktamase, Treponema pallidum,
Actinomyes dan beberapa batang gram positif lainnya, serta organisme
anaerob gram negatif penghasil non-β-laktamase. Benzathine dan
Procaine Penicillin G digunakan secara injeksi intramuscular dengan
penggunaan jangka panjang. Injeksi Benzathine penicillin
intramuscular adalah pengobatan efektif untuk faringitis yang
8
disebabkan oleh streptococcus dan infeksi lain oleh Treponema
pallidum (Katzung, 2018; Marek and Timmons, 2019).
b) Penisilin Resisten β-Lactamase (Methicillin, Cloxacillin, Dicloxacillin,
Oxacillin, Nafcillin)
Penisilin semisintetik ini diindikasikan untuk infeksi yang disebabkan
oleh staphylococcus penghasil β-Lactamase. Molekul dari antibiotik ini
mengandung gugusan yang mengelilingi dan melindungi cincin β-
Lactam sehingga β-Lactamase tidak dapat mendekati molekul untuk
menguraikannya (Tjay and Rahardja, 2015). Methicillin merupakan
yang pertama dibuat dalam kelompok ini namun secara klinis tidak
digunakan lagi karena tingginya efek samping. Dalam beberapa tahun
terakhir, penggunaan antibiotik ini dikurangi penggunaannya secara
empiris karena meningkatnya resistensi staphylococcus terhadap
methicillin (MRSA). Oxacillin dan Nafcillin diberikan secara intravena
untuk infeksi staphylococcus yang serius seperti endocarditis
(Katzung, 2018).
c) Extended-Spectrum Penicillin (Aminopenicillin, Carboxypenicillin,
Ureidopenicillin)
Obat-obat ini memiliki aktivitas yang besar dalam menembus membran
luar bakteri gram negatif. Aminopenicillin (amoxisilin dan ampisilin)
masing-masing memiliki spektrum yang serupa, namun amoxisilin
diberikan secara oral untuk mengobati bakteri sinusitis, otitis dan
infeksi saluran pernapasan bawah. Aminopenicillin merupakan
antibiotik β-Lactam oral yang paling aktif dan lebih disukai untuk
mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri pneumococci.
Ampisilin umumnya digunakan secara intravena yang efektif untuk
infeksi shigella. Selain aminopenicillin, Carboxypenicillin
(Karbenisilin dan Tikarsilin) dan Ureidopenicillin (Piperasilin) juga
merupakan penisilin berspektrum luas terhadap bakteri gram negatif,
termasuk P aeruginosa. Piperasilin juga aktif terhadap beberapa basil
gram negative, seperti Klebsiella pneumonia, pseudomonas dan
Bacteroides fragilis. Aminopenicillin dan antipseudomonal umumnya
9
digunakan kombinasi dengan β-Lactamase inhibitor seperti klavulanat,
sulbactam atau tazobactam sehingga mampu memperluas aktivitasnya
terhadap S. aureus dan beberapa bakteri gram negatif penghasil β-
Lactamase (Tjay and Rahardja, 2015; Katzung, 2018).
2) Sefalosporin
Sefalosporin memiliki struktur dan fungsi yang sama dengan penisilin
namun memiliki spektrum aktivitas lebih luas dari penisilin karena
stabilitas yang lebih besar dengan adanya β-Lactamase (Marek and
Timmons, 2019). Inti dari sefalosporin adalah asam 7-
aminocephalosporanic yang memiliki kemiripan yang dekat dengan asam
6-aminopnecillanic. Sefalosporin diklasifikasikan menjadi 4 generasi
dengan spektrum aktifitas antianaerob lebih luas, aktivitas
antipseudomonal, dan peningkatan stabilitas pada β-Lactamase (Katzung,
2018).
a) Sefalosporin Generasi Pertama
Sefazolin, Sefadroxil, Sefaleksin, Sefalotin, Sefapirin dan Sefradin
merupakan sefalosporin generasi pertama yang sangat aktif terhadap
cocci gram positif, seperti streptococci dan staphylococci tetapi kurang
efektif terhadap bakteri gram negatif. Sefaleksin dan sefadroksil
diberikan secara oral dan ekskresi terutama melalui filtrasi glomerulus
dan sekresi tubular ke dalam urin sehingga dosis pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal harus dikurangi. Sefalosporin oral tidak
dianjurkan untuk infeksi sistemik yang serius (Van Hoek et al., 2011;
Katzung, 2018). Umumnya, sefalosporin golongan pertama banyak
digunakan di rumah sakit sebagai profilaksis dalam proses pembedahan
karena spektrum aktifitasnya luas, harga yang terjangkau dan insiden
terjadinya efek samping rendah (Gallagher and MacDougall, 2018).
Cefazolin dapat diberikan secara parenteral maupun intramuscular dan
diekskresi melalui ginjal sehingga harus dilakukan penyesuaian dosis
pada pasien dengan gangguan ginjal (Katzung, 2018).
b) Sefalosporin Generasi Kedua
10
Sefalosporin generasi kedua lebih stabil terhadap β-Lactamase gram
negatif dan sangat aktif melawan Haemophilus influenza dan Neisseria
gonorrhoeae tetapi memiliki aktifitas lebih rendah terhadap gram
positif. Sefalosporin yang termasuk generasi kedua adalah Sefaklor,
Sefamandole, Sefonisid, Sefuroksim, Sefprozil, Loracarbef, dan
Cephamycins (Sefoksitin dan Sefotetan). Cephamycins memiliki
aktifitas terhadap anaerob campuran seperti peritonitis, diverticulitis,
dan penyakit radang panggul. Sefoksitin menunjukkan peningkatan
stabiltas dengan spektrum luas terhadap β-Lactamase yang diproduksi
oleh E. Coli dan Klebsiella sp. Oral generasi kedua yaitu Sefaklor,
Sefprozil dan Loracarbef yang aktif terhadap H. Influenzae atau
Moraxella catarrhalis penghasil β-Lactamase dan telah digunakan
terutama untuk mengobati sinusitis, otitis, dan infeksi saluran
pernapasan bawah. Sefuroksim dapat diberikan secara oral maupun
intravena untuk mengobati community-aqcuired pneumonia karna aktif
melawan pneumokokus dan H. Influenzae (Katzung, 2018).
c) Sefalosporin Generasi Ketiga
Sefalosporin generasi ketiga memiliki aktifitas terhadap gram negatif
yang lebih besar, aktifitas terhadap streptokokus yang baik, mampu
menembus sawar darah otak tetapi aktifitas stafilokokus lebih rendah
dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Obat generasi ketiga
dikaitkan dengan insiden diare yang tinggi disebabkan oleh
Clostridium difficile (Marek and Timmons, 2019). Antibiotik yang
termasuk sefalosporin generasi ketiga di antaranya Sefoperazon,
Sefotksim, Seftazidim, Seftizoksim, Seftriakson, Sefiksim, Sefdinir,
Seftibuten dan Moxalactam. Antibiotik ini efektif terhadap
Haemophilus dan Neisseria penghasil β-Lactamase. Seftazidim
memiliki aktifitas terhadap P aeruginosa. Seftriakson dan sefotaksim
merupakan sefalosporin yang paling aktif terhadap pneumokokus yang
tidak rentan terhadap penisilin maupun sebagai terapi empiris untuk
infeksi serius yang disebabkan oleh pneumokokus, meningokokus, H
influenzae. Seftriakson diekskresi melalui saluran empedu dan tidak
11
diperlukan penyesuaian dosis dalam insufisiensi ginjal. Sedangkan
sefalosporin generasi ketiga lainnya diekskresikan oleh ginjal sehingga
perlu dilakukan penyesuaian dosis dalam insufisiensi ginjal (Katzung,
2018).
d) Sefalosporin Generasi Keempat
Sefepim adalah satu-satunya sefalosporin generasi keempat memiliki
spektrum paling luas (broadest-spectrum) diantara sefalosporin lainnya
karena lebih tahan terhadap hidrolisis oleh kromosom β-Lactamase dan
mudah terpenetrasi ke dalam cairan serebrospinal. Sefepim memiliki
aktifitas yang baik terhadap sebagian besar streptococcus yang tidak
rentan terhadap penisilin, P aeruginosa, Enterobacteriaceae, S aureus
yang rentan terhadap methicillin, dan S pneumonia. Antibiotik ini
sangat aktif terhadap Haemophilus dan Neisseria sp (Katzung, 2018).
3) Carbapenem
Carbapenem termasuk golongan antibiotik β-Lactam yang mampu
menahan hidrolisis enzim β-Lactamse sehingga aktifitas antibiotik tetap
bekerja. Carbapenem, diantara ratusan antibiotik β-Lactam yang diketahui,
memiliki spektrum aktivitas terluas dan potensi terbesar melawan bakteri
gram positif dan gram negatif sehingga sering disebut “antibiotik pilihan
terakhir” yang diberikan ketika pasien dengan infeksi parah atau diduga
memiliki bakteri resisten. Imipenem, Meropenem dan Ertapenem termasuk
kelompok Carbapenem yang memiliki broad spectrum. (Etebu and
Arikekpar, 2016). Imipenem efektif terhadap patogen aerob dan anaerob
yang biasanya diberikan oral dan aktif dengan konsentrasi rendah serta
efek samping alergi yang rendah. Meropenem efektif terhadap aerob gram
negative dan sedikit aktifitas melawan gram positif. Ertapenem memiliki
aktifitas terbatas terhadap spesies P aeruginosa dan Acinetobacter.
Carbapenem menembus jaringan tubuh termasuk cairan serebrospinal
dengan baik, kecuali Ertapenem. Ekskresi Carbapenem melalui ginjal dan
dosisnya harus dikurangi pada pasien dengan gangguan ginjal (Katzung,
2018).
4) Monobactam
12
Struktur cincin β-Lactam dari Monobactam berdiri dan tidak menyatu
dengan cincin lain. Aztreonam merupakan satu-satunya antibiotik yang
tersedia secara komersial dengan spektrum sempit. Aztreonam hanya aktif
terhadap bakteri gram negatif aerob seperti Neisseria dan Pseudomonas
untuk mengobati pneumonia, sepsis, dan infeksi saluran kemih yang
disebabkan kelompok bakteri tersebut. Monobactam tidak efektif terhadap
bakteri gram positif maupun anaerob. Pemberian monobactam dengan cara
injeksi dan inhalasi (Katzung, 2018).
Tabel II. 1 Dosis sefalosporin yang sering digunakan dan antibiotik
penghambat dinding sel lainnya (Katzung, 2018)
Antibiotik Rute
Pemberian Dosis Dewasa
Sefalosporin Generasi Pertama
Sefalexin PO 0.25-05 gram 4 kali sehari
Sefazolin IV 0.5-2 gram tiap 8 jam
Sefalosporin Generasi Kedua
Sefoksitin IV 1-2 gram tiap 6-8 jam
Sefotetan IV 1-2 gram tiap 12 jam
Sefuroksim IV 0.75-1.5 gram tiap 8 jam
Sefalosporin Generasi Ketiga dan Keempat termasuk Seftarolin
fosamil
Sefotaksim IV 1-2 gram tiap 6-12 jam
Seftazidim IV 1-2 gram tiap 8-12 jam
Seftriakson IV 1-4 gram tiap 24 jam
Sefepim IV 0.5-2 gram tiap 12 jam
Seftarolin fosamil IV 600 mg tiap 12 jam
Carbapenem
Ertapenem IM atau IV 1 gram tiap 24 jam
Imipenem IV 0.25-0.5 gram tiap 6-8 jam
Meropenem IV 1 gram tiap 8 jam (2 gram
tiap 8 jam untuk meningitis)
13
(2) Makrolida
Antibiotik makrolida memiliki struktur utama cincin lakton yaitu amino
dan gula netral dilekatkan oleh ikatan glikosidik (Van Hoek et al., 2011).
Mekanisme kerja antibiotik Makrolida yaitu penghambatan pertumbuhan
bakteri (bacteriostatic), tetapi dalam konsentrasi yang tinggi dapat mematikan
bakteri (bacterisidal). Erythromycin merupakan obat pertama kali yang
tersedia di kelompok ini, Clarithromycin dan Azithromycin merupakan
turunan dari Erythromycin yang memiliki aktivitas menghambat sintesis
protein dengan mengikat subunit 50S ribosomal RNA bakteri (Katzung, 2018).
Clarithromycin dan Azithromycin adalah salah satu antibiotik yang paling
sering diresepkan untuk pasien rawat jalan karena aktivitasnya melawan
berbagai patogen pernapasan. Namun, resistensi meningkat terutama pada
Streptococcus pneumonia. Oleh karena itu, turunan ketolide (Telithromycin)
ditujukan untuk mengatasi resistensi tersebut dengan aktivitas yang lebih baik
terhadap S. pneumoniae yang resisten namun beresiko hepatoksisitas yang
signifikan. Eryrthromycin aktif terhadap pneumococci, streptococci,
staphylococci dan corynebacteria (difteri, sepsis corynebacteria, erythrasma).
Clarithromycin aktif terhadap Mycobacterium leprae, Toxoplasma gondii, and
H influenzae. Azithromycin aktif terhadap M avium kompleks dan T gondii.
Semua makrolida umumnya diekskresi melalui hati dan sebagian melalui urin
(Katzung, 2018; Marek and Timmons, 2019).
(3) Kloramfenikol
Mekanisme kerja kloramfenikol menghambat sintesis protein bakteri
dengan mengikat secara terbalik ke subunit 50S ribosom sehingga
menghambat pembentukan ikatan peptida. Kloramfenikol merupakan
antibiotik broad-spectrum yang berkhasiat bakteriostatik terhadap gram positif
aerob maupun anaerob dan bakteri gram negatif. Kloramfenikol dapat bersifat
bakterisid terhadap H. influenza, Neisseria meningitides, dan beberapa jenis
Bacteroides. Salah satu resiko dalam penggunaan kloramfenikol adalah
anemia aplastik, sehingga pada tahun 1970-an di negara Barat jarang
digunakan peroral untuk terapi pada manusia. Kloramfenikol dianjurkan untuk
infeksi tifus (Salmonella typhi) dan meningitis (H. influenzae) (Tjay and
14
Rahardja, 2015). Pemberian antibiotik ini pada bayi yang baru lahir (infant)
harus berhati-hati karena dapat menyebabkan Gray Baby Syndrom dengan
muntah, hipotermia, warna abu-abu, syok dan pembuluh darah kolaps.
Kloramfenikol dieksresikan dalam jumlah kecil ke dalam empedu dan feses
dan sisanya melalui urin sehingga tidak ada penyesuaian dosis spesifik yang
direkomendasikan pada gangguan ginjal atau hati (Katzung, 2018).
(4) Oxazolidinones
Oxazolidinone menghambat sintesis protein dengan mencegah
pembentukan kompleks ribosom yang menginisiasi sintesis protein. Situs
pengikatannya yang unik yaitu terletak di RNA ribosom 23S dari subunit 50S
yang menghambat sintesis protein pada taraf dini sekali, menghasilkan tidak
ada resistensi silang dengan kelas obat yang lain. Linezolid merupakan
Oxazolidinone yang aktif terhadap bakteri gram positif termasuk
staphulococci, streptococci, enterococci dan Mycobacterium tuberculosis.
Penggunaan Linezolid untuk perawatan pneumonia dan infeksi kulit serta
jaringan lunak yang rumit maupun tidak rumit oleh bakteri gram positif yang
rentan. Penggunaan off-label Linezolid pada pengobatan tuberculosis
multidrugresisten dan infeksi Nacordia. Tedizolid merupakan Oxazolidinone
generasi baru memiliki potensi yang tinggi terhadap bakteri gram posited
termasuk MRSA. Tedizolid lebih terikat protein (70-90%) daripada Linezolid
(31%) (Katzung, 2018).
(5) Tetrasiklin
Tetrasiklin meripakan antibiotik broad-spectrum bersifat bakteriostatik
yang menghambat sintesis protein. Tetrasiklin menembus bakteri melalui
difusi pasif dan proses transport aktif bergantung pada energi. Saat sudah
memasuki sel, tetrasiklin mengikat subunit 30S ribosom bakteri secara
reversible sehingga menghambat pertumbuhan bakteri. Beberapa obat yang
termasuk tetrasiklin antara lain doksisiklin, minosiklin, dan tigesiklin.
Absorbsi setelah pemberian oral sekitar 60-70% untuk tetrasiklin dan 95-100%
untuk doksisiklin dan minosiklin. Tetrasiklin aktif terhadap bakteri gram
positif dan gram negatif termasuk anaerob, rickettsiae, chlamydiae, dan
mikoplasma. Tigesiklin kurang diserap secara oral sehingga diberikan secara
15
intravena. Tetrasiklin harus diberikan saat perut kosong, sedangkan
penyerapan doksisiklin dan minosiklin tidak terganggu dengan adanya
makanan. Tetrasiklin digunakan pada pengobatan infeksi saluran pernapasan
dan paru-paru, saluran kemih, mata, jerawat dan kulit. Tetrasiklin dieliminasi
melalui empedu dan urin kecuali Tigesiklin hanya melalui empedu (Katzung,
2018).
(6) Aminoglikosida
Aminoglikosida di antaranya adalah Streptomisin, Neomisin, Kanamisin,
Amikasin, Gentamisin, dan lain-lain. Aminoglikosida merupakan antibiotik
yang menghambat sintesis protein secara irreversible dengan mengikat subunit
30S ribosom. Aminoglikosida menghambat sintesis protein dengan
mengganggu inisiasi kompleks dalam pembentukan peptida, kesalahan dalam
translasi mRNA, dan memecah polisom menjadi monosom nonfungsional.
Spektrum kerja Aminoglikosida luas meliputi gram negative di antaranya E.
coli, H influenzae, Klebsiella, Enterobacter, Salmonella dan Shigella serta
beberapa bakteri gram positif. Absorbsi aminoglikosida sangat buruk pada
saluran gastrointestinal dan hampir semua dosis oral diekskresikan dalam feses
setelah pemberian sehingga aminoglikosida diberikan secara intravena dan
intramuskular. Aminoglikosida diekskresikan melalui ginjal sehingga
diperlukan penyesuaian dosis apabila fungsi ginjal terganggu untuk
menghindari tingkat toksik (Tjay and Rahardja, 2015; Katzung, 2018).
(7) Quinolon
Quinolon bekerja langsung terhadap sintesis DNA bakteri. Mekanisme
kerjanya yaitu menghambat topoisomerase II (DNA gyrase) untuk mencegah
transkripsi dan replikasi normal oleh DNA superkoil; dan menghambat
topoisomerase IV untuk mengganggu pemisahan DNA kromosom yang
direplikasi ke sel anak selama pembelahan sel. Antibiotik yang termasuk
Quinolon yaitu Siprofloksasin, Levofloksasin, Lomefloksasin, Floksasin,
Ofloksasin, dan lain-lain. Quinolon memiliki aktivitas yang sangat baik
terhadap bakteri gram negatif dan aktivitas sedang hingga baik terhadap
bakteri gram positif. Setelah pemberian oral, quinolon diserap dan
didistribusikan ke seluruh cairan dan jaringan tubuh karena memiliki
16
bioavaibilitas yang baik yakni 80-95%. Banyak digunakan untuk pengobatan
infeksi saluran kemih, infeksi saluran pernapasan bawah, infeksi jaringan
lunak, tulang dan sendi. Quinolon, kecuali Moksifloksasin, diekskresi melalui
ginjal, baik sekresi tubular atau filtrasi glomerulus. Penyesuaian dosis yang
tepat tergantung pada tingkat kerusakan ginjal dan jenis Quinolon yang
digunakan. Moksifloksasin dimetabolisme di hati sehingga penggunaan harus
diperhatikan pada pasien dengan gagal hati (Katzung, 2018).
(8) Sulfonamid
Mekanisme kerja Sulfonamid yaitu menghambat dihidropteroat sintase
dan produksi folat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bakteri. Sulfonamida
mampu menghambat bakteri gram poitif, seperti Staphylococcus sp dan bakteri
gram negatif enteric seperti E coli, Klebsiella pneumonia, Salmonella,
Shigella, dan Enterobacter sp. Aktivitas kurang baik terhadap anaerob.
Sulfonamida oral dapat diserap lambung dan usus kecil kemudian
didistribusikan secara luas ke jaringan dan cairan tubuh termasuk SSP dan
serebrospinal, plasenta, dan janin. Kombinasi Trimethoprim-
Sulfamethoxazole merupakan obat pilihan untuk infeksi Peumocystis jiroveci,
toxoplasmosis, dan nocardiosis (Katzung, 2018).
2.3 Macam-Macam Terapi Antibiotik
2.3.1. Terapi Empiris
Antibiotik untuk terapi empiris digunakan pada kasus infeksi yang belum
diketahui jenis bakteri penyebab dari infeksi tersebut dan pola kepekaannya.
Pemberian antibiotik empiris bertujuan untuk menghambat pertumbuhan
bakteri yang diduga sebagai penyebab infeksi sebelum diperoleh hasil
pemeriksaan mikrobiologi. Pemilihan antibiotik empiris didasarkan pada
kondisi klinis pasien, kemampuan antibiotik untuk menembus jaringan yang
terinfeksi, dan pola resistensi bakteri di komunitas maupun di rumah sakit
tersebut. Jangka waktu pemberian antibiotik empiris selama 48-72 jam
kemudian harus dilakukan evaluasi berdasarkan data-data yang menunjang
evaluasi seperti data hasil pemerikasaan mikrobiologis, kondisi klinis pasien,
dan lain-lain (Kemenkes RI, 2011a). Terapi empiris merupakan upaya terbaik
dalam mengetahui bakteri yang diduga sebagai penyebab infeksi. Namun,
17
terapi empiris tidak boleh ditujukan terhadap setiap organisme yang diketahui,
melainkan organisme yang paling mungkin sebagai penyebab infeksi
(Gallagher and MacDougall, 2018).
2.3.2. Terapi Definitif
Pemberian antibiotik terapi definitif digunakan pada kasus infeksi yang
sudah diketahui jenis bakteri penyebab dari infeksi tersebut dan pola
resistensinya. Tujuan pemberian antibiotik definitif untuk menghambat
pertumbuhan bakteri penyebab infeksi berdasarkan hasil pemeriksaan
mikrobiologi. Pemilihan antibiotik definitive didasarkan pada hasil
pemeriksaan laboratorium, kondisi klinis pasien, biaya, sensitivitas dan
diutamakan antibiotik dengan spektrum sempit agar tidak menimbulkan
resistensi antibiotik (Kemenkes RI, 2011a). Hal ini dapat meminimalisir
toksisitas, kegagalan terapi, dan kemungkinan munculnya antibiotik serta
hemat biaya (Gallagher and MacDougall, 2018).
2.4 Prinsip Penggunaan Antibiotik
Antibiotik merupakan salah satu obat yang paling sering diresepkan di
seluruh dunia untuk mengatasi infeksi oleh bakteri. Pemilihan antibiotik untuk
terapi empiris yang tepat telah menjadi semakin sulit. Terapi antibiotik
didasarkan pada karakteristik pasien, obat dan mikroorganisme yang
didefinisikan sebagai landasan segitiga (cornerstones of a triangle) (Özgenç,
2016).
2.4.1. Faktor Pasien
Faktor pasien (host) yang dapat mempengaruhi efektivitas dan toksisitas
antibiotik harus dipertimbangkan untuk mecapai terapi yang optimal. Faktor
host tersebut di antaranya adalah usia pasien, adanya kelainan genetik dan
metabolism, kehamilan, fungsi ginjal dan hati yang memiliki efek signifikan
pada toksisitas antibiotik yang diberikan. Pertimbangan lainnya dalam
pemilihan antibiotik yang sesuai adalah lokasi infeksi. Konsentrasi antibiotik
pada lokasi infeksi harus ≥ MIC bakteri yang menginfeksi agar terapi antibiotik
menjadi efektif (Özgenç, 2016).
Penggunaan antibiotik harus berhati-hati pada pasien yang mengalami
penurunan fungsi ginjal dan/atau hati menyebabkan penumpukan (akumulasi)
18
obat-obatan dalam tubuh sehingga terjadi toksisitas kecuali jika dosisnya
disesuaikan (DiPiro, 2017). Pasien hamil dan menyusui juga perlu
diperhatikan dalam penggunaan antibiotik karena beberapa antibiotik
berpotensi teraogenik bagi janin (seperti golongan kuinolon, tetrasiklin, dan
sulfonamid) dan beberapa antibiotik yang harus dihindari pada trimester
kehamilan tertentu (seperti trimethoprim/sulfametoksazol pada trimester
pertama). Selain itu, keberhasilan dalam terapi antibiotik juga dipengaruhi oleh
kepatuhan pasien karena dapat menyebabkan resistensi antibiotik apabila
pasien tidak teratur meminum antibiotik atau menghentikan konsumsi terapi
antibiotik secara tiba-tiba (Oliphant, 2016).
2.4.2. Faktor Obat
Penentuan antibiotik meliputi beberapa aspek dari penyakit infeksi,
seperti faktor imunologis dan genetik host, virulensi mikroba, farmakokinetik
dan farmakodinamik obat (Özgenç, 2016).
Farmakodinamik dengan farmakokinetik menjelaskan tentang dosis dan
respon terhadap antibiotik. Farmakokinetik menggambarkan tindakan obat
dalam jaringan dan cairan tubuh selama periode waktu tertentu, di antaranya
yaitu proses adsorbsi, distribusi dan ekskresi. Farmakodinamik mempelajari
hubungan antara interaksi biokimia dan fisiologis obat pada tubuh maupun
mikroorganisme yang terkait dengan gangguan primer, interaksi obat,
perjalanan waktu dan konsentrasi antibiotik di lokasi infeksi, timbulnya efek
samping yang harus diperhatikan (Özgenç, 2016). Jika terdapat beberapa
pilihan antibiotik, maka antibiotik yang memiliki potensi efek samping
terendah yang harus dipilih. Interaksi obat dapat berpengaruh terhadap
pendosisan antibiotik (Oliphant, 2016).
Antibiotik yang memiliki bioavaibilitas yang baik, misalnya β-Lactam,
penentuan rute pemakaian oral tergantung pada penyakit dan lokasi infeksinya.
Sedangkan pada kondisi infeksi di lokasi tertentu (meningitis) sehingga
membutuhkan kadar antibiotik dengan serum yang tinggi agar dapat mencapai
lokasi yang terinfeksi, atau pada antibiotik dengan bioavaibilitas yang rendah,
rute intravena harus dipilih karena memiliki kemampuan dalam penembusan
19
kompartemen sehingga kadar pada lokasi infeksi dapat tercapai dalam
menghambat atau membunuh bakteri (Oliphant, 2016).
Terapi empiris merupakan terapi awal yang diberikan pada pasien karena
proses kultur bakteri dan uji sensitivitas membutuhkan waktu, sementara
pasien harus segera diberi tindakan ketika sudah terdiagnosa infeksi. Terapi
empiris diawali dengan antibiotik berspektrum luas yang dapat menyebabkan
kematian flora normal pasien dan resistensi dari flora normal yang tidak
menjadi target obat sehingga dapat menyebabkan infeksi sekunder lainnya,
misalnya infeksi Clostridium difficile akibat penggunaan dari fluoroquinolon
(Oliphant, 2016).
Efektivitas biaya perawatan antibiotika dari infeksi termasuk salah satu
faktor dalam menentukan pilihan antibiotik. Anggaran antibiotik lebih dari
30% anggaran farmasi di rumah sakit. Di negara-negara berkembang, sepertiga
dari anggaran yang dicadangkan untuk perawatan kesehatan juga dihabiskan
untuk antibiotik sehingga KEMENKES di Turki telah membatasi resep
antibiotik yang mahal digunakan secara berlebihan di seluruh negeri (Özgenç,
2016).
Penggunaan antibiotik yang berlebihan dan pengendalian infeksi yang
tidak benar mengakibatkan resistensi antibiotik. Bakteri yang resisten terhadap
beberapa obat adalah penyebab utama kegagalan pengobatan infeksi yang
harus ditangani oleh dokter. Oleh karena itu, untuk membatasi transmisi
organisme multidrugresisten (MDRO) yang muncul, implementasi data
penggunaan antibiotik regional harus dikembangkan (Özgenç, 2016). Ketika
kondisi infeksi pasien tidak terlalu darurat, misalnya osteomyelitis, dapat
dilakukan kultur bakteri terlebih dahulu sehingga antibiotik dapat diberikan
antibiotik berspektrum sempit yang sensitif dengan bakteri penginfeksi
(Leekha, Terrell and Edson, 2011).
2.5 Penyakit Infeksi
Infeksi merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada bagian
penyakit dalam, diantaranya terjadi pada saluran pernapasan, saluran kemih,
pencernaan, kulit dan infeksi setelah penggunaan alat penunjang kesehatan
seperti halnya kateter (Ridwan et al., 2019). Penyakit infeksi adalah invasi
20
tubuh oleh mikroorganisme atau patogen, pembiakan mikroorganisme pada
jaringan tubuhyang dapat mengakibatkan cedera lokal akibat kompetisi
metabolisme, replikasi intrasel, toksin, atau respon antigen-antibiodi sehingga
dapat menyebabkan sakit (AYUNDA, 2019).
Meurut Data Hasil Utama RISKESDAS pada tahun 2018, prevalensi
infeksi penyakit menular mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2013
diantaranya yaitu pneumonia dari 1,6% menjadi 2,0%, penyakit diare dari
4,5% menjadi 6,8%, hepatitis dari 0,2% menjadi 0,4% berdasarkan diagnosis
nakes. Prevalensi penyakit tidak menular juga mengalami peningkatan
diantaranya yaitu kanker dari 1,4% menjadi 1,8%, stroke dari 7% menjadi
10,9%, penyakit ginjal kronis/CKD dari 2,0% menjadi 3,8%, dan diabetes
melitus 10,5% pada tahun 2018 (Kemenkes RI and Badan Litbangkes, 2018).
Pada dekade belakangan ini, insiden terjadinya infeksi akibat MRSA
(Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus) terus meningkat di berbagai
negara di dunia. Di Asia, prevalensi infeksi akibat MRSA kini mencapai 70%,
sementara pada tahun 2006 di Indonesia prevalensinya berada pada angka
23,5% (Mahmudah, Soleha and Ekowati, 2013). MRSA dapat menimbulkan
berbagi infeksi diantaranya adalah necrotizing fasclitis, pneumonia,
meningitis, endocarditis, dan yang paling sering yaitu infeksi kulit dan jaringan
lunak (IKJL). Dalam suatu penelitian, dilaporkan bahwa prevalensi MRSA
pada IKJL di RSCM periode Januari 2003 sampai September 2004 sebesar
54,8% (Putra et al., 2014).
Pneumonia merupakan salah satu penyebab tertinggi kematian anak usia
balita yang disebabkan oleh kuman streptococcus, pneumococcus dan
hemophilus influenzae type B/Hib, diikuti Staphylococcus aureus dan
Klebsiela pneumoniae. Pneumonia menyumbang 16% dari 5,9 juta kematian
balita di dunia dan menjadi penyebab kematian dari 920.136 anak-anak di
tahun 2015. Angka kematian akibat pneumonia pada balita tahun 2016 sebesar
0,11% sedangkan pada tahun 2015 sebesar 0,16% provinsi yang memiliki
angka kematian balita akibat pneumonia adalah Jawa Timur, Sulawesi Selatan
dan Lampung. Selain itu, suatu studi pada kasus DM melaporkan bahwa
jumlah penderita DM di Indonesia pada tahun 2000 mencapai 21,3 juta jiwa
21
dan menurut RISKESDAS tahun 2013 prevalensi DM di Indonesia adalah
6,9%. Ulkus kaki merupakan salah satu komplikasi utama DM yang berisiko
tinggi untuk amputasi dan kematian. Prevalensi pasien UKD berkisar 41% dari
populasi umumnya (Sari, Almasdy and Fatimah, 2018; Wulandari, 2018). Pada
kasus gagal ginjal kronis (CKD), prevalensi di Indonesia tahun 2018 menurut
Riskesdas sebesar 0,38% (713.783 jiwa) dengan umur di atas 15 tahun (Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Masyarakat, 2018).
Pola kuman dan sensitifitas antibiotika pada pasien ulkus kaki diabetik
sebagai berikut. Kuman terbanyak penyebab infeksi UKD adalah kuman gram
negatif yaitu Enterobacter agglomerans, Proteus mirabilis dan Klebsiella
pneumonia. Kuman gram positif adalah Streptococcus sp dan Staphylococcus
aureus. Antimikroba yang masih peka terhadap kuman gram positif adalah
meropenem, ceforoxim dan amoxilin, sedangkan yang masih peka terhadap
kuman gram negatif adalah meropenem (Kurniawan, Esa and Sennang, 2011).
Infeksi merupakan penyakit yang disebabkan oleh masuk dan
berkembangnya mikroorganisme seperti bakteri, fungi, parasit dan virus ke
dalam tubuh host dengan/tanpa disertai gejala klinik (Kemenkes RI, 2017).
Bakteri yang paling sering dijumpai sebagai penyebab infeksi adalah
Staphylococcus aureus, Eschericia coli, dan Bacillus subtilis. Ketiga bakteri
tersebut merupakan bakteri penghasil toksin berbahaya bagi manusia dan kebal
terhadap antibiotik (Ariyanta, 2014).
2.6 Resistensi Antibiotik
Antibiotik merupakan salah satu bentuk terapi yang paling sukses dalam
pengobatan. Tetapi efisiensi antibiotik dikompromikan oleh meningkatnya
jumlah patogen yang resisten antibiotik (Lin et al., 2015). Resistensi antibiotik
terjadi ketika bakteri berubah dalam menanggapi penggunaan obat-obatan ini
seperti bakteri dan jamur mengembangkan kemampuan untuk mengalahkan
obat yang dirancang untuk membunuh mereka sehingga kuman tidak terbunuh
dan terus berkembang biak. Infeksi yang disebabkan oleh kuman yang kebal
antibiotik sehingga sulit atau tidak mungkin untuk diobati. Resistensi
antibiotik terjadi secara alami, tetapi penyalahgunaan antibiotik dapat
mempercepat proses resistensi (CDC, 2019).
22
Setelah jutaan tahun evolusi, bakteri telah mengembangkan mekanisme
resistensi obat untuk menghindari pembasmian oleh molekul antibiotik.
Klasifikasi komprehensif dari mekanisme resistensi antibiotik menurut rute
biokimia yang terlibat dalam resistensi, di antaranya (Munita and Arias, 2016):
1. Menghasilkan enzim yang menonaktifkan obat dengan menambahkan
sejumlah zat kimia tertentu ke dalam senyawa antibiotik atau yang
menghancurkan molekul itu sendiri sehingga antibiotik tidak dapat
berinteraksi dengan targetnya. Mekanisme ini dapat dilakukan oleh bakteri
gram negatif maupun gram positif.
2. Mencegah antibiotik mencapai target dengan mengurangi penetrasi
molekul antibiotik ke dalam membran luar dan membran sitoplasma oleh
bakteri gram negatif sehingga mengurangi masuknya antibiotik ke dalam
bakteri serta bakteri mampu mengeluarkan senyawa toksik (efflux pomp)
yang menyebabkan antibiotik keluar dari dalam sel
3. Mengganggu situs target antibiotik dengan melindurngi dan memodifikasi
situs target yang menghasilkan penurunan afinitas antibiotik
4. Proses adaptif untuk mendapatkan nutrisi dan menghindari serangan
molekul di dalam inang dengan sintesis dinding sel dan homeostasis
membran.
Sedangkan, beberapa faktor yang menyebabkan berkembangnya
resistensi antibiotik adalah (Leekha, Terrell and Edson, 2011):
1. Pemberian terapi antibiotik empiris secara terus menerus tanpa mengetahui
penyebab infeksi
2. Perawatan klinis pasien dengan kultur positif tanpa mengetahui
penyakitnya
3. Kegagalan terapi antibiotik dengan spektrum sempit saat sudah diketahui
penyebab infeksinya
4. Penggunaan antibiotik yang berlebihan dan dalam jangka waktu yang lama
2.7 Tinjauan Evaluasi Kuantitaif
Anatomical Therapeutic Chemical dan Defined Daily Dose
(ATC/DDD) merupakan suatu sistem yang digunakan sebagai alat untuk
menyajikan statistik penggunaan obat dengan tujuan meningkatkan kualitas
23
penggunaan obat. Pengukuran dalam penggunaan obat, diperlukan sistem
klasifikasi dan unit pengukuran sehingga unit teknis pengukuran (Defined
Daily Dose/DDD) dikembangkan dalam studi penggunaan obat. Pada tahun
1981, sistem ATC/DDD direkomendasikan oleh WHO sebagai standar
internasional untuk studi penggunaan obat (WHO, 2019).
Tujuan dari sistem ATC/DDD adalah sebagai alat pemantauan dan
penelitian pemanfaatan obat yang rasional dan tidak rasional dalam rangka
meningkatkan kualitas penggunaan obat. Salah satu komponennya adalah
perbandingan statistik konsumsi obat di tingkat internasional. Penggunaan
sistem ATC/DDD memberikan standarisasi pemanfaatan obat yang stabil antar
negara maupun wilayah untuk memeriksa penggunaan obat dari waktu ke
waktu. Analisis penggunaan obat secara kuantitatif berdasarkan ATC/DDD
dapat mengidentifikasi kemungkinan penggunaan yang overuse, underuse atau
penyalahgunaan obat individu maupun kelompok terapi (WHO, 2019).
Sistem klasifikasi ATC, zat aktif dibagi berdasarkan organ atau sistem
dimana zat aktif tersebut beraksi secara terapeutik, farmakologi dan kimia.
DDD sebagai unit pengukuran merupakan dosis pemeliharaan rata-rata per hari
untuk indikasi utamanya pada orang dewasa. DDD memberikan unit
pengukuran tetap yang tidak tergantung harga, mata uang, dan kekuatan obat
untuk menilai konsumsi obat. Prinsip dasarnya yaitu hanya satu DDD per rute
pemberian dalam kode ATC dan DDD hanya diberikan untuk obat-obatan
yang memiliki kode ATC (WHO, 2019).
Penerapan di lingkungan rumah sakit banyak direkomendasikan
menggunakan perhitungan DDD/100 hari rawat atau DDD/100 bed-days.
Sementara untuk perhitungan antar negara atau populasi biasanya
menggunakan DDD/1000-inhabitans per day yang dapat dinyatakan sebagai
1% dari populasi menerima obat tertentu setiap hari di tahun tersebut (WHO,
2019).
Cara perhitungan DDD di rumah sakit yang dinyatakan dalam DDD/100 hari
rawat:
Mengumpulkan data semua pasien yang menerima terapi antibiotik
24
Mengumpulkan lamanya waktu perawatan pasien rawat inap (total Length
Of Stay/LOS semua pasien)
Menghitung jumlah dosis antibiotik (gram) selama dirawat
Menghitung DDD/100 hari rawat
DDD/100 hari rawat =
(𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝐴𝐵 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑑𝑖𝑔𝑢𝑛𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑜𝑙𝑒ℎ 𝑝𝑎𝑠𝑖𝑒𝑛)
𝑆𝑡𝑎𝑛𝑑𝑎𝑟 𝐷𝐷𝐷 𝑊𝐻𝑂 𝑑𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑔𝑟𝑎𝑚×
100
(𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐿𝑂𝑆)
Parameter lain yang dapat digunakan untuk menggambarkan
penggunaan antibiotik di rumah sakit adalah persentase pasien yang mendapat
terapi antibiotik selama dirawat inap di rumah sakit (Kemenkes RI, 2011a).
2.8 Tinjauan Evaluasi Kualitatif
Penggunaan antibiotik merupakan faktor utama dari resistensi bakteri.
Untuk menjamin kemanjuran dalam jangka panjang dari antibiotik, kualitas
penggunaan harus dimaksimalkan dan penggunaan yang tidak tepat
dihilangkan (Gyssens, 2005). Penilaian kualitas penggunaan antibiotik
bertujuan untuk memperbaiki kebijakan dan menerapkan program edukasi
yang lebih tepat terkait kualitas dalam penggunaan antibiotik yang dinilai
menggunakan data Rekam Pemberian Antibiotik (RPA), catatan medis pasien
dan kondisi klinis pasien. Metode yang digunakan dalam penilaian kualitas
penggunaan antibiotik adalah metode Gyssens (Kemenkes RI, 2011).
Metode Gyssens berupa diagram alir yang diadaptasi dan dikembangkan
dari metode Kunin pada tahun 1992, sebuah algoritma untuk memfasilisitasi
klasifikasi resep dalam berbagai kategori penggunaan antibiotik yang tidak
tepat. Metode Gyssens mengevaluasi seluruh aspek meliputi data pasien,
alternatif yang lebih efektif, lebih aman/tidak toksik, lebih murah, berspektrum
lebih sempit, lama terapi, dosis, interval, rute dan waktu pemberian. Dengan
alur diagram Gyssens, terapi empiris maupun definitif dapat dinilai setelah
mengetahui hasil pemeriksaan mikrobiologi (Gyssens, 2005).
25
Gambar 2. 2 Diagram Alir Gyssens (Gyssens, 2005)